REKONSTRUKSI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012

(1)

PENELITIAN FUNDAMENTAL

REKONSTRUKSI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN

HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012

Tahun ke 2 dari Rencana 2 Tahun

TIM PENELITI :

Dewi Nurul Musjtari, S.H., M.Hum. NIDN. 0507017102 Wiratmanto, S.H., M.Hum. NIDN. 0501085702

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA OKTOBER 2016

Dibiayai oleh Kopertis Wilayah V DIY, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah V Tahun Anggaran 2016 Nomor: 007/HB-LIT/III/2016 tertanggal 15 Maret 2016


(2)

(3)

iv PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan Inayah kepada penulis dengan telah selesainya penulisan Laporan Kemajuan Penelitian yang berjudul Rekonstruksi Lembaga Penyelesaian Sengketa Jaminan Hak Tanggungan dalam Praktik Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Hanya karena rahmat dan pertolongan-Nyalah maka semua proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga peyusunan laporan kemajuan ini dapat tersusun.

Laporan kemajuan ini, antara lain berisi rangkaian mekanisme penelitian yang dimaksudkan untuk melihat perkembangan capaian kajian dan luaran penelitian. Selain itu dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya ialah unsur penelitian. Penelitian Fudamental ini dilaksanakan dengan sumber pendanaan dari Dibiayai oleh Kopertis Wilayah V DIY, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah V Tahun Anggaran 2016 Nomor: 007/HB-LIT/III/2016 tertanggal 15 Maret 2016. Atas pendanaan yang diberikan tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Fakultas Hukum UMY, LP3M UMY dan semua pihak yang telah berpartisipasi aktif hingga selesainya laporan kemajuan ini.

Harapan penulis dengan telah tersusunnya laporan kemajuan ini, semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi perkembangan Ilmu Hukum maupun pengembangan Industri Perbankan Syariah dimasa yang akan datang. Semoga Allah SWT memberi kesempatan dan kekuatan yang memadai untuk melakukan penyempurnaan atas laporan kemajuan ini, karena apa yang tersaji dalam laporan kemajuan ini, masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan bagi penulis. Yogyakarta, 05 Oktober 2016

Ketua Peneliti,


(4)

i

RINGKASAN

Tujuan jangka panjang yang hendak dicapai melalui penelitian pada tahun II adalah untuk mengetahui rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, dengan target penelitian, antara lain mengetahui rekonstruksi peraturan pelaksana perundang-undangan dan lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan melalui mediasi perbankan di OJK, mediasi di Pengadilan Agama dan melalui lembaga arbitrase, baik melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Urgensi penelitian ini adalah untuk mengetahui rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 melalui OJK, Pengadilan Agama, BANI dan BASYARNAS serta lembaga mediasi Independen. Selain hal tersebut, pentingnya penelitian ini adalah untuk pengembangan lembaga perbankan syariah di Indonesia dan hukum ekonomi, khususnya hukum ekonomi syariah. Bagi peneliti, pentingnya penelitian ini adalah untuk mewujudkan kompetensi peneliti dalam mengembangkan program studi ilmu hukum yang berwawasan syariah.

Metode dalam penelitian ini, menggunakan tradisi kualitatif, operasionalisasinya dilakukan sesuai paradigma kostruktivisme. Posisi relatif (stand point) penulis terhadap masalah dalam penelitian ini pada aras epiteme bukanlah sebagai partisipan tetapi sebaliknya sebagai observer. Strategi Penelitian dilakukan dengan dua strategi yaitu penelitian kepustakaan

(Library Research) dan studi kasus (Case Study). Penelitian ini menggunakan tata aturan

socio-legal studie.Teknik pengumpulan data, untuk data sekunder diperoleh melalui penelitian

kepustakaan dan legal document. Bahan hukum primer, terdiri dari Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 dan penjelasannya, Pasal 39 UU Nomor 30 Tahun 1999, UU Nomor 4 Tahun 1996, UU Nomor 50 Tahun 2009 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku tentang perjanjian (akad), perbankan syariah, politik hukum, teori hukum, alternatif penyelesaian sengketa, hukum acara peradilan agama, metodologi penelitian hukum dan jurnal. Data primer diperoleh melalui penelitian di lapangan (Field

Research) dilakukan dengan observasi, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) yang

meliputi: 1) Law sanction institution: Hakim dan Panitera di Pengadilan Agama, Arbiter di Basyarnas, Staf Bagian Legal di Bank Syariah, Mediator di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Notaris; 2) Role Occupant: Managemen Bank Syariah, Nasabah Bank Syariah, Dewan Pengawas Syariah (DSN) MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), Arbiter di BANI dan BASYARNAS yang dilakukan dengan hermeneutika, sosiologi hukum dan fenomenologi. Analasis data menggunakan deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan pengembangan lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

Hasil dari penelitian ini adalah: a. Rekonstruksi peraturan pelaksana perundang-undangan dalam penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan antara lain: 1) Melalui mediasi perbankan di OJK, peraturan yang digunakan adalah UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan; 2) Melalui Mediasi Independen atau menggunakan Mediator Non Hakim didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di


(5)

ii

Pengadilan; 3) Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; 4) Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003 perubahan nama BAMUI menjadi BASYARNAS. b.Rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 melalui Peradilan Agama dengan menggunakan tiga alternatif pilihan yaitu: 1) Melalui Parate Eksekusi yang didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) a jo. 6 jo. 11 ayat (2) e UU No. 4 Th. 1996. Eksekusi dilakukan melalui Pelelangan Umum yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN); 2) Melalui Titel Eksekutorial atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) b jo. Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU No. 4 Th. 1996; 3) Melalui eksekusi penjualan di bawah tangan yang didastkan pada Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No. 4 Th. 1996. Pasca berlakunya Perma Nomor. 1 Tahun 2016 maka para pihak dimungkinkan melakukan penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan di peradilan agama dengan jalan Mediasi. Hal ini diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi para pihak.

Saran melalui penelitian ini adalah agar terwujud penyelesaian sengketa akad pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang mendasarkan pada asas keadilan, seyogyanya harmonisasi peraturan perundangan dan lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan secara terintegrasi dan kontinyu

(sustainability). Selain itu komitmen untuk meningkatkan kompetensi para hakim dan panitera

serta para penegak hukum yang terlibat dalam transaksi akad syariah dilakukan secara komprehensif untuk meningkatkan pemahaman, ketrampilan serta perubahan sikap dalam mengimplementasikan ekonomi islam sesuai dengan nilai-nilai serta norma yang ada di Indonesia.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Lembaga Penyelesaian Sengketa, Jaminan Hak Tanggungan, Perbankan Syariah


(6)

v DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………... i

HALAMAN PENGESAHAN……….. ii

RINGKASAN………... iii

PRAKATA……… iv

DAFTAR ISI………... v

BAB 1. PENDAHULUAN……… 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 4

2.1 Istilah, Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syariah... 4

2.2. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia………... 6

2.3. Perbedaaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah... 11

2.4. Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syariah ..………... 13

2.5. Asas, Rukun dan Syarat dalam Akad………... 14

2.6. Jaminan Hak Tanggungan Pada Praktik Perbankan Syariah………... 15

2.7. Jaminan Hak Tanggungan sebagai Akta Otentik dan Konsekuensinya…………... 21

2.8. Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan……… 27

2.9. Sumber Hukum Moral sebagai Salah Satu Sumber Hukum dalam Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah……… 34

2.10. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012……….. 35

2.11. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah……….. 57

2.12. Tinjauan tentang Teori Hukum Responsif………... 60

2.13. Rekonstruksi Hukum sebagai Paradigma dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah……….. 61

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………... 72

BAB 4. METODE PENELITIAN………. 74

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI……… 79


(7)

vi DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Artikel Publikasi Ilmiah

2. Skema Prosedur Mediasi Berdasarkan PERMA No. 1 Th. 2016 3. Capaian Luaran Hasil Penelitian

4. Profil Penelitian


(8)

PENDAHULUAN

Pertumbuhan Perbankan Syariah diklaim oleh Bank Indonesia (BI) lebih cepat dibandingkan negara lain, khususnya Malaysia. Perbankan syariah Indonesia bertumbuh hingga 40% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Selanjutnya Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo di sela-sela Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres) di Monas, Jakarta, Minggu (17/11/2013), menyebutkan bahwa: "Rata-rata pertumbuhan perbankan syariah selama 5 tahun terakhir berada pada kisaran 38%-40% jauh lebih tinggi dibanding negara umum". Pihak BI akan memperkuat pengembangan perbankan syariah dari sisi sistem, regulasi, instrumen dan sumber daya manusia (SDM)1.

Bank Syariah mempunyai fungsi sebagai lembaga perantara finansial (intermediary

financial) yang melakukan mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana secara seimbang,

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku2. Keberadaan bank syariah sangat mendukung pemenuhan kebutuhan manusia di bidang ekonomi, namun kebutuhan manusia di bidang ekonomipun harus diiringi dengan kepastian hukum yang adil agar tercipta efektifitas dan efisiensi. Oleh karena itu tampak jelas adanya hubungan yang erat antara hukum dan ekonomi. Sistem hukum sebagai perwujudan dari sistem ekonomi. Demikian pula sebaliknya, sistem ekonomi suatu bangsa akan tercermin dalam sistem hukumnya3.

Salah satu hal yang penting (urgent) saat ini dan memerlukan konsentrasi pemikiran bagi para pengelola Bank Syariah, Nasabah Bank Syariah, Notaris, Arbiter dan Hakim di Pengadilan Agama, terkait dengan Lembaga Penyelesaian Sengketa Jaminan Hak Tanggungan dalam Praktik Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013, terkait dengan pengujian atas Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya ditulis UU Perbankan Syariah). Berdasarkan Putusan

1

Fiki Ariyanti, 2013, Bank Syariah RI, Salip Malysia, Liputan6.com., posted. 17-11-2013, 09:34.

2

Muhamad, 2000, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta, UII Press., hlm. 3.

3

Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia (Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin), Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 102.


(9)

syariah kepada Peradilan Agama .

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan kompetensi penyelesaian sengketa perbankan syariah ke Pengadilan Agama, membawa konsekuensi akan adanya revisi terhadap UU Perbankan Syariah dan peraturan pelaksanaannya serta penyesuaian proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan, baik pada Pengadilan tingkat I, Banding maupun yang telah berproses di Mahkamah Agung. Konsekuensi lainnya adalah perlunya kesiapan Lembaga Pengadilan Agama untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) baik hakim maupun panitera yang memahami hukum materiil dan formil perbankan dan lembaga keuangan syariah. Disamping itu, kemampuan untuk membuat dan memahami dokumen hukum serta kemampuan untuk melakukan eksekusi jaminan dalam hal terdapat sengketa jaminan dalam penyelesaian kasusnya.

Berdasarkan hasil dari penelitian pada tahun pertama bahwa :

a. Dampak hukum yang timbul dalam penyelesaian sengketa jaminan Hak Tanggungan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terdapat kepastian hukum bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa Jaminan Hak Tanggungan. Hal ini diperlukan bagi Industri Perbankan Syariah dan masyarakat agar tidak terdapat dikotomi dalam penyelesaian sengketa Jaminan Hak Tanggungan untuk masa depan. Pilihan untuk menyelesaikan sengketa Jaminan Hak Tanggungan dengan Parate Executie lebih efektif dan efisien dengan kata lain lebih memberikan manfaat bagi para pihak jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa jaminan dengan Titel Eksekutorial. Namun, untuk perlindungan preventif pada saat pra kontraktual maka akad syariah yang dipersiapkan bank syariah perlu dilengkapi dengan pembuatan Akta Pengakuan Pembiayaan (APP) yang disepakati debitur.

b. Rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 maka para pihak tidak lagi terpaku bahwa dalam menyelesaikan sengketa jaminan hak tanggungannya melalui lembaga peradilan dan non litigasi dalam arti sempit yaitu secara non litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan Arbitrase

4

Ro’fah Setyowati, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 Terkait Penegakan Hukum Perbankan Syariah dari Perspektif Hukum Progresif, Call for Paper pada Konsorsium Hukum Progresif Indonesia : Dekontruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Satjipto Raharjo Institute bekerjasama dengan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia (ASHI) dll, Semarang, 29-30 November, hlm. 917.


(10)

litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau penilaian ahli.

Berdasarkan hasil dari penelitian pada tahun pertama tersebut maka peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan dalam praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

1.1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah untuk penelitian pada tahun kedua adalah:

a. Bagaimana rekonstruksi peraturan pelaksana perundang-undangan dan lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan melalui mediasi perbankan di OJK, lembaga mediasi Independen, BANI dan BASYARNAS?

b. Bagaimanakah rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 melalui Peradilan Agama?


(11)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Istilah, Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syariah

Bank Syariah dikenal dengan nama lain yaitu bank tanpa bunga (La Riba Bank), Bank Islam (Islamic Bank), dan Bank Nirbunga. Perbankan Syariah mulai diprakarsai sejak tahun 1990-an. Bank Syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia dan murni syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Hubungan hukum antara bank dan nasabah merupakan bagian dari kegiatan muamalah. Di dalam Hukum Islam muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial4.

Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam, yaitu bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Hadits. Makna bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tatacara bermuamalat dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

Bank yang tata cara operasinya mengacu kepada Al Qur’an dan Hadits adalah bank yang tata cara beroperasinya itu mengikuti perintah dan larangan yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesuai dengan perintah dan larangan itu maka yang dijauhi adalah praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh beliau5.

Di dalam mengoperasionalkan bank syariah agar tidak menyimpang dari tuntunan syariah maka pada setiap bank syariah hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam, selain itu dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syariahnya.

4

Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 2.

5Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana Bank


(12)

Dasar hukum yang utama dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Al Qur’an dan Hadis. Berikut ini akan dinukilkan beberapa ayat-ayat dalam Al Qur’an, antara lain :

a. Al-Baqarah: 275, yang artinya: ”orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.

b. Al-Imran: 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

c. An-Nisa’: 29, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.

Selain beberapa ayat Qur’an di atas berdasarkan hukum positif, landasan dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, di dalamnya antara lain mengatur ketentuan tentang proses pendirian Bank Umum Tanpa Bunga. Berdasarkan Pasal 28 dan 29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, mengatur tentang beberapa kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah.

Peraturan lainnya yang khusus mengatur tentang akad dalam kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Peraturan lain yang memberikan dasar bagi beroperasionalnya Perbankan Syariah adalah Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di dalam undang-undang tentang peradilan agama terdapat pengertian ekonomi syariah dan adanya kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.


(13)

2.2. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Rintisan praktik perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan adanya pendapat dari K.H. Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937–1944 yang menyebutkan bahwa alasan penggunaan jasa bank konvensional adalah suatu hal yang terpaksa, karena pada waktu itu umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba6.

Pada pertengahan tahun 1970-an terdapat ide untuk mendirikan bank syariah yang kemudian diwacanakan pada Seminar Nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide tersebut, antara lain: operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku pada waktu itu adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan7.

Konsep bank syariah dari dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkaitan dengan konsep Negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah. Pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Negara-negara Timur Tengah masih dicegah, antara lain oleh kebijakan pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di Indonesia8.

Pada tahun 1980-an keinginan untuk menerapkan prinsip syariah dibidang lembaga keuangan di tanah air dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan Baitul Tamwil yang berstatus badan hukum koperasi. Baitut Tamwil adalah lembaga keuangan dengan prinsip Syariah yang berstatus Badan Hukum simpan pinjam. Pertama kali didirikan di Bandung dengan nama Baitut-Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980 dengan akta perubahan tertanggal 21 Desember 1982. Kedua, di

6

Karnaen A. Perwataatmadja, 1996, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Depok, Usaha Kami, hlm. 30.

7

Duddy Yustiady, 2003, Penjelasan Perbankan Syariah secara Umum, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Perbankan dan asuransi Syariah di AJB Bumiputera FISIP UI, Depok, hlm. 2.


(14)

Jakarta didirikan Koperasi Simpan Pinjam Ridho Gusti yang didirikan tanggal 25 September 1988.

Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Syariah di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 19-22 Agustus 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian Bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silaturahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382,00. Dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri kabinet pembangunan V, juga Yayasan amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PINDAD. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Syariah. Berbekal modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi9.

Pada tahun 1992, Indonesia memasuki era dual banking system dengan dimungkinkannya suatu bank beroperasi dengan prinsip bagi hasil berdasarkan Pasal 13 ayat (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prisip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (selanjutnya ditulis PP No. 72 Tahun 1992) dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 119 Tahun 1992.


(15)

Pasal 6 PP Nomor 72 Tahun 1992, berisi:

a. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil;

b. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan pinsip bagi hasil.

Penjabaran mengenai ketentuan di atas diuraikan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993 yang menyebutkan bahwa: a. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat yang dilakukan melalui usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil; b. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan

Syariah;

c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS); d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata

berdasarkan prinsip bagi hasil hanya diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prisip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prisip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia maka perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, selain yang telah diuraikan di atas tampak dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan antara lain:

a. Dimulainya era dual-system bank, dengan memungkinkan Bank Konvensional membuka Unit Usaha Syariah (UU Nomor 10 Tahun 1998);

b. Penegasan peranan Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan perbankan Syariah dan dapat melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah (UU Nomor 23 Tahun 1999);

c. Diberlakukannya ketentuan kelembagaan bank Syariah yang pertama sesuai dengan karakteristik operasional bank syariah (Tahun 1999);

d. Beroperasinya unit usaha syariah dari bank umum konvensional untuk pertama kali (Tahun 1999);


(16)

e. Diterapkannya instrumen keuangan Syariah yang pertama yang menandai dimulainya kegiatan di pasar keuangan antar bank dan kebijakan moneter berdasarkan prinsip Syariah (Tahun 2000);

f. Dibentuknya satuan kerja khusus (Biro Perbankan Syariah) di Bank Indonesia yang menangani pengembangan perbankan Syariah secara komprehensif (Tahun 2001); g. Disusunnya Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah (Tahun 2002 dan 2005); h. Disusunnya naskah akademis RUU Perbankan Syariah (Tahun 2003);

i. Diberlakukannya ketentuan kehati-hatian yang pertama sesuai dg karakteristik operasional bank Syariah yaitu kualitas aktiva produktif (KAP) dan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) bagi bank Syariah (Tahun 2003);

j. Dikeluarkannya fatwa bunga bank haram oleh Majelis Ulama Indonesia (Tahun 2003);

k. Disusunnya ketentuan persyaratan, tugas dan wewenang DPS (Tahun 2004);

l. Diberlakukannya Ketentuan permodalan yang khusus bagi perbankan Syariah yang telah sesuai dengan standar internasional (IFSB) (Tahun 2005);

m. Penjajagan ketentuan jaringan secara lebih efisien dan berhati-hati (Tahun 2005); n. Inisiatif penyusunan “linkage program” sebagai dasar peran bank syariah dalam

optimalisasi voluntary sector (Tahun 2005).

Berikut ini akan dipaparkan melalui tabel di bawah ini tentang Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2002 dan 2005.


(17)

Tabel 1

Pentahapan Pencapaian Sasaran Pengembangan Perbankan Syariah Nasional (Blueprint dari Bank Indonesia)

Mememenuhi st and ar keu angan d an mut u p elayan an Internasiona l

Memper kuat Strukt ur Indu st ri Meletakan Fondasi

Pertumbuh an

Phase 1 ( 2002 – 2004)

Phase 2 (2004 – 2008)

Phase 3 (2008 – 2011)

Mememenuhi stand ar keu angan d an mutu pelayan an Internasiona l Memperkuat

Struktur Indu stri Meletakan Fondasi

Pertumbuh an

Phase 1 (2002 – 2004)

Phase 2 (2005 – 2009)

Phase 3 (2010 – 2012)

Menuj u integrasi dg lembaga keuangan syariah lainnya

Phase 4 (2013 – 2015) Vers i 2002

Versi 2005

Berdasarkan tabel tersebut, khususnya pentahapan berdasarkan versi tahun 2005 dapat dilihat bahwa saat ini memasuki phase ke-2 yaitu memperkuat struktur industri yang akan berakhir pada tahun 2009. Tahapan berikutnya adalah pemenuhan standar keuangan dan mutu pelayanan Internasional pada phase ke-3 yang akan dimulai pada tahun 2010-2012. Pada tahun 2013-2015 tahapan menuju integrasi dengan lembaga keuangan Syariah lainnya.

Phase ke-2 ini merupakan tahapan memperkuat struktur industri perbankan maka berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional, dapat dilihat pada Skema Bank sebagai berikut.

Perkembangan Bank Syariah sejak pertama kali berdiri pada tahun 1992 hingga Maret 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(18)

Tabel 2 604 93 511 191 106 192 19 3 Feb’06 611 94 517 192 109 194 19 3 Mar’06 601 92 509 190 106 191 19 3 Jan’06 596 92 504 181 100 183 19 3 Des’05 469 89 380 176 70 161 16 3 Mar’05 487 89 398 179 76 169 17 3 Jun’05 506 92 414 178 90 172 17 3 Okt’05 501 92 409 177 89 169 17 3 Sep’05 489 86 403 172 59 152 15 3 Des’04 373 84 289 147 26 116 8 2 Des’03 Jumlah BPRS Total KK KCP KC UUS KPO

Tabel Jaringan Kantor Bank Syariah

Sumber: Bank Indonesia

Uraian lebih lengkap mengenai jaringan kerja Perbankan Syariah dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

Jaringan Kerja Perbankan Syariah

Keterangan 1992 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

BUS 1 2 2 2 2 2 2 3 3

UUS BUK 0 1 3 3 6 8 12 19 22

Jumlah Kantor

1 43 67 101 146 219 318 415 512

BPR Syariah

9 78 81 83 84 84 89 92 105

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia

2.3. Perbedaaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah

Operasionalisasi antara Bank Konvensional dan Bank Syariah mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya dapat dilihat dari aspek teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan dan persyaratan umum pembiayaan. Perbedaannya dapat dilihat dari 7 (tujuh) aspek antara lain: aspek akad dan


(19)

aspek legalitasnya, lembaga penyelesaian sengketanya, struktur organisasinya, investasi, prinsip organisasi, tujuan dan hubungan nasabahnya. Uraian masing-masing akan dijelaskan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 4

Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bank Konvensional Bank Syariah

Akad’ & Aspek Legalnya

Hukum Positif Hukum Islam & Hukum

Positif Lembaga Penyelesaian

Sengketa

BANI BASYARNAS

Struktur Organisasi Tidak Ada DSN dan DPS Ada Dewan Syariah Nasional (DSN) & Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Investasi Halal dan Haram Halal

Prinsip Operasional Perangkat Bunga Bagi Hasil, Jual-Beli, Sewa

Tujuan Profit Oriented Profit & Falah Oriented

Hubungan Nasabah Debitur & Kreditur Kemitraan Sumber: Wirdyaningsih, 2005: 48.

Berdasarkan ketujuh aspek di atas maka pembeda yang paling utama antara Bank Konvensional dan Bank Syariah adalah konsep halal. Hal ini disebabkan adanya sifat transendental dari setiap transaksi dalam setiap aktivitas muamalah dan Hukum Islam. Disamping perbedaan tersebut perbedaan dalam prinsip operasionalnya adalah penggunaan sistem bunga dalam operasional Bank Konvensional dan penggunaan bagi hasil dalam operasional Bank Syariah. Perbedaan sistem bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Perbedaan operasional Bank Konvensional dan Bank Syariah dapat dilihat melalui gambar di bawah ini.


(20)

Tabel 5

PERBED AAN OPERASIONAL BANK SYARIAH DENGAN BANK KONVESIONAL

Bank Bank

Shahibul Maal Mudharib

Mudharib BANK SYARI AH

BANK KONVEN SI ONAL

Tergantung pendapatan / hasilyg diterima

Membayar bunga deposito tetap Menerima bunga kredit tetap Pembayaran bagi hasil Menerima pendapatan

Bagi hasil / Margin Bagi hasil / Margin

Tidak ada pengaruh pendapatan yang diterima

Penyaluran dana

Penyaluran dana

Penghimpunan dana

Penghim punan dana

Deposan

Deposan Nasabah debiturNasabah debitur

Shahibul maal

Sumber: Bank Syari’ah Mandiri

2.4. Akad dalam Praktik Perbankan Syariah

Kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi meliputi kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, seperti : jual beli, simpan pinjam, utang piutang, usaha bersama dan sebagainya10. Di dalam muamalah dikenal dengan Aqad. Aqad merupakan bagian dari tasharruf. Tasharruf adalah segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak.

Kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi meliputi kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, seperti : jual beli, simpan pinjam, utang piutang, usaha bersama dan sebagainya11. Di dalam muamalah dikenal dengan Aqad.

Aqad merupakan bagian dari tasharruf. Tasharruf adalah segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak.

Tasharruf dibagi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’li adalah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya selain dari lidah,

10

Ibid., hlm. 8. 11Ibid., hlm. 8.


(21)

seperti memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual-beli, merusak benda orang lain.

Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia yang dibagi

menjadi dua, yaitu aqdi dan bukan aqdi. Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan perkongsian. Tasharruf qauli bukan aqdi ada dua macam, yaitu: (a) Merupakan pernyataan pengadaan dua hak atau mencabut suatu hak, seperti wakas, thalak dan memerdekakan; (b) Tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, seperti gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan12.

2.5. Asas, Rukun dan Syarat dalam Akad

2.5.1. Asas-asas dalam melakukan muamalah

Asas-asas hukum (rechts beginselen) atau disebut juga dengan psinsip hukum, bukanlah merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. Asas hukum merupakan latar belakang dalam pembentukan hukum positif yang bersifat tidak abadi/tetap. Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud asas hukum adalah: “Dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”13.

Asas-asas yang dapat digunakan dalam pembuatan perjanjian (akad syariah) antara lain: asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik dalam pengertian subyektif. Sedangkan asas-asas yang digunakan dalam pelaksanaan perjanjian adalah asas pacta sunt servanda dan asas itikad baik dalam pengertian obyektif.

Dalam Hukum Islam terdapat asas-asas dari suatu perjanjian. Asas ini berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perikatan/perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut : Al-Hurriyah (Kebebasan), Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan), Al-‘Adalah (Keadilan), Al-Ridha (Kerelaan),

Ash-Shidq (Kejujuran dan Kebenaran), Al-Kitabah (Tertulis).

12 Hendi Suhendi., Op.Cit., hlm. 44. 13 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 32.


(22)

2.5.2. Rukun dan Syarat dalam Muamalah dan Akad

Perangkat hukum perjanjian dalam syariah Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada

(inheren) dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah

unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa, dan tindakan tersebut, tetapi tidak merupakan esensi dari akad tersebut.

Para ulama berbeda pandangan dalam menentukan rukun akad ini. Perbedaan itu muncul dari segi esensi akad itu sendiri. Disini tidak akan dibahas perbedaan pandangan ulama tersebut. Menurut pendapat jumhur khususnya yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili. Wahbah menyatakan bahwa ijab dan kabul merupakan salah satu unsur penting dalam suatu perjanjian, selain itu ada unsur-unsur yang lain. Unsur-unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: Sighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri), Al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqd (obyek akad), Al-muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad), Maudhu’al-aqd (tujuan akad).

Syarat-syarat aqad terdiri dari syarat yang bersifat umum dan syarat yang bersifat khusus. Syarat yang bersifat umum antara lain: kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak, yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya, akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang, janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah, akad dapat memberikan faidah, maka tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah, ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya, ijab dan qabul mesti bersambung, maka bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

2.6. Jaminan Hak Tanggungan dalam Praktik Perbankan Syariah 2.6.1. Pengertian Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan atas


(23)

tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan adalah salah satu macam jaminan yang dapat bermanfaat bagi manusia sebagai subyek hukum dalam menopang kehidupan sehari-hari.

Hukum Jaminan menjadi penting dibicarakan karena tergolong bidang hukum yang akhir-akhir ini secara populer disebut An Economic Law (Hukum Ekonomi), Wiertschafirecht atau Droit Economique yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan kemajuan pembangunan pada umumnya. Sehingga bidang hukum demikian pengaturannya dalam undang-undang perlu diprioritaskan (Djojo Muljadi dalam Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980: 1). Istilah jaminan dalam praktik perbankan syariah dikenal dengan istilah “Agunan”. Hal tersebut diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya ditulis UU Perbankan Syariah). Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas. Menurut aturan hukum positif, jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur yang diserahkan oleh debitur untuk menimbulkan keyakinan dan menjamin bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan14.

14

Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hlm. 50.


(24)

2.6.2. Pengaturan Hak Tanggungan sebagai Jaminan dalam Praktik Perbankan Syariah

Salah satu kegiatan usaha yang berkembang saat ini yang merupakan bagian dari Ekonomi Syariah salah satunya adalah perbankan syariah. Di dalam pelaksanaan perjanjian (akad) dalam praktik perbankan syariah juga diperlukan jaminan, mengingat transaksi yang dilakukan dalam produk pembiayaan

(financing) atau jasa dikenal lembaga yang diklasifikasikan sebagai lembaga

jaminan seperti dalam pelaksanaan akad murabahah dan rahn. Dasar hukum dibenarkannya menerapkan jaminan dalam setiap transaksi dalam operasionalisasi perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya terdapat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 283, yaitu:

* b˛)ur OFZ. 4 n?tª 9x y N9sur (#r f s? $Y6ˇ?%x. ‘ »yd sø p|˚ q7ł)B¤ (b˛*sø z‘ Bˇr&N3 Łt/ $VŁt/ ˇjxsªø=sø

ˇ%'!$# z‘ ˇJŁ?łt$# …mtFuZ»tBr& ,¨›Guł9ur '! $# …m›/u 3wur (#qJGı3s? noy »yg–⁄ 9$# 4‘ tBur $gJy G6 t …mflR˛*sø NˇO#u …m6ø=s%3

! $#ur $yJ˛/ tb qŁ=yJŁs? O˛=t ˙ ¸ ¨

283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Ketentuan lain yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menerapkan jaminan dalam praktik perbankan syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Pada bagian ketiga angka 1 disebutkan bahwa jaminan dalam Murabahah dibolehkan agar nasabah serius


(25)

dengan pesanannya. Pada nagian ketiga angka 2 disebutkan bahwa Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Jaminan dalam hukum positif mempunyai kedudukan sebagai pemberi kepastian hukum kepada kreditur atas pengembalian modal/pinjamam/kredit yang ia berikan kepada debitur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang debitur. Nilai benda jaminan harus lebih tinggi dari jumlah modal/pinjaman/kredit berikut bunga yang diberikan oleh kreditur, dengan harapan ketika terjadi wanprestasi atau kredit macet maka jaminan itu dapat menutup (mengcover) pinjaman dan bunga yang kreditur berikan15.

Jaminan dalam hukum positif dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Jaminan yang bersifat kebendaan (materiil). Jaminan kebendaan memberikan

hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.

b. Jaminan yang bersifat perorangan (immateriil). Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang melalui orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain. Dasar hukum dari Hak Tanggungan adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.

2.6.3. Subyek dan Obyek Hak Tanggungan

Subyek Hak Tanggungan adalah Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan. Di dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai

15Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 21-22.


(26)

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut, dapat diketahui bahwa pihak yang memberikan HT adalah baik perseorangan maupun Badan Hukum. Namun untuk Badan Hukum maka harus mempunyai wewenang untuk memberikan HT ini. Selanjutnya ayat (2)-nya menyebutkan bahwa : "Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi HT pada saat pendaftaran HT dilakukan". Ayat ini memberikan keterangan bahwa wewenang untuk memberikan HT harus sudah ada pada waktu pendaftaran HT dilakukan dalam Daftar Kantor Pertanahan. Hal tersebut disebabkan karena lahirnya HT adalah pada saat didaftarkannya. Pendaftaran merupakan syarat mutlak lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Sebagai bukti pendaftaran Hak Tanggungan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) oleh Kantor Pertanahan di mana sertifikat tersebut memuat irah-irah “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan. Selanjutnya Pemegang HT diatur dalam Pasal 9 UUHT, yang menentukan bahwa pemegang HT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dalam hal ini pemegang HT adalah perseorangan maupun Badan Hukum yang menjadi kreditur.

Benda yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan dapat berupa tanah dan benda atau hasil karya yang terkait dengan tanah. Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah tanah dengan status: Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai Di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan. Berdasarkan Pasal 4 UUHT, disebutkan bahwa:

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan.

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftardan


(27)

menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di-bebani HakTanggungan.

(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milikakan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanahberikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yangmerupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milikpemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalamAkta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan olehpemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

Hak kepemilikan tanah eks hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi/konversinya belum dilaksanakan seperti girik, petuk, ketitir, dan lain-lain dapat juga dijadikan obyek hak tanggungan dengan ketentuan pembebanannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Pembebanan hak tanggungan dapat meliputi juga benda-benda yang terkait dengan tanah dengan memperjanjikannya dalam akta pembebanan hak tanggungan, seperti16:

a. Bangunan yang berada di atas tanah maupun di bawah permukaan tanah obyek hak tanggungan (basement);

b. Satuan rumah susun atau apartemen yang berada di atas tanah obyek hak tanggungan (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan);

c. Tanaman yang tumbuh di atas tanah obyek hak tanggungan;

16 Prihati Yuniarlin dan Dewi Nurul Musjtari, Hukum Jaminan dalam Praktik Perbankan


(28)

d. Mesin-mesin yang tertanam dalam fondasi tanah obyek hak tanggungan; e. Hasil karya lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan hak atas tanah

obyek hak tanggungan dan secara hukum dianggap sebagai benda tidak bergerak.

2.7. Hak Tanggungan sebagai Akta Otentik dan Konsekuensinya

Hak Tanggungan sebagai salah satu jaminan tidak begitu saja dapat diterapkan dalam praktik perbankan syariah, karena Hak Tanggungan amerupakan hak ikutan atau tambahan atau accesoir. Akad pokoknya adalah Akad Pembiayaan Syariah. Jadi keberadaan Hak Tanggungan dalam praktik perbankan syariah karena adanya hubungan hukum antara nasabah bank syariah dan bank syariah yang diikat dalam salah satu akad syariah. Maka kedudukan Hak Tanggungan sebagai Akad yang bersifat ikutan bukan Akad pokok.

Dalam praktik perbankan syariah, Hak Tanggungan diterapkan sebagian besar pada Akad Pembiayaan. Pembiayaan yang diharapkan bagi si pemilik hak atas tanah, seharusnya dilakukan dengan rasa aman. Di dalam hubungan hukum yang terjadi antara nasabah bank syariah dan bank syariah seyogyanya dilakukan secara benar berdasarkan prinsip syariah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Selanjutnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UUHT, disebutkan bahwa Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagaimana caranya, agar supaya kepentingan dari para pihak dapat terpenuhi maka seharusnya diperjanjikan secara baik dan benar pula. Selain itu akad yang dibuat harus seimbang antara hak dan kewajiban diantara para pihak yang saling mengikatkan diri. Pembiayaan yang akan menerapkan Hak Tanggungan seharusnya dilakukan dengan akta otentik. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang


(29)

menyebutkan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.

Macam-macam akta terdiri dari: Akta Otentik dan Akta Bawah Tangan. Kedua akta tersebut mempunyai konsekuensi tersendiri. Pertama, Akta Notaris berdasarkan Pasal 1 (7) Undang-Undang Jabatan Notaris, mengatakan bahwa Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang Undang ini.

Bentuk Akta yang dimaksudkan oleh Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris adalah bentuk yang ditentukan oleh Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi: Setiap akta terdiri atas :

a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta;

c. Akhir atau penutup akta. Awal akta atau kepala akta memuat :

a. Judul akta; b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun;

d. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris. Badan akta memuat :

a. Nama lengkap;

b. Tempat dan tanggal lahir; c. Kewarganegaraan;

d. Pekerjaan; e. Kedudukan;

f. Tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; g. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

h. Isi akta yang merupakan kehendak (pihak yang berkepentingan). i. Nama, tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan


(30)

Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 (1) huruf i atau Pasal 16 angka (7);

b. Uraian tentang penanda tanganan dan tempat penanda tangan atau penerjemahan akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap tiap saksi akta dan;

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau

penggantian.

Menurut Yahya Harahap (2005: 566) kekuatan pembuktian yang melekat dalam akta otentik terdiri atas tiga kekuatan yang melekat yaitu:

a. Kekuatan pembuktian luar: suatu Akta Otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai Akta Otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan Akta Otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap Akta Otentik harus dianggap benar sebagai Akta Otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formil. Berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam Akta Otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

c. Kekuatan pembuktian materil. Dalam kekuatan Akta Otentik yang ketiga ini termaktub tiga prinsip yang terkandung dalam Akta Otentik yaitu:


(31)

1) Penanda tangan Akta Otentik oleh seorang untuk keuntungan pihak lain, ini merupakan prinsip pokok kekuatan materil suatu Akta Otentik yang mana setiap penanda tangan Akta Otentik oleh seorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak lain, bukan untuk keuntungan pihak penandatangan;

2) Seorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri. Prinsip ini merupakan lanjutan dari prinsip pertama.

Berdasarkan prinsip ini dihubungkan dengan asas penanda tangan Akta Otentik untuk keuntungan pihak lain, dapat ditegakkan kekuatan materil pembuktian Akta Otentik meliputi:

a. Siapa yang menandatangani Akta Otentik berarti dengan sukarela telah menyatakan maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta.

b. Tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta untuk menjamin kebenaran akta tersebut, oleh karena itu dibelakang hari penanda tangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa dia tidak menulis atau memberi keterangan seperti yang tercantum dalam akta, namun demikian perlu diingat bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya.

c. Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materil Akta autentik.

d. Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan antara satu dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan dalam akta, tindakan mereka itu ditinjau dari kekuatan pembuktian materil Akta Otentik menimbulkan akibat hukum meliputi: keterangan atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian, melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka.

Dengan demikian akta tersebut menjadi bukti tentang adanya persetujuan sebagaimana yang diterangkan dalam akta tersebut.

Menurut Yahya Harahap (2005: 590) daya kekuatan pembuktian Akta Bawah Tangan hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki kekuatan pembuktian luar sebagaimana Akta Otentik yang tidak bisa dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu. Tegasnya kekuatan pembuktian Akta dibawah tangan diuraikan sebagai berikut: a. Daya kekuatan pembuktian formil. Daya kekuatan pembuktian formil Akta dibawah


(32)

1) Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum di dalam akta. Berdasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menanda tangani Akta dibawah tangan:

2) Dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta;

3) Berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan;

Dengan demikian daya kekuatan pembuktian Akta di bawah tangan meliputi kebenaran identitas penanda tangan serta menyangkut kebenaran idenitas orang yang memberi keterangan; Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.

a. Daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain. Karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan pihak lain karena isi keterangan yang tercantum di dalam Akta dibawah tangan belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak. Dalam Akta dibawah tangan masing-masing para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.

b. Daya Pembuktian Materil.

Jika pada daya kekuatan pembuktian formil titik permasalahan menyangkut kebenaran isi tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam Akta dibawah tangan. Benarkah atau tidak isinya ? dan sejauh mana kebenaran isi yang tercantum di dalamnya? Prinsip yang harus ditegakkan daya pembuktian materil adalah:

1) Secara materil isi keterangan yang tercantum di dalam Akta dibawah tangan, harus dianggap benar.

2) Dalam arti apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap sebagai keterangan yang dikehendakinya.

3) Dengan demikian secara materil, isi yang tercantum dalam ABT mengikat kepada diri penanda tangan.

Dari dua bentuk akta yang dikutip berdasarkan ulasan Yahya Harahap di atas, maka sifat yang melekat dalam akta otentik jika hendak dibantah terletak pada tindakan


(33)

“pembuktian atas kepalsuan akta tersebut”. Sedangkan pada akta di bawah tangan daya kekuatan mengikatnya yang tidak memiliki pembuktian ke luar (harus dianggap benar, sepanjang tidak ada alat bukti yang sah dapat menggugurkannya), terletak pada tindakan untuk mendapat kekuatan sebagai alat bukti akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian.

Hak tanggungan apabila ada didaftarkan harus menggunakan Akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yang dalam hal ini ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang dalam hal ini pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu :

(1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut;

(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak. Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk:

a. Membuat akta pemindahan hak atas tanah, b. Akta pembebanan hak atas tanah, dan

c. Akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Produk dari Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Akta Pemberian Hak Tanggungan yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya; dan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk dalam kategori Akta Otentik. Yang selanjutnya supaya Akta Pembebanan Hak Atas Tanah ini mempunyai kekuatan yang sempurna maka harus di daftarkan di Kantor Pertanahan yang merupakan unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah, dengan didaftarkannya Akta Pembenanan Hak Atas Tanah, maka Penerima Hak


(34)

atas Akta Pembebanan Hak Tanggungan, mempunyai hak yang diutamakan apabila pihak yang mempunyai hutang jalir janji.

2.8. Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan 2.8.1. Pengertian Parate Eksekusi

Menurut J. Sartio, istilah “parate executie” secara etimologis berasal dari kata “paraat” yang artinya siap di tangan17, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate

executie mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses

(pengadilan atau hakim)18.

Pengertian Parate Eksekusi yang diberikan oleh doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Selain hal tersebut pengertian lain Parate Eksekusi adalah jika debitur wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek jaminan tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara. Untuk itu ada aturan mainnya sendiri–tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih murah.

Demikian pula pada lembaga hipotik, yang diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata, yang menyebutkan:“Diperkenankanlah si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu, janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211 KUH Perdata.”

Apabila Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata tersebut dikonstruksikan maka ditemukan beberapa unsur yang terjalin yang menjadi esensi dalam pasal tersebut, yakni:

17

Sartio, J, 2013, ParateEksekusi Sebagai SaranaMengatasi Kredit Macet, Bandung, Citra Aditya, 1993, hlm. 195.

18 Anonim, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda Indonesia-Inggris, Aneka, Semarang, 1977, hlm. 655.


(35)

a. Adanya klausula ini harus tegas diperjanjikan (met beding in van

eigenmachtige verkoop);

b. Adanya, pada waktu diberikan hipotik; c. Diperjanjikan bagi hipotik pertama; d. Debitur sudah wanprestasi;

e. Adanya kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri; f. Adanya kuasa mutlak;

g. Harus didaftarkan;

h. Adanya syarat pelaksanaan penjualan;

i. Mengindahkan ketentuan Pasal 1211 KUH Perdata. j. Hak kreditur atas uang hasil penjualan.

k. Tidak melalui proses pengadilan.

2.8.2. Pengertian Parate Eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Di dalam UUHT istilah parate executie tersebut secara implisit tersurat dan tersirat dalam UUHT. Khususnya diatur dalam bagian Penjelasan Umum angka 9 UUHT yang menyebutkan: “Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga “parate executie” (oleh penulis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Inlands

Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan

Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtwezen in de Gewesten Buiten Java

en Madura)…”.

Penjelasan umum tersebut di atas, maksud Pembentuk UUHT menyatakan meskipun pada dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata, namun untuk membuktikan salah satu ciri Hak Tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti. Oleh karenanya secara khusus ketentuan eksekusi Hak Tanggungan diatur tentang lembaga parate executie.


(36)

Sebelum melanjutkan maksud pembentuk UUHT, terlebih dahulu mencari pengaturan parate executie dalam UUHT, maka dasar berpijaknya adalah pada pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan:Apabila debitur wanprestasi, maka berdasarkan :

a. Hak dari Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam serifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT, obyek Hak Tangungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.

Selengkapnya teks yuridis Pasal 6 UUHT substansinya adalah: “Apabila Debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil oenjualan tersebut”.

Unsur-unsur yang terjalin menjadi esensi dalam Pasal 6 UUHT tersebut, adalah:

a. Debitur cidera janji

b. Kreditur Pemegang Hak Tanggungan pertama diberi hak

c. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri d. Syarat penjualan melalui pelelangan umum

e. Hak Kreditur mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih

Oleh karenanya dapat dipahami tujuan Pembentuk UUHT untuk membentuk lembaga parate executie, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan bagi kreditur Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah, dengan maksud untuk menerobos formalitas hukum acara, disatu sisi tujuan pembentukan parate executie secara undang-undang (ex lege), dengan maksud untuk memperkuat posisi dari kreditur pemegang hak tanggungan pertama dan pihak-pihak yang mendapatkan hak daripadanya.


(37)

Kemudahan menggunakan sarana Pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggunagn hanya melalui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Kemudahan tersebut terutama menunjukkan efisiensi waktu dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.hal tersebut mengingat kalau prosedur eksekusi melalui formalitas hukum acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang lama dan rumit prosedurnya. Parate executie lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan executie menggunakan titel eksekutorial, karena tidak menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan executie kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sebab dikhawatirkan kreditur akan enggan memberikan kredit dengan jaminan hipotik (Hak Tanggungan), terutama kalau jumlah tagihannya tidak besar.

Tentunya juga akan dirasakan tidak imbang kalau eksekusi melalui pengadilan terutama tentang jumlah yang hendak ditagih dengan semua upaya, biaya dan terutama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kembali kreditnya yang macet, maka dengan adanya Pasal 6 UUHT kreditur akan terlindungi dari perbuatan debitur yang tak pantas, tidak layak atau bahkan tidak mempunyai iktikat baik. Pasal 6 UUHT tersebut dipersiapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai tiang penyanggah utama bagi kreditur (bank) dalam memperoleh percepatan pelunasan piutangnya, agar piutang yang telah kembali pada kreditur kemudian keuangan tersebut dapat digunakan untuk perputaran roda perekonomian, maka tidak diragukan lagi bahwa Pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum berlakunya parate executie manakala debitur wanprestasi, yang dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi.

Pasal 2 UUHT

(1) Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


(38)

(2) Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.

Pasal 4 UUHT

Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan

Pasal 5 UUHT

(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.

(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.

(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Pasal 6 UUHT

Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tesebut.


(39)

Pasal 8 UUHT

(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Pasal 10 UUHT

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12 UUHT

Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum.

Pasal 13 UUHT

Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan.

Pasal 14 UUHT

1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

3) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan


(40)

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Pasal 18 UUHT

(1)Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.

b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan. c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringatan

oleh Ketua Pengadilan Negeri.

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan.

(2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

(3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersiah Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

(4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

Pasal 20 UUHT

(1) Apabila Debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam


(41)

peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya. (2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek

Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) batal demi hukum.

2.9. Sumber Hukum Moral sebagai Salah Satu Sumber Hukum dalam Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah

Pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa sehingga bila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Menurut Prof. Soedikno Mertokusumo, ada beberapa arti sumber hukum :

a. Asas hukum;

b. Hukum terdahulu yang memberi bahan dasar berlakunya suatu hukum; c. Tempat mengetahui hukum;

d. Sebab yang menimbulkan hukum; e. Tempat ditemukannya hukum.

Menurut Utrecht, pengertian sumber hukum dalam arti materiil adalah perasaan atau keyakinan hukum individu dan masyarakat (public opinion) yang menjadi determinan materil membentuk hukum dan menentukan isi hukum. Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum adalah: Faktor idiil dan Faktor kemasyarakatan. Sedangkan


(1)

Rekonstruksi Lembaga Penyelesaian Sengketa Jaminan Hak Tanggungan Dalam Praktik

Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Dewi Nurul Musjtari Ilmu Hukum/ Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dewinurulmusjtari@umy.ac.id

Wiratmanto

Ilmu Hukum/Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta wwiratmanto@yahoo.com

1.

Dewi Nurul Musjtari, Proceeding International Conference on Law, Business and Social Justice (IC-LBSJ 6), Encouraging a Better ASEAN Community Relationship , 6-18 June 2016.

2.

Dewi Nurul Musjtari, Bunga Rampai Hukum Ekonomi Islam, Semarang, Penerbit Pustaka Magister, 2016.

3.

Dewi Nurul Musjtari, Modul Pelatihan

da Talkshow; Pe buata Akta Notariil pada Praktik Perbankan “yariah , APPHEI“I-PENGDA INI, 2-3 September 2016.

4.

Dewi Nurul Musjtari, Jurnal Media Hukum, Vol.23 No. 1, Juni 2016, ISSN 0854-8919.

5.

Dewi Nurul Musjtari, Buku Ajar: Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan Dengan Jaminan Hak Tanggungan Dalam Praktik Perbankan Syariah, Parama Publishing, November 2016.

Tujuan penelitian pada tahun II adalah untuk mengetahui rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, dengan target penelitian, antara lain mengetahui rekonstruksi peraturan pelaksana perundang-undangan dan lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan melalui mediasi perbankan di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mediasi di Pengadilan Agama dan melalui lembaga arbitrase di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Metode dalam penelitian ini, menggunakan tradisi kualitatif, operasionalisasinya dilakukan sesuai paradigma kostruktivisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan socio legal. Analasis data menggunakan deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan pengembangan lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

Rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 melalui Peradilan Agama dengan menggunakan tiga alternatif pilihan yaitu: 1) Melalui Parate Eksekusi yang didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) a jo. 6 jo. 11 ayat (2) e UU No. 4 Th. 1996. Eksekusi dilakukan melalui Pelelangan Umum yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN). 2) Melalui Titel Eksekutorial atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) b jo. Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU No. 4 Th. 1996. 3) Melalui eksekusi penjualan di bawah tangan yang didastkan pada Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No. 4 Th. 1996. Pasca berlakunya Perma No. 1 Tahun 2016 maka para pihak dimungkinkan melakukan penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan di peradilan agama dengan jalan Mediasi. Hal ini diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi para pihak.

Kata kunci: Rekonstruksi, Lembaga Penyelesaian Sengketa,

Jaminan Hak Tanggungan, Perbankan Syariah

HKI dan Publikasi


(2)

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan kompetensi penyelesaian sengketa perbankan syariah ke Pengadilan Agama, membawa konsekuensi akan adanya revisi terhadap UU Perbankan Syariah dan peraturan pelaksanaannya serta penyesuaian proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan, baik pada Pengadilan tingkat I, Banding maupun yang telah berproses di Mahkamah Agung. Konsekuensi lainnya adalah perlunya kesiapan Lembaga Pengadilan Agama untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) baik hakim maupun panitera yang memahami hukum materiil dan formil perbankan dan lembaga keuangan syariah. Disamping itu, kemampuan untuk membuat dan memahami dokumen hukum serta kemampuan untuk melakukan eksekusi jaminan dalam hal terdapat sengketa jaminan dalam penyelesaian kasusnya.

Berdasarkan hasil dari penelitian pada tahun pertama bahwa : 1. Dampak hukum yang timbul dalam penyelesaian sengketa jaminan Hak Tanggungan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terdapat kepastian hukum bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa Jaminan Hak Tanggungan. Hal ini diperlukan bagi Industri Perbankan Syariah dan masyarakat agar tidak terdapat dikotomi dalam penyelesaian sengketa Jaminan Hak Tanggungan untuk masa depan. Pilihan untuk menyelesaikan sengketa Jaminan Hak Tanggungan dengan Parate Executie lebih efektif dan efisien dengan kata lain lebih memberikan manfaat bagi para pihak jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa jaminan dengan Titel Eksekutorial. Namun, untuk perlindungan preventif pada saat pra kontraktual maka akad syariah yang dipersiapkan bank syariah perlu dilengkapi dengan pembuatan Akta Pengakuan Pembiayaan (APP) yang disepakati debitur. 2. Rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan pada praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 maka para pihak tidak lagi terpaku bahwa dalam menyelesaikan sengketa jaminan hak tanggungannya melalui lembaga peradilan dan non litigasi dalam arti sempit yaitu secara non litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat juga menempuh proses non-litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasca Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 93/PUU-X/2012 telah diterbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang juga digunakan dalam penyesuaian pembuatan klausula akad syariah pada praktik perbankan syariah. Proses penyesuaian penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan di Pengadilan Agama dan Alternatif Dispute Resolution (ADR)-nya dilakukan antara Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri dan BASYARNAS serta MUI, OJK, Bank Syariah, Notaris yang membuat akad pembiyaan syariah untuk selalu berkoordinasi dan saling menghormati kewenangan masing-masing sesuai dengan pilihan dari masyarakat pemerhati dan peminat ekonomi syariah yang mencari keadilan. Kebijakan pemerintah dalam menata hukum perbankan syariah baik dari hukum materiil maupun hukum formilnya dengan mensikronkan antara peraturan.perundangan yang ada dan dalam melakukan penyamaan persepsi dan pemahaman yang berkembang di masyarakat tentang hukum ekonomi syariah khusunya perbankan syariah.

Gambar 1.

Prosedur Pendaftaran dan Proses Mediasi

Latar Belakang

Hasil dan Manfaat


(3)

penilaian ahli. Berdasarkan hasil dari penelitian pada tahun pertama tersebut maka peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang rekonstruksi lembaga penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan dalam praktik perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

Penelitian ini menggunakan tata aturan

socio legal

dengan pendekatan peraturan

perundang-undangan, sistem dan filsafati. Data

yang digunakan adalah data sekunder meliputi

bahan hukum primer dan sekunder yang digali

dari penelitian kepustakaan dan data primer

yang digali dengan melakukan Penelitian

Lapangan (

Field Research

) melalui observasi,

wawancara dan

Focus Group Discussion

(FGD)

wawancara kepada Hakim, Notaris, Pengawas di

OJK dan MUI, Bankir, Arbiter dan Nasabah Bank

Syariah. Analisis deskriptif kualitatif digunakan

untukmenggambarkan rekosntruksi lembaga

penyelesaian sengketa jaminan hak tanggungan

pada praktik perbankan syariah pasca Putusan

No.93/PUU-X/2012.


(4)

(5)

No ISBN

978-602-0952-40-6

.

.

3. PEMBICARA PADA PERTEMUAN ILMIAH (SEMINAR/SIMPOSIUM)

Keterangan

Pertemuan Ilmiah ke-1.

Judul Makalah

Jaminan dalam Praktik Perbankan Syariah

Nama Pertemuan Ilmiah

Pelatihan dan Talkshow

Tempat Pelaksanaan

Hotel Grasia, Semarang

Waktu Pelaksanaan

9/3/2016 12:00:00 AM

Jenis Pertemuan

Nasional

Status naskah

Sudah dilaksanakan

.

.

4. SEBAGAI PEMBICARA KUNCI (KEYNOTE SPEAKER)

Keterangan

5. UNDANGAN SEBAGAI VISITING SCIENTIST PADA PERGURUAN TINGGI LAIN

Keterangan

Perguruan tinggi pengundang

Universitas Diponegoro Semarang

Lama kegiatan

4 hari

Kegiatan penting yang

dilakukan

Menjadi Moderator, Pemateri Diskusi dan Juri Islamic Law Fair

Skala Pertemuan

Nasional

.

.

6. CAPAIAN LUARAN LAINNYA

Capaian

Uraian

Jejaring Kerja Sama

Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam

(APPHEISI), sebagai Ketua II, OJK, MUI, PENGDA INI,

ASBISINDO, PTA DIY, BASYARNAS DIY, MTT PP

Muhammadiyah, IKADIN DPD DIY.

.

.

, 27 - 10 - 2016

Ketua,


(6)

.

.

.

.