Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor)

KONTINUITAS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU INDUSTRI
PENGOLAHAN KAYU RAKYAT
(Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung
Kabupaten Bogor)

MENTARI MEDINAWATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontinuitas
Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di
Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Mentari Medinawati
NIM E14100100

ABSTRAK
MENTARI MEDINAWATI. Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri
Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung
Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh HARDJANTO.
Berkembangnya hutan rakyat di Indonesia mendorong para pengusaha
untuk mengembangkan usaha pengolahan kayu rakyat yaitu usaha penggergajian
kayu, termasuk di Kabupaten Bogor. Studi kasus pada industri di Kecamatan
Leuwisadeng dan Nanggung menunjukkan industri penggergajian kayu rakyat
umumnya tergolong dalam industri kecil sehingga sering mengalami kesulitan
keuangan untuk membeli bahan baku kayu. Hal tersebut mengakibatkan industri
tidak beroperasi selama beberapa bulan dalam 1 tahun. Semakin meningkatnya
permintaan akan kayu gergajian menuntut industri untuk memenuhi kebutuhan

baku yang diperoleh tidak hanya dari hutan rakyat sekitar, namun juga dari luar
Kabupaten Bogor. Selama 2 tahun ke depan, hutan rakyat di Kecamatan
Leuwisadeng dan Nanggung tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri sehingga industri tetap harus memasok bahan baku dari daerah lain
agar produksi kayu gergajian tetap berlangsung.
Kata kunci: industri pengolahan kayu, bahan baku, hutan rakyat

ABSTRACT
MENTARI MEDINAWATI. Continuity of Raw Materials Availability of Private
Owned Timber Processing Industry (Case Study in Leuwisadeng and Nanggung
Sub-District, Bogor Regency). Supervised by HARDJANTO.
The development of private forest in Indonesia encourages entrepreneurs to
develop timber processing business such as sawmill, including in Bogor Regency.
Case study in Leuwisadeng and Nanggung Sub-District showed private owned
timber processing industries are generally classified into a small industry that
often having financial difficulty to buy raw materials. This resulted the industry
cannot operate for several months in a year. The increasing demand of sawn
timber has made industries to fulfill needs of raw material which is obtained not
only from private forest around, but also from other areas outside Bogor Regency.
For the next two years, private forest in Leuwisadeng and Nanggung Sub-District

is unable to fulfill needs of industrial raw materials so that the industry still had to
supply raw materials from other areas in order to continue the production of sawn
timber.
Keywords: timber processing industry, raw materials, private forest

KONTINUITAS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU INDUSTRI
PENGOLAHAN KAYU RAKYAT
(Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung
Kabupaten Bogor)

MENTARI MEDINAWATi

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kontinuitas Ketersediaan
Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan
Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor) berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS yang
telah banyak memberi saran dan bimbingan. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Edi Warman dari Desa Sadeng, Bapak Amir Hamzah
dari Desa Sibanteng, Bapak Uju Juanda dari Desa Cisarua, Ibu Dedeh dari Desa
Batutulis, serta teman-teman (Maulida Oktaviarini, Deny Putri Jana, Indah Tri
Riantika, dan Syarifa Nurfadilah) yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, kakak, dan adik-adik
atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman asrama TPB,
Manajemen Hutan 47, dan seluruh anggota Rimpala khususnya R-XV (Mentari
Purwakasiwi, Galuh Ajeng Septaria, Fajar Alif Sampangestu, Anxious Yoga
Perdana, Puspa Diva Nur Aqmarina, Nurani Hardikananda, Nursinta Arifiani

Rosdiana, Iqbal Nizar Arafat, Fitri Maharani, dan Anggi Gustiani) penulis
sampaikan pula terima kasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah diberikan
selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Mentari Medinawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

METODE

3


Alat

3

Pengolahan dan Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Karakteristik Industri

5

Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri

8


Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan Baku
Industri
17
SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19


RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Profil industri penggergajian (sawmill)
Produk kayu gergajian
Kebutuhan bahan baku industri dalam lima tahun terakhir
Jumlah responden menurut luas kelola hutan rakyat
Persentase responden berdasarkan jumlah jenis pohon yang ditanam
Jumlah pohon berdasarkan kelas diameter

6

7
10
13
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kondisi industri pengolahan kayu rakyat
Grafik kebutuhan total bahan baku industri dalam lima tahun terakhir
Grafik dinamika kebutuhan bahan baku tahun 2013-1014
Diagram sebaran jumlah bahan baku berdasarkan wilayah asalnya
Grafik jumlah total pohon berdasarkan kelas diameter

Grafik volume pohon berdasarkan status lahan
Grafik perbandingan potensi standing stock dengan kebutuhan bahan
baku industri total

8
9
11
12
15
16
18

DAFTAR LAMPIRAN
1

Jenis kayu yang ditanam responden

22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk menghasilkan kayu
menuntut adanya solusi melalui subtitusi pasokan kayu dengan menggunakan
kayu yang berasal dari hutan rakyat. Kondisi ini kemudian dilihat sebagai peluang
untuk mengembangkan usaha hasil hutan rakyat termasuk di Kabupaten Bogor
yang memiliki luas hutan rakyat sebesar 139 087.12 ha (Sulaeli 2009, Kementrian
Kehutanan 2013). Jumlah industri hasil hutan di Kabupaten Bogor pada tingkat
kecil dan menengah terus meningkat setiap tahunnya. Pendataan terakhir dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor pada tahun 2013 jumlah industri
pengolahan hasil hutan yaitu 121 unit pada tingkat menengah dan 202 unit pada
tingkat industri kecil. Salah satu jenis industri yang berkembang tersebut
diantaranya merupakan industri pengolahan kayu rakyat.
Usaha industri pengolahan kayu merupakan salah satu langkah strategis
yang secara langsung ditujukan pada perluasan akses masyarakat dalam upaya
pembangunan ekonomi kerakyatan (Ramli 2003). Darusman dan Hardjanto (2006)
menyatakan bahwa industri pengolahan kayu rakyat saat ini masih terbatas pada
industri primer atau industri penggergajian (sawmill). Pendataan dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2008 menunjukkan terdapat
sebanyak 146 unit industri primer hasil hutan berupa industri penggergajian.
Industri yang berkembang ini tentunya diharapkan mampu menyediakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Berdasarkan penelitian Rusmawan (1993) dalam Rufaidah (2009) industri
pengolahan kayu rakyat tergolong dalam industri kecil. Industri kecil pada
umumnya memiliki ciri-ciri: (1) pola kegiatan yang tidak teratur baik dari segi
waktu, pemodalan, dan penerimaan; (2) kurang tersentuhnya peraturan
pemerintah; (3) modal peralatan, perlengkapan, dan pendapatan umumnya kecil;
(4) umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang berpendapatan rendah;
(5) tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus; (6) jumlah tenaga kerja
yang sedikit dan umumnya berasal dari keluarga; (7) tidak mengenal sistem
perbankan.
Ciri-ciri di atas menunjukkan kecenderungan industri pengolahan kayu
rakyat belum mencapai pengelolaan yang baik untuk sebuah unit produksi
sehingga dapat menimbulkan peluang munculnya permasalahan. Industri kayu
rakyat memiliki beberapa masalah diantaranya yaitu ketersediaan bahan baku
(Rufaidah 2009). Bahan baku adalah barang-barang berwujud yang merupakan
faktor produksi penting yang dapat diperoleh dari alam atau dibeli dari supplier
(Assauri 1978 dalam Sudirman 2001). Oleh karena itu, kontinuitas ketersediaan
bahan baku sangat perlu diperhatikan.
Pada industri penggergajian, ketersediaan bahan baku sangat berkaitan
dengan permodalan. Menurut Hariadi (1989) dan Perhutani (2009) dalam Nadeak
(2009) tingginya biaya produksi sebagian besar diakibatkan dari tingginya biaya
pengadaan bahan baku yang mencapai 80% dari biaya produksi. Selain itu,
ketersediaan bahan baku juga dipengaruhi oleh kemudahan memperoleh bahan
baku dari lokasi terdekat. Penelitian Risnasari (2001) mengenai industri

2
pengolahan kayu di Sumatera Utara menunjukkan bahwa industri penggergajian
harus mendatangkan bahan baku kayu bulat dari wilayah lain untuk menutupi
kekurangan kebutuhan bahan baku dari wilayah setempat.
Industri penggergajian kayu rakyat menggunakan bahan baku kayu bulat
yang berasal dari hutan dengan pengelolaan yang umumnya dilakukan oleh
masyarakat secara individual (rumah tangga). Teknik pengelolaan yang diterapkan
tergolong masih tradisional, yaitu cenderung dilakukan secara sederhana dan
sekehendak petani pemilik atau penggarapnya. Petani umumnya menanam lebih
dari satu jenis pohon dan bahkan digabung dengan tanaman lain yang lebih cepat
menghasilkan keuntungan. Kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih
menempati urutan yang kurang penting dibandingkan dengan jenis komoditi
lainnya oleh sebagian besar petani (Hardjanto 2000). Sebagian besar petani masih
berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek. Selain itu, semakin diperlukannya
tambahan pendapatan akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur
tebang dini (Lastini 2012).
Informasi mengenai ketersediaan bahan baku industri sangat diperlukan
karena merupakan faktor yang mempengaruhi keberlanjutan industri mengingat
peran industri pengolahan kayu rakyat sebagai salah satu kontributor
perkembangan ekonomi daerah. Rufaidah (2009) menyatakan bahwa industri kayu
berfungsi untuk meningkatkan nilai kayu serta dapat menciptakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Perumusan Masalah
Pada Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor cukup
banyak dijumpai industri penggergajian di pinggir jalan sepanjang jalan raya
Bogor-Banten. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terdapat beberapa industri
yang tidak beroperasi. Berdasarkan penelitian Sulaeli (2009) menunjukkan bahwa
terdapat 4 faktor yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan industri
penggergajian kayu rakyat di Kabupaten Bogor yaitu perizinan usaha,
ketersediaan bahan baku, produksi dan operasi industri, serta sumberdaya manusia.
Hal tersebut menimbulkan beberapa dugaan mengenai penyebab tidak
beroperasinya industri dan pada penelitian ini analisis permasalahan ditujukan
pada ketersediaan bahan baku.
Kecenderungan pengelolaan industri kecil yang kurang baik serta
pengelolaan dan budidaya hutan rakyat yang sederhana dan dilakukan sekehendak
petani dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap bahan baku industri pengolahan
kayu rakyat. Menurut Lastini (2012), salah satu permasalahan dalam pengusahaan
hutan rakyat adalah tidak adanya jaminan pasokan kayu bagi industri. Oleh sebab
itu, dilakukan penelitian terhadap industri penggergajian kayu rakyat yang sedang
beroperasi untuk menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana kontinuitas dan dinamika ketersediaan bahan baku pada industri
pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan
Nanggung?
2. Dari manakah asal bahan baku pada industri pengolahan kayu rakyat di
Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung?

3
3.

Bagaimana kontribusi hutan rakyat terdekat terhadap penyediaan bahan baku
industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan
Nanggung?
Tujuan Penelitian

1.

2.
3.

Tujuan dari penelitian ini yaitu:
Mengetahui kontinuitas dan dinamika ketersediaan bahan baku pada industri
pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan
Nanggung
Mengetahui asal bahan baku pada industri pengolahan kayu rakyat di
Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung
Mengetahui kontribusi hutan rakyat terdekat terhadap penyediaan bahan
baku industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan
Kecamatan Nanggung.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Batutulis dan Desa Cisarua, Kecamatan
Nanggung serta Desa Sibanteng dan Desa Sadeng, Kecamatan Leuwisadeng,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pengambilan data di lapangan dilakukan
pada bulan Juli-November 2014.
Alat
Alat yang digunakan di lapangan dalam penelitian ini yaitu kuesioner
sebagai panduan wawancara disertai alat tulis dan alat rekam untuk wawancara,
pita ukur, dan tally sheet untuk pengukuran volume pohon, serta kamera untuk
keperluan dokumentasi.
Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
dihimpun melalui wawancara langsung di lapangan kepada pemilik atau tenaga
kerja pada industri pengolahan kayu rakyat dan petani hutan rakyat serta
pengukuran langsung potensi hutan rakyat yang dikelola petani. Data primer yang
dihimpun terdiri atas:
1. Karakteristik industri pengolahan kayu rakyat yang meliputi:
 Identitas perusahaan, meliputi nama pemilik, tahun berdiri, investasi (jenis
dan jumlah mesin yang dimiliki), dan kapasitas produksi
 Bahan baku, meliputi asal bahan baku, jenis kayu yang dipergunakan,
ukuran dan harga beli log yang dibutuhkan, dan kebutuhan bahan baku per
bulan

4
 Produk, meliputi jenis dan ukuran produk yang dihasilkan.
2. Karakteristik dan potensi hutan rakyat yang meliputi:
 Luas hutan rakyat yang dimiliki oleh responden
 Jenis pohon yang ditanam
 Jumlah pohon yang ditanam
 Umur tanaman
 Diameter pohon
 Tinggi bebas cabang.
Data sekunder yang digunakan yaitu data luas lahan kering Kecamatan
Leuwisadeng dan Nanggung yang diperoleh dari masing-masing kantor
kecamatan.
Metode Pengumpulan Data
Industri Pengolahan Kayu Rakyat
Pemilihan industri sebagai responden dilakukan dengan teknik purposive
sampling, dengan pertimbangan bahwa responden yang dipilih merupakan
industri yang telah berdiri selama minimal 5 tahun dan masih beroperasi sampai
saat ini. Jumlah responden industri yaitu sebanyak 6 industri dengan pembagian 4
industri pada Kecamatan Leuwisadeng dan 2 industri pada Kecamatan Nanggung.
Teknik wawancara pada industri dilakukan dengan menggunakan metode
recalling.
Lokasi Hutan Rakyat
Hutan rakyat yang dipilih sebagai lokasi penelitian ditentukan menggunakan
metode purposive sampling melalui survei pendahuluan. Contoh desa diperoleh
berdasarkan faktor tenaga, waktu, dan biaya yang tersedia serta kemudahan akses
ke lokasi dengan mempertimbangkan potensi hutan rakyat yang ada di wilayah
tersebut, sehingga diperoleh 4 desa untuk dua kecamatan.
Petani Hutan Rakyat
Penentuan responden petani hutan rakyat dilakukan secara snowball
sampling. Jumlah responden petani hutan rakyat yaitu sebanyak 60 orang dengan
pembagian 15 orang pada masing-masing desa.
Pendugaan Potensi Hutan Rakyat
Potensi hutan rakyat diketahui dengan melakukan wawancara dengan
masing-masing petani mengenai jenis, jumlah, serta umur pohon yang ditanam
serta inventarisasi untuk mengetahui volume pada jenis pohon cepat tumbuh pada
masing-masing hutan rakyat yang dimiliki oleh petani contoh. Inventarisasi
potensi dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut.
a. Pengambilan contoh tegakan dengan plot ukur lingkaran seluas 0,1 ha dengan
jari-jari 17,8 meter pada petani yang memiliki lahan ≥0,1 Ha
b. Sensus tegakan pada lahan dengan luas ≤0,1 Ha.

5
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri
Pengolahan Kayu Rakyat
Kontinuitas ketersediaan bahan baku industri di Kecamatan Leuwisadeng
dan Nanggung dalam lima tahun terakhir diketahui melalui data jumlah kebutuhan
bahan baku seluruh industri contoh yang terpenuhi (m3/tahun) yang disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Dinamika ketersediaan bahan baku dari masingmasing industri diketahui melalui data jumlah bahan baku yang terpenuhi setiap
bulannya (m3/bulan) yang disajikan dalam bentuk grafik.
Data kebutuhan bahan baku tahunan yang disajikan merupakan data yang
dihimpun dari bulan September sampai bulan Agustus pada tahun berikutnya. Hal
ini dilakukan karena pengumpulan data industri di lapangan dilakukan pada bulan
Agustus 2014.
Pendugaan Potensi Hutan Rakyat
Potensi total hutan rakyat disajikan dalam bentuk tabel dilakukan dengan
melakukan taksiran potensi (volume kayu dan jumlah pohon) untuk mengetahui
kondisi hutan rakyat di masing-masing kecamatan. Penghitungan volume
dilakukan pada jenis pohon yang mendominasi yaitu sengon (Falcataria
moluccana). Volume diperoleh dengan menggunakan tabel volume lokal sengon
(Falcataria moluccana) di wilayah Bogor, Jawa Barat yang disusun oleh Bustomi
et al. (2002).
Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan
Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat
Gambaran besarnya kontribusi hutan rakyat terdekat diketahui melalui
perbandingan antara volume bahan baku per tahun yang akan dipasok dari hutan
rakyat terdekat (m3/tahun) dengan kebutuhan rata-rata seluruh industri per tahun
(m3/tahun). Data pasokan bahan baku merupakan data potensi kayu saat ini pada
Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung. Data disajikan dalam bentuk grafik
kesinambungan bahan baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Industri
Industri pengolahan kayu rakyat yang menjadi contoh dalam penelitian ini
seluruhnya merupakan industri penggergajian (sawmill) yang telah beroperasi
selama minimal lima tahun terakhir. Industri-industri ini berdiri antara tahun
1980–2008. Profil industri contoh dapat dilihat pada Tabel 1.
Pengklasifikasian industri dalam SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986,
berdasarkan jumlah tenaga kerjanya, industri terbagi dalam 4 kelompok. Industri
rumah tangga menggunakan kurang dari 4 orang tenaga kerja, industri kecil
menggunakan 5–19 orang tenaga kerja, industri menengah menggunakan 20–99
orang tenaga kerja, dan industri besar menggunakan lebih dari 100 orang tenaga

6
kerja. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa industri penggergajian termasuk
dalam industri kecil dan menengah.
Data yang diperoleh pada Tabel 1 menunjukan bahwa semakin banyak
jumlah mesin gergaji yang dimiliki, semakin banyak pula kebutuhan bahan baku
untuk diolah menjadi produk. Jenis mesin yang dimiliki seluruh industri yaitu
mesin gergaji pita, sesuai dengan yang diungkapkan Djajapertjunda dan Djamhuri
(2013) bahwa ciri industri penggergajian kayu rakyat yaitu hanya memiliki satu
jenis mesin gergaji. Kapasitas produksi yang dihasilkan dengan menggunakan
mesin gergaji pita pada masing-masing industri berkisar antara 7–11
m3/mesin/hari. Kapasitas merupakan kemampuan suatu pabrik atau industri untuk
memproduksi atau mengolah suatu barang (input) menjadi barang baru (output)
yang nilainya mencirikan besar atau kecilnya suatu pabrik dan tingkat efisiensi
(Rachman dan Malik 2011). Jika terdapat lebih dari 1 mesin gergaji pita, maka
semakin banyak pula volume kayu yang dapat dikerjakan menjadi kayu
pertukangan berupa papan, balok, kaso, galar, dan palet kayu.
Hampir seluruh industri (Sinar Alam, Dalfa Kamila, Putera Mandiri, RND,
dan Jaya Mandiri) memperoleh bahan baku dengan cara membeli dari tengkulak,
sedangkan industri Sinar lestari memperoleh bahan baku dengan membeli
langsung ke kebun petani. Pembelian bahan baku dari tengkulak dianggap lebih
memudahkan karena pihak industri tidak perlu turun langsung ke kebun yang
umumnya berjarak cukup jauh dari jalan raya. Penelitian Oktaviarini (2014)
mengungkapkan bahwa industri lebih memilih membeli bahan baku dari
tengkulak karena lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu.
Tabel 1 Profil industri penggergajian (sawmill)

No
1
2
3
4
5
6

Industri
Sinar Alam
Dalfa Kamila
Putera mandiri
Sinar Lestari
RND
Jaya Mandiri

Lokasi
Leuwisadeng
Leuwisadeng
Leuwisadeng
Leuwisadeng
Nanggung
Nanggung

Tahun
berdiri

Jumlah
Mesin
(buah)

1994
2007
2006
2004
2008
1980an

6
1
2
1
3
1

Jumlah
tenaga
kerja
(org)
32
7
10
4
20
6

Kebutuhan
bahan baku
rata-rata
(m3/hari)
58
10
10
10
33
7

Sumber: data primer

Pada Tabel 2 disajikan data jenis-jenis produk kayu gergajian dengan
beberapa ukuran yang biasa dihasilkan. Beberapa industri selalu menyediakan
stok kayu gergajian dengan jenis dan ukuran-ukuran seperti yang disajikan pada
Tabel 2 dan ada pula industri lainnya yang hanya membuat kayu gergajian dengan
jenis dan ukuran produk tertentu sesuai pesanan. Produk kayu yang dijual
umumnya merupakan kayu putihan, seperti sengon (Falcataria moluccana) dan
kayu afrika (Maesopsis eminii) sedangkan produk kayu merahan seperti kayu
buah-buahan baru akan dibuat apabila ada pesanan.

7
Tabel 2 Produk kayu gergajian
No

Produk

Ukuran
2cm x 20cm x 4m
2cm x 20cm x 3m
4cm x 6cm x 4m
4cm x 6cm x 3m
6cm x 12cm x 4m
6cm x 12cm x 3m
5cm x 10cm x 4m
5cm x 10cm x 3m

1

Papan

2

Kaso

3

Balok

4

Galar

5

Kayu palet

2cm x 10cm x 1,1m
4cm x 10cm x 1m

6

Kayu bakar

-

Sumber: data primer

Harga jual produk kayu berkisar antara Rp 700 000–Rp 1 000 000/m3
dengan harga beli berkisar antara Rp 500 000–650 000/m3. Harga jual produk
kayu merahan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kayu putihan yaitu
berkisar antara Rp 1 000 000–2 000 000/m3. Bahan baku untuk produk tersebut
dibeli dengan kisaran yang dapat mencapai Rp 1 000 000/m3. Berdasarkan
pengamatan Bramasto (2010) kayu buah-buahan memiliki kualitas yang lebih baik
karena memiliki diameter kayu teras yang cukup besar. Produk kayu bakar yang
dijual yaitu kayu-kayu sisa (limbah) produksi yang umumnya dijual per mobil
pick up seharga Rp 100 000.
Pada industri yang memiliki 2 atau lebih mesin gergaji biasanya lebih
banyak menjual produknya dalam jumlah besar untuk proyek bangunan di sekitar
jabodetabek. Industri yang hanya memiliki 1 mesin gergaji menghasilkan jumlah
produk yang lebih sedikit sehingga penjualan hanya dilakukan di sekitar Bogor
melalui perantara yang kemudian akan menjual kembali produk tersebut ke
matrial. Disamping itu, seluruh industri ini juga melayani pembelian produk
secara satuan (per lembar) untuk warga sekitar yang biasanya membutuhkan kayu
bangunan dalam jumlah kecil.
Letak seluruh industri contoh ini berada di pinggir jalan raya Leuwisadeng–
Nanggung. Sebagian besar industri contoh berlokasi di Kecamatan Leuwisadeng
(66,67%) dan sisanya berada di Kecamatan Nanggung. Banyaknya jumlah industri
di Kecamatan Leuwisadeng diduga karena jalan raya di sepanjang Kecamatan
Leuwisadeng merupakan jalan lintas provinsi Jawa Barat-Banten sehingga lebih
ramai dan berpotensi untuk mengembangkan usaha karena kemudahan akses
bahan baku dan pemasaran. Abdullah (2007) menyatakan bahwa penempatan
lokasi industri pengolahan kayu oleh pengusaha kayu olahan didasarkan atas
ketersediaan bahan baku, biaya perolehan bahan baku, biaya pemasaran, dan biaya
tenaga kerja.

8

(a)

(b)

(c)
Gambar 1 Kondisi industri pengolahan kayu rakyat. (a) Lokasi industri (b) Stok
bahan baku (c) Proses pengolahan kayu
Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri
Keberlangsungan operasi dari suatu industri dipengaruhi oleh kontinuitas
ketersediaan bahan baku. Candy dan Pamungkas (2013) mengungkapkan
keberlangsungan suatu unit aktifitas baik ekonomi maupun sosial dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti bahan baku lokal, permintaan lokal, bahan baku yang
dapat dipindahkan, dan permintaan luar. Sehingga dapat dikatakan bahan baku
dan permintaan saling mempengaruhi dan semakin besar permintaan produk kayu,
semakin besar pula bahan baku yang dibutuhkan suatu industri.
Industri pengolahan kayu rakyat yang salah satunya industri penggergajian
yang merupakan industri primer memiliki bahan baku utama berupa log kayu..
Penggergajian adalah kegiatan mengubah bentuk kayu bulat menjadi kayu
persegian untuk memenuhi tujuan tertentu (Rachman dan Malik 2011). Seiring
dengan meningkatnya permintaan atas produk industri penggergajian yaitu berupa
kayu gergajian mendorong industri untuk selalu menyediakan bahan baku untuk
proses produksinya. Mengingat bahan baku yang digunakan adalah kayu yaitu
bahan baku yang keberadaannya tahunan, maka diperlukan manajemen yang tepat
dalam pengelolaannya (Rufaidah 2009). Kebutuhan bahan baku industri dapat
dilihat pada Gambar 2.

Volume kayu (m3)

9
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Kebutuhan bahan baku

Tahun

Gambar 2 Grafik kebutuhan total bahan baku industri dalam lima tahun terakhir
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa industri penggergajian terus
beroperasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh garis kontinyu pada grafik yang berarti
bahan baku yang dibutuhkan selama lima tahun terakhir tetap tersedia. Grafik
tersebut juga menunjukkan bahwa kebutuhan bahan baku total seluruh industri di
Kecamatan Nanggung dan Leuwisadeng meningkat drastis antara tahun 2009–
2012. Kebutuhan bahan baku kemudian cukup stabil mulai tahun 2012–2014.
Meningkatnya grafik antara tahun 2009–2014 disebabkan oleh beberapa industri
yang menambah jumlah mesin gergajinya sehingga bahan baku yang dibutuhkan
juga bertambah.
Jumlah kebutuhan bahan baku masing-masing industri dapat dilihat pada
Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar industri terus
mengalami peningkatan jumlah bahan baku sampai tahun 2013 seiring dengan
bertambahnya jumlah mesin gergaji. Kemudian dapat diketahui pula bahwa
industri Sinar Alam merupakan penyumbang terbesar dalam kebutuhan bahan
baku total seluruh industri. Pada tahun 2009–2010 Sinar Alam masih memiliki 2
mesin gergaji pita dengan kebutuhan rata-rata 19 m3/hari. Sinar Alam kemudian
menambah jumlah mesin gergaji pada pertengahan tahun 2010 menjadi 6
sehingga kebutuhan bahan bakunya menjadi 38 m3/hari. Pada tahun 2011, Sinar
Alam sudah memiliki mesin gergaji sebanyak 6 buah sehingga jumlah kebutuhan
bakunya semakin bertambah menjadi 58 m3/hari.
Industri RND menjadi industri dengan kebutuhan terbesar kedua setelah
Sinar Alam. Pada tahun 2009, RND masih memiliki 1 buah mesin gergaji dengan
kebutuhan bahan baku sebesar 11 m3/hari. Kemudian RND menambah jumlah
mesinnya selama 2 tahun berturut-turut sebanyak 1 mesin per tahunnya. Hingga
saat ini, kebutuhan bahan baku RND yaitu sebanyak 33 m3/hari.
Jumlah kebutuhan bahan baku cukup fluktuatif pada industri Putera
Mandiri. Pada tahun 2009–2011 Putera Mandiri masih memiliki 1 buah mesin
gergaji dengan kebutuhan bahan baku 10 m3/hari. Putera Mandiri menambah
mesin gergajinya sebanyak 1 buah pada pertengahan tahun 2011 sehingga
kebutuhan bahan baku menjadi 20 m3/hari.
Industri Dalfa Kamila mengalami penurunan bahan baku hingga 50% antara
tahun 2009–2010. Dalfa Kamila mengalami hal tersebut karena pengurangan

10
mesin gergaji yang disebabkan oleh adanya masalah internal dalam pengelolaan
industri.
Tabel 3 Kebutuhan bahan baku industri dalam lima tahun terakhir
No
1
2
3
4
5
6

Industri
Sinar Alam
Dalfa Kamila
Putera Mandiri
Sinar Lestari
RND
Jaya Mandiri

20092010
5472
4600
2000
2100
4752
1288

Kebutuhan bahan baku tahunan (m3)
2010201120122011
2012
2013
10 488
16 008
16 008
2800
2300
2300
2000
4000
4000
2100
2100
2100
7788
9108
9108
1288
1288
1288

20132014
16 008
2250
3500
2100
9108
616

Sumber: data diolah

Grafik pada Gambar 3 menunjukkan kebutuhan bahan baku selama satu
tahun terakhir. Kebutuhan bahan baku industri Sinar Alam cenderung stabil setiap
bulannya. Sinar Alam hanya mengalami penurunan produksi saat bulan-bulan hari
raya Idul Fitri. Hal tersebut umumnya juga terjadi pada industri-industri lain
karena industri biasanya meliburkan pegawainya sekitar 2 minggu saat hari raya
tiba.
Pada tahun 2014 Putera Mandiri mengalami kesulitan ekonomi yang
disebabkan tidak adanya order atau permintaan kayu. Hal tersebut mengakibatkan
industri tutup selama 2 bulan dari Mei-Juni. Selain itu, Putera mandiri biasa
menutup industrinya selama 2 bulan dalam 1 tahun saat bulan-bulan sekitar hari
raya idul fitri. Hal tersebut dilakukan karena sedikitnya permintaan menjelang
bulan Ramadhan dan Idul Fitri sehingga uang yang dihasilkan tidak sebanyak
biaya yang dikeluarkan. Namun pada tahun 2014 total Putera Mandiri tidak
beroperasi yaitu 3 bulan karena industri mulai tutup dari bulan Mei. Industri
kembali beroperasi pada minggu kedua bulan Agustus. Kesulitan keuangan
tersebut juga terjadi pada industri Jaya Mandiri yang tidak beroperasi selama 6
bulan pada tahun 2014 yaitu pada bulan Januari-Juni. Jaya Mandiri baru
beroperasi lagi pada bulan Juli dengan kebutuhan bahan baku per bulannya lebih
sedikit dari biasanya.
Faktor yang mempengaruhi jumlah terpenuhinya kebutuhan bahan baku
secara signifikan yaitu keuangan. Masalah keuangan seringkali menjadi
penghambat bagi industri saat akan membeli bahan baku. Beberapa industri
menjual produknya dengan cara memberikan utang kepada pembeli yang
merupakan penjual perantara yang akan menjual kembali produk industri ke
matrial. Sistem utang tersebut tidak memiliki jangka waktu pembayaran karena
para pembeli biasanya merupakan pelanggan tetap dan sudah dikenal oleh
pengelola industri. Tidak adanya jangka waktu pembayaran yang ditetapkan
seringkali menyebabkan industri tidak mampu membeli bahan baku karena
kehabisan modal. Walker (2006) dalam Nadeak (2009) menyatakan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perancangan penggergajian yaitu:
1. Bahan baku yang berkaitan dengan jenis, kualitas, jumlah persediaan, dan
perkiraan ukuran kayu bulat

11
2. Permintaan pasar yang berkaitan dengan jenis, kualitas, dan jumlah produksi
3. Lokasi, pilihan lokasi paling baik dibangun dekat dengan sumber bahan baku
dimana hal ini akan mengurangi biaya pengangkutan
4. Modal, modal akan membatasi rancangan sebuah penggergajian berkaitan
dengan kapasitas penggergajian, jenis gergaji yang dipakai, tingkat otomatisasi
peralatan dan kelengkapan lainnya yang secara langsung akan mempengaruhi
efisiensi penggergajian ini.
Faktor penentu lain dari keberlanjutan produksi industri yaitu cuaca. Pada
industri yang memperoleh bahan baku dengan cara membeli pohon langsung ke
kebun seperti Sinar Lestari, cuaca akan menjadi penghambat saat mulai memasuki
musim hujan. Biasanya dalam 1 tahun Sinar Lestari akan tidak beroperasi sekitar
1 bulan selama musim hujan.
1600
Volume Kayu (m3)

1400
1200

Sinar Alam

1000

Dalfa Kamila

800

Putera Mandiri

600

Sinar Lestari

400

RND

200

Jaya Mandiri

0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12

Bulan

Gambar 3 Grafik dinamika kebutuhan bahan baku tahun 2013-1014
Dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku, industri penggergajian
memperoleh pasokan dari berbagai daerah. Kebutuhan bahan baku industri
berdasarkan wilayah asal bahan baku dapat dilihat pada Gambar 4.
Diagram pada Gambar 4 menunjukkan persentase pemenuhan kebutuhan
bahan baku tahun 2013–2014 pada seluruh industri contoh di masing-masing
kecamatan. Dapat diketahui pula bahwa selama 1 tahun terakhir hutan rakyat
terdekat dalam masing-masing kecamatan merupakan pemasok bahan baku
terkecil dari total kebutuhan, sedangkan pasokan bahan baku terbesar berasal dari
luar Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil wawancara, kondisi ini terus terjadi
setiap tahunnya.
Bahan baku kayu bulat yang berasal dari luar kecamatan dan luar Kabupaten
Bogor seluruhnya diperoleh melalui tengkulak. Kayu-kayu bulat tersebut
umumnya berasal dari hutan rakyat di Provinsi Banten. Penelitian Oktaviarini
(2014) mengungkapkan bahwa industri penggergajian di Kecamatan Leuwisadeng,
Cigudeg, dan Jasinga memperoleh bahan baku dari daerah lain selain Bogor, yaitu
Banten, Ciamis, Tasik, dan Palembang. Menurut pengakuan responden,
pemenuhan bahan baku dengan kayu bulat yang berasal dari luar Bogor dilakukan
karena pasokan kayu dari dalam kecamatan sangat sedikit dan tidak dapat
memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku.

12
Presentase pasokan bahan baku dari luar Kabupaten Bogor pada industri di
Kecamatan Leuwisadeng lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Nanggung.
Pada Kecamatan Leuwisadeng, sebanyak 5 industri memperoleh bahan baku dari
tengkulak yang membawa sebagian besar kayu bulat dari hutan rakyat Banten.
Sedangkan 1 industri lainnya (Sinar Lestari) memperoleh seluruh bahan baku dari
dalam Kecamatan Leuwisadeng. Industri tersebut merupakan industri yang
membeli bahan bakunya langsung ke kebun petani. Pada Kecamatan Nanggung,
industri RND juga memiliki bahan baku yang seluruhnya berasal dari tengkulak,
sedangkan bahan baku pada industri Jaya Mandiri seluruhnya berasal dari dalam
Kecamatan Nanggung. Bahan baku yang diperoleh industri Jaya Mandiri berasal
dari tengkulak yang membawa kayu bulat dari hutan rakyat dalam Kecamatan
Nanggung.

Dalam
Kecamatan
22%

14%

25%

56%

19%

64%

Luar Kecamatan
(dalam Kab.
Bogor)
Luar Kecamatan
(luar Kab.
Bogor)

(a)

(b)

Gambar 4 Diagram sebaran jumlah bahan baku berdasarkan wilayah asalnya. (a)
Kecamatan Leuwisadeng (b) Kecamatan Nanggung
Potensi Hutan Rakyat
Greeneconomics (2004) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri primer hasil hutan, harus diperhatikan kemampuan daya
dukung hutan secara lestari. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui potensi
hutan rakyat saat ini di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung. Hutan rakyat
umumnya berada pada lahan-lahan kering seperti sawah, pekarangan, kebun, talun,
serta ladang/tegakan (LP IPB 1990 dalam Hardjanto 2000). Pada Kecamatan
Leuwisadeng dan Nanggung, hutan rakyat cenderung berada pada 1 hamparan
luas dengan kepemilikan lahan terbagi-bagi.
Berdasarkan data monografi dari masing-masing kecamatan, Kecamatan
Leuwisadeng memiliki luas lahan kering sebesar 1.095 ha atau 33,4% dari luas
wilayah dan Kecamatan Nanggung memiliki luas lahan kering sebesar 3728 ha
atau 27,6% dari luas wilayah. Seluruh responden dalam penelitian ini
mengusahakan hutan rakyatnya pada jenis lahan berupa kebun atau tegalan. Besar
luasan lahan yang dikelola oleh responden Kecamatan Leuwisadeng dan
Kecamatan Nanggung untuk pengusahaan hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 4.

13
Rata-rata responden mengelola hutan rakyat seluas 0,425 ha. Sebagian
besar lahan yang dikelola yaitu seluas 0,1–0,2 ha. Responden di Leuwisadeng
lebih banyak mengelola lahan dengan luas di atas 0,5 ha dan sebagian besar
masyarakat Nanggung mengelola lahan pada kisaran luasan 0,1–0,2 ha. Seluruh
lahan yang dikelola tersebut tidak semuanya merupakan lahan milik pribadi
responden yang umumnya terletak jauh dari tempat tinggal. Di Kecamatan
Nanggung, sebanyak 13 responden mengelola lahan hak guna usaha (HGU) yang
sampai akhir Desember 2013 merupakan areal konsesi PT. Hevea Indonesia
(Hevindo).
Berdasarkan penjelasan salah satu warga Kecamatan Nanggung, lahan
HGU PT. Hevindo mulai dikelola oleh beberapa masyarakat sejak tahun 1997
karena desakan ekonomi dan peluang lahan PT. Hevindo yang dianggap terlantar.
Hal tersebut sempat menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak
perusahaan. Sampai saat ini sebanyak kurang lebih 100 petani mengelola lahan
HGU seluas 310 ha tersebut.
Tabel 4 Jumlah responden menurut luas kelola hutan rakyat
No

Kecamatan

1
2

Leuwisadeng

3
4

Nanggung

Total
Sumber: data primer

Desa

0,5 ha

Sibanteng

1

5

1

1

0

7

Sadeng

1

0

4

2

3

5

Batutulis

9

4

0

0

2

0

Cisarua

0

7

2

0

3

3

11

16

7

3

8

15

Lahan yang dikelola oleh masing-masing responden di 2 kecamatan
umumnya ditanami lebih dari 1 jenis tanaman. Mile (2010) mengatakan bahwa
hutan rakyat yang tumbuh di lahan milik pada umumnya sangat bervariasi baik
jenis pohon utamanya, tanaman pencampur, maupun tanaman bawahnya.
Berbagai pola tanam di lapangan sangat bervariasi tergantung keinginan petani
dan ketersediaan bibit. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 5 yang membuktikan
bahwa sebagian besar responden menanami hutan rakyatnya dengan lebih dari 1
jenis tanaman.
Tabel 5 Persentase responden berdasarkan jumlah jenis pohon yang ditanam
Jumlah jenis
1
2
3
4
5
>5
Total
Sumber: data primer

Jumlah responden

Persentase
12
13
13
4
2
16
60

20%
21,67%
21,67%
6,67%
3,33%
26,67%
100%

14
Jenis pohon yang paling banyak diminati responden yaitu jenis sengon.
Hampir setiap responden menanam sengon pada kebunnya baik yang hanya
menanam 1 jenis pohon, maupun yang beragam jenis. Krisnawati et al. (2011)
menjelaskan jenis sengon dipilih dalam pengusahaan hutan rakyat karena
pertumbuhannya yang sangat cepat, mampu beradaptasi dengan berbagai jenis
tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus, dan kualitas kayunya dapat
diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan. Jenis sengon ini kemudian
menjadi tanaman yang mendominasi hutan rakyat di Leuwisadeng dan Nanggung
yang kemudian diikuti oleh jenis kayu afrika.
Jenis lain yang ditanam umumnya merupakan tanaman dengan hasil utama
buah-buahan. Pohon tidak akan ditebang sampai pada umur tertentu jumlah buah
yang dihasilkan tidak lagi optimal. Kayu hasil tebangan dari pohon buah-buahan
ini sebagian besar digunakan sendiri oleh para pemiliknya. Tanaman buah-buahan
yang terbesar yaitu manggis yang cenderung lebih banyak ditanam oleh responden
Leuwisadeng yang merupakan salah satu wilayah produsen manggis. Keragaman
jenis dalam hutan rakyat ini menyebabkan adanya beberapa kelas umur dan kelas
diameter dalam satu hamparan lahan.
Tabel 6 menunjukkan bahwa di Kecamatan Leuwisadeng jumlah pohon per
hektar dengan diameter 0–5 cm dan 6–10 cm lebih besar yaitu masing-masing
350 dan 301 pohon dibandingkan dengan Kecamatan Nanggung yang hanya 251
dan 278 pohon/ha. Sedikitnya jumlah pohon dengan diameter besar di Kecamatan
Leuwisadeng diduga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah industri pengolahan
kayu yang ada di Kecamatan tersebut. Banyaknya jumlah industri berpengaruh
terhadap besarnya jumlah bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk proses
produksi kayu gergajian.
Tabel 6 Jumlah pohon berdasarkan kelas diameter
No

Kelas
diameter

1
2
3
4
5

0–5cm
6–10cm
11–15 cm
16–20cm
>20 cm

Jumlah/ha (btg)
Leuwisadeng
350
301
134
15
29

Nanggung
251
278
909
50
261

Sumber: data diolah

Permudaan tanaman umumnya dilakukan petani dengan mengandalkan bibit
trubusan yang tumbuh sendiri dari tunggak sisa penebangan padahal kualitas
tanaman yang dihasilkan kurang baik. Menurut Oktaviarini (2014) kelemahan dari
tanaman trubusan yaitu tanaman mudah roboh dan hasil tanaman trubusan tidak
sebaik tanaman awal. Petani di Kecamatan Leuwisadeng memperoleh bibit
melalui trubusan, membeli bibit di toko bibit, serta beberapa kali mendapatkan
bantuan bibit dari pemerintah. Pemberian bantuan bibit ini dianggap tidak merata
karena di Kecamatan Nanggung petani tidak pernah mendapatkan bantuan bibit.
Bibit yang ditanam petani Kecamatan Nanggung merupakan bibit yang diperoleh
dari trubusan tunggak dan sebagian kecil membeli di toko bibit.

15
Dari beragam tanaman pada hutan rakyat, jenis kayu yang umumnya
digunakan sebagai bahan baku industri penggergajian yaitu kayu dari jenis cepat
tumbuh atau kayu putihan seperti sengon sehingga dalam penjualan pohon, petani
mengutamakan jenis di atas. Selain sengon, terdapat beberapa jenis kayu lainnya
yang termasuk kayu putihan yaitu kayu afrika, jabon, dan mahoni. Namun, pada
kondisi tertentu petani juga menjual pohon-pohon dari jenis lainnya ketika
penjualan pohon dilakukan dengan sistem borongan (semua pohon di kebun dijual
seluruhnya). Kayu-kayu tersebut merupakan kayu yang biasa disebut kayu
merahan yang kemudian umumnya digunakan sebagai bahan baku kayu palet oleh
industri penggergajian.
Pada penelitian ini pendugaan potensi pohon dilakukan pada jenis sengon.
Hal ini dilakukan karena sengon merupakan jenis kayu yang memiliki permintaan
tertinggi pada industri pengolahan kayu rakyat dan merupakan jenis yang
mendominasi hutan rakyat. Pendugaan potensi pohon sengon pada saat ini dapat
dilihat pada Gambar 5.
Berdasarkan grafik kelas diameter, dapat diketahui sebagian besar pohon
(61% atau 289 959 batang) di hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng
terkonsentrasi ke dalam kelas diameter 0–5 cm. Sedangkan pada Kecamatan
Nanggung sebagian besar pohon (73% atau 510.513 batang) berada pada kelas
diameter 11–15 cm. Kemudian jumlah pohon dengan diameter ≥20 cm (layak
tebang) pada masing-masing kecamatan merupakan jumlah yang tergolong paling
kecil.
Grafik pada Gambar 5 juga menunjukkan bahwa di Kecamatan Nanggung
sebaran jumlah pohon pada tiap-tiap kelas diameter tidak merata dan mengarah
pada kecenderungan bahwa sebaran kelas diameter pohon di 2 kecamatan ini
belum mencapai struktur tegakan hutan normal. Menurut Terry (2000) dalam Mile
(2010) hutan rakyat pada umumnya belum dapat memberikan hasil yang lestari
yang disebabkan oleh kelas umur yang terdapat pada areal hutan rakyat tidak
menyebar secara merata dan tidak lengkap. Dimensi pohon terutama diameter
dipengaruhi oleh umur dan bonita dari suatu tempat (Novendra 2008).
600000

Leuwisadeng

300000

Jumlah pohon (batang)

Jumlah pohon (batang)

350000

250000
200000
150000
100000
50000

Nanggung

500000
400000
300000
200000
100000
0

0

Kelas diameter

Kelas diameter

Gambar 5 Grafik jumlah total pohon berdasarkan kelas diameter
Jika dilihat sebaran seluruh jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada
Kecamatan Leuwisadeng mendekati struktur tegakan hutan normal. Namun
kenyataanya masing-masing hutan rakyat yang dimiliki petani belum mencapai

16
struktur tegakan hutan normal di dalamnya. Masing-masing petani cenderung
menanam lahannya dengan pohon kayu-kayuan sejenis dan seumur. Menurut Mile
(2010) untuk melestarikan hutan rakyat, perlu dimulai dengan teknik penanaman
yang diarahkan untuk membentuk struktur tegakan yang mendekati hutan normal
yang terdiri dari berbagai kelas umur. Tanpa adanya struktur tegakan, hutan rakyat
tidak terjamin kelestariannya karena sewaktu-waktu bisa berubah peruntukannya.
Penyebab tidak meratanya jumlah pohon pada masing-masing kelas umur
yaitu kurangnya penanaman kembali bibit-bibit tanaman baru pasca penebangan,
perawatan tanaman yang kurang intensif, serta penebangan yang dilakukan pada
pohon-pohon muda yang belum mencapai diameter layak tebang. Hal ini dapat
menjadi kekhawatiran bagi pemenuhan bahan baku industri penggergajian di masa
depan karena kayu yang dibutuhkan minimal berdiameter 20 cm.
Pada Gambar 6, jumlah pohon diklasifikasikan berdasarkan kelas diameter
dan status lahan. Berdasarkan data di atas, terdapat sebanyak 1 115 522 batang
pohon yang ditanam pada lahan milik di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung
serta 59 145 batang pohon yang ditanam pada lahan HGU Kecamatan Nanggung.
Pengelompokkan berdasarkan status lahan ini penting dalam pendugaan potensi
growing stock di masa depan. Status hutan rakyat yang merupakan hutan milik
pribadi, menyebabkan pemanenannya cenderung dilakukan sekehendak pemilik.
Suprapto (2010) mengungkapkan bahwa keputusan teknis pengelolaan hutan
seperti penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan bergantung pada kondisi
ekonomi pemilik, bahkan sistem pemanenan hutan rakyat dikenal dengan sebutan
dengan ‘tebang butuh’. Oleh karena itu, kelestarian standing stock pada hutan
milik cenderung belum dapat dipastikan. Namun, kecenderungan ketidakpastian
akan kelestarian standing stock pada lahan HGU lebih besar dibandingkan lahan
milik. Hal tersebut dapat terjadi karena peruntukan fungsi lahan tidak hanya
berdasarkan kehendak si penggarap, namun juga ditentukan oleh pemerintah
setempat.

Jumlah pohon (batang)

600000
500000
400000
300000

Lahan milik

200000

Lahan HGU

100000

0
0-5cm

6-10cm

11-15 cm
Diameter

16-20cm

>20 cm

Gambar 6 Grafik volume pohon berdasarkan status lahan

17
Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan
Baku Industri
Setelah mengetahui potensi hutan rakyat di masing-masing kecamatan dan
sebaran pasokan bahan baku, dapat diketahui bahwa industri selama ini tetap
beroperasi karena mendapatkan bahan baku dari luar daerah untuk memenuhi
target produksinya. Sedikitnya jumlah kontribusi pasokan bahan baku dari dalam
kecamatan menimbulkan pertanyaan atas stok kayu yang ada di kecamatan
tersebut. Pendugaan perbandingan potensi standing stock dengan kebutuhan bahan
baku industri dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada grafik dapat dilihat bahwa dengan kebutuhan minimal industri pada
satu tahun terakhir di Kecamatan Leuwisadeng yaitu sebesar 23 858 m3/tahun.
Kebutuhan bahan baku ini diasumsikan konstan sampai 5 tahun ke depan. Namun
pada dua tahun ke depan, stok kayu layak tebang hanya sebesar 2244 m3 pada
tahun pertama, dan 2140 m3 pada tahun kedua. Hal ini berarti hutan rakyat
Kecamatan Leuwisadeng tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Kecamatan Nanggung dengan asumsi
kebutuhan tahunan sebesar 9724 m3, sedangkan stok bahan baku di lapangan
hanya sebesar 9513 m3 pada tahun pertama dan 3351 m3 pada tahun kedua. Pada
kondisi tersebut, industri harus mencari bahan baku dari daerah lain untuk
memenuhi target produksinya.
Jika industri hanya mengandalkan bahan baku dari hutan rakyat terdekat
dengan kebutuhan rata-rata seluruh industri di Kecamatan Leuwisadeng 1988
m3/bulan, maka kontinuitas pasokan bahan baku dengan diameter di atas 20 cm
hanya berlangsung selama 1 bulan, setelah itu akan terjadi kemacetan pasokan
bahan baku sampai kelas diameter selanjutnya siap dipanen pada tahun berikutnya.
Sedangkan pada Kecamatan Nanggung, dengan kebutuhan rata-rata bulanan
bahan baku sebesar 810 m3/bulan, kontinuitas bahan baku masih akan tetap
berlangsung selama 11 bulan. Kekurangan bahan baku akan terjadi pada bulan ke12, namun setelah itu pasokan bahan baku akan kembali bertahan kontinyu selama
4 bulan dan kemudian juga akan terjadi kemacetan pasokan bahan baku.
Pada tahun ke 3, stok kayu layak tebang pada hutan rakyat di masingmasing kecamatan meningkat drastis yaitu sebesar 30 728 m3 di Kecamatan
Leuwisadeng dan 51 607 m3 di Kecamatan Nanggung. Pada kondisi ini pasokan
bahan baku bagi industri sangat melimpah. Jika kelebihan stok kayu pada tahun
ketiga dipanen pada tahun berikutnya, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas
dan harga jual kayu yang tentunya menguntungkan bagi petani dan industri
pengolahan kayu.
Apabila pemanenan kayu tetap dilakukan secara wajar yaitu penebangan
hanya dilakukan pada pohon yang telah mencapai diameter layak tebang, maka
kondisi ini akan terus berlangsung sampai beberapa tahun ke depan. Hal ini
tentunya harus diiringi dengan penanaman kembali pasca pemanenan dan
perawatan intensif. Jika hal-hal tersebut diwujudkan dan diterapkan, maka struktur
tegakan hutan rakyat akan mendekati struktur tegakan hutan normal.

18

60000

40000

Volume kayu (m3)

Volume kayu (m3)

45000

35000
30000
25000
20000
15000

50000
40000
30000
20000

10000
10000

5000
0

1

2

3

4

0

5

1

Tahun

2

3

4

Growing stock Kec. Leuwisadeng

Growing stock Kec. Nanggung

Kebutuhan bahan baku Kec. Leuwisadeng

Kebutuhan bahan baku Kec. Nanggung

Gambar 7

5

Tahun

Grafik perbandingan potensi kayu dengan kebutuhan bahan baku
industri total

Perkembangan usaha hutan rakyat sangat berkaitan dengan kesinambungan
usaha industri kayu. Keterkaitan yang tinggi diantara hutan dan usaha industri
kayu akan mendorong meningkatnya jumlah lapangan usaha dan kesempatan
kerja yang kemudian akan mendorong berkembangnya perekonomian wilayah
kabupaten/kota dan propinsi, hingga perekonomian nasional (Abdullah 2007). Hal
tersebut menuntut pengelolaan keduanya harus dilakukan secara lestari agar tidak
terjadi kesenjangan antara kebutuhan bahan baku industri dengan stok kayu di
hutan. Sulaeli (2009) menyatakan keberadaan industri yang tidak terkelola dengan
baik akan menyebabkan tidak sejalannya laju penggunaan bahan baku industri
dengan laju pembangunan hutan rakyat.
Dalam pengelolaannya, kegiatan pengusahaan hutan rakyat melibatkan
banyak pihak. Menurut Darusman dan Hardjanto (2006) pengusahaan hutan
rakyat adalah suatu usaha yang meliputi kegiatan produksi, pemasaran, dan
kelembagaan sehingga usaha hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan
kepada lebih banyak stakeholder di dalamnya. Semakin baik sistem pengusahaan
hutan rakyat, maka kontribusi yang akan diberikan akan semakin besar. Dengan
demikian, kelestarian hutan dan kelestarian usaha hutan rakyat akan terus terjaga.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu rakyat cenderung kontinyu
atau tetap terpenuhi selama 5 tahun terakhir. Rata-rata kebutuhan bahan baku tiap
industri semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah mesin gergaji.

19
Dinamika terpenuhinya kebutuhan bahan baku cenderung dipengaruhi oleh faktor
internal industri yaitu keuangan.
2. Pemasok bahan baku terbesar berasal dari luar Kabupaten Bogor yaitu Propinsi
Banten sekitar 62% dari total kebutuhan bahan baku seluruh industri. Pemasok
bahan baku terbesar kedua berasal dari dalam Kecamatan Nanggung dan
Leuwisadeng yaitu sekitar 23%.
3. Potensi kayu pada hutan rakyat dengan diameter layak tebang bagi kebutuhan
industri (>20cm) di Kecamatan Leuwisadeng hanya dapat memenuhi kebutuhan
bahan baku selama 1 bulan ke depan dan pada Kecamatan Nanggung stok kayu
hutan rakyat dapat memenuhi selama 11 bulan ke depan.