Vokal Diftong Syaddah Kata Sandang Ta Marbûtah

ix PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan أ = a ز = z ق = q ب = b س = s ك = k ت = t ش = sy ل = l ث = ts ص = s م = m ج = j ض = d ن = n ح = h ط = t و = w خ = kh ظ = z ه = h د = d ع = ‘ ء = ` ذ = dz غ = gh ي = y ر = r ف = f

2. Vokal

Vokal a panjang = â, contoh: َلﺎَﻗ = Qâla Vokal i panjang = î, contoh: َﻞْﯿِﻗ = Qîla Vokal u panjang = û, contoh: َنْوُد = Dûna

3. Diftong

ْو َ = au ْي َ = ai

4. Syaddah

Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda tasydid. Misalnya madda. x

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, لا. Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.

a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai bunyinya, yaitu huruf L diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.

b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-Badru, al-Watan.

5. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf h. Hal yang sama juga berlaku bila ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat na’t. Namun, jika ta marbûtah tersebut diikuti kata benda ism, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf t. 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur. Umat Islam meyakini, bahwa siapa pun yang membacanya dinilai sebagai suatu ibadah di sisi Allah SWT. Kitab suci ini sangat multitafsir dan multiinterpretatif, 1 para pembacanya selalu saja ingin mengutip dan menafsirkan, Karena itu lahirlah beragam buku, komentar tentang makna yang terkandung dalam ayat-ayat al- Qur`an. Abdullah Darraz yang dikutip M. Quraish Shihab, menulis : “Apabila anda membaca al-Qur`an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda dapat menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat al-Qur`an bagaikan intan, setiap sudut memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat.” 2 Di antara pembicaraan al-Qur`an yang menarik untuk dijadikan kajian adalah pengertian dari makna Ra`â dan Nazara. Meskipun memiliki arti yang sama sebagai arti “melihat,” namun kedua istilah ini sarat dengan muatan makna. 1 Salah satu ciri bahwa agama itu selalu hidup dan tak pernah mati, adalah bahwa kitab suci agama tersebut tidak pernah berhenti ditafsirkan sampai kapan pun. Dalam hal ini, al-qur’an termasuk kitab suc yang tidak pernah berhenti untuk ditafsirkan, setiap waktu selalu muncul penafsiran yang dibutuhkan oleh zamannya. Selengkapnya lihat Ulil Abshar Abdalla, Makna kelengkapan dan kesempurnaan al-Qur`an dalam islam liberal.com http:Islam Liberal.comidArtikelepistemologi-islam. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Bandung: Mizan, 1994, h. 16 Istilah ini sering dijumpai dalam al-Qur`an misalnya dalam surat al-‘Arâf ayat 143:                                                   “Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, berkatalah Musa: Ya Tuhanku, nampakkanlah diri Engkau kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya sebagai sediakala niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman. 3 Menurut kaum Mu‘tazilah ayat di atas termasuk ke dalam ayat Muhkam sehingga mempunyai isi yang tegas dan lugas, padahal kedua ayat di atas menginformasikan penolakan tentang Tuhan dilihat dengan mata kepala. Kaum Mu‘tazilah pun berpendapat ayat-ayat lain yang berlawanan dengan kedua ayat itu harus dita`wilkan dan diinterpretasikan. Ayat-ayat itu mereka sebut ayat mutasyabihât . 4 Selain itu, juga dalam al-Qur`an disebutkan dalam surat al-Mâ‘ûn ayat 1, sebagai berikut : 3 Departemen Agama RI, al-Qurʹ an dan Terjemahnya Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005, h. 168 4 Ahmad Taufik Konsep Eskatologi Nurdin Ar-Kaniri Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003, h.120      “Apa engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian?” 5 Pertanyaan yang diajukan pada ayat di atas bukan untuk diajukan demi memperoleh jawaban, karena Allah maha mengetahui, tetapi bermaksud untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pernyataan ini ayat di atas mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil. 6 Ayat di atas menyebutkan mengenai pentingnya mendapat pengetahuan. Tentu saja, pengetahuan yang diperoleh harus melalui pengamatan, yang dalam hal ini berarti melihat atau lebih tepatnya mengobservasi. Juga surat al-Ghasiyah ayat 17, berikut :        “Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Unta itu diciptakan?” 7 M. Quraish Shihab mengatakan bahwa makna kata Nazâra yang tertera dalam ayat di atas, adalah melihat atau memperhatikan untuk mendorong setiap orang melihat sampai batas akhirnya, hingga pandangan dan perhatian benar- benar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak 5 Departemen Agama RI, al-qur’an dan Terjemahnya , h 603 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah : jilid 15 halaman 546. Lihat juga, Muhammadiyah Amin, “Ra’y”, dalam M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-qur’an : Kajian Kosakata Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 800. 7 Departemen Agama RI, al-Qurʹ an dan terjemah, h 593 mungkin bukti tentang kuasa Allah dan kehebatan ciptaan-Nya. 8 Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya, untuk memperhatikan kepada makhluk ciptaan-Nya, yang semua itu menunjukan kekuasan dan kebenaran-Nya. 9 Sementara itu, Zainuddin al-Razi, sebagaimana yang dikutip Fauz Noor mengartikan Nazara sebagai “melihat dengan mata ragawi,” sedangkan Ra`â dimaknai dengan “melihat secara empirik, imaginatif atau non ragawi” 10 Akan tetapi, dalam beberapa tafsir yang populer di Indonesia, misalnya Tafsir Depag RI, memaknai kedua kata tersebut dengan pengertian yang sama, melihat. 11 Kondisi seperti ini jelas akan membuat pembaca al-Qur`an tidak bisa mendapatkan pengertian yang sesungguhnya, terutama dalam ayat-ayat yang terdapat kedua ayat tersebut yang ada dalam al-Qur`an. Adapun kata ﻲ ﻧ ر أ arinî “nampakanlah kepadaku” yang terdapat dalam ayat 143 surat al-‘Araf di atas tentang ucapan Nabi Musa as. ﻚﯿﻟاﺮﻈﻧأ ﻲﻧرأ arinî anzur ilaika nampakanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu, bukan berarti penampakan yang berbentuk rohani di satu tempat tertentu, dengan menggunakan pandangan mata. Kata “nampakanlah” yang beliau Nabi Musa maksud pastilah bukan nampak dalam wujud nyata, dan memang kata yang beliau 8 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-qur’an cet. 1 : lentera hati th 2002 jilid 15 h 233 9 Ibn Katsir Tafsir Juz ‘Ama cet,11 Jakarta: Pustaka Azzam,2007, h. 235 10 Dalam Al-Qur`an, begitu banyak kata Ra’a yang diterjemahkan dengan “mengetahui”, sedangkan “mengetahui” adalah penglihatan akal, bukan penglihatan mata, seseorang bermimpi misalnya, ia “mengetahui” mimpinya, ia pun bisa menceritakan “penglihatan” nonempirikan dalam mimpinya itu dengan kata-kata yang jelas. Lihat Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan Yogyakarta : LKiS, 2009, h.305 11 Allah menyuruh mereka memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaa-Nya yang ada dilangit dan dibumi seperti meneliti keadaan unta, binatang peliharaan mereka yang oleh mereka dimanfaatkan tenaganya, dagingnya, susunya, kulitnya, bulunya dan lain-lain. Demikian pula mereka disuruh memperhatikan gunung-gunung yang dapat dijadikan petunjuk dalam melakukan perjalanan. gunakan dan diabadikan oleh ayat ini digunakan oleh al-Qur`an dan bahasa arab dalam banyak pengertian. 12 Berbeda dengan Nazara, selain mempunyai makna “melihat”, kata Ra`â juga mempunyai arti “mimpi.” Dari sini bisa diketahui bahwa makna “melihat” dari kata Ra`â bukanlah “melihat secara empirik atau ragawi”, melainkan “melihat secara imajinatif atau khayali atau aqli atau nonragawi”, sebagaimana “penglihatan” kita dikala bermimpi juga berada di luar realitas empirik. Bila penulis cermati tentang pengertian dari kedua kata tersebut, maka akan didapatkan sebuah pengertian baru terkait dengan kedua kata tersebut, yakni observasi. Observasi atau mengamati merupakan langkah awal untuk memperoleh pengetahuan, dan pengetahuan mutlak harus dimiliki oleh manusia. Memang dalam al-Qur`an tidak ditemukan kosakata khusus untuk pengertian observasi. Akan tetapi, bila memahami ayat-ayat yang menjelaskan tentang pengertian kedua lafaz di atas, maka akan ditarik sebuah kesimpulan bahwa kedua kata tersebut, khususnya Nazara lebih tepat untuk dimaknai sebagai obeservasi. Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. 13 Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. 14 Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu 12 Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi. h. 306 13 Jocob Vredenbregt Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat Jakarta : Gramedia, 1978, h. 72. Mengenai pengertian observasi secara mendetail, akan dibahas pada bab selanjutnya. 14 Ign, Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekola Bandung : Kanisius Anggota IKAPI, 1995, h.59 social. Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn experimental maupun konteks alamiah Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat pembuktian terhadap informasiketerangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes. Dalam suatu penelitian seseorang tidak akan pernah bisa mendapatkan hasil yang akurat dan sempurna bila mengabaikan peran observasi. Misalkan, suatu penelitian tentang penentuan awal dan akhir bulan qomariyah, akan bisa diketahui setelah melakukan observasi terhadap segala hal yang berkaitan dengan peredaran bulan. Begitu pun untuk penelitian agama lainnya, mutlak diperlukan sebuah observasi untuk mendapatkan data, pengetahuan dan hasil yang maksimal. Namun, lagi-lagi permasalahannya adalah apakah dalam al-Qur`an diungkapkan secara terperinci tentang observasi termasuk ruang lingkupnya. Dari sinilah penulis menganggap permasalahan ini begitu pokok dan penting, sehingga penulis bermaksud meneliti permasalahan ini ke dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “Melacak Makna Observasi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma‘Âni: Kajian Atas Ra`â Dan Nazara Pada juz 30 ”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebelum membahas pada rumusan masalah yang akan diteliti, penulis telah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an. di dalam al-Qur`an terdapat 448 kata Ra`â dan Nazara, dengan jumlah masing- masing 319 kata Ra`â dan 129 kata Nazara. Hanya , , dan Kemudian setelah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an. Penulis dapat menemukan beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi, di antaranya : 1. Apa perbedaan prinsipil antara Ra`â dan Nazara ? 2. Dalam konteks apa masing-masing dari kedua kata itu digunakan, sehingga kedua kata tersebut merupakan sebuah kerangka awal yang digunakan untuk mendapat pengetahuan? 3. Siapa saja baik Subjek maupun Objek yang mempergunakan kata- kata itu dalam al-Qur`an ? 4. Ayat mana saja dari al-Qur`an yang memberikan makna yang komprehensif dari kedua makna tersebut? 5. Siapa mufassir yang mengkaji kedua kata itu secara mendetail? Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar ke tema yang tidak perlu, tapi lebih terarah pada tema yang diharapkan, maka penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini pada ayat-ayat yang hanya terdapat kata Ra`â dan Nazara yang terdapat dalam al-Qur`an. Kemudian, karena ayat yang terdapat kata Ra`â dan Nazara juga dapat ditemukan diberbagai tempat dalam al-Qur`an, maka penulis membatasinya pada surat-surat yang terdapat dalam juz 30 dari al-Qur`an. Itu pun yang digunakan dalam bentuk istifham. Selain itu, penulis juga hanya memfokuskan pada ayat-ayat yang didahului dengan kata tanya, seperti , , dan . Pembatasan tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut : 1. Setelah melakukan pengklasifikasian terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang terkait dengan penggunaan kata “melihat” dalam al-Qur`an, maka penulis berkesimpulan bahwa pada juz 30 kata Ra`â dan Nazara cukup mewakili terhadap ayat-ayat yang ada pada juz lainnya yang telah diklasifikasikan tersebut, yang membahas tentang pengertian kata “melihat” dalam al- Qur`an. 2. Karena juz 30 tersebut yang paling banyak terdapat kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an serta paling dominan dikaji oleh para mufassir dibandingkan dengan juz lainnya yang terdapat dua kata tersebut, sehingga akan memudahkan penulis untuk meneliti makna kedua kata tersebut yang ada hubungannya dengan observasi. 3. Masing-masing objek dari kedua kata tersebut yang terdapat dalam juz 30 sudah cukup jelas. Dengan demikian, akan mudah dibedakan mana yang paling tepat untuk dimaknai sebagai pengertian observasi. Selain itu, karena penelitian penulis terfokus pada makna dari kedua kata tersebut, sedangkan dalam literature tafsir yang paling mendetail menjelaskan arti kosakata bisa ditemukan dalam tafsir bercorak sufi. Dalam hal ini, penulis menggunakan tafsir Rûh al-Ma‘âni karya al-Alûsi. Pembatasan ini dipilih karena penjelasan tentang term Ra`â dan Nazara dalam tafsir tersebut cukup komprehensif dibanding dengan tafsir yang lainnya. Adapun mengapa penelitian ini hanya difokuskan pada ayat-ayat yang diawali dengan kata tanya karena sebagaimana mengambil pernyataan Adelbert Snijders 15 bahwa pertanyaan dimungkinkan terjadi karena adanya prapengetahuan, sehingga jika seseorang bertanya, maka seseorang telah melakukan suatu observasi untuk memasuki sebuah pengetahuan yang akan dialaminya. 16 Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana term Araita, Alam Tarâ dan Afalâ Yanzurûna menjadi bagian dari observasi Qur`ani dalam perspektif Tafsir Rûh al-Ma`âni karya al-Alûsi yang terdapat dalam juz 30?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ayat yang penulis teliti dalam masalah ini hanya ayat-ayat yang terdapat kata Ra`â dan Nazara yang terdapat dalam juz 30. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini diharapkan bisa menemukan makna utuh dari pengertian kedua kata tersebut dalam al-Qur`an. Terutama kaitannya untuk menemukan makna observasi sebagai langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan manfaat dari penelitian ini, dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Yaitu kategori teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan bisa menjadi tolak ukur bagi penelitian selanjutnya untuk mencari 15 Dosen filsafat di Philosophicum Ordo Kapusin, Helmond, Belanda dan di Fakultas Filsafat Agama, Universitas Katolik St. Thomas, Medan. 16 Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran : Sebuah Filsafat Pengetahuan Yogyakarta: Kanisius, 2006, h. 26. kata yang tepat sebagai terjemahan dalam al-Qur`an dalam kosakata lainnya. Adapun pada tararan praktis, penelitian ini diharpakan bisa memberikan sumbangan bagi khazanah penafsiran al-Qur`an terutama dalam bidang kajian tafsir.

D. Kajian Pustaka

Sudah banyak karya tulis, makalah ataupun buku yang membahas masalah kata Ra`â dan Nazara. Di antara karya-karya tersebut, yang berhasil penulis temukan adalah buku Berfikir Seperti Nabi karya Fauz Noor. 17 Dalam buku ini, diulas sedikit tentang pengertian dari kata Ra`â dan Nazara, serta dibedakan mengenai penggunaan masing-masing kedua ayat tersebut dalam al-Qur`an. Hanya saja dalam buku ini, ayat-ayat yang terkait langsung dengan kedua kata tersebut tidak dibahas secara luas, sehingga dapat menyebabkan pemahaman yang tidak representatif terhadap kedua kata tersebut. Kemudian buku Biarkan Hatimu Bicara 18 yang diterjemahkan dari buku Bayan al-Farq al-Sadar Wa al-Qalb, Wa al-Fu`ad, Wa al-Lubb karya ‘Abd Allah Ibn ‘Ali al-Hakim al-Tirmizi. Dalam buku ini pun diulas tentang pengertian dari kedua kata yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini, akan tetapi dalam buku ini hanya menjelaskan pengertian kedua kata tersebut tanpa menyebutkan ayat-ayat yang terkait langsung. 17 Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan Yogyakarata: LKiS 2009 18 ‘Abd Allah Ibn ‘Ali al-Hakimal-Tirmizi Biarkan Hatimu bicara Bayan al-Farq al- Shadr Wa al-Qalb, Wa al-Fu’ad, Wa al-Lubb, Penerjemah Fauzi Faisal Bahreisy Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005 h, 59 Kemudian dalam buku Sepuluh Peristiwa Besar Menjelang Kiamat Kubra Berdasarkan Al-Qur`an dan Keterangan Ulama karya Ariskum Al-Mashudi dan Arif Nuryadi, dalam buku ini diungkapkan tentang pengertian melihat Allah. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Term yang digunakan untuk objek melihat dalam buku ini banyak menggunakan kata Ra`â dan Nazara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam buku ini hanya membahas segi kosakatanya saja tanpa menyertakan ayat- ayat al-Qur`an yang berkaitan langsung. 19

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Sebagai kajian di tingkat wacana, maka metodologi penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan library research dengan menggunakan referensi primer berupa karya ilmiah dari Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmud al- Fandi al-Alûsî, yaitu tafsir Rûh al-Ma`âni. 20 Referensi primer itu didukung oleh referensi sekunder untuk melacak makna dari kedua kata yang penulis jadikan kajian, di antaranya Tafsir al- Mishbah 21 , Tafsir al-Azhar 22 serta referensi lain dari buku dan artikel yang mengulas makna kedua kata tersebut di antaranya buku Berfikir Seperti Nabi. 23 19 Ariskum Al Mashudi dan Arif Nuryadi, Sepuluh Peristiwa Besaar Menjelang Kiamat Kubro Jakarta :Al-Ihsan Media Utama, 2006, h. 157-158 20 Manni’‘Abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976. 21 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-qur’an Jakarta : Lentera Hati, 2003. 22 Hamka, Tafsir al-Azhar Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984. 23 Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan Yogyakarta : LKiS, 2009. Penelitian kepustakaan ini akan disajikan dengan pendekatan deskriptif- analitis agar perangkat teoritik yang tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang ditemukan dalam referensi primer. Adapun tehnik penulisan skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press pada tahun 2007. 24

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisannya, penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan. Di dalamnya dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan alasan pemilihan judul skripsi ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kemudian kajian pustaka yang di dalamnya penulis menjelaskan beberapa karya ilmiah yang hampir sama dengan skripsi ini, selanjutnya metodologi penelitian serta metode dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi seputar biografi al-alûsi dan tafsirnya yang berisikan tentang latar belakang riwayat hidup, karya-karya, sekilas tentang kitab Tafsir Rûh al-Ma‘âni metode dan corak. Bab ketiga secara khusus penulis akan menjelaskan tentang pengertian dari lafaz Ra`â dalam Tafsir Rûh al-Ma‘âni, terutama sebagai langkah untuk mendapat ilmu pengetahuan. Pembahasan ini meliputi, klasifikasi lafadz Ra`â 24 CeQDA UIN Syarif Hidayatullah jakarta, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi, 2007. dalam al-Qur`an juz 30, dan Proses mendapatkan ilmu dengan Ra`â penulis secara khusus penulis akan menjelaskan tentang seputar observasi, terutama kaitannya dengan proses mendapat pengetahuan. Pembahasan ini meliputi : pengertian observasi dan ruang lingkup observasi. Bab keempat secara khusus penulis akan membahas bagian paling penting dari penulisan skripsi ini, yakni mengungkap makna Ra`â dan Nazara pengertian Ra`â dan Nazar beberapa objek dan subjek observasi yang terdapat dalam al- Qur’an.dalam pandangan tafsir Rûh al-Maâni . Bab kelima, merupakan penutup dari penulisan skripsi ini yang mencakup kesimpulan dan saran.

BAB II BIOGRAFI AL-ALÛSI

A. Riwayat Hidup Al-Alûsi

Nama lengkapnya adalah Syihâb al-Dîn al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Mahmud al-Alûsi . Ia dilahirhan pada hari jum`at, tanggal 15 Sya`ban 1217 H. di pinggiran kota Kurkh, Baghdad, Irak. 1 Al -Alûsi meninggal pada tahun 1270 H, tepatnya pada hari jumat 25 Dzu al-Qa`dah. Ia dimakamkan di Pemakaman keluarga yaitu di Kurkhi berdampingan dengan syaikh Ma`ruf al- Kurkhi. 2 Nama al-Alûsi diambil dari nama sebuah keluarga, yang mana dari marga ini telah banyak menjadi intelektual-intelektual ulama terkemuka di Baghdad pada abad 19 dan 20. Pada awalnya penamaan tersebut adalah dinisbatkan dari nama salah satu daerah, yakni al-Alûsi yang berada di tepi Barat sungai Eufrat antara Abu Kamal dan Ramadi. 3 1 Hasan Yunus ‘Abidu, Dirasat Wa Mabâhits fi al-Tafsir Wa Manahij al-Mufassîr Kairo: Markaz Kitab al-Nasyr, 1991, h. 140. 2 Manni’‘abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976, h 282. Nama lengkanya syaikh Ma’rûf al-Karakhî adalah Abû Mahfûz Ma’rûf Ibn Fayrûz al- Karakhî, ia berasal dari persia, namun hidupnya lebih lama di Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyîd. Kemudian, Dia meninggal dunia di kota ini pada 200H815M pada usia 78 tahun. Ma’rûf al-karakhî dikenal sebagai seorang sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada allah sehingga ia digolongkan kedalam kelompok awliâ. Berkenaan dengan ini, salah seorang muridnya, sârî al-Saqatî w.253H867M menceritakan,”dalam tidurku aku telah melihat Ma’rûf al-karakhî berada di atas Arasy”. Pada waktu itu Allah bertanya pada para malaikat: “siapa Dia?” para malaikat menjawab: “engkau lebih mengetahui daripada kami, Wahai, Allah”. Maka Allah pun berfirman “orang itu adalah Ma’rûf al-karakhî yang sedang mabuk cinta pada-Ku. Lihat slengkapnya Azyumardi Azra dkk Ensiklopedi tasawuf Bandung:Angkasa 2008 Cet I Jilid 2 h.808 3 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirûn Kairo: Maktabah Wahbah, 1416 H, h. 352. Bisa juga dilihat pada Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal Manâhij al- Mufassirîn Kairo: Maktabah al-Risalah, 1987, h.215. Pada usia mudanya, ia dibimbing oleh orang tuanya sendiri, yaitu Syekh al-Suwaidi dan juga berguru kepada Syeikh al-Naqsabandy. Pada guru yang terakhir ini ia banyak belajar tasawuf, sehingga wajar pada saat menulis tafsir, dia sering memasukan uraian-uraian sufistik sebagai upaya untuk menguak makna- makna esoteris 4 Al-Alûsi termasuk orang yang masyhur pada masanya. Keterangannya merupakan hal yang logis sebab al-Alûsi memiliki kepastian keilmuan yang luas, Ia juga dikenal sebagai muhaddits fuqaha, dan mufassir dari Irak. Ketika al-Alûsi berusia 13 tahun, kegiatan-kegiatan ilmiahnya begitu marak. Dia belajar di sejumlah madrasah. Selain itu, ia juga rajin dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki kepada para pelajar. Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang memiliki wawasan yang luas dan mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dalam kuliahnya. 5 Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Pada suatu saat ia menulis syair, di antara syair al-Alûsi yang masyhur adalah: “Begadangku, aku gunakan untuk kajian ilmu yang bermanfaat, untuk memperoleh kemampuan dan kebaikan ilmu. Ia merupakan ulama yang mengetahui dan mendalami berbagai perbedaan pendapat mazhab. Ia menganut akidah salafi tetapi di dalam berbagai masalah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi dan tetapi bermazhab Syafi’i dalam 4 Abdul Mustaqim, Studi Kitab Tafsir Depok: Teras, 2004, h. 154. 5 Kafrawi Ridwan, dkk, Ensiklopedi Islam Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996, h 130. berbagai masalah, sementara dalam bidang akidah mengikuti mazhab Salafiyah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi, namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad dalam beberapa hal dan bersifat inklusif terhadap pandangan yang lain. 6 Al-Alûsi memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia dikenal sebagai ‘Allamah ulama besar, baik dalam bidang ilmu naqli berdasarkan al-Qur’an al- Hadis maupun aqli berdasarkan akal, dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang tersebut. Sejak muda ia sudah giat mengajar dan mengarang. Ia mengajar di berbagai perguruan. Selain di negeri ia tempat belajar, murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang menjadi tokoh di negerinya masing-masing. Al-Alûsi tercatat sebagai penanggung jawab wakaf Madrasah Marjaniyah sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya harus seorang tokoh ilmuan di negeri itu. 7 Al-Alûsi juga dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang, pangan, dan perumahan bagi anak didiknya. Ia memberi mereka pedoman yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri. 8 Mengenai kualitas pribadinya dalam nilai-nilai spiritual, ia sudah sejak kecil berusaha untuk menemukan rahasia kebesaran Tuhan. Di kala teman-teman sebayanya asik bermain, ia justru asik dalam pencariannya terhadap ilmu-ilmu Allah. Al-Alûsi juga rela meninggalkan kesenangan nafsunya bermain dan bersenda gurau dengan menggantinya kepada pencarian jati dirinya di hadapan 6 Kafrawi Ridwan, dkk, Ensiklopedi Islam, h. 130. Namun dalam keterangan lain, al-Alûsi lebih menekankan pada mazhab Hanafi. Lihat Harun Nasution ed, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Jambatan,1992, h. 109. 7 Ridwan Kartawi,dkk, Ensiklopedi Islam, h. 130. 8 Manni ‘Abd al- Halim¸ Manâhij al-Mufasirîn, h.282. Allah. Kesenangan dan kegembiraan teman-temannya dalam bermain tidak mampu menggodanya dalam kesyahduan dan munajat kepada Allah untuk mencapai hakikat-hakikatnya. 9 Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh yang bekerjasama dengan pemerintah. Ia menduduki jabatan-jabatan penting di antaranya: Ia diangkat menjadi pemimpin bagian wakaf pada perguruan al- Marjaniyah, jabatan yang hanya diberikan kepada orang-orang yang terpandai di dalam Negeri. Beberapa bulan kemudian Ia diserahi jabatan sebagai Mufti besar Mazhab Hanafi di Baghdad. Kemudian Ia membulatkan perhatian untuk menyelesaikan tafsirnya. 10

B. Beberapa Karya-Karya Al-Alûsi

Adapun karya-karya al-Alûsi tidak hanya pada tafsir saja, namun juga mencakup mengenai beberapa disiplin lainnya. Di antara karya-karyanya adalah: 1. Hasyiah ‘Ala al-Qathri Fi al-Nahwu. Yaitu suatu karya dalam bidang gramatika bahasa Arab Nahwu. Kitab tersebut hanya sempat dia selesaikan pada pembahasan “Hal” dan setelah ia wafat anaknya al-Sayyid Nu’man Alûsi menyempurnakan kitab tersebut. 2. Dalam bidang Tasawuf ia mengarang sebuah kitab yang dinamakan “Durrat al-Ghawas Fi Awham al-Khawas” . 9 Syihab al-din al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni, Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt, jilid I, h. 4. 10 Ridwan Kartawi,dkk, Ensiklopedi Islam, h. 86. 3. Dalam bidang sastra dia telah menyusun sebuah kitab yaitu “al-Fawa’id al-Saniah Fi Adab al-Bahts” . 11 Itulah beberapa karya al-Alûsi selain kitab Tafsir, dan masih banyak tulisan-tulisannya yang masih terpisah-pisah yang tidak dalam bentuk sebuah kitab sendiri.

C. Sekilas Tentang Kitab Tafsir Rûh Al-Ma‘âni

Agar lebih mengetahui kepiawaian al-Alûsi dalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, maka dengan sedikit banyak menelaah kitab tafsirnya akan di temukan beberapa jawaban yang cukup membuka pada pembuktian kelebihan al- Alûsi. Dalam kitab Rûh al-Ma‘âni” metode yang ia gunakan dalam penulisan maupun pembahasan cukup jelas dan luas yaitu: 1. Al-Alûsi memadukan antara cara ulama salaf dengan ulama khalaf dengan penuh kehati-hatian. Hal ini diketahui dengan adanya beberapa ringkasan tafsir dari beberapa ulama tafsir lainnya yang dikumpulkan oleh al-Alûsi dalam kitab tersebut. Di antara tafsirnya yang diangkat oleh al-Alûsi dalam kitabnya yaitu: Tafsir Ibnu ‘Atiah, tafsir Ibnu Hayyan, Tafsir al- Kasyaf, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir al-Baydhawi, dan Tafsir Fakhr al-Razi . 12 2. Cara penukilan terhadap orang lain, ia menggunakan beberapa istilah yaitu apabila menukil dari Abu Su’ud maka ditulis dengan ﺳﻻا ﺦﯿﺷ لﺎﻗ , bila dari al-Baydhawi ditulis dengan ﻲ ﺿ ﺎ ﻘ ﻟ ا ل ﺎ ﻗ bila menukil dari al-Fakhr al- 11 Manni’‘Abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn, h. 282. 12 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun Kairo: Dar al-Kutub al- Hadits 1976, h. 356. Razi ditulis dengan م ﺎ ﻣ ﻻ ا ل ﺎ ﻗ dan terkadang al-Alûsi mengutip tanpa laqab tertentu. 3. Pembahasan mengenai kalam dan akidah, al-Alûsi menggunakan ‘aqidah ahl al-sunnah wa al-jama`ah, sebab, dia bermazhab salaf dan beraqidah sunni. 4. Pembahasaan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah fiqih, al-Alûsi mengumpulkan pendapat berbagai mazhab tentang ayat-ayat tersebut, lalu mentarjih -nya untuk mengetahui yang lebih kuat tanpa didasari fanatisme terhadap mazhab tertentu. 5. Dalam hal qira’at, munasabah al-ayat dan asbab al-nuzul, al-Alûsi banyak mengupasnya termasuk nâsikh al-mansûkh. 13 6. Al-Alûsi juga dalam kitab tafsirnya banyak berbicara tentang tafsir Isyari. Hal tersebut dilakukan setelah beliau menafsirkan ayat secara dzahir dengan berbagai aspeknya. Lalu beliau mencoba mengangkat makna isyarat yang dimiliki ayat tersebut. Itulah hal-hal yang diangkat oleh al-Alûsi sebagai metode dan caranya dalam mengupas ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kitab tafsirnya Rûhul Ma‘âni . Sedangkan keadaan fisik dari kitab tafsir al-Alûsi terdiri atas 15 jilid besar yang berisi tafsir al-Qur’an 30 juz. Di dalamnya dilengkapi dengan keterangan sumber-sumber pemikiran. Pada jilid pertama di halaman muka, al-Alûsi menulis muqaddimahnya dengan memaparkan beberapa peristiwa hidup yang dialaminya, 13 Hasan Yunus ‘Abidu, Dirasat Wa Mabâhits Fi al-Tafsir Wa Manâhij al-Mufasiriîn Kairo: Markaz Kitab al-Nasyr, 1978, h. 140. baik ketika kecil maupun ketika setelah dewasa dan pengalaman-pengalaman batin tatkala menyusun tafsirnya tersebut. Al-Alûsi menulis tafsirnya yaitu pada malam ke 16 bulan Sya‘ban tahun 1263 H, dan selesai pada malam Selasa tanggal 4 di bulan Rabi‘ul Akhir, tahun 1267 H. sedangkan nama “Rûh al-Ma’âni Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azim wa al-Sab’ al-Matsani” diberikan oleh Ali Ridha Pasha. 14

D. Metode dan Corak Tafsir Al-Alûsi

Tafsir ini termasuk pada penggunaan metode tahlilî, di sini beliau menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknyam, dengan memberikan dan menguraikan arti kosakata serta lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki saran yang dituju dari kandungan ayat yaitu unsur I‘jaz,balâghah, dan keindahan susunan kalimat. Menjelaskan apa yang diinstinbatkan dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah atau larangan, janji dan ancaman, haqiqat, majaz, 14 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 335. Ali al-ridha adalah ia lahir d Madinah pada 11dzulqa’dah 148H765M namun menurut Syaikh Sadûd w,381H991M dalam kitab Uyûn al-Akhbâr al-ridhâ Alaihim al-Salâm disebutkan, bahwa ia lahir pada kamis, 11 Rabiul awal 153h770M, lima tahun setelah wafatnya Imam ja’far al-Sâdiq, dan meninggal dunia pada 203H817M. Ayahnya adalah Imam Mûsâ al-kâzim, sedangkan ibunya Taktamm, putri seorang budak yang dibeli ibu Mûsâ al-Kâzim. Ibu mûsâ sangat kagum kepada budaknya. Suatu hari ia berkata kepada putranya, “wahai anakku, sesungguhnya aku tidak pernah melihat seorang budak perempuan yang lebih utama daripada tahtamm ini, dan aku tidak merasa ragu bahwa Allah akan mengeluarkan nketurunannya jia dia ditakdirkan mempunyai keturunan. Aku telah melah memberikan kepadamu maka berwasiatlah dengan kebaikan kepadanya”. Lihat selengkapnya Azyumardi Azra dkk Ensiklopedi Tasawuf Bandung:Angkasa 2008 Cet I Jilid I h.219. kinayah,isti’arah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelumnya. 15 Kesamaan itu, dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan Balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair puisi-puisi ahli balaghah terdahulu, ucapan-ucapan ahli hikmah yang ‘arif, teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa, atau berdasarkan pemahamannnya, dan hal yang lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Metode tahlily adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan para ulama pada masa dahulu. Kebanyakan para penafsir tahlily biasanya ada yang terlalu bertele-tele dan adapula yang sebaliknya, yang sederhana dan ringkas. Sedangkan coraknya, dalam kitab tafsir ini al-Alûsi, mengemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk pada bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. 16 Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati, corak tafsir al-Alûsi adalah merupakan bagian dari tafsir sufi yang sarat dengan tafsir isyari, dimana tafsir ini menginginkan dan menghendaki maknanya makna batin. 17 15 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’I,Jakarta:PT. Raja Garfindo Persada, 1996, Cet Ke-2, h.12 16 Ali Hasan al-‘Aridl Pengantar Ilmu Tafsir,Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992 Cet-2, h.55 17 Ali Hasan al-‘Aridl Pengantar Ilmu Tafsir, h.56 Lebih jauh lagi al-Alûsi berkata:”tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam bahwa al-Quran mempunyai bagian-bagian bathin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha pencipta dan maha melimpah kepada bathin-bathin hamba-Nya yang dikehendaki. Maka tak salah bahwa corak yang mewarnai tafsirnya merupakan bagian dari tafsir Sufi seperti apa yang penulis kemukakan di atas. Hal ini relevan dengan tafsirnya yang syarat dengan tafsir Isyari yang menginginkan adanya makna bathin dalam tafsir beliau. 23

BAB III OBSERVASI : Langkah Mendapatkan Pengetahuan

Membicarakan pengetahuan sebagai hal yang sangat penting, sebenarnya sudah cukup jelas. Manusia tidak dapat hidup sebagai manusia tanpa pengetahuan. Agar manusia hidup sebagai manusia, maka ia memerlukan pengetahuan. Baik pengetahuan praktis maupun teoritis, baik pengetahuan sehari-hari yang masih bersifat pra-ilmiah maupun pengetahuan ilmiah. Manusia tidak dapat hidup di dunia ini hanya berdasarkan instingnya saja. Pada manusia, pengetahuan yang didasarkan atas insting amatlah terbatas. Seandainya manusia hanya hidup dari instingnya, maka manusia akan menjadi binatang paling malang di dunia ini. Tetapi berkat akal budinya, manusia dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang segala macam hal, dan hal itu amat berpengaruh terhadap cara beradanya sebagai manusia. 1 Dengan demikian, maka manusia perlu untuk mencari pengetahuan, selain dengan menggunakan indera dan potensi akalnya, juga dengan menggunakan akal budinya. Tetapi, itu semua perlu sebuah tindakan observasi atau penelitian sebagai langkah awal mendapat pengetahuan. 1 J. Sudarminta, “Epistemologi : Masihkah Kita Perlukan?”, dalam Diskursus : Jurnal Filsafat dan Teologi-Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 8, No. 2. Oktober 2009, Jakarta: Lembaga Penelitian Filsafat dan Teologi, 2009, h. 151. Bandingkan dengan pendapat Nurcholish Madjid, menurutnya manusia memerlukan sesuatu yang lebih dari pada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral atau kalimat dari Tuhan yang bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pada kesesatan dalam hidup. Lihat, Nurcholish Madjid, “Ilmu Pengetahuan Bukan Jaminan,” dalam Ahmad Gaus AF, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid 2 jakarta : Paramadina, 2006, h. 1003. Dalam kerangka Epistemologi Islam, pengetahuan dapat diperoleh melalui dua cara: pertama melalui pemberian yang berupa wahyu, pengenalan langsung ma‘rifah, penyingkapan spiritual kasyf dan kearifan spiritual ilmu Al- laduniyy . Sedangkan cara yang kedua melalui usaha manusia dengan instrumen yang dimilikinya, seperti indra, akal, dan intuisi. Dengan alat-alat tersebut manusia melakukan pengamatan, penyelidikan, pemikiran, perenungan dan penyelaman hingga bisa memperoleh berbagai jenis pengetahuan dan kebenaran walaupun sifatnya nisbi dan relatif. 2 Epistemologi merupakan sub system filsafat, pengertian epistemologi memiliki keragaman pandangan yang berbeda ketika mengungkapannya, sehingga menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda pula, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya. Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa di abaikan. Pengertian epistemologi memperlancar pembahasan. Seluk beluk yang terkait dengan epistemiologi itu. Mujamil Komar mengungkapkan beberapa pengertian epistemologi yang di ungkapkan para ahli yang dapat dijadikan dasar untuk menangkap pengertian epistemologi, seperti: 1. P. Hardono Hadi mengetakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope 2 S. Hamdani, “Epistemologi Islam Sebagai Epistemologi Alternatif” : Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan vol. 4, no. 2 desember 2002, h. 70. pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang di miliki. 3 2. D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bernuansa dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat di andalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. 4 3. Dagobert D. Runes, mengatakan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas sumber stuktur , metode dan validitas pengetahuan. 5 4. Azumardi Azra memberi pengertian tentang epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, stuktuir, metode dan validitas ilmu pengetahuan. 6 Dari pengertian-pengertian epistemologi di atas bisa di ambil kesimpulan bahwa epistemologi intinya adalah mengkaji pengertian secara mendasar dan mengkomprehensip baik subtansi pengetahuan maupun metode serta stukturnya sehingga mendapatkan teori pengetahuan yang utuh. Pengertian-pengertian epistemologi yang disebut di atas dapat menemukan benang merah tentang ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlar Achmad merinci ruang lingkup epistemologoi menjadi enam aspek yaitu: hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. 7 3 P.Hardono Hadi Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta Kanisius, 1994, h. 5 4 D.W Hamlyn History Of Epistemology, dalam Paul Edwars, The Encylopedia Of Philosophy , vol.3 1967, h. 8-9. 5 Dagobert D. Runes, Dictionary Of Philosophy, New Jersey: Little Field Adams CO, 1963, 49 6 Azumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi Dan Moderenisasi Menuju Milinium Baru, Bandung:Trigenda Karya,1994, 61 7 Mudlar Achmad Ilmu Dan Keinginan Tahu, bandung: trigenda karya, 1994, h 61 Dari penjelasan epistemologi tersebut ternyata kajian sangat luas sekali untuk mendapatkan pengetahuan sehingga teori pengetahuan yang meliputi hakikat, keorisinilan, sumber, stuktur metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, peranggungjawaban dan skope pengetahuan.

A. Pengertian Observasi

Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn experimental maupun konteks alamiah. 8 Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat dan pembuktian terhadap informasiketerangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes. 8 Iin Tri Rahayu dan Tristriadi Ardi Ardiani, Observasi dan Wawancara Malang : Bayu Media Publishing, 2004 , h. 1. Metode observasi berkaitan dengan pengamatan indrawi, dan cocok digunakan untuk meneliti objek-objek fisik. Untuk memeperoleh pengetahuan yang objektif tentang objek-objek ini diperlukan cara-cara dan alat bantu bagi indera. Ibn Haitsam, sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara menyebutkan bahwa observasi memerlukan alat bantu bagi indera, karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan indrawi khususnya pengamatan mata. Lanjut Ibn Haitsam dalam karyanya Al-Manâzhir, ia menunjukan kelemahan pandangan mata dengan menunjukan secara terperinci kekeliruan pandangan mata yang ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti jarak, posisi, tranparansi, keburaman, lamanya memandang, dan kondisi mata. 9 Di sisi lain, observasi pun disempurnakan oleh para astronom muslim dengan menggunakan alat bantu berupa observatorium untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa termasuk ukurannya daripada gambaran yang bisa diperoleh dari pengamatan langsung indra. 10 Al-Biruni, seorang ensiklopedi muslim menggunakan metode observasi dan ekperimen dalam penelitiannya. Sebagaimana dikatakan Mulyadhi, al-Biruni berusaha untuk mengukur keliling bumi. Namun, karena pengadaan pelayaran keliling dunia hampir mustahil dilakukan pada saat itu serta biaya tidak 9 Mulyadhi Kartanegara Epistemologi Islam Jakarta: Serambi 2005, h, 53 10 Kartanegara, Menebus Batas Waktu Panoramafilsafat Islam Bandung Mizan Media Utama, cet II 2005, h 96 terjangkau, maka dia melakukan eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dalam teori-teori, terutama apa yang disebut trigonometri. 11

B. Metode Ilmu Pengetahuan

Islam memberi motivasi kepada akal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan menyingkap bentangan kejadian alam di hadapannya. Sebagaimana al-Qur`an telah mengajak akal untuk merenungkan apa yang ada di Langit dan di Bumi. Tidak ada satu pun kejadian yang ditutup oleh Allah dihadapan akal. Dalam al-Qur`an Allah Swt, menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai cakrawala yang sangat luas :  ð                         Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS.al-lukman ayat 27. 12 Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai metode- metode ilmiah yang digunakan untuk mendapat ilmu pengetahuan. Metode ilmiah ini, harus sesuai dengan sifat dasar dan objek-objeknya. Sebab, objek-objek ilmu memliki sifat dasar, karakter dan status ontologis yang berbeda, maka metode 11 Untuk mengetahui observasi yang dilakukan oleh al-Biruni, lihat selengkapnya dalam Kartanegara, Epistemologi Islam h 55 12 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005, h. 414 ilmiah juga beragam sesuai dengan objek-objeknya. Selama ini, dapat ditemukan dalam dunia Islam beberapa metode ilmiah, yakni metode observasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, metode logis dan metode intuitif.

1. Argumentatif