Tradisi Perkawinan Baduy Luar dengan Baduy dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)

TRADISI PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM
(Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
AYI RUKMANA
NIM 1112044100031

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/ 1438 H

5

ABSTRAK
Ayi Rukmana 1112044100031, Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy

Dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Banten) Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1437/2016 x + 97 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang tradisi perkawinan Baduy
Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat
Sunda Wiwitan serta penerimaan hukum Islam. Secara metodelogis, penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Dengan menggunakan pendekatan etnogerafi, yang
mana mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah
masyarakat,
locus penelitian di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Labak Banten
Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. wawancara kepada para pihak terkait atau narasumber yang dapat memberikan
informasi terkait dengan penelitian yang peneliti bahas.
2. Observasi participant dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan untuk
mengetahui langsung bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dengan Baduy
Dalam
Sumber data yang peneliti ambil dari berbagai sumber, data primer berupa
wawancara dengan pihak-pihak terkait yang dapat memberikan data yang di
butuhkan oleh peneliti, sedangkan data sekunder berasal dari karya-karya peneliti

yang berkaitan dengan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam
Berdasarkan penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa
perkawinan masyarakat Baduy dilakukan dengan tiga tahap lamaran dan selalu di
jodohkan. Namun berbeda dengan masyarakat Baduy Panamping ada yang di
jodohkan ada pula yang memilih sendiri calon pasangan nya dengan syarat
persetujuan kedua belah pihak, namun unik nya perkawinan di Baduy Panamping
bukan hanya dilaksanakan secara adat saja. Namun juga di lakukan di hadapan
petugas pencatat perkawinan. Oleh karena itu banyak nya orang Baduy
Panamping yang menikah dengan orang luar Baduy atau non Baduy, dengan
kosekwensi harus keluar dari keadatannya. Dalam menjalani kehidupan seharihari, masyarakat Baduy juga tidak terlepas dari interaksi sosial antara masyarakat
Baduy dengan masyarakt luar. Yang notabenenya mereka menganut keyakinan
yang berbedam namun hidup dengan secara berdampingan, dan itu di buktikan
dengan adanya pemukiman Baduy Muslim di Cicakal Girang.

Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka

: Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam
: Dr. H. Abdul Halim, M.Ag

:Tahun 1993 s.d. Tahun 2015

6

KATA PENGATAR

Puji dan sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang creator
kehidupan, yang maha hidup lagi maha pintar. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua bapak H. Itok
Rusmita dan Ibu Hj, Yulyana yang telah memberikan semangat dan motivasi
untuk terus belajar dan menyelesaikan studi, semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat dan kasih saying-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun sukur alhamdulilah berkat rahmat dan rida-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah Dan Hukum.
3. Arip Purkon, M.a. Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum.

7

4. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan
besar hati besedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Jm. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan prodi
al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
7. Segenap jajaran staf dan kariawan akademik perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan

sekripsi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu: Anshar Arif S, Ridwan
Abdillah, Roni zuli P, Septian Dwites, Syah Ul Hak A, dan semua temanteman peradilan Agama Angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketikan
di bangku perkulihan.
9. Teman-teman di Kuliah kerja nyata (KKN) SELARAS. Atiqoh Fatiah, Lia
Yulianti, Ayif, Ivony, Nur Cholis, Budi dan lain-lain
10. Sahabat-sahabat Ikatan kelaurga besar Almizan (IKBA) Fikry Amarullah,
Tb Wilda, El Hakim, Rifky Gustio Utama, Sofatillah Amin, dan masih
banyak lagi sahabat-sahabat yang tidak bisa disebut namanya.

8

11. Saudara Anshar Arif Shofyan yang selalu memberikan semangat dan
motivasi dan memberikan bantuan yang sangat membantu saya dalam
menyelesaikan skripsi.
12. Sahabat-sahabat peradilan Agama PA A Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
13. Lia Amelia yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini

Semoga amal baik mereka diterima dan dibalas oleh Allah SWT dengan
sebaik-baik balasan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 12 Oktober 2016

Ayi Rukmana

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………………… ……... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iv
ABSTRAK………………………………………………………… ……... v
KATAPENGANTAR……………………………………………………... vi
DAFTARISI…………………………………………………… …………. ix
BAB I :


PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

BAB II :

SUNDA WIWITAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL SUKU BADUY
A.
B.
C.
D.
E.


BAB III :

Latar Belakang Masalah…………………… ……... 1
Identifikasi Masalah………………………………... 7
Pembatasan Masalah……………………………… 7
Rumusan Masalah………………………………….. 8
Tujuan dan Manfaat………………………………. 9
Metode Penelitian…………………………………. 10
Tinjauan Studi Terdahulu………………………… 12
Sistematika Penulisan……………………… ……... 18

Gambaran Umum Desa…………………….............. 18
Sejarah Suku Baduy……………………………….. 21
Adat Istiadat……………………………………….. 26
Sosial Budaya……………………………………… 32
Agama……………………………………………… 40

TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY
A.
B.

C.
D.
E.

Perkawinan Suku Baduy…………………………… 47
Tahap Mencari Jodoh……………………………….59
Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar………….. 59
Upacara Perkawinan……………………………….. 63
Waktu Perkawinan…………………………………. 67

10

BAB IV :

PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM
A. Kedudukan Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam
Serta Konsekwensi Bagi Pelaku Perkawinan………. 69
B. Interaksi Islam, Adat dan Hukum Dalam Masyarakat Sunda
Wiwitan Serta Penerimaan Hukum Islam………….. 74


BAB V :

PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………… 89
B. Saran-Saran………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKA

11

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tradisi perkawinan Suku Baduy adalah perkawinan monogami, seorang
laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan poligami
merupakan suatu hal yang tabu, selain itu, perkawinan anak laki-laki yang
pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir
(adik) dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan
masyarakat Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan
(Ngarunghal)1, dalam perakteknya masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan

antara sepupu persamaan dan sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu
terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu
tingkat keempat, istilah Baduy menyebut dengan baraya2. Perkawina yang ada
di masyarakat Baduy, ternyata ada dua model proses perkawinan. Proses
perkawinan yang di lakukan pada masyarakat

Baduy Tangtu dan Baduy

Panamping memiliki perbedaan, pada masyarakat Baduy Tangtu, ketika ke dua
keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan anaknya, maka
sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan, biasanya mereka
melakukan beberapa prosesi ritual ada yang sudah ditentukan secara turun
temurun. Adapun prosesi ada pra-perkawinan yang biasanya dilakukan oleh
masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa mereka disebut
1

Ngarunghal Adalah Perkawinan Melangkahi Kaka, Kata Melangkahi Berasal Dari Kata
Langkah Yang Artinya Adalah Melewati atau Mendahului
2
Baraya Adalah Sodara, Atau Kerabat Terdekat.

12

dengan “lalamar” Dalam proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga
tahap.3
Dalam masyarakat Baduy, masih berpegang kepada ketentuan tradisi lama
anak laki-laki baru dikawinkan sekitar usia 23 tahun dan anak perempuan dalam
usia 18 tahun. Pada dasarnya, di Kanekes urusan jodoh masih menjadi urusan
orang tua. Hanya di penamping ada sedikit kelonggaran sebab anak kadangkadang ikut menentukan pilihannya, sama halnya dengan di tempat lain, di
kanekes pun peristiwa perjodohan didahului oleh acara “lalamar” atau “ngalamar”
(meminang)4.
Namun permasalahannya bukan kepada sistem perkawinan monogami atau
hal lain. Tetapi kepada bagaimana ketika perkawinan dari suku Baduy ini terjadi
perkawinan antara Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda Wiwitan),
apakah kemudian perkawinan tersebut menyandarkan kepada budaya mereka atau
sebaliknya ikut kepada syarat perkawinan yang diatur dalam syariat Islam. Dan
penyelenggaraan pernikahan masyarakat Baduy yang hanya di laksanakan pada
Bulan kelima, enam dan tujuh saja.
Suku Baduy merupakan sebuah suku yang berada di Provinsi Banten.
Baduy adalah salah satu suku yang masih manjaga erat nilai dan norma serta
tradisi atau adat istiadat masyarakat. Suku Baduy termasuk salah satu suku yang
terisolir yang ada di Indonesia. Masyarakat Baduy sengaja mengasingkan diri,
K, Muhammad, Hakiki, “Upacara Perkawinan Orang Baduy”, Artikel di Akses pada 12
April
2016
dari
(baduybantenheritage.blogspot.com).
file:///D:/KULIAH/skripsi/skripsi/BADUY%20HERITAGE_%20__%20Upacara%20Perkawinan
%20Orang%20Baduy.html.
4
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (Javanologi) 1984/1985, h. 69.
3

13

mereka hidup mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar.
Mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan tujuan menghindari dari
pengaruh budaya luar, yang akan masuk, untuk menjaga keaslian budaya mereka.
Masyarakat suku Baduy salah satu masyarakat yang unik, keunikan itu
tampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dengan
jelas dari rumah tempat tinggal mereka. Dan masyarakat Baduy penuh dengan
kesederhanaan dan kepatuhan. Kesederhanaan masyarakat Baduy dapat dilihat
dalam bentuk dan arah rumah yang seragam, sistem bercocok tanam, dan cara
berpakainnya. Di perkampungan Baduy, antara rumah satu dengan yang lainnya
ditata rapih dan semua menghadap ke selatan. Sistem bercocok tanam yang
dilakukan juga masih sangat tradisional yaitu dengan cara berladang (ngahuma)5.
Masyarakat Baduy mengenakan pakain sehari-hari yang terdiri dari lengkung atau
ikel (ikat kepala), jamang kampret atau jamang kurung (baju lengan panjang tanpa
kerah)6 Masyarakat Baduy memang merupakan salah satu kelompok suku
pedalaman di Indonesia, yang punya kesan tersendiri, pendiriannya keras tapi
tidak pernah merepotkan orang lain, dalam keadaan yang bagaimana pun. Orang
Baduy tidak pernah hirau dengan adanya perubahan zaman serta datangnya
pengaruh yang menggelitik sepanjang hari, pola hidup sederhana dan hidup
mandiri telah menjadi kesepakatan bersama, kesederhanaannya telah menjadi
jalan pintas hidupnya dalam menghadapi kenyataan. Masyarakat yang selalu

5

Ngahuma Juga Bisa Disebut Berladang Atau Menanm Padi di Ladang.
Risna Bintari, “Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca
Terbentuknya Provinsi Banten Tahun 2000”Vol . 1 No, 1 Tahun 2012 [ISSN 2252-6633], h. 19.
6

14

tampil tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, dimanapun, berhadapan dengan
siapa saja, tidak kenal pantasi dari variasi7
Pola hidup masyarakat Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar
secara umum sama, namun pada hal-hal tertentu adanya perbedaan yang cukup
mencolok. Di Baduy Dalam sangat dilarang memiliki dan menggunakan barangbarang elektronik, alat makan dan minum yang terbuat dari gelas, plastik dan
barang-barang rumah tangga lainnya yang berasal dari luar. Rumah tidak boleh
pakai paku, yakni hanya menggunakan pasak dan tali dari rotan dan hanya
memiliki satu pintu. Mereka juga dilarang menggunakan alas kaki, baik sandal
apalagi sepatu, bepergian dilarang menggunakan kendaraan jenis apa pun, dan
dilarang menggunakan pakaian seperti orang luar Baduy, pendek kata, segala
bentuk prilaku dan pola hidup yang berbau “modern” serta bertentangan dengan
pikukuh karuhun8. Mereka tolak dan bagi yang melanggar akan mendapatkan
sanksi hukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku, 9 sedangkan masyarakat
Baduy Luar, pola hidup mereka sudah mulai longgar dan terbuka karena memang
aturan adatnya memberikan kelonggaran bila dibandingkan dengan hukum adat
bagi masyarakat Baduy Dalam. Mereka mereka sudah banyak mengadopsi pola
hidup atau gaya hidup masyarakat non Baduy ke dalam pola hidup mereka seharihari walaupin mereka selalu tetap menampilkan ciri khas kesukuan mereka.

Djoewisno, “Potret Kehidupan Masyarakat Baduy”,Orang-orang Baduy Bukan Suku
Terasing Mereka Yang Mengasingkan Diri, Cipta Pratama ADV, pt, Cetakan Pertama, 1987, h.
134.
8
Pikukuh Karuhun, Sebuah Aturan Adat Yang Bersifat Mengikat Bagi Masyarakat Baduy
9
Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy
Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun
2012, h. 215-216.
7

15

Secara adat memang masyarakat Baduy diikat oleh aturan yang melarang
anggota masyarakatnya untuk tidak terpengaruh oleh kehidupan masyarakat luar
yang menurut pandangan mereka adalah kehidupan yang dapat merusak budaya
masyarakat Baduy. Tetapi bukan berarti bahwa masyarakat Baduy menutup diri
sama sekali terhadap kontak dengan masyarakat sekitar mereka, ini terbukti
dengan adanya kegiatan rutin yang salah satunya, setahun sekali mendatangi
pemerintah provinsi untuk membawa upeti berupa hasil bumi mereka kepada
Gubernur Banten, yang disebut “seba”.10
dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan ketaatan meraka
pada suatu keyakinan, yaitu yakin pada keyakinan yang mereka anut (Sunda
Wiwitan).11Sunda Wiwitan adalah Agama masyarakat Baduy yang menghormati
roh Karuhun, Nenek Moyang. Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama.
Kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah dimasuki unsur-unsur Agama
Hindu dan Agama Islam. Pandangan hidup umat Sunda Wiwitan berpedoman
pada Pikukuh, aturan Adat mutlak, Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana
nenek moyang, Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktifitasaktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini Pikukuh Baduy tidak mengalami
perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan tabu)
titipan nenek moyang, buyut12, adalah segala sesuatu yang melanggar Pikukuh.13

10

Dewi Widowati dan Rahmi Mulyasih, Perubahan perilaku sosial masyarakat Baduy
Terhadap Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Universitas Serang Raya, Jurnal
Komunikasi, Volume 3, Sep-Des 2014, h. 4.
11
Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy
Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun
2012, h. 220.
12
Buyut, Ibu Dari Nenek,

16

Semua sistem yang berada di suku Baduy berdasarkan pada Pikukuh
sebuah aturan yang sudah digariskan oleh leluhur masyarakat Baduy, Pikukuh
merupakan prinsip masyarakat

Baduy dalam

menjalankan segala

segi

kehidupannya. Aturan tersebut mengatur mana yang boleh dan tidak boleh,
peraturan ini juga syarat akan suatu kegiatan dalam hitungan bulan tertentu,
termasuk aturan penyelenggaraan perkawianan yaitu pada bulan kelima, keenam
dan ketujuh, dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy menganut sistem
monogami, namun permasalahan yang akan di bahas oleh penulis bukan tentang
sistem perkawinan monogami yang masyarakat Baduy anut. Tetapi bagaimana
ketika perkawinan dari suku Baduy Dalam yang notabenenya menganut paham
Sunda Wiwitan, terjadi perkawinan dengan Baduy Luar yang menganut agama
Islam.
Kejadian ini sangat menarik untuk di ketahui dan di pelajari lebih dalam,
karana pernikahan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar jarang terjadi, namun
ada sebagaian dari masyarakat Baduy yang melakukan perkawinan tesebut. Oleh
karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat kedalam suatu permasalahan
ini, dengan judul
“Tradisi Perkawinan Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda
Wiwitan) Studi Kasus di Desa Kanekes, Kec, Leuwidamar, Kab, Lebak, Banten.

13

Maskur Wahid, Jurnal Wacana, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung
Desa Kanekes Banten.IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten,h. 10.

17

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkembangan Suku Baduy / Sunda Wiwitan di kalangan
masyarakat Baduy (kanekes) ?
2. Bagaimana kedudukan perkawinan Baduy luar (Muslim), dengan Baduy
dalam (Sunda Wiwitan), apakah menggunakan adat Baduy atau Hukum
Islam ?
3. Seperti apa argumentasi ulama dan masyarakat melihat perkawinan
tersebut dalam sudut pandang fiqih?
4. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dimata Hukum?
5. Bagaimana peroses perkawinan tersebut terjadi?
6. Apakah ada kosekuensi apabila mereka melakukan perkawinan tersebut?
7. Bagaimana pandangan para ulama tentang Sunda Wiwitan (Kanaekes)?
8. Adakah syarat-syarat ketentuan ketika terjadinya pernikahan Baduy luar
dengan Baduy dalam?
9. Bagaimana tanggapan pemangku adat suku Baduy tentang perkawinan
tersebut ?
10. Bagaimana proses pernikahan itu berlangsung? Adakah peran KUA dalam
pernikahan tersebut?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar lingkup bahasannya tidak terlalu luas, maka penulis membatasi penelitian
hanya sekitar pernikahan suku Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi

18

Islam, adat, hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan
hukum Islam.
2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian diatas maka penulis akan mengemasnya dalam
bentuk pertanyaan di bawah ini :
a. Bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dan tradisi perkawinan Baduy
Dalam?
b. Bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda
Wiwitan serta penerimaan hukum Islam?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Mengetahui tradisi perkawinan Baduy Luar dan Baduy Dalam
b. Untuk mengetahui bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam
masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan hukum Islam

2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan program
studi penulis, tambahan referensi guna penelitian lanjutan serta kontribusi
untuk data perpustakaan

19

b. Secara praktis. Kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam dan golongan
education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-lembaga yang
menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan aturan
yang ditetapkan
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan Field Reseacrh
(Penelitian Lapangan).14 Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif15
penelitian

Kualitatif

merupakan

penelitian

yang

dilakukan

berdasarkan

paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Persfektif, strategi,
dan model yang dikembangkan sangat beragam.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan etnografi. Etnografi merupaka suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi
kebudayaan.Etnografi berulangkali bermakna untuk membangun suatu pengertian
yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan persfektif orang yang
telah mempelajari kebudayaan itu.16Etnografi menjadi sebuah metode penelitian

Bahrul Ulum, Jurnal ilmiah “Nilai-nilai Demokrasi Dalam pengamgkatan Puun, Pada
Masyarakat Hukum Adat Baduy,2014, h. 3.
15
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta,: Rineka Cipta, 2008,
h.20
16
James P, Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, (
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12.
14

20

yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam
sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu, etnografi dilakukan untuk
tujuan-tujuan tertentu. pertama, untuk memahami rumpun manusia, Kedua,
etnografi ditujukan guna melayani manusia, Metode etnografi adalah prosedur
penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsurunsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan
bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini adalah
budaya.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kanekes Kec, Lewidamar Kab, Lebak
Banten.Pemilihan sampel dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan
keterwakilan etnis, latar belakang sejarah, dan faktor-faktor sosial kultural.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara dikenal pula dengan istilah interview adalah suatu proses
Tanya jawab lisan, dalam mana 2 orang atau lebih berhadapan secara fisik. Yang
satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri dari
suaranya.
Peneliti akan melakukan interview kepada pelaku pernikahan Baduy Luar
dengan Baduy Dalam dan narasumber yang tau dalam hal pernikahan tersebut
Agar peneliti dapat mendapatkan informasi atau data yang cukup untuk
kepentingan penelitian. Maka dari itu peneliti turut keterlibatan langsung dalam

21

masyarakat dalam kurun waktu tertentu agar peneliti mengetahui adat istiadat
masyarakat tersebut dan mendapatkan informen yang pas untuk dilakukan
interview oleh peneliti. Adapun narasumber yang akan peneliti wawancari sebagai
berikut:
1) Jaro Sami
2) Jaro Saija
3) Narwan
4) Yardi
5) Jaro Daenah
6) Ayah Mursid
7) Jaro Saidi Putra
8) H. Abdul Rozak

b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun
mungkin dapat diulang, oleh sebab itu observasi hendanya dilakukan oleh orang
yang tepat.

c. Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan
kepada subyek peneliti dokumen yang diketik dapat berupa berbagai macam, tidak

22

hanya dokumen resmi tapi juga meliputi bahan hukum primer dan hukum
sekunder, juga data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan
dengan tema penelitian ini.
F. Tinjauan Studi Terdahulu
Kajian pustaka atau revieew terdahulu adalah menyediakan informasi
tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan
dengan penelitian yang akan diteliti agar tidak terjadi duplikasi atau pengulangan
dengan penelitian yang telah ada.
Tabel 1.1
Tinjauan Studi Terdahulu

No Aspek Perbandingan
1

Judul Penelitian

Penelitian Terdahulu

Penelitian sekarang

1. Kiki Muhammad

Ayi Rukmana, Tradisi

Hakiki, Identitas

Perkawinan

Agama Orang Baduy,

Luar

Jurnal, Al-

Dengan Baduy Dalam

AdYaN/Vol.VI, No.

(Sunda

Wiwitan),

1/Jan-Juni/2011.

Skripsi,

Kosentrasi

2. Alfian Anwar,

Baduy
(Muslim)

Peradilan

Agama,

Pernikahan

FSH

Jakarta.

Ngarunghal pada

2016.

Masyarajat Desa
Karanggan
Kabupaten Bogor
Utara (Tinjauan
Hukum Islam dan UU

UIN

23

No, 1 Tahun 1994.
Skripsi, Kosentrasi
Peradilan Agama,
FSH UIN Jakarta,
2012
3. Yollanda Octavia,
Resepsi Masyarakat
Kabupaten Leabak
Provinsi Banten
Terhadap Upacara
Seba Suku Baduy,
Jurnal, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas
Dipenegoro
Semarang
4. Risna Bintari,
Sejarah
Perkembangan Sosial
Ekonomi Masyarakat
Baduy Pasca
Terbentuknya
Propinsi Banten
Tahun 2000, Jurusan
Sejarah, Fakultas
Ilmu Sosial,
Universitas Negeri
Semarang. Vol 1 No.
1 tahun 2012 [ISSN
2252-6633]
5. Ira Indrawardana,
Berketuhanan Dalam

24

Perspektif
Kepercayaan Sunda
Wiwitan, Padjadjaran
University, Bandung,
Indonesia, 2014
2

Fokus Penelitian

1. Fokus pada Identitas Fokus pada Tradisi
Agama/ kepercayaan perkawinan
Masyarakat

Baduy Luar dengan Baduy

dan Adat Istiadat.
2. Fokus

pada

pernikahan
Ngarunghal

pada

masyarakat

Desa

Karanggan
Kabupaten

Bogor

Utara.
3. Fokus

terhadap

upacara Seba Suku
Baduy.
4. Fokus

pada

perkembangan sosial
ekonomi masyarakat
Baduy

Pasca

terbentuknya Provinsi
Banten tahun 2000
5. Fokus
berketuhanan

pada
dalam

perspektif
kepercayaan
Wiwitan

Baduy

Sunda

dalam.

25

3

Subjek/Objek

1. Masyarakat

Penelitian

Baduy
2. Masyarakat

Suku Masyarakat

Suku

Baduy
Desa

Karanggan
3. Masyarakat

Suku

Baduy
4. Masyarakat

Suku

Baduy
5. Masyarakat Baduy
4

Metode penelitian

1. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan

2. Penelitian lapangan
3. Penelitian lapangan
4. Penelitian lapangan
5. Penelitian lapangan
5

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Identitas Mengetahui
Agama Suku Baduy
2. Mengetahui

Dalam.

Ngarunghal
3. Mengetahui upacara
Seba Suku Baduy.
4. Mengetahui
perkembangan sosial
ekonomi masyarakat
Baduy.
5. Mengetahui

Wiwitan.

Baduy

tentang Luar dengan Baduy

pernikahan

kepercayaan

perkawinan

tradisi

Sunda

26

Dari beberapa skripsi dan jurnal wacana yang di tulis di atas baik yang di
tulis oleh Alfian Anwar, maupun yang di tulis oleh yang lainnya, dapat
disimpulkan bahwa meskipun skripsi dan jurnal diatas membahas tentang
permasaahan adat suku Baduy, tetapi topik yang di angkat merupakan berbeda
dengan apa yang akan di angkat oleh penulis, beda hal nya dengan skripsi yang
penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah suku Baduy, tetapi cakupan yang
coba penulis analisis adalah perkawinan antara Baduy Luar denagan Baduy
Dalam, dengan demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas
dengan penulis di atas.
G. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengembang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki penjelasan dari masing masing bab
tersebut, Skripsi ini di akhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis
dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan
tersebut ialah sebagai berikut:
BAB 1. Dalam bab ini, dimuat tentang latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian,
review studi terdahulu, dan sistemmatika penulisa.
BAB II. Dalam bab ini, di bahas mengenai pengertian Sunda Wiwitan serta sosial
Budaya masyarakat Baduy

27

BAB III.Dalam bab ini, Membahas Tradisi perkawinan Baduy dan tahapan proses
perkawinan itu sendiri
BAB IV.Dalam bab empat ini, penulis membahas tentang kedudukan perkawinan
Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adt dan hukum perkawinan
Sunda Wiwitan serta analisis penulis tentang perkawinan tersebut.
BAB

V.

Dalam

bab

ini

terdiri

dari

kesimpulan

dan

saran

BAB II
SUNDA WIWITAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL SUKU BADUY
A. Gambaran Umum Desa
Wilayahmasyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5,101,8 hektar, terletak
disebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar pegunungan Kendeng. Secara administrasi
pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan menjadi Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa Kanekes yang luasnya
sekitar 5.102 hektar merupakan wilayah yang berbukit-bukit, berlembah curam,
yang terletak pada ketinggian antara 500-1.200 m. Kampung-kampung Baduy
berada pada ketinggian antara 800-1.200 m. Suhu udaranya sekitar 20-22 C,
keadaan tanahnya selalu basah, lembab, dan berlumut. Sungai-sungai berbatu
membelah hutan dan bukit serta melintasi beberapa wilayah pemukiman di
antaranya Sungai Ciujung, Cibarani, Cimedang, Cibaduy yang mempersulit
pejalan kaki untuk mencapai kampung-kampung tertentu dalam waktu singkat.1
Batas-batas wilayah Baduy sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bojong
menteng, Desa Cisimeut, dan Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar, sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi, Desa Keboncau, dan Desa
Karangnunggal, Kecamatan Bojong Manik, sebelah Selatan berbatasan dengan
Desa Cikate Kecamatan Cijaku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Karangcombong dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sedangkan batas-batas

1

Kusnaka Adimihardja, Orang Baduy di Banten Selatan Manusia air Pemelihara Sunga,
Universitas Padjadjaran, 2000, h.49

28

29

alamnya sebelah Utara adalah Sungai Ciujung, sebelah Selatan Sungai Cidikit,
sebelah Barat Sungai Cibarani, dan sebelah Timur Sungai Cisimeut.
Topografi daerah masyarakat Baduy berbukit-bukit dengan kemiringan
lereng rata-rata 45% sedangkan tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara
300-1200 meter dari permukaan laut dengan suhu berkisar 20°C – 22°C dan curah
hujan berkisar 3000 mm/tahun keadaan tanah dapat dibagi dalam tiga bagian,
yaitu pegunungan vulkanik di sebelah Utara, endapan tanah pegunungan di bagian
tengah, dan campuran tanah pegunungan serta endapannya di bagian Selatan.
Jenis tanahnya berupa latosol coklat, alluvial coklat, dan andosol.
Sebagai suatu Desa, wilayah Baduy atau Desa Kanekes terdiri atas
beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Baduy Dalam
dan Baduy Luar pola letak kampungnya di dekat sumber atau aliran air. Untuk
Kampung yang telah padat dan tidak ada ruang lagi untuk membangun rumah,
dilakukan pengembangan dengan membuat kampung baru, yang ditandai oleh
keberadaan Saung Lisung.Pengembangan Kampung ini hanya terjadi di
pemukiman Baduy Luar, sedangkan di Baduy Dalam jumlah Kampungnya tetep
tidak berubah sepanjang masa, yakni hanya tiga. Bahwa pemukiman Baduy
Dalam disebut sebagai Mandala Baduy yakni perkampungan yang warganya
harus memegang teguh aturan adat atau Pikukuh

yang menjadi inti dasar

kehidupan orang Baduy. Ketiga Kampung ini dikenal juga dengan sebutan tanah
larangan, yang berkaitan dengan indentifikasi teritorial antara Baduy Luar dengan
Baduy Dalam.

30

Jumlah kampung di Baduy pada tahun 2009 sebanyak 58 kampung, 3
kampung di Baduy Dalam dan 55 kampung di Baduy Luar. Pada tahun 2002,
jumlah kampungnya ada 50 kampung, dengan demikian dalam waktu 7 tahun
telah terjadi penambahan kampung sebanyak 8 kampung, yakni Cicatang 2,
Kaduketer 2, Cikadu 2, Cicakal Muara, Cicakal Tarikolot, Ciranca Kondang,
Kenengai, dan Cikulingseng.
Satu kampung di wilayah Baduy ditandai oleh satu buah Saung
lisung2(tempat menumbuk padi) yang terletak di sebelah Utara kampung.
Kampung-kampung yang termasuk ke dalam Baduy Dalam terletak di wilayah
sebelah Selatan. Sedangkan kampung-kampung Baduy Luar terletak disebelah
Timur, Barat, dan Utara. Jarak antara kampung bervariasi antara satu sampai lima
kilometer yang dihubungkan dengan jalan setapak turun naik mengikuti kontur
perbukitan. Batas antara Baduy Dalam dengan Baduy luar disebelah Utara adalah
aliran Sungai Ciujung, di sebelah Barat adalah Gunung Pasir Angin dan Kiara
Lawang.Batas kawasan ini disepakati bersama oleh orang Baduy. Kawasan yang
meliputi luas sekitar 38,7% dari total seluruh wilayah Baduy atau sekitar 1,975
hektar. Sedangkan yang termasuk wilayah Baduy Luar sekitar 61,3% atau sekitar
3,127 hektar.
Di sebelah Selatan wilayah Baduy terdapat mata air Sungai Ciujung yang
merupakan hulu sungai yang cukup besar. Sungai Ciujung, Sungai Cibarani,
Sungai Cibeuneng, Ciparahiang, dan sungai kecil lainnya. Sungai ini mengalir
dari Selatan ke Utara melintas sebagian besar kampung-kampung Baduy, dan
2

Saung Lisung, Tempat Dimana Masyarakt Baduy Menumbuk Padi Atas Hasil Panen
Yang Mereka Dapatkan.

31

terus mengalir melintas ibu Kota Kabupaten Rangkasbitung dan bermuara di
pantai Utara Laut Jawa.Kekuatan hukum setatus wilayah Baduy ditetapkan
dengan peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang
perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Hak ulayat ini merupakan
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 3
B. Sejarah Suku Baduy
Asal usul orang Baduy merupkan bagian dari suku Sunda yaitu suku asli
masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekarang menjadi Provinsi Banten, bahasa
yang digunakan mereka juga bahasa sunda.4Diperkirakan mereka pindah di daerah
terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad 16, seiringan dengan keruntuhan
Kerajaan Pajajaran.Karena pada zaman dahulu sebelum Islam masuk ke Jawa
pengaruh agama Hindu dan Budha semakain kuat, termasuk Kerajaan
Pajajaran.Tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan
masyarakat disana berpindah ke agama Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan
masyarakat disana berpindah ke agama Islam.Ada sekelompok masyarakat yang
Gunggung Senoaji, Jurnal Wacana, “Masyarakat Baduy, Hutan, Dan Lingkungan”
(Baduy Community, Forest, and Environment) Manusia dan Lingkungan, Universitas Bengkulu,
Vol, 17, No,2, Juli 2010, h. 115-117.
4
Farukhi, Mengenal 33 Provinsi Indonesia : Banten, PT Sinergi Pustaka Indonesia:
Jakarta, 2008, h.14-15
3

32

menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian dinamkaan suku Baduy. 5Mereka
juga sering disebut orang-orang Kanekes, bahkan dalam referensi tertentu
menyebut mereka sebagai orang Rawayan.
Tarkait dengan sejarah Baduy memang cukup rumit.Kerumitan itu muncul
karena ada beberapa versi yang masing-masing saling bertentangan.
1. Persfektif masyarakat Baduy
Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy
sebagimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya
tidaklah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang
Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih Khusus dengan menyebut perkampungan
asal mereka seperti, Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu , Urang
Panamping.
Penyematan mereka dengan sebutan Baduy yang sudah memeluk agama
Islam penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang
Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitive, nomaden,
ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan
masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab. Dengan alasan
ini lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan
dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri.
Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy
membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan
alam dengan istilah Baduy, seperti penyebutan gunung yang ada diwilayah Baduy
5

Feri Prihantoro, Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy, Dalam Jurnal Asia
Good ESD Practice Project, BINTARI, (Bina Karta Lestari), Foundation, 2006, h.2

33

dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy. Bahkan menurut
Pleyle kata “Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa
sunda seperti: tuluy, aduy, uruy,
Dalam sumber yang lain penyebutan mereka dengan istilah Baduy,
pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan penjajahan di
Indonesia. Orang belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan

badoe’I,

badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan.
Peneyebutan istilah di atas di dasari oleh beberapa alasan: pertama, istilah
Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi
tempat huniannya, alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung
menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan
tersebut untuk dijadikan pemukiman, kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha
yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, ada juga yang mengatakan
bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” karena di tempat ini lah banyak
ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin.Keempat, pendapat yang lain juga
muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil di ambil dari bahasa Arab Badui yang
berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir. Yakni
berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu
tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan
hidup dalam hal ini keberadaan pangan.
2. Perspektif ahli sejarah

34

Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul
mereka.Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi
prihal sejarah awal Baduy.
Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat
Baduy berasal dari kerajaan padjajaran. Pada sekitar abad ke -12 dan ke- 13 M,
kerajaan pajajaran menguasai seluruh tanah pasundan meliputi Banten, Bogor,
Priangan sampi ke wilayah Cirebon. Saat itu Kerajaan Padjajaran dikuasi oleh
Raja bernama Prabu Bramaya Maisatandrama atau yang lebih dikenal dengan
gelar Prabu Siliwangi.
Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke 17 M antara kerajaan Banten
melawan kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu
Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak
Karena itu lah Sang Perabu Pucuk Umun dengan beberpa punggawanya melarikan
diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini lah kemudian mereka hidup menetap
dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku
Baduy.
Versi Kedua, berbeda dengan pendapat pertama di atas, komonutas Baduy
bukanlah berasal dari sisa-sisa kerajaan Padjajaran yang melarikan diri, melankin
penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat
terhadap pengaruh luar. Pendapat ini hamper sama dengan pendapat yang diyakini
oleh masyarakat Baduy sendiri yang mengatakan bahwa mereka adalah
masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh raja, untuk melakukan

35

mandala6(kawasan yang suci) di daerah kebuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang ) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di
diami oleh masyarkat Baduy.
Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah
masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan
sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahwa bertolak belakang. Menurut
catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan
perjalanan cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku
Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke- 16 bepusat di pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang).
Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten
oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa
ini merupakan salah satu bagian terpenting dari kerajaan Sunda.Wilayah Banten
pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni
pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan
melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan
sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi
dari wilayah pedalaman Banten. Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut
(Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian
sungai perlu dipertahankan dengan alasan itu lah, maka sangat terlatih untuk

6

Mandala, Kawasan Suci Atau Tempat Pemujaan Masyarkat Baduy.

36

menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut membuat
mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan alasan ini, maka
para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat suku Baduy yang
sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung
Kendeng tersebut berasal7
Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat sebagian pengamat suku
Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, sebagai alasan untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari
serangan musuh-musuh Padjajaran dan Banten.
Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masing-masing
(masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri yang satu sama
lainnya menganggap benar karena itu, langkah yang bijak adalah memberikan
perbedaan pendapat itu sebagai sebuat realita sejarah yang menarik dan unik.8
C. Adat Istiadat
Suku Baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu tidak
mengenal perubahan seperti masyarakat modern yang selalu mengikuti
perkembangan zaman. Uniknya Suku Baduy ada di tengah-tengah masyarakat
modern yang seiring perkembangan zaman bertambah pula gaya hidup praktisnya.

7

Kusnaka Adimihardja, Dinamika Budaya Lokal, (Bandung; Pusat Kajian LBPB, 2008),

h. 123.
8

Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy,Al-AdYaN/Vol, VI, No, 1/JanJuni/ 2011, h. 86-91.

37

Lain hal dengan masyarakat modern di sekeliling suku Baduy.suku Baduy
merupakan generasi yang hidup penuh dengan kesederhanaan, ketaatan,
keikhlasan, dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta amanat
leluhurnya. suku Baduy menyadari demi tetap tegak berdirinya kesukuan mereka
maka adat istiadat dan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan dengan
diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan
mengikat.9
Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar
kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda
yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau “Orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda Banten.Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah.Orang Kanekes dalam, tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat

Yollanda Oktavia, Jurnal Wacana, “Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi
Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy” Universitas Dipenegoro Semarang, h. 4.
9

38

istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja.10
Masyarakat Baduy yang terdiri atas tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping dan dangka.Kelompok tangtu adalah kelompok yang disebut dengan
kelompok Baduy Dalam yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti
peraturan adat.Pada kelompok ini terdapat tiga kampung yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik.Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian yang
berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih.
Kelompok kedua adalah Panamping atau yang sering disebut

dengan

Baduy Luar. Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian dan ikat kepala warna
hitam.Wilayahnya Baduy Luar mengelilingi Baduy Dalam seperti Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.Kelompok ketiga
adalah Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti
Baduy Dalam dan Luar.Saat ini hanya ada 2 kampung yang tersisa yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Adapun keunikan yang ada di dalam berbagai unsur kegiatan sehari-hari,
mulai dari cara berpakaian, cara bertani, bersosialisasi dan lain sebagainya.
Adapun keunikan tersebut antara lain:
1. Tata cara berpakaian
Cara berpakaian orang Baduy menunjukan jati diri mereka sebagai
kelompok Baduy Luar atau Baduy Dalam.Masyarakat Baduy Luar mengenakan
Ita Suryani, Jurnal Wacana, “Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku
Baduy”, Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika, Vol, 13, No, 2 Desember 2014, h. 180181.
10

39

pakaian berwarna gelap, sedangkan Baduy Dalam mengenakan pakaian berwarna
putih alami. Masyarakat Baduy Dalam mengenakan celana tanpa dijahit dan
hanya dikuatkan dengan kait pengikat berwarna putih yang berfungsi sebagai
penguat untuk masyarakat Baduy Luar mereka sudah mengenakan pakaian yang
dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakaian yang sudah jadi.
2. Cara menanam padi
Masyarakat Baduy hanya menanam satu kali dalam setahun, tidak seperti
petani padi di Indonesia pada umumnya yang dapat menanam lebih dari satu kali
dalam setahun.Oleh sebab itu, masyarakat Baduy hanya mengalami satu kali
panen.Biasanya masa penentuan padi dilakukan menjelang musim penghujan tiba,
serta tanaman padi di tanam di daerah berbukit dan terjal.
3. Bentuk rumah dan proses pembuatannya
Bentuk rumah masyarakat Baduy sangatlah sederhana, terbuat dari bahanbahan seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bamboo, atap rumbia, genting
ijuk dan lain-lain yang sangat sederhana dengan semua rumah menghadap ke arah
utara selatan secara logika memiliki proses pergantian dan penyinaran matahari
yang sangat baik. Pada pagi hari sinar matahari masuk dari arah timur dan saat
sore hari matahari masuk dari arah barat. Proses pembuatan rumah/membangun
rumah selalu dikerjakan secara gotong royong. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat Baduy memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi.
4. Kepatuhan masyarakat terhadap aturan adat

40

Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy,
yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan Negara Indonesia dan
struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh
masyarakat.Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi
perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan
tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai terhadap
kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau
permasalahan yang di hadapai dalam kehidupan sehari-hari
Dalam pemerintahan nasional penduduk di Kanekes ini di pimpin oleh
Jaro Pamarentah.Secara administratif Jaro Pamarentah itu bertanggung jawab
terhadap sistem pemerintahan nasional yang ada di atasnya yaitu camat, tetapi
secara adat bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi adat yaitu Puun.Puun
dianggap pemimpin tertinggi untuk megatasi semua aspek kehidipan di dunia dan
mempunyai hubungan dengan karuhun.Dalam kesatuan Puun tersebut terdapat
senioritas yang ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam
pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan Puun memiliki kekusaan dan
kewibawaan yang sangat besar.Sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya
dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Bagi orang Baduy
seorang pemimpin dalam pemerintahan berasal dari keturunan para Puun yang
artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat.
5. Cara hidup tradisional
masyarakat Baduy yang sederhana dan penuh toleransi lebih melihat
kehidupan jauh kedepan, sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Proteksi

41

terhadap lingkungan ditujukan untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya
tetap utuh dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri pandangan mereka dalam
kelestarian

lingkuangan,

sama

dengan

pemikiran

dalam

pembangunan

berkelanjutan dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau
perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan
mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya.
Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan memicu kepunahan
suku Baduy. Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar
yang berusaha merusak lingkungan mereka.
Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar banyak upaya yang
dilakukan mereka dari yang besifat represif maupun preventif beberapa usaha
preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan tidak menerima bantuan
pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat merusak kondisi
lingkungan atau tatanan sosial mereka.Selain itu mereka juga terus mendesak
pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka
sebagai kawasan yang dilindungi dan didukung dengan peraturan yang diterbitkan
oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy.Dalam kaitannya
dengan usaha represif mereka secara tegas langsung menindak siapa saja yang
berusaha merusak lingkungan mereka.
Untuk mengendalikan penggunaan lahan oleh masyarakat, di Baduy tidak
ada kepemilikan lahan.Lahan disana merupakan tanah adat yang digunakan secara
bersama-sama.Di wilayah Baduy Dalam tidak ada sistem jual