Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) Di Habitat Ex-Situ

STUDI REPRODUKSI BEKANTAN
(Nasalis larvatus) DI HABITAT EX-SITU

GITA NELFA AFRILIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Reproduksi Bekantan
(Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011
Gita Nelfa Afrilia

NRP B04063403

ABSTRACT
Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Reproductive Studies Proboscis Monkey
(Nasalis larvatus) in Habitat Ex-situ. Under the Guidance of Ligaya ITA
Tumbelaka and Yohana Trihastuti
This study aims to explore the reproductive bekantan (Nasalis larvatus) in
ex-situ habitat was held at Taman Safari Indonesia. The method is carried out
observations, interviews and processing secondary data on the age of sexual
maturity, mating behavior and duration of gestation and lactation and playback
support, factors as feed and caging. The results is female becoming adult at an
average of 6 years old, and mating behavior will be seen by herself put the sullen
facial expression. Then the female will approach the dominant male in the
marriage. Length 7 months of pregnancy and lactation period of 1.5 years. These
data are in accordance with the literature bekantan reproduction in their natural
habitat. So the maintenance TSI as ex-situ habitat has also marked by the inability
of animals classified as endangered in CITES Appendix I to adapt to and breed in
habitats ex-situ.
Keywords: Nasalis larvatus, reproduction, ex-situ


ABSTRAK

Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus)
di Habitat Ex-situ. Di bawah Bimbingan Ligaya ITA Tumbelaka dan Yohana
Trihastuti
Studi yang bertujuan untuk mempelajari reproduksi bekantan (Nasalis
larvatus) di habitat ex-situ dilaksanakan di Taman Safari Indonesia. Metode yang
dilakukan adalah pengamatan, wawancara dengan dokter hewan dan perawat
satwa dan mengolah data sekunder mengenai umur dewasa kelamin, perilaku
perkawinan, masa kebuntingan, masa laktasi serta faktor pendukung reproduksi
berupa pakan dan perkandangan. Hasil yang diperoleh adalah betina menunjukkan
umur dewasa kelamin rata-rata 6 tahun, dengan perilaku kawin seperti betina akan
terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Kemudian betina
akan mendekati pejantan dominan untuk dikawini. Lama kebuntingan adalah 7
bulan dan masa laktasi 1,5 tahun. Data-data ini sesuai dengan literatur reproduksi
bekantan di habitat aslinya. Jadi pemeliharaan di TSI sebagai habitat ex-situ sudah
baik ditandai dengan mampunya bekantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa
terancam punah dalam CITES untuk beradaptasi dan bereproduksi di habitat exsitu.
Kata kunci : Nasalis larvatus, reproduksi, ex-situ


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau keseluruhan Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STUDI REPRODUKSI BEKANTAN
(Nasalis larvatus) DI HABITAT EX-SITU

GITA NELFA AFRILIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN

: Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat

Judul Skripsi

Ex-situ
Nama

: GITA NELFA AFRILIA

NRP

: B04063403

Menyetujui,


Pembimbing 1

Pembimbing 2

Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc
Ketua

drh. Yohana Tri Hastuti
Anggota

Diketahui

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Lulus Tanggal :

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat
dan hidayah-Nya yang diberikan, sehingga penyusunan dan penulisan skripsi
dengan judul Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ
dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan metode studi pustaka atas inisiatif, kecintaaan
sekelompok mahasiswa terhadap keberadaan satwa liar dan rasa keingintahuan
penulis tentang reproduksi bekantan dan permasalahannya pada habitat ex-situ
yaitu di Taman Safari Indonesia. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan
informasi berharga mengenai reproduksi bekantan dan permasalahannya serta
dapat bermanfaat dalam menjaga kelestarian spesiesnya.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan
jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
-

ALLAH S.W.T atas segala rahmat dan karunia-NYA

-

Kedua Orang tua tercinta Fauzi S.pd dan Nelita serta adik-adik tersayang

Danti, Tari dan Rara atas segala dukungan, nasihat dan kasih sayang.

-

Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc dan drh. Yohana Trihastuti
sebagai dosen pembimbing yang memberikan bantuan dan pengarahan dalam
penulisan skripsi ini hingga selesai.

-

Staf Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor ( Pak Dedi dan Mas Imam)
sebagai narasumber dalam wawancara hasil skripsi.

-

Dr.Dra.Hj. Ietje Wientarsih M.sc A.pt selaku pembimbing akademik.

-

Orang-orang terdekat ( Hadi, Cipo, Achie, Abhe, Mamato, Mput, ka Devis,

Ika, Tika, Putra, Melon), terima kasih atas bantuan, motivasi dan
semangatnya.

-

Teman-teman “Aesculapius”, 42, dan 44, terima kasih atas pelajaran dan
kehangatan persaudaraannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis menerima dengan senang hati kritik dan saran yang bersifat
membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang
membutuhkannya.

Bogor, Januari 2011

Gita Nelfa Afrilia

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lintau, Sumatera Barat pada tanggal 27 April 1988

dari ayah Fauzi S.pd dan ibu Nelita. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Aisyiah Balai Tengah pada
tahun 1994, dan SDN 40 Balai Tengah pada tahun 2000, serta SLTPN 1 Lintau
pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU
Negeri 1 Lintau dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2007 penulis
diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan IPB melalui seleksi mahasiswa
Mayor-Minor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan
organisasi di dalam kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Profesi Satwa
Liar (SATLI) FKH IPB mulai dari tahun 2007 hingga saat ini dan Komunitas Seni
Steril.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ v
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1

Tujuan dan Manfaat ...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................
Habitat Ex-situ ...............................................................................................
Taksonomi .....................................................................................................
Morfologi ......................................................................................................
Habitat dan Pakan .........................................................................................
Traktus Pencernaan .......................................................................................
Tingkah Laku ................................................................................................
Persebaran .....................................................................................................
Reproduksi ....................................................................................................
Perilaku kawin ...........................................................................................
Kebuntingan .............................................................................................
Plasentasi ..................................................................................................
Kelahiran ..................................................................................................
Laktasi ......................................................................................................
Perilaku Sosial ...............................................................................................

4
4
4

5
9
9
10
11
12
13
13
14
14
14
15

METODOLOGI ............................................................................................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 17
RANGKUMAN DAN SARAN ....................................................................................... 30
Rangkuman ................................................................................................... 30
Saran .............................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 31

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2

Data kelompok bekantan di kandang anjungan Kalimantan TSI ..........
Data reproduksi Bekantan di TSI ..........................................................

17
24

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Bekantan jantan dewasa ..........................................................................
(a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan......................................
Anatomi traktus pencernaan Bekantan ...................................................
Peta persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan .....................................
(a) Boky, jantan dominan di TSI; (b) Betina dewasa
dan anak-anak di TSI ..............................................................................
Kandang anjungan kalimantan ...............................................................
(a) Kandang tidur individu bekantan; (b) kandang jepit bekantan .........
Pakan Bekantan ......................................................................................
Perilaku kawin Bekantan ........................................................................
Fetus dan plasenta Bekantan ...................................................................
Induk Bekantan yang sedang menyusui .................................................

7
8
10
12
19
21
22
23
26
27
29

PENDAHULUAN

Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi baik flora maupun fauna. Sumber daya alam yang
dimiliki merupakan anugerah Tuhan yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan
secara lestari. Pemanfaatan sumber daya

yang tidak seimbang dapat

mengakibatkan pergeseran ekosistem yang mengancam keberadaan mahluk hidup
disekitarnya. Pertambahan penduduk dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia

sekaligus

memberikan

dampak

negatif

terhadap

kelestarian

keanekaragaman hayati.
Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan
Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Bekantan (Nasalis
larvatus) atau Proboscis monkey merupakan primata endemik pulau Kalimantan
yang termasuk ke dalam famili Cercopithecidae, sejenis monyet berhidung
panjang dengan rambut berwarna cokelat kemerahan dan merupakan satu dari dua
spesies dalam genus tunggal monyet Nasalis (Suradijono 2004). Monyet ini
merupakan primata liar yang berhabitat di Kalimantan, Sabah, Serawak, dan
Brunei Darussalam. Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau
pinggiran sungai di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat
ditemukan di daerah hutan rawa dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut
(Supriatna dan Edy 2000). Struktur sosial bekantan dapat terdiri dari kelompok
yang kecil, terkadang bergabung menjadi kelompok yang besar. Dalam kegiatan
hariannya mereka membentuk kelompok kecil dengan anggota 8 ekor yang terdiri
dari beberapa ekor betina dan jantan dewasa (Alikodra 1997).
Saat ini jumlah populasi bekantan terus mengalami penurunan (Soendjoto
2004). Penyebab utama penurunan populasi ini adalah akibat perbuatan manusia,
bencana alam, dan dapat diakibatkan oleh dinamika reproduksi di habitatnya
belum banyak terdata, apalagi informasi yang berkaitan dengan proses
perkembangbiakannya. Perbuatan manusia yang dapat mengurangi populasi
bekantan seperti penebangan hutan besar-besaran atau ilegal loging, perburuan

2

liar pada bekantan dan eksploitasi besar-besaran, akibat bencana alam yang terjadi
seperti kebakaran hutan, dan erosi (Shapiro 2008). Bekantan dalam CITES
(Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna), yang merupakan daftar yang memuat seluruh spesies tumbuhan dan satwa
liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial,
tergolong Appendix I yaitu diklasifikasikan sebagai satwa yang terancam punah.
Bekantan dilindungi peraturan perundang-undangan RI, yaitu UU No. 5/1990
tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, SK Menteri Kehutanan No.
301/Kpts-II/1991 (10 Juni 1991), SK Menteri Kehutanan No.882/Kpts-11/1992
(08 September 1992), serta PP No. 7/1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi (Soendjoto 2004).
Upaya untuk mengurangi kesenjangan informasi berkaitan dengan biologi
bekantan masih perlu ditingkatkan. Salah satu cara adalah membandingkannya
dengan primata lainnya yang berdekatan familinya walaupun masih terbentur pada
keanekaragaman sistem reproduksi, sistem fisiologi seperti proses respirasi,
digesti dan sirkulasi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
populasi bekantan adalah dengan mengelola satwa di habitat ex-situ. Pengelolaan
satwa di ex-situ diantaranya adalah dengan cara membangun pusat penyelamatan
satwa, kebun binatang, taman satwa, dan pusat penangkaran.
Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi
tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan suatu
jenis atau bangsa hewan. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung
sesudah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar
endokrin dan hormon yang dihasilkannya. Secara normal perkembangan dan kerja
organ reproduksi mengikuti suatu siklus, umumnya dimulai dari proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus mengikuti kerja dari berbagai hormon-hormon reproduksi
(Toelihere 1981).
Fungsi normal sistem reproduksi tidak dipentingkan untuk homeostasis
sehingga tidak penting bagi kelangsungan hidup individu, tetapi penting bagi
kelangsungan hidup suatu spesies. Hanya melalui sistem reproduksilah cetak biru
genetik yang kompleks dari tiap-tiap spesies dapat bertahan melebihi masa hidup

3

dari setiap anggota spesies tersebut. Kemampuan reproduksi tiap hewan
bergantung pada hubungan yang kompleks antara berbagai organ terkait juga
sistem tubuh lainnya yakni: hipotalamus, hipofisis, organ reproduksi, sel sasaran
hormon seks, juga dipengaruhi kontrol saraf dan hormon (Sherwood 2001).
Peningkatan

populasi

dan

konservasi

bagi

kelestarian

bekantan

membutuhkan informasi mengenai reproduksi yang memadai, namun informasi
tersebut belum banyak diteliti oleh para ilmuwan. Salah satu upaya untuk
melengkapi informasi tersebut adalah dengan mengamati reproduksi bekantan di
habitat ex-situ.

Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reproduksi bekantan (Nasalis
larvatus) pada habitat ex-situ: perilaku perkawinan, masa kebuntingan dan masa
laktasi. Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan studi ini adalah informasi
mengenai reproduksi bekantan dan cara pemeliharaan yang baik di habitat ex-situ
untuk meningkatkan populasinya.

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat ex-situ
Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal satwa yang bukan alam
aslinya, tetapi dibuat senyaman mungkin agar satwa merasa seperti berada di
habitat aslinya. Habitat ex-situ berfungsi untuk melindungi satwa yang
hampir punah di alam, dengan melalui proses pengembangbiakan, dan juga
melakukan pendidikan. Kebun binatang, taman satwa, pusat penyelamatan
satwa, pusat pelatihan satwa, dan penangkaran satwa merupakan habitat exsitu.
Taman Safari Indonesia sebagai obyek wisata nasional yang diresmikan
oleh Soesilo Soedarman, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
merupakan salah satu habitat ex-situ bagi satwa liar. Lebih jauh, Taman Safari
Indonesia I yang berlokasi di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor juga telah diresmikan menjadi Pusat Penangkaran Satwa
Langka di Indonesia oleh Hasyrul Harahap, Menteri Kehutanan pada masa
itu, pada tanggal 16 Maret 1990. Taman Safari ini dibangun pada tahun 1980
pada sebuah perkebunan teh yang sudah tidak produktif. Taman ini menjadi
penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada
ketinggian 900-1800 m diatas permukaan laut, serta mempunyai suhu ratarata 16oC-24oC. Sebagai pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari
Indonesia berperan dalam menangkarkan satwa endemik seperti harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan juga menunjang perkembangbiakan
berbagai spesies seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), macan tutul jawa
(Panthera pardus melas), orang utan (Pongo pygmaeus), dan bekantan
(Nasalis larvatus).

Taksonomi
Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan
Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Anthropoidea
memiliki tiga super famili yaitu Ceboidea, Cercopithecoidea dan Hominoidea.

5

Super famili Cercopithecoidea (Old World Monkey) memiliki satu famili
Cercopithecidae (Napier dan Napier 1985).
Bekantan merupakan primata endemik pulau Kalimantan yang termasuk
ke dalam famili Cercopthecidae. Klasifikasi bekantan dalam Suradijono tahun
2000 adalah:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Primata

Famili

: Cercopithecidae

Subfamili

: Colobinae

Genus

: Nasalis

Spesies

: Nasalis larvatus

Morfologi
Bekantan dikenal juga dengan monyet belanda, bakara, paikah, rasung,
batangan, kahau atau dalam bahasa inggris disebut proboscis monkey. Bekantan
memiliki ciri-ciri morfologi bentuk hidung yang unik dan panjang dimana hidung
besarnya memiliki fungsi untuk memberikan daya tarik kepada betinanya. Muka
bekantan dewasa berwarna merah muda pucat sedangkan pada bayi berwarna biru
tua. Wajah bekantan memiliki wajah dengan sebuah profil lurus dan rahang yang
jelas. Tulang hidung panjang dan lurus dibandingkan dengan genus Presbytis
yang tulang hidungnya lebih pendek. Lekuk mata bagian dalam relatif sempit
dibandingkan dengan jenis-jenis Colobinae lainnya kecuali genus Simias. Susunan
gigi seri, taring, premolar dan molar (geraham) adalah 2/2; 1/1; 2/2; 3/3, jumlah
32 buah (Napier dan Napier 1967).
Warna bulu bekantan sangat bervariasi. Bagian bahu dan punggung atas
berwarna cokelat kemerahan, ujung-ujung bulunya berwarna merah kecokelatan
sedangkan dua pertiganya berwarna abu-abu, punggung berwarna kuning
keabuan, perut berwarna kekuningan atau abu-abu kadang ada bagian yang
berwarna kuning kecokelatan, tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna
cokelat kemerahan dan leher berwarna putih keabuan. Ekor dan pinggul keputih-

6

putihan, terutama pada jantan dewasa (Payne et al. 2000). Ketika duduk di pohon
ekornya bergantung vertikal ke bawah (Yasuma dan Alikodra 1990; Payne et al.
2000).
Umumnya bekantan memiliki badan yang ramping dan ekor panjang,
ekornya lebih panjang daripada badan dan kepala. Bekantan jantan yang sudah
lewat dewasa berperut buncit, hal ini dikarenakan daun-daun yang merupakan
bahan makanan bekantan mempunyai nutrien yang rendah sehingga untuk
memenuhi kebutuhan energi dan nutriennya, bekantan harus makan daun–daunan
dalam jumlah yang banyak. Kebutuhan pakan bekantan adalah 900 g basah atau
270.252 g berat kering pakan dengan kalori 1.066,82 kcal/hari atau 120,68 kcal/kg
bobot badan (Bismark 1994). Bekantan dewasa dapat mengeluarkan suara seperti
sapi melenguh pendek.
Bekantan merupakan satwa sexually dimorphic yaitu jantan dan betina
memiliki perbedaan ukuran dan bentuk tubuh (Bismark 1994). Bobot tubuh betina
dewasa yaitu 8,650-11,790 kg, hampir setengah bobot tubuh jantan dewasa yaitu
11,700-23,806 kg (Napier dan Napier 1967), sedangkan bobot tubuh jantan
setengah dewasa hampir sama dengan tubuh betina dewasa (Bismark 1994).
Panjang kepala sampai badan pada jantan dewasa 555-723 mm dan pada betina
dewasa dengan panjang kepala sampai badan 540-605 mm. Panjang ekor jantan
dewasa 660-745 mm dan panjang ekor betina dewasa 570-620 mm (Napier dan
Napier 1967). Hidung jantan dewasa berbentuk seperti ubi menggantung dan
berukuran panjang, panjang hidungnya dapat mencapai 7,5 cm sedangkan betina
dewasa hidungnya kurang berkembang dan agak mengarah keatas (slighty
upturned).
Bekantan dewasa yang memiliki hidung paling besar berhak dinobatkan
menjadi pemimpin kelompok. Tangan bekantan bersifat prehensile yaitu dapat
memegang benda dengan jari tangannya, tangan digunakan dalam makan untuk
memetik daun-daunan, dan memasukkannya ke dalam mulut selain itu tangannya
digunakan sebagai alat lokomosi.
Yeager (1990) membagi bekantan berdasarkan parameter umur, yaitu:
1. Jantan Dewasa: Hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin
luar tampak jelas, bobot badan besar sekitar 20-22 kg, terdapat warna putih

7

berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di
bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat.

Gambar 1

Bekantan jantan dewasa
Sumber: Molon 2009a

2. Jantan setengah dewasa: Ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada
betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih
berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar,
tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya.
3. Betina dewasa: Bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan
jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan
runcing.

8

(a)
Gambar 2

(b)

(a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan
Sumber: Molon 2009b dan Molon 2009c

4. Betina setengah dewasa: Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa hampir sama
dengan betina dewasa.
5. Remaja: Ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina
dewasa. Sudah dapat berdiri sendiri (dalam berjalan), tetapi masih tidur
dengan induknya.
6. Anak/Bayi: Berumur 1,5 tahun atau kurang, bayi yang baru lahir memiliki
warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar,
masih dekat dan bergantung dengan induknya.

9

Habitat dan Pakan
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik
maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Bekantan hidup pada
habitat yang sangat terbatas pada tipe hutan rawa gambut, hutan bakau, dan hutan
di sekitar sungai. Kehidupannya sangat tergantung pada sungai, walaupun
sebagian kecil ada yang hidup di hutan dipterocarpaceae dan hutan kerangas,
namun masih berada di sekitar sungai. Hutan bakau yang disenangi oleh bekantan
adalah tipe riverine mangroove , dengan sungai yang cukup besar (Bismark 1995).
Napier dan Napier (1967), menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat
berupa hutan rawa dan hutan bakau, dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau
pada vegatasi nipah dan rawa bakau sepanjang pantai, teluk-teluk atau daerah
pasang surut. Bekantan lebih suka berteduh di vegetasi bakau pada waktu siang
hari dan beristirahat di pohon rambai pada waktu malam hari. Hutan di tepi sungai
bagi bekantan adalah untuk tempat tinggal dan tempat berkomunikasi dalam
kelompoknya, dimana pasokan makanan yang disukai bekantan terdapat di habitat
tersebut. Daerah yang cenderung dihuni oleh bekantan berada di pedalaman,
relatif tidak terganggu, dan jauh dari sungai-sungai tempat berkembangnya
permukiman.
Pakan bekantan berupa daun-daunan dari pohon rambai atau pedada
(Sonneratia alba), ketiau (genus Motleyana), beringin (Ficus sp), lenggadai
(Braguiera parviflora), dan piai (Acrostiolum aureum) (Napier dan Napier 1985).

Traktus Pencernaan
Menurut Langer (1988) dalam Nijboer and Clauss (2006), anatomi sistem
pencernaan bekantan terdiri dari saccus gastricus, dengan atau tanpa presaccus
yang dibatasi oleh cardiac glandular mucosa merupakan tempat terjadinya
fermentasi. Kompartemen ini dihubungkan oleh sebuah tubus gastricus, bagian
terakhir yang dilapisi dengan kelenjar mukosa lambung, adalah pars pylorica
sebelum menuju duodenum. Selain mempunyai rangkaian perut yang telah
dijelaskan sebelumnya, bekantan juga memiliki sekum dan kolon sebagai tempat

10

tambahan terjadinya fermentasi pakan oleh bakteri. Anatomi sistem pencernaan
bekantan seperti terlihat pada Gambar 3.

Pars pylorica

Saccus gastricus
Esofagus
Tubus gastricus
Duodenum

Jejunum

Sekum
Ileum

Taenia coli

Proksimal kolon
Distal kolon

Gambar 3

Anatomi Traktus Pencernaan Bekantan
Sumber: J. Nijboer dan M. Clauss (2006)

Apabila dibandingkan dengan hewan lain yang mempunyai foregut
fermented, perut colobinae merupakan perut dengan kapasitas yang kecil sehingga
harus makan dengan frekuensi yang tinggi. Berat dari forestomach adalah 6-8%
dari berat tubuh hewan. Hewan folivorous atau hewan yang mengonsumsi daundaunan mempunyai forestomach yang lebih besar dibandingkan dengan hewan
frugivorous yaitu hewan yang mengonsumsi buah-buahan. Derajat keasaman
perut bekantan sekitar 5,0-7,0. Dari hasil pencatatan Nijboer dan Clauss (2006),
derajat keasaman perut pada hewan yang mengonsumsi konsentrat dapat lebih
rendah.

Tingkah Laku
Perilaku bekantan dapat terlihat dari tiga sikap kesehariannya yang
menjadi tolak ukur perilaku bekantan, diantaranya adalah perilaku makan, tidur
dan bersosialisasi. Bekantan makan di ujung-ujung cabang, duduk pada awak

11

cabang atau ranting. Salah satu tangannya digunakan untuk berpegang pada
cabang atau ranting pada bagian atas, sedangkan tangan yang lainnya meraih
makanan. Kalau berada pada posisi yang sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk
berpegangan dan makanan diambil menggunakan mulut. Bekantan lebih
menyukai pohon yang berada persis disamping sungai untuk tempat tidurnya.
Dalam satu pohon bisa dihuni oleh satu kelompok yang kira-kira berjumlah 4-12
ekor. Pembentukan jumlah individu dalam kelompok tempat tidur tergantung pada
keadaan pohon, seperti bentuk percabangan, tinggi pohon, kerimbunan pohon,
serta jarak antar pohon (Alikodra 1997).
Bekantan aktif pada siang hari dan umumnya di mulai dari pagi hari untuk
mencari makanan. Siang hari bekantan menyenangi tempat yang agak gelap atau
teduh untuk beristirahat. Menjelang sore hari, kembali ke pinggiran sungai untuk
makan dan memilih tempat tidur. Bekantan pandai berenang menyeberangi sungai
dan menyelam di bawah permukaan air.

Persebaran
Ada dua sub spesies bekantan yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis
larvatus orientalis, persebaran bekantan di hutan-hutan sekitar muara sungai atau
pinggiran sungai di Kalimantan, muara sungai Brunei dan Pulau Sebatik Sabah.
Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat ditemui di daerah hutan rawa, atau muara
dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Barat satwa ini
menempati daerah hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Gunung
Palung, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat di jumpai di Taman Nasional
Tanjung Puting, atau di sekitar Sungai Mahakam. Bekantan juga dapat ditemukan
di Taman Nasional Kutai serta rawa gambut dan hutan bakau di pantai
Kalimantan Timur.
Dari kedua sub spesies bekantan Nasalis larvatus larvatus mempunyai
daerah sebaran yang relatif luas, hampir di seluruh Kalimantan, kecuali bagian
timur laut, Serawak bagian tengah dan Brunei. Sementara persebaran Nasalis
larvatus orientalis hanya terbatas di bagian timur laut Kalimantan. Gambar 4
menunjukkan peta persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan.

12

Gambar 4

Peta Persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan. Titik-titik pada
gambar merupakan daerah ditemukannya populasi bekantan, area
yang diberi garis adalah daerah yang dilindungi. Angka 1-16
adalah daerah penelitian dari pustaka yang diacu.
sumber: Meijaard dan Nijman (2000)

Reproduksi
Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi
tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan suatu
jenis atau bangsa hewan. Bekantan merupakan hewan yang menunjukkan sexual
dimorphism yang sangat mencolok. Sexual dimorphism adalah perbedaan
sistematis dalam bentuk antara individu-individu dari jenis kelamin yang berbeda
dalam spesies yang sama, misalnya warna (khusus disebut sebagai dichromatism
sexual), ukuran, dan ada atau tidak adanya bagian tubuh yang digunakan dalam
menampilkan perilaku reproduksi atau perkelahian, seperti bulu hias, tanduk, atau
taring. Pada bekantan, hewan jantan berbeda sekali dengan betina. Bekantan
jantan berukuran lebih besar, hidung yang besar dan suara yang sengau. Alat
kelaminnya terlihat jelas berwarna merah dan otot lengan dan pahanya

13

berkembang dengan baik. Bekantan betina tetap kecil meskipun sudah dewasa dan
mempunyai puting susu yang memanjang.
Perilaku kawin
Bekantan betina mencapai kematangan seksual di alam liar atau habitat
aslinya berumur sekitar 5 tahun (Murai 2004). Puncak seksual betina dapat dilihat
dari warna alat kelamin menjadi merah muda atau merah (Gorzitze 1996; Murai
2004; 2006). Ada beberapa indikasi musiman reproduksi pada bekantan. Dalam
satu populasi di Kalimantan Barat, ada indikasi puncak kawin dipertengahan
tahun, tapi kawin terjadi antara bulan Februari dan November. Tingkat kelahiran
sering terjadi antara bulan Maret dan Mei, mendekati akhir musim hujan
(Rajanthan dan Bennett 1990).
Kopulasi adalah tindakan menaiki betina oleh jantan yang dilakukan pada
saat kawin, pada bekantan biasanya terjadi rata-rata sekitar setengah menit
(Yeager 1990a; Boonratana 1993; Murai 2004; 2006). Proses kopulasi dilakukan
pada saat jantan menaiki betina dari belakang, dan menggenggam betina dengan
kaki atau dada (Yeager 1990a; Boonratana 1993). Pada kebanyakan primata kedua
jenis kelamin menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi lebih sering terjadi pada
jantan. Setiap keinginan untuk kawin tidak selalu diakhiri dengan kopulasi (Murai
2006). Keinginan untuk kawin pada bekantan didahului oleh betina diikuti dengan
wajah cemberut, mengeluarkan suara-suara agar didekati lawan jenis, dan melihat
kebagian belakangnya. (Hollihn 1973; Rajanthan & Bennett 1990; Yeager 1990a;
Boonratana 1993; Murai 2006). Betina kadang-kadang juga akan menggelengkan
kepala mereka untuk menunjukkan keinginan kawin (Yeager 1990a; Boonratana
1993). Remaja seringkali mengganggu proses kawin bekantan dewasa (Rajanthan
dan Bennett 1990; Murai 2006).

Kebuntingan
Kebuntingan adalah masa persiapan pertumbuhan yang terjadi di dalam
uterus dimana perkembangan embrio terjadi pada lingkungan yang stabil pada
saat yang sangat rentan. Faktor utama yang mempengaruhi lamanya kebuntingan
adalah ukuran tubuh primata tetapi korelasi absolut masih dalam penelitian.

14

Sebagai contoh kebuntingan dari marmoset memakan waktu selama 145 hari
sementara lemur ruffed yang lebih besar hanya 102 hari, pengecualian lain terjadi
pada cercopitecin, talapoi mini yang memiliki masa kebuntingan 196 hari
sedangkan babon 177 hari. Bekantan mengalami masa kebuntingan selama 166200 hari (Napier dan Napier 1985; Bennett dan Sebastian 1988; Ankel-Simons
2007).
Plasentasi
Saat ovum yang telah dibuahi menempel pada dinding uterus, lapis bagian
luarnya (korion), sangat kaya oleh vaskularisasi pembuluh darah, menembus
jaringan maternal. Plasenta akan berkembang dan berfungsi untuk menyalurkan
nutrisi kepada fetus dan membawa keluar kotoran dari fetus menuju sirkulasi
maternal.

Pada Anthropoide (dan Tarsius),

bentuk

plasentanya

adalah

haemochorial, yaitu kapiler dari korion berhubungan dengan pembuluh darah di
dinding uterus sehingga membuat kontak langsung dengan darah induk. Karena
penggabungan dua sirkulasi diatas membuat kondisi optimum bagi perkembangan
fetus. Jalan masuk nutrisi dan pembuangan hasil metabolisme antara kedua
sirkulasi ini sangat lamban, yang membuat distribusi nutrisi ke uterus sangat
kurang, hal ini dinamakan non-deciduate. Pada tipe plasenta haemochorial, karena
fetus bersatu dengan jaringan induk, banyak mukus mebran uterus dikeluarkan
bersama dengan plasenta yang dinamakan decidate.

Kelahiran
Pada primata non manusia terdapat beberapa tanda mendekati waktu
kelahiran. Stadium persiapan pada monyet sangat pendek sekitar 2 jam dan bayi
selalu lahir pada malam hari. Kelahiran nokturnal menguntungkan bagi induk
untuk menghindari serangan predator apabila induk tidak mampu bersama
kelompok. Kera besar melahirkan pada kapanpun karena tidak ada ancaman serius
dari serangan predator (Jolly 1972).
Pada kehidupan arboreal bayi akan lebih cepat dewasa sebelum waktunya
karena mereka diahirkan dipohon dan selalu dibawa oleh induk mereka
bergelantungan di pohon dan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.

15

Kebanyakan primata melahirkan satu anak saja, pengecualian bagi marmoset
sejati yang secara alami melahirkan kembar. Perawatan bayi dilakukan oleh kedua
orangtua bekantan.

Laktasi
Secara fisiologis laktasi dimulai saat estrogen dan progesteron tertekan,
dan hormon laktogenik hipofise mengambil alih (dalam Napier dan Napier 1986).
Laktasi bisa berlangsung setelah pertumbuhan gigi susu anak. Masa laktasi pada
primata menyebabkan tidak akan terjadinya folikulogenesis dan ovulasi (Mc Nelly
1994) dan primata non manusia menjadi bunting dalam beberapa minggu setelah
melahirkan. Pada marmoset ini terjadi karena adanya siklus estrus yang cepat
setelah terjadinya kelahiran.

Perilaku Sosial
Masa remaja terjadi setelah pubertas yang ditandai dengan tingkah laku
kenakalan remaja. Keberadaan individu menuju dewasa yang matang secara
seksual akan memicu agresivitas dan perkelahian di dalam kelompok. Jarang
ditemukan mamalia yang soliter. Meskipun beberapa akan menghabiskan
waktunya untuk hidup sendirian, jantan dan betina harus bertemu untuk kawin,
serta betina dan anaknya harus terus bersama selama laktasi. Pada primata masa
pertumbuhan dari anak ke dewasa bergantung pada keterikatan hubungan anak
dengan induknya.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan studi ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus
2010, dan bertempat di Taman Safari Indonesia.

Materi dan Metode
Pelaksanaan studi ini dilaksanakan dengan cara :
1. Wawancara dengan dokter hewan dan perawat satwa primata yang
bekerja di Taman Safari Indonesia
2. Pengumpulan data primer melalui pengamatan langsung
3. Pengolahan data sekunder dari laporan studbook yang telah dilakukan
di Taman Safari Indonesia.
Parameter yang diamati
Parameter yang dikaji dalam studi ini berupa reproduksi bekantan yang
meliputi umur dewasa kelamin, lama kebuntingan, dan masa laktasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Taman Safari Indonesia (TSI) merupakan salah satu kebun binatang yang
ada di Indonesia. Salah satu program yang di upayakan di TSI adalah agar dapat
meningkatkan populasi bekantan. Bekantan merupakan satwa endemik Indonesia
yaitu berasal dari Kalimantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa berstatus
terancam punah dalam CITES. Jumlah bekantan di TSI sebanyak 11 ekor yang
terdiri dari 7 ekor bekantan di anjungan Kalimantan dan 4 ekor bekantan di
kandang kaca.
Kandang untuk bekantan yang terdapat di TSI terdiri dari dua jenis yaitu
kandang anjungan Kalimantan yang merupakan kesatuan dari kandang peraga dan
kandang tidur serta kandang kaca yang terletak bersamaan dengan kandangkandang primata lainnya. Komposisi populasi bekantan di TSI sudah sudah
menunjukkan komposisi yang seimbang karena sudah terdiri dari jantan dewasa,
betina dewasa, remaja dan bayi.
Pengamatan bekantan di TSI dilakukan pada kandang anjungan
Kalimantan yang terdiri dari 4 ekor jantan yaitu 1 ekor jantan dewasa dan 3 ekor
anak, dan 3 ekor betina. Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00-16.30 WIB.
Data tentang bekantan di anjungan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data kelompok bekantan di kandang anjungan Kalimantan TSI
Nama

Jenis kelamin

Umur (tahun)

Boky
Shintia
Tiara
Gita
Nakula
Boti
Upin

Jantan
Betina
Betina
Betina
Jantan
Jantan
Jantan

15
11
9
8
>1,5