Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.93 PUU-X 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di
Indonesia pada tahun 1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.1 Hadirnya Bank Muamalat Indonesia ini merupakan
jawaban tersendiri bagi umat Islam yang menginginkan transaksi yang bebas riba
seperti yang terdapat di bank konvensional dan merupakan bank umum Islam pertama
yang menerapkan sistem bagi hasil yang berbeda dengan sistem perbankan yang
selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia. Bank syariah didirikan dengan tujuan
untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah
dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang
terkait.2
Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan hasil
dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Undangundang Nomor 3 Tahun 2004.3 Pada tahun 1998 dimulai penerapan dual banking
system di Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
1
Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16,
Nomor 2, Mei–Agustus 2009, hlm.105

2
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Adzkia Publisher, Cetakan
ke-7, 2009) hlm.3
3
Yusuf Wibisono, loc.cit.,

1

Universitas Sumatera Utara

2

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengizinkan perbankan
konvensional untuk membuka unit usaha syariah. Regulasi baru ini memicu ekspansi
industri perbankan syariah nasional secara signifikan dan sekaligus secara resmi
menandai penerimaan Bank Indonesia terhadap eksistensi bank syariah dalam dual
banking system.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menegaskan
tanggung-jawab bank sentral atas regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional
termasuk bank syariah. Melalui undang-undang ini, bank sentral juga mendapat

kewenangan untuk melakukan pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas pokok
tersebut mempertegas bahwa Bank Indonesia berkewajiban mengembangkan bank
syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai
dengan karakteristik bank syariah.
Dukungan undang-undang inilah yang kemudian melahirkan Biro Perbankan
Syariah di Bank Indonesia pada tahun 2001 yang kemudian pada tahun 2004
ditingkatkan statusnya menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Berbekal otoritas ini
pula, Bank Indonesia memperkenalkan instrumen moneter syariah pertama yaitu
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) di tahun 1999. Di tahun 2000, Bank
Indonesia bergerak maju dengan memperkenalkan Pasar Uang Antar-bank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Peran Bank Indonesia ini semakin diperkuat
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999.4

4

Yusuf Wibisono,Op.cit.,hlm. 106

Universitas Sumatera Utara


3

Di tahun 2002, Bank Indonesia memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah
melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh
Bank Umum Konvensional yang mengatur mengenai :5
1.
2.
3.
4.
5.

Konversi bank konvensional menjadi bank syariah;
Konversi cabang konvensional menjadi cabang syariah;
Konversi kantor kas konvensional menjadi cabang syariah;
Pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional; dan
Pembukaan unit syariah di cabang konvensional.
Melalui berbagai dukungan regulasi inilah, industri perbankan syariah tumbuh


pesat dan terhitung sejak tanggal 16 Juli tahun 2008, industri perbankan syariah
Indonesia secara resmi memasuki era baru. Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perbankan Syariah yang telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak
pertengahan 2005 sebagai RUU inisiatif DPR, telah disahkan sehingga Indonesia kini
resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu undang-undang nomor 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.6
Dibentuknya sistem perbankan syariah di Indonesia sebagai pilihan bagi
masyarakat untuk secara demokratis menggunakan jasa pelayanan perbankan, yaitu
pilihan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Penerapan dual
banking system harus berlandaskan pada karakteristik dari masing-masing sistem.
Perbedaan keduanya adalah bank umum melaksanakan kegiatan usaha secara

5
6

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara


4

konvensional dengan system bunga yang diyakini umat Islam sebagai yang
diharamkan.7
Untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan
kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.8 Berdasarkan
prinsip syariah, bank syariah dalam melakukan aktivitas usahanya tidak berdasarkan
kepada bunga, tetapi dengan sistem pola bagi hasil terhadap keuntungan atau
kerugian.9
Perbankan syariah merupakan praktik perbankan yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.10 Secara khusus bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).11 Adapun mengenai
prinsip adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
7


Muhaimin, Eksistensi Bank Syariah dan Pengembangannya di Indonesia, Tesis, UNDIP, 2001,

8

Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hlm.

hlm.8
26
9

Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi
Kontemporer, (Bandung : Cipta Pustaka Media, 2002) hlm.105
10
Penjelasan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, hlm.
11
Penjelasan Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, hlm.


Universitas Sumatera Utara

5

yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.12
Selain itu terdapat pula kekhususan yang lain, yaitu mengenai lembaga yang
menjadi forum penyelesaian manakala terjadi sengketa yang terdapat pada pasal 55
undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah :
Ayat (1)
Ayat (2)

Ayat (3)

: “penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilandalam lingkungan peradilan agama.”
: “dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.”
: “penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.”

Penjelasan Pasal 55

ayat (2) menimbulkan ketidakpastian hukum yang

memunculkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara
pihak bank syariah dengan nasabah, ketentuan tersebut selengkapnya berbunyi :
“Yang dimaksud dengan ‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad’ adalah upaya sebagai berikut :
(a) Musyawarah,
(b) Mediasi perbankan,
(c) Melalui BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain dan atau,
(d) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum”.
Kemunculan pasal 55 ayat (2) termasuk penjelasannya memberikan ruang
kepada para pihak untuk membuat pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariahnya selain melalui proses litigasi di pengadilan agama baik itu
melalui proses litigasi di pengadilan negeri maupun melalui proses non litigasi
melalui musyawarah, mediasi perbankan dan melalui basyarnas atau lembaga
12


Penjelasan Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, hlm.

Universitas Sumatera Utara

6

arbitrase lain selama hal tersebut diperjanjikan di dalam akad dengan catatan
mekanisme penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan prinsip syariah.
Terdapat kontradiktif yang jelas di mana yang satu secara tegas menyebutkan
dan yang lainnya membebaskan untuk memilih, maka lahirlah penafsiran sendirisendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak ada dan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28D ayat (1). Ketika peradilan ada dua,
kemudian para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan untuk memilih, hal
tersebut akan menimbulkan pertentangan antara lembaga penyelesaian sengketa
(conflict of dispute settlement) seperti basyarnas dengan pengadilan agama atau
antara basyarnas dengan pengadilan negeri atau antara pengadilan agama dengan
pengadilan negeri, yang mungkin muncul karena tidak terpenuhinya kepentingan para
pihak atau hasil dari penafsiran masing-masing pihak terhadap ketentuan pasal 55
ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penjelasannya tersebut, sehingga

akan menimbulkan kekacauan hukum (legaldisorder). Selain itu, akan menimbulkan
disparitas keputusan, sebab ketika putusan A lahir dari peradilan agama, sementara
putusan B lahir dari pengadilan umum untuk kasus yang sama, maka akan terjadi
keanehan bagi para pihak yang menerima.13
Apabila telah dipilih penggunaan jasa perbankan syariah maka konsekuensi
pilihan substansi hukum yang mengaturnya adalah hukum yang berdasarkan prinsip
syariah dan forum untuk menyelesaikannya secara litigasi adalah pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama dan untuk menyelesaikannya secara non-litigasi adalah
13

Putusan Mahkamah Konstitusi, op. cit., hlm. 9

Universitas Sumatera Utara

7

forum penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution atau ADR)
berdasarkan hukum syariah yang juga terkait dengan pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, seperti melalui musyawarah yang dipimpin oleh hakim di
lingkungan peradilan agama.14

Merupakan hal yang tepat jika penyelesaian perkara perbankan syariah
dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal
yang terkait dengan nilai-nilai syariat Islam. Apabila diserahkan pada sistem
peradilan yang tidak menerapkan aturan-aturan syariah, yang akan muncul adalah
ketidaksinkronan antara praktik akad dengan penyelesaian sengketanya. Akad
dilakukan di dalam sistem syariah, sementara penyelesaiannya dilakukan dalam
lingkungan peradilan yang tidak menggunakan aturan dan asas-asas syariah.
Akad atau perjanjian merupakan hukum yang mengikat bagi para pihak yang
melakukan akad atau perjanjian tersebut. Perjanjian atau akad tersebut harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata, “untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1.sepakat, 2.cakap, 3.suatu hal
tertentu, 4.suatu sebab yang halal”.
Dibuatnya akad atau perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan pasal
1337 KUHPerdata (suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum).
Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi batal demi hukum.
Demikian halnya perjanjian atau akad mengenai penyelesaian sengketa perbankan
14

ibid, hlm.47

Universitas Sumatera Utara

8

syariah harus pula memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata dengan ancaman
batal demi hukum berdasarkan pasal 1337 KUHPerdata. Sebab, suatu akad atau
perjanjian meskipun telah disepakati para pihak tidak dapat mengenyampingkan
kewenangan absolut pengadilan yang telah ditentukan dalam undang-undang.15
Pada penerapan akad-akad syariah, bank syariah harus mengacu pada hukum
positif yang ada. Akad-akad tersebut adalah prinsip, bukan jenis perjanjian bank
syariah. Dalam hal ini, bank syariah memberikan fasilitas pembiayaan, bukan
menjual atau menyewakan suatu barang. Akad jual beli atau sewa menyewa hanyalah
prinsip yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya, dalam
surat perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya tidak
menggunakan istilah-istilah perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, melainkan
perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 16
Sejak tumbuh dan berkembangnya aktifitas perbankan syariah di tahun 1998
penyelesaian sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase
oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berdiri secara resmi
tanggal 21 Oktober 1993 dan kemudian berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) pada tanggal 24 Desember 2003 melalui Surat Keputusan
Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 karena rata-rata akad
(perjanjian) antara bank syariah dengan nasabahnya selalu mencantumkan arbitration
clause.
15

Ibid, hlm. 44
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ketiga (Jakarta :
RajaGrafindo Persada 2006) hlm.362
16

Universitas Sumatera Utara

9

Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen
hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam
lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya.
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Mariam Darus
Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa bisnis
yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam.17
Namun sejak lahirnya undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan
atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul dispute
settlement option (pilihan penyelesaian sengketa yang baru, karena pasal 49 huruf (i)
undang-undang ini memberikan tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
Secara eksplisit peradilan agama dalam undang-undang nomor 50 tahun 2009
yang mengubah undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
dikatakan secara langsung bahwa salah satu kompetensi absolut peradilan agama
adalah menyelesaikan perkara-perkara sengketa ekonomi syariah dan perbankan
syariah masuk dalam bagian dari ekonomi syariah.18 Penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul pada perbankan syariah selain akan dilakukan melalui pengadilan di
lingkungan peradilan agama, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa
17

Majelis Ulama Indonesia,Sejarah BASYARNAS, http://www.mui.or.id/content/sejarahBASYARNAS, terakhir diakses pada tanggal 4 Juni 2014
18
Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012, op.cit., hlm.8

Universitas Sumatera Utara

10

melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan
di lingkungan peradilan umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.
Pembagian kewenangan absolut masing-masing peradilan juga telah ditegaskan
oleh undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menegaskan kewenangan peradilan agama sebagai berikut :
Pasal 25 ayat (3), “Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan
ketentuanperaturan perundang-undangan”.
Jika suatu undang-undang mempersilahkan untuk memilih menggunakan
fasilitas negara (lembaga peradilan), sedangkan ayat lainnya secara tegas telah
menentukan peradilan mana yang harus dipakai, maka dengan adanya dibebaskan
memilih akan menimbulkan berbagai penafsiran dari berbagai pihak apalagi
selanjutnya ayat lain mengisyaratkan harus memenuhi prinsip-prinsip dalam hal ini
prinsip syariah sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini dikarenakan
masing-masing lingkungan peradilan hanya berwenang mengadili terbatas pada kasus
yang dilimpahkan undang-undang.19 Oleh sebab itu, pada hakekatnya sebenarnya
pelemparan kompetensi absolut kepada selain lembaga yang tertulis secara langsung
adalah penyimpangan dari asas kepastian hukum yang diatur dalam UUD 1945, yaitu
pasal 28D Bab 10A tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin tentang kepastian
hukum bagi warganya.

19

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm.181

Universitas Sumatera Utara

11

Idealnya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di lingkungan
peradilan agama karena berkaitan dengan muamalah Islam (bisnis Islam) dan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah telah diberikan oleh
undang-undang sejak tahun 2006. Hal ini membuktikan bahwa belum efektifnya
penerapan dan pelaksanaan undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah, khususnya mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang akhirnya
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 ini merupakan
respon dari gugatan yang diajukan oleh Ir. H. Dadang Achmad20 (Direktur CV. Benua
Enginering Consultant) terhadap uji materiil pasal 55 ayat (2) dan (3) undang-undang
nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap pasal 28 ayat (1) UUD
1945 yang didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19
Oktober 2012 dengan nomor perkara 93/PUU-X/2012, pemohon uji materi sendiri
merupakan salah seorang nasabah Bank Muamalat Indonesia cabang Bogor dengan
melakukan akad dengan bank tersebut pada tanggal 9 Juli 2009 dan memperbaharui
akadnya dengan akad pembiayaan musyarakah pada tanggal 8 Maret 2010 di hadapan
Notaris Catur Virgo di Jakarta.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh
perlindungan dan kepastian hukum sebagai warga negara atas penjelasan pasal 55

20

Harian Merdeka Online,http://www.merdeka.com/uang/penyelesaian-sengketa-perbankansyariah-digugat-ke-mk.html, terakhir diakses pada tanggal 23 September 2014

Universitas Sumatera Utara

12

ayat (2) undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dinilai
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk mendapatkan gambaran yang utuh
mengenai akibat hukum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka
dilakukan penelitian dan analisis permasalahan-permasalahan yang ada hubungannya
dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Oleh karena itu dipilihlah judul
“Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian
sengketa perbankan syariah di Indonesia.”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka yang
menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi terhadap
penyelesaian sengketa perbankan syariah pada putusan No.93/PUU-X/2012 ?
2. Bagaimanakah

akibat

hukum

pasca

putusan

Mahkamah

Konstitusi

No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian sengketa Perbankan Syariah?
3. Bagaimanakah kesiapan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
Perbankan Syariah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan Majelis Hakim
Konstitusi terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah pada putusan
No.93/PUU-X/2012.

Universitas Sumatera Utara

13

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum pasca putusan
Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian sengketa
Perbankan Syariah.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis kesiapan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah pasca putusan Mahkamah
Konstitusi No.93/PUU-X/2012.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1.

Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan
sebagai bahan kajian dan kepustakaan khususnya tentang penyelesaian sengketa
perbankan syariah.
2.

Secara Praktis
Dengan mengetahui penjelasan dan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi

No.93/PUU-X/2012 diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para
mahasiswa dan masyarakat mengenai penyelesaian sengketa pada perbankan syariah
dengan jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula
bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi penelusuran di kepustakaan lingkungan Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Putusan

Universitas Sumatera Utara

14

Mahkamah

Konstitusi

No.93/PUU-X/2012

Terhadap

Penyelesaian

Sengketa

Perbankan Syariah di Indonesia” belum pernah ada yang meneliti. Akan tetapi ada
tesis tahun 2009 di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
oleh mahasiswa yang bernama RACHMANSYAH PURBA yang juga membahas
tentang penyelesaian sengketa perbankan Syariah dengan judul “Penyelesaian
Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.” Perumusan masalah tesis tersebut adalah :
1.

Bagaimana

cara

penyelesaian

sengketa

yang

terjadi

terkait

dengan

penyelenggaraan perbankan syariah?
2.

Bagaimanakah kesiapan peraturan hukum dalam menyediakan dasar hukum
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah?

3.

Pilihan forum apa saja yang tersedia dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah?
Pembahasan tesis ini mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah

sebelum dan sesudah berlakunya undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, hukum yang dijadikan pedoman oleh hakim peradilan agama
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dan pilihan forum yang tersedia
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari segi permasalahan tesis
tersebut berbeda dengan tesis ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai topik
permasalahan yang diteliti adalah asli.

Universitas Sumatera Utara

15

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional.
1.

Kerangka Teori.
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis

mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan
teoritis.21
Teori berasal dari kata theoria yang berasal dari bahasa latin yang artinya
pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan
sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan
kegiatan yang bersifat praktis.22 Agar kerangka teori meyakinkan, maka harus mampu
mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori
merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti untuk
memahami persoalan yang diteliti dengan bernar dan sesuai dengan kerangka berpikir
ilmiah.23
Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum
dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian
menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan
suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.24
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan

21

\M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Manda, Mandar Maju, 1994)

hlm.80
22

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2012) hlm.4
Zamakhsyari Hasballah, Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung :
Citra Pustaka Media Perintis, 2013) hlm.94
24
B. Arief Sidarta, Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007) hlm.31
23

Universitas Sumatera Utara

16

sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum dan teori assulh dipergunakan sebagai teori pendukung.
Tuntutan kehidupan yang semakin kompleks dan modern memaksasetiap
individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau tidak suka menginginkanadanya
kepastian, terutama kepastian hukum, sehingga setiap individu dapat menentukan hak
dan kewajibannya dengan jelas dan terstruktur.25
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah di putuskan.26
Menurut Scheltema adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi:27
a. Adanya legalitas;
b. Adanya Undang-Undang yang mengatur tindakan yang berwenang
sedemikian rupa sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;
c. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut;
d. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.
25

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : P3S,
2006) hlm.63
26
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group,
2008) hlm.158
27
Ida Bagus Putu Kumara Ady Adyara, Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan
Peraturan PerUndang-Undangan, (Malang : Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya, 2010) hlm.95

Universitas Sumatera Utara

17

Kepastian hukum menurut M. Solly Lubis ada 2 (dua) yaitu kepastian oleh
karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum
tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa
dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu
dibuat berdasarkan “rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undangundang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlain-lain.28
Sedangkan teori as-sulh menurut pandangan Zamakhsyari Hasballah adalah
merupakan akad untuk menyelesaikan suatu pertengkaran atau perselisihan menjadi
perdamaian.29
Hendi Suhendi berpendapat bahwa sulh adalah suatu akad yang bertujuan
mengakhiri perselisihan ataupun persengketaan.30
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun akad as-sulh itu hanya ijab
(ungkapan penawaran damai) dan qabul (ungkapan penerimaan damai). Menurut
Jumhur ulama, rukun as-sulh itu ada 4 (empat), yaitu31 :
a. Kedua belah pihak yang melakukan as-sulh.
b. Shighat as-sulh, yaitu Lafaz ijab dan qabul.
c. Ada kasus yang dipersengketakan.
d. Perdamaian yang disepakati kedua belah pihak.
Timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang terjadi antara nasabah dan
Bank Syariah, disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau
merasa dirugikan dan juga diakibatkan oleh tidak adanya pengaturan tentang
kepastian hukumyang jelas pada pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah.
Di satu sisi Undang-Undang Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama sebagai forum penyelesaian sengketa Perbankan
Syariah (Pasal 55 ayat 1). Tetapi di sisi lain, Undang-Undang Perbankan Syariah
28

M. Solly Lubis, op. cit, hlm.43
Zamakhsyari Hasballah, op.cit., hlm.52
30
Hendi Suhendi, Fiqih mu’amalah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.172
31
Ibid, hlm.173
29

Universitas Sumatera Utara

18

memungkinkan penyelesaian sengketa di luar lingkungan Peradilan Agama sesuai
dengan isi akad yang diperjanjikan para pihak (Pasal 55 ayat 2). Pada prinsipnya
memang pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan
mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai dengan prinsip
syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.
Dalam sistem perbankan syariah sebelum menyalurkan pembiayaan dari Bank
Syariah ke nasabah diwajibkan untuk membuat kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak sesuai dengan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut akad. Apa yang
dimaksud dengan akad disini adalah ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh pihak
yang berakad yang menunjukkan kerelaannya untuk berkontrak.32 Bank Indonesia
dalam beberapa ketentuannya telah juga memberikan defenisi akad yaitu Perjanjian
Tertulis yang memuat Ijab (Penawaran) dan Kabul (Penerimaan) antara Bank dan
pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak, sesuai dengan prinsip
syariah. Seperti antara lain yang disebutkan dalam peraturan Bank Indonesia Nomor :
7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 33

32

Abdul Halim El-Muhammady, Undang-Undang Muamalat & Aplikasinya Kepada ProdukProduk Perbankan Islam, (Selangor Darul ehsan : Aras Mega (M) SDN. BHD, 2006) hlm.41
33
H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Jakarta : Buku Seru, 2011) hlm.20

Universitas Sumatera Utara

19

Alasan yang melatarbelakangi didirikannya perbankan syariah karena adanya
keinginan umat Islam untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin melalui
kegiatan bisnis yang sesuai dengan perintah agamanya dan yang terakhir, adanya
keinginan umat Islam untuk mempunyai alternative pilihan dalam mempergunakan
jasa-jasa perbankan yang dirasakan lebih sesuai.34 Dengan demikian bahwa setiap
kata yang menyebutkan syariah berarti sama dengan penerapan khusus terhadap
semua aturan Islam.
Penerapan sistem perekonomian dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah
yang disebut juga dengan fiqih muamalah di negara yang mayoritas muslim ini,
merupakan hal yang sudah seharusnya dan bukan dengan sistem ekonomi kapitalis
atau sosialis yang jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah seperti
bebas riba, bebas gharrar (ketidakjelasan dan ketidakpastian), bebas maysir
(spekulatif), bebas produk haram dan bebas dari praktek akad yang fasid. Dengan
demikian bank syariah dapat memberikan keuntungan bagi para nasabah tanpa timbul
perasaan memperoleh keuntungan haram bagi para nasabah tersebut pada akhirnya
diharapkan akan turut meningkatkan perekonomian nasional.
2.

Konsepsi.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

34

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
(Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,1992) hlm.5

Universitas Sumatera Utara

20

dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”35.
Konsep merupakan dasar dari semua pemikiran dan komunikasi, namun sering
kurang diperhatikan apa konsep itu dan masalah yang ditemui dalam penggunaannya.
Di dalam penelitian, masalah khusus sangat membutuhkan ketepatan suatu konsep
dan keahlian untuk menemukannya atau menciptakannya (inventiveness).36
Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep. Menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan defenisi
operasional.“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional.”37
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda
tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan
konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut :
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.38
b. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah suatu putusan oleh Majelis Hakim
Kontitusi, yang juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi dan lembaga
35

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1999) hlm.34
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) hlm.70
37
Sumandi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1998) hlm.3
38
Dwi Prastowo dan Rifka Juliaty, Analisis Laporan Keuangan, Cetakan Kedua, (Yogyakarta :
Penerbit AMP YKPN, 2002) hlm.52
36

Universitas Sumatera Utara

21

pelindung hak konstitusioal warga negara, yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu gugatan yang bersifat final.
c. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di
samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. 39
d. Sengketa adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah
kepada

penyelenggara

mediasi

perbankan,

setelah

melalui

proses

penyelenggaraan pengaduan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang penyelesaian pengaduan nasabah.40
e. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalammelaksanakan kegiatan usahanya.41
f. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.42

39

Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi (Konstitusi Press,
Jakarta & Citra Media, Yogyakarta, 2006) hlm.118
40
Pasal 1 Angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006
41
Pasal 1 Bab 1 Undang-undang Perbankan Syariah No. 21Tahun 2008
42
Pasal 1 angka 10 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Tahun
1999

Universitas Sumatera Utara

22

g. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam yang bertugas, berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang -orang
yang beragama Islam di bidang, perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;
zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.43

G. Metode Penelitian
Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefenisikan sebagai
usaha untuk

menemukan,

mengembangkan

dan

menguji

kebenaran

suatu

pengetahuan.44 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah
yang disebut dengan metodologi penelitian.45 Sebagai suatu penelitian ilmiah maka
rangkaian kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data
yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :
1.

Sifat dan Jenis Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, maksudnya penelitian hukum dalam

rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.46
Jenis penelitian yang diterapkan memakai metode pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum47,
43

Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press,
2009) hlm.91
45
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
UGM, 1973) hlm.5
46
Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
hlm.3
44

Universitas Sumatera Utara

23

penelitian dilakukan dengan cara menitikberatkan penelitian pada data sekunder atau
data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini, kemudian
menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan
suatu doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang dibahas.48
Di samping itu, untuk mendukung penelitian ini juga menggunakan penelitian
hukum empiris yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan
kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif, hasil pengumpulan dan
informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang
dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini untuk
mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yg terjadi ketika suatu sistem norma
tersebut bekerja di dalam masyarakat.49
2.

Sumber Data.
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai

data. Dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder.
a.

Data Primer.
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli.
Data primer didapat melalui wawancara, yaitu dengan :
47

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang : PT. Ghalia Indonesia, 1996)

hlm.3
48

Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian HukumNormatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995) hlm. 13
49
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hlm.49

Universitas Sumatera Utara

24

- Hakim Pengadilan Agama Medan
- Notaris di Medan dan Binjai, yang dilakukan dengan berpedoman pada
pertanyaan yang telah disusun.
b. Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang
dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji bahan hukum primer,
sekunder dan tersier50. Hal ini sebagai dasar pengetahuan dan titik acuan dalam
melakukan pembahasan melalui sumber data tertulis seperti buku-buku ilmiah,
peraturan perundang-undangan, putusan, maupun dokumen resmi yang dikeluarkan
pemerintah.
1.

Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.51 Bahan hukum
primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) maupun
berbagai macam perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan obyek
penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder bahan hukum primer yang
digunakan adalah Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Undang-undang No. Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
perubahannya No. Tahun 2009, peraturan-peraturan tentang Perbankan, dan
putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012.
50

Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, op.cit., hlm.13
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990) hlm.53
51

Universitas Sumatera Utara

25

2.

Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang isinya memperkuat dan memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer52, berupa buku-buku hukum, tulisan
para ahli, makalah-makalah yang disampaikan dalam seminar, jurnal, sumber
data dari media elektronik berupa internet, majalah, dan surat kabar mengenai
penyelesaian sengketa perbankan syariah.

3.

Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan
yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer
dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang

dilakukan untuk mengungkap atau menjaring berbagai informasi sesuai dengan
lingkup penelitian. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan
ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research) dan data yang
langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research).
Penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi serta
memelajarai dokumen-dokumen, buku-buku, teori-teori, peraturan perundangundangan, artikel, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa
perbankan syariah. Selain itu dilakukan pengumpulan data menggunakan pedoman
wawancara dengan narasumber.

52

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

26

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung
secara lisan bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.53 Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara
terstruktur, dimana hal-hal yang akan ditanyakan telah ditetapkan sebelumnya
mengenai aspek-aspek dari masalah yang diteliti.
4.

Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kuantitatif.
Metode kuantitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.54 Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari
asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat kompleks, padanya
terdapat regulitas atau pola tertentu, namun penuh keragaman.55
Kegiatan analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data
primer dan data sekunder, selanjutnya dilakukan pengelompokkan dan penyusunan
data secara berurutan dan sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan
metode deskriptif analisis. Selanjutnya ditarik kesimpulan agar diperoleh gambaran
secara menyeluruh tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah
keluarnya putusan MK No.93/PUU-X/2012.

53

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001)

hlm. 81
54

Lexy J. Meolong, Metode Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 3
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003) hlm. 53
55

Universitas Sumatera Utara