Konsep etos kerja menurut hadis (studi Analisis Sanad)

KONSEP ETOS KERJA MENURUT HADIS
(Studi Analisis Sanad)

Diajukan Pada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapat Gelar
Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh
Abdul Rasyid
104034001227

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H/2011 M

KATA PENGANTAR

‫ ا ا
 ا‬
Bismillahirrahmaanirrahiim

Puji syukur hanya milik Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat mendapatkan gelar
sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
manusia pilihan pembawa risalah Islam yang ajarannya tidak lapuk tertelan jaman.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, baik
berupa dukungan moral maupun materi. Dalam kesempata ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berjasa memberikan bantuannya. Ucapan terima kasih
secara khusus penulis tujukan kepada :
1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal.
2. Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Bustamin, M.Si
3. Sekretaris jurusan Tafsir Hadis, Dr. Lili Ummi Kaltsum, MA.
4. Pembimbing Bapak Drs. Harun Rasyid, MA, atas pengorbanan waktu dan
kesabarannya dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi sehingga penulisan
skripsi ini selesai.
5. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir
Hadis yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
6. Orang tua penulis, Ayahanda H. Hasan Basri dan Ibunda Hj. Rokayanih, yang telah
sabar mendidik, menasehati untuk keberhasilan anak-anaknya. Doa dan baktiku
semoga keduanya dalam rahmat dan lindungan-Nya.


i

7. Sahabat-sahabatku yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi
dikampus tercinta dan semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, semoga
Allah SWT membalas segala kebaikannya dengan yang setimpal. Akhirnya, penulis
berharap semua skripsi ini memberikan sumbangsih khazanah keilmuan dan
bermanfaat bagi pembaca, khusunya bagi penulis.

Jakarta, 13 Februari 2011

Penulis

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
buku Chicago and Turabian Style, University of California Berkeley.
Konsonan
Huruf Arab


Huruf Latin

Keterangan

‫ا‬

-

Tidak dilambangkan

‫ب‬

B

Be

‫ت‬

T


Te

‫ث‬

Th

Te dan ha

‫ج‬

J

je

‫ح‬



ha dengan titik bawah


‫خ‬

kh

ka dan ha

‫د‬

D

da

‫ذ‬

dh

de dan ha

‫ر‬


R

er

‫ز‬

Z

zet

‫س‬

S

es

‫ش‬

Sh


es dan ha

‫ص‬



es dengan titik bawah

‫ض‬



de dengan titik bawah

‫ط‬



te dengan titik bawah


‫ظ‬



zet dengan titik bawah

‫ع‬

،

koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

‫غ‬

gh

ge dan ha

‫ف‬


F

ef

‫ق‬

Q

ki

‫ك‬

K

ka

‫ل‬

L


el

‫م‬

M

em

‫ن‬

N

en

iii

‫و‬

W


we

‫هـ‬

H

ha

‫ء‬



Apostrof

‫ي‬

Y

ye

Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti bahasa indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong)
dan vokal rangkap (diftong). Untuk vokal tunggal penulisannya adalah:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
َ
A
ِ
I
ُ
U
Adapun vokal rangkap penulisannya adalah:
Tanda Vokal Arab
‫ي‬
َ
‫و‬
َ
‫ي‬
ِ

Tanda Vokal Latin
Ay
Aw
i>

keterangan
fath}ah}
kasrah
d{ammah

keterangan
a dan ye
a dan we
i dengan garis di atas

Vokal panjang (Madd)
Ketentuan penulisan vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
keterangan
#‫ـــ‬
a>
a dengan garis di atas
$‫ــ‬
i>
I dengan garis di atas
%‫ــ‬
u>
U dengan garis di atas
Adapun ‫ ى‬yang terletak pada akhir kata juga menunjukkan huruf vokal panjang yang
tertulis a, contoh:
Penulisan
Hatta>
u>la

Kata Arab
ّ
‫او‬

iv

Ta>' Marbu>t}ah (‫)ة‬
a. Ketika ada kata benda (noun) dan kata sifat (adjective) diakhiri dengan huruf ‫ة‬, atau
didahului dengan kata sambung ‫ ال‬dan diikuti kata sifat (na't), maka ‫ ة‬ditulis dengan
huruf h, contohnya:
Penulisan
Kata Arab
‫ة‬
s}ala>h
  ‫ا
  ا‬
al-Risa>lah al-bahi>yah
b. Ketika ada kata yang diakhiri dengan ‫ة‬diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf ‫ة‬
ditulis t, contohnya:
Penulisan
Kata Arab
 
 ‫وزارة ا‬
Wizara>t al-Tarbiyah
‫
اة ا ن‬
Mir'a>t al-zama>n
c. Ketika ada huruf yang berakhiran dengan ‫ ة‬berkedudukan sebagai kata keterangan ,
maka ‫ ة‬ditulis ‫( ة‬tan), contoh:
Penulisan
faj'atan

Kata Arab
‫*) ًة‬+

Shaddah (Tashdid)
Shaddah atau tashdid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda,
namun dalam penulisan ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda shaddah itu, contoh:
Penulisan
shawwa>l
s}awwara

Kata Arab
‫!ّال‬
َ
‫ّار‬
َ

Kata Sandang
Kata Sandang, yang dalam sistem bahasa Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan
lam, dituliskan menjadi huruf ‫ا‬, baik diikuti oleh huruf shamshiyah maupun qamariyah,
contoh:

v

Penulisan

Kata Arab

al-as}l

"#‫ا‬

al-d{aru>rah

‫ّ
ورة‬$ ‫ا‬

Penulisan  dan ‫ا‬
Penulisan

Kata Arab

Ah{mad ibn Muhammad ibn Abi> al-Rabi>'

( 
‫ ا' ا‬%&  % ‫ا‬

Sharh Ibn ‘Aqi>l‘ala Alfi>yat

 - ‫
ا‬,+ " *+ ‫!
ح ا‬

Ibn Malik

.  ‫ا‬

vi

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i
PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................vii
\
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah .................................................................................1
B. Pembatasan dan perumusan masalah.............................................................6
C. Tujuan penulisan ............................................................................................6
D. Metodologi penelitian....................................................................................6
E. Tinjauan pustaka............................................................................................7
F. Sistematika penulisan ....................................................................................8
BAB II : KONSEP ISLAM TENTANG ETOS KERJA
A. Etos Kerja
1. Pengetian Etos Kerja ..............................................................................9
2. Karakteristik Etos Kerja .........................................................................12
3. Urgensi dan Tujuan Etos kerja ...............................................................15
B. Ajaran Islam Tentang Etos Kerja ..................................................................19
BAB III : HADIS-HADIS TENTANG ETOS KERJA
A. Materi Hadis Tentang Etos Kerja dan Terjemahnya....................................26
B. Asbabul Wurud Hadis Etos Kerja.................................................................33
C. Pemikiran Ulama Tentang Etos kerja...........................................................34
BAB IV : ANALISA KUALITAS HADIS DAN PEMAHAMAN KONTEKSTUAL
HADIS
A.

Analisa Sanad Hadis Tentang Etos Kerja ..................................................36

B.

Kandungan Makna Hadis Tentang Etos Kerja...........................................55

C.

Relevansi Hadis Tentang Etos Kerja Dengan Kondisi Kekinian...............56

vii

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................58
B. Saran ............................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................60

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah dasar Tasyri‘ Islam (hukum Islam) yang pertama.
Sedangkan as-sunnah merupakan dasar Tasyri‘ Islam yang kedua. Keduanya
merupakan sumber ajaran Islam. H{{adi>s/sunnah menempati posisi yang penting
dalam kehidupan umat Islam. Sebab didalamnya terdapat aturan-aturan yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an masih bersifat global, maka
penjelas dari al-Qur’an itu adalah h{adi>s. Tetapi, dalam periwayatan h{adi>s kadang
terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya, untuk itu perlu diadakan pengkajian
tentang h{adi>s-h{adi>s dimaksud.
Manusia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan. Manusia diciptakan oleh
Tuhan bukan hanya sebagai hiasan pekerjaan, tetapi juga sebagai suatu ciptaan
yang diberi tugas, dan salah satu tugasnya ialah memelihara ciptaan ini dengan
pekerjaannya. Dengan demikian, kerja merupakan tugas Ilahi, yang mengandung
kewajiban dan hak.
Kerja sebagai suatu upaya untuk merubah kehidupan manusia, maka
manusia dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi dalam kehidupannya,
karena mustahil bila kita tidak bekerja mendapatkan hidup yang layak. Islam
sebagai sebuah agama mengajarkan kepada umatnya untuk meningkatkan
usahanya dan ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah Allah swt
berfirmaan:

1

2

           
(10 :

‫ع‬

( .    

Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.( al-Jumuah: ayat 10)
Ayat tersebut di atas, menjelaskan bahwa kaum muslimin dianjurkan
untuk bekerja keras. Sebab bekerja dan kesadaran bekerja mempunyai dua
dimensi yang berbeda menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya, karena makna
dan hakikat bekerja adalah fitrah manusia yang dapat memanusiakan manusia itu
sendiri lewat bekerja. Sedangkan dari kesadaran bekerja akan melahirkan nilai
yang lebih bermakna dalam hidup.
Ajaran Islam sangat menyeimbangkan antara kekuatan-kekuatan material,
ekonomi dan politik dengan daya moral yang bersifat rohani, menyeimbangkan
antara kebutuhan individu dengan kepentingan masyarakat.
Namun perlu disadari bahwa seorang muslim bekerja tidaklah hanya
sekedar untuk mendapatkan gaji, pangkat atau hanya sekedar menjaga gengsi
agar tidak disebut sebagai pengangguran. Karena kesadaran bekerja secara
produktif akan melahirkan semangat dan tanggung jawab yang merupakan ciri
khas dan karakter kepribadian seorang muslim.
Maka semua hasil pekerjaan seorang muslim yang dilakukan untuk
menafkahi istri, anak dan pembantunya, pekerjaan dapat dikatakan sebagai
sha>daqah. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw :

‫ع‬
‫ف‬

‫ع ع‬
‫ف‬

‫ع‬

‫ع‬
‫ف‬

‫ع‬

‫خ‬

‫ث‬

‫عئ‬

‫ع ع‬

3

‫ج‬

‫ط‬

‫ع‬
)

‫ص‬
(

Terjemahnya : Telah menceritakan kepadaku Muhamma>d ibn Kasi>r, telah
mengkabarkan kepadaku Sufya>n ibn Mansu>r, dari Ibrahi>m, dari Uma>rah ibn
Umair, dari budaknya, ia bertanya kepada Aisyah ra, di Hijir Yatim, makanan
dari hartamu sendiri, ia berkata : Rasulullah saw bersabda, ‚Sesungguhnya
sebaik-baik makanan adalah hasil dari tangannya sendiri, dan hasil usahanya itu
untuk anak-anaknya‛(HR. Abi Daud).
Dari konteks ayat dan h{adi>s diatas, Toto Tasmara berpendapat sebagai
berikut:
‚ayat diatas harus dilihat dalam pengertian dan tafsir aktual yang membumi dan
workable, khususnya dalam memberikan dorongan kepada kita semua yang telah
ditunjuk sebagai khai>ru umma>h, sosok umat pilihan yang mempunyai potensi
untuk mencapai amal prestatif yang terpuji, dapat dibanggakan dan berdimensi
luas.‛ 2
Kiranya menghadapi pasar bebas , umat Islam harus meningkatkan etos
kerja yang dimilikinya, sebab apabila ini tidak segera dilakukan oleh umat Islam
khususnya di Indonesia, umat islam akan terpinggirkan. Karena era pasar bebas
sudah nampak di depan mata. Sebuah era yang mengharuskan setiap orang
berkompetensi untuk dapat mempertahankan hidupnya dan memperoleh
kelayakan hidup di dunia dengan menggunakan skill dan pengetahuan yang
mumpuni sehingga dapat menikmati fasilitas yang memadai.
Dari h{adi>s tersebut di atas, disebutkan bahwa Islam sangat menganjurkan
untuk berusaha sebab hasil usaha itu disamping merupakan kewajiban bagi sang

1

Sulaiman Ibn al-Asy‘As as-Syizistani,Sunan Abi> Dau>d, kitab al-buyu, bab Ar-rajulu
ya'kulu min maalin waladihi (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998),h. 544
2
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim ( Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. 2,
h. 9

4

suami, hal itu juga merupakan sedekah orang yang memberi nafkah kepada
keluarganya tersebut.
Islam juga tidak mengajarkan umatnya untuk meminta-minta, hal ini
sesuai dengan h{adi>s Nabi saw sebagai berikut :

‫ع‬

‫فع ع‬

‫ع‬

‫ع‬

‫عف‬
‫ئ‬

‫ف‬

‫ع ع‬

‫ث‬

‫ع‬

‫ع‬

‫ص‬

،

‫ع خ‬

:

‫ع‬

‫ع‬

Terjemahnya : Telah menceritakan Qutaiba>h ibn Sa‘id dari Ma>lik ibn
Anas dari Na>fi‘ dari Ibn Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: ketika beliau di
atas mimbar sedang membicarakan masalah sedekah dan menghindari perbuatan
meminta-minta, Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah.
Tangan yang diatas adalah memberi dan tangan yang dibawah adalah pemintaminta.4
Dari h{adi>s diatas dianjurkan kepada umat Islam untuk memberi dan
dilarang untuk meminta-minta, karena tangan yang memberi itu lebih baik dari
tangan yang diberi.
Fenomena sekarang ini, kadang orang sering diberi dari pada memberi, hal
ini dapat disaksikan di tengah-tengah kota dan pinggiran kota, dimana
gelandangan

dan

pengemis

yang

disebut

dengan

gepeng,

merupakan

pemandangan keseharian di kota-kota besar di Indonesia, bahkan pencurian,
penganiayaan, penodongan dan perampokan sering terjadi baik lokal maupun
Nasional. Salah satu faktor pemicu kesalahan tersebut menurut asumsi penulis
karena persoalan ekonomi. Maka orang berfikir untuk cepat mendapatkan uang

3

Abi> al-Husai>n Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Khusyairi an-Naisaburi, kitab
Zakat, bab bayan inna al-yadul al-Ulya khaiirun Min al-Yadul as-Shufla (Beirut : Dar al-Kutub
al-Alamiah, th),h. 413
4
Hamzah Ya`kub, Etos Kerja Islami; Petunjuk Pekerjaan yang Halan dan Haram dalam
Syariat Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) h.12.

5

dengan cara mudah, padahal Islam sangat melarang hal itu. Untuk itu, penelitian
terhadap hadis tentang etos kerja ini menarik untuk diteliti, sebab Islam di
Indonesia masyarakatnya merupakan mayoritas pemeluk Islam, maka kepada
umat Islam dituntut untuk membangun etos kerja dan membangun umat dengan
meningkatkan taraf ekonomi yaitu dengan bekerja keras sebagaimana banyak
dianjurkan dalam al-Qur’an dan H{adi>s.
Untuk lebih jauh perlu dilakukan pencarian terhadap h{adi>s ini, karena
sangatlah penting mengingat para ulama melalui penelitiannya telah membagi
hadis kepada h{adi>s sha>hi>h, h{adi>s hasan, dan h{adi>s dhai>f. Dengan demikian, maka
banyak h{adi>s yang mardu>d (ditolak)/karena cacat pada sanad atau matannya.
Untuk itu, perlu diadakan penelitian terhadap suatu h{adi>s guna
mengetahui validitas h{adi>s tersebut, agar suatu h{adi>s dapat diketahui apakah ia
dapat dijadikan hujja>h atau tidak dalam menetapkan hukum. Inilah yang menjadi
landasan penelitian ulama terhadap h{adi>s-h{adi>s terutama dari segi sanadnya yang
ditempuh dengan metode takhri>j.
Arti dari Takhri>j adalah upaya penelitian kembali atau mengeluarkan
suatu h{adi>s dari kitab-kitab h{adi>s. Untuk menganalisa keadaan sanadnya, baik
aspek keseimbangan , mata rantai perawi, maupun tingkat kredibilitas para rawi.
Karena dengan demikian akan diketahui tingkat validitas h{adi>s.
Dengan latar belakang faktor-faktor diatas, maka melalui skripsi ini
penulis ingin membahas lebih jauh lagi masalah tentang etos kerja. Karena etos
kerja sangat berhubungan dengan apa yang menjadi tujuan manusia didalam
melakukan aktivitasnya. Terutama didalam bekerja.

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengkaji atau menelaah suatu permasalahan tentunya tidak terlepas dari
pembahasan dalam berbagai aspek terkait dengan masalah tersebut. Namun
penjelasan yang detail juga dapat membuat penelitian tersebut cenderung bersifat
bias dan tidak tentu arah. Hal itu dikarenakan banyaknya masalah yang
ditentukan dalam penelitian.
Dalam permasalahan yang melatarbelakangi pembahasan ini, maka
penulis membatasi penelitian berkaitan dengan topik h{adi>s

ini, yaitu pada

penelitian jalur sanad al-Da>rimi>, dan Abi> Dau>d.
Dari uraian diatas, maka perumusan masalah dalam skripsi ini, dapat
dirumuskan sebagai berikut: ‚ Bagaimanakah kualitas sanad h{adi>s Nabi tentang
Etos kerja?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah
untuk mengetahui h{adi>s-h{adi>s yang mempunyai korelasi dengan etos kerja
sekaligus mengetahui sejauhmana kualitas sanad dan matannya. Juga
memberikan motivasi ataupun dorongan kepada setiap muslim agar senantiasa
semangat dalam mencari rizqi Allah SWT dimuka bumi ini yang tentunya
dengan konsep-konsep yang sesuai dengan syariat Islam sebagaimana yang
diajarkan Rasulullah SAW untuk mensejahterakan diri, keluarga dan umat secara
umum baik di dunia maupun di akherat.
D. Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melakukan studi kepustakaan
(library research) dengan merujuk kepada sumber kitab-kitab h{adi>s. Untuk
mengkaji h{adi>s tersebut, penulis menggunakan alat berupa kitab-kitab Ima>m
Tirmi>dhi>, Ima>m Nasai>,dan Ima>m Abi> Dau>d. Untuk penelusuran periwayatan dan

7

penyelidikan sanad h{adi>s dengan merujuk kepada sumber primer yang tersebut
diatas. Sedangkan untuk mengkaji h{adi>s tersebut, penulis menggunakan alat
bantu yang berupa kitab-kitab kamus. Seperti kitab al-Mu‘jam al-Mufahras Li

alfa>d{ al-H{adi>s al-Nabawi,> Mausu>a‘ah al-At}ra>f al-H{adi>s al-Na>bawi> al-Shari>f,
Mifta>h} Kunu>z al-Sunna>h, kitab Rija>l al-H{adi>s, kitab Shara>h} al-H{adi>s, kitab
Tahdhi>b al-Tahdhi>b dan kitab Tahdhi>b al-Kama>l Fi asma>’ al-Rija>l. Adapun data
sekunder merupakan sumber pendukung yang masih ada relevansinya dengan
pembahasan skripsi ini.
Dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan
metode deskriptip analitis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat
muhadditsin, untuk kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Sedangkan tehnik
penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi
yang ada di pedoman Akademik Tahun 2004/2005 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
E. Tinjauan Pustaka
Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama skripsi dan karya
ilmiyah di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, serta Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan karya ilmiah yang secara
khusus membahas tentang konsep etos kerja menurut h{adi>s. Memang ada satu
skripsi yang membahas tentang etos kerja, namun sama sekali tidak berkenaan
dengan tema yang penulis teliti. Skripsi tersebut berjudul ‚Motivasi Kerja Dalam
Perspektif Rasulullah‛ yang ditulis oleh Heri Khairiyah tahun 2004, dalam
skripsi ini penulis belum melihat h{adi>s yang dibahas mengenai kualitas sanad
yang ada.

8

F. Sistematika Penyusunan
Untuk mencapai suatu kesimpulan dan agar penulisan lebih sistematis,
maka dituangkan dalam bentuk penulisan yang disusun dengan sistematika
sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari skripsi ini. Bab ini
memberikan umum penelitian isinya mengenai pendahuluan, yang terdiri dari
latar belakang masalah yang memberikan gambaran secara global bentuk dan isi
penelitian, Pembatasan dan Perumusan masalah, Metodologi penelitian serta
sistematika penyusunannya

Bab kedua, mengenai kerangka teori yang menguraikan berbagai macam
permasalahan mengenai etos kerja, yang didalamnya terdapat, pengertian etos
kerja, karakteristik etos kerja, urgensi dan tujuan etos kerja,serta ajaran islam
tentang etos kerja.

Bab ketiga, Hadis-hadis tentang etos kerja yang didalamnya terdapat materi
hadis tentang etos kerja, as-babul wurud dan pemikiranan ulama tantang etos
kerja.

Bab keempat, Analisa kualitas hadis dan pemahaman kontekstual hadis yang
berisikan analisa sanad hadis tentang etos kerja, kandungan makna hadis tentang
etos kerja, dan relevansi hadis tentang etos kerja dengan kondisi kekinian.

Bab kelima, Merupakan penutup dari skripsi ini, yang berisikan kesimpulan yang
didasari pada bab-bab yang sebelumnya, dan juga termuat didalamnya saransaran, dan diakhiri dengan Daftar Pustaka

BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG ETOS KERJA
A. Etos Kerja
1. Pengertian Etos Kerja
Etos kerja terdiri dari dua suku kata yang berbeda, yaitu ‚etos‛ dan
‚Kerja‛. Secara etimologis etos berasal dari kata Yunani yang berarti sesuatu
yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja.
Kemudian pada perkembangannya etos berarti juga ‚ethic‛ yaitu,
pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal pula ‚etiket‛ yang artinya cara
bersopan santun yang dalam agama disebut sebagai akhlak.
Etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap
pribadi harus mengisi etika tersebut dengan nilai-nilai yang syar`i dalam arti yang
aktual, sehingga cara dirinya mempersepsi sesuatu selalu positif dan sejauh
mungkin terus berupaya untuk menghindari hal yang negatif. Dengan demikian
makna etos disini adalah norma, serta cara diri memandang, mempersepsi dan
meyakini sesuatu.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia etos berarti pandangan hidup yang
khas suatu golongan sosial. Sedangkan etos kebudayaan adalah sifat, nilai, dan
adat istiadat khas yang member watak pada kebudayaan suatu golongan sosial
dimasyarakat.1 Dan dalam arti yang sederhana makna etos menurut Jansen
Sinamo adalah adat istiadat atau kebiasaan.2
Kata yang kedua adalah Kerja yang dalam kamus besar bahasa Indonesia
diartikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan atau diperbuat.

1

Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka), hal.237
Jansen Sinamo, Delapan Etos Kerja Propesional, Navigator Anda Menuju Sukses
(Jakarta: Malta Printindo, 2008), hal. 23
2

9

10

Atau dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah
atau mata pencaharian.3
Dalam kamus munji>d di sebutkan kerja berarti,‘`amila, kasaba dan sa`a,
namun kata kasaba memiliki arti yang menunjukan pada sebuah pekerjaan yang
menghasilkan keuntungan.4
‚Kerja‛ jika dijalankan sesuai ajaran Islam, ia merupakan salah satu bentuk jihad
yang tidak dapat dipisahkan dari signifikansi religius dan spiritual yang tercakup
didalamnya. Didalam bahasa Arab kata ‚kerja‛ biasanya disebut ‘amal dan shun’
yang nanti akan melahirkan berbagai derivasinya, seperti ma’mal (laboratorium)
atau shâni’ (produsen). Diantara kedua kata ini, yang pertama berarti ‚tindakan‛,
sedangkan yang kedua berarti ‚membuat‛ atau ‚memproduksi‛ sesutau yang
dalam pengertian artistik dan keterampilan.
Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis
dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan
rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT.
Pada kehidupan sehari-hari manusia memiliki dua macam fungsi;
pertama, bertindak didalam atau terhadap dunia. Kedua, membuat sesuatu
dengan mengolah ulang bahan-bahan dan objek-objek yang diambil dari dunia
sekelilingnya. Pada prinsipnya, etika (etos) kerja dalam Islam melingkupi dua
macam fungsi ini, yaitu ‘amal atau s}un’, sebab ajaran Islam melingkupi seluruh
jaringan tindakan perbuatan manusia. Sementara prinsip-prinsip aspek shun’ atau
‚seni‛ dalam pengertian primordial kata itu, berkaitan dengan dimensi spiritual
pewahyuan Islami.

3
4

Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka), hal.240
Louis Ma`luf, Al-Munjid (Bairut: Daar Al-Masyrik, 1977), hal.530

11

Apabila etos dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih khas.
Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang
menyatu. Makna khas itu adalah bahwa etos kerja merupakan concern pragmatis.
Ia membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula bermakna
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang dengan
sengaja diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan
manusia itu sendiri, entah itu jasmani atau rohani atau pertahanan terhadap
kekayaan yang telah diperoleh.
Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau pandangan manusia
terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi

nilai-nilai

yang

diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat,
kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam
suatu negara.5
Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan
mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan
evaluasi itu akan tercipta gerak grafik menanjak dan meningkat dalam waktuwaktu berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat
dijadikan pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang
akan diambil kemudian. Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life
yaitu sebagai daya dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap individu atau
kelompok pada sisi yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti
sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan,
yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang dianutnya.
Sedangkan menurut Musa Asy`ari etos kerja berarti refleksi dari sikap
hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang
mendasar, maka kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan
5

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 14.

12

hidup yang berorientasi pada nilai nilai yang berdimensi transenden. Oleh karena
itu, salah satu hal yang ingin dicari sebagai sumber untuk menemukan etos kerja
adalah dari agama. Karena agama bagi pemeluknya merupakan system nilai yang
mendasari seluruh aktifitas hidupnya, maka kerja merupakan perwujudan dan
realisasi diri dari ajaran agama.6
2. Karakteristik Etos Kerja
Karakteristik orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan
tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu
panggilan dan perintah Allah yang memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya
sebagai bagian dari manusia pilihan (khai>ru Umma>h).
Secara eksplisit karakteristik etos kerja dapat digambarkan pada nilainilai berikut:
a. Memilki jiwa kepemimpinan (leadership)
Pemimpin berarti mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi
orang lain, agar orang lain tersebut dapat berbuat sesuai dengan keinginannya.
Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus
memainkan peran, sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada
lingkungannya. Dia larut dalam keyakinannya tapi tidak segan untuk menerima
kritik, bahkan mengikuti apa yang terbaik.
Karakteristik dari seorang pemimpin bukan tipikal pengekor, terima jadi.
Karena sebagai seorang pemimpin dia sudah dilatih untuk berpikir kritis, analitis
karena dia sadar bahwa seluruh hidupnya akan diminta pertanggungjawabanya di
hadapan Allah SWT.

6

Musa Asy`ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi (Yokjakarta:
1997).cet.1

Lesfi,

13

b. Evaluasi diri.
Mengenai evaluasi diri untuk memotivasi etos kerja dalam sebuah atsar
disebutkan:

‫غ‬

‫خ‬

‫ ع‬،

‫ع‬

‫ع‬

"Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya
dan beribadahlah untuk akhirat seakan-akan engkau akan mati besok".

Umar ibn Khattab pernah berkata: maka hendaklah kamu menghitung diri
kamu sendiri, sebelum datang hari dimana engkau yang akan diperhitungkan dan
hal ini sejalan dan senapas dengan firman Allah yang berbunyi:7

           
       
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.al-Hasyr:18)

Setiap langkah dalam kehidupannya selalu memperhitungkan segala aspek
dan resikonya dan tentu saja sebuah perhitungan yang rasional, tidak percaya
dengan tahayul apalagi segala macam mistik atribut kemusyrikan. Komitmen
pada janji dan disiplin pada waktu merupakan citra seorang muslim sejati.
Didalam bekerja dan berusaha, akan tampaklah jejak seorang muslim yang
selalu teguh pendirian, tepat janji, dan berhitung dengan waktu.
7

Toto Tasmara, Etos kerja Pribadi Muslim (Jakarta: Dana Bakti Waqaf), h. 31

14

c. Menghargai waktu
Tentang pentingnya makna dan pemanfaatan waktu sebagai mana tersurat
dalam al-A'shr ayat 1-3. Waktu adalah rahmat yang tiada terhitung nilainya.
Baginya pengertian terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang
sangat besar. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya dia menjadikan waktu
sebagai wadah produktivitas.
Menyusun tujuan, membuat perencanaan kerja, dan kemudian melakukan
evaluasi atas hasil kerja dirinya, merupakan salah satu cirri dan karakter seorang
mujahid. Seorang mujahid adalah tipikal manusia yang sangat memperhatikan
waktu. Baginya waktu adalah sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan
deretan kalimat kerja dan prestasi.
d. Hidup berhemat dan efisien
Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang pelari
marathon-lintas alam, yang harus berjalan dan lari jarak jauh. Maka akan
tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di dalam mengelola setiap
"resources" yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak produktif dan
mubadzir karena mubadzir adalah sekutunya setan yang maha jelas.
Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin menumpuk kekayaan, sehingga
melahirkan sifat kikir individualistis. Tetapi berhemat dikarenakan ada satu
reserve, bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara luas, ada up and down,
sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi dimasa yang
akan datang.
e. Ulet dan pantang menyerah
Keuletan merupakan modal yang sangat besar didalam menghadapi segala
macam tantangan atau tekanan sebab sejarah telah banyak membuktikan betapa
banyaknya bangsa-bangsa yang mempunyai sejarah pahit akhirnya dapat keluar

15

dengan berbagai inovasi, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi
lingkungannya.
Sikap istiqa>mah, kerja keras, tangguh dan ulet akan tumbuh sebagai bagian
dari kepribadian diri kita seandainya kita mampu dan gemar hidup dalam
tantangan. Menyadari hal ini maka seorang muslim yang mempunyai etos kerja,
berupaya untuk membuat tantangan, target, dan arah kemana mereka harus
menuju.
Pribadi muslim yang membumi, mampu melihat realitas dan dari
pengalamannya mampu merangkum dan melakukan berbagai improvisasi untuk
mengelola tantangan atau tekanan menjadi satu kekuatan.
3. Urgensi dan tujuan etos kerja
Urgensi dan tujuan menjadi pengrajin dan perintah bekerja keras dalam
Islam, bukanlah sekedar memenuhi naluri, yakni hidup untuk kepentingan perut.
Islam memberikan pengarahan kepada satu tujuan filosofis yang luhur, tujuan
yang mulia, tujuan yang ideal yang sempurna yakni untuk berta`abud,
memperhambakan diri, mencari keridhaan Allah SWT.
Semua usaha dan aktifitas seorang muslim, baik bercorak duniawiah
maupun bercorak ukhrawiyah pada hakekatnya tertuju pada suatu titik tumpuan
falsafah hidup muslim, yaitu keridhaan Allah SWT. Seperti yang ditandaskan
dalam firman Allah SWT.

      
Terjemahnya : Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Adz-Dzariyat : 56)

16

Selain dari tujuan etos kerja diatas Hamzah Ya'`qub mengklasifikasikan
urgensi dan tujuan etos kerja yaitu:8
1. Memenuhi kebutuhan hidup
Kita hidup di dunia ini mempunyai sejumlah kebutuhan yang bermacammacam yang terbagi kedalam tiga tingkatan:
a.

Kebutuhan Primer (Pokok) seperti kebutuhan makanan, minuman,
pakaian, dan tempat tinggal.

b. Kebutuhan sekunder seperti keperluan terhadap kendaraan, radio dan
sebagainya.
c. Kebutuhan Lux (mewah) seperti manusia memiliki perabot lux,
kendaraan mewah dan sebagainya.
Islam menyuruh memenuhi keperluan tersebut dan sebaiknya tidak
melawan naluri secara terpaksa. Islam menyuruh makan dan minum yang h{ala>l,
suci bersih dan sehat. Islam menyuruh menutup aurat dengan menikmati pakaian
yang diturunkan Allah. Selanjutnya Allah memberikan kepandaian dan
kecakapan kepada manusia melindungi dirinya ketika istirahat dengan
menciptakan rumah.
Sudah barang tentu untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, baik
makan, minum,pakaian dan tempat tinggal mustilah tanpa dengan ikhti>ya>r dan
rajin bekerja sebagai manifestasi dari nilai etos kerja
Ikhti>ya>r memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah perintah agama
tercakup dalam alquran surat Al-Qashas ayat 77

8

Hamzah Ya`qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk pekerjaan yang halal dan haram dalam
syariat islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hal. 14

17

          
            
      
Terjemahnya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.( Al-Qashas ayat 77)
Perintah menunaikan tugas dan tanggung jawab kita dihadapan Allah
adalah prinsip dalam doktrin Islam melalui pengabdian kita terhadap Allah.
1. Memenuhi nafkah keluarga
Suami atau kepala rumah tangga adalah bertanggung jawab atas
kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga. Seperti ditegakan oleh Rasulullah
dalam hadis muttafaqun alaihi berikut:

‫ع‬

‫عف‬
‫ف‬

،

‫ع‬

‫ع‬

‫ج‬

، ‫ع‬

‫ع‬

‫ج‬
‫ع‬

‫ع‬
‫ع ف‬

‫ع‬

، ‫ع‬
‫ع‬

Terjemahnya: kamu sekalian adalah pengurus dan akan dimintai
pertanggungjawaban dalam hal kepengurusannya. Suami adalah pemimpin
terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban dari
kepemimpinannya.
9

Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut:Dar alFikr, 1994), Juz 3, h. 151

18

Kewajiban tanggungjawab tersebut menimbulkan konsekuensi bagi suami
sebagai

kepala

keluarga.

Fungsi

dan

tanggungjawabnya

itulah

yang

mengharuskannya bangkit bergerak dan rajin bekerja.
Memenuhi kebutuhan keluarga bukan hanya kewajiban dan tanggungjawab
semata, melainkan juga kebajikan yang mendapatkan pahala. Dengan kata lain
memberikan nafqah pada keluarga juga termasuk ibadah dalam pengertian yang
luas. Itulah salah satu tujuan yang mulia etos kerja dalam pandangan Islam.
2. Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal dari etos kerja adalah menolak sejumlah kemungkaran
yang mungkian dapat terjadi pada orang yang menganggur. Dengan bekerja dan
berusaha berarti menghilangkan salah satu sifat dan sikap yang buruk berupa
kemalasan dan penggangguran.
Dalam doa Rasulullah saw disebutkan memohon perlindungan dari
kemalasan. Apabila etos kerja dapat ditegakkan sebaik-baiknya, maka kesulitan
yang menimpa pribadi dan masyarakat dapat dihindari. Aktifitas kerja yang
ditata dalam pola-pola yang benar berdasarkan prinsip syariat Islam akan
menghilangkan segala kesulitan dan sebaliknya menumbuhkan kesejahteraan dan
kemakmuran.
Apabila garis sosial menjadi sejahtera maka kemungkaran lainnya dapat
dikurangi bahkan dapat dihilangkan. Seperti pencurian, perampokan, perjudian,
korupsi dan sebagainya. Perbuatan buruk itu timbul dalam situasi dan kondisi
sosial yang buruk dan ketiadaan lapangan kerja.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ideal etos kerja adalah mencegah
kemungkaran dan amar ma‘ruf nahi> mungkar termasuk dalam rangkaian tugas
kewajiban muslim. Begitu besar pandangan Islam terhadap etos kerja, dalam

19

Islam kerja bukanlah sekedar untuk dunia saja, bukan hanya mengejar gaji, juga
bukan semata untuk menepis gengsi. Akan tetapi merupakan bentuk tanggung
jawab dengan semangat tauhid (Uluhiyah) yang semua aktifitas kerja seorang
muslim harus diniatkan untuk beribadah dan mencari ridha kepada Allah SWT.
B. Ajaran Islam Tentang Etos Kerja
Manusia secara fitrah tidak bisa dipisahkan oleh pekerjaan. Manusia
diciptakan oleh Allah bukan hanya sebagai hiasan pekerjaan, namun juga sebagai
suatu ciptaan yang diberikan tugas, dan salah satunya adalah memelihara
ciptaannya yaitu menjadi khali>fah dimuka bumi.10
Al-Qur`an dan sunah bagi setiap muslim merupakan suatu pedoman
landasan moral di dalam melaksanakan pekerjaannya, demi terbentuknya kualitas
etos kerja yang tinggi. Etos kerja pribadi muslim dapat dikatakan sebagaimana
yang dikemukakan Sahlan Samlawi " perilaku moral semestinya bersendikan
pada ajaran Islam bagi seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya. Karena etos
kerja pribadi muslim adalah akhlak seseorang dalam bekerja menurut ajaran
Islam.11
Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara
layak sebagai manusia, paling tidak ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa
sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau
membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang
harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia
mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai
tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang
dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi, dan

10

Dawam Raharjo, Islam Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta:Lembaga Studi
Agama dan Filsafat,1999), hal.247
11
Sahlan Samlawi, Pedoman dan Penghayatan Ajaran Moralitas Islam (Jakarta: Penebar
Aksara, 1999), h.52

20

memanfaatkan rezeki. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk
memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh
penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia
sebagai Khalifah seizin Allah. Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor
penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan berusaha di muka
bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali
menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran ‚tawakkal‛ yang
seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan
usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW,
dalam sejumlah h{adi>s, sangat menghargai ‚kerja‛, seperti salah satu h{adi>snya.

‫ع‬

‫ع‬

‫ع خ‬

‫ع ث‬
‫ع‬

‫ع‬

‫ع‬
‫ص‬

‫خ‬

‫ث‬
‫ع ع‬

‫ع‬

‫ّخ‬

‫طع‬
‫ع‬

Terjemahnya: Telah menceritakan Ibrahi>m ibn Mu>sa, telah mengkabarkan
Isa> ibn Yu>nus dari Tsau>rin dari Kha>lid ibn Ma‘da>n dari Mikda>m RA. Dari
Rasulullah saw beliau bersabda: tidak seorangpun memakan satu makanan yang
lebih baik dari apa yang ia makan dari hasil kerja tangannya dan sesungguhnya
Nabi Dau>d itu makan dari hasil kerja tangannya.13

H{adi>s di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus
meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan
sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya
kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang
12

Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahi>h al-Bukha>ri> (Beirut:Dar alFikr, 1994), Juz 3, h. 12
13
Misbahul Munir, Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah, Kajian Hadis Nabi dalam
Persperktif Ekonomi (Malang: Uin Press, 2007), Cet 1, h. 105

21

berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan
berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.
Dalam beberapa ayat di al-Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam
kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau
berusaha, antara lain pada Surah al-Jumu‘ah ayat 10, dinyatakan:

          
   
Terjemahnya: Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.‛
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang
tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya
dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis),
Rasulullah SAW bersabda: ‚Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal
bersama para nabi, siddi>qi>n, dan syuha>da>.‛ (HR al-Tirmidzi). Dan pada h{adi>s
yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: ‚Makanan yang paling baik
dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.‛ (HR al-Bukhari)
Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat
tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal
tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya
karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat,
sebagaimana Firman Allah SWT:

22

            
           
         
Terjemahnya:. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati
di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka
sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS.an-Nisa : 100)
Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan
menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam
tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima sha>da>qah, tetapi
orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal
sebagaimana h{adi>s Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫ع ع‬
‫ع‬

‫ف‬

‫ث‬

‫ع‬

‫ع‬

‫ص‬
‫ف‬

‫ج‬

‫ص‬

‫ث‬

‫ع ع‬

‫ع عع‬

‫ف‬

Terjemahnya:‚Telah menceritakan Abu> Khu>raib, dan Washi>l ibn Abdul
A‘la,berkata telah menceritakan Ibn Fhu>dh} ail dari Uma>rah ibn Qha‘qha dari Abi>
Jur‘ah dari Abi> Hu>rai>rah berkata,bersabda Rasulullah SAW: Bila seseorang
meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya
dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.‛ (H.R.
Muslim).14

14

hal. 63

Yusuf Qardhawi, kiat islam mengentaskan kemiskinan (Jakarta: Gema insani Press),

23

Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang
meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn Qayyi>m,
bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap
Rabbul‘alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.
Tindakan zalim terhadap hak Rabbu>l‘alami>n artinya meminta, berharap,
menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan
berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat
meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan
permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara
memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memenuhi
permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol.
Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku
zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri,
menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela
menundukkan kepala kepada sesama

makhluk. Ia menjual

kesabaran,

ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada
orang lain. Islam menuntun setiap orang untuk mendayagunakan semua potensi
dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang
mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk
membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.
Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki
yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan
susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam
membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian,
kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah
terombang-ambing tanpa pegangan. Dengan demikian hubungan antara aktifitas
kerja dan prinsip-prinsip Islam tidak dapat dipisahkan atau inheren. Sebagaimana

24

lahir dan batin, hubungan antara keduanya ibarat matahari dengan pancaran
sinarnya, karena Islam memancarkan etos kerja yang baik, agar aktifitas
mendapatkan hasil yang terbaik, mulia dan terhormat.15
Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk
mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka
harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber
daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai
sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat
dari kemiskinan.
Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang
dapat

merusak

bangunan

masyarakatnya.

Masyarakat

Islam

dituntut

menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di
samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani
pekerjaan tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang
ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam
dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya.
Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi
kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di
akhirat, adalah membangkitkan kembali semangat Ukhuwah Islamiyah di antara
kita. Hal ini merupakan tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat
Muslim yang peduli terhadap keluarga dan saudaranya. Umat Islam di seluruh
jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat ‚duduk sama rendah berdiri sama
tinggi‛ dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu disadari,
bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa ia sendiri yang
mengubah nasibnya, oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos

15

2, h. 15

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet.

25

kerja agar tidak tertinggal oleh yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:

            
              
) 11 : ‫ع‬

(          

Terjemahnya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya,