Usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

(1)

USAHA KAYU RAKYAT

DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

Oleh :

Ahmad Aulia Arsyad I34070119

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

ABSTRACT

AHMAD AULIA ARSYAD. Private Owned Timber Bussiness in the Peasant Livelihood Systems (Case in Village of Curug, Bogor District, West Java). Supervised by: SATYAWAN SUNITO

The purpose of this study was to analyze the role of the private owned timber business in peasant household livelihood strategies, in the village of Curug, Bogor District. An important factor that was known to have influence on private owned timber business was institution. So that needs to be analyzed how the role of institutions in supporting or inhibiting peasant household to access the private owned timber business. Qualitative approach through observation and depth interviews is used as the main approach when quantitative approach with a questionnaire instrument and review of literature related to the case is used to support qualitative data. Private owned timber business are not used as the main livelihood due to various reasons including long periode of harvest, can not be used as a daily income, and ownership of land is narrow so it can not be planted on a large scale. People tend to sell their wood still in the form of tree, and buyers do wholesale system, or buy all woody trees in public lands regardless the age of the trees.


(3)

RINGKASAN

AHMAD AULIA ARSYAD. Usaha Kayu Rakyat dalam Sistem Penghidupan Petani Kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran usaha kayu rakyat dalam strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Salah satu faktor yang diketahui memiliki pengaruh terhadap usaha kayu rakyat adalah kelembagaan. Oleh karena itu, penelitian ini juga menganalisis bagaimana peran kelembagaan dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara mendalam, serta didukung data kuantitatif. Penelitian ini mengambil 30 responden yang diperoleh secara purposive dari rumahtangga petani kayu di Desa Curug.

Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat menjadi penghasilan sehari-hari, dan kepemilikan lahan yang sempit, sehingga tidak dapat melakukan penanaman dalam skala besar. Walaupun demikian, beberapa masyarakat mengakui justru dengan lahan mereka yang terbatas, mereka lebih memilih untuk menanam kayu daripada tanaman budidaya lainnya sebagai tabungan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan (tebang butuh). Menanam kayu juga diakui tidak sulit, masyarakat memperoleh bibit dari hutan, dan setelah penanaman tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif.

Luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap strategi nafkah keluarga petani. Semakin luas lahan milik masyarakat, strategi nafkah yang dilakukan oleh keluarga petani cenderung lebih banyak dan beragam.

Mekanisme perdagangan kayu rakyat berada diluar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga petani kayu rakyat tidak merasakan keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan rakyat. Peran Kelompok Tani Hutan dan Asosiasi Kelompok Tani Hutan Rakyat harus diberdayakan untuk meningkatkan posisi tawar petani. Untuk menjaga kesinambungan usaha hutan rakyat sengon, maka diperlukan upaya perlindungan kepada petani dari pihak pemerintah dan upaya


(4)

iv

penguatan kelembagaan petani misalnya membentuk kelembagaan usaha bersama (mitra) antara petani dengan pihak pengusaha industri pengolahan kayu sengon.

Besarnya kontribusi pendapatan dari usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani cukup bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai terkecil kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani sebesar 0,4% dan nilai terbesarnya 12,5%. Masyarakat kebanyakan menjual kayu mereka masih dalam bentuk pohon berdiri dan pembeli melakukan sistem borongan, atau membeli semua pohon berkayu di lahan masyarakat tanpa memperhitungkan usia dari pohon-pohon tersebut.

Kurangnya modal diakui masyarakat sebagai penghambat usaha kayu rakyat mereka. Hampir seluruh responden mengakui ingin mengembangkan usaha jika saja mereka mendapatkan bantuan berupa modal, baik dalam bentuk bibit, lahan, maupun dana tunai. Beberapa warga desa memulai industri pengolahan kayu skala kecil, yaitu membuat papan-papan kayu menjadi peti-peti telur, namun terhambat dengan masalah modal. Usaha pembuatan peti-peti telur tersebut baru berjalan dua minggu pada saat penelitian, dan mendapatkan bahan baku kayu dengan membeli kayu-kayu yang sudah digergaji menjadi bentuk papan dari “gesekan” (tempat penggergajian kayu) di luar desa.


(5)

USAHA KAYU RAKYAT

DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

Oleh :

Ahmad Aulia Arsyad I34070119

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(6)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Pengesahan :

Nama : Ahmad Aulia Arsyad NRP : I34070119

Judul : Usaha Kayu Rakyat dalam Sistem Penghidupan Petani Kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)


(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)” benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain baik oleh perguruan tinggi atau lembaga manapun, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggungjawab atas pernyataan ini.

Bogor,

Ahmad Aulia Arsyad NRP. I34070119


(8)

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Aulia Arsyad (penulis) dilahirkan di Bogor pada tanggal 1 Maret 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang merupakan anak dari pasangan Didik Suharjito dan Endang Sri Wahyuni. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis berawal dari menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN Bangka 3 (1996-2001). Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di SLTP N 2 Bogor (2001-2004). Setelah menyelesaikan pendidikan SLTP, penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 3 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) angkatan 44 dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat, Fakutas Ekologi Manusia.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan non-akademik, seperti Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota divisi Public Relation (2008-2009), kemudian menjadi anggota divisi Fotosinema (2009-2010) dalam organisasi yang sama. Kemudian penulis juga aktif dalam kelompok teater (UP2DATE) dan vocal group, VOC (Voice of Communication). Penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Komunikasi Bisnis tahun 2010 selama dua periode, kemudian menjadi koordinator asisten praktikum di periode ketiga. Selain itu, penulis dipercaya untuk menjadi Komti angkatan 44 di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat selama dua tahun berturut-turut. Dalam pengembangan minat dan bakat, penulis juga tergabung dalam Komunitas Layar IPB (KLIP), dan pernah menjadi juara 3 dalam IPB Sineaste Award.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Usaha Kayu Rakyat Dalam Sistem Penghidupan Petani Kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat pengambilan data lapangan dan skripsi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.

Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, 2012

Ahmad Aulia Arsyad NIM I34070119


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii  DAFTAR GAMBAR ... 13  BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 

1.1 Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. 

1.2 Perumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 

1.3 Tujuan ... Error! Bookmark not defined. 

1.4 Kegunaan ... Error! Bookmark not defined.  BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... Error! Bookmark not defined. 

2.1 Tinjauan Pustaka ... Error! Bookmark not defined. 

2.1.1 Hutan Rakyat ... Error! Bookmark not defined. 

2.1.2 Potensi Usaha Kayu Rakyat ... Error! Bookmark not defined. 

2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat ... Error! Bookmark not defined. 

2.1.4 Sistem Penghidupan Petani ... Error! Bookmark not defined. 

2.2 Kerangka Pemikiran ... Error! Bookmark not defined. 

2.3 Operasionalisasi Perumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 

2.4 Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 

2.5 Definisi Operasional ... Error! Bookmark not defined.  BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... Error! Bookmark not defined. 

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined. 

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... Error! Bookmark not defined.  BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI ... Error! Bookmark not defined. 

4.1 Letak dan Luas Desa Curug ... Error! Bookmark not defined. 

4.2 Kependudukan Desa Curug ... Error! Bookmark not defined. 

4.3 Ekonomi Desa Curug ... Error! Bookmark not defined. 


(11)

xi

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI ... Error! Bookmark not defined. 

5.1 Strategi Nafkah Petani ... Error! Bookmark not defined. 

5.2 Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani .. Error! Bookmark not defined. 

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT Error! Bookmark not defined. 

6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat ... Error! Bookmark not defined. 

6.2 Kelembagaan Sosial ... Error! Bookmark not defined. 

6.3 Kelembagaan Ekonomi ... Error! Bookmark not defined.  BAB VII PENUTUP ... Error! Bookmark not defined. 

7.1 Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. 

7.2 Saran ... Error! Bookmark not defined.  DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jumlah Penduduk Desa menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

Tahun 2010/2011... 22 2. Jumlah Penduduk Desa menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin

Tahun 2010/2011... 22 3. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Curug Tahun 2010/2011... 23 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Nafkah.. 26 5. Kontribusi Usaha Kayu Rakyat terhadap Total Pendapatan Rumahtangga

Petani Per tahun 2010/2011... 32

6. Jumlah Responden menurut Persentase Kontribusi Usaha Kayu

Rakyat Terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani... 34

7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Aktifitas Usaha Kayu


(13)

13

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pemikiran... 16

2. Definisi Operasional... 18 3. Jenis Sumber Nafkah Keluarga Pelaku Usaha Kayu Rakyat


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peluso (2006), menggambarkan bagaimana Indonesia yang kaya akan hutan beserta sumberdayanya ternyata justru membuat masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan, menjadi semakin miskin. Hal ini diakibatkan adanya bentuk-bentuk penguasaan serta pengelolaan hutan sejak jaman kolonial Belanda yang menggeser posisi masyarakat sebagai subjek pemanfaat hutan tersebut. Sehingga masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan kawasan hutan di sekitar tempat tinggal mereka sendiri. Kepentingan politik dan ekonomi pemerintah terfokus pada eksploitasi sumberdaya dengan meminggirkan kepentingan masyarakat dan berdampak juga pada aspek kelestarian hutan tersebut. Seharusnya, sumberdaya yang merupakan milik rakyat, walaupun dititipkan pengelolaannya kepada negara, mampu menjadikan masyarakat menjadi sejahtera dan bukannya mengakibatkan pemelaratan rakyat seperti yang dijelaskan dalam buku tersebut.

Setelah kehilangan akses akan hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat, timbul berbagai aksi yang dilakukan sebagai bentuk protes atas tindakan pemerintah. Penebangan liar semakin marak dan menyebabkan hutan terdegradasi secara bertahap. Hal demikian terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan hidup dan kebutuhan lahan masyarakat. Pemerintah juga berperan dalam pengkonversian hutan untuk kepentingan pembangunan, dengan kurang mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut.

Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumber daya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabkan kerusakan dan menurunnya produktifitas sumber daya hutan. Di Pulau Jawa yang penduduknya paling padat di Indonesia, terlihat sekali tekanan terhadap sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan lahan. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi pertanian, industri dan perumahan menyebabkan


(15)

terjadinya konversi hutan menjadi lahan perumahan dan kawasan industri ataupun pertanian. Di lain pihak lahan kering yang tergolong sangat kritis atau kritis sangat luas. Salah satu usaha untuk merehabilitasi lahan kritis dan mengembangkan pemanfaatan lahan kering untuk menjadi lebih produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Departemen Kehutanan, 2008)

Berbagai penelitian tentang hutan rakyat telah dilakukan yang mencakup topik budidaya, pengaturan hasil, pemasaran, dan industri berbahan baku kayu dari hutan rakyat (Suharjito, 2002; Hardjanto, 2003; Hakim, et.al, 2009). Hutan rakyat dalam arti yang luas meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dimana mereka tergantung terhadapnya secara ekonomi, sosial, kultural, dan spiritual (Hinrich et.al, 2008). Hutan-hutan selayaknya dikelola untuk menjamin keamanan pemanfaatan dari generasi ke generasi berikutnya dan meningkatkan segala peluang kelestariannya.

Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Hakim, (2009) yang menyebutkan bahwa kayu rakyat sudah menjadi alternatif sumber pemenuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan, sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan produksi alam di luar Jawa dan Perhutani di Pulau Jawa.

Darusman (2001) juga mengatakan bahwa usaha kayu rakyat merupakan usaha yang kecil, namun tidak pernah mati, karena kebutuhan akan kayu akan selalu ada baik berupa bahan baku kayu, maupun barang jadi seperti perabotan rumahtangga. Masyarakat pemilik hutan rakyat cenderung menanam kayu pada lahan miliknya sebagai tabungan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat diuangkan, karena keuntungan dari menjual kayu tidak dapat menjadi penghasilan sehari-hari keluarga mereka. Petani cenderung menjual kayu berupa


(16)

tegakan, atau masih berupa batang kayu, hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan adanya industri kecil (Hardjanto, 2003).

Aspek kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada, baik formal maupun informal, masih kurang diketahui. Perhatian dari pemerintah mengenai hal ini pun masih sangat minim. Sehubungan dengan itu, penelitian akan usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani ini menjadi sangat penting, karena segmen pasar kayu rakyat berbeda dengan segmen pasar kayu dari hutan alam produksi dari Luar Jawa dan dari Perum Perhutani baik dari segi mutu, harga, jenis industri penggunanya dan kontinuitas pasokan kayunya. Sehingga perlu diketahui dengan lebih jelas bagaimana kelembagaan usaha kayu rakyat berperan untuk mendukung sistem penghidupan petani.

Adanya potensi usaha kayu rakyat yang sangat besar, belum lagi dengan kebutuhan dan permintaan kayu yang semakin meningkat, menjadikan usaha kayu rakyat sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan tambahan, bahkan dapat dijadikan mata pencaharian utama, sehingga usaha kayu rakyat ini menguntungkan masyarakat sebagai subjek pengelola hutan rakyat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa penelitian ini mengkaji pengaruh kelembagaan usaha kayu rakyat terhadap sistem penghidupan petani kecil. Kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini :

1. Apa peran usaha kayu rakyat di dalam strategi nafkah rumah tangga petani?

2. Bagaimana peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat?


(17)

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1. Menganalisis peran usaha kayu rakyat dalam strategi nafkah rumah tangga petani.

2. Menganalisis peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat.

1.4 Kegunaan

Mengacu kepada tujuan penelitian di atas, maka hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran mengenai usaha kayu rakyat yang dilakukan masyarakat di jawa dengan berbagai keterbatasan yang mereka miliki. Untuk pemerintah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan kebijakan mengenai pemanfaatan hutan rakyat, sedangkan untuk masyarakat dapat digunakan sebagai acuan pengelolaan hutan rakyat sebagai produksi kayu rakyat. Kemudian bagi kalangan akademisi dapat menjadi literatur penelitian mengenai hutan rakyat maupun usaha kayu rakyat itu sendiri.


(18)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Hutan Rakyat

Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-Undang No. 5/1967 dan penggantinya, Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat masyarakat lokal.

Pengertian hutan rakyat seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Pertama, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Kedua, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Dengan demikian, pengertian di atas mempertentangkan “hutan rakyat” dan “hutan negara” dilihat berdasarkan status pemilikan tanahnya atau sifat dari obyek (tanah dan hutan), bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Seharusnya, definisi hutan rakyat menggunakan penekanan pada hutan yang dikelola oleh rakyat, menunjuk pada pelakunya (Suharjito, 2000).

Gilmour dan Fisher (1998) dalam Hinrich (2008) menegaskan bahwa hutan rakyat memiliki sekurang-kurangnya tiga keunggulan yang diakui secara luas, ialah:

a. Pengakuan bahwa penduduk setempat mampu memainkan peran penting/kunci dalam pengelolaan hutan

b. Pengakuan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk diikutsertakan

c. Pengakuan bahwa beberapa taraf partisipasi merupakan ciri-ciri khas dari hutan rakyat


(19)

Diantara beragam istilah yang digunakan di Indonesia, PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) dan hutan rakyat memiliki beberapa keunggulan yang mirip. Karenanya, beberapa pihak menggunakan PHBM secara bergantian dengan hutan rakyat. Namun kendati demikian, hutan rakyat memiliki cakupan yang lebih luas daripada PHBM, karena hutan rakyat dapat diterapkan pada berbagai macam kawasan hutan, sementara PHBM mempersyaratkan perlunya kontrol atas sumber daya alam oleh masyarakat setempat (Hinrich, et.al, 2008).

Menurut Michon (1983) dalam Hardjanto (2003), ada tiga tipe hutan rakyat yaitu :

a. Pekarangan, mempunyai sistem pengaturan tanaman yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 Ha, dipagari mulai dari jenis sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter.

b. Talun, mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.

c. Kebun campuran, jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan satu jenis tanaman pokok dan berbagai macam jenis tanaman herba.

Selanjutnya dinyatakan bahwa hutan masyarakat dalam bentuk kebun campuran merupakan produsen kayu yang amat besar di daerah seperti Jawa yang padat penduduk, dan dalam hal ini hampir tidak ada lembaga pemerintah yang membantu masyarakat mengurus “hutan”nya.

Hasil penelitian Widayati, (2005) menyebutkan bahwa hutan rakyat bagi masyarakat yang berada di desa-desa di lokasi penelitian merupakan salah satu dari beberapa unsur penopang kelangsungan hidup mereka selain dari pertanian, hasil ternak, dan sumber-sumber lain. Bagi sistem perekonomian yang lebih luas, keberadaannya menjadi penyangga terakhir jaminan pasokan bahan baku untuk industri perkayuan baik di lingkup administrasi Kabupaten Boyolali maupun yang bersifat lintas batas administrasi kabupaten maupun propinsi (cross border teritory).

Hasil penelitian lain mengenai karakteristik hutan rakyat dikemukakan oleh Maryudi (2005), yaitu hutan rakyat mempunyai beberapa karakteristik unik yang


(20)

membedakannya dari model pengelolaan hutan lainnya di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan model family-based forest serupa yang ada di negara lain. Kepemilikan lahan pada umumnya sangat kecil, namun relatif bebas dari tenurial conflicts. Hal ini bisa menjadi salah satu keunggulan hutan rakyat dalam upaya untuk meraih sertifikat lestari, karena hampir sebagian besar lembaga sertifikasi hutan menempatkan property rights sebagai salah satu kriteria utama dalam verifikasi pengelolaan hutan lestari. Model pengelolaan hutan ini sangat bergantung kepada preferensi pengelolanya. Karena antara petani satu dengan lainnya mungkin mempunyai “policy” yang bervariasi seperti mengenai penentuan spesies, komposisi penanaman dan waktu pemanenannya, model pengelolaan hutan rakyat tentunya sangat beragam pula.

2.1.2 Potensi Usaha Kayu Rakyat

Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Usaha kayu rakyat memiliki kekenyalan (resilience) terhadap badai moneter yang menerpa Indonesia pada era orde baru (Darusman, 2001). Usaha kayu rakyat juga merupakan usaha yang kecil, namun tidak pernah mati, karena masyarakat pemilik hutan rakyat cenderung menanam kayu pada lahan miliknya sebagai tabungan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sayangnya, pemasaran oleh petani dengan cara seperti ini dapat merugikan petani. Petani cenderung menjual kayu berupa tegakan, atau masih berupa batang kayu, hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan adanya industri kecil.

Mengacu pada Scott (1976), Hardjanto (2003) berpendapat bahwa usaha kayu rakyat di Jawa tidak lain dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya subsisten, yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani tersebut memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri.


(21)

Penduduk pedesaan pada umumnya memiliki lahan yang relatif sempit; dengan lahan terbatas tersebut prioritas bercocok tanam adalah menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, kemudian tanaman buah-buahan dan yang terakhir adalah tanaman yang menghasilkan kayu. Keseluruhan usaha tersebut, baik sebagai produsen maupun konsumen lazim disebut dengan usaha kecil (Hardjanto, 2003).

Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan, bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya.

Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar untuk peralatan rumahtangga, untuk peti kemas, pulp, dan lain-lain. Pasar itulah yang menentukan pilihan jenis tanaman. Kayu sengon lebih banyak digunakan untuk peti kemas; pulp; perabot rumahtangga (meja, kursi, dipan, almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati lebih utama digunakan untuk perabot rumahtangga dan bahan bangunan rumah yang tergolong mewah (Suharjito, 2000).

Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Untuk mencegah kerusakan hutan negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan, penjarahan, penebangan liar dan sebagai pengaman dan pengendalian peredaran kayu rakyat di lintas Kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat.

Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu semakin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. Disamping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air, hutan rakyat atau lahan-lahan lain diluar kawasan hutan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan


(22)

bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara (Syahadat, 2001).

Syahadat (2001) berpendapat bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian ijin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu : a) Pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri, dan b) Pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan. Untuk hutan rakyat di pulau Jawa, pemanfaatan kayu rakyat dapat meliputi keduanya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hardjanto (2001) bahwa usaha hutan rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor.

Program sertifikasi hutan rakyat yang telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dapat membantu menaikkan harga dan kualitas kayu rakyat, karena terdapat kecenderungan pasar yang lebih tinggi terhadap kayu bersertifikat. Sertifikasi hutan dianggap sebagai sebuah mekanisme yang bisa mewujudkan keadilan dalam usaha hutan rakyat, karena program ini mungkin bisa memberikan insentif yang lebih baik kepada pengusaha hutan yang bisa mengelola hutan secara lestari. Namun masih banyak kendala/tantangan yang bisa menghambat proses sertifikasi hutan rakyat.

Hinrich (2008) menyebutkan bahwa kendala tersebut secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal constraints, yang merupakan kendala dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri, dan external constraints, yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hutan rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan minat petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan.

2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat

Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan dari social-institution yang menurut Soekanto (1981) menunjuk pada suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya


(23)

norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Tetapi ada juga yang mempergunakan istilah pranata-sosial, dimana definisi tersebut menekankan pada sistim tata kelakuan atau norma-norma sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa “pranata sosial adalah suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.”Lembaga menunjuk pada bentuk struktur, sedangkan pranata sosial menunjuk pada norma2 atau aturan main. Istilah lain yang digunakan sebagai padanan dari social institutionadalah kelembagaan sosial.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Hardjanto (2003) membagi kelembagaan usaha kayu rakyat menjadi tiga bagian, yaitu: 1). Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat; 2). Kelembagaan Sosial; 3). Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Sistem tersebut meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan sarana produksi tani (saprotan), hingga produktivitas lahan. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.

Hakim, (2009) menggambarkan bahwa produksi sengon rakyat di Wonosobo mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 diiringi dengan peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon. Peningkatan permintaan kayu sengon diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya pasokan kayu dari luar jawa, menurunnya produksi kayu dari kawasan hutan negara (Perum Perhutani) dan semakin meningkatnya pangsa pasar dan jumlah unit industri yang membutuhkan bahan baku kayu sengon untuk berbagai jenis produk seperti kayu bangunan, moulding, papan lamina dan kayu lapis. Hal tersebut


(24)

menyebabkan kenaikan harga kayu sengon di setiap titik rantai tata niaga kayu sengon, dimana pelaku pemasaran kayu sengon terdiri atas petani, penebas, depo, supplier dan industri.

Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil yang optimum dalam pengelolaan hutan rakyat perlu adanya suatu persatuan antar petani (Haeruman, et.al 1990, dalam Hardjanto, 2003). Suatu organisasi pengelolaan hutan rakyat dapat dibentuk agar pola kerja pengelolaan lebih baik dan teratur. Etzioni (1982) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbanan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai oleh ciri-ciri (1) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi yang sengaja direncanakan untuk dapat meningkatkan usaha mewujudkan tujuan tertentu; (2) ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya; (3) penggantian tenaga.

Sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Alternatif lembaga sebagai wadah bagi petani bisa berupa koperasi atau lembaga kelompok tani jenis lainnya. Prinsip organisasi koperasi adalah menghimpun manusia penduduk pedesaan yang mempunyai kesamaan kepentingan agar mereka dapat lebih meningkatkan kesejahteraannya (Mubyarto, 1988).

Hardjanto (2003) menggunakan definisi Brodjosaputro (1989) bahwa Koperasi Unit Desa adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, terdiri dari kumpulan orang-orang dalam kesamaan dan kebersamaan kepentingan ekonomi serta bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi tersebut menggambarkan bahwa koperasi Unit Desa dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pokok anggotanya, dimana anggota koperasi tersebut adalah masyarakat.


(25)

Dalam pengembangan usaha kayu rakyat, diperlukan adanya kelembagaan yang baik dengan kerjasama yang kuat antar petani. Hal ini bertujuan untuk menopang posisi tawar petani dalam menghadapi pasar. Selain itu dengan adanya kerjasama dan kelembagaan yang baik dalam usaha kayu rakyat ini, petani dapat melakukan pengembangan usaha diantaranya membuka industri kecil untuk pengolahan hasil kayu, dan pemasaran hasil tersebut tanpa perlu melalui tengkulak atau secara langsung kepada konsumen.

Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka. Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya, dimana anggota-anggotanya merupakan pembuat keputusan penting. Walaupun koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram pasar dengan penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa.

Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Dengan begitu, perlu ditelaah lebih jauh, bagaimana pengembangan kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di pulau Jawa untuk menjadi sebuah kelembagaan yang sesuai bagi usaha kayu rakyat.

Semua hutan rakyat butuh pengembangan organisasi kemasyarakatan khusus agar memenuhi persyaratan kesukarelaan, disertifikasi oleh pihak ketiga. Sertifikasi diajukan sebagai pedoman standar, dan konsekuensinya, lembaga-lembaga baru perlu disusun agar sesuai dengan kebutuhan persyaratan sertifikasi. LSM-LSM yang memfasilitasi menerjemahkan organisasi-organisasi yang dipersyaratkan itu dengan mempromosikan kelompok-kelompok tani di desa dan dusun, dan pada tahap berikutnya, membentuk asosiasi yang memayunginya di tingkat kecamatan dan kabupaten.


(26)

Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani, memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil.

Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut, dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut. Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.

2.1.4 Sistem Penghidupan Petani

Beragamnya mata pencaharian petani secara langsung akan berpengaruh kepada jumlah pendapatan petani. Attar (2000) menyatakan bahwa besarnya pendapatan dari satu sumber oleh petani mempengaruhi rata-rata pendapatan dari sumber-sumber lainnya. Pendapatan petani dari hasil penjualan kayu gelondongan atau pohon berdiri sangat bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing petani. jika kebutuhan uang banyak dan mendesak maka petani akan menjual kayu dalam


(27)

jumlah yang banyak dan sebaliknya kalau kebutuhannya kecil dan tidak terlalu mendesak maka petani akan menjual dalam jumlah yang sedikit. Apabila kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi maka petani tidak akan menjual kayu tanaman pokok. Penghitungan besarnya pendapatan dari hasil hutan rakyat dengan cara mengkalikan banyaknya pohon yang dipanen dan dijual dengan harga setiap batangnya. Begitu juga pendapatan dari kayu bakar dihitung dengan mengkalikan jumlah kayu bakar yang dijual dalam satuan tertentu seperti kubik atau pikul dengan harga setiap satuan tersebut. Selanjutnya, Attar (2000) menyebutkan bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan rumahtangga petani. besarnya kontribusi tersebut berbeda-beda berdasarkan pemilikan lahan hutan rakyat.

Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik dari level individu, keluarga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual-materialism dalam membentuk strategi nafkahnya (Widiyanto et.al , 2010). Etika sosial-kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional-instrumental (orientasi pada tujuan memaksimalkan keuntungan).

Suharjito (2002), menjelaskan bahwa pengaturan alokasi tenaga kerja keluarga/rumahtangga dimaksudkan untuk dapat akses pada beragam matapencaharian. Akses pada beragam matapencaharian dicapai dengan cara membangun hubungan sosial (social relations) dan jaringan sosial (social networks). Beragam matapencaharian dilakukan dengan cara seorang anggota keluarga melakukan lebih dari satu pekerjaan maupun setiap anggota keluarga melakukan pekerjaan yang berbeda-beda.

Wilk (1984) dalam Suharjito (2002), menyebut tipe pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perorangan menurut urutan tertentu sebagai linear scheduling, sedangkan pekerjaan yang membutuhkan sejumlah pekerja untuk berkoordinasi pada waktu yang sama disebut simultaneous scheduling. Tipe pekerjaan simultaneous scheduling dibedakan menjadi dua, yaitu (1) semua pekerja melakukan pekerjaan yang sama pada waktu yang sama disebut simple


(28)

simultaneity, dan (2) semua pekerja melakukan pekerjaan yang berbeda pada waktu yang sama disebut complex simultaneity. Kebutuhan tenaga kerja untuk pekerjaan produktif yang lebih simultan dan sistem produksi yang beranekaragam (berbagai pekerjaan harus dilaksanakan pada waktu yang sama) cenderung membentuk rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak.

Dalam kegiatan pertanian, mengacu pada tipe pekerjaan dari Wilk (1984), sebagian pekerjaan tipenya linear scheduling, misalnya menebas semak belukar, membakar, dan mengolah tanah; sebagian lain tipenya simple simultaneity, misalnya menanam, menyiangi dan memanen. Pekerjaan yang tipenya simple simultaneitydapat juga dilakukan satu orang (linear scheduling) apabila lahannya tidak luas dan waktunya cukup. Ketergantungan pada musim (waktu) dalam kegiatan pertanian menuntut penyelesaian pekerjaan tersebut dalam waktu tertentu, sehingga membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama (simple simultaneity).

Pada rumahtangga petani berlahan sempit (<0,25 ha), rumahtangga merupakan sumber tenaga kerja yang utama, jarang menggunakan tenaga kerja dari luar rumahtangga dalam usaha taninya. Pekerjaan usahatani dilakukan dengan tipe linear scheduling. Selanjutnya, Suharjito (2002) menyebutkan bahwa rumahtangga petani berlahan luas (>1,0 ha) umumnya menggunakan tenaga kerja dari rumahtangga lain, disamping tenaga kerja dalam rumahtangga, dan menerapkan tipe simple simultaneity.

Bentuk penggunaan lahan (sawah, tegalan, atau kebun-talun) juga menentukan pilihan sumber tenaga kerja (dalam atau luar rumahtangga). Dalam pengusahaan lahan tegalan, suatu rumahtangga cenderung hanya menggunakan tenaga dalam rumahtangga. Hal itu berkaitan dengan perbandingan penghasilan dan biaya pada usahatani tegalan yang relatif rendah. Hal ini juga cenderung terjadi pada usaha kebun-talun. Apabila usahatani hanya merupakan satu-satunya matapencaharian rumahtangga dan tenaga kerja hanya dari dalam rumahtangga, maka secara hipotetis semakin luas lahan pertanian yang diusahakan semakin banyak jumlah anggota rumahtangga (Netting, 1993) dalam Suharjito (2002).


(29)

2.2 Kerangka Pemikiran

Setiap keluarga petani menempuh strategi nafkah dalam mempertahankan atau meningkatkan kehidupannya termasuk melakukan aktivitas usaha kayu rakyat. Usaha kayu rakyat tersebut merupakan salah satu bagian dari sistem penghidupan keluarga petani.

Matriks 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Berhubungan langsung : Berhubungan tidak langsung

Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem usaha kayu rakyat terdiri dari empat sub sistem, yaitu (1) sub sistem produksi, (2) sub sistem pengolahan, (3) sub sistem pemasaran, dan (4) sub sistem kelembagaan. Penelitian ini akan membahas secara khusus mengenai sub sistem kelembagaan usaha kayu rakyat. Mengacu pada Hardjanto (2003), kerangka kelembagaan usaha kayu rakyat

Strategi Nafkah Petani  Ragam sumber nafkah

(usaha kayu rakyat; pertanian lain; non pertanian)

 Jumlah sumber nafkah

Peran Usaha Kayu Rakyat  Kontribusinya terhadap

pendapatan rumahtangga

 Intensitas atau ketepatan waktu panen

Kelembagaan Usaha Kayu Rakyat  Pengurusan hutan rakyat,

sosial, ekonomi

 Menguatkan atau menghambat


(30)

mencakup kelembagaan pengurusan hutan rakyat, kelembagaan sosial, dan kelembagaan ekonomi.

Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.

2.3 Operasionalisasi Perumusan Masalah

1. Apa peran usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani? 1.1) Apa saja sumber nafkah rumahtangga petani?

1.2) Apa perbedaan sumber nafkah utama dan sampingan petani? 1.3) Apa posisi usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani?

2. Bagaimana peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat?

2.1) Seperti apa kelembagaan usaha kayu rakyat yang terdapat di Desa Curug?

2.2) Bagaimana akses keluarga petani di Desa Curug terhadap usaha kayu rakyat?

2.3) Bagaimana posisi petani kayu rakyat di dalam kelembagaan usaha kayu rakyat?

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Usaha kayu rakyat merupakan bagian dari strategi nafkah ganda petani. 2. Semakin luas lahan yang dimiliki, petani cenderung menanam lebih

banyak pohon kayu.

3. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk antar aktor usaha kayu rakyat menentukan pilihan petani dalam melakukan usaha kayu rakyat.

4. Petani kayu rakyat memiliki bargaining position terlemah dalam sistem pemasaran kayu rakyat.


(31)

2.5 Definisi Operasional

Dalam mengukur variabel-variabel yang akan digunakan untuk penelitian ini, maka perumusan dari masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi secara operasional sebagai berikut :

No Variabel Data Definisi Operasional Pengukuran 1. Strategi

Nafkah Petani Kayu Rakyat

Pilihan sumber-sumber nafkah yang dimiliki oleh petani untuk menghidupi keluarganya

Strategi nafkah petani terdiri atas pilihan :

a. usaha kayu rakyat

b. pertanian non usaha kayu rakyat

c. non pertanian 2. Kelembagaan

usaha kayu rakyat

Kelembagaan usaha kayu rakyat dibagi menjadi : a. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat b. Kelembagaan sosial c. Kelembagaan ekonomi Kelembagaan pengurusan hutan rakyat meliputi : a. Penguasaan lahan b. Pengurusan pohon kayu

rakyat

Kelembagaan sosial meliputi : a. Norma atau aturan yang

berlaku terhadap usaha kayu rakyat

b. Hubungan kerja antar aktor dalam usaha kayu rakyat Kelembagaan ekonomi meliputi :

a. Perolehan modal petani kayu rakyat

b. Pemasaran kayu rakyat 3. Kontribusi

usaha kayu rakyat

Kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan petani

Kontribusi usaha kayu rakyat dihitung berdasarkan

produktivitas kayu rakyat atau pendapatan dari hasil penjualan kayu rakyat, terhadap total pendapatan petani kayu rakyat


(32)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama bulan April – September 2011. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan observasi dan melalui studi literatur. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masyarakat Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor telah melakukan usaha kayu rakyat dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 1 Ha. Hal ini menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil di daerah ini.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif didukung dengan data-data kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini didapatkan dengan observasi dan wawancara mendalam kepada responden dan informan, dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara dan kuesioner.

Pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup digunakan untuk menghindari kesalahan persepsi antara jawaban yang diinginkan peneliti dengan jawaban yang diberikan responden, sedangkan pertanyaan terbuka digunakan untuk memberikan kebebasan terhadap responden untuk menjawab pertanyaan.

Unit analisa dalam penelitian ini adalah 30 rumahtangga petani yang melakukan usaha kayu rakyat di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor dengan batasan setiap petani yang memiliki atau menggarap lahan dan menanam tanaman keras (kayu). Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan dua orang pedagang pengumpul dan satu orang pengusaha industri kayu lokal. Peneliti juga melakukan pendekatan terhadap seorang informan kunci mengenai gambaran umum usaha kayu rakyat yang dilakukan masyarakat Desa


(33)

Curug. Selain itu peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan untuk melihat usaha kayu rakyat yang dilakukan oleh masyarakat.

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data yang diperoleh dari hasil rekapitulasi kuesioner responden diolah dan ditabulasi kemudian dianalisa secara deskriptif. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif dan diperkuat oleh data kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, bagan, dan gambar. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah dan dipaparkan melalui penjelasan ilmiah.


(34)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Letak dan Luas Desa Curug

Desa Curug merupakan sebuah desa dengan luas 1.265 Ha yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Curug terletak pada ketinggian sekitar 135 – 170 m di atas permukaan laut dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sungai besar yang mengalir melewati desa ini bernama Sungai Cibeureum. Berbatasan sebelah Utara dengan Desa Tegalwangi dan Desa Koleang, sebelah Timur dengan Desa Jasinga dan Desa Jugalajaya. Pada tahun 2007, Desa Curug melakukan pemekaran dengan membagi wilayahnya di sebelah Selatan menjadi sebuah Desa yang terpisah dengan nama Desa Wirajaya. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Guradog, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak.

4.2 Kependudukan Desa Curug

Jumlah penduduk di desa ini 5.016 jiwa dengan proporsi laki-laki 2.548 jiwa dan perempuan 2.468 jiwa. Terdiri dari 1.136 keluarga dan 70 persen diantaranya memiliki mata pencaharian utama di bidang pertanian, dengan 397 keluarga beranggotakan buruh tani.

Pada saat penelitian, tidak tersedia kelengkapan data monografi Desa Curug. Kekurangan data ini menyebabkan peneliti sulit untuk menghitung jumlah penduduk desa menurut usia dan tingkat pendidikan. Peneliti telah mencoba untuk mencari sumber data dari kecamatan, tetapi sayangnya data monografi Desa Curug memang belum diperbaharui.


(35)

Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Curug menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010/2011

No. Golongan Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki dan Perempuan Jumlah Absolut (%) Jumlah Absolut (%)

1. 0 - 4 228 47.2 255 52.8 483

2. 5 - 9 250 49.0 260 50.9 510

3. 10 - 14 250 49.0 260 50.9 510

4. 15 - 19 232 50.1 231 49.9 463

5. 20 - 24 216 49.5 220 50.5 436

6. 25 - 29 214 50.8 207 49.2 421

7. 30 - 34 222 51.9 206 48.1 428

8. 35 - 39 195 50.1 194 49.9 389

9. 40 - 44 185 50.7 180 49.3 365

10. 45 - 49 197 55.8 156 44.2 353

11. 50 - 54 169 55.8 134 44.2 303

12. 55 - 59 159 57.6 117 42.4 276

13. 60 - 64 - - - -

-14. >= 65 - - - -

-Jumlah - - - -

-Sumber : Monografi Desa Curug, 2008

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Curug menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2010/2011

No. Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki dan Perempuan Jumlah Absolut (%) Jumlah Absolut (%)

1. Belum sekolah 106 50.48 104 49.52 210

2. Sekolah Dasar /

sederajat - - - -

-3. Tamat SD /

sederajat 782 58.05 565 41.95 1347

4. Tamat SMP /

sederajat 259 54.30 218 45.70 477

5. Tamat SMA /

sederajat 93 63.27 54 36.73 147

6. Tamat Akademi /

Diploma - - - -

-7. Tamat Sarjana - - - -

-8. Tamat

Pascasarjana - - - -

-Jumlah - - - -


(36)

Sebagian besar masyarakat memiliki anggapan bahwa bekerja di desa tidak akan berkembang, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SD dan SMP lebih memilih bekerja di kota. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari SMA jarang sekali membawa hasil pendidikannya ke desa untuk mengembangkan desanya, sehingga terlihat pada Tabel 2 bahwa tingkat pendidikan masyarakat cenderung lulusan SD/sederajat.

Salah seorang responden pada saat wawancara mengakui bahwa hanya beliau seorang yang merupakan PNS dan menjabat sebagai staf desa. Berikut dituturkan oleh MSY (46 Tahun):

“Warga desa ini jarang yang ngelanjutin sekolah pak, paling-paling cuman sampai SD. Sekolah emang jauh dan mahal lagi (biayanya). Disini staf desa yang PNS cuman saya, pak kades saja bukan PNS kan. Ya walaupun gaji staf desa ga seberapa, tapi alhamdulillah saya masih bertahan disini. Saya punya pabrik karet juga soalnya kan.”

4.3 Ekonomi Desa Curug

Masyarakat di Desa Curug rata-rata mempunyai sawah dan lahan kering baik berupa kebun ataupun pekarangan, namun dengan luas yang dapat dibilang relatif sempit. Pengairan untuk sawah-sawah tersebut menggunakan sistem tadah hujan, hampir semua masyarakat tidak menggunakan sistem irigasi untuk mengairi sawah mereka.

Tabel 3. Luas Lahan menurut Penggunaannya di Desa Curug Tahun 2010/2011

No. Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1. Sawah 104

-2. Pertanian lahan kering 1265

-3. Perumahan 27

-4. Pekarangan 11

-5. Perkebunan rakyat 500

-6. Perkebunan swasta besar 400

-7. Hutan rakyat -

-8. Hutan konsesi HPH -

-9. lain-lain -

-Jumlah -


(37)

Seperti halnya jumlah penduduk menurut usia dan tingkat pendidikan, data mengenai luas lahan menurut penggunaannya di Desa Curug tidak tersedia seluruhnya, sehingga luas penggunaan lahan Desa Curug tidak dapat dipersentasikan. Bahkan peneliti menemukan kejanggalan, yaitu jumlah luas lahan dari data yang tersedia pada Tabel 3 bila dikalkulasikan melebihi jumlah luas lahan Desa Curug yang tertulis pada daftar Potensi Desa (BPS, 2008).

Lahan sawah masyarakat hampir semua ditanami padi, sedangkan pekarangan selain dibangun rumah juga ditanami tanaman yang dapat menunjang kebutuhan hidup keluarga sehari-hari seperti pisang, kelapa, manggis, dan lain-lain. Lahan kebun yang dimiliki masyarakat didominasi oleh tanaman karet, sengon, dan bambu. Petani di Desa Curug memiliki sebutan yang berbeda-beda untuk pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Beberapa menyebut pohon sengon seperti biasa, namun ada pula yang menyebutnya dengan albasia, ambon, atau jengjeng. Keseluruhan sebutan tersebut merujuk pada satu jenis tanaman yang sama.

Mata pencaharian masyarakat tidak terlalu beragam, dengan jumlah paling banyak menjadi petani penyadap karet. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pabrik karet (lateks) yang dimiliki oleh beberapa masyarakat lokal. Pekerjaan sampingan masyarakat mulai dari staf desa, guru, buruh (buruh angkut kayu, buruh bangunan, buruh tani), dan pedagang.

Hakim (2009) mengatakan salah satu ciri utama hutan rakyat adalah unit pengelolaan (manajemen unit)-nya adalah skala rumahtangga dengan bentuk kepemilikannya berbentuk “girik” atau tanah adat yang terdaftar pada Kantor Kepala Desa dengan luasan areal lahannya rata-rata dibawah 1 (satu) hektar. Penguasaan lahan oleh masyarakat Desa Curug sudah difasilitasi oleh pemerintah, dalam hal ini Desa, setelah adanya persetujuan atas permohonan penggarapan tanah adat oleh masyarakat dari eks HGU PTPP Jasinga. Pada tahun 1953, masyarakat sudah memiliki “girik” atau sekarang disebut Surat Keterangan Desa (SKT) sebagai bukti kepemilikan lahan mereka.

Usaha Kayu Rakyat banyak dilakukan oleh masyarakat, baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar. Untuk skala kecil, “petani kayu” lebih cenderung melakukan “tebang butuh”, atau menebang kayu apabila membutuhkan uang


(38)

untuk berbagai keperluan saat itu. Hal ini diakui masyarakat karena mereka mengalami kekurangan modal untuk melakukan budidaya, baik untuk memperoleh bibit unggul maupun perawatan dari pohon-pohon tersebut. Akan tetapi masyarakat merasa sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai usaha kayu rakyat ini. Pada tahun 2010 masyarakat pernah mengusulkan pembukaan lahan seluas 35 Ha untuk penanaman sengon disertai permintaan bantuan bibit, dengan mengajukan kepada BP3K, tetapi hingga saat ini belum mendapat respon positif.

4.4 Sarana dan Prasarana Desa Curug

Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Curug terdapat 4 Sekolah Dasar Negeri, 1 buah Madrasah Diniyah (setingkat SD), 1 buah SMPN Negeri, dan 2 Pesantren. Jarak Taman Kanak-Kanak terdekat sejauh 5 km dari Kantor Desa, sedangkan jarak SMAN terdekat sejauh 6 km dan SMK terdekat sejauh 9 km.

Desa Curug memiliki 1 puskesmas pembantu/poliklinik, dengan 1 dokter dan 2 bidan. Untuk sarana keagamaan, desa ini memiliki 5 buah mesjid dan 5 buah mushola karena penduduknya mayoritas beragama islam. Sarana olahraga yang terdapat di desa ini berupa 5 lapangan sepakbola dan 2 lapangan bulutangkis.

Sebagian masyarakat telah menggunakan aliran listrik dari PLN, namun hingga kini belum terdapat penerangan di sepanjang jalan utama menuju desa. Bahan bakar keluarga yang sering digunakan adalah kayu bakar, walaupun beberapa keluarga telah menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, masih terdapat pemukiman kumuh sejumlah 120 rumah dengan 132 keluarga, dan tersebar di 5 lokasi.

Masyarakat masih sering memanfaatkan sungai Cibeureum untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, bahkan minum. Sangat memprihatinkan karena sebagian besar masyarakat belum memiliki pembuangan air yang memadai untuk keperluan buang air besar, dan beberapa masyarakat melakukan buang air di sungai tersebut.


(39)

BAB V

PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

5.1 Strategi Nafkah Petani

Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya. Berbagai usaha yang dilakukan meliputi usaha pertanian (sawah, kebun, usaha kayu rakyat), dan usaha di bidang non pertanian. Rata-rata masyarakat di Desa Curug memiliki sawah yang tidak terlalu luas, cukup untuk konsumsi sehari-hari saja, bahkan ada beberapa yang tidak memiliki sawah. Masyarakat Desa Curug cenderung memiliki lebih dari satu sumber nafkah. Dapat dilihat pada Tabel 4, jumlah responden terbanyak memiliki tiga sumber nafkah dengan persentase lebih dari 50%.

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Nafkah

Jumlah Sumber Nafkah Jumlah Responden Persentase (%)

1 0 0

2 7 23,33

3 17 56,67

4 5 16,67

5 1 3,33

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer, 2011

Mata pencaharian utama masyarakat dominan menjadi buruh penyadap karet, baik di kebun sendiri, kebun keluarga, maupun kebun orang lain. Menyadap karet dilakukan dari pagi hingga tengah hari, dengan penghasilan sebesar Rp 12.000,00/liter. Setiap harinya seorang buruh sadap karet, baik laki-laki maupun perempuan, rata-rata dapat menghasilkan sekitar dua liter getah karet per hari. Hal itu dilengkapi oleh penanaman atau usaha budidaya kayu (sengon) pada lahan mereka sendiri.


(40)

Sebagian besar masyarakat Desa Curug memiliki sawah dengan frekuensi panen dua kali dalam satu tahun, dan cenderung subsisten. Berdasarkan data monografi Desa Curug, 70 persen mata pencaharian utama penduduk berada di bidang pertanian, dengan 30 persen keluarga beranggotakan buruh tani.

Pertanian menjadi sumber nafkah utama bagi masyarakat Desa Curug, namun non pertanian juga merupakan sumber nafkah yang penting. Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) menyebutkan bahwa peluang kerja bagi buruh tani dan petani gurem yang miskin nampaknya memang lebih banyak dapat diharapkan dalam kegiatan-kegiatan non-pertanian. Pada usaha non pertanian, sumber pendapatan masyarakat bervariasi dari menjadi staf desa, karyawan pabrik, guru, buruh, hingga tukang kredit. Masyarakat menjadikan usaha kayu rakyat sebagai sampingan, juga sebagai tabungan apabila pada saat-saat mendesak mereka memerlukan uang yang cukup banyak.

Menurut Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) di negara kita, seperti juga negara-negara berkembang lain, karena harga-harga hasil pertanian pada umumnya selalu tertekan, sedangkan barang-barang non-pertanian harganya lebih leluasa naik, maka nilai tukar (term of trade) komoditi pertanian cenderung menurun. Akibatnya penghasilan mereka yang hidup dari kegiatan pertanian biasanya rendah dan tertekan. Bagi buruh tani dan petani gurem, yang banyak menggantungkan pendapatannya pada para pemilik tanah, peluang kerja dan berusaha menjadi sempit. Mereka kadang-kadang bekerja penuh, kadang-kadang tidak penuh. Tapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa mereka bekerja keras (penuh) dengan penghasilan yang rendah sekali.

Keluarga-keluarga petani di Desa Curug cenderung menggantungkan sumber pendapatan kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun memang terdapat wanita sebagai istri dari kepala keluarga, yang turut bekerja sebagai buruh tani atau pedagang untuk menambah penghasilan keluarga. Banyaknya jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi jumlah penghasilan keluarga mereka. Anak yang beranjak dewasa cenderung mencari pekerjaan diluar desa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan kemudian membentuk keluarganya sendiri. Meskipun demikian, menurut masyarakat ketersediaan tenaga kerja di Desa Curug tidak pernah berkurang.


(41)

Beberapa masyarakat yang ditemui peneliti mengemukakan bahwa mereka mempunyai keinginan untuk membuka usaha kerajinan dari bambu, baik berupa anyaman atau kerajinan lainnya. Hal ini dapat menambah nilai jual dari bambu yang banyak tumbuh di lahan mereka, dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Namun keterampilan mengolah bambu tersebut kurang dikuasai oleh masyarakat, sehingga mereka terpaksa menjual batang-batang bambu yang belum diolah. Padahal jika mereka dapat mengolah bambu-bambu menjadi berbagai bentuk anyaman, nilai ekonomis dari bambu tersebut akan meningkat secara signifikan.

5.2 Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani

Masyarakat mengakui mereka tertarik untuk memulai usaha kayu rakyat, dikarenakan melihat atau mendengar cerita-cerita keberhasilan tetangganya dalam melakukan usaha kayu rakyat. Apalagi pada saat tertentu mereka memerlukan uang dalam jumlah cukup banyak seperti untuk khitanan anak, pernikahan, dan lain-lain.

Salah seorang responden (HMA, 52 Tahun) menceritakan usahanya yang berawal dari petani biasa hingga menjadi salah seorang yang berpenghasilan lebih dari 5 juta per bulan.

“Waktu dulu saya cuman petani biasa aja, belajar dari bapak (almarhum). Lalu saya nyoba-nyoba jualan kayu punya bapak sama ngumpulin dari tetangga juga. Saya beli kayu-kayunya (tetangga), semacem manggis, kecapi, jengjeng, rambutan, kemudian saya jual lagi ke orang yang dateng nyari kayu. Waktu itu saya sempet menjabat jadi kepala desa juga. Karena untungnya lumayan (penghasilannya), saya beliin tanah buat tanam jengjeng (sengon). Sekarang saya udah pensiun tapi alhamdulillah pohonnya masih ada, kemarin habis jual juga (kayu).”

Pendapatan petani dari hasil penjualan pohon berdiri sangat bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing petani. Jika kebutuhan uang banyak dan mendesak maka petani akan menjual semua kayunya kepada pembeli dengan harga yang dirasa cocok tanpa pikir panjang dan tanpa memperhitungkan usia dari pohon-pohon yang ditebang (tebang habis). Sebaliknya apabila kebutuhan


(42)

uang tidak terlalu mendesak maka petani lebih mempertimbangkan keuntungan sebesar-besarnya, yaitu pembeli dengan harga paling tinggi dengan memperhitungkan usia pohon mereka.

Beberapa orang masyarakat yang ditemui pada saat penelitian mengaku bahwa kayu-kayu yang digunakan untuk membangun rumah mereka berasal dari kayu-kayu di lahan mereka sendiri ataupun membeli dari tetangga mereka. Seperti dituturkan oleh JAR (70 tahun) yang mengaku menjual pohon kecapi dan manggisnya.

“Setelah bapak meninggal dua tahun lalu, yang saya punya ya cuma rumah ini sama pohon-pohon yang tadinya diurus bapak. Anak-anak pada keluar (kerja dan berkeluarga sendiri), ya untuk nambah uang saya jual saja (pohon) ambon (sengon), kecapi, sama manggis bapak, daripada ga keurus. Sisanya (kayu) buat benerin rumah sama masak (kayu bakar).”

Masyarakat Desa Curug rata-rata menjual pohon sengon milik mereka pada usia 5 tahun. Pada saat penelitian, beberapa informan menyebutkan harga jual satu pohon sengon dengan diameter 20-30 cm adalah Rp 400.000,00. Tabel 5 menunjukan keuntungan responden per tahun dari hasil penjualan kayu rakyat, yang diperoleh melalui perhitungan antara penghasilan usaha kayu rakyat per siklus panen dibagi usia panen pohon. Total pendapatan pertahun didapat berdasarkan keterangan penghasilan keluarga responden perbulan, dikalikan 12 bulan. Sehingga persentasi kontribusi usaha kayu rakyat responden pertahun dihitung melalui keuntungan usaha kayu rakyat pertahun dibagi total pendapatan rumahtangga pertahun.


(43)

No. Responden

Sumber Nafkah Keluarga

Usaha kayu rakyat

Usaha pertanian lain

Non pertanian

Lahan basah Lahan kering

1 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Sekertaris Desa (PNS)],

[Pabrik pengolahan karet (lateks)]

2 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Staf Desa (bukan PNS)]

3 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu] [Wiraswasta]

4 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Pedagang]

5 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu]

-6 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu, Pisang, Singkong,

Manggis]

[Pedagang]

7 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Guru],[Pedagang]

8 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, manggis, cempedak]

-9 Bagi hasil sengon - [Bagi hasil karet dan bambu] [Pedagang]

10 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Pisang, Singkong]

-11 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Kecapi] [Pedagang]

12 Budidaya sengon - [Karet, Bambu]

-13 Budidaya sengon [Sawah], [Buruh tani] [Karet] [Pedagang]

14 Budidaya sengon [Sawah] - [Buruh toko material]

15 Buruh angkut kayu [Bagi hasil sawah] -


(44)

Matriks 3. Jenis Sumber Nafkah Keluarga Pelaku Usaha Kayu Rakyat di Desa Curug Tahun 2010/2011

17 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Karyawan]

18 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Kecapi]

-19 Bagi hasil sengon [Sawah], [Buruh tani] [Manggis]

-20 Budidaya sengon [Buruh tani] [Karet]

-21 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Rambutan] [Karyawan], [Tukang kredit]

22 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Jengkol, Manggis, Mangga] [Ustadz]

23 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Pisang, Singkong, Ubi] [Bengkel las], [Pedagang]

24 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, bambu] [Guru ngaji]

25 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Pedagang],[Guru ngaji]

26 Budidaya sengon [Sawah] -

-27 Budidaya sengon [Sawah] [Karet]

-28 Bagi hasil sengon [Sawah] [Karet]

-29 Budidaya sengon - - [Pabrik pengolahan karet (lateks)]


(45)

Tabel 5. Kontribusi Usaha Kayu Rakyat terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani Per Tahun 2011

No. Responden Usia panen kayu (tahun) Pendapatan usaha kayu rakyat

( X Rp 1000)

Total pendapatan

pertahun (X Rp 1000)

Kontribusi usaha kayu

rakyat (%) Per panen Per tahun

5 4 30.000 7.500 60.000 12.5

6 3 16.000 5.333 60.000 8.8

1 5 4.000 800 60.000 1.3

7 3 10.000 3.333 36.000 9.2

11 5 7.000 1.400 36.000 3.8

10 6 6.000 1.000 36.000 2.7

2 5 4.000 800 36.000 2.2

26 5 4.000 800 36.000 2.2

25 5 3.000 600 36.000 1.6

4 4 4.000 1.000 24.000 4.1

23 4 3.000 750 24.000 3.1

3 5 2.500 500 24.000 2.0

27 4 1.000 250 24.000 1.0

12 7 800 114 24.000 0.4

24 3 400 133 18.000 0.7

30 5 500 100 14.400 0.6

8 5 5.000 1.000 12.000 8.3

18 5 3.000 600 12.000 5.0

20 5 500 100 12.000 0.8

22 5 500 100 6.000 1.6

16 6 500 83 6.000 1.3

29 belum jual - - 60.000

-21 belum jual - - 36.000

-13 belum jual - - 24.000

-28 belum jual - - 24.000

-9 belum jual - - 12.000

-14 belum jual - - 12.000

-17 belum jual - - 12.000

-19 belum jual - - 12.000

-15 belum jual - - 6.000


(46)

Pendapatan usaha kayu rakyat

pertahun

=

Pendapatan usaha kayu rakyat per panen

Usia panen

Kontribusi usaha kayu rakyat

=

Pendapatan usaha kayu rakyat pertahun

X 100% Total pendapatan rumahtangga

pertahun

Tingkat kontribusi usaha kayu rakyat yang masih rendah disebabkan produktivitas usaha kayu rakyat dan harga jual kayu yang rendah. Harga jual kayu yang diterima petani lebih rendah dari harga pasar, karena petani menjual kayu dengan sistem ijon atau tebang butuh.

Peran pendapatan dari usaha kayu rakyat menjadi sangat penting pada saat pelaku usaha kayu rakyat membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai hal tertentu seperti berobat, nikahan anak, khitanan anak, pendidikan, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan pendapatan masyarakat perbulan biasanya telah dialokasikan untuk berbagai keperluan rumahtangga, sehingga pada saat tertentu keluarga membutuhkan dana lebih yang bisa dikeluarkan seperti layaknya tabungan. Kayu dalam hal ini berperan sebagai tabungan jangka panjang, dan dapat ditebang pada usia yang telah diperhitungkan, ataupun pada saat dibutuhkan.

Berdasarkan data penelitian, kontribusi penghasilan dari usaha kayu rakyat cenderung dibawah 5% dari total pendapatan keluarga pertahun. Hal ini dikarenakan penjualan kayu rakyat oleh unit usaha kayu rakyat pada tingkat keluarga belum terpola dengan baik. Kepemilikan lahan yang terbatas, menjadi salah satu pengaruh yang berarti bagi produktivitas kayu rakyat. Bagi masyarakat dengan lahan luas, siklus panen kayu rakyat dapat terjadi setiap tahun, dua tahun sekali, atau tiga tahun sekali. Sedangkan bagi masyarakat yang hanya menanam kayu pada lahan-lahan sisa seperti pekarangan, siklus panen


(47)

kayu hanya dapat terjadi setiap tiga sampai lima tahun sekali sesuai umur panen kayu sengon yang ditanam. Namun dengan melihat Tabel 5 dan Tabel 6, secara umum dapat disimpulkan bahwa responden yang total pendapatannya lebih besar cenderung memiliki pendapatan dari usaha kayu rakyat yang lebih besar. Hal ini dikarenakan petani tersebut memiliki lahan yang lebih luas, maupun pendapatan berlebih yang dapat digunakan untuk menanam kayu lebih banyak.

Tabel 6. Jumlah Responden menurut Persentase Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani

Kontribusi Usaha Kayu Rakyat (%) Jumlah Responden (%)

Belum ada 9 30

< 5 17 57

5,1 - 10 3 10

> 10 1 3

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer, 2011

Jumlah pohon yang dipanen tiap siklus kayu rakyat menjadi pengaruh selanjutnya dari besaran kontribusi kayu rakyat terhadap total pendapatan masyarakat. Bagi masyarakat dengan lahan relatif sempit, mereka hanya dapat menanam beberapa batang pohon, bahkan pada saat penelitian ditemukan masyarakat yang hanya memiliki dua hingga tiga batang pohon sengon yang ditanam di pekarangan rumah. Masyarakat dengan lahan yang lebih luas dapat menanam lebih banyak pohon sengon, baik berdampingan dengan karet, maupun monokultur. Hal tersebut menjadi sebuah peluang bagi pelaku usaha kayu rakyat untuk melakukan rotasi tanam dan panen kayu, sehingga penghasilan dari usaha kayu rakyat menjadi semakin besar bila dihitung pertahun, dan meningkatkan nilai kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani.


(48)

BAB VI

KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat

Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat dijadikan penghasilan sehari-hari, dan kepemilikan lahan yang sempit, sehingga tidak dapat melakukan penanaman dalam skala besar. Walaupun demikian, beberapa masyarakat mengakui justru dengan lahan mereka yang terbatas, mereka lebih memilih untuk menanam kayu daripada tanaman budidaya lainnya sebagai tabungan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan (tebang butuh). Menanam kayu juga diakui tidak sulit, masyarakat memperoleh bibit dari hutan, dan setelah penanaman tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif.

Masyarakat Desa Curug sebagian besar tidak mengakui adanya norma ataupun aturan-aturan khusus yang berlaku mengenai usaha kayu rakyat. Baik berupa adat setempat ataupun aturan yang memang diberlakukan oleh pemerintah. Akan tetapi pemerintah desa setempat mengakui bahwa sebenarnya terdapat sebuah aturan khusus mengenai usaha kayu rakyat ini. Seharusnya terdapat pencatatan dalam setiap batang kayu yang keluar dari tanah desa, atau disebut juga SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) kayu, sehingga desa dapat memonitor setiap kayu yang keluar. Namun pada kenyataannya aturan ini tidak diakui wajib oleh masyarakat setempat, dan kebanyakan tidak melaksanakannya. Seperti dituturkan oleh AER (30), seorang staf desa berikut.

“Sebenarnya ada aturan kepada masyarakat untuk melaporkan setiap menjual kayu, ya memang ada biaya semacam retribusi sebesar 10% dari hasilnya. Itu digunakan untuk keperluan administrasi saja, dan fleksibel juga, tidak harus segitu, seikhlasnya saja. Namun masyarakat tidak ada yang peduli, tidak melaporkan. Kan kita yang bingung, mau laporan ke kecamatan juga gimana.”

Masalah lain yang ditemukan di lokasi penelitian adalah masyarakat dipersulit dengan aturan seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan SIT (Surat Izin Tebang), khususnya untuk membudidayakan tanaman Jati (Tectona grandis) dan Mahoni (Swietenia macrophylla). Masyarakat menjadi


(49)

segan untuk membudidayakan tanaman Jati dan Mahoni karena kesulitan mengurus SKSHH dan SIT. Petani kayu mengakui mereka lebih memilih untuk membudidayakan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) karena tidak memerlukan ijin khusus untuk menanam atau menebang tanaman tersebut.

Pengertian dan penafsiran serta program pengembangan tentang Hutan Rakyat sudah harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan supaya pengembangan teknologi, manajemen, dan kelembagaan Hutan Rakyat lebih intensif dan inovatif untuk memelihara budaya masyarakat dalam membudidayakan tanaman kehutanan di lahan miliknya. Pengertian-pengertian tersebut, jangan sampai menimbulkan kesan sebagai bentuk intervensi pemerintah yang kontra produktif bagi pengembangan gerakan penanaman pohon yang sedang digalakkan. Pengelolaan tanaman kayu oleh rakyat yang dikembangkan secara swadaya, dengan modal biaya, lahan dan tenaga kerja sendiri harus terlepas dari berbagai hambatan birokratis. Aturan SKSHH dan SIT harus dibuat untuk dalam rangka penataan, pengaturan, dan pengurusan serta pengembangan Hutan Rakyat yang berorientasi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Pada saat penelitian, tidak ditemukan adanya usaha pembibitan yang dilakukan oleh masyarakat desa curug. Hampir seluruh responden mengakui mereka mendapatkan bibit dari hutan, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit. Kegiatan budidaya sengon diakui sudah menjadi tradisi lama di Desa Curug. Beberapa responden mengatakan bahwa sejak habisnya masa HGU PTP. Jasinga, masyarakat mulai menanam pohon sengon untuk mengisi tanah-tanah kosong milik mereka. Hal ini dilakukan setelah adanya tanda terima dan persetujuan pemerintah atas permohonan penggarapan tanah adat oleh masyarakat. Sejak saat itu, kegiatan budidaya sengon menjadi usaha sampingan yang banyak dilakukan masyarakat.

Masyarakat Desa Curug yang menanam pohon sengon pada lahan-lahan milik mereka, biasanya dicampur dengan tanaman lain seperti karet, kecapi, dan tanaman buah-buahan pada lahan yang berkisar antara 0,5 – 1 Ha. Petani pemilik lahan yang lebih luas dari 1 Ha cenderung menanam sengon dan karet pada lahan yang berbeda (monokultur) dengan jarak tanam 3 x 3 meter2, sedangkan


(50)

petani berlahan sempit atau dalam hal ini kurang dari 0,5 Ha menanam sengon dimana saja terdapat lahan miliknya yang kosong seperti sekeliling rumah atau di pinggir sawah mereka.

Tanaman Sengon dipilih sebagai usaha kayu rakyat dikarenakan usia panennya yang relatif lebih pendek jika dibandingkan tanaman kayu lain, yaitu 4-5 tahun sudah memiliki diameter sekitar 20-30 cm dengan harga mencapai 400 ribu rupiah per pohon. Selain itu, setelah batang sengon ditebang akan muncul sedikitnya dua tunas baru yang akan tumbuh kembali. Sehingga keuntungan selanjutnya akan menjadi lebih besar. Siklus hidup satu pohon sengon tersebut akan berulang setidaknya 3 kali. Setelah 3 kali dilakukan penebangan, pohon tersebut sudah menurun kualitas kayunya sehingga harus dilakukan penebangan habis dan menanam bibit yang baru.

Pemanenan kayu rakyat dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh yang menyebabkan konsep kelestarian hasilnya belum berdasarkan kepada kontinuitas hasil yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman. Konsep kontinuitas hasil tidak terlalu dipertimbangkan oleh masyarakat, selain karena desakan kebutuhan ekonomi dan kepemilikan lahan yang relatif sempit, dengan jumlah pohon yang tidak terlalu banyak, pembeli/pengumpul di daerah ini terbiasa melakukan sistem borongan atau membeli semua pohon kayu yang masih berdiri tegak, tanpa mempertimbangkan usia dari pohon-pohon tersebut. Hal tersebut mungkin menjadi sebuah konsep kontinuitas yang dilakukan oleh pengumpul, karena mereka melakukan daur pemanenan secara bergiliran dari tiap lahan masyarakat.

6.2 Kelembagaan Sosial

Aktor-aktor usaha kayu rakyat meliputi petani kayu, pedagang pengumpul, “gesekan” atau penggergaji kayu, kemudian industri kayu. Selanjutnya hasil olahan industri dipasarkan kembali sebagai barang jadi/setengah jadi. Pada lokasi penelitian, tidak terlalu tampak adanya hubungan sosial yang kuat antar aktor usaha kayu rakyat. Jenis dan jumlah pohon yang ditanam, serta penjualan batang-batang pohon kayu rakyat ditentukan oleh keluarga petani, sedangkan harga kayu rakyat masih ditentukan oleh pembeli dan pengguna. Petani kayu


(1)

• Rumah Sakit • Dokter • Bidan • Mantri 3. Keagamaan

• Masjid • Mushola • Gereja • Lainnya 4. Olahraga

• Lapangan sepakbola • Lapangan volly • Lapangan bulutangkis • Tenis meja

A.5. Kegiatan Pihak Luar (Pemerintah, Perusahaan, LSM) yang ada di Desa ”A”

1) Bagaimana kegiatan penyuluhan pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan (jika ada) yang dilakukan oleh pemerintah (dinas-dinas propinsi, kabupaten) ? (intensitas, bentuk kegiatan, jumlah petugas)

2) Bagaimana kegiatan community development (jika ada) yang dilakukan oleh perusahaan (perkebunan, kehutanan) ? (intensitas, bentuk kegiatan, jumlah petugas)

3) Bagaimana kegiatan pendampingan masyarakat (jika ada) yang dilakukan oleh LSM ? (intensitas, bentuk kegiatan, jumlah petugas)


(2)

A.6. Organisasi/ kelompok/ perkumpulan/ paguyuban masyarakat (di bidang ekonomi, kesenian, olahraga, keagamaan, kekeluargaan, atau lainnya)

1) Gambarkan dan uraikan kelengkapan struktur pemerintahan desa

2) Sebutkan nama-nama dan jumlah anggota organisasi/ kelompok/ perkumpulan/ paguyuban masyarakat yang ada di dalam desa ”A”

3) Sebutkan nama-nama organisasi/ kelompok/ perkumpulan/ paguyuban di luar desa ”A” yang diikuti oleh warga masyarakat desa ”A”

4) Sebutkan nama-nama dan jumlah dusun/ kampung di desa ”A”

B. Data Keluarga/Rumahtangga Responden di Desa “A” 1. Data keluarga menurut jenis kelamin, umur, dan pendidikan

No. Nama Jenis

Kelamin

Umur Pendidikan*) Keterangan**)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

*) Pendidikan: (1) tidak sekolah; (2) tamat SD; (3) tamat SD tetapi tidak tamat SLTP; (4) tamat SLTP tetapi tidak tamat SLTA; (5) tamat SMA

**) Kepala keluarga, istri, anak, menantu, orang tua, mertua, adik kandung, adik ipar

2. Pekerjaan utama dan sampingan anggota keluarga

No. Nama Pekerjaan

utama*)

Tempat kerja**)

Pekerjaan sampingan*)

Tempat kerja**) 1.


(3)

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

*) Pekerjaan setiap anggota keluarga dapat disebutkan lebih dari satu. Kategorinya: (1) usaha kayu rakyat (a) s/d (f); (2) pertanian non usaha kayu rakyat; (3) non pertanian

**) Tempat kerja: di dalam desa, di luar desa dalam kecamatan, di luar kecamatan dalam kabupaten, dst.

3. Penguasaan sumberdaya keluarga

No. Jenis sumberdaya Jumlah

1. Rumah Luas bangunan ....m2; luas tanah= ... m2 2. Kendaraan: sepeda, sepeda

motor, dll 3. TV, radio 4. Lain-lain

4. Luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh keluarga adalah: a. > 1,0 Ha

b. 0,5 Ha – 1 Ha c. < 0,5 Ha d. Tidak memiliki


(4)

5. Luas lahan pekarangan yang dimiliki oleh keluarga adalah: a) > 1,0 Ha

b) 0,5 Ha – 1 Ha c) < 0,5 Ha d) Tidak memiliki

6. Luas lahan kebun yang dimiliki oleh keluarga adalah: a) > 1,0 Ha

b) 0,5 Ha – 1 Ha c) < 0,5 Ha d) Tidak memiliki

7. Luas lahan sawah yang dimiliki oleh keluarga adalah: a) > 1,0 Ha

b) 0,5 Ha – 1 Ha c) < 0,5 Ha d) Tidak memiliki

8. Tingkat pendapatan (kotor) keluarga (dari berbagai sumber) adalah: a. > Rp 5 juta per bulan

b. Rp 1 – 5 juta per bulan

c. Rp 500.000 – Rp 1 juta per bulan d. < Rp 500.000 per bulan

9. Persentase pendapatan dari usaha hutan rakyat terhadap pendapatan total keluarga adalah: a. >25% dari pendapatan keluarga

b. 15% - 25% c. 5% - 15% d. < 5%


(5)

10. Keanggotaan dalam organisasi/ kelompok/ perkumpulan/ paguyuban

No. Nama Nama

organisasi/kelompok

Jabatan*)

1. 2.

*) Pengurus, anggota

11. Partisipasi dalam pelatihan/penyuluhan

No. Nama Nama

Pelatihan

Tahun Lama Pelatihan

Penyelenggara

1. 2. 3.

12. Apakah ada norma-norma dan atau aturan-aturan masyarakat desa ini yang dijadikan pedoman dalam hubungan kerjasama antar keluarga di desa ini:

(a) Ada; sebutkan contohnya ……… (b) Tidak ada

13. Apakah norma-norma dan atau aturan-aturan masyarakat tersebut wajib dilaksanakan ? (a) Ya, wajib

(b) Ya, tidak wajib

14. Apakah ada sanksi jika norma-norma dan atau aturan-aturan masyarakat tersebut tidak dilaksanakan ?

(a) Ada; contoh bentuk sanksinya: ……….. (b) Tidak ada

15. Apakah ada hubungan kekerabatan antara bapak/ ibu/ saudara dengan pemilik hutan rakyat/ pemilik industry?


(6)

(a) Ada (b) Tidak ada

16. Apakah ada hubungan ketetanggaan antara bapak/ ibu/ saudara dengan pemilik hutan rakyat/ pemilik industry?

(a) Ada (b) Tidak ada

17. Apakah ada hubungan pertemanan antara bapak/ ibu/ saudara dengan pemilik hutan rakyat/ pemilik industry?

(a) Ada (b) Tidak ada

18. Apa alasan bapak/ ibu/ saudara melaksanakan hubungan kerjasama dengan pemilik hutan rakyat/ pemilik industri?

(a) Karena saudara saya (b) Karena tetangga saya (c) Karena teman saya

(d) Karena dia mempunyai keahlian (pengetahuan, keterampilan) (e) alasan lainnya: ………..


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan

14 113 76

Peran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Pendapatan Petani Padi di Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat

22 141 109

Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)Masyarakat Desa Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)Mandiri (Studi kasus di Desa Jorlang Huluan Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun)

7 132 78

Beberapa Masalah Yang Dihadapi Petani Dalam Pengembangan Usaha Tani Melon di Kabupaten Deli Serdang ( Studi Kasus : Desa Lantasan Baru Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)

0 41 110

Konservasi Penyu Sebagai Usaha Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Pulu Bangkaru Kabupaten Aceh Singkil

10 102 54

Sistim Pemasaran Karet Rakyat Studi Kasus Pada Perkebunan Karet Rakyat di KEcamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 6 111

Posisi Pendapatan Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus di Kecamatan Ciawi, Caringin dan Cijeruk, Kabupaten Bogor)

0 8 77

Dinamika kelompok tani hutan dalam pengelolaan hutan rakyat: kasus pada kelompok tani hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor

3 14 70

Strategi pengembangan usaha pepaya california (Studi kasus : Gapoktan Lembayung Desa Cikopomayak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

0 38 148

Respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap kebijakan surat keterangan asal usul kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

0 10 140