Pengaruh bahan rempah sebagai repelen terhadap mencit rumah (Mus musculus L. Rodentia: Muridae) dalam mengkonsumsi umpan dan redentisida

PENGARUH BAHAN REMPAH SEBAGAI REPELEN
TERHADAP MENCIT RUMAH (Mus musculus L. Rodentia:
Muridae) DALAM MENGKONSUMSI UMPAN DAN
RODENTISIDA

HOTMA SINTA
A44102057

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

ABSTRAK

HOTMA SINTA. Pengaruh Bahan Rempah sebagai Repelen terhadap Mencit
Rumah (Mus musculus L. Rodentia: Muridae) dalam Mengkonsumsi Umpan dan
Rodentisida dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.
Tikus dan mencit merupakan salah satu hama penting yang selalu
menimbulkan kerusakan besar pada berbagai tanaman pertanian baik waktu di
lapangan maupun produknya di penyimpanan. Setidaknya ada 19 spesies tikus

dan mencit yang diduga sebagai hama penting pada beberapa negara di Asia
Tenggara dan di pulau-pulau Pasifik. Dari 19 spesies ini Mus musculus mencapai
17,4% sebagai hama di pertanian dan permukiman penduduk. Mencit dapat
menyebabkan kerusakan pada tanaman secara langsung dengan mengerat dan
memakannya. Pengendalian mencit sebenarnya telah dilakukan antara lain
pengendalian secara fisik, mekanis, biologi, sanitasi lingkungan, dan fumigasi
asap beracun, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum efektif sehingga belum
diperoleh hasil yang memuaskan. Pengendalian dengan menggunakan umpan
beracun terutama dari jenis rodentisida antikoagulan lebih disukai karena lebih
praktis, mudah diaplikasikan, dan lebih cepat berhasil. Dalam beberapa hal,
penggunaan rodentisida sintetik memiliki beberapa kekurangan. Repelen dapat
digunakan untuk mengusir hama hanya pada wilayah tertentu dan waktu yang
terbatas kecuali pada kondisi yang mendukung keberadaan hewan pengerat
tersebut dimusnahkan. Penggunaan repelen alami dilakukan dalam penelitian ini
untuk mengusir mencit dengan memanfaatkan indera penciuman.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat repelensi dari bahan
tanaman yang bersifat pedas, palatabilitas umpan, rodentisida racun kronis dan
akut dengan pengaruh dari bahan repelen terhadap mencit rumah Mus musculus.
Pengujian terdiri dari tiga uji dengan menggunakan repelen, umpan dan
rodentisida. Pakan dan repelen serta umpan diletakkan pada kedua sisi arena.

Repelen yang digunakan yaitu cabai rawit, bawang putih, dan merica dengan tiga
jenis kombinasi campuran bahan. Rodentisida yang digunakan yaitu rodentisida
kronis dan akut yaitu brodifakum dan seng fosfida. Pada uji palatabilitas
digunakan repelen yang memiliki tingkat repelensi terbesar. Peubah yang diamati
yaitu konsumsi umpan dan rodentisida yang dihitung pada awal dan akhir
pemberian dan dilakukan selama lima hari berturut-turut untuk tiap perlakuan.
Berdasarkan hasil penelitian pengujian repelensi didapat bahwa konsumsi
pakan paling banyak pada repelen cabai sedangkan yang paling sedikit pada
repelen bawang putih. Tingkat repelensi tertinggi terdapat pada perlakuan bawang
putih dan terendah adalah cabai. Pengujian umpan dengan penggunaan jagung,
mencit tetap menyukai gabah sebagai pakan utama meskipun telah diberikan
repelen sedangkan konsumsi terhadap jagung sangat sedikit. Pengujian
menggunakan rodentisida menunjukkan hasil yang sangat tinggi dilihat dari
tingkat atraktansinya terhadap gabah. Konsumsi mencit terhadap umpan beracun
lebih kecil dibandingkan umpan tanpa racun. Namun konsumsi rodentisida yang
sedikit tetap efektif dalam mengendalikan mencit.

PENGARUH BAHAN REMPAH SEBAGAI REPELEN
TERHADAP MENCIT RUMAH (Mus musculus L. Rodentia:
Muridae) DALAM MENGKONSUMSI UMPAN DAN

RODENTISIDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hotma Sinta
A44102057

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

Judul Penelitian

: PENGARUH BAHAN REMPAH SEBAGAI REPELEN
TERHADAP MENCIT RUMAH (Mus musculus L.
Rodentia: Muridae) DALAM MENGKONSUMSI
UMPAN DAN RODENTISIDA


Nama Mahasiswa : Hotma Sinta
NRP

: A44102057

Program Studi

: Hama dan Penyakit Tumbuhan

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi
NIP. 131 664 407

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr

NIP. 130 422 698

Tanggal lulus: ……………………

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 28 November 1983 sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara, anak dari pasangan bapak S. Simorangkir Bc.Hk
dan ibu Riste Eryde.
Pada tahun 1999, penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum di
SMUN 4 Bogor dan menyelesaikan sekolah pada tahun 2002. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman pada
tahun 2002 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, salah satunya
sebagai anggota Persatuan Mahasiswa Kristen (PMK) pada tahun 2002-2003.

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan karunia-Nya skripsi berjudul Pengaruh Bahan Rempah sebagai Repelen

terhadap Mencit Rumah (Mus musculus L. Rodentia: Muridae) dalam
Mengkonsumsi Umpan dan Rodentisida telah selesai disusun. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
• Papa, Mama, Kakak-kakakku yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan
semangat.
• Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi. selaku dosen pembimbing penelitian yang
telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan, serta meluangkan
waktunya untuk penelitian dan penulisan skripsi ini.
• Ir. Titiek Siti Yuliani, SU selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
untuk perbaikan skripsi ini.
• Dr. Ir. Widodo, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran selama kuliah hingga semester 7.
• Staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman atas ilmu yang telah diberikan
selama ini. Bapak Ahmad Soban, Pak Karto, Pak Dede, Mas Kiki, atas semua
bantuannya.
• Teman-teman saya Ela, Nisa, Apri, Marny, Maya, yang selalu memberikan
semangat dan membantu dalam penelitian.
• Teman-teman seperjuangan HPT 39 Maria, Nieke, Dewi, atas pertemanannya

sejak TPB yang memberikan saran dan masukan.
• Serta semua pihak yang telah membantu dan tak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih ada
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan
kegiatan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2006

Hotma Sinta

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................


viii

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

ix

PENDAHULUAN .......................................................................................

1

Latar Belakang ...................................................................................

1

Tujuan .................................................................................................

3

Manfaat ...............................................................................................


3

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................

4

Morfologi dan Penyebaran Mencit Rumah (Mus musculus)...............

4

Biologi dan Ekologi Mencit (Mus musculus)......................................

4

Pengendalian Mencit ...........................................................................

6

Rodentisida Kronis ..............................................................................


8

Rodentisida Akut .................................................................................

8

BAHAN DAN METODE ..........................................................................

10

Tempat dan Waktu ............................................................................

10

Bahan dan alat ....................................................................................

10

Metode.................................................................................................
Arena Pengujian .......................................................................

Hewan Percobaan.......................................................................
Pakan Pengujian .......................................................................
Uji Repelensi ............................................................................
Uji Palatabilitas Umpan ..........................................................
Uji Palatabilitas Rodentisida ......................................................
Penghitungan Tingkat Repelensi dan Atraktansi .....................
Rancangan Percobaan ................................................................

10
10
10
11
12
12
13
13
14

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................

15

Uji Repelensi .......................................................................................

15

Uji Palatabilitas Umpan dan Rodentisida............................................

19

Bobot Tubuh Mencit ...........................................................................

21

Pengamatan Gejala Keracunan............................................................

24

KESIMPULAN ...........................................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

26

LAMPIRAN ................................................................................................

28

DAFTAR TABEL

Halaman
No.
1. Tabel 1 Konsumsi Gabah oleh M. musculus pada Perlakuan Repelen
dan Kontrol serta Tingkat Repelensi dari Tiga Jenis Bahan
Bersifat Pedas ........................................................................

15

2. Tabel 2 Konsumsi Pakan M. musculus pada Perlakuan Kontrol dan
Repelen .................................................................................

17

3. Tabel 3 Konsumsi Mencit terhadap Gabah tanpa dan dengan
Repelen dibandingkan dengan Jagung, Rodentisida Kronis
dan Akut, serta Tingkat Atraktansinya ..................................

19

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman

1. Gambar 1 Arena Perlakuan pada Mencit .....................................

11

2. Gambar 2 Perubahan Bobot Tubuh M. musculus Betina dan
Jantan dari Awal hingga Akhir Perlakuan ...................

21

3. Gambar 3 Rerata Bobot Tubuh M. musculus tiap Perlakuan .......

22

DAFTAR LAMPIRAN

No.
1. Lampiran 1

Halaman
Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
cabai rawit merah .....................................................

2. Lampiran 2

29

Sidik raga m konsumsi pakan M. musculus perlakuan
bawang putih ............................................................

29

3. Lampiran 3 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
bawang putih + merica ............................................

29

4. Lampiran 4 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
cabai + merica .........................................................

29

5. Lampiran 5 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
cabai + bawang putih ...............................................

29

6. Lampiran 6 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
cabai + merica + bawang putih ...............................

30

7. Lampiran 7 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan

8. Lampiran 8

merica ......................................................................

30

Sidik ragam tingkat repelensi bahan rempah .........

30

9. Lampiran 9 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus pada
kontrol dan repelen ..................................................
10. Lampiran 10

Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
gabah-jagung ...........................................................

11. Lampiran 11

30

30

Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
gabah repelen-jagung ..............................................

31

12. Lampiran 12 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan
gabah brodifakum ....................................................

31

13. Lampiran 13 Sidik ragam konsumsi pakan M. musculus perlakuan

14. Lampiran 14

gabah seng fosfida ..................................................

31

Sidik ragam tingkat atraktansi gabah ......................

31

15. Lampiran 15 Gambar (a) Arena pengujian (b) Mencit pada saat
penimbangan (c) Rodentisida akut (d) Rodentisida
kronis .......................................................................

32

PENDAHULUAN

Latar belakang
Tikus dan mencit merupakan salah satu hama penting yang selalu
menimbulkan kerusakan besar pada berbagai tanaman pertanian baik waktu di
lapangan maupun produknya di penyimpanan. Tanaman yang sering mendapat
serangan tikus antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,
kelapa dan kelapa sawit (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 1981).
Setidaknya ada 19 spesies tikus dan mencit yang diduga sebagai hama penting
pada beberapa negara di Asia Tenggara dan di pulau-pulau Pasifik (Hoque,
Sarchez, dan Benigno 1988).
Dari 19 spesies ini Mus musculus mencapai 17,4% perannya sebagai hama
dan terdapat di beberapa lokasi yaitu: Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura,
Micronesia, Mariana, Palau, Caroline, dan Fiji, termasuk Indonesia. Salah satu
sub spesies penting dari mencit yang menyerang tanaman pertanian di Indonesia
adalah Mus musculus castaneus yang merupakan hama yang membatasi produksi
di lapang dan penyimpanan (Hoque, Sarchez, dan Benigno 1988).
Mencit memiliki kelebihan sebagai penyebab kerusakan pada tanaman jika
dibanding hama lain dari jenis serangga. Mencit dapat menyebabkan kerusakan
dan penurunan hasil yang cukup besar pada pertanaman dengan menyerang semua
fase pertumbuhan baik pada fase vegetatif maupun generatif (Wood 1996).
Mencit dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman secara langsung
dengan mengerat dan memakannya. Mencit juga dapat menyebabkan kerusakan
secara tidak langsung dengan cara mengkontaminasi bahan makanan dan bahan
simpanan, serta menimbun makanan selama masa bercocok tanam dan masa
setelah panen (Rao 2002).
Selain sebagai hama tanaman pertanian, mencit dapat berperan sebagai
hewan penular penyakit. Salah satu penyakit yang ditularkan ke manusia,
terutama oleh mencit rumah Mus musculus, adalah penyakit Lymphocytic
choriomeningitis yang disebabkan oleh virus (LCM virus) (Priyambodo 2003).
Penyebaran virus tersebut dapat ditularkan melalui urine, feses, dan hasil sekresi
mencit yang mengkontaminasi makanan dan air (Gratz 1988). Selain menjadi

penular penyakit mencit juga menyebabkan kerusakan dan menyerang di daerah
permukiman. Mencit tersebut merusak berbagai perabotan rumah tangga,
peralatan elektronik misalnya lemari es, peralatan memasak, dan sebagainya
(Redhead 1988).
Mencit sebagaimana halnya tikus, merupakan spesies hewan yang paling
berhasil dalam hal bertahan hidup karena kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan dengan mengeksploitasi berbagai situasi habitat (Timm dan
Salmon 1988). Selain itu, mencit merupakan hewan yang paling banyak
digunakan sebagai hewan percobaan, dilihat dari tingkat reproduksi yang tinggi
dan pengelolaan yang mudah, dibanding hewan-hewan percobaan lainnya (Inglish
1980).
Beberapa teknik pengendalian mencit sebenarnya telah dilakukan antara
lain pengendalian secara fisik, mekanis, biologi, sanitasi lingkungan, dan fumigasi
asap beracun, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum efektif sehingga belum
diperoleh hasil yang memuaskan (Smith 1996). Sedangkan pengendalian dengan
menggunakan umpan beracun terutama dari jenis rodentisida antikoagulan dapat
menimbulkan resistensi mencit terhadap racun (Meehan 1984). Walaupun
demikian, pelaku pertanian lebih menyukai pengendalian dengan cara tersebut
karena lebih praktis, mudah diaplikasikan, dan lebih cepat berhasil dibandingkan
dengan cara pengendalian lainnya.
Dalam beberapa hal, penggunaan rodentisida sintetik memiliki beberapa
kekurangan, diantaranya adalah memiliki spektrum luas sehingga dapat
membunuh hewan yang bukan sasaran dan dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan. Repelen dapat digunakan untuk mengusir hama ha nya pada wilayah
tertentu dan waktu yang terbatas kecuali pada kondisi yang mendukung
keberadaan hewan pengerat tersebut dimusnahkan. Repelen dapat dibagi menjadi
dua jenis pengendalian yaitu nonkimia dan kimia. Repelen nonkimia adalah
penggunaan alat ultrasonik, alat elektromagnetik dan pembuat suara ribut. Alatalat ini mampu mengusir mencit dengan menciptakan gangguan terhadap perilaku
mencit. Repelen kimia dapat mengusir mencit dengan lebih memanfaatkan indera
penciuman daripada indera lain yang dimiliki (Smith 1996). Penggunaan repelen

alami

dilakukan

dalam

penelitian

ini

untuk

mengusir

mencit

dengan

memanfaatkan indera penciuman.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat repelensi dari bahan
tanaman yang bersifat pedas, palatabilitas umpan, rodentisida racun kronis dan
akut dengan pengaruh dari bahan repelen terhadap mencit rumah Mus musculus.

Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui jenis repelen dari bahan tanaman yang bersifat pedas
dikombinasikan dengan rodentisida kronis dan akut, dapat dijadikan bahan untuk
mengendalikan mencit rumah (Mus musculus) bagi pengelola permukiman dalam
mengelola populasi mencit.

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Penyebaran Mencit Rumah (Mus musculus)
Ordo Rodentia merupakan ordo dari kelas Mamalia yang terbesar karena
memiliki jumlah spesies yang terbanyak yaitu 2.000 spesies (40%) dari 5.000
spesies untuk seluruh kelas mamalia. Di Indonesia hanya terdapat 8 spesies yang
paling berperan sebagai hama tanaman pertanian dan vektor patogen manusia.
Kedelapan spesies tersebut adalah Bandicota indica (tikus wirok), Rattus
norvegicus (tikus riul), Rattus rattus diardii (tikus rumah), Rattus tiomanicus
(tikus pohon), Rattus argentiventer (tikus sawah), Rattus exulans (tikus ladang),
Mus musculus (mencit rumah), dan Mus caroli (mencit ladang) (Priyambodo
2003).
Habitat dari mencit rumah biasanya di permukiman manusia, rumah, dan
gudang. Mencit rumah memiliki penyebaran hingga ke seluruh dunia sehingga
disebut hewan kosmopolit. Mencit rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan
dengan ekor panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar. Salah
satu ciri terpenting dari tikus/mencit adalah kemampuannya untuk mengerat
benda-benda yang keras. Hal ini untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri tikus
yang terus menerus karena tidak adanya penyempitan pada bagian pangkalnya
sehingga terdapat celah. Tikus/mencit tidak mempunyai gigi taring sehingga
diantara gigi seri dan geraham terdapat celah yang disebut diastema. Celah
tersebut berfungsi untuk membuang kotoran yang ikut terbawa masuk dengan
pakannya ke dalam mulut (Priyambodo 2003).

Biologi dan Ekologi Mencit (Mus musculus)
Mencit memiliki kesamaan morfologi dengan tikus hanya ukuran tubuh
mencit lebih kecil daripada tikus. Mencit termasuk ke dalam Filum Chordata, Sub
Filum Vertebrata, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Sub Famili
Murinae, Spesies Mus musculus (Priyambodo 2003). Menurut Inglish (1980)
mencit coklat adalah mencit liar yang merupakan nenek moyang mencit. Mencit
putih adalah mencit albino yang kehilangan pigmennya. Selanjutnya dilakukan
persilangan antara mencit putih dan coklat menghasilkan mencit hitam yang

mewakili sifat resesif. Sebagai hewan laboratorium (hewan percobaan) tikus atau
mencit banyak dipela jari biologinya untuk mendapatkan sifat-sifat yang sesuai
dengan tujuan percobaan.
Mencit laboratorium apabila diperlakukan dengan halus maka akan mudah
dikendalikan, sebaliknya jika diperlakukan kasar akan agresif dan menggigit.
Seekor mencit jantan, baik yang liar atau yang dipelihara di laboratorium, jika
disatukan dengan kelompok mencit yang sudah stabil hierarkinya, maka mereka
akan berkelahi untuk menentukan pemimpin kelompok tersebut. Selanjutnya
mencit betina yang sedang menyusui anak, baik yang dipelihara di laboratorium
maupun liar, akan mempertahankan sarangnya. Mencit yang dipelihara, baik
jantan ataupun, betina suka memakan anak mencit sehingga induk betina perlu
dipisahkan apabila baru melahirkan (Malole dan Pramono 1989).
Mencit dengan ukuran tubuh yang kecil dapat mengkonsumsi pakan 3-4
gram per hari berupa bahan kering atau kurang lebih 20% dari bobot tubuhnya
dan kebutuhan air minum 3 ml per hari. Mencit rumah relatif tahan haus
dibandingkan dengan jenis tikus lainnya dan hanya minum jika menemukan air
(Priyambodo 2003).
Mencit memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang aktivitas
hidupnya. Diantara kelima organ inderanya hanya indera penglihatan yang
berkembang kurang baik, dan merupakan hewan yang buta warna, sebagian besar
warna yang ditangkap oleh penglihatan adalah warna kelabu (Priyambodo 2003).
Mencit memiliki indera perasa yang berkembang baik. Mencit akan menyeleksi
atau mencicipi makanan terlebih dahulu, sebelum menghabiskannya, jika
dirasakan makanan tersebut tidak berbahaya (Timm dan Salmon 1988).
Dibandingkan dengan hewan yang biasa digunakan sebagai hewan
percobaan, mencit memiliki potensi reproduksi yang tinggi. Mencit dapat
menghasilkan keturunan dalam jumlah banyak yaitu 3-12 ekor/kelahiran dengan
masa bunting relatif singkat yaitu 21-23 hari (Priyambodo 2003). Bobot anak
mencit yang baru dilahirkan berkisar antara 0,5-1,5 gram, bobot mencit jantan
yang sudah dewasa adalah 20-40 gram, sedangkan mencit betina adalah 25-40
gram. Anak mencit disapih pada saat berumur 21-28 hari. Lama hidup mencit
adalah 1,5 tahun di lapangan dan 3 tahun di laboratorium (Malole dan Pramono

1989). Dewasa seksual cepat yaitu antara 2-3 bulan. Kelebihan lain mencit yaitu
memiliki sifat post partum oestrus yang artinya timbul birahi kembali segera (2448 jam) setelah melahirkan dan mencit dapat beranak sepanjang tahun
(Priyambodo 2003).
Mencit memiliki sifat mudah curiga terhadap setiap benda yang baru
ditemuinya termasuk terhadap pakannya (neofobia). Meskipun demikian sifat
neofobia pada mencit adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan hewan
pengerat lainnya (Priyambodo 2003). Selain itu mencit memiliki kemampuan
untuk mendeteksi racun atau umpan beracun setelah mengalami keracunan, dan
selanjutnya mereka menolak untuk memakan racun atau umpan beracun yang
sama. Sifat seperti ini disebut jera umpan (Prakash 1988).
Populasi mencit dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang dapat dibedakan
atas faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi populasi
mencit yaitu air minum dan sarang. Faktor biotik yang mempengaruhi mencit
adalah pakan, serta hewan kecil yang menjadi sumber protein bagi tikus. Predator
mencit yang utama adalah kucing, dan tikus-tikus besar (Priyambodo 2003).

Pengendalian Mencit
Dalam pengendalian mencit, ada beberapa metode atau cara yang dapat
dilakukan. Secara garis besar pengendalian mencit dapat dikelompokkan kedalam
lima kelompok yaitu pengendalian kultur teknis, sanitasi, fisik-mekanis, biologis
atau hayati, dan kimiawi (Priyambodo 2003).
Pengendalian kultur teknis pada prinsipnya membuat lingkungan yang
tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi perkembangan populasi mencit.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan
waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan penggunaan tanaman perangkap.
Secara umum pengendalian ini berlaku terhadap mencit di lapangan. Sanitasi
dapat dilakukan di rumah atau di gudang sehingga tidak ada tempat untuk mencit
bersembunyi atau bersarang di habitat tersebut. Pengendalian fisik dan mekanis
dilakukan agar dapat menyebabkan kematian langsung pada mencit atau dengan
mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi mencit.
Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan cara yaitu penggunaan suara

ultrasonik dengan frekuensi di atas 20 kHz, gelombang elektromagnetik,
perangkap, sinar ultraviolet, penghalang, dan berburu secara langsung.
Pengendalian hayati (biologi) dilakukan dengan menggunakan parasit,
predator, atau patogen, atau dengan cara penggunaan obat-obatan pengurang
kesuburan (antifertilitas) untuk mengurangi potensi perkembangbiakan populasi
mencit (Priyambodo 2003).
Menurut Meehan (1984) pengendalian kimiawi pada tikus terdiri atas
beberapa macam yaitu: pengumpanan beracun disebut juga dengan rodentisida
dengan dua jenis racun yaitu racun antikoagulan (kronis) dan racun non
antikoagulan (akut); fumigasi atau gas beracun; repellents atau bahan kimia yang
dapat mengusir tikus; chemosterilants (bahan kimia pemandul mencit).
Bahan kimia penolak (chemical repellent) yang biasa digunakan untuk
mengendalikan tikus/mencit misalnya serbuk gergaji, sulfur, kapur, asam karbol,
kerosen, minyak peppermint, n-butil merkaptan (bahan aktif dari bau hewan
skunk ), bakterisida, actidione, dan sodium fluosilicate. Tingkat repelensi dari
suatu bahan kimia penolak dapat diukur dari seberapa banyak pakan yang
mengandung bahan repelen masih dimakan oleh mencit. Repelen yang efektif
sebagaimana halnya dengan atraktan, harus bekerja sebagai sesuatu yang dirasa
oleh indera penciuman bukan oleh indera perasa (Priyambodo 2003).
Pengendalian mencit di permukiman umumnya menggunakan perangkap
dan racun tikus yang dapat dibeli bebas di pasaran. Perangkap mencit antara lain
live trap (perangkap hidup), break-back trap atau snap trap ( perangkap mati),
sticky-board trap (perangkap berperekat), gin trap, dan pitfall trap (perangkap
jatuhan). Dalam melakukan pemerangkapan perlu diperhatikan dimana mencit
tidak mau masuk ke perangkap yang disediakan, hal ini berhubungan dengan sifat
genetik (Priyambodo 2003).
Rodentisida Kronis
Rodentisida kronis atau antikoagulan merupakan racun yang bekerja
dengan lambat. Gejala keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu
yang cukup lama, yaitu 24 jam atau lebih (Meehan 1984).
Brodifakum merupakan racun antikoagulan generasi kedua yang paling
potensial untuk mengendalikan tikus dan mencit yang resisten terhadap racun lain.

Berdasarkan hasil penelitian di lapang maupun di laboratorium, brodifakum
konsentrasi 0,005% dapat menyebabkan kematian mencit 100%, baik ya ng rentan
maupun yang resisten terhadap warfarin setelah satu hari perlakuan (Buckle
1996).
Bahan aktif brodifakum terdapat dalam dua yaitu bentuk umpan blok segi
empat berwarna biru, juga terdapat dalam bentuk segi empat yang berwarna hijau
kebiruan, keduanya berisi butiran beras. Rodentisida dalam bentuk blok
merupakan formulasi khusus yang digunakan dalam kondisi lembab atau basah
(Lund 1988a).
Brodifakum bersifat relatif tidak mobil dalam tanah, relatif tidak
mengkontaminasi air tanah dan air permukaan, memiliki kelarutan yang rendah,
serta stabil untuk dihidrolisis pada pH 5,7 dan 9. Selain itu, brodifakum stabil
selama dua tahun pada suhu lingkungan dalam paket yang disegel dan mencair
pada suhu 228-2320 C (Wenda 2004).

Rodentisida Akut
Rodentisida akut merupakan racun yang bekerja dengan cepat dan dapat
menyebabkan kematian lebih cepat dibandingkan rodentisida kronis. Gejala
keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang relatif singkat,
yaitu kurang dari 24 jam bahkan hanya dalam beberapa jam saja (Meehan 1984).
Rodentisida berbentuk tepung berwarna kelabu kehitaman dengan nama
dagang Kovin merupakan racun non antikoagulan dengan bahan aktif seng
fosfida. Seng fosfida menghasilkan gas fosfin (PH3 ) yang dapat merusak jaringan
saluran pencernaan (Lund 1988b). Seng fosfida memiliki bau bawang putih yang
kuat dan beracun pada wilayah tikus dengan jangkauan yang luas. Dosis yang
dapat menyebabkan 50% kematian mencit (LD50 ) berkisar antara 32,3-53,3 mg/kg
(Buckle 1996).
Seng fosfida merupakan jenis racun yang stabil di bawah kondisi
penyimpanan yang normal tetapi lebih cepat rusak dalam asam dan dalam umpan
basah. Umpan kering akan melindungi fosfida seng dari air hujan dan efektif
untuk periode yang cukup lama. Umpan pendahuluan (prebaiting) penting
sebelum mengaplikasikan racun ini (Lund 1988c).

Didalam memilih umpan mencit yang tepat, beberapa karakteristik perlu
diperhatikan yaitu umpan harus menarik bagi mencit, tidak menarik bagi hewan
lain bukan sasaran, mudah didapat, dan harus mudah dicampur. Umpan serealia
baik yang hancur ataupun utuh mudah dicampur dengan racun berbentuk tepung
tetapi membutuhkan bahan perekat. Bahan pengikat ini biasanya berupa minyak
nabati seperti minyak kelapa, minyak jagung, atau minyak kacang dengan
konsentrasi 3-10 % (Priyambodo 2003).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Program Studi
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Mei sampai
bulan Juli 2006.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Mencit rumah (Mus
musculus), bahan umpan yaitu gabah dan jagung, bahan repelen yaitu bawang
putih, cabai rawit, dan merica, rodentisida kronis (bahan aktif brodifakum) dan
rodentisida akut (bahan aktif seng fosfida).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: timbangan elektronik
untuk menimbang umpan, rodentisida, dan mencit, serta arena pengujian.

Metode
Arena Pengujian
Tempat yang digunakan berupa arena dari papan kayu yang tersusun
seperti kotak besar dengan ukuran 280 x 100 x 50 cm3 (p x l x t) yang dilapisi
seng pada bagian dalamnya untuk mencegah keratan mencit. Pada bagian atas
arena diberi penutup dari ram kawat, lalu ditutupi plastik hitam, dan diatasnya
ditahan dengan papan kayu.
Pada perlakuan digunakan empat arena sebagai ulangan dan satu gudang
dengan ukuran 300 x 150 x 400 cm3 (p x l x t) sebagai ulangan ke-5. Dalam
gudang terdapat satu pintu yang pada bagian bawah berrongga untuk sirkulasi
udara dalam ruangan sedangkan seluruh ruangan berupa tembok.
Kedalam arena pengujian diletakkan beberapa perangkat yaitu dua buah
wadah dari kaca sebagai tempat pakan, dua buah wadah tempat minum, dan
bumbung bambu sebagai tempat persembunyian mencit. Alat-alat tersebut
diletakkan pada kedua sisi arena (Gambar 1).

Pada saat penggantian pakan, arena dibersihkan dengan sapu agar tidak ada
pakan yang tertinggal dan menumpuk. Setiap pengujian, yaitu pengujian
repelensi, pala tabilitas umpan, dan rodentisida, dilakukan sebanyak lima ulangan.

50 cm

100 cm
280 cm

: tempat pakan dan minum
: bambu
Gambar 1 Arena perlakuan pada mencit

Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit rumah yang diperoleh dari
Laboratorium Vertebrata Hama. Sebelum digunakan dalam percobaan, mencit
diadaptasikan selama satu hari di dalam arena. Mencit yang digunakan pada tiap
ulangan adalah 10 ekor terdiri dari lima ekor betina dan lima ekor jantan. Seluruh
mencit yang digunakan berjumlah 50 ekor. Berat tubuh mencit yang digunakan,
baik jantan ataupun betina kurang lebih 20 gram.
Penimbangan dilakukan pada awal dan akhir perlakuan dengan interval
antar perlakuan lima hari untuk menentukan bobot awal dan akhir mencit. Mencit
betina yang bunting tidak digunakan dalam percobaan. Apabila pada pengujian
terdapat mencit betina yang melahirkan maka mencit tersebut beserta anakanaknya dikeluarkan dan diganti dengan mencit betina yang baru.

Pakan Pengujian
Pakan yang digunakan adalah serealia yang disukai (gabah) dan yang
kurang disukai (jagung). Pada tiap perlakuan jumlah pakan yang diberikan seberat

40 gram dan diletakkan pada wadah kaca di sisi arena. Jumlah air minum yang
diberikan sebanyak 50 ml. Pakan pada perlakuan racun akut menggunakan beras
yang dicampur dengan bahan perekat yaitu minyak kelapa yang kemudian
disatukan dengan racun yang berbentuk tepung tersebut.

Uji Repelensi
Pengujian repelensi terdiri dari tujuh perlakuan dengan satu, dua, dan tiga
jenis campuran bahan repelen. Bahan yang digunakan adalah bawang putih, cabai
rawit, dan merica.
Perbandingan bahan repelen dengan air yaitu 1 : 2. Bahan pedas
dihancurkan dengan menggunakan blender, kemudian disaring dengan kain
sehingga didapat larutan pedas. Larutan yang diberikan adalah 50 ml tiap ulangan
dan tiap pengujian.
Bahan tunggal adalah bahan pedas yang terdiri dari bawang putih, atau
cabai, atau merica saja. Kombinasi dua jenis yaitu campuran dua jenis bahan yaitu
bawang putih dan merica, cabai dan bawang putih, serta merica dan cabai.
Kombinasi ketiga jenis bahan merupakan campuran bawang putih, cabai, dan
merica.
Setiap perlakuan dilakukan selama lima hari berturut-turut. Peubah yang
diamati adalah konsumsi pakan berupa selisih jumlah pakan awal dan akhir
perlakuan termasuk yang tercecer dan perubahan bobot tubuh mencit secara
keseluruhan.

Uji Palatabilitas Umpan
Pengujian palatabilitas umpan menggunakan dua jenis pakan yaitu pakan
yang disukai (gabah) dan kurang disukai (jagung). Uji ini terdiri dua perlakuan
yaitu uji gabah dan jagung dan uji gabah-repelen dan jagung.
Setiap perlakuan dilakukan selama lima hari berturut-turut. Repelen yang
digunakan adalah dari bahan yang menunjukkan tingkat repelensi yang terbesar.
Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan (gabah dan jagung) yang
merupakan selisih pakan awal dan akhir perlakuan, serta perubahan bobot tubuh
mencit dari awal ke akhir percobaan.

Uji Palatabilitas Rodentisida
Rodentisida yang digunakan pada uji ini adalah rodentisida kronis (bahan
aktif brodifakum) dan akut (bahan aktif seng fosfida).
Setiap perlakuan dilakukan selama lima hari berturut-turut dan diamati
perilaku makan mencit terhadap gabah-repelen dan racun kronis serta gabahrepelen dan racun akut. Jumlah gabah dan rodentisida racun kronis dan akut yang
diberikan masing- masing sebanyak 40 gram untuk setiap ulanga n. Racun kronis
merupakan umpan siap pakai. Racun akut merupakan campuran 1% seng fosfida
dalam umpan beras. Jumlah rodentisida dan gabah yang diberikan tiap harinya
dihitung jumlah awal dan sisa pemberian sehingga didapat konsumsi mencit, serta
dihitung perubahan bobot tubuh mencit. Mencit yang mati pada perlakuan
brodifakum diganti dengan yang baru. Pada perlakuan menggunakan seng fosfida
mencit yang mati tidak diganti, sehingga jumlah mencit per ulangan tidak sama.

Penghitungan Tingkat Repelensi dan Atraktansi
Peubah yang diamati adalah tingkat keefektifan repelen dan tingkat
atraktansi gabah. Tingkat keefektifan repelen dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
TR = KTR- KR x 100%
KTR
Keterangan: TR: Tingkat repelensi
KTR: Konsumsi tanpa repelen
KR: Konsumsi dengan repelen
Tingkat atraktansi gabah dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Atraktansi Gabah =

Konsumsi gabah

Konsumsi gabah + umpan lain/rodentisida

X 100%

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 11 perlakuan. Uji repelen terdiri dari 7
perlakuan, uji palatabilitas umpan dan rodentisida terdiri dari 4 perlakuan.
Pada pengolahan data digunakan Statistical Analysis System (SAS) for
Windows V6.12, untuk mendapatkan analisis ragam. Uji lanjutan dilakukan
dengan menggunakan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian yang dilakukan terbagi tiga yaitu pengujian repelensi, palatabilitas
umpan, dan rodentisida. Pengujian repelensi terdiri atas 7 perlakuan dan lima
ulangan dengan tiga kombinasi campuran bahan. Pengujian palatabilitas umpan
menggunakan dua pakan yaitu gabah dan jagung tanpa dan dengan repelen.
Pengujian dengan rodentisida terdiri dari rodentisida kronis dan akut. Kedua
pengujian terakhir terdiri atas empat perlakuan dan lima ulangan. Total perlakuan
dari keseluruhan uji tersebut adalah 11 perlakuan dengan lima ulangan.

Uji Repelensi
Pengujian ini terdiri atas tujuh perlakuan dengan lima ulangan menggunakan
tiga bahan bersifat pedas yaitu bawang putih, cabai dan merica. Data dapat dilihat
pada Tabel 1 dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 1-8.
Tabel 1 Konsumsi gabah oleh M. musculus pada perlakuan repelen dan kontrol
serta tingkat repelensi dari tiga jenis bahan bersifat pedas
Perlakuan

Kontrol (a)

Repelen (a)

Tingkat
Repelensi

(%)

(b)

Cabai rawit

9.189a

6.603a

25.55a

Bawang putih

8.353a

4.185b

48.66a

Bawang putih dan merica

8.425a

4.667b

43.50a

Cabai rawit dan merica

8.621a

5.067b

40.92a

Cabai rawit dan bawang putih

8.595a

4.895b

44.64a

Cabai rawit, bawang putih dan 9.020a

5.011b

43.36a

4.940b

44.48a

merica
Merica

8.595a

Keterangan: (a) Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5 %
(b) Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5 %

Berdasarkan data dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi pakan dengan
perlakuan repelensi menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada semua perlakuan,

kecuali pada perlakuan cabai rawit. Tingkat repelensi cabai menunjukkan
persentase yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya. Demikian juga
konsumsi pakan pada kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan
konsumsi pakan pada repelen. Jika dibandingkan dengan enam perlakuan lainnya,
perlakuan cabai memiliki angka konsumsi tertinggi baik pada kontrol maupun
repelen dan dengan tingkat repelensi yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa
cabai kurang efektif dalam mengusir mencit. Mencit tidak terpengaruh dengan
pemberian repelen tersebut, sehingga konsumsi pakan mencit terhadap gabah
dengan repelen tetap tinggi.
Perbandingan nilai konsumsi pada kontrol dan repelen pada enam
perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata dimana konsumsi pakan pada
kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan repelen. Umumnya persentase repelensi
berkisar sedikit di atas 40%, akan tetapi persentase repelensi tertinggi terdapat
pada perlakuan bawang putih (48,66%) dibanding repelen lain meskipun secara
statistik tidak berbeda nyata. Tingkat repelensi bawang putih yang tinggi
mempengaruhi konsumsi mencit, baik pada kontrol maupun repelen memiliki
nilai yang rendah dibandingkan dengan konsumsi pakan pada perlakuan lain.
Pemberian repelen ini efektif dalam mengusir mencit karena bawang putih
mengeluarkan aroma yang khas, sehingga mempengaruhi perilaku mencit dalam
memilih pakan yang dikonsumsinya. Selain bawang putih, tingkat repelensi
tertinggi kedua adalah perlakuan dengan merica. Aroma yang dikeluarkan dari
larutan merica cukup menyengat sama halnya dengan bawang putih, sehingga
konsumsi pakan pun memiliki jumlah yang cukup rendah dilihat dari data
konsumsi repelen dan kontrol.
Tingkat repelensi tertinggi adalah bawang putih dan paling rendah adalah
cabai rawit meskipun secara stastistik tidak berbeda nyata. Tingkat repelensi dari
lima perlakuan lain menunjukkan hasil yang umumnya berkisar antara 40%.
Persentase repelensi tersebut meskipun tidak berbeda nyata namun jika dilihat dari
konsumsi kontrol dan repelen sangat jelas perbedaannya. Tingkat repelensi tinggi
tidak berarti konsumsi tinggi akan tetapi sebaliknya sama halnya dengan repelensi
paling rendah yaitu cabai rawit.

Konsumsi pakan yang diuji dengan taraf nyata 5% dapat dilihat pada
Tabel 2 dan analisis ragamnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 9.

Tabel 2 Konsumsi pakan M. musculus pada perlakuan kontrol dan repelen
Perlakuan

Konsumsi pakan g/100g bobot
tubuh

K cabai rawit

9.189a

R cabai rawit

6.603bc

K bawang putih

8.353ab

R bawang putih

4.185d

K bawang putih dan merica

8.425ab

R bawang putih dan merica

4.667cd

K cabai rawit dan merica

8.621ab

R cabai rawit dan merica

5.067cd

K cabai rawit dan bawang putih

8.595ab

R cabai rawit dan bawang putih

4.895cd

K cabai rawit, bawang putih dan merica

9.020a

R cabai rawit, bawang putih dan merica

5.011cd

K merica

8.595a

R merica

4.940cd

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5 %

K: Kontrol

R: Repelen

Perlakuan cabai rawit merupakan konsumsi pakan tertinggi baik kontrol
maupun repelen. Konsumsi ini berbeda nyata antara kontrol dan repelen berarti
repelen yang diberikan berpengaruh terhadap mencit dan efektif dalam mengusir
mencit. Pengaruh aroma yang dikeluarkan cabai rawit mengganggu indera
penciuman mencit dalam memilih pakannya. Hal ini berbeda dengan pengujian
antar dua perlakuan (dengan dan tanpa repelen). Perlakuan dengan konsumsi
pakan terendah terdapat pada perlakuan bawang putih. Konsumsi pakan pada
kontrol dan repelen menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Aroma yang

dikeluarkan bawang putih ini menyebabkan indera penciuman mencit terganggu
sehingga mencit memilih untuk tidak mengkonsumsi pakannya. Dapat dikatakan
bahwa bawang putih efektif dalam mengusir mencit dilihat dari konsumsi yang
menunjukkan hasil yang rendah. Campuran dua bahan pedas menunjukkan hasil
yang berbeda nyata tiap perlakuannya namun pada campuran tersebut konsumsi
pakan yang tinggi dihasilkan dari campuran cabai rawit dan merica baik kontrol
maupun repelen. Kombinasi dua bahan yang menunjukkan konsumsi terendah
adalah campuran bawang putih dan merica.
Konsumsi pakan pada perlakuan merica menunjukkan hasil yang berbeda
nyata antara repelen dan kontrol. Merica mampu mempengaruhi indera
penciuman mencit sehingga mencit mengkonsumsi pakan dengan jumlah yang
sedikit. Kombinasi tiga bahan pedas menghasilkan data yang berbeda nyata tetapi
konsumsi pakan baik kontrol maupun repelen tinggi dan mendekati konsumsi
pakan pada perlakuan cabai rawit. Rata-rata konsumsi selain perlakuan cabai rawit
dan bawang putih menunjukkan hasil yang umumnya sama antara perlakuan
kontrol dan repelen.
Repelen dengan menggunakan bawang putih lebih mampu mengusir mencit
sedangkan repelen cabai rawit kurang mempengaruhi. Merica pada pengujian
tersebut juga mampu mengusir mencit dilihat dari konsumsi pakan yang rendah
sama halnya dengan kombinasi dua bahan pedas. Pemberian repelen lebih
mempengaruhi indera penciuman mencit. Repelen dapat digunakan untuk
mengusir hewan pengerat seperti mencit hanya pada wilayah tertentu dan waktu
terbatas. Repelen akan efektif dalam mengusir mencit jika dipengaruhi oleh
kondisi yang mendukung.
Konsumsi pakan bawang putih dan cabai rawit menunjukkan hasil yang
berbeda

nyata

antara

kontrol

dan

repelen.

Pemberian

repelen

sangat

mempengaruhi perilaku mencit. Repelen dapat memberikan cekaman (stress) pada
mencit. Mencit akan memilih pakan yang dianggapnya aman dan nyaman.

Uji Palatabilitas Umpan dan Rodentisida
Pengujian palatabilitas umpan dan rodentisida menunjukkan pengaruh
pemberian umpan berupa gabah dengan dan tanpa repelen dibandingkan dengan

jagung dan gabah dengan repelen dibandingkan rodentisida kronis dan akut. Data
yang disajikan dapat dilihat pada Tabel 3 dan analisis ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 10 - 14.

Tabel 3 Konsumsi mencit terhadap gabah tanpa dan dengan repelen dibandingkan
dengan jagung, rodentisida kronis, dan akut, serta tingkat atraktansinya

Perlakuan

Konsumsi

(g/100g

bobot Persentase

tubuh) a

ketertarikan
mencit terhadap
gabah (%) b

Gabah

Jagung/Rodentisida

Gabah-jagung

9.517a

5.354b

63,763c

Gabah repelen-jagung

9.476a

4.168b

69,238bc

Gabah repelen-brodifakum

9.767a

2.091b

82,502ab

Gabah repelen-seng fosfida

4.849a

0.305b

93,164a

Keterangan: a) Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5%
b) Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5 %

Berdasarkan data dari Tabel 3 semua perlakuan menunjukkan hasil yang
berbeda nyata antara gabah dengan jagung dan rodentisida dimana konsumsi
pada gabah lebih tinggi dibandingkan dengan jagung dan rodentisida. Pada
perlakuan gabah tanpa repelen dan jagung, menunjukkan konsumsi yang lebih
tinggi dibandingkan gabah dengan repelen, akan tetapi tingkat ketertarikan mencit
terhadap gabah lebih rendah dibanding perlakuan dengan repelen. Pemberian
repelen ternyata tidak mempengaruhi tingkat atraktansi mencit terhadap pakan
gabah dimana seharusnya repelen menyebabkan konsumsi mencit terhadap
perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan tanpa pemberian repelen. Hal ini
menunjukkan bahwa mencit tetap mengkonsumsi umpan meskipun terdapat
repelen. Repelen yang digunakan adalah bawang putih berdasarkan tingkat
repelensinya yang paling tinggi dibandingkan dengan repelen lain pada pengujian

repelensi (Tabel 1). Repelen tersebut tidak mempengaruhi konsumsi mencit
terhadap umpan (gabah-jagung) sehingga diperoleh nilai atraktansi yang lebih
tinggi daripada perlakuan tanpa repelen. Mencit lebih menyukai gabah karena
merupakan pakan yang disukai sedangkan jagung adalah pakan yang kurang
disukai karena teksturnya yang keras.
Perlakuan

menggunakan

rodentisida

kronis

(brodifakum

0,005%)

memperlihatkan nilai konsumsi yang berbeda nyata. Konsumsi gabah dengan
repelen lebih tinggi jika dibandingkan konsumsi rodentisida kronis. Konsumsi
mencit terhadap brodifakum juga cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan
seng fosfida. Konsumsi yang berbeda tersebut menghasilkan tingkat atraktansi
yang cukup tinggi. Rodentisida tersebut merupakan racun antikoagulan, dimana
setelah mencit mengkonsumsi terjadi peningkatan aktivitas, mencit sangat aktif
bergerak dengan pergerakan yang tidak beraturan. Kematian akibat rodentisida
tersebut terjadi pada hari kelima setelah perlakuan. Persentase kematian pada
ulangan 1 sampai 5 berturut-turut adalah 60%, 0%, 30%, 30%, dan 0%. Setelah
hari kelima, perlakuan tersebut diganti oleh penggunaan rodentisida akut seng
fosfida.
Data perlakuan rodentisida akut menunjukkan konsumsi pakan yang
berbeda nyata dan tingkat atraktansi gabah yang sangat tinggi. Konsumsi tersebut
mengalami penurunan karena mencit mengalami kematian satu hari setelah
mengkonsumsi rodentisida sehingga pada perlakuan tersebut mencit yang tersisa
sangat sedikit, bahkan pada ulangan 3 terdapat kematian 100 %. Pada ulangan 1,
2, 4, dan 5 kematian mencapai 37,5%, 80%, 60%, dan 90% sampai dengan hari
ke-5 kematian mencapai 37,5%, 80%, 100%, 100%, 90%. Menurut Lund (1988c),
pemberian umpan pendahuluan penting sebelum aplikasi racun akut tersebut.
Rodentisida tersebut bersifat racun nonkoagulan, bekerja sangat cepat ya ng dapat
mematikan mencit kurang dari 24 jam. Dalam hal ini kenyataan pada perlakuan
tidak seluruh mencit mengalami kematian namun konsumsi mengalami penurunan
setelah terdapat salah satu mencit yang mati. Kematian mencit sangat
mempengaruhi konsumsi mencit terhadap pakan karena merasa tidak aman dan
nyaman dalam mengkonsumsi pakan. Jumlah konsumsi racun akut oleh mencit
mampu menyebabkan kematian meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit.

Konsumsi mencit terhadap rodentisida racun akut lebih kecil dari pada
racun kronis. Hal ini disebabkan oleh kandungan akut yang lebih tinggi dibanding
racun kronis, sehingga menimbulkan aroma dan rasa yang tidak enak bagi hewan
sasaran. Konsumsi umpan beracun oleh mencit lebih kecil dibandingkan konsumsi
umpan tanpa racun, karena ada bau dan atau rasa dari racun yang dapat
mengurangi palatabilitasnya.
Penggunaan rodentisida akut menghasilkan kematian mencit yang sangat
tinggi. Penggunaan repelen tidak mempengaruhi konsumsi pakan. Hal ini
menunjukkan rodentisida masih tetap lebih efektif dalam mengendalikan mencit
dilihat dari tingkat konsumsinya yang mencapai dosis kematian.
Pemberian repelen pada perlakuan dengan rodentisida tersebut tidak
mempengaruhi mencit. Mencit masih memilih pakannya meskipun diberikan
repelen. Dari hasil perlakuan rodentisida mencit mengkonsumsi racun kronis dan
akut dalam jumlah yang sedikit, namun setelah mengalami kematian individu
mencit yang tersisa akan mengurangi konsumsi pakannya karena dirasakan tidak
nyaman.
Penggunaan rodentisida akut memberikan hasil yang sangat tinggi dalam
mematikan mencit, karena penggunaan repelen tidak mempengaruhi konsumsi
pakan. Hal ini menunjukkan rodentisida masih tetap lebih efektif dalam
mengendalikan mencit. Pengendalian mencit secara kimia tetap merupakan
alternatif pengelolaan yang lebih cepat dan menunjukkan hasil yang cukup tinggi
dalam hal mematikan mencit, akan tetapi pengendalian menggunakan bahan alami
lebih baik karena tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.

Bobot Tubuh Mencit
Bobot tubuh mencit pada tiap perlakuan mengalami perubahan. Pemberian
pakan gabah tiap perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda tiap minggunya.
Perubahan bobot tubuh mencit jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2 dan
rerata bobot tubuh disajikan pada Gambar 3.

28

Bobot Tubuh (gram)

27
26
25

jantan

24

betina

23
22
21
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Minggu ke-

Gambar 2 Perubahan bobot tubuh M. musculus betina dan jantan dari awal
hingga akhir perlakuan
Berdasarkan Gambar 2 perubahan bobot tubuh mencit jantan dan betina
mulai mengalami perubahan. Minggu ke- 1 sampai 7 mencit jantan mengalami
penurunan bobot tubuh, namun pada minggu ke-8 terjadi peningkatan bobot tubuh
yang cukup drastis. Peningkatan bobot tubuh pada minggu tersebut dikarenakan
pada perlakuan tersebut menggunakan pakan gabah dan jagung tanpa penggunaan
repelen sehingga konsumsi mencit terhadap pakannya meningkat. Penurunan
bobot tubuh mencit jantan terjadi kembali pada minggu ke- 9 sampai 11.
Turunnya bobot tubuh dikarenakan pada minggu tersebut digunakan repelen dan
rodentisida kronis dan akut yang mampu menimbulkan cekaman terhadap mencit
selama perlakuan tersebut.
Peningkatan bobot tubuh mencit betina terjadi pada minggu kedua
kemudian tiap minggunya mengalami peningkatan yang stabil. Bobot tubuh
mencit betina yang stabil ini kemungkinan mencit mengalami bunting dan
penggunaan repelen tidak mempengaruhi konsumsi mencit. Peningkatan bobot
tubuh mencit betina tertinggi terjadi pada minggu ke- 9, pada minggu tersebut
pemberian g