Analisis pemasaran kayu hutan rakyat di kecamatan leuwisadeng, cigudeg, dan jasinga

ANALISIS PEMASARAN KAYU HUTAN RAKYAT DI
KECAMATAN LEUWISADENG, CIGUDEG, DAN JASINGA

MAULIDA OKTAVIARINI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pemasaran
Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Maulida Oktaviarini
NIM E14100060

ABSTRAK
MAULIDA OKTAVIARINI. Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di
Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga. Dibimbing oleh HANDIAN
PURWAWANGSA.
Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif yang berperan penting dalam
pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pengelolaan kayu dan kebutuhan kayu.
Pembangunan hutan rakyat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat serta
meningkatkan produktivitas lahan. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga menunjukkan terdapat beberapa pelaku
pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat diantaranya adalah
petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan industri penggergajian. Dari ketiga
pelaku pemasaran tersebut, terbentuk empat saluran pemasaran yang
dikelompokkan berdasarkan pelaku pemasaran dan jarak sarad rata-rata. Saluran
yang paling efisien diantara keempat saluran tersebut adalah saluran II dengan
persentase farmer’s share sebesar 46.93% dan rasio K/B sebesar 5.45. Jenis

tanaman yang paling disukai oleh petani dan konsumen adalah jenis sengon hal ini
dikarenakan sengon memiliki umur panen yang singkat, mudah tumbuh, dan
pembudidayaannya mudah. Konsumen menyukai jenis tanaman ini karena harga
sengon yang terjangkau, kayu tidak mudah keropos, dan banyak tersedia di
pasaran.
Kata kunci: hutan rakyat, pemasaran, farmer’s share

ABSTRACT
MAULIDA OKTAVIARINI. The Analysis of Private Timber Marketing in Subdistrict Leuwisadeng, Cigudeg, and Jasinga. Supervised by HANDIAN
PURWAWANGSA.
The private forest is one of alternatives that played an important role in
fulfillment of a need raw materials management industry wood and the needs of
wood. Development of private forest can improve the people and land revenue
increase productivity. Research conducted in sub-district Leuwisadeng, Cigudeg,
and Jasinga shows that there are some marketing actors involved in marketing
wood of the private forest of them are farmers, traders, and sawmill industries.
The marketing of the three actors formed four marketing channels are grouped
based marketing actors and average skidding distance. Channels that most
efficient among fourth the channels is a channels II with the percentage of
farmer’s share as 46.93 % and the ratio of K/B by 5.45. Types of plants most

favored by farmers and consumers is the type of sengon it because sengon having
a short, the age of harvest readily grows, and easy cultivation. The consumer likes
kind of plant is because sengon have reachable prices, sengon not easily bad
condition wood and widely available in market.
Key words: private forest, marketing, farmer’s share

ANALISIS PEMASARAN KAYU HUTAN RAKYAT DI
KECAMATAN LEUWISADENG, CIGUDEG, DAN JASINGA

MAULIDA OKTAVIARINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan
Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga
Nama
: Maulida Oktaviarini
NIM
: E14100060

Disetujui oleh

Handian Purwawangsa, SHut, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc Forst Trop
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah pemasasaran
kayu hutan rakyat, dengan judul Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di
Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Handian Purwawangsa, SHut,
MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, arahan, pembelajaran,
dan waktu kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengumpulan data dalam skripsi
ini baik data primer maupun data sekunder. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
dukungannya. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dan
bantuan rekan-rekan Manajemen Hutan 47 Fakultas Kehutanan IPB.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Maulida Oktaviarini


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Rumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu penelitian


2

Alat dan Bahan

2

Jenis dan Sumber Data

3

Pengumpulan Data

3

Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN


5

Karakteristik Responden

5

Petani Hutan Rakyat

5

Pedagang Pengumpul Kayu Hutan Rakyat

12

Industri Penggergajian

13

Analisis Saluran Pemasaran


16

Analisis Marjin Pemasaran

19

Analisis Efisiensi Pemasaran dan Farmer's Share

21

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran


23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok umur
5
Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal
6
Karakteristik petani responden berdasarkan status usaha hutan rakyat
7
Karakteristik petani responden berdasarkan kelas pendapatan per bulan
7
Rekapitulasi asal pendapatan petani hutan rakyat
8
Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing
kecamatan lokasi penelitian
8
7 Persentase bentuk penjualan kayu oleh responden petani hutan rakyat
9
8 Persentase sistem penjualan kayu hutan rakyat oleh petani responden
10
9 Persentase sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden
10
10 Target dan kapasitas produksi industri penggergajian responden
14
11 Marjin dan farmer’s share masing-masing saluran pemasaran
19

DAFTAR GAMBAR
1 Tegakan hutan rakyat (a) sengon di Leuwisadeng (b) kayu afrika di
Cigudeg (c) sengon di Jasinga
2 Bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani responden (a) pohon
berdiri (b) kayu bulat (c) kayu gergajian (balken)
3 Tanaman trubusan yang kerap dimanfaatkan sebagai tanaman regenerasi
oleh petani
4 Proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu pertukangan
5 Produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian (a) kayu
pertukangan (b) kulit kayu (c) serbuk gergajian
6 Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di lokasi penelitian

8
9
12
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakteristik usaha hutan rakyat petani responden
2 Karanteristik responden pedagang pengumpul
3 Karanteristik usaha pedagang pengumpul
4 Karakteristik responden industri penggergajian (sawmill)
5 Karakteristik usaha industri penggergajian (sawmill)
6 Karakteristik produk industri penggergajian (sawmill)
7 Rincian saluran pemasaran I
8 Rincian saluran pemasaran II
9 Rincian saluran pemasaran III
10 Rincian saluran pemasaran IV
11 Marjin, rasio K/B, dan farmers’s share masing-masing saluran pemasaran

25
27
27
28
28
29
32
33
34
35
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Departemen Kehutanan (2007), salah satu permasalahan utama
yang dihadapi oleh industri perkayuan Indonesia adalah berkurangnya pasokan
bahan baku kayu dari hutan alam. Hutan alam yang ada saat ini belum bisa
memenuhi kebutuhan bahan baku kayu sehingga dibutuhkan pasokan bahan baku
kayu dari sumber lain selain hutan alam. Pembangunan dan penyempurnaan tata
usaha kayu hutan rakyat menjadi salah satu solusinya.
Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal
0.25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman
lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman
sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Usaha hutan rakyat dapat
dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar
kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat
(Kementerian Kehutanan 2012).
Fungsi lain dari hutan rakyat selain sebagai salah satu alternatif yang
berperan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pengelolaan kayu
adalah meningkatkan pendapatan masyarakat serta meningkatkan produktivitas
lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan dan
buah-buahan. Tidak hanya itu, hutan rakyat juga memiliki fungsi ekologi yang
tidak kalah penting dari fungsi ekonomi dan sosialnya yaitu memperbaiki
peresapan air ke dalam tanah, menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan,
dan perlindungan sumber air.
Sifat dari hasil produksi hutan rakyat (kayu rakyat) di antaranya volume
atau jumlahnya yang relatif kecil, letaknya yang bertebaran pada kondisi topografi
yang sulit, jauh dari konsumen/pabrik dan industri kayu lainnya, kualitas kayu
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kualitas yang diharapkan oleh
konsumen dan waktu panen yang tidak menentu (Sugiharto dalam Rosnawati
2004). Letaknya yang bertebaran pada kondisi topografi yang sulit dan jauh dari
konsumen/pabrik dan industri kayu lainnya memungkinkan adanya keterlibatan
pelaku lain dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu pedagang pengumpul
(tengkulak) yang berperan menghubungkan petani dengan konsumen kayu rakyat.
Kurangnya informasi petani mengenai pasar membuat pedagang pengumpul
menjadi pihak yang memiliki peran penting dalam penentuan harga kayu. Hal ini
mengakibatkan kerugian di pihak petani sehingga petani mendapatkan keuntungan
yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pelaku pemasaran yang lainnya.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis kayu apa yang banyak diminati oleh pasar?
2. Bagaimana saluran pemasaran yang terjadi pada pengusahaan kayu hutan
rakyat dan saluran pemasaran yang bagaimanakah yang paling efisien?

2
3. Bagaimana pembagian keuntungan (sharing profit) yang didapatkan oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi jenis kayu yang banyak diminati oleh pasar.
2. Mengidentifikasi saluran pemasaran yang terjadi pada pengusahaan kayu hutan
rakyat dan menentukan saluran pemasaran yang paling efisien.
3. Mengidentifikasi pembagian keuntungan (sharing profit) pada pihak-pihak
yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah
daerah maupun lembaga ekonomi yang berkaitan dengan pemasaran kayu rakyat
dalam menentukan jenis pohon yang harus ditanam apabila melakukan kegiatan
reboisasi serta memberikan informasi kepada petani hutan rakyat mengenai
strategi-strategi pemasaran maupun upaya pengelolaan hutan rakyat yang baik dan
benar untuk meningkatkan produktivitas dan mendapatkan keuntungan yang
merata dengan pelaku dalam rantai pemasaran lainnya.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor yaitu
Kecamatan Jasinga, Cigudeg, dan Leuwisadeng. Penelitian ini dilaksanakan pada
Bulan Mei 2014 sampai Juli 2014.

Alat dan Bahan

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Alat tulis
Papan jalan
Kuesioner
Kalkulator
Kamera digital
Program Microsoft Word dan Microsoft Excel 2010.

3
Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara secara
langsung pada lembaga pemasaran terkait seperti petani hutan rakyat, pedagang
pengumpul, dan pemilik industri penggergajian (sawmill). Data sekunder
diperoleh melalui studi literatur yang berasal dari buku, skripsi, data yang berasal
dari internet dan instansi terkait.

Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan wawancara terhadap
petani yang memiliki hutan rakyat serta pelaku pemasaran lainnya yang juga
meliputi pedagang pengumpul dan pemilik industri penggergajian (sawmill).
Penentuan responden petani hutan rakyat dilakukan secara snowball sampling,
sedangkan pada industri penggergajian (sawmill) dipilih secara purposive
sampling dengan pertimbangan keterwakilan jumlah mesin penggergajian. Untuk
penentuan responden pedagang pengumpul dilakukan dengan teknik convenience
sampling. Jumlah responden petani hutan rakyat berjumlah 30 orang dengan
pembagian sebanyak 10 orang pada setiap kecamatan. Jumlah responden pelaku
pemasaran lainnya sebanyak 10 orang yaitu pedagang pengumpul sebanyak 4
orang dan pemilik industri penggergajian (sawmill) sebanyak 6 orang dengan
pembagian sebanyak 2 industri pada setiap kecamatan.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif guna
menjawab semua tujuan yang diinginkan.
a. Analisis saluran pemasaran
Saluran pemasaran dapat dianalisis dengan melakukan pengamatan terhadap
pelaku pemasaran yang ada. Setiap pelaku pemasaran akan membentuk saluran
pemasaran yang berbeda, yang akan mempengaruhi besarnya bagian harga yang
diterima oleh setiap pelaku. Menurut Febriani (2013), beberapa faktor yang
dipertimbangkan dalam memilih saluran pemasaran yaitu:
1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen akhir dengan melihat pembeli
potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pesanan, dan kebiasaan
pembeli.
2. Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, berat, tingkat
kerusakan, dan sifat teknis barang untuk memenuhi pesanan atau pasar.
3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi sumber permodalan,
pengawasan, penyaluran, pelayanan, dan pengalaman penjualan.
4. Pertimbangan terhadap lembaga pemasaran yang meliputi pelayanan lembaga
pemasaran, kesesuaian lembaga pemasaran dengan kebijaksanaan perusahaan,
dan pertimbangan biaya.

4
b. Analisis marjin
Marjin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan
dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Besarnya marjin
pemasaran pada dasarnya juga merupakan penjumlahan dari biaya-biaya
pemasaran dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran. Secara matematis
dirumuskan :
Mi = Psi - Pbi
Mi = ci + πi
Keterangan :
Mi
= marjin pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3)
Psi
= harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3)
Pbi
= harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3)
Ci
= biaya pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3)
πi
= keuntungan pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3)
c. Analisis efisiensi pemasaran dan farmer’s share
Efisiensi pemasaran dapat diketahui dari rasio K/B (keuntungan terhadap
biaya-biaya pemasaran) pada masing-masing lembaga pemasaran. Rasio K/B
(keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran) dirumuskan :
asio euntungan ia a

πi
i

Besar kecilnya rasio K/B (keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran)
belum tentu dapat menggambarkan efisiensi pemasaran, sehingga indikator lain
yang digunakan adalah memperbandingkan bagian harga yang diterima oleh
petani (farmer’s share).
Farmer’s share merupakan bagian pendapatan yang diterima petani dari
kegiatan pemasaran. Analisis farmer’s share digunakan untuk membandingkan
persentase dari harga yang dibayar konsumen terhadap harga yang diterima petani
(Limbong et al. 1985 dalam Febriani 2013). Semakin tinggi harga yang diterima
konsumen dari lembaga pemasaran (pedagang), maka persentase yang diterima
oleh petani semakin sedikit. Hal ini dikarenakan adanya hubungan negatif antara
marjin pemasaran dengan bagian yang diterima petani. Secara matematis farmer’s
share dihitung sebagai berikut :
s

f
r

Keterangan :
Fs
= persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir
Pf
= harga di tingkat petani
Pr
= harga di tingkat konsumen akhir.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Pelaku pemasaran kayu hutan rakyat yang menjadi responden dalam
penelitian ini meliputi petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan pemilik
industri penggergajian (sawmill) yang ada di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg,
dan Jasinga. Berikut uraian karakteristik dari masing-masing pelaku pemasaran
yang terkait.

Petani Hutan Rakyat
Kelompok Umur
Responden petani dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat di
Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga yang memiliki hutan rakyat
dengan luas minimal 0.25 hektar. Jumlah responden petani sebanyak 30 orang
yang terbagi sebanyak 10 orang pada setiap kecamatan. Karakteristik dari petani
hutan rakyat ini mencakup usia, tingkat pendidikan, status usaha hutan rakyat,
pendapatan, dan luas hutan rakyat yang dimiliki.
Tabel 1 Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur (tahun)
21–30

31–40

41–50

51–60

> 60

Jumlah
(orang)

Leuwisadeng

0

1

6

3

0

10

Cigudeg

1

4

3

2

0

10

Jasinga

1

1

3

4

1

10

Jumlah (orang)

2

6

12

9

1

30

6.67

20.00

40.00

30.00

3.33

100

Kecamatan

Persentase (%)
Sumber: data primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa pengelolaan hutan rakyat di 3 lokasi penelitian
banyak dilakukan oleh responden dengan usia di atas 40 tahun (dengan persentase
sebesar 73.33%), sedangkan untuk responden dengan kelompok umur 21–40
tahun hanya sebesar 26,67%. Rendahnya jumlah persentase responden petani
hutan rakyat pada kelompok umur produktif (21–40 tahun) disebabkan generasi
muda yang ada telah memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan para generasi tua. Tingginya tingkat pendidikan ini dimotivasi oleh
keinginan para generasi muda untuk mendapatkan pekerjaan lain yang dianggap
lebih layak dibandingkan dengan menjadi petani hutan rakyat di desa. Namun
tidak menutup kemungkinan bahwa generasi muda yang memiliki tingkat
pendidikan rendah juga memilih untuk mencari pekerjaan lain selain menjadi
petani, hal ini dikarenakan semakin rendahnya minat dan kemauan generasi muda
untuk meneruskan pekerjaan orang tua mereka sebagai petani hutan rakyat.
Rendahnya minat dan kemauan untuk menjadi petani hutan rakyat ini diakibatkan

6
oleh pemikiran masyarakat yang sering menganggap bahwa dengan bertani hutan
rakyat tidak akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan formal sebagian besar petani hutan rakyat masih
tergolong rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah responden yang hanya
mengenyam pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) yang mencapai 86.67% dan
responden yang tidak bersekolah sebesar 3.33%. Tingkat pendidikan formal petani
responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah

SD

SLTP

SLTA

PT

Jumlah
(orang)

Leuwisadeng

1

7

1

1

0

10

Cigudeg

0

10

0

0

0

10

Jasinga

0

9

1

0

0

10

Jumlah (orang)

1

26

2

1

0

30

3.33

86.67

6.67

3.33

0.00

100

Kecamatan

Persentase (%)
Sumber: data primer

Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan petani hutan rakyat bisa
disebabkan oleh banyaknya responden yang berusia di atas 40 tahun, hal ini
disebabkan saat para responden masih muda (pada usia sekolah) tingkat
pendidikan SD sudah dianggap tinggi dan cukup sehingga banyak dari mereka
yang tidak melanjutkan pendidikan. Faktor lain yang menjadi penyebab
rendahnya tingkat pendidikan formal petani hutan rakyat adalah faktor ekonomi
dan faktor jarak tempuh sekolah yang jauh dari tempat tinggal petani.
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dapat mempengaruhi
keberhasilan suatu usaha yang dijalankan serta berpengaruh dalam pengambilan
keputusan (Meryani 2008). Rendahnya tingkat pendidikan serta keterbatasan
keterampilan yang dimiliki petani hutan rakyat inilah yang menjadi salah satu
penghambat bagi petani untuk mendapatkan pekerjaan lain pada saat ini, sehingga
menjadi petani hutan rakyat dianggap sebagai alternatif yang tepat untuk dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Berdasarkan pengamatan dilapang,
responden dengan tingkat pendidikan SD dan tidak bersekolah lebih cenderung
mendapatkan harga jual kayu yang lebih rendah dibandingkan dengan responden
yang tingkat pendidikannya SLTP ataupun SLTA. Hal ini dikarenakan responden
dengan tingkat pendidikan rendah cenderung kurang memahami perkembangan
pasar. Kurangnya pengetahuan para petani inilah yang biasanya dijadikan
kesempatan oleh para pedagang pengumpul untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih dibandingkan dengan harga normal.
Status Usaha Hutan Rakyat
Status usaha hutan rakyat sebagian besar petani responden adalah sebagai
pekerjaan utama yaitu sebanyak 23 orang (76.67%) dan 7 orang lainnya (23.33%)
menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan dengan
pekerjaan utamanya adalah buruh di bidang kehutanan maupun pertanian,

7
pedagang, dan pemilik gilingan padi. Hal ini menandakan bahwa bertani hutan
rakyat masih dianggap sebagai salah satu mata pencaharian favorit yang mudah
dilakukan dengan ketrampilan yang minimal dan dapat diandalkan oleh responden
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Status usaha petani
responden tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik petani responden berdasarkan status usaha hutan rakyat
Kecamatan

Status usaha

Jumlah (orang)

Pekerjaan utama

Pekerjaan sampingan

Leuwisadeng

5

5

10

Cigudeg

8

2

10

Jasinga

10

0

10

Jumlah (orang)

23

7

30

76.67

23.33

100

Persentase (%)
Sumber: data primer

Responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai mata
pencaharian utama, lebih intensif dalam melakukan pemeliharaan tanamannya,
berbeda dengan responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai
pekerjaan sampingan. Responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat
sebagai pekerjaan sampingan cenderung kurang intensif dalam pemeliharaan
tanaman, selain itu biasanya responden yang menjadikan bertani kayu hutan
rakyat sebagai pekerjaan sampingan lebih memutuskan untuk melakukan
pemeliharaan tanamannya dengan membayar buruh harian sehingga pengeluaran
lebih besar dibandingkan dengan petani hutan rakyat yang pekerjaan utamanya
adalah bertani dan melakukan pemeliharaan dengan memanfaatkan tenaga sendiri
dan dilakukan secara intensif setiap hari.
Pendapatan
Sebagian besar pendapatan petani responden setiap bulannya masih
tergolong rendah dan di bawah UMK Kabupaten maupun Kota Bogor. Pendapatan
petani dari hutan rakyat baik itu hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu
memiliki konstribusi sebesar 17.97% dari penghasilan total petani setiap
bulannya. Persentase pendapatan petani berdasarkan kelas pendapatan dan
rekapitulasi asal pendapatannya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4 Karakteristik petani responden berdasarkan kelas pendapatan per bulan
Pendapatan (Rp)

Kecamatan

Jumlah (orang)

1

2

3

Leuwisadeng

8

0

2

10

Cigudeg

7

0

3

10

Jasinga

4

0

6

10

19

0

11

30

Jumlah (orang)

Persentase (%)
63.33
0.00
36.67
Sumber: data primer
Keterangan: 1: < Rp2 242 240; 2: Rp2 242 240–Rp2 352 350; 3: > Rp2 352 350

100

8
Tabel 5 Rekapitulasi asal pendapatan petani hutan rakyat
Asal pendapatan

Kecamatan

Jumlah (%)

Non hutan rakyat (%)

Hutan rakyat (%)

Leuwisadeng

88.90

11.10

100

Cigudeg

85.89

14.11

100

Jasinga

71.29

28.71

100

82.03

17.97

100

Rata-rata (%)
Sumber: data primer

Luas Rata-Rata Hutan Rakyat
Setiap lokasi penelitian memiliki luasan hutan rakyat yang berbeda-beda.
Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing
kecamatan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing
kecamatan lokasi penelitian
Kecamatan
Leuwisadeng

Luas minimal (ha)

Luas maksimal (ha)

Luas rata-rata hutan rakyat (ha)

0.30

1

0.54

Cigudeg

0.45

2

0.85

Jasinga

0.50

4

1.60

1.25

7

2.99

Total (ha)
Sumber: data primer

Tabel 6 menunjukkan bahwa Kecamatan Jasinga merupakan kecamatan
dengan luas rata-rata hutan rakyat terluas yaitu 1.60 hektar dan menyusul
Kecamatan Cigudeg dan Leuwisadeng. Gambar 1 menunjukkan tegakan hutan
rakyat di lokasi penelitian.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 Tegakan hutan rakyat (a) sengon di Leuwisadeng (b) kayu afrika di
Cigudeg (c) sengon di Jasinga
Bentuk Penjualan Kayu
Responden menjual hasil kayu hutan rakyat mereka ke dalam 3 macam
bentuk, ada yang dalam bentuk pohon berdiri, kayu bulat, dan kombinasi (kayu
gergajian atau balken dan kayu bulat). Dalam bentuk penjualan kayu secara
kombinasi, kayu akan dibentuk balken apabila kayu berdiameter besar dijual
dalam bentuk kayu bulat apabila kayu berdiameter kecil dan sedang. Menurut

9
responden yang diwawancarai, menjual kayu dalam bentuk balken lebih
menguntungkan dibandingkan dengan menjual kayu dalam bentuk kayu bulat
saja. Bentuk penjualan kayu oleh petani responden di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Persentase bentuk penjualan kayu oleh responden petani hutan rakyat
Bentuk penjualan kayu
Pohon berdiri

Kayu bulat

Kombinasi

Jumlah
(orang)

Leuwisadeng

9

1

0

10

Cigudeg

9

0

1

10

Jasinga

10

0

0

10

Jumlah (orang)

28

1

1

30

93.33

3.33

3.33

100

Kecamatan

Persentase (%)
Sumber: data primer

Banyaknya petani yang menjual kayu hutan rakyatnya dalam bentuk pohon
berdiri membuat hasil penjualan kayu kurang maksimal. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor penghambat seperti kurangnya modal yang dimiliki petani untuk
menjual pohon dalam bentuk kayu bulat, sedikitnya pohon yang akan ditebang
pada setiap tahunnya, serta kurangnya informasi dan akses petani terhadap pasar.
Gambar 2 menunjukkan bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani
responden di lokasi penelitian.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani responden (a)
pohon berdiri (b) kayu bulat (c) kayu gergajian (balken)
Sistem Penjualan Kayu dan Sistem Penebangan
Terdapat 3 sistem penjualan kayu yang dilakukan oleh para petani
responden diantaranya adalah per pohon, borongan, dan per kubikasi, sedangkan
sistem penebangan yang ditemui selama penelitian ada 2, yaitu tebang habis dan
tebang pilih. Sistem penjualan tebang pilih sering dikenal juga dengan sistem
penjualan tebang butuh. Disebut tebang butuh karena pada kenyataannya pohonpohon tersebut lebih dianggap tabungan oleh pemiliknya dan tidak akan dijual
sebelum ada keperluan yang mendesak. Petani biasanya menjual pohonnya saat
membutuhkan biaya untuk sekolah anak ataupun ada acara yang sangat penting
seperti menikahkan anak atau acara “slamatan” lainnya. Sistem tebang pilih tidak
selalu disebut dengan sistem tebang butuh, hal ini dikarenakan beberapa petani
memang secara rutin menjual kayu hasil dari kebunnya yang sudah layak tebang

10
(dipilih) pada setiap tahun (walaupun tidak dalam kondisi butuh). Sistem
penjualan per pohon biasanya digunakan oleh petani responden yang
menggunakan sistem penebangan tebang pilih, namun ada juga petani responden
yang menjual kayunya dengan sistem penjualan kubikasi walaupun menggunakan
sistem penebangan tebang pilih. Untuk petani responden yang menggunakan
sistem penebangan tebang habis (umur pohon 2–6 tahun), biasanya sistem
penjualan yang dilakukan adalah borongan yaitu menjual kayu per kebun yang
petani miliki selain pohon buah dan karet. Berikut disajikan persentase sistem
penjualan kayu dan sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden.
Tabel 8 Persentase sistem penjualan kayu hutan rakyat oleh petani responden
Kecamatan

Sistem penjualan kayu

Jumlah (orang)

Per pohon

Borongan

Kubikasi

Leuwisadeng

9

0

1

10

Cigudeg

3

6

1

10

Jasinga

5

5

0

10

17

11

2

30

56.67

36.67

6.67

100

Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sumber: data primer

Tabel 9 Persentase sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden
Kecamatan

Sistem penebangan

Jumlah (orang)

Tebang habis

Tebang pilih

Leuwisadeng

0

10

10

Cigudeg

6

4

10

Jasinga

5

5

10

11

19

30

36.67

63.33

100

Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sumber: data primer

Pengelolaan Hutan Rakyat
Sebagian besar petani responden pada penelitian ini menerapkan pola
penanaman secara agroforestri, selain jenis tanaman kayu, petani juga sering
menyelipkan tanaman non kayu seperti cabai, pisang, tomat, dan bambu. Tanaman
pertanian ini dijadikan tanaman sela yang hasilnya dimanfaatkan untuk kebutuhan
sehari-hari.
Lampiran 1 menunjukkan bahwa setiap kecamatan memiliki karakteristik
jenis tanaman tertentu. Di Jasinga, 80% petani menanam karet di kebunnya. Hal
ini dikarenakan di Kecamatan Jasinga kerap dilakukan penyuluhan dan pelatihan
oleh pihak pemerintah untuk membudidayakan tanaman karet. Tidak hanya itu,
pemerintah juga memberikan bantuan bibit karet kepada petani, sehingga di
kecamatan ini pohon karet mudah ditemui di setiap kebun petani. Berbeda dengan
di Leuwisadeng, desa lokasi penelitian ini memang terkenal dengan penghasil
manggis terbaik di Bogor, sehingga pohon manggis hampir selalu ada di kebun
petani. Menurut salah satu penyuluh pertanian dan kehutanan yang ada di
kecamatan ini, tanah di Leuwisadeng sangat cocok untuk ditanam manggis

11
sehingga buah yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik, sedangkan di
Kecamatan Cigudeg, petani tidak memiliki jenis tanaman yang menonjol tetapi di
kecamatan ini petani lebih suka menanam tanaman yang dapat diambil hasilnya
selain kayu dari pohon itu sendiri seperti mangga, durian, jengkol, dan petai.
Secara keseluruhan, jenis yang paling banyak ditanam oleh petani adalah
jenis sengon. Menurut Hadi dan Napitupulu (2012), sengon merupakan pilihan
tepat karena memiliki umur panen yang singkat serta karakter kayu yang ringan
dan indah warnanya. Selain itu, cukup banyak kelebihan, mulai dari
pembudidayaannya yang mudah, mudah tumbuh, mudah diusahakan, dan harga
jualnya pun cukup menggiurkan.
Menurut pengakuan responden, sengon merupakan tanaman yang cepat
tumbuh dan mudah untuk dibudidayakan sehingga tidak membutuhkan waktu
lama untuk dapat memanennya. Petani biasanya mulai menjual pohon sengonnya
pada umur 2–6 tahun dengan diameter di atas 20 cm. Selain itu, tidak ada
perlakuan khusus oleh petani pada sengon sehingga biaya yang dikeluarkan oleh
petani tidak besar. Adapun kendala yang ditemui petani dalam bertani hutan
rakyat adalah kurangnya informasi pasar jika petani ingin menjual langsung hasil
hutannya kepada industri penggergajian, keterbatasan modal sehingga kebun
kurang mendapatkan perawatan, musim yang tidak menentu sehingga pendapatan
petani dari buah susah diprediksi, penyakit pada pohon, serta hama seperti rayap,
ulat tenggerek (pada sengon), ulat daun (pada kayu afrika), dan serangan dari
tikus, babi, dan monyet.
Hutan rakyat yang saat ini dimiliki oleh petani sebagian besar adalah tanah
milik yang merupakan warisan keluarga sehingga hanya sebagian petani saja yang
melakukan kegiatan pengolahan tanah, selebihnya hanya meneruskan kebun yang
sudah ada dari orang tua mereka. Rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan
pengolahan tanah adalah Rp1 000/m2, namun karena 76.67% petani menempatkan
bertani hutan rakyat sebagai pekerjaan utama maka petani lebih memilih untuk
menggarap sendiri kebunnya dibantu oleh anggota keluarga. Begitu pula untuk
kegiatan penanaman, penyiangan, dan pemupukan.
Kegiatan penyiangan biasanya dilakukan 4 bulan sekali, untuk responden
yang tidak menggarap sendiri hutannya, biasanya lebih memilih untuk
mempekerjakan buruh harian dengan upah Rp40 000 sampai Rp60 000 per hari.
Kegiatan pemupukan dilakukan hanya saat tanaman berusia 1–2 tahun, pupuk
yang digunakan adalah pupuk organik (kotoran hewan) dan ada juga pupuk
sintetis. Harga pupuk yang dikeluarkan oleh petani mulai dari Rp3 000 sampai
Rp7 000 per kg. Beberapa petani juga melakukan penyemprotan pada tumbuhan
bawah dengan tujuan mengurangi laju pertumbuhan tumbuhan bawah agar tidak
sering melakukan penyiangan dengan harga pestisida Rp50 000–Rp70 000 per
liter.
Untuk melakukan kegiatan penanaman, petani jarang melakukan pembelian
bibit karena biasanya memanfaatkan trubusan untuk regenerasi tanaman hutan.
Keunggulan dengan memanfaatkan trubusan adalah petani tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk pengadaan bibit, namun kelemahan dari tanaman yang
berasal dari trubusan ini adalah tanaman yang mudah roboh dan hasil tanaman
tidak akan sebaik tanaman awal. Di Kecamatan Jasinga, petani memiliki
kebiasaan membibitkan sendiri biji sengon atau yang disebut “ngeroyak” sehingga
dapat meminimalkan biaya pembelian bibit. Untuk kegiatan penyulaman dan

12
penjarangan, petani tidak pernah menetapkan jangka waktu tertentu, hal ini
dikarenakan kedua kegiatan ini dilakukan secara kondisional. Kayu hasil
penjarangan biasanya dimanfaatkan sendiri oleh petani sebagai bahan bakar.
Berikut gambar yang menunjukkan regenerasi tanaman yang disebut dengan
tanaman trubusan.

Gambar 3

Tanaman trubusan yang kerap dimanfaatkan sebagai tanaman
regenerasi oleh petani

Selama dilakukannya penelitian, tidak ditemukan kelompok tani yang
melakukan kegiatan yang intensif secara rutin dilakukan bersama-sama.
Kelompok tani yang ada hanyalah sebatas komunitas petani hutan yang biasanya
melakukan pertemuan hanya saat ada kegiatan “hajatan” di kampung. Oleh karena
itu, tidak ada kontrol yang baik terhadap kegiatan yang dilakukan petani sehingga
masih banyak petani yang tidak paham pasar dan pengelolaan hutan yang benar.
Salah satu kasus unik ditemui di Jasinga. Salah satu petani hutan rakyat di
sana juga berprofesi sebagai pedagang pengumpul dan semua petani di sana
menjual kayu rakyatnya pada pedagang tersebut sehingga pedagang pengumpul
bisa dengan seenaknya memainkan harga beli kayu petani karena dia tidak pernah
mau berbagi kondisi pasar terkini. Terlebih, antara 1 petani dan petani lainnya
tidak pernah berdiskusi mengenai harga jual kayu sehingga harga yang didapakan
oleh petani masih di bawah harga rata-rata pasar. Hardjanto (2000) menyatakan
karena jumlah petani hutan rakyat yang banyak dan masing-masing hanya
memiliki sumber daya terbatas, tidak membentuk usaha bersama, tidak menguasai
informasi pasar dan sebagainya, maka petani memiliki posisi tawar yang lebih
rendah dibandingkan dengan lembaga lainnya.
Pedagang Pengumpul Kayu Hutan Rakyat
Pedagang pengumpul merupakan pelaku pemasaran yang bertindak sebagai
perantara diantara petani hutan rakyat, industri penggergajian (sawmill), dan
konsumen lainnya. Selama dilakukannya penelitian, ditemukan 4 pedagang
pengumpul. Tiga diantaranya adalah pedagang pengumpul yang saat ini masih
menjadikan profesi dagang tani (bertani sekaligus menjadi pedagang pengumpul)
sebagai mata pencaharian utama dan salah satu di antaranya adalah responden
yang dulunya menjadi pedagang pengumpul namun pada saat ini telah memiliki
industri penggergajian sendiri.

13
Jenis kayu yang diperjualbelikan oleh pedagang pengumpul meliputi semua
jenis yang ada seperti sengon, kecapi, durian, manggis, nangka, kayu afrika,
akasia, dan masih banyak jenis lainnya. Diantara jenis-jenis kayu tersebut, jenis
yang paling tinggi permintaannya adalah jenis sengon. Hal ini dikarenakan harga
kayu sengon yang terjangkau, kayu tidak mudah keropos, dan jenis sengon
merupakan jenis yang banyak tersedia di pasaran, mudah tumbuh, mudah
diusahakan, dan harga jualnya pun cukup menggiurkan.
Pedagang pengumpul biasanya melakukan pembelian dengan sistem per
pohon ataupun borongan dan sistem penjualan berdasarkan kubikasi dengan
sebelumnya kayu dibentuk ke dalam kayu bulat dan balken. Sasaran penjualan
dari pedagang pengumpul ini adalah industri penggergajian, toko bangunan, dan
pabrik. Daerah pemasaran pun masih di sekitar daerah Bogor, namun untuk
pedagang pengumpul yang memasarkan kayunya ke pabrik dan toko bangunan,
biasanya akan bekerjasama dengan pemiliki sawmill dan daerah pemasarannya
hingga daerah Tangerang, Banten, Bekasi, dan Jakarta.
Kapasitas pembelian kayu yang dilakukan oleh pedagang pengumpul
berkisar antara 10–30 m3 kayu per bulan. Beberapa hal yang mempengaruhi
volume penjualan kayu adalah, penawaran kayu hutan rakyat dari petani,
permintaan konsumen, modal, serta kondisi cuaca. Untuk modal, biasanya
sebelum melakukan transaksi jual beli dengan petani, pedagang pengumpul akan
meminjam dulu modal kepada pemilik sawmill.
Harga beli kayu hutan rakyat oleh pedagang pengumpul bervariasi, untuk
jenis putihan biasanya petani mendapatkan harga Rp350 000–Rp500 000 per m3,
sedangkan untuk jenis kayu merahan biasanya harga hingga 2 kali lipat berkisar
Rp700 000–Rp1 000 000 per m3. Hal ini dikarenakan, kayu jenis merahan
memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan kayu jenis putihan.
Selain itu, kayu jenis merahan memiliki stuktur kayu yang keras sehingga biaya
operasional yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan dengan mengolah kayu
putihan. Kayu yang termasuk kayu putihan adalah sengon, muncang, karet, kayu
afrika, jabon, dan mahoni, sedangkan yang tergolong kayu merahan adalah
kecapi, duren, jengkol, manggis, nangka, dan jenis pohon buah lainnya. Beberapa
hal yang mempengaruhi harga beli kayu oleh pedagang pengumpul kepada petani
adalah jenis, ukuran, biaya operasional yang dibutuhkan, lokasi, bentuk, dan
kualitas kayu.
Pedagang pengumpul biasanya membeli kayu pada petani dengan harga
yang didasarkan pada volume taksiran pedagang pengumpul. Namun pada
kenyataannya, taksiran volume yang dijadikan dasar dalam penentuan harga
pembelian kayu pada petani oleh pedagang pengumpul tersebut seringkali underestimate ketika sampai di industri penggergajian, sehingga keuntungan yang
didapatkan oleh pedagang pengumpul akan jauh lebih besar dibandingkan dengan
perhitungan yang seharusnya.
Industri Penggergajian
Industri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri pengolahan
kayu rakyat. Berdasarkan hasil penelitian, 2 dari 6 industri penggergajian tidak
hanya bertindak sebagai penggergajian tetapi juga bertindak sebagai penyedia
layanan penyewaan penggergajian. Produk yang dihasilkan dari industri

14
penggergajian ini bermacam-macam seperti palet, papan, balok, kaso, galar, dan
racuk. Dari keenam industri penggergajian ini, hanya 1 industri yang
memproduksi palet, selebihnya hanya memproduksi kayu pertukangan. Tiga
diantara 6 responden yang diwawancarai mengenai industri penggergajian ini
adalah pemilik langsung industri penggergajian dan selebihnya adalah pegawai
(orang kepercayaan) industri penggergajian.
Responden di tingkat industri penggergajian memiliki tingkat pendidikan
formal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani dan pedagang
pengumpul (Lampiran 2). Selain itu, 50% dari responden industri penggergajian
memiliki umur 20–40 tahun. Hal ini sangat berbeda dengan para responden petani
yang didominasi oleh responden berusia di atas 40 tahun.
Tabel 10 Kapasitas dan realisasi produksi industri penggergajian responden
Nama

Kapasitas produksi
(m³/bulan)

Realisasi produksi
(m³/bulan)

Realisasi produksi
(m³/tahun)

Lucky

260

150

1 800

Pahru

520

260

3 120

Deri

390

240

2 880

Fatah Yasin

1 950

720

8 640

Endang

104

50

600

Daud

100

80

960

Total

3 324

1 500

18 000

554

250

3 000

Rata-Rata
Sumber: data diolah

Menurut Ratnaningrum (2009), kapasitas produksi merupakan kemampuan
suatu pabrik atau industri untuk memproduksi atau mengolah suatu barang (input)
menjadi barang yang baru (output). Tinggi rendahnya kapasitas produksi
mencirikan besar kecilnya industri tersebut.
Tabel 10 menunjukkan bahwa industri penggergajian yang ada di lokasi
penelitian memiliki realisasi produksi rata-rata 250 m3/bulan atau 3 000 m3/tahun.
Realisasi produksi saat ini sangat jauh dari kapasitas produksi yang mencapai 554
m3/bulan. Jauhnya selisih antara kapasitas dengan realisasi produksi diakui oleh
para responden diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu ketersediaan bahan baku
kayu rakyat, kondisi pemerintahan, kondisi pasar, dan masuknya kayu dari luar
daerah Bogor sehingga realisasi produksi masih under capacity. Menurut para
responden, saat kondisi pemerintahan sedang sibuk dengan urusan politik maupun
pemilihan umum seperti pada tahun ini, maka pesanan kayu pertukangan akan
semakin menurun.
Pembagian kelas industri penggergajian dibagi menjadi 3 kategori, yaitu
penggergajian besar, penggergajian sedang, dan penggergajian kecil. Dikatakan
penggergajian besar jika memiliki produksi rata-rata sebesar 12 000 m3 per tahun,
penggergajian sedang dengan produksi rata-rata 3 000 sampai 12 000 m3 per
tahun, dan tergolong penggergajian kecil jika memiliki produksi rata-rata kurang
dari 3 000 m3 per tahun (Djajapertjuanda dan Djamhuri 2013). Berdasarkan Tabel
9, dapat diketahui bahwa 2 diantara keenam industri penggergajian yang ada

15
tergolong sebagai industri sedang, sedangkan keempat industri penggergajian
lainnya tergolong penggegajian kecil.
Gambar 4 menunjukkan proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu
pertukangan berbagai ukuran di industri penggergajian. Untuk mengoperasikan 1
alat bandsaw dibutuhkan minimal 2 operator. Dalam mengoperasikan bandsaw,
operator seharusnya dilengkapi dengan alat perlindungan diri (APD) yang
lengkap, tapi hal ini tidak ditemui di industri penggergajian yang menjadi
responden penelitian. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai operator bandsaw
merupakan pekerjaan yang memiliki resiko kerja tinggi.

Gambar 4 Proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu pertukangan
Industri penggergajian biasanya bekerja sama dengan pedagang pengumpul
untuk menyediakan pasokan bahan baku. Dalam hal ini, pedagang pengumpul
berperan sebagai perantara antara petani dengan industri. Terkadang industri
membeli langsung bahan baku dari petani namun hal ini jarang dilakukan karena
dianggap membuang-buang waktu dan menambah pekerjaan industri sehingga
mereka lebih memilih untuk membeli kayu pada tengkulak dalam bentuk kayu
bulat. Ini dianggap lebih efisien karena industri bisa fokus dengan pekerjaan di
industri penggergajian tanpa harus turun langsung ke lapangan untuk mencari
bahan baku. Oleh karena itu, industri tidak segan untuk meminjamkan uang
kepada pedagang pengumpul sebagai modal untuk membeli kayu petani dan biaya
operasional. Bahan baku kayu rakyat di tingkat industri tidak hanya berasal dari
daerah Bogor, beberapa industri juga mengambil bahan baku dari daerah lain
seperti Banten, Ciamis, Tasik, dan Palembang.
Produk yang dihasilkan oleh tiap-tiap responden industri penggergajian
dapat dilihat pada Lampiran 6. Kayu pertukangan yang dihasilkan oleh industri
penggergajian di lokasi penelitian ini dipasarkan ke berbagai daerah seperti
Jabodetabek, Karawang, Sukabumi, Tangerang, Purwokerto, Surabaya, dan
Pasuruan. Sasaran pemasarannya adalah pabrik, toko material, proyek bangunan,
dan perorangan. Biaya penjualan yang dikeluarkan oleh industri penggergajian
belum termasuk biaya pengangkutan dari industri menuju konsumen. Menurut
pengakuan responden, dalam melakukan kegiatan pengangkutan menuju
konsumen tidak jarang harus berurusan dengan pihak berwajib walaupun suratsurat yang mereka miliki telah lengkap. Pungutan yang diminta oleh polisi
maupun DLLAJ itu pun beragam, mulai dari Rp5 000–Rp10 000 untuk pick up
dan Rp20 000 untuk truk atau bahkan bisa lebih dari itu. Untuk sekali
pengangkutan dari industri sampai konsumen di luar daerah Bogor, pungutan liar
yang dikeluarkan bisa mencapai Rp200 000.

16
Perbedaan harga jual kayu pertukangan di tingkat industri dengan ukuran
dan jenis yang sama dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada lampiran tersebut dapat
dilihat bahwa ada industri yang menjual kayunya dengan harga yang sangat murah
dan ada yang menjual dengan harga yang sangat mahal dan selebihnya hampir
sama. Faktor yang menyebabkan perbedaan harga jual ini adalah tingkat
pengolahan yang intensif, kemampuan membaca peluang dan kondisi pasar, serta
banyaknya rekan kerja dan jangkauan pemasaran. Gambar 5 menunjukkan
produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian.

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian (a) kayu
pertukangan (b) kulit kayu (c) serbuk gergajian
Produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian dapat berupa kayu
pertukangan, kulit kayu, dan serbuk gergajian. Kulit kayu biasanya dijual per pick
up dengan harga Rp120 000–Rp350 000, konsumen dari kulit kayu ini adalah
pabrik yang memproduksi batu bata, begitu pula dengan serbuk gergajian. Untuk
kayu diameter kecil, rata-rata rendemen yang dihasilkan adalah 70% sedangkan
untuk kayu berukuran besar rendemen yang dihasilkan dapat mencapai 90%. Sisa
dari rendemen inilah yang nantinya berupa kulit kayu dan serbuk gergajian. Jadi
bisa dikatakan bahwa tidak ada bagian yang terbuang dalam pengelolaan kayu
rakyat ini.

Analisis Saluran Pemasaran
Analisis saluran pemasaran digunakan untuk mengetahui aliran barang dari
produsen ke konsumen, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemindahan kayu hutan rakyat dari
produsen (petani) hingga ke konsumen di ketiga kecamatan lokasi penelitian.
Menurut Kotler dan Armstrong (2008), saluran pemasaran (saluran distribusi)
merupakan sekelompok organisasi yang saling tergantung yang membantu
membuat produk atau jasa tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi oleh
konsumen atau pengguna bisnis.
Kotler (2005) dalam Ratnaningrum (2009) mengatakan bahwa saluran
pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran.
Panjangnya suatu saluran tataniaga/pemasaran akan ditentukan oleh banyaknya
tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang atau jasa. Saluran pemasaran
tersebut meliputi:

17
a) Saluran non tingkat (Zero-level-channel) atau dinamakan sebagai saluran
pemasaran langsung, adalah saluran di mana produsen atau pabrikan langsung
menjual produknya ke konsumen.
b) Saluran 1 tingkat (One-level-channel) adalah saluran yang menggunakan
perantara.
c) Saluran 2 tingkat (Two-level-channel) mencakup 2 perantara.
d) Saluran 3 tingkat (Three-level-channel) mencakup 3 perantara.
Saluran pemasaran dapat berbentuk secara sederhana dan dapat pula rumit
sekali. Hal demikian tergantung dari macam komoditi lembaga pemasaran dan
sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli mempunyai saluran pemasaran yang
relatif sederhana dibandingkan dengan sistem pasar yang lain (Soekartawi 2002).
Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg,
dan Jasinga dari petani ke industri penggergajian (sawmill) hanyalah pedagang
pengumpul. Saluran pemasaran yang terdapat di lokasi penelitian dapat
digambarkan sebagai berikut:
Petani
93.33%
Pedagang Pengumpul

6.67%

Industri Sawmill
Gambar 6 Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di lokasi penelitian
Gambar 6 menginformasikan bahwa saluran pemasaran kayu hutan rakyat
mempunyai 2 saluran, yaitu dari petani hutan rakyat menuju pedagang pengumpul
kemudian ke industri sawmill (93.33%) dan dari petani hutan rakyat langsung
menuju industri sawmill (6.67%). Dilihat dari jarak penyaradan kayu rakyat dari
tunggak menuju TPn, saluran pemasaran di lokasi penelitian dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu jarak dekat dan jauh. Dikatakan jarak dekat apabila penyaradan
dari tunggak menuju TPn berjarak kurang dari 500 meter. Namun apabila lebih
dari itu, maka dikelompokkan sebagai jarak jauh.
Saluran I (Petani – Industri Penggergajian (jauh))
Pada saluran I, petani hutan rakyat menjual secara langsung kayu hasil
panennya kepada industri sawmill dengan jarak penyaradan yang tergolong jauh.
Pada penelitian yang dilakukan, responden yang melakukan saluran pemasaran
seperti saluran I hanya ada 1 orang (3.33%). Pada saluran ini, responden menjual
kayu rakyatnya dalam bentuk balken (kayu gergajian) yang berukuran 10 cm x 20
cm x 2.8 m dengan harga sebesar Rp40 000 per balken. Pada saluran ini, biaya
penebangan, penyaradan dan pemuatan, serta pengangkutan ke industri
penggergajian ditanggung oleh petani. Dikarenakan pada saluran ini petani

18
menjual kayunya dalam bentuk balken yang memiliki ukuran pasti, maka industri
penggergajian biasanya akan membentuk kayu ini menjadi papan dengan ukuran 2
cm x 20 cm x 2.8 m. Hal ini dikarenakan, papan memiliki harga jual yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bentuk kayu pertukangan lainnya. Namun dalam
pengerjaannya, tidak boleh ada kesalahan pada pemotongan kayu di industri
penggergajian. Karena jika salah, jumlah papan yang dihasilkan akan tidak sesuai
dengan perhitungan yang seharusnya.
Pada prinsipnya, jual beli kayu dalam bentuk balken lebih menguntungkan
baik untuk petani maupun untuk industri penggergajian. Bagi petani, menjual
kayu dalam bentuk balken mampu meningkatkan harga jual kayu dibandingkan
dengan biasanya dan bagi industri penggergajian, membeli kayu dalam bentuk
balken lebih menguntungkan karena akan mendapatkan volume kayu yang pasti,
meningkatkan produktivitas penggergajian, serta dapat meminimalkan biaya
operasional.
Saluran II (Petani – Industri Penggergajian (dekat))
Tidak berbeda jauh dengan saluran I, pada saluran pemasaran II petani
menjual kayunya secara langsung kepada industri sawmill. Saluran ini merupakan
saluran non tingkat (zero level channel) atau saluran pemasaran tanpa melalui
perantara seperti halnya saluran pemasaran I. Hanya saja yang membedakan di
antara kedua saluran pemasaran ini adalah jarak sarad pada saluran pemasaran II
ini tergolong dekat dan petani menjual kayunya dalam bentuk kayu bulat.
Terdapat 1 orang responden (3.33%) yang melakukan saluran pemasaran seperti
ini. Hal ini dikarenakan responden memiliki pekerjaan utama sebagai dagang tani
(bertani sekaligus menjadi pedagang pengumpul), sehingga disamping sebagai
petani, pekerjaan utama responden ini adalah pedagang pengumpul kayu. Dalam