Pengaruh Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

(1)

PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.)

DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP

JARINGAN GINJAL MENCIT (Mus musculus L.)

SKRIPSI

WARYSATUL UMMAH

070805017

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP JARINGAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

WARYSATUL UMMAH 070805017

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

PERSETUJUAN

Diluluskan di

Medan, Januari 2012 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Masitta Tanjung, S.Si. M.Si Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed NIP. 19710910 200012 2 001 NIP. 19660209 199203 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP. 19630123 199003 2 001

Judul : PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA

(Carica papaya L.) DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP JARINGAN GINJAL MENCIT (Mus musculus L.)

Kategori : SKRIPSI

Nama : WARYSATUL UMMAH

Nomor Induk Mahasiswa : 070805017

Program Studi : SARJANA (S1)BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP JARINGAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus L.)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2012

WARYSATUL UMMAH 070805017


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh

Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal Mencit (Mus musculus L.)”. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed. selaku Pembimbing I dan Ibu Masitta Tanjung, S.Si. M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritikan dan saran kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Elimasni, M.Si dan Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Kepada Bapak Drs. Arlen H. J, M. Si selaku dosen penasehat akademik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M. Sc selaku ketua Departemen Biologi, Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M. Sc selaku sekretaris Departemen Biologi. Bapak dan Ibu dosen pengajar Departemen Biologi FMIPA USU yang telah memberikan segala ilmunya kepada penulis. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Departemen Biologi, serta Ibu Nurhasni Muluk selaku analis dan laboran di laboratorium Departemen Biologi yang telah memberikan bantuan kepada penulis, penulis ucapkan terimakasih banyak.

Teristimewa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua, Ayahanda (Alm) Ir. Kasman Bin Usman M.Si dan Ibunda Waki’ah S.Pd yang sangat penulis cintai dan sayangi yang telah mencurahkan segala bentuk kasih sayangnya baik dalam bentuk do’a, perhatian, materi serta dukungan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih, jasa ayah dan ibu takkan pernah terbalaskan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ayah & ibu. Kepada kakanda Wihdatul Adiya S.St.Pi, dan Miftahul Jannah S.Pd.I, abangnda Afdhalul Rizqi S.St.Pi, adinda Hujjatul Balighah, Fasihul Lisan dan Thariqatul ‘Amaliah serta kak Salmina (aimin) dan seluruh keluarga yang telah memberikan perhatian, doa, motivasi dan kebersaman dalam persaudaraan penulis ucapkan terimakasih.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mybest Maria Lestari yang telah memberikan motivasi, mengahadapi keluh kesah penulis dengan penuh kesabaran, persahabatan yang indah, segala kenangan yang tercipta baik suka dan duka penulis ucapkan terimakasih. Sahabat terdekatku Riwil, Resti, Dwi dan Anti yang telah mencipta kebersamaan dalam suka dan duka, persahabatan yang indah dalam jalinan ukhuwah, serta sahabat seperjuanganku Maika Cutkak, Aini Chingu dan Putri Barbara. Kepada tim penelitian para Mencitter’s Maria Lestari, Zulvia Maika Letis, Dwi Putri Akarina, Gustika Maryati dan Desy Hikmatullah atas kebersamaan yang telah kita cipta hingga selesainya penelitian ini.


(6)

Teman-teman seperjuangan Ummi, Rizma, Irma, Nisa, Nia, Laura, Helmi, Ade, Sari, Abel, Michele, Nila, Astri, Fatma, Asril, Affan, Mirza, Umeda, Eva, Katrin, Elisabeth, Anggun, Dina, Siti, Natal, Else, Reymond, Jupe, Jayana, Alex, Farid, Ncay dan seluruh anggota Like the Ant’s Bio’07 yang tidak dapat disebut namanya satu per satu terima kasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama dalam perjuangan ini. Adik-adik stambuk; Igun, Nanin, Umi, Ahri, Zulfi, Sirma, Arfah, Hema, Zuwana, Boby, Agustina, Siska. Kakak-kakak stambuk; Kak Jean, Kak Hilda, Kak Desmina, Kak Nana, Kak Tety, Kak Dini, Kak Imus, dan Kak Utin. Teman kos sofyan 96 (Anti, Amel, Mirna, Jeani, Eva, Kak Dini, Kak Dian). Kak fika, Pak basri dan uwak buah, dan semua pihak yang telah terlibat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk penulis khususnya dan pembaca umumnya. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Medan, Januari 2012


(7)

PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP JARINGAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus L.)

ABSTRAK

Ginjal adalah organ ekskresi utama, sehingga seringkali mengalami kerusakan jika terpapar oleh zat-zat toksik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya pengaruh atau perubahan gambaran histologi ginjal mencit setelah pemberian ektrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat selama 24 minggu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dan 5 kelompok kontrol. Pada Kontrol, K0 sampai K4 merupakan kontrol dari masing-masing perlakuan dengan jumlah mencit masing-masing 5 ekor. Pada Perlakuan dengan lama waktu pajanan selama 24 minggu P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU 0,25mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu sekali secara intra muskular dan pemberian ekstrak air biji pepaya 30mg/0,5ml/ekor/mencit jantan setiap hari secara oral. Setiap 6 minggu sekali mencit dikorbankan dengan cara dislokasi

leher, kemudian ginjal kanan dan ginjal kiri mencit dibuat preparat dengan metode

blok parafin dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Hasil penelitian

menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol K1 dan kelompok perlakuan P1 (p<0,05), kelompok kontrol K2 dan kelompok perlakuan P2 (p<0,05), serta kelompok kontrol K3 dan kelompok perlakuan P3 (p<0,05). Kelompok kontrol K4 dan kelompok perlakuan P4 tidak berbeda (p>0,05) begitu juga dengan kelompok kontrol K0 dan kelompok perlakuan P0 tidak berbeda (p>0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan testosteron undekanoat (TU) menimbulkan kerusakan histologi pada ginjal dengan kerusakan minimal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal.


(8)

THE EFFECT OF WATER EXTRACT OF PAPAYA SEED (Carica papaya L.) AND TESTOSTERONE UNDECANOATE (TU) ON HISTOLOGY OF MICE

(Mus musculus L.) KIDNEY

ABSTRACT

Kidney excretion is the main organ, which is often damaged if exposed to toxic substances. The purpose of this study is to determine the influence or histologic changes in kidney of mice after administration of water extract of papaya seed and testosterone undecanoate for 24 weeks. Thi study used a complete randomized design (CRD) consist of 5 treatment group and 5 control groups. In Control, K0 to K4 is the control of each of the mice treated with each of the 5 mice. On treatment with a long exposure time for 24 weeks P0 to P4 is a TU injection interval of 6 weeks and intra-muscular administration of water extract of papaya seed 30 mg / 0.5 ml / day / male mice orally. Every 6 weeks mice were sacrificed by neck dislocation, then the right and left kidney of mice made preparations by the method of paraffin block stained with haematoxylin eosin (HE). The results showed no significant difference between the control group K1 and P1 treatment groups (p <0.05), the control group K2 and P2 treatment groups (p <0.05), as well as the control group K3 and P3 treatment group (p<0,05). The control groups K4 and P4 treatment groups did not different (p>0,05), as well as the control group K0 and P0 treatment groups did not different (p>0,05). The conclusion of this study is the provision of water extract of papaya seed (Carica papaya L.) and testosterone undekanoat (TU) resulted in histological damage to the kidney with minimal damage in the form of narrowing of the lumen of the proximal tubule.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Pepaya (Carica papaya L.). 4

2.2 Testosteron Undekanoat (TU) 7

2.3 Struktur Histologi Ginjal 8

2.3.1Kapsula bowman 10

2.3.2Tubulus Kontortus Proksimal 11

2.3.3Ansa Henle 11

2.3.4Tubulus Kontortus Distal 12

2.3.5Tubulus dan duktus pengumpul 12

2.3.6Fungsi Ginjal 12

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 14

3.2 Alat dan Bahan 14

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Hewan Percobaan 14

3.3.2 Metode Penelitian 15 3.3.3 Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) 15 3.3.3 Uji Skrining Fitokimia Biji Pepaya 16

3.3.4 Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) 17

dan Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.)

3.3.5 Pembuatan Preparat Histologis Ginjal 18 dengan Metode Parafin

3.4 Parameter Pengamatan


(10)

Berat Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

3.4.2 Pengamatan Preparat Histologis 20 Jaringan Ginjal Mencit (Mus Musculus L.)

3.5 Analisis Data 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil uji skrining fitokimia biji pepaya (Carica papaya L.) 21

4.2 Hasil gambaran morfologi ginjal 23

4.3 Hasil berat ginjal 25

4.4 Gambaran hasil histologi tubulus proksimal ginjal 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 35

5.2 Saran 35


(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Komposis biji pepaya (Carica papaya L.) 6

2. Rancangan penelitian 15

3. Hasil uji skrining fitokimia 21

4. Gambaran morfologi ginjal kelompok kontrol dan perlakuan 24

5. Rataan berat ginjal mencit (Mus musculus L.) (g, X±SD) 40

6. Persentase jumlah kerusakan histologi tubulus proksimal ginjal 45

mencit (Mus musculus L.) (%, X±SD)


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Foto Lapangan tanaman Pepaya (Carica papaya L.). 4

2. Rumus bangun Testosteron Undekanoat (TU) 8

3. Struktur ginjal dan nefron 10

4. Jadwal kegiatan pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) 17

dan testosteron undekanoat (TU) selama 24 minggu

5. Grafik rata-rata berat ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok kontrol 26 6. Grafik rata-rata berat ginjal mencit (Mus musculus L.)

kelompok perlakuan 27

7. Grafik rata-rata berat ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok

kontrol dan perlakuan 28

8. Penampang melintang tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) 29

9. Grafik kerusakan histologi tubulus proksimal ginjal kelompok kontrol 30

10. Grafik kerusakan histologi tubulus proksimal ginjal kelompok perlakuan 31

11. Grafik kerusakan histologi tubulus proksimal ginjal kelompok


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Data dan analisis statistik berat ginjal mencit 40

2. Data dan analisis statistik kerusakan histologi tubulus proksimal

ginjal mencit 45

3. Alat dan bahan penelitian 50

4. Prosedur pembuatan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) 51

5. Prosedur uji skrining fitokomia biji pepaya (Carica papaya L.) 52

6. Prosedur pembuatan histologi ginjal metode paraffin 54

7. Prosedur pengamatan preparat histologi tubulus proksimal

ginjal mencit (Mus musculus L.) 55

8. Hasil identifikasi herbarium medanense (MEDA) 56

9. Hasil uji skrining fitokimia 57


(14)

PENGARUH EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) TERHADAP JARINGAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus L.)

ABSTRAK

Ginjal adalah organ ekskresi utama, sehingga seringkali mengalami kerusakan jika terpapar oleh zat-zat toksik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya pengaruh atau perubahan gambaran histologi ginjal mencit setelah pemberian ektrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat selama 24 minggu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dan 5 kelompok kontrol. Pada Kontrol, K0 sampai K4 merupakan kontrol dari masing-masing perlakuan dengan jumlah mencit masing-masing 5 ekor. Pada Perlakuan dengan lama waktu pajanan selama 24 minggu P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU 0,25mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu sekali secara intra muskular dan pemberian ekstrak air biji pepaya 30mg/0,5ml/ekor/mencit jantan setiap hari secara oral. Setiap 6 minggu sekali mencit dikorbankan dengan cara dislokasi

leher, kemudian ginjal kanan dan ginjal kiri mencit dibuat preparat dengan metode

blok parafin dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Hasil penelitian

menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol K1 dan kelompok perlakuan P1 (p<0,05), kelompok kontrol K2 dan kelompok perlakuan P2 (p<0,05), serta kelompok kontrol K3 dan kelompok perlakuan P3 (p<0,05). Kelompok kontrol K4 dan kelompok perlakuan P4 tidak berbeda (p>0,05) begitu juga dengan kelompok kontrol K0 dan kelompok perlakuan P0 tidak berbeda (p>0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan testosteron undekanoat (TU) menimbulkan kerusakan histologi pada ginjal dengan kerusakan minimal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal.


(15)

THE EFFECT OF WATER EXTRACT OF PAPAYA SEED (Carica papaya L.) AND TESTOSTERONE UNDECANOATE (TU) ON HISTOLOGY OF MICE

(Mus musculus L.) KIDNEY

ABSTRACT

Kidney excretion is the main organ, which is often damaged if exposed to toxic substances. The purpose of this study is to determine the influence or histologic changes in kidney of mice after administration of water extract of papaya seed and testosterone undecanoate for 24 weeks. Thi study used a complete randomized design (CRD) consist of 5 treatment group and 5 control groups. In Control, K0 to K4 is the control of each of the mice treated with each of the 5 mice. On treatment with a long exposure time for 24 weeks P0 to P4 is a TU injection interval of 6 weeks and intra-muscular administration of water extract of papaya seed 30 mg / 0.5 ml / day / male mice orally. Every 6 weeks mice were sacrificed by neck dislocation, then the right and left kidney of mice made preparations by the method of paraffin block stained with haematoxylin eosin (HE). The results showed no significant difference between the control group K1 and P1 treatment groups (p <0.05), the control group K2 and P2 treatment groups (p <0.05), as well as the control group K3 and P3 treatment group (p<0,05). The control groups K4 and P4 treatment groups did not different (p>0,05), as well as the control group K0 and P0 treatment groups did not different (p>0,05). The conclusion of this study is the provision of water extract of papaya seed (Carica papaya L.) and testosterone undekanoat (TU) resulted in histological damage to the kidney with minimal damage in the form of narrowing of the lumen of the proximal tubule.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah tanaman pepaya (Carica papaya L.). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing gelang, gangguan pencernaan, diare, penyakit kulit, kontrasepsi pria (sebagai anti fertilitas) (Amir, 1992), bahan baku obat masuk angin dan sebagai sumber untuk mendapatkan minyak dengan kandungan asam-asam lemak tertentu. Minyak biji pepaya yang berwarna kuning diketahui mengandung 71,60 % asam oleat, 15,13 % asam palmitat, 7,68 % asam linoleat, 3,60% asam stearat, dan asam-asam lemak lain dalam jumlah relatif sedikit atau terbatas. Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, dan saponin (Warisno, 2003 dalam Sukadana et al., 2008).

Menurut (Wijayakusumah, dkk 1995 dalam Ilham et al., 1999) biji pepaya berkemungkinan mempunyai khasiat sebagai kontraseptif karena kandungan steroid yang dimilikinya. Pada wanita yang sedang hamil muda diperingatkan agar tidak memakan biji pepaya karena akan menyebabkan terjadinya aborsi (Mulyana, 1982 dalam Ilham et al., 1999).

Menurut (Kloppenburg 1915 dalam Amir 1992), orang yang keguguran akibat

memakan biji pepaya ini biasanya sulit hamil lagi karena adanya pengeringan rahim akibat masuknya enzim proteolitik seperti papain, chymopapain A, chymopapain B dan peptidase pepaya. Di samping enzim proteolitik, biji pepaya juga mengandung kandungan kimia yang lain seperti 25% atau lebih minyak campuran, 26,2% lemak, 24,3 % protein, 17% serat, 15,5% karbohidrat, 8,8% abu dan 8,2% air (Burkill,1996 dalam Amir, 1992).

Menurut (Yacoeb 1998 dalam Ilham et al., 1999) pemberian 160 mg/kg bb ekstrak biji pepaya, tidak ditemukan korpus luteum pada ovari mencit. Teknik


(17)

penelitian yang telah dilakukan adalah dengan melihat titik ovulasi (ovulation spot) pada ovari tersebut. Dari penelitian terdahulu (Ilham dkk, 1999), didapatkan bahwa dengan perlakuan 40 mg/kg bb/ekor/hari menyebabkan terjadinya oedema pada uterus dan penghentian pembentukan folikel pada dosis 160 mg/kg bb/ekor/hari akibat kekacauan sistem hormonal (Ilham et al., 1999).

Seperti diketahui suatu bahan antifertilitas dapat bersifat sitotoksik atau bersifat hormonal dalam memberikan pengaruhnya. Bila bersifat sitotoksik maka pengaruhnya langsung terhadap sel kelamin, dan bila bersifat hormonal maka bekerja

pada organ yang responsif terhadap hormon yang berkaitan (Sutasurya, 1989 dalam

Rusmiati, 2007).

Dalam penelitian ini, biji pepaya dikombinasikan dengan penyuntikan testosteron undekanoat (TU). Testosteron adalah hormon yang mengatur seksualitas pria, baik secara fisik maupun psikis. Sekarang ini kita tahu bahwa diperlukan molekul testosteron yang asli untuk menghasilkan respon androgenik yang lengkap. Suatu aksi langsung dari testosteron sendiri dapat ditunjukkan di otak, hipofisa (pituitari), ginjal, otot dan kelenjar submaksilaris. Di epitel germinal, epididimis, duktus deferens, penis, tulang, folikel rambut dan kelenjar sebasea kulit, testosteron harus dirubah menjadi 5-alfa-dihidrotestosteron (DHT) oleh suatu enzim khusus (5-alfa-reduktase) sebelum berikatan dengan reseptor alfa-DHT (Ilyas, 2008).

Ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat (TU) merupakan suatu kombinasi bahan obat yang dapat dimanfaatkan sebagai kontrasepsi pria (anti fertilitas). Menurut Mochtar (1998), suatu bahan yang digunakan untuk kontrasepsi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek samping yang merugikan tidak ada, lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan, tidak mengganggu fertilisasi, tidak memerlukan bantuan medik atau kontrol yang ketat selama pemakaiannya, cara penggunaannya sederhana dan harganya murah supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemberian ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat diharapkan tidak memberikan pengaruh terhadap jaringan ginjal mencit agar dapat dimanfaatkan sebagai kontrasepsi dalam jangka waktu yang


(18)

lama, maka dilakukan penelitin ini yang melihat pengaruh ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) terhadap gambaran histologis jaringan ginjal mencit (Mus musculus L.) apakah menimbulkan kerusakan pada ginjal atau tidak.

1.2Permasalahan

Biji pepaya dan testosteron undekanoat (TU) merupakan suatu kombinasi bahan obat yang dapat dimanfaatkan sebagai kontrasepsi pria (anti fertilitas). Syarat kontrasepsi yang ideal menurut Mochtar (1998), aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek samping yang merugikan tidak ada, tidak menimbulkan kerusakan pada organ-organ yang lain agar obat tersebut dapat terus dimanfaatkan dan dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian ini

untuk mengetahui bagaimanakah gambaran histologi jaringan ginjal mencit (Mus

musculus L.) setelah pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dengan dosis 30 mg/0,5ml/hari secara oral dan penyuntikan 0,25mg testosteron undekanoat interval 6 minggu sekali secara intra muskular?

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) terhadap gambaran histologis jaringan ginjal mencit (Mus musculus L.).

1.4Hipotesis Penelitian

Pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) dapat menimbulkan kerusakan jaringan ginjal mencit (Mus musculus L.).

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang kemungkinan penggunaan ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat sebagai alternatif bahan kontrasepsi bagi pria yang aman dengan toksisitas yang rendah, mudah diperoleh dan tidak menimbulkan efek samping.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Mexsiko dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daeah tropis maupun sub tropis. di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja bermutu dan bergizi yang tinggi (Prihatman, 2000).

Dalam sistematika tumbuhan pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledonae

Ordo : Cistales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L.

Nama lokal : Pepaya (Tjitrosoepomo, 2004).


(20)

Biji pepaya yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buah pepaya daerah Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan Komplek Adam Malik Kota Madya Medan, Sumatera Utara. Secara umum tanaman pepaya memiliki ciri-ciri yang sama dengan tanaman pepaya yang hidup di daerah lain. Biji pepaya yang diambil dari buah pepaya didaerah ini memiliki bentuk buah agak panjang dan lonjong, ukurannya bervariasi, dari yang kecil, sedang sampai besar. Menurut Kalie (1996), Pepaya merupakan tanaman herba. Batangnya berongga, biasanya tidak bercabang, dan tingginya dapat mencapai 10 m. Daunnya merupakan daun tunggal, berukuran besar, dan bercangap. Tangkai daun panjang dan berongga. Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu bunga jantan, bunga betina, dan bunga sempurna. Bentuk buah bulat sampai lonjong. Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya enzimatis, yaitu dapat memecah protein. Pertumbuhan tanaman pepaya termasuk cepat karena antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen (Kalie, 1996).

Bagian tanaman yang digunakan untuk penelitian ini adalah biji. Biji pepaya berbentuk agak bulat dengan panjang kira-kira 5 mm. Bagian biji terdiri dari embrio, jaringan bahan makanan, dan kulit biji. Kulit biji pepaya berwarna hitam dengan permukaan kasar, bergerigi, membentuk alur-alur sepanjang biji, tebal dan keras. Dalam satu gram biji pepaya terdiri antara 45-50 buah. Sewaktu masih melekat pada buah, biji dilapisi oleh suatu lapisan kulit biji yang berwarna keputihan, lunak, dan agak bening (Kalie, 1996).

Banyaknya biji tergantung dari besar kecilnya buah. Permukaan biji agak keriput dan dibungkus oleh kulit ari yang bersifat seperti agar atau transparan, kotiledon putih, rasa biji pedas atau tajam dengan aroma yang khas (Ochse, 1931; Gintings, 1979; Rismunandar, 1982). Kandungan kimia yang terdapat dalam biji pepaya adalah: 25% atau lebih lemak campuran, 26,2% lemak, 24,3% protein, 17% serat, 15,5% karbohidrat, 8,8% abu dan 8,2% air (Hooper dalam Burkill, 1935 dalam Amir, 1992).


(21)

Tabel 2.1. Komposisi biji pepaya Komponen Persen Berat Minyak 9,5 Protein 8,5 Abu 1,47 Karbohidrat 9,44 Cairan 71,98

Sumber: Yuniwati (2008)

Beberapa penelitian yang menggunakan ekstrak biji pepaya telah dilakukan oleh Das, Fransworth, Chinoy dan Rangga, pada varietas honeydew yang terdapat di India, dan Amir pada pepaya gandul melaporkan bahwa ekstrak biji pepaya tersebut ternyata mempunyai khasiat sebagai antifertilitas pada hewan, namun dosis dari biji pepaya yang dapat menyebabkan infertilitas tersebut masih belum dapat diketahui secara tepat (Yunardi, 2001).

Hasil penelitian Satriyasa (2010), Fraksi heksan ekstrak biji pepaya muda dapat menurunkan jumlah sel spermatogonia, sel spermatosit primer pakhiten, sel spermatid dan sel sertoli dengan sangat bermakna dan penurunannya lebih besar daripada fraksi metanol ekstrak biji pepaya muda akan tetapi fraksi heksan ekstrak biji pepaya tidak dapat menurunkan jumlah sel leydig dan kadar hormon testosteron.

Penelitian terhadap organ ginjal seperti penelitian yang dilakukan oleh Lil Hanifah, (2008) terhadap Pengaruh pemberian buah pepaya (Carica papaya L.) terhadap tingkat nekrosis epitel glomerulus dan tubulus ginjal mencit (Mus musculus L.) yang diinduksi CCl4 (karbon tetraklorida) bahwa pemberian buah pepaya (Carica papaya L.) tidak memberikan pengaruh pada tingkat nekrosis epitel glomerulus ginjal

mencit (Mus musculus L.) yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl4) akan tetapi

memberikan pengaruh pada tingkat nekrosis epitel tubulus ginjal mencit yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Dosis yang paling baik mengurangi tingkat nekrosis epitel tubulus adalah dosis III (0,52 g/ mencit / hari).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chusniati et al., 2008, terhadap pengaruh pemberian biji pepaya (Carica papaya) terhadap gambaran histopatologi hepar ayam


(22)

yang diinfeksi telur cacing Ascaridia galli, disimpulkan bahwa pemberian biji pepaya dengan 1x dan 2x pemberian terhadap perubahan gambaran terhadap histopatologi hepar ayam tidak berbeda nyata diantara kedua perlakuan. Pemberian biji pepaya dengan tiga kali pemberian mengalami kerusakan degenerasi paling tinggi dibandingkan dengan pemberian biji pepaya dengan 1x dan 2x pemberian.

Pada biji pepaya terdapat kandungan berupa glucocide caricin dan carpain (Wijayakusumah dkk, 1995 dalam Ilham et al., 1999). Diduga zat yang terkandung dalam biji pepaya yang berperan adalah glucosinolat, yang merupakan bagian dari glucosida. Glucosida adalah zat yang mengandung gugus triterpenoid dan steroid (Trevor, 1995 dalam Ilham et al.,1999).

Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Secara kualitatif, berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya. Uji fitokimia triterpenoid lebih lanjut terhadap ekstrak kental n-heksana menggunakan pereaksi Liebermann–Burchard juga menunjukkan adanya senyawa golongan triterpenoid. Hal ini memberi indikasi bahwa pada biji pepaya terkandung senyawa golongan triterpenoid bebas (Sukadana et al., 2008).

2.2Testosteron Undekanoat

Testosteron Undekanoat merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisasi esternya. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisasi TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk komplek hormon-reseptor. Komplek hormon-reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA (Ilyas, 2008).

Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara


(23)

injeksi secara intramuskular. Ada juga TU dalam bentuk powder yang kadang- kadang dibungkus dengan kapsul. Testosteron undekanoat (Gambar 2.2) dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17β. TU ini merupakan steroid dengan 19

atom karbon dengan rumus kimia C19H28O2, serta nama kimianya adalah 17

betahydroxyandrost 4-en-3-one (Goodman & Gilman, 1980).

Gambar 2.2 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (TU) (Goodman & Gilman, 1980).

Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008).

Pada tikus waktu paruh yang tampak setelah pemakaian oral TU diplasma kurang lebih 100 menit. Hal ini memberi kesan adanya suatu asupan obat yang lambat ke dalam sirkulasi sistemik dan adalah konsisten dengan absorbsi limfatik yang bermakna (Noguchi, 1985). Pada manusia sebagai akibat dari perbedaan inter-individual yang besar, pemakaian oral TU dapat menginduksi kadar serum puncak antara 1-8 jam dengan rata-rata 4 jam (Ilyas, 2008).

2.3 Struktur Histologi Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan berkembang untuk beberapa fungsi, diantaranya: ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, serta berbagai hormon dan autokoid (Cotran et al., 2007; Maulana, 2010). Walaupun mempunyai banyak fungsi,

O

C-(CH

2

)

9

-CH

3

O


(24)

fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstraseluler dalam batas-batas normal (Wilson, 2005 dalam Maulana, 2010).

Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125 sampai 175 g pada laki-laki dan 115-155 g pada perempuan. Ginjal terletak di area yang tinggi, yaitu pada dinding abdomen posterior yang berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Organ ini merupakan organ retroperitoneal dan terletak di antara otot-otot punggung dan peritoneum rongga abdomen atas. Tiap-tiap ginjal memiliki sebuah kelenjar adrenal di atasnya. Ginjal kanan terletak agak di bawah dibandingkan ginjal kiri karena ada hati pada sisi kanan. Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat, yaitu Fasia renal, adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini mempertahankan ginjal pada struktur di sekitarnya dan mempertahankan posisi organ. Lemak perirenal, adalah jaringan adiposa yang terbungkus fasia ginjal. Jaringan ini mempertahankan posisi ginjal. Kapsul fibrosa (ginjal) adalah membran halus transparan yang langsung membungkus ginjal dan dapat dengan mudah dilepas (Sloane, 2003).

Ginjal memiliki sisi medial cekung dan permukaan lateral yang cembung. Sisi medial yang cekung, hilum, merupakan tempat masuknya saraf, keluar dan masuk pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter. Ginjal dapat dibagi menjadi korteks (bagian luar) dan medula (bagian dalam). Pada manusia, medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur berbentuk kerucut atau piramid, yaitu piramid medula. Dari dasar setiap piramid medula, terjulur berkas-berkas tubulus yang paralel, yaitu berkas medula, yang menyusup ke dalam korteks ((Junqueira & Carneiro, 2004).

Struktur internal ginjal terdiri dari (1) Hilus (hilum) adalah tingkat kecekungan tepi medial ginjal. (2) Sinus ginjal adalah rongga berisi lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini membentuk perlekatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri renalis, saraf dan limfatik. (3) Pelvis ginjal adalah perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian penghasil urin pada ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang


(25)

ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medula

dalam dan korteks luar. Medula terdiri dari masa-masa triangular yang disebut

piramida ginjal. Ujung yang sempit dari setiap piramida, papilla, masuk dengan pas dalam kaliks minor dan ditembus mulut duktus pengumpul urine. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang merupakan unit struktural dan fungsional ginjal. (5) Ginjal terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus terdiri dari satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan korteks yang melapisinya (Sloane, 2003).

Gambar 2.3. Struktur Ginjal dan Nefron (Noer, 2006; Hanifah, 2008).

Unit fungsional ginjal adalah nefron. Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yakni korpuskel renalis; tubulus kontortus proksimal; segmen tebal dan tipis ansa Henle; tubulus kontortus distal; dan tubulus dan duktus koligentes (Junqueira & Carneiro, 2004).

2.3.1Kapsula Bowman

Korpuskulus ginjal berdiameter sekitar 200-250 μm dan terdiri atas seberkas kapiler, yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut


(26)

kapsula Bowman. Ruangan dalam kapsula Bowman disebut ruang Bowman (ruang urinarius) yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan lapisan visceral (Gartner dan Hiatt, 2007 dalam Maulana, 2010).

Glomerulus adalah gulungan kapilar yang dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda disebut kapsul bowman. Glomerulus dan kapsul bowman bersama-sama membentuk sebuah korpuskel ginjal (Sloane, 2003).

2.3.2Tubulus Kontortus Proksimal

Panjangnya mencapai 15 mm dan sangat berliku (Sloane, 2003). Tubulus proksimal memiliki saluran yang selalu terpotong dalam berbagai bidang karena jalannya berkelok-kelok. Dindingnya terdiri atas selapis sel kuboid dengan batas-batas sel yang sukar dilihat. Intinya bulat, biru dan biasanya terletak agak berjauhan dengan inti sel disebelahnya. Sitoplasma berwarna asidofil. Dinding lateral sel tidak jelas. Permukaan sel yang menghadap lumen mempunyai batas sikat (brush border) (Gunawijaya & Kartawiguna, 2007).

Struktur ini merupakan segmen awal nefron berkelok-kelok yang timbul pada kutup urinarius badan ginjal dan selanjutnya menjadi segmen desenden lurus yang menembus medula dengan dangkal, dilanjutkan dengan bagian nefron yang dinamakan lengkung Henle. Lengkung henle lebih panjang dan lebih lebar daripada tubulus kontortus distal yang membentuk bagian terminal nefron (Junqueira, 1991).

2.3.3 Ansa Henle

Badan-badan ginjal yang lebih banyak terletak dekat dengan medula, glomeruli jukstamedula, menembus lengkung Henle lebih panjang yang menembus lebih jauh ke dalam medula dari pada badan-badan ginjal yang terletak dekat dengan kapsula yang tidak turun jauh ke dalam medula. Masing-masing lengkung henle berbentuk huruf U dan mempunyai segmen tipis yang di ikuti oleh segmen yang tebal (Junqueira, 1991).


(27)

Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa henle yang masuk ke dalam medula, membentuk lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik ke atas membentuk tungkai asenden ansa henle (Sloane, 2003).

2.3.4Tubulus Kontortus Distal

Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefron (Sloane, 2003).

Pada potongan histologis, perbedaan antara tubulus kontortus proksimal dan distal, keduanya terdapat dalam korteks dan mempunyai epitel kubis, didasarkan pada sifat-sifat berikut: sel-sel tubulus proksimal lebih besar, mempunyai brush border, dan lebih asidofil karena banyak mengandung mitokondria. Lumen tubulus distal lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih pendek dan lebih kecil dari pada sel-sel tubulus proksimal, pada potongan yang sama dinding tubulus distal terlihat lebih banyak sel dan lebih banyak inti. Sel-sel tubulus distal kurang asidofil dari pada sel-sel tubulus proksimal, dan tidak menunjukkan brush border atau mikrovili yang banyak (Junqueira, 1991).

2.3.5Tubulus dan Duktus Pengumpul

Setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Dari pelvis ginjal, urin di alirkan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2003).

2.3.6 Fungsi Ginjal

Fungsi utama ginjal adalah menyingkirkan buangan metabolisme normal, mengekskresi xenobiotik dan metabolitnya dan fungsi non ekskretori. Urin adalah jalur utama ekskresi toksikan sehingga ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus (Lu, 1994).


(28)

Fungsi-fungsi dasar dari ginjal; (1) regulasi volume, (2) keseimbangan asam-basa, (3) keseimbangan elektrolit, (4) ekskresi produk sampah dan (5) fungsi endokrin, termasuk pelepasan renin, eritropoetin, dan bentuk aktif dari vitamin D (Robbins & Kumar, 1995).

Glomerolus berfungsi sebagai filtrasi, merupakan saringan makro melekul yang selektif, sedangkan tubulus proksimal berfungsi untuk menyerap makromolekul, juga memiliki pompa natrium K-Na-ATPase yang berfungsi untuk transpor aktif ion natrium keluar sel (Jonqueira dan Carneiro,1980). Bila tekanan darah menurun, tekanan hidrostatik pada glomerulus juga menurun sehingga terjadi nekrosis tubulus (Hole, 1993 dalam Kartikaningsih, 2010).

Kerusakan pada tubulus dapat terjadi pada sel-sel epitel, antara lain mengalami degenerasi dan atrofi sehingga lumen melebar dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian nefron (Ressang, 1984 dalam Astuti, 2007). Pemberian senyawa tertentu yang bersifat toksik akan memberikan beban berlebih terhadap kerja ginjal terutama di daerah kapsul bowman sebagai filter utama. Hal ini sangat mungkin akan menimbulkan efek samping yang tidak di inginkan (Gani & Munir, 1992).

Penggunaan obat dari bahan alam dapat menimbulkan efek samping. Berdasarkan WHO dalam Widyastuti et al (2008), sampai dengan tahun 1995, telah dilaporkan lebih dari 5000 dugaan efek samping akibat pemakaian bahan alam. Pengobatan dengan tanaman obat di Cina dilaporkan memiliki efek toksik yang diakibatkan oleh kelebihan dosis, senyawa lain yang bersifat toksik dan kontaminan yang berbahaya masuk pada produk obat. Kasus lain juga dilaporkan, bahwa bahan alam yang dikombinasikan dengan obat lain mengakibatkan koagulasi (Ernts, 1998 dalam Widyastuti et al, 2008).


(29)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Oktober 2011 di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, mikrotom rotary, mikroskop, hotplate, blender, panci, beaker glass pyrex 1000 ml, freezer, inkubator, timbangan, jarum suntik York 1cc dan 3 ml, tube, jarum gavage, gelas ukur pyrex 500 ml, kaca arloji, botol balsem, bak bedah, dissecting set, jarum pentul, objek glas, cover glas, micrometer, kuas, skapel, chamber, camera digital.

Bahan yang digunakan adalah biji Carica papaya L., aquades, aqua bidestilata steril 500ml, mencit jantan (Mus musculus L.), Testosteron Undekanoat (TU) buatan Schering AG Jerman, Coeleum ricini, pewarna hematoxylin-eosin, canada balsem, xylol, larutan bouin (asam pikrat, formalin 4%, asam asetat glasial), NaCl 0,9%, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut, aluminium foil, kertas label, kertas millimeter blok, kertas saring.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan yang sehat dan fertil serta berumur 8-11 minggu dengan berat 24-26 g sebanyak 50 ekor, mencit tersebut diperoleh dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan Sumatera Utara Medan dan dibagi

dalam kelompok perlakuan dan kontrol. Mencit diberi makan dan minum secara

ad-libitum (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Kandang mencit dijaga kebersihannya dan kenyamanannya. Penanganan hewan percobaan sesuai dengan persyaratan kode etik


(30)

yang berlaku. Diantaranya penanganan dengan penuh kasih sayang, pemberian makanan yang cukup gizi dan sehat serta memperhatikan kebersihan kandangnya.

Sebelum penelitian dilakukan diajukan permohonan untuk mendapatkan ethical

clearance ke Komisi Etik Penelitian Hewan di Wilayah Sumatera Utara Medan.

3.3.2 Metode Penelitian

Model rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5 kontrol. Pada Kontrol, K0 sampai K4 merupakan kontrol dari masing perlakuan dengan jumlah mencit masing-masing 5 ekor. Pada Perlakuan, P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU interval 6 minggu dan pemberian ekstrak air biji pepaya 30 mg/0,5 ml/ekor/mencit jantan setiap hari secara oral.

Tabel 3.1. Rancangan Penelitian

Minggu Perlakuan 0 6 12 18 24

K.Kontrol K0 (n=5) K1 (n=5) K2 (n=5) K3 (n=5) K4 (n=5) K.Perlakuan P0 (n=5) P1 (n=5) P2 (n=5) P3 (n=5) P4 (n=5) Keterangan: K= kontrol, P= perlakuan dan n= ulangan

3.3.3 Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya

Pembuatan ekstrak air biji pepaya dilakukan berdasarkan penelitian terdahulu menurut Ilyas (2001). Ekstrak air biji pepaya disiapkan dengan mengumpulkan buah pepaya yang telah masak yang berasal dari Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan Komplek Adam Malik Kota Madya Medan, Sumatera Utara. Biji pepaya diambil lalu dicuci, dan dikeringkan dengan inkubator dengan suhu 50oC ± 3 hari. Biji yang telah kering dimasukkan kedalam blender lalu dihaluskan hingga diperoleh 30 g bubuk halus biji pepaya. 30 g bubuk yang telah halus kemudian di masukkan ke dalam bejana yang telah di isi air, selanjutnya dilakukan perebusan hingga mendidih dengan

suhu 900C, setelah mendidih hasil rebusan disaring dengan kertas saring hingga

diperoleh hasil dan residu. Residu yang diperoleh di rebus kembali, hingga diperoleh hasil dan residunya lagi, begitu seterusnya sampai residu tidak dapat dipergunakan kembali. Hasil rebusan dipanaskan hingga diperoleh rendaimen. Rendaimen yang dihasilkan kemudian dilarutkan kembali dengan aquabidestilata steril 500 ml sesuai dengan kebutuhan penelitian.


(31)

3.3.3Uji Skrinning Fitokimia Biji Pepaya

Uji skrinning fitokimia biji pepaya yang akan dilakukan meliputi pemeriksaan kandungan senyawa flavanoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Pemeriksaan senyawa ini sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan oleh Harborne (1987) yaitu:

a. Uji Flavanoid

Biji pepaya yang telah dibersihkan/dicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan

dimasukkkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi FeCl3, tabung II

ditetesi MgHCl, tabung III ditetesi H2SO4(p) dan tabung IV ditetesi NaOH 10%, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Warna merah atau jingga merupakan hasil positif adanya senyawa flavonoid

b. Uji Alkaloid

Biji pepaya yang telah dibersihkan/dicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi pereaksi Meyer, tabung II ditetesi pereaksi Wagner, tabung III ditetesi pereaksi Bouchard dan tabung IV ditetesi pereaksi Dragendorf, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Terbentuknya endapan putih keruh merupakan hasil positif adanya senyawa alkaloid.

c. Uji Steroid

Biji pepaya yang telah dibersihkan/dicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml n-heksan. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky (H2SO4)p, tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Warna hijau kebiruan merupakan hasil uji positif.


(32)

d. Uji Terpenoid

Biji pepaya yang telah dibersihkan/dicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml kloroform. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky (H2SO4)p, tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Warna cincin kecoklatan merupakan hasil positif.

3.3.4Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.)

Pemberian dosis testosteron undekanoat pada manusia disesuaikan dengan pemberian dosis pada manusia. Perbandingan berat relawan (50 kg=50.000 g) dengan mencit adalah (25 g) adalah 2000:1. Pada uji klinik digunakan 500 mg TU, maka dosis penyuntikan pada tiap ekor mencit adalah 1/2000x500 mg TU = 0,25 mg TU (Moeloek et al., 2004; Ilyas, 2007). Sedangkan ekstrak air biji pepaya 30 mg/0,5 ml/hari/mencit jantan (Ilyas, 2001). Interval waktu injeksi intramuskular TU 6 minggu dan pencekokan ekstrak air biji pepaya setiap hari. Kondisi penelitian terdiri dari lima (5) bagian perlakuan dan kontrol.

Perlakuan penyuntikan TU dan pemberian ekstrak air biji pepaya secara oral ditampilkan dalam bentuk skema pada Gambar 3.1 berikut

`

Gambar 3.1. Jadwal Kegiatan Pemberian TU+Ekstrak Air Biji Pepaya selama 24 minggu.

Injeksi TU 0,25 mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu Perlakuan Minggu ke

0 6 12 18 24

Pemberian ekstrak air biji pepaya (30 mg/0,5 ml/ekor/mencit jantan setiap hari)

0 6 12 18 24


(33)

Catatan: Dosis ekstrak air biji pepaya didasarkan pada dosis optimum penelitian Ilyas (2001) yakni 30 mg/0,5 ml/hari/mencit. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Federer (1963) (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t = jumlah perlakuan, dan n = jumlah ulangan. Jumlah perlakuan dalam penelitian ini adalah 5 sehingga didapatkan ulangan sebanyak 5 kali. Penggunaan dosis TU didasarkan pada penelitian sebelumnya yang

merekomendasikan pemakaiannya yakni 0,25 mg/mencit jantan/6 minggu (Moeloek et

al., 2008; Ilyas, 2007).

3.3.5 Pembuatan Preparat Histologis Ginjal Dengan Metode Parafin

Urutan-urutan kerja pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin berdasarkan Suntoro Handari (1983) sebagai berikut:

a. Fiksasi; setelah mencit (Mus musculus L.) didislokasi dan di bedah, diambil organ ginjal kemudian dicuci dengan larutan NaCl 0,9%, lalu difiksasi dengan menggunakan larutan bouin selama 1 malam.

b. Pencucian (washing); setelah ginjal difiksasi, dilakukan pencucian dengan

menggunakan alkohol 70% yang berguna untuk menghilangkan larutan fiksasi dari jaringan.

c. Dehidrasi; langkah ini dilakukan setelah proeses pencucian selesai, dengan

menggunakan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut. Botol yang berisi ginjal tersebut digoyang-goyangkan terus menerus (shaker) dengan menggunakan tangan agar proses dehidrasinya lebih cepat.

d. Penjernihan (clearing); penjernihan dilakukan dengan menggunakan perbandingan alkohol:xylol 3:1, 1:1, 1:3 masing-masing 1 jam dan berakhir di xylol murni diinapkan selama 1 malam.

e. Infiltrasi; proses infiltrasi dilakukan didalam oven dengan suhu 56o

f. Penanaman (embedding); setelah proses infiltrasi, selanjutnya dilakukan proses penanaman dalam parafin, sebelum melangkah ke proses ini yang harus disiapkan adalah mencairkan parafin, membuat kotak-kotak dari karton atau kalender bekas untuk tempat penanaman, menyiapkan lampu spiritus, menyediakan pinset kecil, C, menggunakan perbandingan xylol:parafin 3:1, 1:1, 1:3 dan berakhir diparafin murni masing-masing selama 1 jam. Proses ini dimaksudkan untuk menghindari perubahan lingkungan yang sangat mendadak terhadap jaringan tersebut.


(34)

dan menyediakan label. Setelah semuanya telah siap, proses embedding dimulai dengan menuangkan parafin yang telah cair kedalam kotak-kotak karton tadi, selanjutnya ambil organ tersebut dengan cepat dari parafin murni dengan menggunakan pinset kecil lalu dimasukkan ke dalam kotak yang telah berisi parafin cair tadi, biarkan hingga parafin menjadi keras sampai terbentuk blok-blok parafin.

g. Penyayatan (section); penyayatan atau pemotongan dilakukan dengan memotong

blok parafin yang telah ditempelkan pada holder kemudian dipasang pada mikrotom, lalu mikrotom diputar sampai blok parafin yang berisi organ tadi terpotong menjadi pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6-10 µm.

h. Penempelan (affiksing); penempelan dilakukan dengan mengambil beberapa pita

paraffin yang telah terpotong dengan menggunakan skapel, kemudian ditempelkan pada objek glass, lalu dicelupkan ke dalam air dingin (air biasa) kemudian ke dalam air panas. Lalu diletakkan diatas hotplate beberapa detik untuk melekatkan pita parafin ke objek glass.

i. Pewarnaan (staining); pewarnaan sediaan ginjal, diwarnai dengan menggunakan

pewarna Hematoxilin Eosin. Tahapan pewarnaannya adalah sebagai berikut: - Deparafinasi; dilakukan dengan mencelupkan objek glass yang telah berisi irisan

jaringan tadi ke dalam xylol selama ± 15 menit.

- Dealkoholisasi; dilakukan secara bertingkat dengan alkohol konsentrasi menurun, dengan alkohol absolut, alkohol 96%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%, alkohol 60%, alkohol 50% dan alkohol 30%.

- Pewarnaan; dilakukan dengan cara objek glass yang telah berisi irisan jaringan tadi dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxilin Erlich selama 3-7 menit, dicuci dengan air mengalir ± 10 menit, dimasukkan ke dalam alkohol 30%, 50%, dimasukkan ke dalam larutan pewarna eosin 0,5% dalam alkohol 70% selama 1-3 menit, preparat dimasukkkan berturut-turut ke dalam alkohol 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut, dikeringkan dengan kertas pengisap selanjutnya, preparat dimasukkan ke xylol.

j. Penutupan (mounting); dari xylol jaringan kemudian ditutup dengan cover glass setelah ditetesi dengan Canada balsam terlebih dahulu. Setelah itu diberi label dan diamati dibawah mikroskop.


(35)

3.4 Parameter pengamatan

3.4.1Pengamatan Morfologi dan Berat Ginjal Mencit

Setelah hewan didislokasi dan di bedah, diamati kelainan morfologis pada organ yang dimaksud meliputi warna ginjal, sedangkan untuk menentukan berat ginjal dilakukan dengan menimbang berat ginjal bagian kanan dan kiri mencit dengan timbangan. Kemudian berat kedua ginjal dirata-ratakan dan menjadi rata-rata ginjal masing-masing mencit.

3.4.2Pengamatan Preparat Histologis Jaringan Ginjal

Pengamatan preparat histologis jaringan ginjal dilakukan pada tiap-tiap perlakuan (0, 6, 12, 18, 24) . Pengamatan histologi ginjal mengikuti penelitian yang telah dilakukan oleh Sihardo (2006) dengan menghitung persentase kerusakan tubulus proksimal. Penghitungan kerusakan tubulus proksimal menggunakan rumus (n/m) x 100%, dimana n adalah jumlah tubulus proksimal yang telah menutup dalam satu lapangan pandang dan m adalah jumlah seluruh tubulus proksimal dalam satu lapangan pandang. Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ginjal, penghitungan dilakukan sampai 5 pergantian lapangan pandang yaitu pada bagian atas, bawah, tengah, dan antara tengah dengan bagian atas dan bawah preparat, dengan perbesaran 100x. Kemudian hasilnya dirata-ratakan untuk mendapatkan presentase derajat kerusakan ginjal disetiap mencit.

3.5 Analisa Data

Data yang didapat dari setiap parameter (variabel) pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang didapatkan, diuji kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variabel independen) dengan

bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 13. Urutan uji

diawali dengan uji normalitas, uji homogenitas, jika didapatkan data dengan distribusi normal dan homogen, maka di uji sidik ragam (ANOVA) dan jika p>0,05 pada kelompok kontrol dan perlakuan maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5%. Untuk melihat perbedaan 2 perlakuan dilakuan dengan uji t (paramatrik) atau Mann-Whitney (non-paramatrik).


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil berupa hasil uji skrining fitokimia biji pepaya (Carica papaya L.), gambaran morfologi ginjal, berat ginjal, serta gambaran histologi jaringan ginjal mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat (TU) selama 24 minggu.

4.1 Hasil uji skrining fitokimia biji pepaya (Carica papaya L.)

Dari hasil pengujian skrining fitokimia terhadap biji pepaya yang telah dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam (KBA) Departemen Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara diperoleh hasil uji sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil Uji Skrining Fitokimia

Sampel Uji Skrining Fitokimia Hasil Uji

Biji pepaya (Carica papaya L.)

Alkaloid +

Flavonoid -

Steroid +

Terpenoid +

Dari tabel uji skrining fitokimia diatas diperoleh hasil uji bahwa senyawa yang terdapat pada biji pepaya adalah golongan dari alkaloid, steroid, dan terpenoid. Sedangkan senyawa flavonoid tidak dihasilkan dalam pengujiian. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Robinson (1995) bahwa flavonoid terdapat pada seluruh dunia tumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Sukadana et al., (2008), hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Penelitian yang dilakukan oleh Satriyasa (2010), zat-zat aktif yang terkandung dalam fraksi heksan ekstrak biji pepaya lokal Bali yaitu golongan dari steriod dan triterpenoid, sedangkan


(37)

yang terkandung dalam fraksi methanol ekstrak biji pepaya muda lokal Bali yaitu dari golongan alkaloid.

Alkaloid biasanya didapati sebagai garam organik dalam tumbuhan dalam bentuk senyawa padat berbentuk kristal dan kebanyakan tidak berwarna. Berbagai perkiraan menyatakan bahwa persentase jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid terletak dalam rentang 15-30%. Konsentrasi alkaloid tertinggi yang pernah ditemukan ialah pada Senecio riddelii yang mengandung alkaloid 18%.

Menurut Simbala (2009), alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, sehingga banyak digunakan dalam pengobatan. Dapat bersifat optis aktif dan dalam proses ekstraksi dapat mengakibatkan isomerisasi sehingga alkaloid yang diperoleh berupa campuran resemik. Senyawa alkaloid pada tumbuhan seringkali dihubungkan dengan efek positif sebagai antioksidan dan mengurangi permeabilitas pembuluh darah. (Turana, 2003 dalam Widyastuti et al., 2008).

Senyawa steroid dalam tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C-3, sering kali semuanya disebut sterol. Senyawa ini sering terdapat tidak bebas tetapi sebagai turunan senyawa yang lebih rumit seperti glikosida (Robinson, 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Sukadana et al., (2008), secara kualitatif berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya. Secara alami terpenoid banyak terdapat dalam tumbuhan namun tidak dalam keadaan bebas, akan tetapi sebagai ester atau glikosida (Robinson, 1995).

Penggunaan ekstrak air biji pepaya sebagai alternatif bahan kontrasepsi pada pria, walaupun bersifat tradisional dan alami namun tidak dipungkiri bahwa keberadaan senyawa-senyawa fitokimia tersebut pada biji pepaya memberikan efek toksik terhadap ginjal walaupun dalam kerusakan yang minimal. Suatu bahan toksik yang masuk kedalam tubuh akan di absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.


(38)

Ginjal adalah organ ekskresi utama, sehingga seringkali mengalami kerusakan jika terpapar oleh zat-zat toksik.

Menurut Lu (1994), efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Pada umumnya, suatu bahan toksikan yang mempengaruhi organ sasaran didasari oleh kepekaan suatu organ, atau lebih tingginya kadar bahan kimia atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar yang lebih tinggi itu dapat meningkat pada berbagai keadaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Soeksmanto (2006) yang melihat pengaruh

ekstrak butanol buah tua mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jaringan

ginjal mencit (Mus musculus) menunjukkan hasil bahwa ekstrak butanol buah tua dari tumbuhan mahkota dewa sampai dosis 170 mg/kg berat badan yang diberikan dalam dosis tunggal, dijumpai adanya nekrosis ringan pada tubulus proksimalis namun relatif tidak mengganggu fungsi ginjal. Mahkota dewa yang dikonsumsi secara berlebihan dikhawatirkan dapat bersifat nefrotosik pada jaringan ginjal. Meskipun berat ginjal hanya 1% dari berat badan, tetapi ginjal secara terus menerus menerima sekitar 20% darah dari curah jantung. Hal tersebut menjadikan ginjal sangat peka terhadap bahan-bahan kimia berbahaya yang ada didalam sirkulasi darah.

4.2 Hasil gambaran morfologi ginjal

Hasil pengamatan gambaran morfologi ginjal kelompok kontrol dan perlakuan minggu ke 0, 6, 12, 18, 24 (K0, K1, K2, K3, K4 dan P0, P1, P2, P3, P4) dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(39)

Tabel 4.2 Gambaran morfologi ginjal kelompok kontrol dan perlakuan

Minggu Kontrol Perlakuan

(K0P0) Keterangan; Ginjal kelompok K0

memiliki berat 0,29 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah, di bagian bawah ujung ginjal terjadi penumpukan warna merah yang lebih terang. Konsistensi kenyal.

Keterangan; Ginjal kelompok P0 memiliki berat 0,25 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah kecoklatan. Konsistensi kenyal

(K1P1)

Keterangan; Ginjal kelompok K1 memiliki berat 0,21 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap kecoklatan. Konsistensi kenyal.

Keterangan; Ginjal kelompok P1 memiliki berat 0,29 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap. Konsistensi kenyal.

(K2P2) Keterangan; Ginjal kelompok K2

memiliki berat 0,34 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah dan sedikit lebih pucat dibandingkan dengan ginjal pada kelompok K0 dan K1. Konsistensi kenyal.

Keterangan; Ginjal kelompok P2 memiliki berat 0,31 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah pucat. Konsistensi kenyal.

(K3P3) Keterangan; Ginjal kelompok K3

memiliki berat 0,34 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap kecoklatan, hampir sama dengan ginjal pada kelompok K1. Konsistensi kenyal.

Keterangan; Ginjal kelompok P3 memiliki berat 0,38 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah pucat agak kecoklatan. Konsistensi kenyal.

(K4P4)

Keterangan; Ginjal kelompok K4 memiliki berat 0,42 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah segar. Tampak bahwa ginjal kelompok K4 lebih berat dibandingkan dengan kelompok K0, K1, K2, dan K3. Konsistensi kenyal.

Keterangan; Ginjal kelompok P4 memiliki berat 0,48 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah dan lebih pucat dibandingkan dengan kelompok P2 dan P3. Konsistensi kenyal.


(40)

Dari gambaran morfologi di atas antara kelompok kontrol dan perlakuan memiliki berat dan warna yang tidak jauh berbeda baik setelah diberi perlakuan atau pun tidak. Gambar di atas menunjukkan bahwa warna ginjal kelompok kontrol dan perlakuan memiliki warna yang tidak jauh berbeda, yaitu merah, merah kecoklatan, merah gelap kehitaman sampai merah pucat. Konsistensi ginjal kenyal dan permukaan ginjal licin. Ginjal dengan berat yang paling tinggi pada kelompok kontrol adalah pada minggu ke 24 (K4) memiliki berat 0,42 g, dan yang paling rendah pada kelompok kontrol adalah pada minggu ke 6 (K1) memiliki berat 0,21 g. Pada kelompok perlakuan minggu ke 24 (P4) memiliki berat ginjal tertinggi yaitu 0,48 g, sedangkan berat ginjal yang paling rendah pada kelompok perlakuan yaitu pada minggu ke 0 (K0) dengan berat 0,25 g.

Pada umumnya perubahan morfologi sulit diukur (Lu, 1994). Secara morfologi, ginjal kelompok kontrol dan perlakuan tidak jauh berbeda baik setelah diberi perlakuan atau pun tidak. Hal ini dikarenakan dosis ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat masih dapat ditolerir oleh ginjal mencit tersebut.

Menurut Ariens et al., (1993) dosis ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya eksposisi zat yang diberikan. Keberadaan suatu bahan yang bersifat toksik akan mempengaruhi kerja organ yang bersangkutan. Dalam hal ini, ginjal merupakan organ ekskresi utama. Ginjal mempunyai fungsi yang paling penting yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya, ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dengan filtrasi darah dan mensekresikanya dalam urin, sedangkan zat yang dibutuhkan kembali ke dalam darah (Syaifuddin, 2001). Peristiwa tersebut menyebabkan ginjal bekerja dengan sangat keras, sehingga dapat mempengaruhi perubahan berat dan morfologi ginjal. Akan tetapi kemampuan ginjal dalam mentolerir setiap bahan toksikan yang masuk kedalam tubuh, perubahan morfologi dan berat ginjal tidak begitu terlihat baik sebelum atau sesudah diberi perlakuan.

4.3 Hasil berat ginjal

Setelah dilakukan pembedahan, ginjal bagian kanan dan kiri mencit ditimbang dengan menggunakan timbangan, kemudian berat kedua ginjal dirata-ratakan dan menjadi rata-rata berat ginjal masing-masing mencit. Data rataan yang diperoleh dianalisis


(41)

secara statistik. Secara statistik setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians menunjukkan bahwa data berdistribusi normal p>0.05. Karena data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji 0neway anova. Data tetap berdistribusi normal p>0.05 maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5%. Hasil yang diperoleh tidak terdapat perbedaan berat ginjal mencit pada setiap minggu pengamatan (p>0.05). Rata-rata berat ginjal kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut

Gambar 4.1 Grafik rata-rata berat ginjal kelompok kontrol (K) disetiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

Dari grafik di atas, hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol minggu ke 0 (K0) hingga minggu ke 18 (K3) tidak berbeda nyata. Sedangkan kelompok kontrol pada minggu ke 24 (K4) berbeda nyata dengan kelompok kontrol pada minggu ke 0 (K0) dan kelompok kontrol pada minggu ke 6 (K1), akan tetapi tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol pada minggu ke 12 (K2) dan kelompok kontrol pada minggu ke 18 (K3). Persentase berat ginjal yang paling tinggi terjadi pada kelompok kontrol minggu ke 24 (K4) ± 0,33 g dan persentase berat ginjal yang terendah yaitu pada kelompok kontrol minggu ke 6 (K1) ± 0,18 g.

Pada kelompok perlakuan, setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian diperoleh hasil bahwa data berdistribusi normal p>0.05. Karena data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji 0neway anova. Data tetap

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

K0 K1 K2 K3 K4

B

e

r

at

Gin

jal

(g)

Lama Perlakuan (Minggu) KONTROL

6 12 18 24

a

a

ab


(42)

berdistribusi normal p>0.05 maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5%. Rata-rata berat ginjal perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut

Gambar 4.2 Grafik rata-rata berat ginjal kelompok perlakuan (P) disetiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05). Pada kelompok perlakuan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan minggu ke 0 (P0), minggu ke 6 (P1), dan minggu ke 12 (P2) tidak berbeda nyata. Sementara pada kelompok perlakuan minggu ke 18 (P3) dan minggu ke 24 (P4) tidak berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan kelompok perlakuan minggu ke 0 (P0). Persentase berat ginjal yang tertinggi terjadi pada perlakuan minggu ke 24 (P4) ± 0.34 g, sedangkan persentase berat ginjal yang terendah terjadi pada kelompok perlakuan minggu ke 0 (P0) ± 0,20 g.

Uji antar kelompok untuk membandingkan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan dengan uji T-Test. Hasil yang diperoleh tidak terdapat perbedaan berat ginjal mencit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p>0.05). Rata-rata berat ginjal kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

P0 P1 P2 P3 P4

B

e

r

at

Gin

jal

(g)

Lama Perlakuan (Minggu) PERLAKUAN

6 12 18 24

a

ab ab


(43)

Gambar 4.3 Grafik rata-rata berat ginjal antara kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P) di setiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (tn= p>0,05).

Pada kelompok kontrol dan perlakuan disetiap minggu pengamatan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol dan perlakuan K0P0, K1P1, K2P2, K3P3, dan K4P4 pada setiap minggu pengamatan tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata (p>0,05). Menurut Lu (1994), bila terjadi perubahan pada berat ginjal, bila dibandingkan dengan hewan kontrol, sering menunjukkan lesi ginjal. Lesi ginjal merupakan kerusakan jaringan karena gangguan fisik atau patologis.

Bila berat organ ginjal mengalami peningkatan seiring dengan lamanya perlakuan hal tersebut dapat terjadi karena adanya substansi seperti air dan lemak yang terjadi dalam sel sehingga volume sel akan bertambah dan akhirnya akan mempengaruhi berat organ hewan uji (Anggraini, 2008).

4.4 Gambaran hasil histologi tubulus proksimal ginjal

Setelah dilakukan pembuatan preparat histologi ginjal dengan metode parafin, maka dilakukan pengamatan histologi pada tubulus proksimal ginjal dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 100x. Pengamatan dilakukan dengan melihat tubulus proksimal ginjal abnormal. Dikatakan abnormal apabila terdapat pembengkakan

sel-0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

K0P0 K1P1 K2P2 K3P3 K4P4

B e r at Gin jal (g)

Lama Perlakuan (Minggu)

Kontrol Perlakuan

ab abab

b

6 12 18 24

tn tn tn tn tn a a b a ab b 0


(44)

sel penyusun epitel, sehingga lumen tubulus proksimal menjadi menyempit bahkan menutup. Gambaran histologi tubulus proksimal ginjal setelah pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron undekanoat (TU) dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

K0 P0

K1 P1

K2 P2

K3 P3

K4 P4

a a

a

a

b b

a a

b a

b

a

b

a c

a

b

a b

a c

a b

b

Gambar 4.2. Penampang melintang ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P) Pewarnaan HE, perbesaran 100x, 200µm. Pada kelompok

200 µm

200 µm

200 µm

200 µm

200 µm 200 µm

200 µm

200 µm

200 µm


(45)

Dari hasil pengamatan histologi ginjal diatas, hasil rata-rata persentase

kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit dianalisis dengan program SPSS release

13.0. Secara statistik pada kelompok perlakuan setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians menunjukkan bahwa data berdistribusi normal p>0.05. Karena data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji 0neway anova. Data tetap berdistribusi normal p>0.05 maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5%. Persentase tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok kontrol ditunjukkan dalam Gambar 4.4 berikut ini

Gambar 4.4 Grafik histologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok kontrol (K) di setiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

Dari grafik di atas, hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol minggu ke 0 (K0) hingga kelompok kontrol minggu ke 18 (K3) tidak berbeda nyata, sedangkan pada kelompok kontrol minggu ke 24 (K4) berbeda nyata dengan kelompok kontrol minggu ke 12 (K2) akan tetapi tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol minggu ke 0 (K0), 6 (K1), dan 18 (K3).

Pada kelompok perlakuan, setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian diperoleh hasil bahwa data tidak berdistribusi normal p<0.05. Karena data tidak berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji non parametrik

0 5 10 15 20 25 30 35 40

K0 K1 K2 K3 K4

T

u

b

u

lu

s P

roks

imal

Gin

jal

(%

)

Lama Perlakuan (Minggu) KONTROL

0 6 12 18 24

ab ab a


(46)

Friedman Test yang dilanjutkan dengan uji Wilcoxon. Persentase kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok perlakuan ditunjukkan dalam Gambar 4.5 berikut ini

Gambar 4.5 Grafik histologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) kelompok perlakuan (P) disetiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

Pada kelompok perlakuan, dari hasil uji statistik di atas menunjukkan bahwa kelompok perlakuan minggu ke 6 (P1) hingga kelompok perlakuan minggu ke 24 (P4) tidak berbeda nyata, sedangkan pada kelompok perlakuan minggu ke 0 (P0) berbeda nyata dengan kelompok perlakuan minggu ke 6 (P1). Persentase kerusakan tubulus proksimal ginjal pada kelompok perlakuan yang tinggi terjadi pada minggu ke 6 (P1).

Uji antar kelompok untuk membandingkan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan dengan uji T-Test. Persentase rata-rata kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut

0 10 20 30 40 50 60

P0 P1 P2 P3 P4

T

u

b

u

lu

s P

roks

imal

gi

n

jal

(%

)

Lama Perlakuan (Minggu) PERLAKUAN

0 6 12 18 24

ad

bc

ac


(47)

Gambar 4.6 Grafik histologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) antara kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P) di setiap minggu pengamatan. Huruf yang sama pada minggu pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (tn= p>0,05); (*=p<0,05).

Pada kelompok kontrol dan perlakuan disetiap minggu pengamatan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol dan perlakuan minggu ke 0 (K0P0) tidak berbeda nyata, demikian pula pada minggu ke 24 (K4P4) tidak berbeda nyata. Sedangkan antara kelompok kontrol dan perlakuan minggu ke 6 (K1P1), minggu ke 12 (K2P2), minggu ke 18 (K3P3) berbeda nyata dengan kelompok kontrol dan perlakuan minggu ke 0 (K0P0) dan minggu ke 24 (K4P4).

Persentase kerusakan histologi tubulus proksimal ginjal yang paling tinggi terjadi pada kelompok perlakuan minggu ke 6 (P1) mencapai ± 47%, dan persentase kerusakan tubulus proksimal ginjal yang terendah yaitu pada kelompok perlakuan minggu ke 0 (P0) ± 35%. Hal ini dikarenakan pada minggu ke 6 (P1) merupakan masa dimana mencit mengalami proses adaptasi terhadap bahan asing yang masuk ke dalam tubuhnya.

Menurut Robbins (1995), bahan kimia dan obat-obatan merupakan penyebab penting adaptasi. Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1% dari berat badan, meskipun demikian menerima sekitar 20% darah dari curah jantung. Aliran

0 10 20 30 40 50 60

K0P0 K1P1 K2P2 K3P3 K4P4

T u b u lu s P roks imal Gin jal ((% )

Lama Perlakuan (Minggu)

Kontrol Perlakuan ab ad ab bc a ac ac bc bc cd

0 6 12 18 24

tn

*

*

*


(48)

darah ginjal tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri ke glomerulus yang melekat pada tubulus. Fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus sebagai tempat mengkoleksi bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu tubuli dan jaringan interstitium korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang bersirkulasi dibandingkan dengan jaringan-jaringan lainnya (Soeksmanto, 2003).

Ginjal memiliki fungsi dalam pengaturan keseimbangan air, pengaturan konsentrasi garam dalam darah dan kesimbangan asam basa darah dan pengeluaran bahan buangan dan kelebihan garam (Irianto, 2004). Karena terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus proksimal, kadar toksikan pada tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Dengan demikian, tempat ini sering merupakan sasaran efek toksik (Lu, 1994). Kira-kira 65 persen dari semua reabsorbsi dan sekresi yang terjadi dalam sistem tubulus terjadi dalam tubulus proksimal. Sel-sel tubulus proksimal mempunyai tanda-tanda sel yang bermetabolisme tinggi, mempunyai banyak mitokondria untuk menyokong proses transpor aktif yang sangat cepat dan cukup tepat (Guyton dan Hall, 1997).

Tubulus nefron terutama tubulus kontortus proksimal mengabsorbsi substansi-substansi yang berguna bagi metabolisme tubuh. Suatu toksin setelah memasuki darah akan didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhubungan dengan aliran darah di organ tersebut, mudah tidaknya bahan tersebut melewati dinding kapiler membran sel, serta afinitas komponen organ tubuh terhadap bahan toksin tersebut. Kerusakan pada tubulus dapat terjadi pada sel-sel epitel, antara lain mengalami degenerasi dan atrofi sehingga lumen melebar dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian nefron (Ressang, 1984 dalam Astuti, 2007).

Ginjal tersusun dari beberapa juta unit fungsional (nefron) yang akan melakukan ultrafiltrasi, reabsorpsi dan ekskresi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian besar air, ion-ion dan molekul-molekul dengan berat rendah. Ultrafiltrat hasil ultrafiltrasi ini, dialirkan ke tubulus proksimal untuk direabsorpsi melalui brush border dengan mengambil bahan-bahan yang diperlukan tubuh seperti gula,


(49)

asam-asam amino, vitamin dan sebagainya. Sisa bahan-bahan buangan yang tidak diperlukan disalurkan ke saluran penampung (collecting tubulus) dan diekskresikan sebagai urin yang dikeluarkan setiap harinya (Maxie, 1985 dalam Soeksmanto, 2006).

Diduga pemberian dosis ekstrak air biji pepaya 30 mg/0,5 ml/ekor/mencit jantan/setiap hari secara oral dan injeksi testosteron undekanoat (TU) secara intra muskular sebanyak 0,25 mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu sekali yang dilakukan pada penelitian ini, tidak mengakibatkan kerusakan yang mengganggu proses fungsional ginjal, sehingga memungkinkan ginjal untuk segera memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi, terlihat pada gambar 4.6 di atas pada minggu ke 12, 18, dan 24 bahwa persentase kerusakan tubulus proksimal ginjal mengalami penurunan walaupun dalam perbaikan yang minimal akan tetapi dikhawatirkan dapat bersifat nefrotoksik pada jaringan ginjal jika diberikan dalam waktu yang lebih lama lagi.

Menurut Di Bartola (1981) dalam Soeksmanto (2006), bila proses keracunan dihentikan pada tahap awal kerusakan ginjal, maka proses nefrotoksik akan segera berhenti dan ginjal akan melakukan perbaikan fungsinya secara sempurna. Menurut Huxtable (1988) dalam Soeksmanto (2006), ginjal yang terkena bahan nefrotoksik akan melakukan perbaikan utama pada 1 sampai 2 minggu fase penyembuhan dan perbaikan dapat terus berlangsung hingga 12 bulan atau sampai fungsi ginjal normal kembali. Menurut Skopicki dkk., (1996) dalam Soeksmanto (2006), bahan nefrotoksik yang masuk kedalam ginjal mungkin akan memperpanjang masa toksisitasnya sampai bahan-bahan tersebut mengalir keluar dari tubulus proksimal brush border. Diduga pemberian 30 g/0,5 ml/ekor/mencit jantan setiap hari dosis ekstrak air biji pepaya dan 0,25 mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu sekali dosis testosteron undekanoat (TU) dalam penelitian ini hanya terjadi kerusakan minimal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal.


(50)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemberian esktrak air biji pepaya (Carica papaya L.) secara oral dengan dosis 30 mg/0,5 ml/ekor/mencit jantan setiap hari dan penyuntikan testosteron undekanoat (TU) secara intra muskuluar (IM) dengan dosis 0,25 mg/ekor/mencit jantan interval 6 minggu dapat menimbulkan kerusakan histologi pada ginjal dengan kerusakan minimal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) namun tidak merusak struktur morfologi dan mempengaruhi berat ginjal mencit.

5.2SARAN

Adanya penelitian lanjutan dengan parameter pemeriksaan kadar kreatinin urin atau kreatinin serum terhadap ginjal.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. 1992. Pengaruh penyuntikan ekstrak biji pepaya gandul (Carica papaya L.) terhadap sel-sel spermatogenik mencit dan jumlah anak hasil perkawinannya. Tesis Magister Sains. Biologi Kedokteran, Jakarta: Universitas Indonesia.

Anggraini, D, R. 2008. Gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal

mencit akibat pemberian plumbum asetat. Tesis Magister Kesehatan Program Studi Ilmu Biomedik. Pasca Sarjana, Medan: Universitas Sumatera Utara.

Ariens, E, J. Mutschler, E. Simonis A, M. 1993. Toksikologi Umum Pengantar.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Astuti, W, Rismawati, D, Hidayati, S, Suntoro, H. 2007. Pemanfaatan mindi (Melia azedarach L.) sebagai anti parasit Trypanosoma evansi dan dampaknya terhadap struktur jaringan hepar dan ginjal mencit. Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Chusniati, S, et al. 2008. Pengaruh pemberian biji pepaya (Carica papaya) terhadap

gambaran histopatologi hepar ayam yang diinfeksi telur cacing Ascaridia

galli. Journal Of Poultry Diseases1 (1): 35.

Federer, W. Y. (1963). Experimental Design. Theory and Aplication. New York:

Mac.Millan Publishing.

Gani, Y dan Munir, W. 1992. Pengaruh tamoxifen terhadap struktur ginjal dan

hipofisa mencit (Mus Musculus). Jurnal Matematika dan Pengetahuan Alam

2 (1): 50.

Goodman dan Gilman. 1980. The Pharmaceutical Basis of Therapeutics. Edisi

keenam. Macmillan Publishing Co. Inc. New York.

Gunawijaya, A, F, Kartawiguna, E. 2007. Penuntun Praktikum Kumpulan Foto

Mikroskopik Histologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Guyton A. C. dan Hall J. E. 1997. Pembentukan Urin oleh Ginjal. Dalam: Guyton A. C. dan Hall J. E. (editor). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hanifah, L. 2008. Pengaruh pemberian buah pepaya (Carica papaya. L) terhadap tingkat nekrosis epitel glomerulus dan tubulus ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi CCl4 (karbon tetraklorida). Skripsi Jurusan biologi Fakultas sains dan teknologi. Malang: Universitas Islam Negeri Malang.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


(1)

LAMPIRAN C. Alat dan bahan penelitian

Dissecting set Bak bedah

Tempat fiksasi organ ginjal Oven Mikrotom rotary

Carica papaya L. Ekstrak air biji pepaya Tempat pemeliharaan

hewan percobaan

Hewan percobaan (Mus musculus L.)


(2)

LAMPIRAN D. Prosedur pembuatan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) (Ilyas, 2001)

dibersihkan/dicuci

dikeringkan dalam incubator dengan suhu 500 diblender hingga halus

C ± 3 hari

dimasukkan ke dalam bejana/panci ditambahkan air

direbus di atas hotplate hingga mendidih dengan suhu 900 disaring dengan kertas saring

C

direbus kembali hingga tidak dapat dipergunakan lagi

dipanaskan hingga diperoleh rendaimen

rendaimen dilarutkan kembali dengan 500 ml aquabidestilata sesuai dengan kebutuhan penelitian

Biji pepaya

(Carica papaya L.)

Residu


(3)

LAMPIRAN E. Prosedur uji skrining fitokomia biji pepaya (Carica papaya L.) (Harborne, 1987)

a. Uji flavonoid

dikeringkan dihaluskan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol dipanaskan hingga ¼ volume awal kemudian disaring

dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi

tabung I ditetesi FeCl3, tabung II ditetesi MgHCl, tabung III

ditetesi H2SO4

diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat hasilnya

(p), tabung IV ditetesi NaOH 10%, masing-masing sebanyak 3-5 tetes

b. Uji Alkaloid

dikeringkan dihaluskan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol dipanaskan hingga ¼ volume awal kemudian disaring

dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi

tabung I ditetesi pereaksi Meyer, tabung II ditetesi pereaksi wagner , tabung III ditetesi Bouchard, tabung IV ditetesi 3 gr biji pepaya

(Carica papaya L.)

Hasil

3 gr biji pepaya


(4)

c. Uji Steroid

dikeringkan dihaluskan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol dipanaskan hingga ¼ volume awal kemudian disaring

dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi

tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky

H2SO4(p), tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing-masing sebanyak 3-5 tetes diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat hasilnya

d. Uji Terpenoid

dikeringkan dihaluskan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol dipanaskan hingga ¼ volume awal kemudian disaring

dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi

tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky

H2SO4(p), tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing-masing sebanyak 3-5 tetes diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat hasilnya 3 gr biji pepaya

(Carica papaya L.)

Hasil

3 gr biji pepaya

(Carica papaya L.)


(5)

LAMPIRAN F. Prosedur pembuatan histologi ginjal metode parafin (Suntoro Handari, 1983)

difiksasi dengan larutan bouin selama 1 malam dicuci (washing) dengan alkohol 70%

didehidrasi dengan alkohol bertingkat 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, & alkohol absolute masing-masing ± 1 jam

dijernihkan/penjernihan (clearing) menggunakan xilol selama 24 jam diinfiltrasi dalam oven pada suhu 560

ditanam/penanaman (embedding) dilakukan penyayatan/pemotongan (section) menggunakan mikrotom

rotary dengan ketebalan 6-10 µm ditempel/penempelan (affiksing) pada slide

diwarnai/pewarnaan (staining) menggunakan pewarnaan hematoxilin eosin (HE)

ditutup/penutupan (mounting) menggunakan cover glass

C menggunakan perbandingan xylol:parafin 3:1, 1:1, 1:3 dan berakhir di parafin murni masing-masing selama 1 jam

Organ ginjal


(6)

LAMPIRAN G. Prosedur pengamatan preparat histologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) (mengikuti metode Sihardo, 2006)

diletakkan dibawah mikroskop

dihitung jumlah tubulus proksimal ginjal yang telah menutup dalam satu lapangan pandang dan jumlah seluruh tubulus proksimal dalam satu lapangan pandang (n/m) x 100% dengan perbesaran 100x dilakukan sampai 5 pergantian lapangan pandang

hasil dirata-rata kan untuk mendapatkan presentase derajat kerusakan ginjal di setiap mencit.

data yang terkumpul dianalisis dengan program SPSS release 13.0 Preparat histologi

ginjal


Dokumen yang terkait

Penentuan Lc50 Ekstrak Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

1 60 75

Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

0 83 76

Uji Antimuagenik Ekstrak Etanol Bunga Jantan Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Jantan yang Diinduksi dengan Siklofosfamid

3 63 76

Pengaruh Vitamin E Terhadap Pemulihan Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) Yang Mendapat Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (TU)

1 49 94

Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Mendapat Kombinasi Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (TU)

3 88 72

Pemulihan Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) dengan Vitamin C setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU).

0 55 85

Studi Testosteron Plasma, Kuantitas Dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Kombinasi Hormon Testosteron Undekanoat (Tu) Dan Ekstrak Air Biji Blustru (Luffa Aegyptica Roxb.)

1 43 100

Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) - Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

0 0 9

ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) SKRIPSI GUSTIKA MARYATI 070805013

0 0 13