Konsep ajaran agama islam di dalam kepercayaan sunda wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten.

“KONSEP AJARAN AGAMA ISLAM DI DALAM
KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN MASYARAKAT DESA
KANEKES, KECAMATAN LEUWI DAMAR, LEBAK, BANTEN”

Oleh:
Abdurrahman
NIM. 109015000028

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

ABSTRAK
Abdurrahman, Konsep Ajaran Agama Islam di Dalam Kepercayaan
Sunda Wiwitan Masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar,
Lebak, Banten, Skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi,
Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kanekes merupakan sebuah desa yang termasuk dalam wilayah administrasi
Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten. Sampai saat ini di Desa Kanekes
tinggal dan menetap sebuah kelompok masyarakat adat yang hidup dengan
kearifan lokal yang sangat kuat, kelompok masyarakat ini dikenal dengan nama
Suku Baduy. Masyarakat Suku Baduy merupakan masyarakat adat yang meyakini
aliran kepercayaan lokal mereka yang dikenal dengan nama Sunda Wiwitan.
Sebagai sebuah sistem religi, Sunda Wiwitan memiliki unsur-unsur yang
diharuskan ada pada setiap sistem religi, yaitu emosi keagamaan, sistem
kepercayaan, sistem upacara keagamaan, dan kelompok keagamaan. Berdasarkan
berbagai sumber informasi dan sejarah dikatakan bahwa Sunda Wiwitan sangat
memiliki hubungan dengan agama Islam. Hal ini diakui pula oleh masyarakat
Suku Baduy sebagai penganut Sunda Wiwitan itu sendiri, bahwa memang Sunda
Wiwitan dan Islam memiliki hubungan sejarah. Menurut mereka Sunda Wiwitan
dan Islam diciptakan oleh tuhan yang sama, namun pada zaman nabi yang
berbeda. Jika Islam merupakan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW,
maka Sunda Wiwitan diyakini sebagai ajaran yang dibawa oleh nabi Adam AS
yang merupakan nenek moyang manusia yang diciptakan jauh sebelum nabi
Muhammad SAW lahir.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan datanya antara lain, wawancara, observasi, dan

dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa antara Sunda Wiwitan dan Islam
memiliki beberapa kesamaan pada unsur-unsur sistem religi yang ada di antara
keduanya. Beberapa kesamaan di antara keduanya ada di dalam emosi
keagamaannya, sistem kepercayaannya, dan sistem upacara keagamaannya.
Kecuali di dalam kelompok keagamaan yang tidak ada kesamaan di antara Sunda
Wiwitan dan Islam.
Kata kunci

: Sunda Wiwitan, Islam, Suku Baduy, Desa Kanekes.

i

ABSTRACT
Abdurrahman, The Concept of The Teachings of The Islamic Religion
In The Belief of Sunda Wiwitan Kanekes Village Community, District of
Leuwi Damar, Lebak, Banten, Thesis of Sociology-Anthropology Education,
Department of Social Sciences, The Faculty of Tarbiyah and Teacher
Training, The Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Baduy is a village in the administrative District of Leuwi Damar, Lebak,
Banten. Until recently in the village of Baduy live and settle a group of
indigenous people who live with a very strong local wisdom, this community
group known as the Baduy. Baduy community are indigenous people who are
convinced of their local trust flow known as the Sunda Wiwitan. As a religious
system, Sunda Wiwitan has elements that are required in every religious system,
namely religious emotion, belief system, systems of religious ceremonies, and
religious groups. Based on various sources of information and the history it says
that Sunda Wiwitan very close ties with the Islamic religion. It is also recognized
by the public as Baduy Sunda Wiwitan itself, that indeed Sunda Wiwitan and
Islam have a historical connection. According to their Islamic and Sunda Wiwitan
was created by the same God, but at the time of the Prophet and different. If Islam
is the teachings brought by Prophet Muhammad, then believed to be Sunda
Wiwitan teachings brought by Prophet Adam who is ancestor of human beings
that were created long before the Prophet Muhammad was born.
The methods used in this research is descriptive qualitative. Among other
data gathering techniques, interview, observation, and documentation. Later data
analysis techniques used in this research is the reduction of the data, the
presentation of the data, and draw conclusions.
From the result of the study found that between the Sunda Wiwitan and

Islam have some common ground on elements of existing religious system in
between. Some of the similarities between the two are in their religious belief
systems, emotions, its religious rited and system. Except in religious groups that
have nothing in common between the Sunda Wiwitan and Islam.
Keywords

: Sunda Wiwitan, Islam, Baduy, Kanekes Village.

ii

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
limpahan nikmat dan karunia-Nya, proses penulisan skripsi yang berjudul
“Konsep Ajaran Agama Islam Di Dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan Masyarakat
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten” ini bisa selesai.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan untuk Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW, atas jasa besarnya yang telah membimbing kita dari zaman
gelap gulita menuju zaman yang terang benderang.
Penyelesaian skripsi ini tentu tidak akan pernah tercapai tanpa adanya

bimbingan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak yang dengan senang hati
memberi hal-hal positif dalam proses penulisan ini. Tidak ada kata lain yang
pantas diucapkan, selain terima kasih kepada semua pihak atas bimbingan,
bantuan, serta dorongannya. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1.

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

2.

Nurlena Rifa’I MA. Ph. D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Dr. Iwan Purwanto, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih atas bimbingan, pengarahan, serta motivasinya kepada penulis selama

masa perkuliahan, jasamu abadi.

4.

Drs. H. Syaripulloh, M. Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih
atas segala saran dan kritik yang membangun, serta segala solusi yang
diberikan kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini, jasamu
abadi.

iii

5.

Seluruh dosen Jurusan Pendidikan IPS, yang telah dengan sabar dan ikhlas
memberikan begitu banyak pengetahuan, sehingga bertambah pula
pemahaman penulis selama masa perkuliahan.

6.


Masyarakat Suku baduy (Bapak Sawardi dan keluarga, Bapak Alim, Bapak
Jastrib, Bapak Marjuk, Bapak Asmin, dan Bapak Dainah). Terima kasih atas
keterbukaannya menerima penulis untuk sebentar masuk dalam kehidupan
kalian yang “tertutup”, atas keramahan yang walaupun terlihat kaku, justru
menjadi keunikan tersendiri bagi penulis selama beberapa waktu mencoba
ikut menjadi salah satu bagian masyarakat Suku Baduy, dan atas
pengetahuan tentang alam dan lingkungan yang menunjukkan kemajuan
pemikiran dengan balutan kearifan lokal yang sangat terasa kental, tidak
akan berubah kekaguman dan semakin bertambah kecintaan penulis kepada
kalian.

7.

Kedua orang tua tercinta (Asmawi dan Suhaenah). Beribu bahkan berjuta
kali mengucapkan terima kasih pun tidak bisa mengganti begitu banyak
pengorbanan yang telah dan sedang dilakukan demi melihat anak-anaknya
kelak menjadi manusia-manusia yang berguna. Abi dan Umi, terima kasih
atas limpahan kasih sayang, ribuan do’a, dukungan moril dan materil, serta
banyaknya nasihat kepada penulis yang terkadang justru tidak didengar,

mohon maaf atas segala khilaf anak kalian yang belum bisa mewujudkan
semua harapan kalian.

8.

Adik-adik tersayang (Nurazizah dan Neneng Syukria Fatimah). Terima
kasih atas suasana yang diberikan, sehingga emosi sebagai keluarga bisa
terus terjaga dan semoga akan selalu terjaga, aamiin.

9.

Kawan-kawan Empat Sembilan Siswa Pecinta Alam (ESSISPAL). Terima
kasih atas pengalaman masa SMA yang sangat luar biasa, di ESSISPAL
penulis mulai menemukan karakter serta membangun pondasi menjadi
pribadi, jasamu abadi.

10.

Kawan-kawan angkatan 23 ESSISPAL (Cipta, Gigin, Arif). Terima kasih
atas pertemanan, pengorbanan, kerja sama, dan kekompakan yang pernah

ada, kalian guru-guru terbaik bagi penulis, jasamu abadi.

iv

11.

Kawan-kawan Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan
Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batutah (KMPLHK RANITA). Terima
kasih atas soft skill yang telah banyak diberikan sehingga kemampuan
penulis semakin terasah, atas pengalaman yang serba pertama penulis
rasakan (terjun ke bencana, terjun ke operasi SAR, keliling pulau di
Indonesia), maaf atas segala kekurangan yang penulis berikan karena tidak
maksimalnya penulis dalam menjalankan tugas, jasamu abadi.

12.

Kawan-kawan angkatan 22 KMPLHK RANITA (Karpes, Bogang, Takare,
Bloso, Genjer, Tarim, Bronto, Glutak, Langu, Dojeng, Toyog, Pilang, Boles,
Layor, Blana, Potasa, Siyem, Waren). Terima kasih atas pertemanan,
pengorbanan, kerja sama, dan kekompakan yang pernah ada, kalian guruguru terbaik penulis, jasamu abadi.


13.

Kawan-kawan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Angga, Didik, Irul,
Ridwan, Mahbub, Yuli, Tenjo, Fahri, Asep, Gilang, Umam, Bang Uceng,
Bang Qori, Bang Dziki, Bang Gunawan, Bang Yusri, bang Muhammad,
Bang Irpan, dan kawan-kawan lain). Terima kasih atas wawasan
kebangsaan, pengetahuan tentang ideologi, serta pengetahuan tentang politik
yang tidak akan pernah penulis dapatkan di bangku perkuliahan, jasamu
abadi.

14.

Angga, Iqbal, dan Umar. Terima kasih atas waktu yang telah direlakan
untuk mendampingi penulis menjelajahi keeksotisan Suku Baduy yang luar
biasa, jasamu abadi.

15.

Kawan-kawan penulis (Yusuf, Mubin, Feri, Iqbal, Didik, Fahri, Furqon,

Bayu, Imam, Akbar, Wahyu Dj, Aisyah, Lita, Aini, Desi, Indah, Ella, dan
kawan-kawan lain). Terima kasih atas saran dan kritik membangun yang
selalu menjadi pecut penyemangat penulis.

16.

Semua kawan-kawan seperjuangan jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Konsentrasi Sosiologi-Antropologi kelas C, serta semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi rasa
terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan.

v

Akhir kata, penulis harus meminta maaf sebesar-besarnya atas segala
kekurangan dan ketidaksempurnaan yang pasti ada dalam skripsi ini. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dengan harapan
akan selalu ada perbaikan di dalam tulisan-tulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini
bisa lebih bermanfaat tentu khususnya bagi penulis dan semoga umumnya bagi
pembaca sekalian sebagai koleksi tambahan dalam khazanah ilmu pengetahuan di
Indonesia bahkan dunia.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Penelitian ..................................................................... 1

B.

Identifikasi Masalah.............................................................................. 5

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.

Batasan Masalah ................................................................................... 6

2.

Rumusan Masalah ................................................................................. 6

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

2.

Manfaat Penelitian ................................................................................ 7

BAB II LANDASAN TEORI
A.

Kebudayaan

1.

Pengertian Kebudayaan ........................................................................ 8

2.

Wujud Kebudayaan .............................................................................. 9

3.

Unsur Kebudayaan Universal ............................................................. 11

4.

Akulturasi dan Asimilasi .................................................................... 13

5.

Konsep Kebudayaan ........................................................................... 15
a.

Kenisbian Kebudayaan .............................................................. 15

b.

Etnosentrisme ............................................................................ 17

c.

Kebudayaan Selalu Berubah ..................................................... 18

B.

Agama (Religi)

1.

Pengertian Agama ............................................................................... 19

2.

Beberapa Asal Mula Religi ................................................................. 21

vii

3.

Unsur-Unsur Dasar Religi .................................................................. 27

C.

Islam

1.

Pengertian Islam ................................................................................. 30

2.

Rukun-Rukun Agama Islam ............................................................... 31
a.

Rukun Islam .............................................................................. 31

b.

Rukun Iman ............................................................................... 33

c.

Rukun Ihsan............................................................................... 35

D.

Penelitian yang Relevan ..................................................................... 36

E.

Kerangka Berpikir .............................................................................. 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.

Tempat dan Waktu Penelitian............................................................. 42

B.

Latar Penelitian ................................................................................... 42

C.

Metode Penelitian ............................................................................... 43

D.

Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1.

Pengumpulan Data .............................................................................. 43

2.

E.

a.

Observasi ................................................................................... 44

b.

Wawancara ................................................................................ 44

c.

Dokumentasi.............................................................................. 45

Pengolahan Data ................................................................................. 45
a.

Reduksi Data ............................................................................. 45

b.

Penyajian Data........................................................................... 46

c.

Penarikan Kesimpulan/Verifikasi ............................................. 46

Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ................................. 46

BAB IV PEMBAHASAN
A.

Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian

1.

Letak dan Luas Daerah Penelitian ...................................................... 49

2.

Batas Wilayah Administratif .............................................................. 49

3.

Batas Alam.......................................................................................... 50

4.

Kondisi Demografi ............................................................................. 50

B.

Sunda Wiwitan.................................................................................... 51

1.

Emosi Keagamaan .............................................................................. 53

viii

2.

Sistem Kepercayaan............................................................................ 54

3.

Sistem Upacara Keagamaan ............................................................... 57

4.

a.

Kawalu ...................................................................................... 57

b.

Ngalaksa .................................................................................... 58

c.

Seba ........................................................................................... 59

d.

Pernikahan ................................................................................. 59

e.

Khitan ........................................................................................ 60

f.

Mengurus Jenazah ..................................................................... 61

Kelompok Keagamaan........................................................................ 62
a.

Orang Baduy Dalam .................................................................. 63

b.

Orang Baduy Luar ..................................................................... 63

BAB V PENUTUP
A.

Kesimpulan ......................................................................................... 66

B.

Saran ................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69
LAMPIRAN

ix

DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Populasi Desa Kanekes, 1888 – 2009 ....................................... 50

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1

Dokumentasi

Lampiran 2

Pedoman Observasi Lapangan

Lampiran 3

Hasil Observasi Lapangan

Lampiran 4

Pedoman Wawancara

Lampiran 5

Hasil Wawancara

Lampiran 6

Peraturan Desa Kanekes Tentang Saba Budaya dan Perlindungan
Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy)

Lampiran 8

Surat Izin Saba Budaya Baduy

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Penelitian
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan – bahasa Indonesia pada
umumnya – “agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa
sansekerta yang artinya tidak kacau, agama diambil dari dua akar suku kata
yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”1. Agama
dipercaya sebagai seperangkat pedoman yang mengatur segala bentuk
perilaku manusia di dalam segala aspek kehidupannya, agar tidak terjadi
kekacauan seperti yang telah dijelaskan di awal.
Jika ditinjau dari definisinya, maka keberadaan agama menjadi salah
satu unsur vital bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya setiap manusia
memiliki agama yang dijadikan pedoman bagi kehidupannya, yang di dalam
Antropologi disebut dengan sistem religi. Dari penjelasan di atas maka
dapat dikatakan bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki
agama.
Nurcholis Madjid di dalam salah satu tulisannya menjelaskan tentang
Ateisme yang oleh sebagian besar masyarakat dipahami sebagai paham yang
tidak beragama, beliau memahami Ateisme tidak demikian. Ateisme oleh
Nurcholis Madjid dipahami hanya sebatas sebuah paham yang menolak
konsep tuhan menurut agama formal, namun Ateisme di dalam
pemahamannya juga merupakan sebuah agama dengan konsep Politeisme.
Apakah manusia bisa menjadi ateis, tidak percaya sama sekali
akan adanya yang Mahakuasa? Pertanyaan yang barangkali terasa
berlebihan, karena kita telah terbiasa berpikir bahwa Ateisme terdapat
di banyak sekali kalangan manusia, khususnya kalangan kaum
komunis. Bagi kita, kaum komunis adalah dengan sendirinya ateis, tak
ayal lagi.
Tapi cobalah kita renungkan fakta ini: Di pinggiran kota
Pyongyang, Korea Utara, di atas sebuah bukit, berdiri tegak patung

1

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 13

1

2

patung raksasa Kim Il Sung. Patung itu dibuat begitu rupa, sehingga
seolah-olah tangan Kim hendak menggapai langit, atau bersikap
seperti mau “memberkati” ibu kota Korea Utara. Salah satu
pemandangan harian ialah rombongan demi rombongan anak-anak
sekolah Korea Utara datang “menziarahi” patung itu, kemudian secara
bersama membaca dengan “khyusuk” kalimat-kalimat pujian kepada
Kim Il Sung. Bahkan konon, di negeri yang agaknya produksi
pangannya kurang menggembirakan itu, patung Kim dengan
tangannya yang menjarah langit itu, dipercayai mampu mengubah
pelangi menjadi beras!
Gejala apakah semua itu? Tidak lain ialah gejala keagamaan.
Atau, dalam ungkapan yang lebih meliputi, gejala pemujaan
(devotion). Anak-anak Korea Utara itu sebenarnya memuja pemimpin
mereka, Kim Il Sung. Tetapi gejala itu tidak hanya monopoli anaknanak kecil yang tidak berdosa. Patung Kim ada dimana-mana, begitu
pula poster-poster yang memampangkan potret pemimpin besar itu
mendominasi pemandangan Korea Utara bahkan konon pegawai pos
di sana tidak berani mencap perangko yang menggambarkan Kim,
seperti ketakutan kualat.
Dan gejala pemujaan pemimpin, tidak hanya khas Korea Utara,
pemandangan harian di lapangan Merah Moskow, Uni Soviet (dulu,
era Komunisme, BMR), misalnya, ialah deretan panjang orang antre
untuk berziarah ke mausoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas
bersifat “devotional” seakan meminta berkah kepada sang pemimpin
yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu. Stalin pernah
diperlakukan seperti tuhan, demikian pula Mao Ze Dong (Mao Tse
Tung) di RRC, dan seterusnya, dan sebagainya.
Melihat itu semua, kesimpulan yang boleh dikatakan pasti ialah
bahwa orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil menjadi benarbenar ateis. Kalau ateis tidak memeluk agama formal yang ada seperti
Yahudi, Kristen, Islam, Buddhisme, Konfusianisme, dan lain-lain,
maka barangkali memang benar orang-orang komunis itu ateis. Tapi
kalau ateis berarti bebas dari segala bentuk pemujaan, maka orangorang komunis adalah kelompok pemuja yang paling fanatic dan tidak
rasional. Mereka memang tidak akan mengakui bahwa mereka
memandang para pemimpin mereka sebagai “tuhan-tuhan”. Tapi sikap
mereka jelas menunjukkan hal itu. Sebenarnya mereka telah
terjerembab ke dalam lembah Politeisme yang justru sangat
membelenggu dan merampas kebebasan mereka2.
Di

dalam

tulisan

Nurcholis

Madjid

di

atas

sangat

jelas

menggambarkan kehidupan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang

2

Budhy Munawar-Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), hal. 103

3

menyatakan diri sebagai penganut Ateisme. Manusia yang menyatakan
dirinya tidak beragama pun tanpa disadari telah melaksanakan ritual-ritual
“keagamaan”, maka tidak dapat dipungkiri bahwa agama memang pasti
dimiliki oleh setiap manusia disadari atau tidak disadari dan diakui atau
tidak diakui.
Antropologi

menyebut

agama

sebagai

sebuah

sistem

religi.

Antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang juga memandang sistem
religi sebagai sesuatu yang pasti dimiliki oleh setiap manusia, di dalamnya
sistem religi termasuk salah satu unsur dari kebudayaan.
Di dalam Antropologi, sistem religi adalah salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan universal, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup,
kesenian, dan sistem religi itu sendiri3. Unsur kebudayaan universal adalah
unsur yang pasti ada di seluruh kebudayaan di dunia, mulai dari kebudayaan
yang sangat sederhana sampai dengan kebudayaan yang sangat rumit sekali
pun pasti memiliki tujuh unsur kebudayaan universal tersebut4. Itu berarti
sistem religi pasti ada di setiap kebudayaan yang ada di dunia, dan juga ada
dan tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang tersebar di Indonesia
sebagai salah satu bagian dari kebudayaan yang ada di dunia.
Namun, sistem religi yang ada di Indonesia bukan hanya ada satu,
dua, atau tiga saja. Indonesia memiliki ratusan kelompok suku, dan
kelompok-kelompok suku yang tersebar di seluruh bumi nusantara memiliki
sistem religinya masing-masing yang telah dimiliki selama turun-temurun
jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan lebih jauh lagi sebelum itu. Pada
zaman terdahulu sistem religi yang dipercaya dianut oleh nenek moyang
orang-orang

Indonesia

adalah

Animisme

(aliran

kepercayaan

dan

penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang) dan Dinamisme (aliran
kepercayaan dan penyembahan terhadap benda-benda yang dianggap
3

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1990),
hal. 2
4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi 2009, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), hal. 165

4

mempunyai kekuatan supranatural) yang sangat tidak asing didengar sampai
saat ini. Animisme dan Dinamisme adalah sebuah generalisasi bagi sistem
religi nenek moyang Indonesia pada zaman terdahulu, akan tetapi sub unsurunsur dari religi yang ada pada setiap kebudayaan di Indonesia tentu saja
berbeda dan memiliki ciri khas masing-masing pada setiap kelompoknya.
Seiring perjalanan waktu berbagai sistem religi asing datang dari luar
dan masuk ke Indonesia yang dimulai sejak zaman masehi, kemudian
melahirkan interaksi-interaksi antara sistem religi asing dengan sistem religi
lokal yang pada akhirnya melahirkan asimilasi dan atau akulturasi antara
keduanya. Sistem religi seperti Hindu dan Buddha yang berasal dari India,
Islam yang berasal dari Arab, dan Kristen yang dibawa oleh para Missionary
secara bertahap masuk ke Indonesia dan mulai menyebarkan paham
keagamaannya dari abad kedua sampai pada zaman penjajahan kolonial
Belanda dengan caranya masing-masing5. ada yang menyebarkan ajaran
agamanya dengan cara halus dan penuh toleransi kepada masyarakat lokal
Indonesia, dan ada pula yang menyebarkan ajaran agamanya dengan cara
kasar dan memaksa kepada masyarakat lokal Indonesia.
Sistem religi nenek moyang yaitu Animisme dan Dinamisme secara
bertahap mulai berinteraksi dengan sistem-sistem religi asing yang datang
dari luar. Interaksi sistem religi lokal dengan sistem religi asing melahirkan
proses asimilasi dan atau akulturasi budaya di Indonesia. Asimilasi dan atau
akulturasi antara sistem religi lokal dengan sistem religi asing yang terjadi
akhirnya melahirkan sistem-sistem religi baru di Indonesia. Banyak sistem
religi kelompok-kelompok suku di Indonesia yang saat ini ada merupakan
hasil dari asimilasi dan atau akulturasi budaya antara budaya lokal dengan
budaya asing yang berhubungan dengan sistem religi. Salah satu contoh
terjadinya proses interaksi antara sistem religi lokal dengan sistem religi
asing saat ini ada pada kelompok suku masyarakat di Desa Kanekes,

5

H. Arif HM dan Saeful Bahri (ed.), Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (2), (Jakarta:
Balai Peneliti dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), hal. 7

5

Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten yang merupakan hasil akulturasi
budaya.
Masyarakat di Desa Kanekes adalah salah satu contoh kelompok
masyarakat yang memiliki kebudayaan hasil dari akulturasi budaya lokal
dengan budaya asing, masyarakat di desa ini akrab dikenal dengan sebutan
Suku Baduy. Dalam tulisannya, Djajadiningrat menjelaskan bahwa Suku
Baduy pada dasarnya adalah masyarakat penganut kepercayaan Animisme,
namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, kepercayaan
Animisme mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan juga
Islam6. Masyarakat Suku Baduy menyebut agama atau kepercayaan mereka
tersebut dengan nama “Sunda Wiwitan”.
Suku Baduy dikenal karena komitmen dan kemampuannya menjaga,
melestarikan, serta menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan dari para
pendahulunya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
salah satu tradisi yang masih dipegang teguh sebagai pedoman hidup adalah
kepercayaan Sunda Wiwitan yang telah dijelaskan sebelumnya, proses
interaksi antara sistem religi Islam dan sistem religi lokal Sunda Wiwitan
merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Dengan latar belakang tersebut penulis bermaksud mengadakan
penelitian yang berjudul “Konsep ajaran agama Islam di dalam
kepercayaan Sunda Wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwi Damar, Lebak, Banten”.

B.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a.

Adanya proses interaksi antara budaya lokal dengan budaya asing
yang masuk ke Indonesia.

6

Toto Sucipto, Julianus Limbeng, Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes
Provinsi Banten, (Departemen Kebudayaan dan pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya Seni
dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007), hal. 58

6

b.

Proses interaksi yang terjadi melahirkan akulturasi dan atau asimilasi
yang melahirkan sebuah kebudayaan baru terutama dalam agama atau
sistem religi di Indonesia.

c.

Salah satu proses akulturasi terjadi pada masyarakat Desa Kanekes
antara agama Islam dan agama Hindu dengan animisme yang dianut
masyarakat lokal di sana.

d.

Kepercayaan yang dianut masyarakat Desa Kanekes bernama Sunda
Wiwitan.

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.

Batasan Masalah
a.

Pelaksanaan penelitian kepercayaan Sunda Wiwitan difokuskan pada
masyarakat Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi
Damar, Lebak, Banten.

b.

Permasalahan terbatas pada akulturasi yang terjadi antara kepercayaan
Islam dengan kepercayaan Animisme yang ada pada masyarakat
Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak,
Banten.

2.

Rumusan Masalah
Bagaimana konsep ajaran agama Islam di dalam kepercayaan Sunda
Wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak,
Banten?

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep ajaran agama
Islam di dalam kepercayaan Sunda Wiwitan.

7

2.

Manfaat Penelitian
a.

Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran tambahan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, terutama bagi perkembangan Sosiologi dan
Antropologi, khususnya kajian mengenai sistem religi.

b.

Manfaat Praktis
1.

Bagi Penulis:
Sebagai
melakukan

media

pembelajaran

kegiatan-kegiatan

bagi

penelitian

penulis

dalam

berikutnya,

serta

sebagai media penguatan pemahaman baik dalam tataran teori
dan tataran implementasi di kehidupan.

4.

Bagi Pemerintah:
Sebagai referensi tambahan untuk membuat kebijakankebijakan yang berkaitan dengan pembahasan pada penelitian
kali ini.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.

Kebudayaan

1.

Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata
sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”
atau “akal”, dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang
bersangkutan dengan akal”1. Maksudnya adalah bahwa segala hal yang
berasal dari proses berpikir (akal) manusia merupakan bagian dari
kebudayaan, proses berpikir manusia bisa diartikan dengan proses belajar,
jadi hal apapun yang diperoleh manusia dari proses belajar itu adalah
merupakan sebuah kebudayaan. Hal yang sama juga dijelaskan oleh ilmu
Antropologi, ilmu

Antropologi

mendefinisikan kebudayaan

dengan

“keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan
belajar”2.
Banyak

masyarakat

umum

memahami

kebudayaan

dengan

pemahaman yang sempit. Masyarakat umumnya memahami kebudayaan
hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan keindahan, dan
warisan zaman terdahulu saja, seperti: seni tari, seni rupa, warisan
bangunan-bangunan bersejarah seperti candi-candi, masjid-masjid kuno,
situs-situs purbakala, dan lain sebagainya. Padahal kebudayaan lebih luas
pemahamannya

daripada

hal-hal

tersebut,

ilmu

Antropologi

dan

Koentjaraningrat telah menjelaskan mengenai apa itu kebudayaan. Pada
dasarnya pemahaman umum yang berkembang di masyarakat mengenai
kebudayaan itu benar, hal-hal yang tadi disebutkan memang merupakan
bagian dari kebudayaan, tetapi kebudayaan bukan hanya itu, yang dimaksud

1
2

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hal. 195
Ibid., hal. 193

8

9

kebudayaan adalah segala hal dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia yang diperoleh dengan proses belajar.
Hampir seluruh tindakan yang dilakukan manusia diperoleh dengan
proses belajar baik formal maupun non-formal sejak manusia dilahirkan,
hanya tindakan refleks yang merupakan naluri manusia yang didapat tanpa
belajar, bahkan sifat alami yang dibawa manusia sejak lahir pun dirubah
menjadi sebuah tindakan yang harus dilakukan dengan proses belajar,
seperti cara makan dan minum yang bisa dilakukan tanpa belajar
dimodifikasi oleh manusia menjadi makan dan minum dengan cara-cara
yang rumit, begitupun dengan berjalan dimodifikasi oleh manusia dengan
berbagai macam gaya, dan sifat alami lainnya yang pada dasarnya bisa
dilakukan oleh manusia tanpa belajar sekalipun.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian kebudayaan yang menjadi pemahaman umum di masyarakat
merupakan salah satu bagian dari pengertian kebudayaan yang sebenarnya,
karena kebudayaan mempunyai pengertian yang lebih luas dibanding yang
dipahami masyarakat pada umumnya. Segala sistem gagasan (ide), tindakan
(perilaku), dan hasil karya manusia yang diperoleh dari proses belajar lah
yang merupakan pengertian kebudayaan secara menyeluruh.

2.

Wujud Kebudayaan
Talcot Parsons dan A. L. Kroeber pernah membedakan secara tajam
wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari
wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan dan aktifitas manusia yang
berpola. Berdasarkan hal tersebut Koentjaraningrat membagi kebudayaan
menjadi tiga wujud, yaitu:
a.

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

b.

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.

10

c.

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia3.
Wujud pertama adalah wujud abstrak dari kebudayaan, karena wujud

ini tidak bisa dilihat atau diraba oleh panca indera, ide atau gagasan adalah
sebuah benda abstrak yang hanya ada di pikiran manusia. Ide atau gagasan
merupakan cikal bakal atau proses awal terlahirnya kebudayaan,
kebudayaan terlahir dari ide atau gagasan yang tercipta dan disepakati
bersama di dalam sebuah masyarakat, ide atau gagasan yang tercipta
merupakan hasil dari proses adaptasi dan belajar dari lingkungan dimana
masyarakat tersebut tinggal. Tahap selanjutnya ketika ide atau gagasan
tersebut telah disepakati bersama maka hal tersebut akan menjadi semacam
sistem sosial yang akan dipegang oleh masyarakat dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari.
Wujud kedua kebudayaan merupakan tindak lanjut dari wujud
pertamanya. Ide atau gagasan yang telah disepakat bersama dijadikan
sebuah sistem sosial yang akan mengatur segala tindakan seluruh anggota
masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Maka wujud kedua dari
kebudayaan adalah segala tindakan dengan pola teratur seluruh anggota
masyarakat yang telah diatur di dalam sebuah sistem sosial yang terlahir
dari ide atau gagasan yang telah disepakati oleh mereka sendiri. Berbeda
dengan wujud pertama, pola tindakan manusia adalah sebuah hal yang bisa
ditangkap oleh panca indera manusia dan bukan merupakan suatu hal yang
bersifat abstrak.
Wujud ketiga dari kebudayaan adalah benda-benda hasil dari tindakan
atau aktifitas masyarakat yang berjalan sehari-harinya. Wujud ketiga dari
kebudayaan adalah hal berbentuk benda-benda konkret yang diciptakan oleh
masyarakat, seperti: komputer, pensil, kertas, baju, celana, lemari, gitar,
masjid, gereja, dan masih banyak lagi benda-benda yang telah diciptakan
oleh masyarakat yang dibuat untuk membantunya menjalani aktifitas seharihari.

3

Ibid., hal. 200

11

Ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah tiga bentuk yang pada
dasarnya saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Ide atau gagasan
pikiran yang lahir dan disepakati oleh masyarakat selanjutnya akan menjadi
sebuah pegangan hidup yang akan dan harus ditaati oleh masyarakat itu
sendiri, segala tindakan atau perilaku anggota masyarakat telah diatur dan
ditentukan di dalam sistem sosial mereka yang berasal dari ide atau gagasan
yang mereka ciptakan sendiri, selanjutnya segala tindakan atau aktifitas
masyarakat yang ada tentu saja akan melahirkan berbagai macam bendabenda yang dibuat untuk menunjang segala tindakan atau aktifitas mereka,
atau hanya sekedar hasil yang telah diciptakan dari tindakan atau aktifitas
tersebut. Kemudian benda-benda yang telah tercipta seiring dengan
perjalanan waktu nantinya akan mempengaruhi cara berpikir dari anggota
masyarakat yang hidup di sekitarnya.

3.

Unsur-Unsur Kebudayaan Universal
Dunia ini dihuni oleh milyaran manusia yang setiap pribadinya hidup
di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang berbudaya, mungkin ada
ribuan atau bahkan lebih kebudayaan yang ada di dunia mulai dari
kebudayaan yang sederhana sampai dengan kebudayaan yang kompleks.
Setiap kebudayaan yang ada di dunia pasti memiliki unsur-unsur budayanya
masing-masing yang terintegrasi menjadi kebudayaan tersebut, banyak atau
sedikit

unsur

budaya

tergantung

dari

sederhana

atau

kompleks

kebudayaannya. Tetapi dari banyaknya unsur yang ada pada kebudayaankebudayaan di dunia, dapat ditarik menjadi kelompok-kelompok besar
unsur-unsur kebudayaan yang bersifat menyeluruh atau universal.
Di dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” Koentjaraningrat
membagi unsur-unsur kebudayaan secara universal menjadi tujuh butir.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maksud dari unsur
kebudayaan universal adalah bahwa dari sekian banyak kebudayaan di
dunia dengan berbagai macam unsur budayanya dapat diklasifikasikan
menjadi tujuh unsur besar, tujuh unsur ini adalah unsur-unsur yang pasti ada

12

di setiap kebudayaan yang ada di dunia, baik kebudayaan yang sangat
sederhana sampai dengan kebudayaan yang sangat kompleks.
Koentjaraningrat

berpendapat

bahwa

tujuh

unsur

kebudayaan

universal tersebut, yaitu:
a.

Sistem Religi

b.

Organisasi Sosial

c.

Sistem Pengetahuan

d.

Bahasa

e.

Kesenian

f.

Sistem Mata Pencaharian Hidup

g.

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi4
Ketujuh unsur inilah yang dianggap secara umum ada menyeluruh di

setiap kebudayaan di dunia. Di dalam tataran implementasi, unsur-unsur ini
kemudian menjelma ke dalam wujud-wujud kebudayaan di masyarakat,
menjelma ke dalam ide-ide dan gagasan kebudayaan masyarakat, menjelma
ke dalam tindakan dan sistem sosial masyarakat, dan menjelma ke dalam
hasil-hasil kebudayaan masyarakat. Setiap unsur yang ada selalu menjelma
ke dalam tiga wujud tersebut, dari bahasa sampai dengan kesenian setiap
masing-masing unsur akan menjelma ke dalam ide, tindakan, dan
kebudayaan fisik di dalam setiap kebudayaan.
Koentjaraningrat menjelaskan di dalam bukunya “Pengantar Ilmu
Antropologi” mengenai unsur-unsur universal yang menjelma ke dalam tiga
wujud kebudayaan.
Sistem ekonomi misalnya mempunyai wujudnya sebagai
konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang
berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang
berupa tindakan-tindakan dan interaksi yang berpola antara produsen,
tengkulak, pedagang, ahli transport, pengecer dengan konsumen, dan
kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang
berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga
sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem
keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh
4

Ibid., hal. 217

13

halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga
wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman
maupun kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga
mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda
religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat
berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera,
dan syair yang indah. Namun, kesenian juga dapat berwujud tindakantindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman
penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan
konsumen hasil kesenian, tetapi kecuali itu semua kesenian juga
berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda-benda
kerajinan, dan sebagainya5.
4.

Akulturasi dan Asimilasi
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang akan selalu dinamis
bergerak dan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, tiga wujud kebudayaan akan selalu berotasi dari ide
yang diimplementasi menjadi tindakan, tindakan yang akan melahirkan hasil
kebudayaan, dan hasil-hasil kebudayaan yang nantinya akan mempengaruhi
proses berpikir masyarakatnya dalam melahirkan ide berikutnya, dan akan
seperti itu seterusnya.
Di dalam kehidupan, interaksi sosial adalah sebuah hal yang tidak bisa
dipungkiri. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa pertolongan manusia lain, interaksi sosial akan terjadi baik di antara
individu di sebuah kelompok masyarakat, antara individu dengan kelompok
masyarakat lain, dan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok
masyarakat lainnya. Interaksi sosial juga menjadi salah satu unsur penyebab
manusia selalu dinamis bergerak dan berubah, dia mempunyai peran besar
bagi perkembangan kehidupan manusia dari waktu ke waktu.
Interaksi sosial terjadi di dalam dan atau di antara kelompok
masyarakat, seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa setiap masyarakat
yang ada memiliki kebudayaan masing-masing. Adanya interaksi yang
terjadi di dalam dan atau di antara kelompok masyarakat tentunya juga akan
melahirkan interaksi antara kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing

5

Ibid., hal. 218

14

kelompok masyarakat tersebut, proses interaksi antara kebudayaankebudayaan ini tentunya akan melahirkan dampak setelahnya. Di dalam
Ilmu Antropologi ada dua istilah yang bisa menggambarkan hasil dari
proses interaksi yang terjadi antar kebudayaan, yaitu akulturasi dan
asimilasi.
a.

Akulturasi
“Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
itu sendiri”6.
Artinya ada interaksi yang terjadi antara kebudayaan lokal
sebuah masyarakat dengan kebudayaan asing yang masuk di dalam
masyarakat tersebut, interaksi yang terjadi menyebabkan adanya
unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk diserap dan diterima oleh
masyarakat lokal ke dalam kebudayaan mereka, tetapi unsur-unsur
kebudayaan

asing

tersebut

tidak

menghilangkan

ke-khas-an

kebudayaan lokal, dengan sedemikian rupa masyarakat mengolah
unsur-unsur kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan lokalnya.

b.

Asimilasi
“Asimilasi adalah sebuah proses yang terjadi apabila ada
golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu
yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi
masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya
masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran”7.
Artinya ada interaksi yang terjadi antar beberapa kelompok
masyarakat

6
7

Ibid., hal. 262
Ibid., hal. 269

yang berarti

juga interaksi

antar masing-masing

15

kebudayaannya. Interaksi yang terjadi dengan waktu yang relatif lama
pada akhirnya nanti akan melahirkan sebuah kebudayaan baru diantara
kelompok-kelompok masyarakat tersebut dan menghilangkan unsurunsur bawaan dari kebudayaan awal sebelum adanya interaksi di
antara mereka.

5.

Konsep Kebudayaan
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebudayaan adalah seluruh ide,
tindakan, dan hasil karya yang diperoleh manusia dengan belajar, proses
belajar dilakukan manusia selama hidupnya sebagai anggota di dalam
kelompok masyarakat. Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang lahir di
tengah kelompok masyarakat dan merupakan hasil proses belajar dari
manusia-manusia anggota sebuah

kelompok masyarakat dan disepakati

oleh kelompok masyarakatnya, yang berarti setiap kebudayaan adalah sama
dengan jati diri setiap kelompok masyarakat yang diwakilinya. Setiap
kelompok masyarakat pasti memiliki perbedaan dengan kelompok
masyarakat lainnya, walaupun ada kemiripan yang terlihat tetapi pada
hakikatnya pasti ada pembeda yang mencirikan setiap kelompok masyarakat
yang secara umum mungkin memiliki kesamaan budaya.
Namun, kebanyakan masyarakat umum masih belum memahami
konsep dari kebudayaan ini, sebuah konsep bahwa memang pasti ada
perbedaan di antara kelompok-kelompok masyarakat dengan kebudayaankebudayaannya. Masih banyak suatu kelompok masyarakat menilai
kebudayaan kelompok masyarakat lain dari sudut pandang kebudayaannya.
Ada beberapa pemahaman yang perlu diketahui agar bisa memahami sebuah
konsep dari kebudayaan.
a.

Kenisbian Kebudayaan
Bagi kebanyakan masyarakat umum yang belum memahami
konsep dari kebudayaan sering mencoba memandang dan menilai
kebudayaan lain di luar kebudayaan kelompok masyarakatnya, dan
penilaian itu biasanya berujung pada dua hal, yaitu penilaian positif

16

dan penilaian negatif. Pada dasarnya penilaian tersebut merupakan
penilaian yang berdasar pada subyektifitas masyarakatnya, padahal
seharusnya dalam memandang kebudayaan lain di luar kebudayaan
kita diperlukan penilaian yang obyektif.
Menilai kebudayaan A baik atau kebudayaan B tidak baik
sebenarnya tidak bisa dilakukan, karena kita bukanlah pelaku di
dalamnya, kita tidak hidup di daerah mereka, kita tidak tahu kondisi
kehidupan mereka, kita tidak memahami maksud dan tujuan dari
kebudayaan A atau kebudayaan B melakukan hal-hal yang kita
anggap baik atau tidak baik.
Ada sebuah tulisan menarik yang menggambarkan seorang
peneliti yang mencoba menggambarkan salah satu kegiatan kelompok
masyarakat.
Saya dengar bahwa pada ritual ini segumpal kecil bulu
kewan beserta bubuk-bubuk gaib tertentu dimasukkan ke dalam
mulut, lalu gumpalan bulu ini digerakkan menurut serangkaian
gerak-gerak yang sangat formal. Selain daripada melakukan
ritual mulut sehari-hari, orang-orang juga mengunjungi seorang
dukun mulut sakti sekali atau dua kali setahun. Dukun-dukun ini
mempunyai satu perangkat alat-alat menakutkan, terdiri dari
bermacam-macam bor besar, penggeret, alat pemeriksa
dalamnya luka, alat penusuk yang tajam. Pemakaian alat-alat ini
dalam mantra-mantra mengusir setan-setan penyakit mulut,
membawakan siksaan ritual yang luar biasa untuk si klien.
Dukun gigi membuka mulut klien – dan dengan memakai alatalat tersebut di atas, memperbesar tiap lobang yang disebabkan
pembusukan gigi. Alat-alat gaib dimasukkan ke dalam lobanglobang ini. Jika tidak ada lobang-lobang di gigi, sebagian besar
dari satu macam gigi atau lebih dilobangi sehingga bahan-bahan
gaib itu dapat dimasukkan. Dalam pandangan kliennya, maksud
tujuan perbuatan-perbuatan ini adalah untuk menghentikan
pembusukan dan untuk menarik kawan-kawan. Jelaslah bahwa
ritual ini sangat sakti dan tradisional, karena penduduk tiap
tahun kembali kepada dukun mulut yang sakti itu, walaupun
gigi-gigi mereka terus membusuk8.

8

T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006), hal. 15

17

Padahal sang peneliti hanya menggambarkan sebuah kegiatan
sehari-hari yang dianggap biasa, yaitu membersihkan dan merawat
gigi serta mulut, tetapi dia menggambarkan kegiatan tersebut sebagai
ritual yang dianggap aneh dan tidak biasa serta bersifat gaib.
Kenisbian kebudayaan adalah sebuah pemahaman bahwa cara
untuk

memandang

sebuah

kelompok

masyarakat

dengan

kebudayaannya merupakan hal yang relatif, kita perlu meninjau
pemikiran dan kebiasaan sebuah kelompok masyarakat yang pada
akhirnya menciptakan sebuah kebudayaan mereka itu, bagi seorang
peneliti Antropologi sangat dilarang untuk menggambarkan sebuah
kebudayaan berdasarkan sudut pandang dirinya, dia harus bisa
memposisikan diri sebagai anggota kelompok masyarakat tersebut
sebelum menggambarkan kebudayaan mereka. Tidak ada kebudayaan
yang lebih baik dari kebudayaan lainnya, kebudayaan sebuah
kelompok masyarakat tercipta sesuai dengan tingkat pemikiran dan
kondisi tempat hidupnya.

b.

Etnosentrisme
Ketika “bermain” di ranah kebudayaan tentu saja ada beberapa
hal yang harus dihindari, seperti yang sudah dijelaskan pada poin
sebelumnya bahwa sampai saat ini umumnya masyarakat yang masih
belum memahami konsep dari kebudayaan, banyak yang mencoba
memandang dan menilai kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
Penilaian tadi pasti akan berujung pada dua hal antara penilaian positif
dan atau penilaian negatif, penilaian positif mungkin timbul karena
merasa di dalam kebudayaan yang dinilai memiliki unsur-unsur yang
dapat diterima oleh pemikiran dan pemahaman si penilai, begitupun
sebaliknya penilaian negatif mungkin timbul karena merasa di dalam
kebudayaan yang dinilai memiliki unsur-unsur yang tidak bisa
diterima oleh pemikiran dan pemahaman si penilai.

18

Tetapi, pada dasarnya hal tersebut tidaklah boleh dilakukan
ketika kita sedang “bermain” di ranah kebudayaan. Sikap menilai
kebudayaan lain dari sudut pandang pemahaman kebudayaan sendiri
adalah sebuah sikap etnosentris, apalagi penilaian tersebut sampai
memberi dampak terhadap kelompok masyarakat yang memiliki
kebudayaan tersebut, mungkin sebuah hinaan, ejekan, atau bahkan
terkucilkan. Di dalam kenisbian sebuah kebudayaan dijelaskan bahwa
ada hal-hal yang tidak bisa diambil kesimpulannya dengan hanya
melihat kulit luar dari sebuah kebudayaan, si “penilai” harus masuk
lebih dalam untuk mengetahui motif dan alasan sebuah kebudayaan
dianut dan dilestarikan.
Sikap etnosentris hanya akan menghambat dan mengurangi
sebuah kualitas penggambaran sebuah kebudayaan, seorang peniliti
Antropologi

harus

bisa

menjadi

sosok

netral

untuk

bisa

menggambarkan sebuah kebudayaan, karena sikap subyektif hanya
akan merubah deskripsi sebuah kebudayaan dengan apa yang ada pad