Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Putusan No. 93/Puu-X/2012 Mahkamah Konstitusi)

IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
(Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh
Fajar Misbahul Munir
NIM: 108044100023

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JA K A RT A
1435 H/2014 M

IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
(Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh

Fajar Misbahul Munir
NIM: 108044100023

Pembimbing

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
NIP. 197608072003121001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JA K A RT A
1435 H/2014

PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH(Analisis
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi) telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
Jakarta, 28 Januari 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M
NIP. 195505051982031012


PANITIA UJIAN
1. Ketua

: Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A.
NIP. 195003061976031001

(…………………….)

2. Sekretaris

: Rosdiana, M.A.
NIP. 196906102003122001

(…………………….)

3. Pembimbing

: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
NIP.197210161998031004


(..………...................)

4. Penguji 1

: Ali Mansur, M.A.

(…………………….)

5. Penguji 2

: Dr. Hj. Mesraini, M.A.
NIP. 197602132003122001

(…………………….)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 28 Januari 2014

Fajar Misbahul Munir

iv

ABSTRAK
Nama
NIM

Jurusan/Kon
Kata Kunci

:Fajar Misbahul Munir
:108044100023
:Hukum Keluarga/Peradilan Agama
:Perbankan Syariah, Pilihan Forum, Non Litigasi, Mahkamah
Konstitusi

Tulisan ini mengangkat tentang pilihan forum khususnya menyoroti
penyelesaian non litigasi pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012. Putusan tersebut merupakan jawaban atas pengujian materi pasal 55
ayat (2) dan (3) Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD
1945. Pembahasan utama yang diangkat adalah implikasi putusan terhadap ketentuan
penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pilihan forum secara non litigasi.
Pasal yang diujikan ini telah lama menjadi sorotan oleh para akademisi, praktisi
maupun warga pengguna ekonomi syariah lantaran mengakibatkan ketidakpastian
hukum. Lantas bagaimana dampak yang terjadi setelah putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap ketentuan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
secara non litigasi.

Dalam penyajiannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dimulai
dari penyajian mengenai asas kebebasan berkontrak menurut hukum perdata serta
hukum perdata Islam. Selanjutnya penulis sajikan tentang alternatif penyelesaian
sengketa perbankan syariah di Indonesia. Gambaran umum, latar belakang judicial
review pun penulis paparkan guna melihat duduk perkara. Lalu dipertajam oleh
pandangan ahli melihat problematika pasal yang diuji tersebut. Kemudian diakhiri
dengan analisis dampak dan kesimpulan dari putusan tersebut. Data-data yang
digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara
dengan Hakim Konstitusi yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis. Sesuai
dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik
secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal tersebut tidak lagi
mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali.
Namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di Peradilan
Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan
Agama (non litigasi) dapat dibenarkan bilamana ada kesepakatan tertulis terlebih
dahulu diantara para pihak. Sedangkan bentuk penyelesaian dengan mekanisme
perdamaian (non litigasi) pasca putusan MK ini tidaklah dibatasi. Artinya semua
bentuk alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui non litigasi baik
yang dilaksanakan di dalam maupun di luar pengadilan berupa mediasi, negosiasi,

konsultasi, fasilitasi, arbitrase, konsiliasi maupun pendapat ahli tidaklah menjadi
masalah, selama pilihan forum penyelesaian tersebut telah disepakati kedua pihak dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kita haturkan kedapa Allah SWT atas nikmat
tak tergantikan yang diberikan kepada kita. Yaitu Islam sebagai ajaran yang benar
dan Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang mulia. Semoga dengan mensyukuri
segala kenikmatanNya, kita semua senantiasa dalam lindungan dan hidayahNya. Dan
dengan semakin banyak kita bershalawat kepada RasulNya, semakin besar pula
harapan kita mendapat naungan syafaatnya di hari akhirat kelak. Amin.
Selanjutnya penulis bersyukur atas selesainya penulisan skripsi ini guna
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah
Konstitusi)”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari betul bahwa masih banyak

kesalahan, kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu besar harapan penulis
ini bukan karya paripurna. Melainkan karya pembuka untuk membuat karya ilmiah
yang lebih sempurna pada tingkat selanjutnya. Tak ada gading yang tak retak. Tak
ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
semata.

vi

Selanjutnya penulis sampaikan, sejak awal masa studi hingga akhir
menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak terlepas berkat dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1.

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., M.A., dan Hj. Rosdiana, MA, Selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

3.

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku pembimbing yang dengan berbagai
kesibukannya masih sempat untuk berdiskusi dan memeriksa skripsi penulis serta
memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4.

Dr. Fuad Thohari, M.Ag selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa
memberikan arahan selama masa studi.

5.

Seluruh staff pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi
sepanjang penulis berada di sini.

6.


Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan hukum yang telah memberikan fasilitas
referensi buku-buku dalam studi kepustakaan.

7.

Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum., Hakim Mahkamah Konstitusi
yang telah memberikan informasi serta masukan kepada penulis.

vii

8.

Teristimewa untuk ayahanda Drs. H. Saiful Munir dan ibunda Dra. Hj. Siti Nur
Puji Utami tercinta atas doa, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan baik
moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan studi. Hanya doa
yang ananda bisa berikan serta ridho yang selalu ananda harapkan. Dan untuk
kakakku Kharisma Dyah Utami serta adikku Triana Nurbaity atas perhatian dan
dukungan yang diberikan.

9.

Keluarga besar Peradilan Agama angkatan

2008 atas persahabatan dan

pembelajaran bersama, Keluarga besar UKM HIQMA atas jalinan silaturahmi
dan bekal organisasi, Warga Komplek BPKP Situgintung atas kekeluargaan yang
terbina, Keluarga besar PSC atas pengalaman dan pelatihan, Keluarga besar
Ikamaksuta Jakarta dan semua pihak yang pernah mengenal, akrab dan bahkan
turut serta memberikan kontribusi kepada penulis baik moril maupun materiil
yang tidak bisa penulis sebut satu persatu walaupun tanpa mengurangi hormat
dan terimakasih penulis.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan mudah-mudahan kebaikankebaikannya dapat diterima dan dibalas Allah SWT.

Jakarta, 24 Januari 2014
Penulis

Fajar Misbahul Munir

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………..

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

iii

LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………

iv

ABSTRAK…………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR………………………………………………………

vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………….... ix

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………...

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………..

9

D. Metode Penelitian …………………………………….. 10
E. Review Terdahulu …………………………………….

13

F. Sistematika Penulisan ………………………………… 14
BAB II

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
A. Sejarah dan Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak…. 17
B. Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Per…...……. 25
C. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Hukum Perdata
Islam…………………………………………………...

ix

28

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
MELALUI NON LITIGASI
A. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia………………………………………………

33

B. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam
Hukum Islam……….........................................................

BAB IV

51

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO 93/PUU-X/2012 TENTANG PENGHAPUSAN
PILIHAN FORUM
A. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi…….

60

B. Problematika Pilihan Forum Dalam Pasal 55 Ayat 2
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Menurut Ahli. 64
C. Analisis

Penulis

terhadap

Putusan

Mahkamah

Konstitusi beserta Implikasinya.………………………

BAB V

71

PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………… 80
B. Saran-Saran……………………………………………

83

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..

85

LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………….. 91

x

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan ekonomi syariah merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya serta perilaku muslim
dengan mengikuti al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Lembaga keuangan yang
melakukan aktivitas ekonomi syariah ini diantaranya Perbankan Syariah.1
Perkembangan bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam
mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, kendati gagasan
dan wacana bank syariah di Indonesia muncul pada tahun 70-an akan tetapi
pada saat itu upaya pendirian bank syariah belum dapat terealisasi. 2 Akibatnya
perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia dapat dikatakan terlambat jika
dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
muslim. Akhirnya pada tahun 1991 dibentuk suatu akta pendirian PT. Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1990 yang menginginkan adanya pendirian
bank syariah di Indonesia.3

Euis Amalia, M. Taufiki dan Dwi Nur’aini Ihsan, Buku Modul Praktikum Bank Mini,
Konsep dan Mekanisme Bank Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), h.7.
2
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), Cet. Ketiga, h. 58.
3
Muhammad Syafiie Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan,
(Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 278.
1

1

2

Bank syariah secara yuridis juga diperkenalkan pada tahun 1992 sejalan
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Kemudian secara tegas aturan Perbankan Syariah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Seiring dengan semakin berkembangya Perbankan Syariah di Indonesia,
maka dibutuhkan regulasi yang jelas dalam mengaturnya. Penegasan adanya
prinsip syariah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, merupakan salah satu regulasi yang membedakan antara bank
konvensional dengan bank syariah. Salah satu regulasi yang menonjol
perbedaannya antara bank konvensional dan bank syariah adalah mengenai
penyelesaian sengketanya.
Beberapa sengketa yang sering terjadi dalam perbankan syariah
diantaranya seperti adanya ingkar janji (wan prestasi), pertikaian-pertikaian
dan kesalahfahaman. Di samping itu permasalahan yang terjadi dalam
perkembangan ekonomi syariah diantaranya:4 pertama, permasalahan dalam
formulasi akad dimana praktik di lapangan antara bank dan lembaga keuangan
syariah belum memiliki format akad yang baku. Kedua, belum adanya
kejelasan mengenai pembuatan akad syariah, apakah akad tersebut harus

Hermansyah, “Tiga Masalah Fundamental Yang Mengganjal ” artikel diakses pada
senin,
02
September
2013
14:46
dari
http://pa-banjarbaru.Pta
Banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_berita&id=132.
4

3

notariil atau hanya sekedar perjanjian dalam asuransi antara penanggung dan
tertanggung. Ketiga, mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Dalam perjalanan sejarah perbankan syariah di Indonesia, penyelesaian
sengketa ekonomi syariah setidaknya dapat dilakukan oleh tiga lembaga yang
telah memiliki kompetensi untuk menanganinya yaitu Basyarnas, Pengadilan
Negeri dan yang sekarang adalah Pengadilan Agama. Dua lembaga yang
terakhir ini merupakan lembaga peradilan yang sering disebut dengan proses
litigasi. Sedangkan satu lembaga lainnya adalah proses penyelesaian yang
dilakukan diluar pengadilan yang sering disebut dengan proses non litigasi.
Keberadaan lembaga Arbitrase diakui secara yuridis oleh UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, demikian juga kewenagan
Arbitrase menangani sengketa Perbankan Syariah juga didasarkan atas
kesepakatan

ketika

berakad

atau

membuat

perjanjian

pactum

de

compromittendo (sejak awal sebelum terjadi sengketa) atau acta kompromis
(setelah terjadi sengketa).5
Selain Arbitrase, Peradilan Umum juga memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah dengan merujuk Pasal 50
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan
bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

5

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Lampiran UU No. 30 Tahun
1999, h. 50-51.

4

menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama. Sejak
lahirnya Perbankan Syariah (kelahiran Bank Muamalat Indonesia tahun 1991),
Peradilan Umum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan Perbankan
Syariah.6
Sedangkan Peradilan Agama, baru pada tahun 2006 mulai mendapatkan
kewenangan menangani sengketa Perbankan Syariah. Kewenangan ini mulai
beralih dari Peradilan Umum menjadi kewenangan Peradilan Agama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan
Pasal 49 dijelaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: a. perkawinan, b.
kewarisan, c. wasiat, d. hibah, e.wakaf, f. zakat, g. infak, h. sedekah dan i.
ekonomi Islam.7 Dengan demikian sudah jelas bahwa kewenangan Peradilan
Agama sudah sampai pada kasus sengketa ekonomi syariah.
Dengan demikian Peradilan Negeri tidak lagi memilki wewenang
sengketa ekonomi syariah. Akan tetapi dalam sengketa yang berkaitan dengan
hak milik atau sengketa keperdataan antara lain orang yang beragama nonIslam mengenai sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-

6

Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum yang kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
7
Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006), h. 106.

5

Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih terkait dengan
Peradilan Umum.8
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan

Syariah,

selain

Peradilan

Agama

kewenangan

untuk

menyelesaikan sengketa perbankan syariah juga dapat dilakukan oleh
Arbitrase dan Peradilan Umum. Sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 menyebutkan9:
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
3. Penyelesaian sebagaimana yang dimaksud ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut disebutkan10:
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah
b. Mediasi Perbankan;
c. Melalui badan Arbitase Syariah (Basyarnas) Atau lembaga arbitase lain;
dan atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
Namun terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013,
penjelasan pasal ini tidak lagi berlaku.11 Mahkamah Konstitusi, melalui
8

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia,
(Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 145.
9
Tim Redaksi Focus Media, Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Surat Berharga
Syariah Negara, (Jakarta: Focus Media 2008), h. 71.
10
Ibid., h. 122-113.

6

Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 55
Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.12
Penjelasan pasal tersebutlah yang selama ini menjadi biang kemunculan
pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum).13 Lalu bagaimana implikasi
dari penghapusan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
tersebut?
Problem inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dan mengambil dari putusan Mahkamah Konstitusi yakni Putusan
Nomor 93/PUU-X/2012. Penelitian ini sesuai dengan latar belakang akademik
penulis yaitu Peradilan Agama.
Dengan adanya ketidakpastian kewenangan penyelesaian sengketa
perbankan syariah ini, penulis ingin melihat bagaimana implikasi putusan
pengujian ketentuan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
yang sangat multitafsir ini, akhirnya dapat diselesaikan Mahkamah Konstitusi
melalui putusannya Nomor 93/PUU-X/2012.

11

Pencantuman waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian
penutup putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
12
MK Kabulkan Pemohon Terkait UU Perbankan Syariah diakses pada hari senin, 02
September 2013 14:35 dari http://ekonomisyariah.info/blog/2013/08/30/mk-kabulkanpemohon-terkait-uu-perbankan-syariah/.
13
Ahmad Z. Anam, M.S.I. (Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri. Mentor: Drs.
H. Imam Asmu’i, S.H), Tantangan dan Strategi Pengadilan Agama dalam Merespon Amanat
Konstitusi yang Memberikan Kewenangan Penuh untuk Mengadili Sengketa Perbankan
Syari‟ah,
diakses
pada
senin,
02
September
2013
14:35
dari
pakedirikab.go.id/utama/index.php?option=com_content&view=article&id=173:pengadilanagama-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-93puu-x2012&catid=62:berita-original.

7

Dari beberapa persoalan diatas penulis ingin menuangkan dalam sebuah
karya tulis ilmiah dengan judul: “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum
Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)”.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan skripsi ini penulis membatasi
hanya pada kajian Putusan. Putusan yang dimaksud adalah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Fokus pengamatan
penelitian ini adalah pada implikasi penghapusan penjelasan pasal 55 ayat
(2) UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Adapun yang penulis maksud dengan implikasi adalah akibat hukum.
Yaitu dampak yang terjadi dalam ketentuan pilihan forum penyelesaian
sengketa perbankan syariah dalam penyelesaian sengketa secara non
litigasi.
2. Perumusan Masalah
Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

kewenangan absolut Peradilan Agama jelas meliputi ekonomi syariah.
Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 55
ayat (2) membuka jalan penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan

8

pilihan forum sesuai akad. Sehingga perkara perbankan syariah ini masih
mungkin ditangani lembaga di luar Pengadilan Agama.
Kemudian setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di
mana penjelasan Pasal 55 ayat 2 mengenai pilihan forum (choice of forum)
dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum

mengikat. Maka,

bagaimana kedudukan pilihan forum setelah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Apakah pilihan forum yang tercantum dalam
penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syariah lantas semua terhapus
dan tidak berlaku? Atau hanya forum litigasi saja yang terhapus, guna
mengembalikan kewenangan yuridis Peradilan Agama saja, sehingga
lembaga non litigasi yang tercantum dalam penjelasan pasal masih bisa
dijadikan alternatif penyelesaian? Atau mungkinkah terbuka peluang
untuk penyelesaian sengketa melalui non litigasi dalam bentuk apapun
(tanpa melihat apakah sebelum putusan MK tercantum pada penjelasan
pasal 55 atau tidak)
Maka dari rumusan yang dikemukakan diatas dapat dirinci
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut
hukum Islam?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui non
litigasi di Indonesia?

9

3. Apa implikasi dari penghapusan penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 terhadap penyelesaian
sengketa perbankan Syariah, khususnya dalam penyelesaian
melalui non litigasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa perbankan
syariah menurut hukum Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa perbankan
syariah di Indonesia melalui non litigasi.
3. Untuk mengetahui implikasi dari penghapusan penjelasan Pasal 55
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah, khususnya dalam
penyelesaian melalui non litigasi pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:

10

1. Untuk menambah ilmu dan wawasan intelektual bagi mahasiswa
ataupun masyarakat yang membaca hasil penelitian ini khususnya
bagi penulis.
2. Memberikan satu karya ilmiah bagi civitas akademika Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dapat memberikan pengetahuan mengenai Ekonomi Syariah,
khususnya dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
melalui non litigasi.

D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kualitatif gabungan dari field research dan
kajian pustaka. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilakan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan prilaku yang
diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.14 Field research adalah
penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data
lapangan15 yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Kajian kepustakaan

14

Arief Furqan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomologis
Terhadap Ilim-Ilmu Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h. 21-22.
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 234.

11

adalah pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan
dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisa data-datanya.

2. Data dan Sumber Penelitian
a. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
berupa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dan
dari responden yaitu hakim Mahkamah Konstitusi melalui wawancara.
Data sekunder diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian, makalahmakalah seminar, jurnal, sumber dari internet serta literatur lainnya
yang berkaitan dengan topik judul skripsi ini.
b. Sumber Penelitian
Sumber penelitian yang digunakan adalah sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber hukum yang
mengikat seperti peraturan perundang-undangan.16 Sedangkan sumber
sekunder adalah sumber hukum yang memberikan penjelasan sumber
hukum primer17 seperti buku-buku, hasil penelitian dan litaratur
lainnya.

16

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan
Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 13.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan
Singkat, h. 13.

12

3. Tehnik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam (indepth interview) yaitu merupakan sebuah
percakapan antara dua orang atau lebih18 untuk memperoleh
keterangan data secara lisan melalui tanya jawab yang berupa
wawancara dengan hakim Mahkamah Konstitusi.
b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabelvariabel yang berupa buku-buku, hasil penelitian, makalah-makalah
seminar, jurnal, catatan-catatan, dan artikel-artikel, dan juga sumbersumber dari internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa,
mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang permasalahan yang
diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
suatu gejala tertentu.19

Dari gambaran ini dapat diperoleh data yang

kemudian dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan data yang ada,
yang akhirnya diambil kesimpulan.

18

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, cet. Ke-1, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), h. 130.
19
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, cet.
ke-dua, h. 104.

13

5. Tehnik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan adalah
berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan
oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.20

E. Review Terdahulu
Dalam pembahasan tentang perbankan syariah di Indonesia terutama
kewenangan dan problematika prosedur penyelesaiannya, penulis menelusuri
beberapa skripsi yang ada di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah. Diantara
karya-karya yang penulis telusuri adalah sebagai berikut:
Nama/Kon/Fak
/Thn/ Judul

No
1.

Substansi

Perbedaan

Muhammad Dani,

Pada skripsi ini

Dalam hal ini

Jurusan Perbankan

menjelaskan

penulis

Syariah, Syariah

tentang tinjauan

menitikberatkan

dan Hukum UIN

hakim tentang

mengenai implikasi

Jakarta, 2008

pilihan pihak yang

dari Putusan

dengan Judul:

berperkara dalam

Mahkamah

Persepsi Praktisi

penyelesaian

Konstitusi terkait

Perbankan Syariah

sengketa ekonomi

pilihan forum non

Terhadap Pilihan

syariah antara

litigasi dalam

Penyelesaian

Basyarnas dan

sengketa perbankan

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, “Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”,
(Jakarta:Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, PPJM Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta).
20

14

Sengketa Antara

2.

Peradilan Agama.

syariah pasca

Basyarnas dan

putusan Nomor

Peradilan Agama.

93/PUU-X/2012.

Fahmi Firmansyah,

Skripsi ini

Dalam hal ini

Jurusan Peradilan

membahas

penulis

Agama, Syariah

eksistensi

menitikberatkan

dan Hukum UIN

peradilan agama

mengenai implikasi

Jakarta, 2013

serta peran dan

dari Putusan

dengan Judul:

langkah yang

Mahkamah

Eksistensi

disiapkan Hakim

Konstitusi terkait

Peradilan Agama

Peradilan Agama

pilihan forum non

Pasca Putusan

setelah putusan

litigasi dalam

Mahkamah

tersebut.

penyelesaian

Konstitusi Nomor

sengketa perbankan

93/PUU-X/2012.

syariah pasca
putusan Nomor
93/PUU-X/2012.

F. Sistematika Penulisan
Dalam memaparkan penelitian ini kedalam bentuk penulisan, maka
penulis

menyusunnya

secara

sistematis

guna

memudahkan

dalam

menganalisis suatu masalah. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai
berikut:
Bab satu dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengemukakan tentang
ekonomi syariah beserta perkembangannya disertai dengan permasalahan

15

penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang ada di Indonesia. Setelah itu,
dikemukakan batasan dan rumusan permasalah pada skripsi ini. Kemudian
dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review
terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang asas kebebasan berkontrak yang di dalamnya
dijelaskan tentang sejarah dan pengertian asas kebebasan berkontrak, asas
kebebasan berkontrak dalam KUHPer dan asas kebebasan berkontrak dalam
hukum Islam.
Bab tiga membahas tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah
melalui non litigasi, di dalamnya memuat alternatif penyelesaian sengketa
perbankan syariah di Indonesia dan penyelesaian sengketa perbankan syariah
menurut hukum perdata Islam.
Bab empat mengemukakan mengenai hasil penelitian penulis terhadap
hakim Konstitusi tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya
terkait pilihan forum non litigasi. Kemudian akan dikemukakan analisis
putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 yang menguji pasal 55
ayat 2 UU No 21 tentang Perbankan Syariah. Pembahasan pada bab ini akan
diperoleh kedudukan pilihan forum, khususnya melalui non litigasi serta
persepsi hakim Mahkamah Konstitusi tentang penyelesaian sengketa
perbankan Syariah pasca putusan.

16

Bab lima, disajikan penutup berupa kesimpulan dari data dan kajian yang
telah diolah dan dianalisis menjadi pokok permasalahan. Selain itu,
kesimpulan ini juga disertai saran-saran yang berhubungan dengan kajian ini.

BAB II
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
A. Sejarah dan Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
1.

Sejarah Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusi untuk

mewujudkan kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang
berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai
indikator untuk mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan
memperoleh kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu.
Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi
sangat berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan
bagian terbesar dari kewenangan hukum yang mengaturnya,1 di sinilah terlihat
hubungan ekonomi dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum
berlainan bidangnya, tetapi kedua bidang ini saling membutuhkan dan
melengkapi satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam
Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta
kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan
berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang

1

Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum, yaitu hukum
tentang apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik anda. Save M.Dagun,
Pengantar Filsafat Ekonomi, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), h. 82.

17

18

dapat dijadikan objek perdagangan (in de handel).2 Oleh karena itulah,
perjanjian merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari
dan untuk seseorang.
Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai
realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya
adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Di sinyalir bahwa
kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III KUHPerdata
berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara embrional lahir
dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat
pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot (Grotius), Thomas
Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode
setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam
memenuhi kebutuhannya.3
Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi
kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau
ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana
kebebasan seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh faham atau
ideologi yang dianut suatu masyarakat. Pada saat lahirnya asas kebebasan
2

Pasal 1332 KUH,Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah semua benda
yang dapat diperdagangkan yang berarti sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,
(Bandung: Alumni: 1981), h. 118-119. Lihat juga Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B,
(Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1969), h., 9.

19

berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya
kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa
keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini terjadi
karena adanya pengaruh ideologi individualisme.
Pengaruh faham individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah
memberi peluang yang cukup luas atas isi asas kebebasan berkontrak
sedemikian bebasnya dan sangat kuat dalam melindungi kepentingan individu.
Namun dalam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan
sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih setelah perang
dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan zaman baru dalam
hukum, demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat
terasa pada isi dari asas kebebasan berkontrak.4 Asas kebebasan berkontrak
mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris sebagai awal
dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of
contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum, yaitu:5
a.

Asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syaratsyarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut tidak
membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
4

Mahadi, Hukum Sebagai Sarana Mensejahterakan Masyarakat, (Medan: USU Press,
1985), h. 2-3.
5
Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari
kreditur dan debitur, makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di
Surabaya pada tanggal 27 April 1993, h. 2.

20

syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.
Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan
sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.
b.

Asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut
hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut
Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. Asas kebebasan

berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir
semua sistem hukum.6 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum
utama dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal
dalam civil law system maupun dalam common law system, bahkan dalam
sistem hukum Islam.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan
dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang
untuk pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman

6

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), 38. Lihat juga Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan
Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan,
2003, h. 49.

21

Romawi oleh Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533,
bagian Institutiones.7
Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law:8
1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak
menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if
he didnot chose todo so);
2. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat
kontrak (everyone had a choice of persons with whom he could contract);
3. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could
make virtually any kind of contract);
4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang
dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they
chose).
Asas kebebasan berkontrak ini juga pada era globalisasi telah disepakati
sebagai suatu asas hukum dapat dilihat dalam:9
The Unidroit Principles of International Institute Contract yang
diselesaikan penyusunannya oleh The International Institute for the
univication of Private Law (UNIDROIT) di Roma pada bulan Mei 1994
memuat kebebasan berkontrak sebagai suatu asas dan diatur di dalam
Pasal pertama. Selain itu, Commission on Europen Contract Law, sebuah
badan yang beranggotakan para ahli hukum dari European Community
(sekarang Uni Eropa) telah pula menyelesaikan The principles Of
Johannes Gunawan, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak” dalam Sri
Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70
Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, (Bandung: Aditama, 2008), h. 259.
8
Ibid., h. 265.
9
Ibid., h. 258.
7

22

European Contract Law pada tahun 1998 pada Pasal 1.102 mengatur
tentang kebebasan berkontrak sebagai suatu asas.
Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan
pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian
dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang
akan dilakukan. Berdasarkan prinsip asas inilah maka Buku III KUHPerdata
menganut sistem terbuka.
Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang
digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak
kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam
KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan
kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam
praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan
manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat
penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh
hak kepemilikan.

2. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
Walaupun banyak persetujuan-persetujuan yang belum diatur dalam
undang-undang, akan tetapi karena BW menganut azas kebebasan berkontrak,
yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat persetujuan

23

apapun selain yang diatur oleh undang-undang, maka tidak tertutup
kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan
tersebut.10
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai
adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan
yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan
kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Subekti menyatakan bahwa, cara menyimpulkan asas kebebasan
berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan
pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan
bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu
akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan

10

Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: BinaCipta, 1979), h. 10-11.

24

terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum
dan kesusilaan".11
Mariam

Darus

Badrulzaman

mengemukakan

bahwa "Semua"

mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal
maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak
(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan
menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang
diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan
mengikat.12
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa
setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi
dan macam apapun asal tidak bertentangandengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum.13Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan oleh
pembentuk undang-undang dalam Pasal 1338 ayat 1 BW.Dalam hukum
perdata asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III BW ini merupakan
sistem (maeriil) terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut
Buku II BW.14
Bahwa dengan kebebasan

membuat perjanjian tersebut berarti orang

dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang diatur dalam Buku III BW
11

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1983), Cetakan Keenam Belas, h. 5.
12
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001), Cetakan Pertama, h. 84.
13
Subekti, HukumPerjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), cet. VI, h. 13.
14
Ibid., h. 13.

25

akan tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat
sacara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat 1 BW). Namun kebebasan berkontrak bukan berarti boleh
membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus
tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik
syarat umum sebagaimana disebut Pasal 1320 BW maupun syarat khusus
untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Sistem ini mengandung konsekuensi dibabaskannya orang membuat
perjanjian jual beli menurut kehendak kedua belah pihak meskipun isi
perjanjian itu tidak diatur undang-undang atau bahkan menyimpang dari
undang-undang.
B. Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Pengaturan hukum perdata Indonesia masih mengacu apa yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berlakunya ketentuan ini
secara yuridis didasarkan pada Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945. Dalam
KUHPer ataupun dalam peraturan lainnya tidak ada satu pasal pun yang
menyatakan dengan tegas berlakunya asas kebebasan berkontrak. Hal ini tidak
berarti bahwa hukum perdata Indonesia tidak mengenal asas kebebasan
berkontrak.
Dalam KUHPer, asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari Pasal
1338 KUHPer yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat

26

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.15 Dari
“semua” dapat ditafsirkan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian
dengan isi apapun. Ada kebebasan dari setiap subjek hukum untuk membuat
perjanjian dengan siapapun yang dikehendaki, dengan isi dan dalam bentuk
apapun yang dikehendaki.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka dimungkinkan
subjek hukum membuat perjanjian hukum yang baru yang belum dikenal
dalam undang-undang (dikenal dsengan istilah perjanjian tidak bernama,
yakni perjanjian yang jenis dan peraturannya belum dituangkan dalam KUH
Perdata). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pembentuk
undang-undang pada asasnya memang mengakui kemungkinan akan adanya
perjanjian lain dari yang telah diatur dalam KUH perdata, dan ini
membuktikan berlakunya asas kebebasan berkontrak.16
Akibat adanya asas kebebasan berkontrak adalah bahwa bentuk perjanjian
yang berupa kata sepakat (consensus/lisan) saja sudah cukup. Apabila
consensus demikian dituangkan dalam akta, dimaksudkan hanya untuk
kepentingan pembuktian semata. Sedangkan mengenai isinya, para pihak pada
dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka inginkan.

15
16

36.

KUHPer Pasal 1338.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), h.

27

1.

Ruang Lingkup Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi

ruang lingkup sebagai berikut:
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
a.

Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b.

Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c.

Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausa dari perjanjian yang
dibuatnya;

d.

Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e.

Kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk
kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).17

2.

Unsur-unsur Asas Kebebasan Berkontrak
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian.
d. Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian.
e. Kebebasan untuk menetapkan cara membuat perjanjian.18

17

Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang Seimbang Dari
Kreditur dan Debitur, h. 10.
18
Yohanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Penerbit Unika
Parahyangan Program Pasca sarjana Program Magister Ilmu Hukum, 1999), h. 33-34.

28

Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian serta memilih dengan siapa ia
akan membuat perjanjian. Adapun mengenai isi, bentuk dan cara pembuatan
perjanjian para pihak bebas untuk menyepakatinya.
Terhadap asas kebebasan berkontrak dikenal pembatasan yang termuat
dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang. Menurut Pitlo, di
samping hal tersebut di atas masih terdapat pembatasan yang lain dalam
wujud dipersyaratkannya bentuk tertentu, yaitu harus dituangkan dalam
bentuk tertulis, atau otentik atau notariil.19
C. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, suatu perjanjian harus dilandasi adanya kebebasan
berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan
transaksi sebagai mana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 29
sebagai berikut:

          

               

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

19

A. Pitlo, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab dalam Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermassa, 1979), h. 56.

29

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S.
4: 29).20
Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk
melakukan akad sesuai yang diinginkannya, sebaliknya apabila ada unsur
pemaksaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak
yang dihasilkan batal atau tidak sah. Asas ini menggambarkan prinsip dasar
bidang muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa
hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam
muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
Banyak bidang-bidang usaha yang telah