Kajian Histopatologi Efek Imunomodulator Dari Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Pada Organ Sistem Limforetikular Mencit (Mus musculus) Pada Masa Laktasi

KAJIAN HISTOPATOLOGI EFEK IMUNOMODULATOR
DARI DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) PADA
ORGAN SISTEM LIMFORETIKULAR MENCIT (Mus
musculus) PADA MASA LAKTASI

Lina Puspita Sari

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

LINA PUSPITA SARI. Histopathological Study ofthe Immunomodulator Effects
of Torbangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) in the Lymphoreticular System
Organ of Lactating Mice (Mus musculus). Supervised by DEW1 RATIH
AGUNGPIUYONO and M. IUZAL M. DAMANIK. 2008.
ABSTRACT

The purpose ofthis research was to study the immunomodulator effects o j
Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour) in the lymghoreticular organ system

of mice (Mus musculus) histopathologically. Nine mice divided into three groups;
control group, group received 5% Torbangun leaves soup and 5% dry Torbangun
leaves group. The mice were given Torbangun leaves at the 14Ih day ofpregnancy
until day 7 post partus. The mice then were euthanized. The spleen, lymphonode
and thymus were collected as histopathological samples. Samples were processed
routinely to prepare histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin.
Besides that, blood was taken from heart for blood dgerentiation cells
examination and stained with Giemsa. The observation results of that the mice
given 5% Torbangun leaves soup showed hyperplastic reactive lymphoid follicle
of spleen, while thymus and lymphnodes although did not showed hyperplasia but
in reactive condition. The mice that given 5% dry Torbangun leaves showed
hyperplastic reaciive lymphoid follicle of spleen and lymphnodes, while thymus
although did not showed hyperplasia but in reactive condition. Blood smear
examination revealed that the conszrmption soup and d v Torbangun leaves
increased leucocytes in the blood circulation. Based on the histopathology
observation it suggested that the consumption of Torbangun leaves, both soup and
dry leaves could induce the lymphoid organ to become reactive and release
leukocytes to the peripherial blood circulation. However the consumption of dry
Torbangun leaves had higher immunostimulant effect than soup.
Key word : Torbangun leaves, mice, immunostimulant, lymphoreticular organ,

histopathology

LINA PUSPITA SARI. Kajian Histopatologi Efek Irnunomodulator dari Daun
Torbangtm (Coleus amboinicus Lour) pada Organ Sistem Limforetikular Mencit
(Mus musculus) pada Masa Laktasi. Dibimbiig oleh DEW1 RATIH
AGUNGPRIYONO dan M. RIZAL M. DAMANIK. 2008.
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan mtuk mempelajari efek imunomodulator dari daun
Torbangun (Coleus amboinicus Lour) pada organ sistem liioretikular mencit
(Mus musculus) secara histopatologi. Sebanyak 9 ekor mencit dibagi dalam 3
kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok yang diberi perlakuan sop daun
Torbangun 5%, dan dam Torbangun kering 5%. Konsumsi dam Torbangun
dilakukan saat mencit bunting 14 hari sampai 7 hari post-partus. Kemudian hewan
dieuthanasi dan diambil organ limpa, limfonodus, dan timus. Sampel diproses
secara rutin untuk pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan
Hematoksilin Eosin. Selain it-, darah diambil dari jantung mtuk dibuat preparat
ulas darah dengan pewarnaan Giemsa dan dilakukan pengamatan diferensiasi
darah. Hasil pengamatan pada mencit yang diberi perlakuan sop daun Torbangun
terjadi hiperplasia reaktif folikel limfoid limpa, sedangkan pada timus dan
limfonodt~swalaupun tidak terjadi hiperplasia organ, tetapi juga dalam kondisi

yang reaktif. Pada mencit yang diberi daun Torbangun kering terjadi hiperplasia
reaktif foliiel limfoid limpa dan lirnfonodus, sedangkan pada timus walaupun
tidak terjadi hiperplasia organ, tetapi juga dalam kondisi yang reaktif. Pemberian
sop dan dam Torbangun kering juga meningkatkan j~unlah leukosit pada
peredaran darah. Berdasarkan pada hasil pengamatan yang ada, dapat diambil
kesimpulan bahwa konsumsi daun Torbangun dalam bentuk sop dan dam kering
dapat menggertak organ limfoid sehingga menjadi reaktif mtuk melepas set
leukosit ke peredaran darah. Pemberian daun Torbangun kering lebih menggertak
sistem imun dibandingkan dalam bentuk sop.
Kata kunci : daun Torbangun, mencit, imunostirnulan, organ limforetikular,
histopatologi

KAJIAN HISTOPATOLOGI EFEK IMUNOMODULATOR
DARI DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) PADA
ORGAN SISTEM LIMFORETIKULAR MENCIT (Mus
musculus) PADA MASA LAKTASI

Lina Puspita Sari

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk menlperoleh gelar
Sajana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

JudulSkripsi
Nama
NRP

: Kajian

Histopatologi Efek Imunomodulator dari Daun
Torbangull (Coleus amboinicus Lour) pada Organ Sistem
Limforetikular Mencit (Mus musculus) pada Masa Laktasi
: Lina Puspita Sari
: B 04104070


Disetujui oleh,

Pembimbing I

Pembimbing I1

drh. Dewi Ratih ~gLngprivonoPh.D.
NIP. 131 760 839

drh. M.R.M.Damauik. M.Rep.Sc.Pl1.D.
NIP. 131 902 365

Tanggal Lulus :

2 1 NOV 2008

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kandangan, Kalimantan Selatan pada tanggal 22
September 1986 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Suparto
dan Ibu Ekowati.

Saat berunlur 4 tahun, penulis dan keluarga pindah ke Tanali Grogot,
Kalimantan Timur. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1990 di TK Ruhui
Rahayu, Tanah Grogot. Selanjutnya, sekolah dasar sampai menengah pertama
diselesaikan di Tanah Grogot, pada tahun 1992 penulis masuk ke SDN 018 Tanah
Grogot dan lulus tahun 1998, kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Tanah
Grogot dan lulus tahun 2001. Setelah itu penulis langsung melanjutkan ke SMU
Batik I Surakarta dan lulus pada tahun 2004.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
(FKH) IPB. Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam Himpunan
Minat dan Profesi (Himpro) Omitologi dan Unggas sebagai anggota dan Himpro
Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik (HKSA) sebagai anggota divisi Kuda
periode 2005-2007. Selain itu penulis juga pemah menjabat sebagai sekretaris
organisasi seni Steril periode 2005-2006.

PRAKATA
Tak ada kata yang terucap selain Alhamdulillahirabbilalamin atas segala
petunjuk-Nya sehingga karya kecil ini dapat penulis selesaikan.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul 'Kajian Histopatologi
Efek Imunomodulator dari Dam Torbangun (Coleus amboinicus Lour) pada
Organ Sistem Liforetikular Mencit (Mus musculus) pada Masa Laktasi', yang
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW,
beserta keiuarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ayah dan Ibu, adik-adikku Meli dan Angga yang sangat penulis sayangi

dan cintai atas segala dukungannya baik materi inaupun spiritualnya.

2. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen pembimbing I yang
telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan, koreksi
dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
3. drh. M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc,Ph.D sebagai dosen Pembimbing I1

atas bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dr. drll. Sri Estuningsih MSi sebagai dosen penilai seminar dan penguji.


5. drh. Endang Rachman, MS selaku dosen pembimbing akademik.

6 . Dana penelitian yang berasal dari hibah bersaing 'Peningkatan Mutu Sop
Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) sebagai Makanan Tradisional
Berkhasiat dengan Penambahan Bahan Pengawet dan Penerapan Tehnik
Kemasan' dan Dana Penyangga Penelitian Mahasiswa S1 Bagian Patologi
FKH IPB.
7. Seluruh tehnisi dan pegawai bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan

IPB, terutama Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, Bu Meli, mbak Kiki

dan Bibi atas bantuan dan kerjasamanya.
8. Perpustakaan IPB dan Perpustakaan FKH IPB.

9. Mas Muhan atas dukungan, kasih sayang dan bantuannya selama ini.
10. Sahabat-sahabat terbaikku Vet's Angels (Ata, Dhe, Inge, Iya, Chamut,
dan Ay2) atas dukungan dan kebersamaanya.
1l.Rekan-rekan penelitianku mas Muhan, Dhani, Epan, d m Sius atas
kejasamanya.

12. Teman-teman sepejuangan di laboratorium Patologi Popon, Mungki,
Ivan, Dika, Derot, Wence, Sri, Aqii, Rina d m Gugi.
13. Teman-temanku yang baik Eka, Inggit, Agus, Fuad, Sogi, Kuga, Imis,
putri, mbak Yu, mbak Fit, Mimi, Syeni, Rahma, Kikik, teh Ida, Bagus,
Herlina, Yus, Om Zu, mbak Sitru, Pak Ali, Romi, Arum, Dita, Nanang,
Andro, Ari, Fajrin, Sunu, Puput, mas Do, mas Dah, Nanda, Jaya, Arios,
Fikri, lyo, Uwi, mas Bud, mas Hasan, Husna, Yulia.
14. Teman-teman Asteroidea 41 yang selalu terbaik dan teristimewa.
15. Semuapihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya kecil ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak yang
membutuhkan.

Bogor, November 2008

Lina Puspita Sari

DAFTAR IS1


DAFTAR TABEL ........ ................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR..................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. x
PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................... 1
Rumusan Masalah .................................................................. 2
Tujuan Penelitian .................................................................. 2
..
Manfaat Penelitian .................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA
Torbangun (Coleus amboinicus Lour)..........................................
Klasifikasi.......................................................................
Botani ...........................................................................
Pen~anfaatan
....................................................................
Mencit (Mus musculus)..............................................................
Klasifikasi.......................................................................
Morfologi .......................................................................
Organ Limforetikular..............................................................
Timus.............................................................................

Limpa ............................................................................ 10
Limfonodus..................................................................... 12
Leukosit............................................................................. 13
Imunomodulator ..................................................................... 16
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................
Hewan Coba ........................................................................
..
Bahan Penelltian....................................................................
..
Alat Penelihan.....................................................................
Prosedur Kerja .....................................................................
Pembuatan Sop Daun Torbangun...........................................
Pembuatan Daun Torbangun Kering.......................................
Pembuatan Pakan...............................................................
Pemeliharaan Mencit...........................................................
Pembuatan Preparat Histopatologis........................................
Pembuatan Preparat Ulas Darah.............................................
Pengarnatan Sediaan Histopatologi dan Ulas Darah.....................
Analisa Data ...................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Histopatologi pada Organ Timus.................................... 26
Perubahan Histopatologi pada Organ Limpa ................................... 28
Perubahan Histopatologi pada Organ Limfonodus........................... 32
Differensiasi Sel Darah ............................................................35

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ......................................................................... 39
Saran................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 40

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi Zat Gizi Dam Torbangun...........................................................
2 Komposisi Zat Gizi Sop Daun Torbangun....................................................
3 Data Biologis Mencit ....................................................................................

4 Komposisi Bahan Pembuatan Sop Dam Torbangun....................................
5 Perbandingan Ketebalan Korteks dan medula ...................................

6 Perbandingan Jumlah Sel Timosit...............................................
7 Perbandingan Jumlah Folikel Limpa.............................................

8 Perbandingan Diameter Folikel Limpa ...........................................
9 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limpa .......................................
10 Perbandingan Jumlah Folikel Lidonodus .......................................

11 Perbandingan Diameter Folikel Limfonodus....................................
12 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limfonodus.................................

13 Perbandingan Jumlah Leukosit....................................................

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambar Torbangun (Coleus amboinicus Lour).................................

4

2 Gambar Mencit (Mus musculus albinus) .........................................

6

3 Gambar Timus.....................................................................

9

4 Gambar Limpa.......................................................................

10

5 Gambar Limfonodus................................................................

6 Gambar Limfosit.....................................................................
7 Gambar Monosit.....................................................................

8 Gambar Neutrofil ....................................................................
9 Gambar Eosinofil....................................................................
10 Gambar Basofil......................................................................
11 Gambar Diagram Perbandingan Ketebalan Korteks dan medula..............
12 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Sel T i o s i t Korteks..................
13 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Folikel Limpa ........................

14 Gambar Diagram Perbandingan Diameter Folikel Limpa.....................
15 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Sel Limfoid L i p a ..................
16 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Folikel Limfonodus ..................
17 Gambar Diagram Perbandingan Diameter Folikel Limfonodus ...............
18 Gambar Diagram Perbandigan Jumlah Sel Limfoid Limfonodus............
19 Gambar Diagram Perbandigan Jumlah Leukosit..............................

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ Timus.................................. 43
2 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ Linlpa.................................. 44

3 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ L i o n o d u s ........................... 49
4 Hasil Pengamatan Differensiasi Darah.............................................

51

5 Analisis Data Statistik Oneway ANOVA dan Uji Lanjut Duncan.............

52

Latar Belakang
Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis
flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26%
telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan,
dan dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat
eadisional (Syukur dan Hernani 2002).
"Back to nature!", gaungnya semakin nyaring melanda dunia kesehatan.

Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang berpaling pada
tanaman obat-obatan sebagai altematif pilihan menyembuhkan keluhan penyakit
yang mereka derita. Selama ini berkembang asumsi "mengkonsumsi ramuan obat
aman-aman saja dan tidak akan menimbulkan efek samping sehingga boleh
diminum tanpa memperhatikan dosis" (Duryatmo 2003).
Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman
yang dapat digunakan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. Wanita Batak yang
sedang menyusui di Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara memiliki
tradisi mengkonsumsi dam Torbangun dalam bentuk sayur sop selama satu bulan
setelah melahirkan. Mereka percaya bahwa dengan mengkonsumsi sop dam
Torbangun, produksi air susu ibu akan meningkat (Damanik et al. 2001).
Selain itu, daun Torbangun juga dikenal memiliki banyak khasiat antara
lain sebagai antipiretik, analgetik, obat luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes
1989), antioksidan, antitumor, antikanker, dan antihipotensi (Duke 2000).
Biasanya obat yang memiliki multikhasiat mempunyai reseptor organ target pada
sistem limforetikular yang melaksanakan fungsi imun. Imunomodulator adalah
suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imunitas yang
terganggu dan menekan fungsi imun yang berlebihan (Bellanti dan Kadlec 1993).
Untuk

mengetahui

apakah

daun

Torbangun

memiliki

efek

imunomodulator, maka dilakukan penelitian ini. Hewan coba yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus). Pemilihan hewan ini
dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti mencit adalah hewan yang

mudah berbiak, nludah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup
besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole
dan Pramono 1989). Selain itu, mencit memiliki siklus hidup yang pendek, dapat
mengkonversi pakan secara efektif, relatif tahan terhadap penyakit, dan harga
relatif murah.
Rumusan Masalah
Daun Torbangun adalah tanaman asli Indonesia yang memiliki banyak
khasiat. Salah satunya, daun Torbangun merupakan tanaman yang memiliki efek

laktogogum (meningkatkan produksi air susu) dan berkhasiat menyembuhkan
berbagai macam penyakit (Damanik et al. 2006). Hal ini telah dibuktikan dari
penelitian-penelitian sebelurnnya. Akan tetapi, sampai saat ini data-data mengenai
daun Torbangun masih sangat sedikit, sehingga sangat diperlukan penelitian
lanjutan.
Oleh karena daun Torbangun ini memiliki khasiat menyembuhkan
berbagai penyakit, maka perlu diungkapkan kondisi dari organ sistem
limforetikular. Daun Torbangun biasa dirarnu inenjadi bahan pembuat obat
tradisional atau dikonstunsi oleh ibu yang sedang hamil dan menyusui dalam
bentuk sayur sop maupun lalapan, sehingga dalam penelitian ini juga
dibandingkan antara daun Torbangun kering dan yang telah diolah menjadi sop.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah daun Torbangun dalam
bentuk sop dan daun kering memberikan efek imunomodulator dengan
mempelajari gambaran histopatologis dari organ sistem limforetikular mencit
yang diberi daun Torbangun dalam bentuk sop dan dam kering.
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi dasar mengenai pengaruh dam Torbangun dalam
bentuk sop dan dam kering terhadap organ sistem limforetikular.

TINJAUAN PUSTAKA

Torbangun (Coleus amboinicus Lour)
a. Klasifikasi

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai hampir di
seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di daerah S~unatra
Utara, tanaman ini dikenal dengan nama Bangun-bangun atau Tarbangun
(Damanik et al. 2001). Sedangkan di daerah Sunda, dam Torbangun dikenal
dengan nama Ajeran atau Acerang, di daerah Jawa diienal dengan nama daun
Kucing, di Madura daun Kambing, dan Majha Nereng. Di daerah Bali dikenal
dengan nama Iwak dan di daerab Timor dikenal dengan nama Kunu Etu (Heyne
1987).
Dalam susunan taksonomi, tanaman Torbangun yang secara internasional
dikenal dengan Coleus amboinicus Lour diklasifikasikan seperti berikut :
divisi
subdivisi
kelas
bangsa
suku
marga
jenis

: Spermatophita
: Angiospermae
: Dikotiledonae

: Solanales
: Labialae
:Coleus
: Coleus amboinicus Lour (Anonimus 2008a).

b. Botani

Secara makroskopis, tanaman Torbangun memiliki ciri batang berkayu
lunak, beruas-mas dan berbentuk bulat, diameter pangkal 5 15 mrn, tengah

m m dan ujung

5

* 10

5 rnm. Daun tanaman ini tunggal, helaiannya bundar telur,

panjang helaiannya 5 3,5-6 cm, pinggirnya agak berombak dengan panjang
tangkai 5 1,5-3 cm, dan tulang dam menyirip (Gambar 1). Tanaman Torbangun
tumbuh secara liar, jarang berbunga, namun mudah sekali dikembangbiakkan
dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah yang gembur (Heyne 1987).

Gambar 1 Daun Torbangun, berbentuk bundar telur, pinggirannya berombak, dan
mlang daun menyirip. Sumber: Anonimus (2008b).
c. Pemanfaatan

Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam buku yang
bejudul Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia (Mahmud et al. 1990)
menyebutkan bahwa dalam 100 gram daun Torbangun terkandung lebih banyak
kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus
androgynus). Data lengkap tentang komposisi zat gizi dam Torbangun tercanturn
dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun
Komposisi Zat Gizi
Energi (kal)
Protein (g)
Lem3.k (g)
Hidrat arang (g)
Serat (g)
Abu (g)
Kalsium (g)
Fosfor (g)
Besi (mg)
Karoten total (mg)
Vitamin A (g)
Vitamin Bl(g)
Vitamin C (g)
Air (g)
(Sumber: Mahmud et al. 1990)

Torbangun
27,O
1,3
0,6
40
1,o
1,6
279
40
13,6
13288
0
0,16
5,l
92,5

Daun Torbangun biasa diolah oleh masyarakat etnis Batak dalam bentuk
sayur sop. Sayur sop ini diberikan kepada ibu yang baru melahirkan (Damanik et
al. 2006). Selanjutnya komposisi zat gizi sop daun Torbangun yang terkandung

dalam 150 gram sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Konlposisi Zat Gizi Sop Daun Torbangun (150 g)
Zat Gizi
Lemak (g)
Protein (g)
Karbohidrat (g)
Air (g)
Mineral (mg)
Seng
Besi
Kalsium
Magnesium
po&asium

Rata-rata i SD
16;3 i 4,6

(Sumber : Damanik et al. 2006)

Berdasarkan penelitian Damanik et al. 2006, pada saat minggu kedua (hari
ke-14 hingga ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun Torbangun), wanita yang
telah mengkonsumsi sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas
dan kualitas ASI. Selain itu, dam Torbangun mampu meningkatkan kesehatan
wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam
bentuk sop, dam Torbangun dapat menggantikan energi yang hilang selama
proses melahirkan.
Tanaman ini juga memiliki khasiat sebagai antipiretik, analgetik, obat

luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes 1989). Selain itu, daun ini juga
mengandung vitamin C, BI, B12, betakaroten, niacin, karvakrol, kalsiwn, asamasan lemak, asam oksalat, dan serat (Duke 2000). Heyne (1987) menyatakan
bahwa dari 120 kg dam segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang
mengandung fen01 (isopropyl-o-besol) dan atas dasar itu ia menyatakan bahwa
Torbangun merupakan antiseptikum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari dam
Torbangun selain sebagai antiseptik temyata mempunyai aktivitas yang tinggi
melawan infeksi cacing (Vasquez et al. 2000). Disamping minyak atsiri, daun
Torbangun juga mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Anonim 2008a).

Mencit (Mus musculus)

a. Klasifikasi
Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah
dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis
dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Untuk berbagai penelitian dalam
laboratorium Swiss albino mice adalah mencit yang paling sering digunakan
( ~ a l o l edan Pramono 1989).
Mencit termasuk dalam klasifikasi berikut ini,
kingdom
film
subfilum
kelas
ordo
subordo
famili
subfamili
genus
spesies

: Animalia

: Chordata
: Vertebrata
: Mamrnalia

: Rodentia
: Myomorpha
: Muridae
: Murinae
: Mus

: Mus musculus (Anonimus 2007).

b. Morfologi
Mencit putih memiliki bulu pendek halus benvama putih serta ekor
berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala.
Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi
darah dengan mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan
reproduksinya (Nafiu 1996). Berikut ini disajikan hewan mencit pada Gambar 2.

Gambar 2 Mencit (Mus musculus albinus). Surnber: Anonimus (2007).

Mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, antara lain
siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifatsifatnya tinggi dan mudah ditangani (Moriwaki et al. 1994). Data biologis mencit
laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Data Biologis Mencit (Mus musczclus)

Lama produksi ekonomis
Lama bunting
Umur disapih
Umur dewasa kelamin
Umur dikawinkan
Siklus estrus
Lama estrus
Berat dewasa
Berat lahir
Jumlah anak
Suhu rektal
Pemapasan
Denyutjantnng
Puting susu
Kecepatan tumbuh
Imunitas pasif

9 bulan
19-21 hari
21 hari
35 hari
8 minggu
4-5 hari
12-14jam
Jantan :20-40 gram
Betina : 18-35 gram
0,5-1,O gram
Rata-rata 6, bisa sampai 15
35-39°C (rata-rata 37,4OC)
140-180/menit, turun menjadi 80
dengan anastesi, naik sampai 230
bila stress
600-650/menit, turun menjadi 350
dengan anastesi, naik srunpai 750
bila stress
10 puting, 3 pasang di daerah
dada, 2 pasang di daerah perut
1 grarnrhari
Terutama melalui usus hingga
umur 17 hari, juga melalui
kantung kuning tel&

(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988)

Organ Limforetikular
Organisme terlindung dari penyusupan pengamh luar (eksogen) serta
pengamh dalam (endogen) yang merugikan dan berbentuk makromolekul oleh
sistem kekebalan. Sistem ini mencakup semua organ limfatik seperti t h u s , tonsil,
limpa, kelenjar getah bening dan hemal node, juga jaringan limfoid yang
menyebar dan folikel getah bening dalam stroma pada berbagai organ tubuh.
Limfosit yang bersirkulasi, dan limfosit jaringan serta sel plasma yang tersebar

luas dalam tubuh organisme juga berperan dalam sistem perlindungan tubuh
(Delmann 1989).

Walaupun antigen terjerat da.11 diproses oleh makrofag dari sistem fagositik
mononuklear, tetapi penyusunan tanggap kebal adalah fimgsi limfosit. L i f o s i t ini
adalah sel yang relatif polos bulat kecil yang merupakan tipe sel yang paling
banyak terdapat di dalam organ seperti limpa, simpul limfe, dan timus. Fungsi
utama limfosit adalah produksi antibodi atau sebagai efektor khusus dalam
menanggapi antigen terikat makrofag. Proses tanggap kebal ini terjadi di dalam
organ limfoid (Tizard 2004).
Selanjutnya akan dijabarkan beberapa dari organ sistem limforetikular
yaitu timus sebagai organ limfoid primer dan limpa dan limfonodus sebagai organ
limfoid sekunder.
a. Timus

Timus pada hewan piara terdapat sepasang, terletak di daerah mediastinum
rongga dada. Pada hewan yang baru lahir timus relatif besar dan menjelang
dewasa kelamin secara berangsur-angsur mengecil (mengalami involusi) dan
digantikan oleh jaringan lemak (Hartono 1989). Tetapi sisa timus yang terdapat
pada ruang toraks tetap tinggal pada beberapa hewan sampai tua. Disamping
involusi yang berhubungan dengan umur ini, timus juga mengalami atrofi cepat
sebagai reaksi terhadap stress, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit
yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard 2004).
Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar
(Tizard 2004), dan tiap lobus t h u s dikelilingi oleh jaringan ikat bempa kapsula
yang berhubungan dengan septa tipis yang membaginya secara tidak sempurna
menjadi lobulus. Tiap lobulus timus terbagi atas korteks dan inedula. Lazimnya
medula tiap lobulus berhubungan satu dengan lainnya, ini khas untuk timus
(Hartono 1989).
Korteks. Korteks t h u s paling utama terdiri dari sel retikulum epitel dan

limfosit. Sel epitel stellata memiliki inti lonjong, besar dan pucat dengan
penjuluran bercabang panjang yang mengandung banyak filament mikro, dan
saling berhubungan kuat melalui desmosom. Organel tidak jelas. Sel-sel epitel
membentuk balutan bersinambung pada tepi lobulus dan sekitar mang
perivaskular (Delmann 1989).

Limfoblast dan lilnfosit medium menguasai jalinan retikulum epitel tepi,
keduanya mengalami mitosis dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi limfosit
kecil yang menduduki bagian dalam korteks. Makrofag yang mengandung
pecahan limfosit yang difagositosis terdapat di sekitar medula. Karena korteks
mengandung lebih banyak limfosit daripada medula, korteks selalu mengambil
warna lebih gelap daripada medula (Gambar 3).
Medula. Beberapa sel retikulum epitel dalam medula memiliki struktur

yang sama dengan korteks meskipun yang lain jauh lebii besar dan keadaan epitel
lebih jelas. Medula lebih banyak mengandung mitoko~ldria,rER yang lebih
ekstensif, dan apparatus golgi, juga butir-butirnya memberikan aktivitas sekresi.
Sel-sel epitel medula khas membentuk benda-benda timus atau benda Nissl, terdiri
dari satu atau beberapa sel yang mengalami degenerasi atau berkapur, dikeliiingi
oleh sel-sel pipih bertanduk dengan susunan konsentris yang mengandung banyak
desmosom dan berkas filament mikro. Sel-sel jalinan retikuler adalah limfosit
kecil dangan sedikit makrofag (Delmann 1989).

Gambar 3 Timus, K: Korteks, M: Medula. Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Fungsi timus belum banyak diketahui secara pasti. Beberapa dugarul
diantaranya menghasilkan timosit atau liiosit. Timus sendiri tidak menghasilkan
antibodi, karena korteks bersifat impermeabel terhadap antigen. Antibodi
dihasilkan oleh sel plasma yang berkembang dari limfosit B, proses ini
berlangsung berkat kolaborasi dengan limfosit T (Hartono 1989).
Fungsi timus belum diketahui karena tidak adanya akibat yang segera
nyata bila timus pada hewan dewasa dibuang. Tetapi, bila timus pada rodensia

yang baru lahir dibuang, maka terjadi beberapa akibat penting. Pembuangan timus
(timektorni) yang dilakukan pada mencit benunur sehari menyebabkan hewan ini
sangat lebih peka terhadap infeksi. Pemeriksaan yang lebih seksama
memperlihatkan bahwa terdapat p e n m a n jurnlah linlfosit yang beredar dalam
peredaran darah dan sangat berkurangnya kemarnpuan hewan untuk menimbulkan
beberapa jenis tanggap kebal. Khususnya, kemampuan untuk menolak cangkok
jaringan asing sangat berkompromi yang menggambarkan hilangnya sama sekali
tanggap kebal berperantara sel. Tanggap kebal yang diperantarai antibodi juga
tertekan, tapi hanya terbatas (Tizard 2004).
Kelainan pada t h u s yang mengakibatkan imunodefisiensi bisa disebabkan
oleh agen infeksius, toksin, neoplasma, dan malnutrisi (Searcy 1995). Beberapa
kelainan yang dapat terjadi pada timus antara lain hipoplasia, atropi, hiperplasia,
dan neoplasma (Jones et al. 2006).

b. Limpa
Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ dan paling besar
dalam tubuh hewan (Hartono 1989). Menurut Tizard (2004), limpa berfungsi
menyaring darah. Disamping itu, limpa menyimpan eritrosit dan trombosit dan
melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian:
satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk
eritropoiesis, yang disebut pulpa merah dan bagian yang lain yang di dalamnya
terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih (Gambar 4)

Gambar 4 Limpa, W: Pulpa Putih, R: Pulpa Merah. Sumber: Delmann dan
Eurell(2006).
10

Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa benvama merah, dan
mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah
terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous
atau venula, dan bingkai limpa (Delmann 1989).
Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di
seluruh limpa sebagai nodullus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial.
Pada kedua lokasi, serabut retikuler dan sel retikuler membentuk jalinan stroma
dalam tiga dimensi mengandung pecahan limfosit, makrofag, dan sel-sel aksesori
lain mirip dengan yang terlihat pada kelenjar getah bening. Sel-sel utama dalam
nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T menempati daerah yang langsung
mengitari arteria nodularis (Delmann 1989).
Daerah marginal. Pada perrnukaan pulpa putih, retikulum membentuk
beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah
daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit
khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak
dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma
darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal
untuk penampilan antigen @elmanu 1989).
Ada beberapa teori yang perlu diperhatikan mengenai hubungan antara
arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan
mengalir dari terminal arterial ke luar dalam pulpa merah, dari sini akan
menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah
dari arteriola terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan
eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup, ha1 ini
memungkinkan terjadiiya proses pengalii, pengisian, penyimpanan, dan
pengosongan dari sinus venous, pada proses penyimpanan sinus membesar,
makrofag mempergunakan kesempatan untuk mengangkut pecahan eritrosit.
Teori terakhir adalah teori kombinasi yang merupakan gabungan antara
teoii terbuka dan tertutup yaitu bila limpa dalam keadaan kontraksi, sel retikulum
epitel merapat sehingga membentuk sinus venous yang menghubungkan arteriola
dan venula. Tapi bila limpa mengembang, susunan sel retikulum epitel agak
merenggang sehingga darah dapat keluar dalam jaringan (Hartono 1989).

Menurut Jones et al. (2006), perubahan yang sering terjadi pada limpa
berhubungan dengan ukurannya. Pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh
beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi,
penyakit metabolik, dan neoplasia. Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran
limpa dengan kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler
dari area sinus (Jubb et al. 1993).
c. Limfonodus (Kelenjar Getah Bening)

Kelenjar getah bening atau limfonodus adalah satu-satunya jaringan
limfoid yang terdapat di antara aliran limfe (Hartono 1989), menyaring limfe
sebelum kembali memasuki aliran darah. Organ ini paling terorganisasi dari
s e l d organ limfatik, dan hanya satu-satunya yang memiliki pembuluh limfe
aferen, pembuluh limfe eferen, dan sinus (Delmann 1989).
Bentuk kelenjar getah bening mirip kacang (Hartono 1989), organ ini
memiliki sedikit lekuk yang disebut hillus dimana pembuluh darah dan pembuluh
limfe masuk atau keluar kelenjar getah bening. Parenkim dibagi dalam korteks
yang terdiri dari folikel getah bening dan jaringan limfatik yang menyebar, dan
medula yang terdiri dari jaringan limfatik membentuk bingkai medula (medullary
cords). Foliiel getah bening menjamin suatu mekanisme yang unik diiana
limfosit mampu memberikan respon terhadap antigen yang berkembang dalam
limfe (Delmann 1989).

Gambar 5 Limfonodus, F: Folikel, K: Korteks, M: Medulla. Sumber: Delmann
dan Eurell (2006).

Fungsi kelenjar getab bening antara lain berpartisipasi dalam menghasilkan
limfosit, terbukti banyak terjadi mitosis dari liioblast, terutama di pusat
germinativum. Dengan label radioaktif temyata 95% dari limfosit yang
meninggalkan kelenjar getah bening adalah limfosit sirkulasi, artinya berasal dari
luar. Hanya 5% yang mungkin berasal dari kelenjar getah bening. Limfosit keluar
dari aliran darah melalui venula pasca kapilar (postcapillary venules) di daerah
subkortikal dari korteks, masuk aliran limfe.
Kelenjar getah bening merupakan penghasil utama antibodi. Banyak cara
antigen ditangani tubuh, dengan cara dikeluarkan atau ditangkap oleh makrofag
dan dihancurkan dengan enzim lisosom. Cara lain dengan ditangkap oleh
mikrofag untuk membangkitkan reaksi, agar limfosit berdiferensiasi menbentuk
sel plasma (Hartono 1989). Kejadian hiperplasia reaktif berhubungan erat dengan
limfadenitis. Limfadenitis akan tampak mengikuti proses inflamasi. Tanpa
inflamasi, hewan tidak akan dapat bertahan hidup dalam interaksi dengan
lingkungan yang bermikroba, benda asing, trauma, dan neoplasma (Jones et al.
2006). Menurut Slauson dan Cooper (1990), peradangan pada limfonodus yang
menghambat aliran l i i a t i k dapat menyebabkan edema. Lesio patologis pada
limfonodus bisa disebabkan oleh trauma, luka operasi, neoplasma, maupun
inflamasi.
Leukosit

Leukosit terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Semuanya ikut berpartisipasi dalam pertahanan tubuh, tetapi masing-masing
memiliki kerja kinetik dan fungsi yang berdiri sendiri (Duncan 1986). Menurut
Slauson dan Cooper (1990), ada tiga tipe dari sel darah putih yang mengambil
bagian dalam reaksi inflamasi yaitu leukosit polimorfonuklear atau granulosit
(neutrofil, eosinofil, basofil), monosit dan makrofag, serta limfosit dan plasma sel.
Limfosit. Menurut Frandson (1986), limfosit secara khas paling banyak

dan paling utama dari leukosit agranulosit. Limfosit memiliki ukuran dan
penampilan yang bervariasi serta meiniliki nukleus yang relatif besar yang
diielilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Gambar 6). Limfosit diproduksi
di surnsum tulang hati @ada fetus) dengan bentuk awal sama tetapi kemudian

berdiferensiasi. Ada beberapa kategori limfosit yaitu, limfosit kecil, limfosit
sedang, dan limfosit besar. L i f o s i t kecil dan sedang bersirkulasi dalam darah,
sedangkan limfosit besar ditemukan pada kelenjar getah bening (Jain 1993).

Gambar 6 Limfosit (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Monosit. Monosit adalah jenis yang k e d ~ ~dari
a leukosit aganulosit. Sel
ini memiliki sitoplasma yang lebih banyak dari limfosit dan memiliki inti

berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda (Gambar 7). Sel ini akan terstimulasi
jumlahya jika terjadi infeksi atau peradangan kronis, memiliki masa edar yang
singkat dalam sirkulasi darah kemudian masuk ke dalam jaringan dan bentbah jadi
makrofag (Guyton 1995). Monosit bersifat motil dan berpindah dengan gerakan
amuboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis untuk terjadinya respon fagosit
(Ganong 1999).

Gambar 7 Monosit (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Neutrofii. Neutrofil adalah leukosit yang diproduksi di sumsum tulang dan

tennasuk golongan polimorfonuklear, memiliki inti yang berlobulasi, bentuk
dewasa mempunyai 3 sampai 5 inti, kromatin-kromatin halus di sitoplasma
benvama merah muda sampai ungu (Gambar 8). Menurut Tizard (2004), neutrofil
merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat
mengakibatkan infeksi atau peradangan. Neutrofil juga dapat meningkat dalam
kondisi stress tetapi sulit dibedakan dengan respon inflamasi (Jackson 2007).

Gambar 8 Neutrofil @anah hijau).

Eosinofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki dua atau tiga
gelambir, jalinan kromatin pekat tanpa nukleolus, butir-butir spesifiknya besar dan
bersifat asidofil (Gambar 9). Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa. Pertama,
menyerang dan menghancurkan kutikula lama cacing. Kedua, dapat menetralkan
faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi
hipersensitifitas tipe 1 (Tizard 2004).

Gambar 9 EosinoN @anah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Basofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki inti bergelambir dua
dengan wana agak pucat, butir-butimya tidak uniform dan mengambil warna biru

tua sampai ungu, cukup pekat dan sering menutup wanla inti yang agak cerah
(Gambar 10). Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Basofil memiliki fungsi
yang sama dengan sel mast, yaitu membangkitkan proses peradangan akut pada
tempat deposisi antigen (Tizard 2004).

Gambar 10 Basofil (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Imunomodulator
Imunomodulator adalah bahan atau zat-zat yang dapat menyebabkan
alterasi spesifik maupun alterasi urnum dari respon imun. Hal ini bisa disebabkan
ole11 respek sistem imun terhadap antigen spesifik maupun antigen umum. Selain
itu dapat pula diinduksi oleh radiasi ionisasi, antimetabolisme spesifik, berbagai
jenis agen antimitotik, dan serum antiliinfosit (Singleton d m Sainsbury 2001).
Berdasarkan efek yang ditimbulkannya, imunomodulator terbagi menjadi
imunostimulan dan imunosupresan. Imunostimulan adalah bahan (obat dan
nutrisi) yang dapat meningkatkan sistem imun dengan menginduksi atau
meningkatkan aktifitas dari komponen-komponennya. Salah satu contoh dari obat
imunostimulan adalah leukine dan leyamisole.
Imunostimulan dikategorikan dalam dua bagian yaitu imunostimulan
spesifik dan imunostimulan tak spesifik. Imunostimulan spesifik adalah suatu
bahan yang bersifat antigenik spesifik dalam memberikan respon imun, seperti
vaksin dan beberapa antigen. Sedangkan imunostimulan non spesifik adalah zat
yang beraksi tidak hanya pada satu antigenik spesifik untuk menambah respon

imun dari antigen lain atau dapat meningkatkan komponen dari sistem imun tanpa
sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant. Dalam imunologi, adjuvant adalah agen
yang dapat menstimulasi sistem imun dan meningkatkan respon terhadap vaksin
tanpa memiliki efek antigenik spesifik. Cara kerja adjuvant belum diketahui secara
pasti (Anonimus 2008~).
Menurut Tizard (2004), tidak semua antigen bisa membangkitkan respon
imun. Agar dapat bersifat antigenik, molekul hams besar, walaupun molekul kecil
dapat berlaku sebagai antigen, molekul besar akan jauh lebih antigenik. Misalnya
albumin serum dengan berat molekul lebii dari 6000 Dalton akan lebih antigenik
dibandingkan dengan angiotensin yang memiliki berat molekul 1031 Dalton.
Antigen juga harus memiliki kompleksitas susunan kimiawi yang tinggi,
makromolekul dengan struktur yang kompleks seperti protein merupakan antigen
yang jauh lebih baik daripada polihner besar sederhana dengan sub unit bendang
yang identik. Selain itu antigen juga harus memiliki sifat dasar bahan asing
sehingga dapat dikenal sebagai bukan unsur tubuh yang normal, memiliki
kelarutan yang tinggi dalam tubuh, serta dapat didegradasi oleh makrofag dan
mikrofag.
Sistem imun terdiri dari dua bagian besar, yaitu sistem imun non spesifik
dan sistem imun spesifk. Sistem imun non spesifik merupakan garis pertahanan
pertama melawan invasi organisme asing, sedangkan sistem imun spesifik
merupakan garis pertahanan kedua dan juga dapat memberikan perlindungan
dalam melawan invasi ulang dari patogen yang sama. Masing-masing dari sistem
imun ini terdii dari komponen seluler dan humoral yang memiliki fungsi
pertahanan (Mayer 2008).
Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk bereaksi melawan invasi
organisme dimana sistem imun non spesifik terlibat di dalam proses tersebut,
sistein imun yang non spesifik selalu ada dan siap bermobilisasi ke tempat
terjadinya infeksi. Sistem imun spesifik bersifat antigen spesifik dan hanya
bereaksi dengan organisme yang menginduksi respon. Sebaliknya, sistem imun
non spesifik tidak bersifat antigen spesifik dan bereaksi sama baiknya pada
berbagai jenis organisme (Mayer 2008).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap kegiatan, yaitu persiapan
hewan penelitian dan pembuatan histopatologi organ dengan pewarnaan
Haematoxylin Eosin

(HE) serta pembuatan preparat ulas darah sampai

pengamatan hasil. Kegiatan tahap pertama dilaksanakan di Laboratorium Lapang
(kandang C) bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Petemakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor mulai Desember 2007 sanlpai dengan Maret 2008. Kegiatan tahap kedua
dilaksanakan di bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor mulai Maret sampai dengan
Juli 2008.
Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan adalah 9 ekor mencit (Mus musculus)
putih. Penelitian ini menggunakan organ sistem imun yaitu limpa, timus, dan
limfonodus serta darah dari mencit (Mus musculus) betina 7 hari post partus.
Sampel diambil dari tiga ekor mencit dari masing-masing perlakuan, yaitu kontrol,
perlakuan dengan pemberian sop Torbangun 5% dan pemberian dam Torbangun
kering 5% pada betina bunting.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan selama masa pra-pemeliharaan atau
persiapan kandang yaitu deterjen dan alkohol 70% yang dipergunakan sebagai
desinfeksi, serta sekam padi untuk alas kandang. Pada masa adaptasi diberikan
obat cacing pyrantel palmoat 500 mg dosis 0,01 cclekor dan antibiotik
Amoxycillin@ dosis 0,01 cclekor. Air minum yang akan digunakan selama tahap
pemeliharaan adalah air mineral komersial, sedangkan ransum yang dipergunakan
adalah campuran ransum ayam komersial dengan daun Torbangun dalam bentuk
sop dan dam kering yang dibentuk menjadi pellet.

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sayur sop daun
Torbangun dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Sop Daun
Torbangun
Jumlali
No.
Bahan
1. Daun Torbangun segar
250 gr
575 ml
2. Santan
3. Bawaig putih
2,4 gr
4. Bawangmerah
9,94 gr
5. Kemiri
9 2 gr
6. Kunyit
1,79 gr
7. Jahe
L98 gr
8. Laos
1,89 gr
1 tangkai
9. Sereh
10. Merica
043 gr
11. Garam
Secukupnya
12. Airjeruk nipis
2 sendok makan
Total berat formula
875 m

*

Selanjutnya bahan

yang

digunakan

untuk

pembuatan

preparat

histopatologis dan preparat ulas darah masing-masing adalah Buffer Ne~~tral
Formalin (BNF) lo%, alkohol konsentrasi bertingkat (70-loo%), xylol (I dan II),
pardm histoplast, larutan pewarna HE (Hematoxylin Eosin), dan Giemsa.
Afat Penelitian
Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus)
adalah kandang berupa baki plastik berukuran (36 x 28 x 12) cm dengan kawat
penutup, timbangan digital, botol air minum, tempat pakan, sarung tangan,
masker, sikat baki, sikat botol, kain lap, spoit, alat pengukur suhu dan
kelembapan. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan pakan adalab mixer,
drum dyer, mesin pres kaleng, mesin pembuatpellet dan oven.
Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah skalpel,
gunting, pinset, syring, gelas objek dan tempat penyimpanan jaringan. Untuk
pengamatan sediaan histopatologi digunakan alat mikrofotografi dan komputer.

Prosedur Kerja
a. Pembuatan Sop Daun Torbangun
Pembuatan sayur sop dam Torbangun dilakukan dalam dua proses, yaitu
proses pemasakan daun Torbangun menjadi sop, dan proses pengemasan sop daun
Torbangun ke dalam kemasan kaleng dan disimpan selama dua minggu. Resep
pembuatan s a p sop daun Torbangun diperoleh berdasarkan hasil diskusi dengan
seorang wanita suku Batak yang mengerti proses pembuatan sayur sop tersebut.
Proses pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut:
1. Daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian

ditimbang.
2. Bumbu-bumbu dibersihkan atau dikupas kemudian ditimbang dan dicuci.

3. Kemiri dan kmyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu sebelum
diialuskan.
4. Daun diremas-remas dengan menggunakan garam dan diperas untuk

mengurangi bau langu dan cairan hitarn dari dam. Setelah itu, dicuci
bersih dan ditiriskan.

5. Bumbu-bumbu dihaluskan. Setelah itu, santan dimasak bersama bumbu,
sereh yang telah ditumbuk, dan Butil Hidroksi Toluen (BHT) sebanyak 5
mg per kilogram daun Torbangun pada suhu 75OC . Lalu daun Torbangun
dimasukkan dan dimasak hingga matang.

6. Selanjutnya dikemas dalam kemasan kaleng kedap udara dan disimpan
dalam suhu mang selama dua minggu.
7. Setelah disimpan selama 14 hari, sop diblender agar menjadi halus,

kemudian dikeringkan hingga menjadi tepung menggunakan drum dryer
yang selanjutnya dibuat menjadi pellet.
b. Pembuatan Daun Torbangun Kering
Daun yang telah dipisahkan dari tangkainya dijemur di dalam ruangan atau
ditempat terbuka yang tidak terkena sinar matahari langsung. Setelah dijemur
hingga kering, daun kembali dikeringkan dengan oven kemudian digiling hingga
halus dan selanjutnya diproses menjadi bentukpellet.

c. Pembuatan Pakan
Pakan perlakuan terdiri dari pakan ayam komersial dan dam Torbangun
dengan taraf sebagai berikut:
K : Pakan (kontrol)
S : Pakan (95%) + sop daun Torbangun (5%)
D : Pakan (95%) + daun Torbangun kering (5%)
d. Pemeliharaan Mencit

Kandang dan semua peralatan yang akan digunakan dicuci bersih dengan
menggunakan deterjen, disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian
alas kandang dilapisi dengan sekam padi. Sebelum diberi perlakuan, selama satu
minggu mencit diadaptasikan dalam kandang percobaan. Pemberian obat cacing
dilakukan pada hari pertama dan antibiotik pada hari kedua sampai hari keempat.
Pemberian ini dimaksudkan agar mencit bebas dari penyakit bakterial maupun
cacing yang ada dalam tubuh yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mencit
sebelum diberi perlakuan. Pemberian dilakukan pada hari pertama agar akibat dari
stress yang ditimbulkan dari pemindahan tempat, interaksi dengan lingkungan dan
teman baru serta akibat dari obat yang diberikan dapat ditekan seminimal mtmgkin
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi lebii singkat. Kemudian
masing-masing satu ekor mencit jantan dan tiga ekor betina disatukan dalam satu
kandang.
Selanjutnya pemisahan antara mencit jantan dengan mencit betina
dilakukan setelah mencit betina bunting. Pemberian ransum perlakuan dimulai
pada hari ke-14 setelah bunting dimana sebelum diberikan perlakuan mencit
mengkonsumsi pakan ayam komersial atau tanpa penambahan daun Torbangun.
Perlakuan diiulai pada hari ke-14 setelah bunting karena merupakan waktu yang
paling tepat dan memberikan efek positif tertinggi terhadap daya reproduksi
mencit (Wardani 2007).
Makanan diberikan ad libitum (selalu tersedia), setiap bari pada pukul
08.00 WIB dan setiap empat hari sekali sekam diganti dengan yang baru. Sehari
sebelum penggantian sekam, sekam dijemur di bawah terik matahari dari pagi hari
sampai sore hari. Air minum juga diberikan ad libitum melalui botol yang diberi

pipa aluminium (supaya tidak dimakan oleh mencit), dan mencit menghisap air
melalui pipa tersebut.
e. Pembuatan Prep