Talqin mayit setelah penguburan (analisis sanad dan matan hadis)

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I)

Ismail

NIM: 105034001174

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H / 2010 M.


(2)

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ismail

NIM: 105034001174

Di bawah Bimbingan

Dr. M. Isa HA Salam, MA.

NIP. 1953 1231 198603 1 010

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H / 2010 M.


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Juni 2010


(4)

di uji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I) Program Srata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 16 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Sekretaris, Merangkap Penguji II

Dr. M. Suryadinata, MA Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP. 1960 0908 1989903 1 005 NIP. 19770120 200312 1 003

Anggota

Penguji I

Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001

Pembimbing

Dr. M. Isa HA Salam, MA. NIP. 1953 1231 198603 1 010


(5)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji milik Allah, penulis memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Dan juga berlindung dari kejelekan amal-amal dan keburukan diri peribadi. Bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya.

Dengan berkat taufiq dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang diinginkan, ini semua tidak akan dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari beberapa pihak yang telah dengan senang hati memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhinga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan Perpustakaan umum dan Perpustakaan Ushuluddin beserta staff, yang telah memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis menjalani dan mengakhiri kuliah jenjang S1 ini.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Sarda dan Ibunda Siti Nurjanah. Terima kasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada penulis. Serta dukungan moril, materil dan juga tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi yang kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan materi, hanya do’alah yang dapat penulis berikan. Serta saudara-saudaraku yang tercinta, Kakakku Nasihin, Kulsumawati, Joko, dan Suwita yang telah memberikan dukungan serta do’a kepada penulis.

8. KH. Drs. Najib al-Ayyubi, Drs. H. Ujang Jufri, Ust. Maulana Sufyan Hadi, dan al-Habib al-Idrus ibn Ali al-Habsyi, terima kasih atas bantuan dan do’anya buat penulis.

9. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005 diantaranya Th.a: Marullah, S.Th.I, Syarif, Hasan, Rizki, S.Th.I ,Hafidz, S.Th.I, Ubay, S.Th.I, Sahal, S.Th.I, Aqib, Hendri, Amar, S.Th.I, Zaenal, S.Th.I, Agus, S.Th.I, Rahman, Maksal, Izi, S.Th.I, Izu, S.Th.I, Fitri, S.Th.I, Shofi, S.Th.I, Vina, S.Th.I,


(7)

kepada para dosen yang telah memberikan pendidikan kepada kami, sehingga ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat dan barokah. Semoga kita semua senantiasa selalu dalam bimbingan, Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 16 Juni 2010 penulis


(8)

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j je

ح

h ha dengan garis di bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis di bawah

ض

d de dengan garis di bawah

ط

t te dengan garis di bawah

ظ

z zet dengan garis di bawah

ع

' koma terbalik di atas, menghadap ke kanan

غ

g ge

ف

f ef

ق

q ki

ك

k ka

ل

l el

م

m em

ن

n en

      

Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), 2007.


(9)

ي

Vokal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

ي

ai a dan i

و

au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

â a dengan topi di atas

î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak


(10)

Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (

لا

), dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukanar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Ta Marbūtah

No Kata Arab Alih Bahasa

1

ﺔﻘ ﺮﻃ

tarîqah

2

ﺔ ﻣ ﺳ ا

ﺔﻌﻣﺎ ﻟا

al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3

دﻮ ﻮﻟا

ةﺪﺣو

wahdat al-wujûd


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …. ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian ……….... ... 13

D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian... 14

E. Tinjauan Kepustakaan ……. ... 14

F. Metodologi Penelitian ……. ... 15

G. Sistematika Penulisan …….. ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQIN SERTA KEWAJIBAN TERHADAP ORANG MATI A.Pengertian Talqin ... 18

1. Menurut Bahasa ... 18

2. Menurut Istilah ... 18

B.Sejarah Perkembangan Talqin 1. Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat ... 19

2. Perkembangan Talqin pada Masa kini ... 22

C. Pendapat Para Ulama Tentang Talqin ... 24

BAB III ANALISA HADIS-HADIS TALQIN MAYIT SETELAH PENGUBURAN A. Hadis Pertama ………….... ... 31


(12)

c. Kritik Sanad …….... ... 39

B. Hadis Kedua ... 42

a. Penelitian Sanad Hadis Kedua ... 44

b. I’tibar Sanad ……... ... 45

c. Kritik Sanad …….... ... 48

C. Kritik Matan ……….... ... 60

a. Hadis ke-1 ………… ... 61

b. Hadis ke-2 ………… ... 64

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………. …. ... 67

B. Saran ……….. ... 68

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN   


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan juga seringkali muncul berbagai macam fenomena keagamaan, sehingga terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah masalah talqîn mayit.

Fenomena itu sering menjadi bahan perdebatan ditengah masyarakat, khususnya antara kalangan Islam tradisionalis dengan Islam reformis. Semua perdebatan yang muncul mengarah pada aspek hukum talqîn. Satu pihak menyatakan bahwa talqîn merupakan budaya yang baik dan berguna yang perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan karena sangat berguna bagi simayit. Sedangkan kelompok lain menganggap bahwa talqîn merupakan salah satu bentuk penyimpangan (bid’ah) dalam Islam karena tidak ada dalilnya dan sekalipun ada dalilnya itu sangat lemah.

Secara umum talqîn mayit itu ada dua, pertama ada talqîn mayit sebelum meninggal, yaitu ketika si mayit sedang mengadapi naza’ (sakaratul maut). Sebagaimana dalam suatu riwayat, ‘Umâr bin al-Khattab r.a berkata: “


(14)

Ilâha illallâh, karena sesungguhnya mereka melihat apa yang kalian tidak lihat. “Ajaran untuk men-talqîn-kan itu bersumber dari petunjuk Nabi Saw. sebagaimana diriwayatkan antara lain oleh Imam Muslim melalui Abû Sa’îd al-Khudrî r.a1 :

ﱠﻟا

ﱠ إ

ﻟإ

آﺎ ﻮﻣ

اﻮ ﻘﻟ

Talqîn-kanlah orang yang mati diantaramu dengan lâ Ilâha illallâh”2

Kedua, talqîn mayit setelah meninggal, talqîn inilah yang telah banyak menimbulkan khilafiah (perbedaan pendapat) dikalangan para ulama. Menurut keterangan yang sudah lama ada, bahwa talqîn mayit itu sudah ada dari zaman para sahabat Nabi, zaman Tâbi’în dan Tâbi’î Tâbi’în kemudian diteruskan oleh ulama-ulama salâf dan khalâf, bahwa semua orang meninggal itu di-talqîn-kan, keterangan ini berdasarkan pendapat seorang ulama besar yang dijuluki Hujjâtul Islam yaitu Imam Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Fatâwâ al-Kubrâ3, beliau berkata: “bahwa talqîn mayit ini sudah dimulai sejak zaman sahabat-sahabat Nabi Saw., bahwasanya mereka memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah r.a dan sahabat-sahabat lainnya dan mereka juga telah meriwayatkannya dari Nabi Saw.,:

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

      

1

, M.Qurais Sihab, Kehidupan Setelah Kematian,(Tangerang, Lentera Hati, 2008), Cet.2, h.34 

2

Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, Sahîh Muslim,( Beirut, Dar al-Jayl) Juz.3, h.37 

3

Taqiyyuddîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, (Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.24 


(15)

Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Digolongkan saja ia kepada ibunya Siti Hawa (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)5

      

4

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 

5


(16)

Maksud hadis diatas seolah-olah mengindikasikan bahwa hendaklah orang yang baru meninggal itu diberikan ketetapan dan ketabahan hati dengan jalan diingatkan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jawaban-jawaban yang semestinya, yang harus dijawabnya kepada malaikat-malaikat penanya, yaitu Munkar dan Nakir, dengan harapan agar si mayit dapat melalui masa-masa tersebut dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ,6 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama

sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).

Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

7

“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau):”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”

Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik,8 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah       

6

Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 

7

Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166.  


(17)

pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling adil.9

Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzab

dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya.10 Sekitar pada abad 14 H., seorang ulama Ahli hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî, menyanggah pendapat diatas dengan berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dan dikatakan oleh al-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Bahkan Al-Haitsami juga mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”

Beliau juga berkomentar: “talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”

Inilah yang menjadi perhatian penulis dalam rangka menyusun skripsi ini. Hadis yang telah disepakati oleh sebagian ulama salâf boleh untuk diamalkan karena ada hadis pendukung yang memperkuat nilai hadis tersebut, dan bahkan sudah sejak lama diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin, namun pada kasus ini seorang ahli hadis yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkomentar: “Hal ini        

8

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 

9

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 

10

 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, (Bangil: Yayasan Pendidikan Islam “DARUSSALÂM” , Cet.III, 1988) h.86 


(18)

jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadail a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah, dan hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya.”11 Akan tetapi pendapat beliau ini juga bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadail a’mal. Dalam kaitannya dengan permasalahan hadis, disini penulis merasa perlu untuk melakukan analisis sanad dan matan hadis tentang talqin agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap hadis-hadis talqîn baik untuk dilakukan. Selajutnya penulis mengangkatnya sebagai judul skripsi:Talqîn Mayit Setelah Penguburan” (Analisis Sanad dan Matan Hadis)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam mengkaji dan menganalisa suatu masalah baik berupa data-data atau yang lainnya, diperlukan pembatasan dan perumusan masalah untuk mengindari kekeliruan dan kerancuan dalam pembahasan, maka disini penulis telah membatasi masalah yang akan dikaji dengan mencoba menganalisa dengan metode takhrîj terhadap sebagian hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan. Diantara batasan dalam penilitiannya sebagai berikut;

Penulis telah meneliti semua hadis-hadis yang berkaitan dengan talqîn mayit setelah penguburan dari berbagai kitab hadis, akan tetapi sejauh penelitian       

11

 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits al-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992), h.65 


(19)

ini dilakukan, disini penulis hanya menemukan tiga hadis yang cocok dengan judul diatas, dan diantara hadisnya ada yang merupakan hadis pendukung, misalnya disini penulis menemukan salah satu hadis yang bersumber dari kitab

Sunan Abî Dâwud, kemudian hadis tersebut telah dikomentari oleh salah seorang ulama hadis yaitu Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, bahwa hadis tersebut merupakan pendukung dari hadis Abû Umâmah, sehingga hadis tersebut merupakan diantara salah satu hadis yang akan penulis teliti dari hadis-hadis yang lain. Dan dibawah ini adalah hadis-hadis-hadis-hadis yang akan diteliti, yang telah penulis temukan dari berbagai kitab-kitab hadis, sebagai berikut:

1. Kitab Sahîh Muslim Karya Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,), Juz.1, h.78

2. Kitab Sunan Abî Dâwud Karya Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘ats as-Sijistany, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 3. Kitab al-Mu’jam al-Kabîr Karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyûb Abû

Al-Qasim Al-Tabrânî. (Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1983.M/ 1404.H ), Juz.8, h.249.

Hadis ke-1

ﺎ ﱠﺪﺣ

ﺪﱠ ﻣ

ﻰﱠ ﻟا

ىﺰ ﻌﻟا

ﻮ أو

ﻌﻣ

ﻰ ﺎ ﱠﺮﻟا

قﺎ ﺳإو

رﻮ ﻣ

ﻬ آ

ﻰ أ

ﻆ ﱠﻟاو

ﻰﱠ ﻟا

ﺎ ﱠﺪﺣ

كﺎﱠ ﱠﻀﻟا

ﻰ ﻌ

ﺎ أ

لﺎ

ﺎ ﺮ أ

ةﻮ ﺣ

لﺎ

ﻰ ﱠﺪﺣ

ﺪ ﺰ

ﻰ أ

ا

ﺔﺳﺎ

ىﺮﻬ ﻟا

لﺎ

ﺎ ﺮﻀﺣ

وﺮ

صﺎﻌﻟا

ﻮهو

ﺔ ﺎ ﺳ

تﻮ ﻟا

.

ﻰﻜ

ﻮﻃ

لﱠﻮﺣو

ﻬ و

ﻰﻟإ

راﺪ ﻟا


(20)

لﺎ

طﺮ

اذﺎ

.

نأ

ﻰﻟ

.

لﺎ

ﺎﻣأ

ﱠنأ

م ﺳ ا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

ﱠنأو

ةﺮ ﻬﻟا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

ﺎﻬ

ﱠنأو

ﱠ ﻟا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

.

ﺎﻣو

نﺎآ

ﺪﺣأ

ﱠ ﺣأ

ﱠﻰﻟإ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﷲا

ﺳو

و

ﱠ أ

ﺎﻣو

آ

ﻃأ

نأ

ﻣأ

ﱠﻰ

إ

ﻮﻟو

نأ

أ

ﺎﻣ

ﻘﻃأ

آأ

ﻣأ

ﱠﻰ

ﻮﻟو

لﺎ ﻟا

تﻮ ﺮﻟ

نأ

نﻮآأ

هأ

ﺔﱠ ﻟا

ﺎ ﻟو

ءﺎ أ

ﺎﻣ

ىردأ

ﺎﻣ

ﻰﻟﺎﺣ

ﺎﻬ

اذﺈ

ﺎ أ

ﺔ ﺎ

و

رﺎ

اذﺈ

ﻰ ﻮ د

اﻮ

ﱠﻰ

باﺮ ﻟا

ﺎً

اﻮ أ

لﻮﺣ

ىﺮ

رﺪ

ﺎﻣ

روﺰ

ﻘ و

ﺎﻬ ﻟ

ﻰﱠﺣ

ﺄ ﺳأ

ﺮﻈ أو

اذﺎﻣ

ارأ

ﺳر

ﻰ ر

12        12

 Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisabury Sahîh Muslim. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,), Juz.1, h.78 


(21)

”Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ al-‘Anazî dan Abû Ma’in al-Raqqâsyî dan Ishâq ibn Mansûr, mereka semua dari Abî ‘Âsim dan lafadz oleh Ibn Mutsannâ, Ia bercerita kepada kami al-Dahhâq, yaitu Abû ‘Âsim ia berkata: Mengabarkan kepada kami Haiwah ibn Syuraîh, ia berkata: Telah bercerita kepada kami Yazîd ibn Abî Habîb dari Ibn Syumâsah al-Mahriyyî r,a., katanya “Kami menyaksikan Amru Ibn ‘Âs ketika dia hendak meninggal. Dia lama menangis sambil mengadapkan mukanya ke dinding. Karena itu anaknya berujar, “wahai ayahku,! Bukankah Rasulullah saw telah menyampaikan berita gembira bagi ayah, begini dan begitu. ( Kenapa ayah masih menangis?)” Lalu Amru Ibn ‘As menengok kepada anaknya sambil berkata : “sesungguhnya perbekalan kita yang paling utama adalah syahadat : Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Aku ini telah mengalami tiga zaman. Pertama, aku menyadari, tidak ada orang yang paling benci kepada rasulullah Saw, melebihi benciku. Ketika itu tidak ada yang lebih kuinginkan kecuali menangkapnya lalu membunuhnya. Kalaulah aku meninggal ketika itu, tentulah aku masuk neraka. Kedua, tatkala Allah menanamkan Islam ke dalam dadaku, aku datangi Nabi Saw. lalu aku berujar, “Ulurkanlah tangan anda, aku hendak berjanji setia dengan anda” beliau mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku sambil berkata, “ Apa maksudmu hai ‘Amr?” Jawabku “aku hendak masuk Islam dengan syarat” Tanya beliau “ apa syarat yang hendak engkau pinta?” jawabku “ supaya dosaku diampuni” kata beliau “ apakah engkau belum tahu, bahwa islam mengapus segala dosa yang sebelumnya?” semenjak itu aku merasakan tidak ada orang yang paling cinta kepadaku melebihi cinta Rasulullah Saw. dan tidak ada orang yang paling terhornat melebihi beliau. Sebab itu aku tak kuasa demi untuk memuliakannya. Sehingga aku diminta orang untuk menggambarkan bentuk beliau, aku tak sanggup, karena aku tak pernah mengangkat pandanganku kepada beliau. Kalaulah aku mati ketika itu, sungguh besar harapanku bahwa aku masuk surga. Ketiga, kemudian aku menjabat berbagai jabatan pemerintah, dimana aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanku selama dalam jabatan-jabatan itu. Karena itu, jika aku mati, janganlah jenazahku diantar para wanita peratap dan jangan pula membawa api. Apabila aku telah dikubur, timbunlah jenazah ku dengan rata, kemudian tunggulah kira-kira selama orang menyembelih kurban dan membagi-bagikan dagingnya, supaya aku tidak kesepian bersamamu, tatkala aku memikirkan jawaban tehadap malaikat yang dikirim Tuhanmu untuk menanyaiku”13

      

13

Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Nisâbûrî, trjmh. Ma’mur Dâwud, Terjemah Sahîh Muslim,( Malaysia: KLANG BOOK CENTRE, 1997, Cet.5) h.56  


(22)

Hadis ke-2

ﺎ ﱠﺪﺣ

ﻮ أ

أ

ﺎﻟﻮ ﻟا

ﺪﱠ ﻣ

هاﺮ إ

ءﺎ ﻌﻟا

ﻟا

ﺎ ﺳإ

شﺎ

ﷲا

ﺪﱠ ﻣ

ﺮﻘﻟا

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

ﻮﻜ

ن

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

14

“Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim Khaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ’i al-Hamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada kami ‘‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan       

14

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 


(23)

nazza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)15

Hadis ke-3

ﺎ ﱠﺪﺣ

هاﺮ إ

ﻰﺳﻮﻣ

ئزاﱠﺮﻟا

ﺎ ﺪﺣ

مﺎ ه

ﷲا

نﺎ ر

ﺎه

ﻰﻟﻮﻣ

نﺎ

نﺎ

نﺎﱠ

لﺎ

:

نﺎآ

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

16

“Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî, telah bercerita kepada kami Hisyâm, dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn Raisân dari Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit       

15

Sirajuddin,Abbas 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 

16

Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166.  


(24)

berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya.

Pada hadis yang pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab

Sahîh-nya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir semua ahli hadis dari kalangan ulama Sunni sepakat bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Kitab

Sahîh Muslim itu sudah diakui ke-sahîh-an sanad-nya. Oleh karena itu penulis tidak akan meneliti hadis tersebut.

Dalam penilitian sanad ini penulis Hanya terfokus pada dua hadis saja, yaitu hadis kedua dan hadis ketiga, yang masing-masing berada dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr dan Sunan Abî Dâwud yang keduanya merupakan kumpulan dari kitab-kitab hadisdan Kutub al-Tis’ah

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan?

2. Kalau ternyata ada hadis daif lalu apakah ada hadis yang lain yang dapat mendukung kelemahannya (mutabî’ dan syahîd)17 dalam kitab lain.

      

17

Mutabi’ ialah orang yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu), sedangkan syahîd ialah meriwayatkan sebuah hadis lain dengan sesuai ma’nanya. Lihat Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalah al-Hadis, h. 86-87  


(25)

3. Bagaimana pemahaman hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan? Dan bisakah hadis tersebut dijadikan Hujjah dalam beramal?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kualitas hadis yang menjadi pembahasan 2. Bisakah hadis tersebut dijadikan hujjah dalam beramal

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I), program Strata satu (S1) dari jurusan Tafsir HadisFakultas Usuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian

Penulis berharap skripsi ini sangat berguna serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya perihal tentang talqîn mayit, karena dalam agama Islam kita sangat dianjurkan ketika dalam setiap menjalankan ibadah harus memiliki landasan bahwa ibadah yang sedang kita jalankan itu memang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah (hadis) Rasulullah Saw. Mudah-mudahan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan kepada masyarakat bahwa talqîn mayit setelah penguburan yang selama ini mereka jalankan itu bukan hanya sekedar adat istiadat belaka tetapi memang benar-benar ada sumber rujukannya berupa hadis Nabi Saw. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna khususnya buat pribadi penulis sendiri yang sekarang sedang mengarungi bahtera keilmuan, juga bagi para pelajar (Mahasiswa) yang sedang menekuni atau mendalami ilmu hadis mudah-mudahan


(26)

dalam penulisan skripsi ini bisa menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembacanya.

E. Tinjauan kepustakaan

Untuk mengindari duplikasi penelitian, sebelumnya penulis melakukan survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat serta di Perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, setelah penulis melakukan pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, ternyata penulis Hanya menemukan satu judul skripsi melalui katalog yang ada di PU (Perpustakaan Utama) yang kayaknya pembahasannya hampir mirip dengan judul yang penulis angkat, yaitu Arat al-Fuqâhâ fî talqîn al-Mayyît wa ziarah al-Qubur. Karya Zainuri, Tahun 2004. Tetapi sayangnya setelah melakukan pencarian lebih lanjut penulis tidak menemukan skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan. Akantetapi secara sepintas kalau kita melihat kepada judul skripsi diatas seolah-olah penelitiannya lebih cenderung kepada hukum talqin itu sendiri, berbeda halnya dengan judul yang penulis buat, penelitiannya Hanya terfokus kepada analisis sanad dan matan hadis talqîn setelah penguburan.

Adapun dari buku-buku edaran pun sebenarnya penulis masih sedikit kesulitan dalam mencari buku-buku khusus yang Hanya memuat satu tema sesuai dengan judul diatas. Akan tetapi ada beberapa buku yang sudah penulis temukan yang diantara salah satu bagian dari babnya membahas tentang talqîn, diantaranya: “ TRADISI ORANG-ORANG NU” karya Munawir Abdul Fattah.


(27)

Di dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa men-talqîn-kan mayit itu hukumnya sunnah, karena hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., ketika anak kesayangannya yang bernama Ibrâhîm meninggal dunia kemudian beliau

men-talqîn-kannya dengan disaksikan oleh para sahabat beliau diantaranya ‘Umâr bin Khattab r.a. Pendapat beliau ini merujuk kepada pendapat Imam Al-Suyûtî dalam salah satu kitabnya Al-Hawî li al-Fatâwâ li al-Suyûtî, Juz.2, h.176-177.

F. Metodologi Penelitian

Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Dengan merujuk kepada sumber-sumber primer seperti kitab-kitab hadis dan sekunder lainya yang mengandung dan berkaitan dengan masalah yang dibahas

Adapun metode dalam kegiatan penilitian hadis ini yaitu :

1. Melakukan Takhrîj hadis dari sanad dan matan hadis yang telah disebutkan pada judul, langkah pertama penilitian hadis ini merujuk melalui lafadz hadis dengan menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahrâs li alfâz al-Hadis al-Nabawî dan yang kedua melalui awal

matan dengan menggunakan Kitab Mausû’at Atrâf Hadis al-Nabawî al-Syarîf.

2. Mencari data yang sudah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab-kitab asli yang ditunjuk oleh kitab kamus hadis


(28)

3. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) hadis dari data yang diambil dalam kitab asli untuk kemudian menentukan kedudukan hadis

4. Melakukan penilitian matan

5. Memberi kesimpulan dari hasil penilitian di atas

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan atau manfaat penelitian, Tinjauan kepustakaan, Metodologi penelitian, Sistematika penulisan.

Bab II. Membahas tinjauan umum mengenai talqîn yang meliputi : Pengertian talqîn, Sejarah perkembangan talqîn, Pendapat para ulama tentang

talqîn dan Kewajiban orang yang hidup terhadap orang yang sudah meninggal. Bab III. Analisis hadis-hadis tentang talqîn yang meliputi : Analisis hadis, Teks hadis dan terjemahnya, i’tibâr sanad, Penelitian sanad, kritik sanad dan Penelitian matan.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQÎN

A. Pengertian Talqîn

a. Menurut bahasa

Secara bahasa talqîn berasal dari bahasa Arab, yaitu “tafhîm” artinya memahamkan atau memberi faham18, arti yang lain adalah pengajaran atau

peringatan19, makna yang lebih luas adalah memberi peringatan dengan mulut

secara berhadap-hadapan.20 Sedangkan dalam konteks religious talqîn berarti pengajaran atau peringatan spiritual. Dalam komunitas sufi, kegiatan pengajaran

      

18

Firuzabadi, Qâmus al-Muhît (Kairo: Husainiyah, 1344.H) Juz IV, h.268 

19

Mahmud Yunus., Kamus Arab-Indonesia (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an),h. 400 

20


(30)

terkadang disebut talqîn sebagai padanan dari ta’lim pada dunia pengajaran yang lebih umum.21

b. Menurut Istilah

Secara Istilah talqîn memiliki dua makna (arti), pertama; adalah mengajarkan kepada orang yang akan meninggal dengan kalimat tauhid, yaitu “ ilâha Illallâh”, Yang kedua; adalah mengingatkan kepada orang yang sudah meninggal dan baru saja dimakamkan akan beberapa hal yang penting baginya untuk mengadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan datang menanyainya22.

Kegiatan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Muslim, Nasa’i dan Tirmidzi yang berbunyi:

أ

ﺪ ﻌﺳ

لﺎ

لﺎ

لﻮﺳر

ﷲا

ﷲا

ﺳو

:

اﻮ ﻘﻟ

آﺎ ﻮﻣ

ﻟإ

إ

ﷲا

“Ajarilah orang-oranng mati di antara kamu dengan kalimat ilâha Illallâh (tiada tuhan selain Allah)”.

Terdapat dua pemahaman utama terhadap kata mauta dalam hadis tersebut di atas.23 Ada yang menganggapnya berarti orang yang dekat atau menjelang

kematian. Ada pula yang mengambil makna literalnya, yakni orang mati, dan berpandangan bahwa orang yang sudah wafat pun masih mungkin diberi pengajaran, yaitu talqîn. Inilah yang menjadi landasan praktek membacakan atau membisikan kalimat syahadat ke telinga orang yang sedang sakit keras dan menjelang kematian. Tujuannya tentu saja ingin mengingatkan kepada orang yang       

21

Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jak-Tim, Prenada Media, cet.1, 2003), h.425 

22

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.71 

23


(31)

menjelang kematian tersebut hakikat paling mendasar dari keimanan , yaitu pengakuan akan keesaan Allah SWT. Bagi mereka yang meyakini bahwa talqîn

masih mungkin dilakukan bahkan setelah kematian, ada yang mempraktekkan melakukan hal tersebut setelah jenazah dikuburkan24 Dan inilah yang akan penulis

bahas saat ini.

B. Sejarah Perkembangan Talqîn

1. Pada Masa Rasulullah dan Para Sahabat

Salah satu langkah yang ditempuh oleh para Muhadisin untuk melakukan penelitian matan hadis adalah dengan cara mengetahui sejarah yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis.25 Oleh karena itu pada bab ini penulis

akan menyoroti permasalahan talqîn dari sudut pandang sejarah. Kendatipun sebenarnya disini penulis belum mendapatkan data yang akurat tentang sejarah perkembangan talqîn mayit pada masa Rasulullah dan para sahabat, akan tetapi penulis mencoba mengutip salah satu perkataan salah seorang ulama yaitu Iman Al-Suyûtî dalam salah satu bukunya Al-Hawî li al-Fatâwâ al-Suyûtî26,

menurutnya: “Teks lengkap mengenai talqîn ini seperti dalam salah satu riwayat, bahwa Rasulullah pada saat menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau mengatakan: “Katakanlah: Allah Tuhanku….. sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw., sesungguhnya saat beliau menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau berdiri diatas       

24

Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 

25

Bustamin, M.Isa H.A Salâm, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.85 

26


(32)

kubur dan bersabda: “Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata, dan aku tidak akan berkata yang menyebabkan Allah marah kepadaku. Wahai anakku, katakanlah Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rasulullah itu bapakku!”. Para sahabat ikut menangis, bahkan ‘Umâr bin Khattab menangis sampai mengeluarkan suara yang keras.27

Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang permasalahan talqîn dalam salah satu bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, maka beliau berkomentar bahwa talqîn ini benar-benar pernah dilakukan oleh sebagian kelompok para sahabat, dan mereka pernah memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah al-Bâhilî r.a dan sahabat-sahabat yang lainnya.28

Seorang pakar tafsir dan hukum Islam, Imam al-Qurtubî, beliau berkata juga dalam bukunya al-Tadzkirah. Menurutnya, ada riwayat yang bersumber dari sahabat Nabi Saw., yaitu Abû Umâmah al-Bahîlî, yang berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Apabila ada salah seorang diantara kamu meninggal dunia dan dikuburkan lalu telah tertutupi oleh tanah, maka hendaklah salah seorang berdiri di arah kepala orang yang meninggal itu dan berkata: “Hai si’ fulan putra si’ fulan,” Ketika itu ia mendengar tetapi tidak dapat menjawab, Kemudian sekali lagi ia memanggilnya, Ketika itu ia dalam keadaan duduk, Kemudian ia memanggilnya kembali untuk yang ketiga kalinya, maka ketika itu ia akan berkata: Berilah aku tuntunan semoga Allah merahmati kamu,” Dia berkata demikian walau kamu tidak mendengarnya. Maka hendaklah kamu berkata:       

27

Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, cet. VI, 2008), h.257 

28

Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa al-Kubrâ (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyyah, 1987) Juz.3, h.25 


(33)

“Ingatlah saat engkau keluar meninggalkan dunia, tentang kesaksian bahwa Ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Pesuruh Allah) dan bahwa engkau telah rela (menerima dengan tulus) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai Agama, Muhammad sebagai Nabi, al-Qur’an sebagai Imam (pedoman),” karena jika demikian, ketika itu malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing mundur dan berkata: “Ayo kita meninggalkannya, untuk apa kita duduk disini, sedang ia telah dibisikan jawabannya.”29

Betapapun, persoalan ini menjadi salah satu yang ramai diperselisihkan oleh para ulama dikarenakan lemah sanadnya. Kendati demikian, diperkuat oleh riwayat lain yang terdapat dalam Kitab Sunan Abû Dâwud bahwa: Sahabat Nabi Saw., Utsmân bin Affân ra., meriwayatkan bahwa apabila telah selesai penguburan seseorang, Nabi Muhammad Saw. berdiri sejenak dan bersabda:” Mohonlah pengampunan untuk saudara kalian, mohonlah untuknya kiranya Allah memantapkan jiwanya, karena saat-saat ini ia ditanya.”30

Dari beberapa riwayat di atas nampaknya sudah dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan talqîn mayit tersebut sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah dan para sahabat beliau, akan tetapi karena sudah terlalu jauh waktu yang terlewat antara masa Rasulullah dengan masa sekarang seolah-olah permasalahan talqîn itu adalah sesuatu yang baru muncul, bahkan termasuk kegiatannya pun seperti Hanya berlaku dinegara kita saja, tidak ada dinegara lain, ternyata kenyataannya tidak demikian.

      

29

M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian (Ciputat, Tangerang, Lentera Hati, 2008), h.86 

30


(34)

2. Perkembangan Talqîn Pada Masa Kini

Berbicara tentang sejarah perkembangan talqîn di Indonesia, pada dasarnya penulis belum mendapatkan informasi yang valid dari beberapa sumber buku yang penulis dapatkan, khususnya mengenai kapan dan pada tahun berapa awal mulanya talqîn di Indonesia itu mulai berkembang, akan tetapi disini penulis akan mencoba mengambil beberapa data dan informasi yang ada yang sudah penulis temukan dari berbagai macam sumber.

Bila kita mempelajari sejarah, maka kita dapatkan bahwa dalam kurun waktu yang panjang, ajaran Islam telah dipentaskan diatas panggung dunia dengan berbagai macam keragaman dan konpleksitasnya. Tercatat dalam sejarah semenjak masa Nabi Muhammad Saw., sampai dengan sekarang bahwa pelaksanaan dari ajaran Islam tidak mengambil dari satu bentuk tetapi secara dinamis berkembang dan berimprovisasi. Islam Hanya memberikan prinsip-prinsip saja sedangkan tatanan operasional diserahkan sepenuhnya pada umat Islam dengan tetap berpegang pada semangat al-Qur’an dan hadîs. Islam telah memberikan hukum yang konprehensif untuk membimbing umat manusia. Hukum ini secara aktual dan dominan telah mengontrol dan membimbing kehidupan berbudaya diatas dunia lebih dari seribu lima ratus tahun lamanya dan sampai saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari satu milyar penduduk dunia.31

      

31

Mustafa, “Tradisional atau Modern adalah rahmat” (Sebuah Pengatar)dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.vii 


(35)

Dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin khususnya di Indonesia, banyak kita temukan tradisi keberagamaan yang sudah begitu memasyarakat, sehingga kita terkadang sulit membedakan antara tradisi yang diberi nilai-nilai syari’at dengan syari’at yang sudah menjadi tradisi kehidupan masyarakat32, salah

satu contoh misalnya talqîn mayit setelah acara penguburan, yang sampai sekarang masih diamalkan oleh masyarakat kita, bahkan hampir semua pelosok daerah di Indonesia melakukannya ketika ada salah seorang dari keluarga mereka meninggal dunia.

Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal dan mereka mempraktikkan acara talqîn setelah penguburan tersebut. Acara itu diselenggarakan oleh sebagian besar masyarakat Muslim sebagai salah satu bentuk kepedulian dan kasih sayang mereka terhadap saudaranya yang telah mendahuluinya. Tetapi tidak Hanya itu, bagi mereka, acara ini juga merupakan salah satu bentuk ibadah untuk menuntun dan mendo’akan orang yang baru meninggal agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan diakhirat kelak.

Pada perkembangan berikutnya, acara ini mendapat tanggapan keras dari sebagian Muslim Indonesia yang lain karena dianggap sebagai satu bentuk penyimpangan dari aqidah dan syari’at Islam yang tidak seharusnya diamalkan oleh segenap kaum Muslimin di Indonesia, akan tetapi tanggapan tersebut telah mendapat jawaban dari sebagian ulama dari kaum Nahdiyyîn, bahwa sebetulnya Umat Islam di Indonesia sudah mendapatkan referensi sekaligus justifikasi atas       

32

M. Siddiq Fauzie “Kata Sambutan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Madya Jakarta Selatan” dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.v


(36)

model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang sudah disepakati oleh para ulama, terutama kalangan Ahli sunnah wa al-Jamâ’ah,

sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia.33 Dan akhirnya sampai

sekarang pun hampir semua masyarakat kita masih tetap mengamalkan acara

talqîn tersebut.

C. Pendapat Ulama Tentang Talqîn

Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ,34 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama

sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).

Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

35

“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau) :”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”

       33

 Anisah Mahfudz “Perjumpaan Islam dan Tradisi Lokal Sebagai Media Dakwah” dalam Muhyiddin Abdussamad, Hujjah NU. (Surabaya: Khista dan LTN NU Jawa Timur, 2008), h.viii 

34

Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa al-Kubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 

35

Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166.  


(37)

. Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik,36 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling adil.37

Imam al-Nawâwi berkomentar dalam bukunya al-Adzkar38, bahwa: “Adapun membaca talqîn pada orang yang meninggal setelah penguburannya, maka dikatakan oleh pengikut Abû Hanîfah kebanyakan dari sahabat-sahabat kami bahwasannya hal tersebut disunnahkan, diantara mereka yang bernas akan disunnahkannya hal tersebut adalah Al-Qâdli Husein dalam komentarnya, kawannya Abû Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam al-Zahid Abû Fatah Nasr bin Ibrâhîm bin Nasr al-Maqdisi, dan Imam Abû Qâsim ar-Rifa’î dan lain sebagainya. Al-Qâdi Husein menukil dari sahabat-sahabat, adapun lafadznya, Syaikh Nasr berkata, “Bila dia telah selesai memakamkan jenazah, hendaklah ia berdiri disisi kepala mayat tersebut lantas berdoa, “Wahai fulan bin fulan, ingatlah yang perjanjian dengannya Engkau keluar dari dunia: Kesaksian bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwasannya waktu kiamat akan datang, tidak ada keraguan didalamnya, bahwasannya Allah membangkitkan siapapun yang berada dalam kubur, katakanlah aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad Saw., sebagai Nabiku, Ka’bah sebagai kiblat, Al-Qur’an sebagai imam, Kaum Muslimin sebagai saudara,       

36

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 

37

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 

38

Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin (Jakarta, Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007), h. 438 


(38)

Tuhanku adalah Allah tiada Tuhan selain Dia, Ia adalah Tuhan pemilik Arasy yang agung, ini adalah lafadz Syaikh Al-Maqdisi dalam kitabnya al-Tahdzîb, lafadz yang lain adalah seperti lafadz tersebut, sebagian daripada mereka memiliki lafadz yang lebih pendek, kemudai diantara mereka ada yang berkata, “Wahai hamba Allah bin umat Allah, “diantara mereka ada yang berkata, “Wahai ‘Abdullâh anak Hawa, diantara mereka ada yang berkata, :Wahai fulan-dengan menyebut namanya,-bin umat Allah, atau wahai fulan bin Hawa, semuanya memiliki makna yang sama.

Syeikh Abû ‘Umâr bin Saleh ditanya tentang talqîn ini39, ia berkata dalam fatwa-fatwanya, “Membaca talqîn adalah yang kami pilih dan kami amalkan, disebutkan oleh sekelompok sahabat-sahabat kami yang berasal dari Khurasan, ia berkata: “Kami telah meriwayatkan didalamnya suatu hadis dari hadis Abû Umâmah, isnad-nya tak dapat diluruskan, namun dapat ditolong dengan kesaksian-kesaksian lain, penduduk Syam mengamalkannya dimasa lalu, ia berkata: “Adapun talqîn yang diucapkan oleh anak-anak yang masih dalam buaian tak dapat dijadikan pegangan, dan kami melihat hal itu perlu dilakukan.

Sebagian Ulama ahli hadis berpendapat, bahwa mengenai talqîn yang berbunyi “Laqqinû…..dst”, maka perkataan “mautakum” tersebut diartikan dengan “orang yang sudah mati”, meskipun ada makna majazi dengan arti “orang yang hampir mati”. Mereka berpendapat pula bahwa hadis yang diriwayatkan Muslim itu sebenarnya telah memperkuat isi hadis mengenai talqîn ini karena

      

39


(39)

perkataan seperti (yang disebutkan dalam hadis Damrah), itu tidak ada jalan untuk diijtihadi40.

Demikian pula halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, telah pula memperkuat isi hadis mengenai talqîn tersebut. Meskipun dalam hadis ini dimaksudkan adalah “do’a” akan tetapi dengan isyaratnya menunjukan dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kita benar-benar diperlukan.

Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzâb

dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya.41 Ibn Syaibah berkata: “Ibu saya pernah berwasiat kepada saya saat dia mengadapi kematian agar saya berdiri disamping pemakamannya setelah selesai ditanamkan dengan mengucapkan: “Hai Ibu, katakanlah olehmu Lâ Ilâha illallâh, setelah itu pulanglah engkau”. Pada waktu malam saya bermimpi berjumpa beliau, dan ibu saya itu berkata kepada saya,: “Ya Syaibah, hampir saja saya celaka seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan kalimat Lâ Ilâha illallâh”42

Talqîn itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati (mayit), melainkan sekedar memberi ketenangan atau ketabahan didalam kubur, seperti tersebut dalam al-Qur’an:

      

40

M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah. h.86 

41

 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, h.86 

42


(40)

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”43 (Q.S.Adz-Dzariyat: 55)

Seorang ulama hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Al-Haitsami mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”

Kemudian al-Albânî berkomentar lagi: “Hal ini jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadâil a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah al-Sihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah. Hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena kebanyakan orang lalai.”44

Beliau juga mengatakan: “Talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”

      

43

DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.756 

44

 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits ad-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992), h.65


(41)

Menurut hemat penulis pendapat Nasîruddîn al-Albânî tersebut diatas bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawâwi dalam muqadimah salah satu bukunya Al-Arba’in al-Nawâwiyyah45 bahwa para ulama sepakat mengenai diperbolehkannya mengamalkan hadis da’if dalam hal fadail a’mal

Oleh sebab itu, dari beberapa pendapat para ulama diatas tentang talqîn

mayit setelah dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat:

1. Sunnah. Berdasarkan hadis diatas dan amalan sebagian ulama. Ibn Salah rahimahullah berkata: “Adanya talqîn, itulah yang kami pilih dan kami amalkan, kami meriwayatkan suatu hadis tentangnya dari Abû Umâmah, namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan diamalkan oleh penduduk Syam.”

2. Mubah (boleh). Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata: “Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah pendapat yang paling adil.”

3. Haram. Hal itu karena hadisnya tidak sahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. As-San’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadis bahwa hadis ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.”

      

45


(42)

BAB III

ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TALQÎN MAYIT SETELAH

PENGUBURAN

Dalam menganalisis suatu hadis diperlukan kegiatan men-takhrîj46. Ada empat47 metode dalam melakukan kegiatan takhrîj, tetapi di sini penulis Hanya menggunakan tiga metode dari empat metode tersebut. Pertama, penulis menggunakan metode yang terambil dari kata-kata atau lafaz fi’îl, kedua, menggunakan metode awal matan hadis, dan ketiga, melalui tema.

A. Hadis Pertama

      

46

Takhrîj secara bahasa berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata takhrîj ialah, al-istinbat (h mengelurkan), al-tadrîb (h melatih atau h pembiasaan), dan al-taûjih (h memperhadapkan). Menurut istilah kata takhrîj mempunyai beberapa arti, yakni : (1) Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang di susun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai pengimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan. (2) Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadis-nya. (3) Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. Lih : M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi

(Jakarta : Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h. 39.  

47

Pertama, melalui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kedua, melalui awal matan hadis, ketiga, melalui kata-kata fi’il atau terambil dari fi’il yang jarang digunakan, dan yang keempat melalui tema. Lihat : Bustamin dan M. Isa H.A. Salâm, Metodelogi Kritik Hadis (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet ke-1, h. 28. 


(43)

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

نﻮﻜ

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

48

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

:

اﺮ ﻟا

(

)

a. Melalui awal matan

Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis menggunakan referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadis al-Nabawî al-Syarîf. Karya Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi sebagai berikut:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ ﻮ إ

باﺮ ﻟا

     

=

:

،

 

 

=

 

:

،

 

 

=

:

،

   

ﺰ آ

 

=

  

__________

=

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

)

اﺮ ﻟا

(

 

       48

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H ), Juz.8, h.249. 


(44)

=

ﻟا

ﺮ ﻟا

دﺎﺣأ

ﻌ اﺮﻟا

ﺮ ﻜﻟا

ﺪ اوﺰﻟا

ﻣو

ﺪ اﻮ ﻟا

=

ﺰ آ

=

ﺰ آ

لﺎ ﻌﻟا

لاﻮ ا

لﺎﻌ او

 

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat pada :

1. al-Mu’jâm al-Kabîr, Juz 8, halaman 249, 6 sanad

2. al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Juz 2, halaman 315, 1 sanad 3. Majmu’ al-Zawâ’id, Juz 3 ,halaman 163, 1 sanad

4. Kanz al-‘Ummâl, Juz 15 , halaman 737, 1 sanad

b. Melalui fi’il pada matan

Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadtîs al-Nabawî karangan A.J. Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :

مﺎ

,

اﻮﻌ

,

تﺎﻣ

. Penulis tidak menemukan hadis yang diteliti dalam kitab Mu’jam tersebut.

c.Penelusuran Hadis Melalui Tema

Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi.49. Dan dari penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti.

a. Penelitian Sanad Hadis Pertama

      

49

Muhammad Fu’âd al-Bâqi, Miftâh Kunûz al-Sunnah (al-Qahirah: Dâr al-Hadis, 1411 H / 1991 M), Cet ke-1, h. 351. 


(45)

Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis pertama, terdapat dalam kitab-kitab hadis di antaranya:

Al-Mu’jâm al-Kabîr

ﺎ ﱠﺪﺣ

ﻮ أ

أ

ﺎﻟﻮ ﻟا

ﺪﱠ ﻣ

هاﺮ إ

ءﺎ ﻌﻟا

ﻟا

ﺎ ﺳإ

شﺎ

ﷲا

ﺪﱠ ﻣ

ﺮﻘﻟا

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

نﻮﻜ

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

50

)

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

:

اﺮ ﻟا

(

“Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ ( menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak       

50

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, h.249 


(46)

mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah rida bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)51]

Al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj

ﺪﺣ

ﱠأ

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎ و

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

"

ﻮ أ

دواد

آﺎ ﻟاو

راﱠﺰ ﻟاو

نﺎ

لﺎ

راﱠﺰ ﻟا

ﺎﻟ

ىوﺮ

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

ﺎﱠﻟإ

اﺬه

ﻮﻟا

3

.

ﻟﻮ

و

نأ

ﱠﻘ

ﻟا

ﺪﻌ

ﱠﺪﻟا

لﺎﻘ

ﱠﻟا

ا

ﺔﻣأ

ﱠﻟا

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

نأ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﱠﻟا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﱠنأو

ﺔﱠ ﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

رﺎﱠﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

ﻌ ﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

ﺔ ﺎﱠ ﻟا

ﺎﻟ

ر

ﺎﻬ

نأو

ﷲا

رﻮ ﻘﻟا

ﻚﱠأو

ر

ﱠﻟﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﺔ ﻌﻜﻟﺎ و

ﻣﺆ ﻟﺎ و

ﺎ اﻮ إ

درو

ﺮ ﻟا

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

اﺮ ﱠ ﻟا

أ

ﺔﻣﺎﻣأ

"

اذإ

ﺎ أ

اﻮﻌ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

لﺎﻘ

"

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣﺮ

ﱠﻟا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

نأ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﱠﻟا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﱠﻟﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

و

ﺪﱠ

      

51


(47)

Majmu’ al-Zawâ’id

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﺎ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

هﺎ ﻟا

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

: :

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

نﻮﻜ

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

Kanz al-‘Ummal

ﺪ ﻌﺳ

يﻮﻣﺎﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﺎ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عاﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

ﺪ ﻌﺳ

!

اذإ

ﺎ أ

اﻮ ﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

ﱠﺳو

،

لﺎ

ﺎ ﻟ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

ﱠﺳو

: :

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

و

ﱠنأ

اﺪﱠ ﻣ


(48)

b. I’tibar Sanad

Kata al-i’tibar (رﺎ ا) merupakan masdar dari kata (ﺮ ا) yang menurut bahasa adalah: peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang jelas.52 Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak Hanya seorang perawi saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.53Melalui I’tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang di teliti ini memiliki syahîd atau mutabi’ dari jalur lain.

Dalam hal ini hadis-hadis talqîn mayit setelah penguburan, i’tibar sanad

akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada lampiran. Namun disini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad tersebut secara rinci.

Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis Rasulullah Saw meriwayatkan hadis hadis-hadis

talqîn mayit setelah penguburan memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur sahabat Abî Umâmah.

      

52

Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadis Nabi (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet, I, h. 91. 

53


(1)

67   

  

B. Saran-saran

1. Hendaknya dalam melakukan kritik hadis, kaidah ke-sahîh-an hadis perlu diperhatikan secara mendalam dengan merujuk kepada metode yang telah dibuat oleh para ulama hadis. Sehingga gambaran sahîh-an hadis menjadi cukup jelas dsahîh-an benar-benar memenuhi kriteria ke-sahîh-an hadis.

2. Hendaknya di dalam melakukan pen-takhrîj-an suatu hadis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian, sebab di dalam pelaksanaannya sering terlambat karena minimnya perangkat referensi yang menunjang aktivitas ini dalam satu wadah.

3. Dan juga dalam menjalankan ibadah dan mengamalkan hukum syari’at kita tidak cukup Hanya dengan berlandaskan adat istiadat semata, tetapi harus ada sumber yang jelas agar ibadah yang kita jalankan dapat diterima oleh Allah SWT.

   


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdan M.Syarwani, Al-Dzakhirah al-Minah. Bangil: Yayasan Pendidikan Islam “DARUSSALAM” , Cet.III, 1988

Abdussamad Muhyiddîn, Hujjah NU. Surabaya: Khalista Surabaya dan LTN NU Jawa Timur, 2008

Al-Adabi, Salah Al-Din bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn, Beirut: Dar Afaq al-Jadîdah, 1403 H.

al-Asqalanî, Syihabuddîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar .Tahdzîb al-Tahdzîb al-Maktab al-Tijariyah Mustafa Ahmad al-Baz. T.th

---,Terjamah Bulûg al-Maram. Jakarta: AKBAR, 2007 Yunus, Mahmud.,

Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/

Pentafsiran Al-Qur’an

Ahmad bin Hanbal, Musnâd al-Imam Ahmad bin Hanbal, T. tp: Mu’assasatu al-Risâlah, 1999.M

al-Bukhari, Muhammad ibn Ismaîl Abû ‘Abdillah, Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987

al-Bâqi, Muhammad Fu’âd. Miftâh Kunûz al-Sunnah. al-Qahirah: Dâr al-Hadîts, Cet ke-1, 1411 H / 1991 M,

Bustamin dan H.A Salam, M.Isa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

al-Dzahabî, Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân. Sîrul A’lâm Al-Nubalâ. Beirut : Mua’asasah al-Risalah, 1996

---, Tadzkirah al-Huffâz al-Dzahabî. Beirut : Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1998.M/1419.H


(3)

Endang, Soetari. Ilmu Hadîts : Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Mimbar Pustaka, 2005.

Firuzabadi, Qamus al-Muhith. Kairo: Husainiyah, 1344.H

al-Gazâlî, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabî Saw Antara pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1991.

Harahap, Syahrin dan Nasution, Hasan Bakti. Ensiklopedi Aqidah Islam, Jak-Tim: Prenada Media, cet.1, 2003

al-Haitsamî, Nûruddîn ‘Alî ibn Abî Bakr. Majma’u Jawâid wa Manba’u al-Fawâid. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1988

Ismâ’il, M.Syuhûdi. Hadis Nabî Menurut Pembela dan Pengingkar Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press,1995

Kamal, Muchtar. UUsûl Fiqh. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.

al-Malibari, Zainuddîn bin Abdul Azîz, Alih bahasa: Abûl Hiyadh, Terjemah Fath al-Mu’in, Surabaya: Al-Hidayah, T.th

Masriq Dârul, Qamus Munjid. Beirut, Libanon: Matba’ah Katolik, T.th

al-Mizzî, Abû Hajjâj Yûsuf ibn Zakki. Tahzîb al-Kamâl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 Mudasir, Ilmu Hadîts. Bandung : CV.PUSTAKA SETIA, cet ke-2, 2005

Munawir, Abdul Fatah. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. VI, 2008

Muslim Abû al-Husain, Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, T.th

---, trjmh. Ma’mur Dawûd, Terjemah Sahîh Muslim. Malaysia: KLANG BOOK CENTRE, 1997

al-Muttaqi ibn Hisyâm al-Din al-Hindi al-Burhan, ‘Alauddîn. Kanzul ‘Umâl fi al-Aqwâl wa al-Af’âl. Beirut: Muasasah al-Risalah. T.th

Nawir, Yuslem. Ulûmul Hadîts. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.


(4)

al-Nawâwî, Pntrjmh Gafur Saub dan Irfanuddin Rafiuddin. Trjmh Al-Adzkar. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007

Qardâwî, Yûsuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Bandung: Karisma, 1994. al-Rahman bin ‘Ali bin Al-Jauzî, Abdul. Al-Maudû’at. Beirut: Dar al-Fikr,

1403H/1983.M

Rahmat Syarif, Menimbang Amalan Tradisional. Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006

al-Razî, Ibn Abû Khâtim al-Jarh wa al-Ta’dîl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1952

Sihab, M.Qurais, Kehidupan Setelah Kematian. Ciputat, Tangerang: Lentera Hati, 2008

al-Sijistany, Abî Dawûd Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abî Dawûd, Beirut: Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H

al-Sya’ranî, Abd Wahab, Maut dan Dialog Suci. Jawa Timur: CV.Amin

Syahminan, Zaini. Tuntunan Penyelenggaraan Jenazah. Jakarta: Kalam Mulia, cet. VI, 2006

al-Sa’îd Basyunî Zaglûl, Abû Hajar Muhammad. Mausû’at al-Atrâf al-Hadîts an-Nabawî al-Syarîf. Beirut : Dâr al-Fikr, 1410 H / 1918 M

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabrany, Al-Mu’jam al-Kabîr, Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H .

Taqiy al-Din Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin Taimiyyah. Al-Fatâwâ al-Kubrâ , Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987

Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadîts NAbî. Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet, I Wensink, Arnold Jhon. al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîts al-Nabawî. Leiden :


(5)

Lampiran I

Skema SanadHadîts Pertama

ﺪ ﺳ

ﻦﺑ

ﷲا

يدوﺄ ا

 

ﺪ اوﺰ ا

.

 

ﺮ آ

ﻲﺑأ

ﻦﺑ

 

ﷲا

ﻦﺑ

ﻲ ﺮﻘ ا

W. 182. H.  

شﺎ

ﻦﺑ

ﺎ ﺳإ

 

W. 245 H.  

ﻦﺑ

أ

ﻮﺑ

أ

ﺘ ا

W. 201 H.

ﻦﺑ

هاﺮﺑإ

ﻦﺑ

ﺎﺑأ

ﺔ ﺎ أ

ﺳو

ﷲا

ﻲ ﻨ ا

تﺪﻬ

ﺎﻨ ﺎ ﺮ أ

ﺎﻨ

ﺎﻨ

ﺎﻨ ﺪ

ﺮ ﻜ ا

لﺎ ا

ﺰﻨآ


(6)

Lampiran II

Skema Sanad Hadis Kedua

ﺪ أ

ﻦﺑ

رﺎﻔ ا

 

ﺎ ﺮ أ 

ﺖ ﺳ 

ﺎ ﺮ أ  ﻨ ﺪ

ﺎﻨ ﺪ نﺎآ 

ﺎﻨ ﺪ  

ﺎﻨ ﺪ   ﺎﻨ ﺪ

 

نﺎآ