Protozoa Dan Cacing Parasitik Pada Ikan Sidat (Anguilla Spp.) Asal Danau Lindu Sulawesi Tengah

PROTOZOA DAN CACING PARASITIK PADA IKAN SIDAT
(Anguilla spp.) ASAL DANAU LINDU SULAWESI TENGAH

ARIF RAHMAN JABAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Protozoa dan Cacing
Parasitik pada Ikan Sidat (Anguilla spp.) Asal Danau Lindu Sulawesi Tengah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Arif Rahman Jabal
B252120101

RINGKASAN

Arif Rahman Jabal. Protozoa dan Cacing Parasitik pada Ikan Sidat (Anguilla spp.)
Asal Danau Lindu Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh Umi Cahyaningsih dan Risa
Tiuria
Danau Lindu terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, berjarak
sekitar 77 km arah utara dari Palu, Ibukota Sulawesi Tengah. Dataran Lindu
berada pada ketinggian 950 m dpl. Jenis ikan yang terdapat di danau Lindu yaitu
ikan gabus, belut yang merupakan penghuni asli danau Lindu, sedangkan ikan
tawes, ikan mas, ikan gurame dan ikan mujair merupakan ikan hasil introduksi
sejak tahun 1950-an.
Populasi ikan sidat umunya terdapat di sungai-sungai Sulawesi Tengah,
Danau Poso dan muara sungai Teluk Palu, sedangkan populasi ikan sidat asal
Danau Lindu belum banyak informasi dibandingkan ikan sidat asal Danau Poso.

Ikan sidat memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan karena
banyak diminati Jepang, Hongkong, Jerman, dan Italia. Harga jual ikan sidat
sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kesehatan ikan seperti infeksi
endoparasit.
Protozoa dan cacing parasitik dapat menimbulkan kerugian ekonomis dan
dapat mengakibatkan kematian. Infeksi parasit menyebabkan penurunan tingkat
fekunditas dan mempengaruhi perkembangan benih ikan. Selain itu, beberapa
jenis cacing parasitik ikan juga dapat menginfeksi manusia (zoonosis). Salah satu
jenis cacing parasitik ikan yang bersifat zoonosis adalah Anisakis simplex.
Pengambilan sampel penelitian ikan sidat di Danau Lindu Kecamatan Lindu
Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah dan pemeriksaan ikan sidat di
Laboratorium Helminthologi dan Protozoologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Metode yang dilakukan meliputi koleksi sampel ikan sidat,
pemeriksaan sampel ikan, pengamatan, pengukuran dan identifikasi parasit.
Prosedur yang harus dilakukan sebelum pemeriksaan parasit adalah
mematikan ikan sampel dengan menusukkan jarum tepat pada bagian medulla
oblongata. Kemudian dicatat panjang dan bobot setiap sampel ikan. Pemeriksaan
lendir kulit, permukaan kulit, insang, sirip, dan usus. Pemeriksaan protozoa
menggunakan perwarnaan Giemza, cacing trematoda dan cestoda menggunakan
pewarnaan Semichon Acetocarmine (pewarnaan permanen) dan cacing nematoda

menggunakan pewarnaan minyak cengkeh dan KOH (pewarnaan semi permanen).
Morfologi dan morfometri pada parasit menggunakan mikroskop stereo dan
binokuler. Pengukuran panjang dan lebar badan parasit menggunakan mikroskop
mikrometer untuk membantu identifikasi jenis cacing dan protozoa.
Sebanyak 43 ekor ikan sidat yang diperiksa dengan ukuran panjang 30-50
cm dan berat 30.10-273.50 gram dengan rata-rata 98.98 gram. Ikan yang terinfeksi
protozoa dan cacing parasitik sebanyak 34 ekor dengan persentase 79% dari total
ikan. Protozoa parasitik yang menginfeksi ikan sidat yaitu Myxidium sp.,
Myxobolus sp., Henneguya sp., Ceratomyxa sp., Chilodonella sp., Balantidium

sp., Glugea sp. dan cacing parasitik yang menginfeksi ikan sidat yaitu Anisakis
simplex, Anguillicola sp., and Digenea
Protozoa parasitik yang menginfeksi ikan sidat yaitu Myxidium sp.,
Myxobolus sp., Henneguya sp., Ceratomyxa sp., Chilodonella sp., Balantidium
sp., Glugea sp. dan cacing parasitik yang menginfeksi ikan sidat yaitu Anisakis
simplex, Anguillicola sp., dan Digenea. Prevalensi protozoa parasitik tertinggi
yaitu Myxidium sp. sebesar 77%, diikuti Henneguya sp. 58%, dan prevalensi
cacing parasitik tertinggi yaitu Anisakis simplex 44%, dan Digenea 23%.
Indeks dominansi mendeskripsikan tentang jumlah keseluruhan protozoa
dan cacing parasitik yang terdapat pada ikan sidat asal Danau Lindu. Nilai

dominansi tertinggi yaitu Myxidium sp. sebesar 0,23 diantara protozoa yang
menginfeksi ikan sidat dan cacing Anisakis simplex memiliki nilai dominansi
tertinggi sebesar 0.00046 diantara cacing parasitik lain. Nilai dominansi protozoa
dan cacing parasitik pada ikan sidat berkisar antara 0.0000020–0.23, indeks
tersebut mendekati 0 (nol). Indeks dominansi Simpson menunjukkan bahwa
tingkat dominansi protozoa dan cacing parasitik tidak ada yang mendominasi di
antara parasit lainnya pada ikan sidat.
Pemeriksaan protozoa dan cacing parasitik terbagi atas lendir kulit, kulit,
sirip, insang dan usus. Uji chi-square (χ2= hit 444.98 > χ2 tab 9.49) menunjukkan
perbedaan habitat protozoa dan cacing parasitik pada organ-organ tubuh sidat.
Insang dan usus merupakan organ yang disukai protozoa dan cacing parasitik
dengan melihat jumlah individu tiap protozoa dan cacing parasitik yang banyak
dibandingkan dengan lendir kulit, kulit, dan sirip.
Kata kunci: chi-square, Danau Lindu, ikan sidat, indeks dominansi, prevalensi

SUMMARY

Arif Rahman Jabal. Protozoan and Helmint parasitic on eels (Anguilla spp.) from
Lindu Lake Central Sulawesi. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and RISA
TIURIA.

The Lindu Lake is located in the area of Lore Lindu National Park, about
77 miles north from Palu, Capital city of Central Sulawesi Province. Lindu
plateau at an altitude of 950 m above sea level. Gabus and belut were original fish
in Lindu Lake, while tawes, gurame and mujair were introduction species since
the 1950s.
Generally the population of eel there are in rivers in central Sulawesi, Poso
Lake, and estuary of Palu bay, while the population information of eel from Lindu
Lake is scarce. The eel has great potential as food because it’s much interested by
Japan, Hongkong, German, and Italy. However it’s price are influence by quality
and fish healty. The eel should be not infected by endoparasites.
Protozoan and Helminth parasites can cause economic losses and death of
eel. The infection parasites caused to decrease in the level fecundity and affected
the development juvenile fishes. In addition, some helminth parasites on fish also
infected to human (zoonosis). One species helminth parasites on fishes that
potentially zoonosis is Anisakis simplex.
Sampling site conducted in Lindu Lake sub-district Lindu, Sigi Regency,
Central Sulawesi Province and the examination was done in Helmintology
laboratory and Protozoology laboratory, Veterinary Medicine Faculty, Bogor
Agricultural University. Experiment were covered by collected eels sample,
examination fishes, observation, measurement and identification of parasites.

Each fish was recorded on length and weight data. The Examination in
skin mucus, surface of the skin, gills, fins, and intestines of eels. Protozoan
stained by giemsa stain, trematode and cestode stained by Semichon Acetocarmine
stain (permanent staining), nematode used cengkeh oil and KOH (semi permanent
staining). The morphology and morphomethric parasites uses stereo microscope
and binoculer microscope. The measurement of length and witdh parasites used
micrometer microscope to identify the species of helminth and protozoan.
A total of 43 eels were examined with 30-50 cm length, 30.10-273.50
grams weight and total average weight is 98.98 grams. Eels were infected
protozoan and helminth parasitic was 34 eels with the percentage 79% of the total
eels. Protozan parasitic were infected it is Myxidium sp., Myxobolus sp.,
Henneguya sp., Ceratomyxa sp., Chilodonella sp., Balantidium sp., Glugea sp.
and helminth parasitic were infected eels is Anisakis simplex, Anguillicola sp., and
Digenea. The highest prevalence of protozoan parasitic was Myxidium sp. 77%,
then Henneguya sp. 58%, and highest prevalence helminth parasitic was Anisakis
simplex 44% , then Digenea 23%.
Dominance index describes a total protozoan and helminth parasites on
eels from Lindu Lake. The highest dominance protozoan was Myxidium sp. 0.23
between other protozoan infected eels and Anisakis simplex was highest
dominance 0.00046 between other helminth. The index dominance protozoan and


helminth parasites on eels ranges among 0.0000020–0.23, The index close to 0
(nol). Index dominance-Simpson showed a level dominance protozoan and
helminth were not dominance between other parasites on eels.
The examined protozoan and helminth parasites devided into mucus of
skin, surface of the skin, gills, fins, and intestines of eels. The chi-square test was
(χ2= hit 444.98 > χ2 tab 9.49), it is showed different habitats protozoan and
helminth parasites in body organs eels. Gills and intestines of eels was organs
preference protozoan and helminth parasites because a total individual protozoa
and helminth parasites much in two organs it, compared total parasites in mucus
of skin, surface of the skin, and fins.
Keywords: chi-square, Lindu Lake, eels, index dominance, prevalence

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PROTOZOA DAN CACING PARASITIK PADA IKAN SIDAT
(Anguilla spp.) ASAL DANAU LINDU SULAWESI TENGAH

ARIF RAHMAN JABAL

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Fadjar Satrija, M.Sc, PhD


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juli 2014 sampai November 2014 ini
ialah protozoa dan cacing parasitik pada ikan sidat, dengan judul Protozoa dan
Cacing Parasitik pada Ikan Sidat (Anguilla spp.) Asal Danau Lindu Sulawesi
Tengah. Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dan fasilitas dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Umi
Cahyaningsih, MS dan Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS selaku pembimbing, serta
Bapak drh. Fadjar Satrija, M.Sc, PhD yang telah banyak memberi saran.
Disamping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi
Ibu Prof. Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, seluruh staf pengajar Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di PEK IPB, dan tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada segenap Mahasiswa
Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yaitu Nur Qomaria, S.Si,

Elfira Septiani, S.Si, drh. Arifin Budiman, M.Si, drh. Yanti Almet, M.Si, dan
teman-teman PEK yang telah memberikan dukungan, dan kebahagiaan
pertemanan. Terima kasih banyak kepada teman-teman Asrama Sulawesi Tengah
IPB, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah IPB Bogor, IKA
Biologi FMIPA Universitas Tadulako. Tulisan ini Penulis persembahkan khusus
kepada Ayahanda Drs. Muh. Ruslim dan Ibunda Nur Intang, S.Pd, dan Arini
Ratnasari yang selalu memberikan dukungan dan bantuan selama ini, serta
keluarga besar yang selalu memberikan kasih sayang dan doa yang tidak pernah
ada akhirnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Penulis
berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, April 2015
Arif Rahman Jabal

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Perairan Danau Lindu
Karakteristik Ikan sidat
Parasit pada Ikan Sidat
Zoonosis
METODE
Lokasi Penelitian
Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman Protozoa dan Cacing Parasitik
Prevalensi Protozoa dan Cacing Parastik
Indeks Dominansi
Tingkat Kesukaan
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
2
2
2
3
6
9
11
11
11
13
15
18
21
21
22
23
28

DAFTAR TABEL
1 Distribusi Geografi Spesies Ikan Sidat
2 Ukuran Panjang dan Lebar Parasit pada Ikan Sidat
3 Tingkat Prevalensi Protozoa dan Cacing Parasitik
yang Menginfeksi Ikan Sidat
4 Indeks Dominansi Protozoa dan Cacing Parasit pada Ikan Sidat
5 Tingkat Kesukaan Protozoa dan Cacing Parasit pada Organ Ikan Sidat

3
15
19
22
23

DAFTAR GAMBAR
1 Distribusi Ikan Sidat di Indonesia
2 Morfologi Ikan Sidat
3 Siklus Hidup Digenea pada Ikan
4 Siklus Hidup Anisakis simplex
5 Keragaman Protozoa Parasitik pada Ikan Sidat Asal Danau Lindu
6 Keragaman Cacing Parasitik pada Ikan Sidat Asal Danau Lindu

4
4
9
11
16
18

1

I PENDAHULUAN

Latar belakang

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) diresmikan pada tahun 1993,
merupakan salah satu lokasi perlindungan hayati di Sulawesi yang termasuk salah
satu Cagar Biosfir di Indonesia. Danau Lindu terletak di kawasan Taman Nasional
Lore Lindu Sulawesi Tengah, berjarak sekitar 77 km arah utara dari Palu, Ibukota
Sulawesi Tengah. Dataran Lindu berada pada ketinggian 950 m dpl. Menurut
Tenge (2009) jenis ikan yang terdapat di danau Lindu yaitu ikan gabus, belut
yang merupakan penghuni asli danau Lindu, sedangkan ikan tawes, ikan mas, ikan
gurame dan ikan mujair merupakan ikan hasil introduksi sejak tahun 1950-an.
Menurut Ndobe (2010), populasi ikan sidat umumya terdapat di sungaisungai Sulawesi Tengah, danau Poso dan muara sungai teluk Palu. Populasi ikan
sidat asal Danau Lindu belum banyak informasi dibandingkan dengan Danau
Poso. Ikan sidat memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan
karena banyak diminati Jepang, Hongkong, Jerman, dan Italia. Harga jual ikan
sidat sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kesehatan ikan seperti infeksi
endoparasit.
Protozoa dan cacing parasitik dapat menimbulkan kerugian ekonomis dan
dapat mengakibatkan kematian. Infeksi parasit menyebabkan penurunan tingkat
fekunditas, mempengaruhi perkembangan benih ikan (Grabda 1991). Selain itu,
beberapa jenis cacing parasitik ikan juga dapat menginfeksi manusia (zoonosis),
salah satunya adalah Anisakis simplex.
Beberapa penelitian terdahulu melaporkan tentang parasit pada ikan sidat
seperti, Aguilar et al. (2005) mengatakan bahwa terdapat 20 spesies parasit yang
terdiri atas tujuh protozoa, 12 cacing dan satu kopepoda pada ikan sidat (Anguilla
anguilla L) asal Spanyol. Menurut Smales et al. (2007) menemukan cacing
Acanthocephalus reunionensis pada ikan sidat yang hanya ditemukan pada ikan
sidat di Pulau Reunion Kepulauan Mascarene, bagian barat Samudra Hindia.
Menurut Kristmundsson dan Helgason (2007) terdapat empat spesies protozoa
ditemukan di air tawar dan laut Islandia. Eimeria anguillae terdeteksi satu di usus
sidat air tawar dan satu dari sidat laut. Trichodina jadranica sering ditemukan
pada insang sidat asal air tawar dan laut seperti Trichodina fultoni pada kulit dan
insang sidat pada ikan sidat asal air tawar dan laut. Chilodonella hexasticha, pada
insang dan kulit, hanya ditemukan pada sidat asal air tawar dan empat spesies
myxozoa, Myxidium giardi, Myxobolus kotlani dan dua Zschokkella spp. Menurut
Tumbol (2011) protozoa parasit pada ikan sidat (Anguilla marmorata) yaitu
Trichodina sp., Myxobulus sp., Vorticella sp., Crustacea parasit yaitu Lerneae sp.,
dan cacing parasitik yaitu Oxyurida, Capillaria sp., Acanthocephalus sp.,
Gyrodactylus sp. pada ikan sidat budidaya Sulawesi Utara.
Peminat ikan sidat Indonesia khususnya yang berasal dari Sulawesi Tengah
sangat tinggi dari Negara lain, oleh karena itu sangat penting memperhatikan

2

infeksi protozoa dan cacing parasitik pada ikan sidat. Penelitian ikan sidat
(Anguilla spp.) mengenai protozoa dan cacing parasitik pada ikan sidat belum ada
informasi yang berasal dari Danau Lindu Sulawesi Tengah.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, indeks dominansi dan
tingkat kesukaan protozoa dan cacing parasitik pada organ ikan sidat.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk melakukan
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit parasit pada ikan sidat asal Danau
Lindu Sulawesi Tengah.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perairan Danau Lindu

Sulawesi termasuk dalam kawasan Wallaceae yang meliputi Pulau
Sulawesi, sebagian Maluku, kepulauan Banda dan Kepulauan Nusa Tenggara
Barat. Sulawesi termasuk salah satu pulau besar di Indonesia yang memiliki
karakteristik geomorfologi yang kompleks. Kompleksitas ini berkaitan dengan
hasil dari pergerakan tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia, lempeng pasifik,
dan lempeng Eurasia. Wilayah ini menjadi tempat hidup bagi fauna Oriental dan
Australia serta menjadi tempat evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates et al.
2000). Menurut Whitten et al. (1987), Kottelat (1990), dan Soertoto (1995)
Sulawesi memiliki 69 jenis ikan air tawar dan 52 jenis diantaranya adalah ikan
endemik. Perairan umum Sulawesi Tengah terdapat sekitar 26 buah sungai dengan
luas 11.725, 68 ha dan lima buah danau dengan luas 36.895 ha. Menurut Mc
Kinnon (1994) tingkat endemisitas yang tinggi ditemukan di perairan Sulawesi
tengah (Danau Poso), dan Sulawesi selatan (Danau Matano dan Danau Towuti).
Danau Lindu memiliki potensi perikanan yang besar karena didukung oleh
kelimpahan fitoplankton tinggi, mencirikan perairan subur dan kondisi kualitas air
cukup baik. Potensi perikanan didukung pula tingginya rasio antara daerah
tangkapan dan luas perairan (16:1). Sejak lama pemerintah Sulawesi Tengah telah
berupaya meningkatkan produktivitas perikanan Danau Lindu. Dinas Perikanan
setempat pada tahun 1950-1956 melakukan penebaran ikan mas (Cyprinus
carpio), mujair ( Tilapia mossambica), tawes (Puntus javanicus), gurami

3

(Osphronemus goramy), dan sepat (Trichogaster pectoralis). Penebaran ikan
berikutnya diketahui tahun 2001 ditebarkan kembali sekitar 160.000 ekor bibit
ikan nila (Oreochromis niloticus).

Karakteristik Ikan Sidat

Distribusi Ikan Sidat
Distribusi ikan sidat sangat luas yakni di daerah tropis dan sub tropis. Ikan
sidat di dunia paling sedikit terdapat 17 spesies (Tesch, 1977), dan paling sedikit
enam jenis diantaranya yakni: Anguilla marmorata, A. celebensis, A. ancentralis,
A. borneensis, A. bicolor bicolor dan A. bicolor pacifica terdapat di Indonesia
(Tabel l). Jenis ikan tersebut terdistribusi di daerah-daerah yang berbatasan
dengan laut dalam yakni di pantai selatan Pulau Jawa, pantai barat P. Sumatera,
pantai timur P. Kalimantan, seluruh pantai P. Sulawesi, Kepulauan Maluku, Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur hingga pantai utara Papua
(Gambar 1). Ikan sidat hidup di perairan estuaria (laguna) dan perairan tawar
seperti sungai, rawa dan danau serta persawahan dari dataran rendah hingga
dataran tinggi (Affandi 2005).
Tabel 1 Distribusi geografi spesies ikan sidat (Tomiyama and Hibya, 1977)
Jenis
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.

anguilla
rostrata
japonica
reinhardii
marmorata
celebencis
megastoma
ancentralis
borneensis
nebulosa nebulosa
mossambica
bicolor bicolor
bicolor pasifica
obscura
dieffenbachia
autralis australis
australia schmidti

Distribusi
Inggris,Jerman,Belanda, Perancis, Italia
Amerika (timur), Kana
Jepang. Cina
Australia
Afrika, Indonesia
Filipina, Indonesia
Kaledonia Baru
Indonesia
Indonesia
Srilangka
Afrika
Indonesia, Srilangka
Indonesia
Kaledonia Baru
Australia
Australia
Keledonia Baru

4

= Daerah penyebaran
Gambar 1 Distribusi ikan sidat di Indonesia
Klasifikasi dan Ciri-Ciri
Ikan sidat mempunyai bentuk morfologis yang relatif serupa dengan belut
tetapi keduanya memiliki ordo yang berbeda, menurut Deelder (1984), Ikan sidat
mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actynopterigii
Ordo
: Anguilliformes
Subordo
: Anguilloidei
Famili
: Anguillidae
Genus
: Anguiila Shaw, 1803

Gambar 2 Ikan Sidat (McCosker et al. 2003)
Ikan sidat di Indonesia mempunyai nama lokal yang berbeda-beda yaitu
moa, ikan menguling, ikan uling, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, ikan lelus,
ikan ganteng, ikan embu, ikan denong, ikna laro, dan ikan luncah (Kottelat et al.
1993). Khusus untuk daerah Sulawesi Tengah, Ikan Sidat dikenal dengan istilah
“masapi dan sugili” (Gambar 1).
Ikan sidat mempunyai bentuk tubuh memanjang dan tidak mempunyai sirip
perut akan tetapi mempunyai sirip dada. Sirip tidak bertulang, sirip punggung,
ekor dan anal bergabung menjadi satu. Ikan sidat mempunyai sisik sangat kecil
dan terletak di dalam kulit (Kafuku dan Ikenoue 1983).

5

Siklus Hidup
Siklus hidup ikan sidat memiliki tiga fase hidup di lingkungan yang sangat
besar perbedaanya yaitu estuaria dan sungai dan sebagian besar siklus hidupnya
berada di air tawar. Umur ikan sidat di alam bisa mencapai 5 sampai 10 tahun,
sedangkan apabila dibudidayakan bisa berkembang lebih cepat dan mencapai
umur lebih panjang (Ganie 1996). Suhu di Jepang untuk budidaya ikan sidat
berkisar antara 13ºC hingga 30ºC, sedangkan di Eropa suhu untuk budidaya ikan
sidat berkisar antara 8ºC hingga 23ºC (Lovell 1989). Ikan sidat memijah di laut
dalam pada kedalaman sekitar 400-500 meter di bawah permukaan air laut, suhu
air 16ºC - 17ºC dan salinitas air sekitar 35‰ (Usui 1991; Kafuku dan Ikenoue
1983).
Menurut Usui (1991) telur ikan sidat yang telah dibuahi akan naik dan
melayang mendekati permukaan air. Telur ini dilapisi selaput kapsul (chorion)
yang tipis dan berdiameter sekitar 1.2 mm (Deelder 1984). Setelah 24 jam, telur
akan menetas menjadi pre-larva yang tipis dengan panjang kira-kira 5 mm dan
bersifat planktonis, berwarna sangat bening, dan bentuknya menyerupai daun
disebut lectocephale. Dalam pertumbuhannya larva ini terbawa oleh arus ke
berbagai tempat. Selama itu larva mengalami sedikitnya delapan kali perubahan
bentuk tubuh sehingga seperti ikan sidat dewasa yang disebut elver, tubuh
leptocephale memendek dan menebal hingga akhirnya berbentuk bulat dan mulai
mengandung pigmen pada tubuh.
Adanya rangsangan bau air tawar diduga menyebabkan larva ikan sidat
berenang menuju pantai dan masuk ke sungai melalui muara. Elver pada saat
memulai perjalanannya masuk ke muara sungai, berwarna bening. Setelah berada
disungai warna tubuh ikan ini setahap demi setahap akan berubah menjadi gelap
kemudian warnanya akan menjadi semakin gelap setelah 2 sampai 4 minggu.
Ikan sidat semakin dewasa ditandai dengan warna hitam pada bagian
punggung dan perak keputihan pada bagian perut. Ikan sidat dewasa yang akan
memijah pada saat menuruni sungai untuk menuju ke laut, warna tubuhnya seperti
logam mengkilap pada bagian samping, sedangkan bagian perut berwarna sedikit
keunguan. Ikan sidat jantan jenis Anguilla japonica dikatakan testis berkembang
sempurna setelah berumur 3 sampai 4 tahun, dan pada ikan jenis Anguilla
mossambica umur 4.5 sampai 8.5 tahun dan ikan sidat betina jenis Anguilla
japonica telah siap memijah setelah berumur 4 sampai 6 tahun, dan jenis Anguilla
mossambica pada umur 6.5 sampai 8.5 tahun. Setelah memijah ikan sidat ini akan
mati di laut (Kafuku dan Ikenoue 1983).

Pakan Alami Sidat
Makanan utama larva sidat adalah plankton, sedangkan sidat dewasa
menyukai cacing, serangga, moluska, udang dan ikan lain. Sidat dapat diberi
pakan buatan ketika dibudidayakan. Makanan terbaik untuk sidat pada stadia
preleptochepali adalah telur ikan hiu, dengan makanan ini sidat stadia
preleptochepali mampu bertahan hidup hingga mencapai stadia leptochepalus
(Aoyama 2009).

6

Sidat bersifat omnivora pada fase leptocephalus dan karnivora pada saat
dewasa (silver eel). Sebagai karnivora, sidat memakan ikan dan binatang air yang
berukuran lebih kecil dari bukaan mulutnya, sidat juga bisa memakan sesamanya
(kanibalisme). Saat fase leptocephalus, sidat bersifat omnivora, memakan
organisme-organisme invertebrata. Sidat bisa memakan hewan-hewan kecil
seperti anak kepiting, anak-anak ikan, cacing kecil, anak kerang atau siput dan
tanaman air yang masih lembut.

Parasit pada Ikan Sidat

Parasit adalah organisme yang hidup dalam tubuh inang serta merugikan.
Kelompok parasit dibagi menjadi dua yaitu endoparasit dan ektoparasit (Soulsby
1982). Parasit praktis menempati tubuh inang definitif yang menyediakan tempat
tinggal dan makanan bagi parasit (Noble & Noble 1989). Infeksi cacing parasitik
menimbulkan kerusakan jaringan, anemia, menganggu metabolisme tubuh dan
kehilangan bobot badan (Woo 2006). Sebagian besar cacing digolongkan dalam
endoparasit seperti cacing Digenea dan Nematoda. Pada ikan, Monogenea
digolongkan ke dalam ektoparasit sedangkan Digenea, Nematoda, Cestoda dan
Acantocephala digolongkan ke dalam endoparasit.

Protozoa
Ikan-ikan muda lebih rentan terhadap serangan protozoa dibandingkan
dengan ikan-ikan dewasa. Parasitisme pada protozoa bersifat ektoparasit,
endoparasit, fakultatif dan obligat (Moller 1989, Kabata 1985). Protozoa pada
ikan dapat ditemukan di sirip, kulit, insang, rongga mulut, hidung, sistem saraf,
sitem skeletal, saluran pencernaan dan urat daging. Spesies protozoa sangat
banyak sehingga dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan alat gerak yang
dimiliki atau berdasarkan pada keberadaan spora, yaitu Ciliophora,
Sarcomastigophora dan Sporozoa (Kabata 1985).
Ciliophora dicirikan oleh adanya alat gerak berupa silia yang pendek,
modifikasi sekunder silia atau gabungan keduanya. Ciliophora terdiri dari dua
kelas
yaitu,
Kinetofragminophorea
dan
Oligohymenophorea.
Kinetofragminophorea
contohnya
Chilodonella
dan
Brooklynella.
Oligohymenohorea contohnya Ichtyophtyrius multifilis, Cryptocaryon,
Trichodina, da Epistylis. Ciliophora bersifat ektoparasit pada ikan.
Sarcomastigophora dicirikan oleh adanya flagella sebagai alat gerak.
Flagella berukuran lebih panjang dan kuat dibandingkan silia tetapi jumlahnya
lebih sedikit. Sacrcomastigophora terdiri dari tiga kelas
yaitu
Phytomastigophorea, Zoomastogophorea dan Lobosea. Phytomastigophorea
contohnya Amyloodinium dan Crepidoodinium. Zoomastigophorea contohnya
Trypanosoma, Trypanoplasma dan Cryptobia. Lobosea contohnya Entamoeba
(Moller 1989).

7

Kelompok Sporozoa antara lain terdiri dari Apicomplexa, Myxozoa dan
Microspora. Golongan Sporozoa tidak memiliki alat gerak. Identifikasi dilakukan
berdasarkan ukuran, jumlah dan bentuk spora. Apicomplexa terdiri dari satu kelas
yaitu Sporozoa, contohnya Haemogregarina, Eimeria dan Goussia. Microspora
dan Myxozoa terdiri dari satu kelas yaitu Microsporea dan Myxosporea. Contoh
Myxosporea antara lain Kudoa, Henneguya, dan Ceratomyxa. Microsporea
contohnya Glugea, Pleistophora, dan Nosema (Moller 1989).

Nematoda
Nematoda adalah cacing gilig yang dilapisi kutikula (Buchmann &
Bresciani 2001). Menurut Arthur & Mayo (1997) melaporkan bahwa ikan famili
Carangidae di Filipina ditemukan larva Anisakis, Camalanus marinus, C.
carangis, C. paracarangis, Metabronema magnum.
Sebagian dari Nematoda bersifat ovipar kecuali genera Camallanus,
Philometra, dan Skrjabillanus karena larva berkembang dalam empat stadium dan
pada stadium tersebut organ seksual menjadi dewasa. Siklus hidup nematoda
membutuhkan inang antara sebelum mendapatkan inang definitif. Ikan merupakan
inang antara atau inang definitif nematoda. Ikan terinfeksi nematoda karena
memakan crustacea seperti Copepoda, Amphipoda, Euphausiacea, dan Decapoda
(Grabda 1991).
Monogenea
Monogenea termasuk ke dalam sub kelas Trematoda. Monogenea adalah
cacing yang tidak membutuhkan inang antara dalam siklus hidupnya dan
kebanyakan ditemukan sebagai parasit di ikan (Urquhart 1996). Kabata (1985)
menjelaskan bahwa monogenea adalah salah satu parasit yang sebagian besar
menyerang bagian luar tubuh ikan, terutama kulit dan insang, jarang menyerang
bagian dalam tubuh ikan.
Cacing Monogenea berukuran kecil sampai yang berukuran sedang. Bentuk
tubuh larva cacing dengan cacing dewasa tidak terlalu mengalami perbedaan yang
mencolok. Haptor merupakan organ utama yang berfungsi untuk menempel pada
tubuh inang dan juga sebagai ciri dari Monogenea. Organ ini terletak pada bagian
posterior dan dilengkapi dengan kait kecil yang berjumlah 12 sampai 16 buah dan
kadang terdapat kait yang lebih besar dengan jumlah 2 sampai 4 buah (Hoffman
1967). Menurut Dawes (1946) mengatakan bahwa cacing monogenea menempel
dan melekat pada tubuh inang dengan mencari lapisan mukosa dan
mengelupasnya, kemudian bagian posterior ditancapkan ke jaringan. Bagian
anterior atau bagian dimana terdapat mulut diletakkan dan didekatkan kepada
jaringan dari inang, terkadang cacing Monogenea melingkarkan badannya di
sekeliling insang. Oral sucker pada cacing Monogena tergolong lemah atau
terkadang tidak ada sama sekali (Puranik dan Bhate 2007). Siklus hidup
Monogenea secara langsung tidak melibatkan inang perantara, monogenea dewasa
menempel pada inang menggunakan haptor atau opishaptor (Noble dan Noble

8

1989). Contoh Monogenea pada ikan sidat yaitu Pseudodactylogyrus anguillae,
Pseudodactylogyrus bini.

Digenea
Parasit ini berbentuk pipih dengan batil hisap muskuler seperti mangkuk,
biasanya tanpa kait, dengan lubang genital yang bermuara ke permukaan ventral
antara batil-batil hisap serta sebuah lubang ekskretori posterior. Digenea memiliki
lapisan luar (epikutikula) yang tidak berinti, sinsitial dan dihubungkan oleh
tabung-tabung sitoplasmik sempit. Parasit ini biasanya terdiri dari dua batil hisap
yakni mulut dan batil hisap yang terletak di ventral terkadang di posterior tubuh.
Cacing Monostoma hanya memiliki satu batil hisap, cacing amphistoma memiliki
oral suker dan acetabulum di posterior cacing, dan cacing diastoma memiliki oral
suker dan acetabulum (Noble & Noble 1989).
Kebanyakan digenea menjadi dewasa di saluran pencernaan hewan
vertebrata dengan mengambil bahan makanan dan mukus dari saluran pencernaan
inangnya. Pada kondisi kurang menguntungkan digenea mampu berada di dinding
mukosa (submukosa) sehingga sering mengakibatkan kerusakan pada saluran
pencernaan, saluran empedu dan berada di darah inang yang dapat menyebabkan
anemia (Grabda 1991).
Digenea pada ikan biasanya bersifat hermaprodit untuk menyesuaikan
kondisi siklus hidupnya yang banyak berpindah tempat atau inang antara sehingga
sedikit yang mampu mencapai inang definitif. Siklus hidup digenea dimulai dari
telur yang hidup bebas di perairan menetas melalui terbukanya operkulum
menjadi mirasidium. Kemudian menembus permukaan kulit inang antara pertama
siput atau moluska yang akan berkembang menjadi serkaria. Serkaria tersebut
menuju perairan untuk mendapatkan inang antara kedua ikan atau krustasea dan
berkembang menjadi metaserkaria dalam tubuhnya (Gambar 2). Bila ikan atau
krustasea ini dikonsumsi oleh satwa lain seperti burung atau anjing, atau bahkan
oleh manusia dalam kondisi mentah atau kurang matang, dapat mengakibatkan
kecacingan. Digenea pada ikan sidat yaitu Deropristis inflate, Lecithochirium
musculus,Podoctyloides brevis, Stegodexamene anguillae, Nicolla gallica.

Gambar 3 Siklus hidup Digenea pada ikan (Noga 1996)

9

Zoonosis

Zoonosis ialah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia.
Kejadiannya mencakup hal yang kompleks karena tidak saja terbatas pada
hubungan antara manusia dengan ternak peliharaan tetapi juga dengan hewan liar.
Anisakiasis adalah penyakit parasit cacing zoonosis pada ikan yang dapat menular
ke manusia. Penyakit cacingan ini dari jenis cacing nematoda. Cacing tersebut
merupakan parasit yang paling banyak menginfeksi ikan, baik ikan air laut
maupun air tawar.
Beberapa spesies cacing pipih bersifat zoonosis seperti Chlonorchis
sinensis dan Paragonimus westermanii yang memerlukan inang antara yaitu siput
dan inang definitif dalam siklus hidupnya. Stadium infektif masuk ke dalam tubuh
manusia bila ikan dimakan dalam keadaan mentah atau kurang matang.
Ikan sebagai sumber utama penyebaran parasit Trematoda, Acanthocephala,
dan Nematoda pada manusia. Beberapa kasus alergi timbul akibat larva cacing
parasitik yang ada pada ikan yang dikonsumsi secara mentah atau kurang matang.
Dampak dari keberadaan cacing pada manusia adalah reaksi alergen dari cacing
parasit. Alergen nematoda (Ascaridoid) merupakan protein yang sangat stabil dan
dapat mempertahankan struktur, aktifitas biokimiawi, dan sifat-sifat
alergenisitasnya bila didinginkan setelah mengalami denaturasi (Kennedy 2000).
Alergen tersebut tetap ada dalam tubuh kita walaupun larva cacing tersebut mati.
Reaksi yang timbul akibat terserang parasit yaitu reaksi alergis yang meliputi
urtikaria, anafilaksis, dermatitis, gastroenteritis eosinofilik, sampai gejala asma
(Bircher et al. 2000).
Infeksi cacing dan protozoa dapat dideteksi melalui antibodi IgE yang
spesifik terhadap serangan parasit (Yman 2000). Imunoglobulin E ini merupakan
reaksi tanggap kebal inang terhadap alergen dari parasit. Menurut Geetanjali et al.
(2002) mengatakan bahwa cacing parasit nematoda memiliki potensi sebagai
indikator lingkungan perairan dan status kesehatan satwa liar. Parasit zoonotik
seperti Anisakis simplex memiliki potensi dijadikan indikator perairan, atau
kondisi kesehatan satwa liar yang ada di perairan tersebut.

Anisakiasis pada Manusia
Konsumsi seafood dan produk makanan hasil laut terutama ikan, makin
meningkat. Jenis makanan itu mendapat tempat di hati pencinta kuliner karena
alasan tingginya kandungan protein, rasanya yang sedap serta biasanya disajikan
dalam keadaan segar. Jepang, Spanyol dan negara-negara Skandinavia dikenal
sebagai konsumen nomor satu jenis makanan-makanan produk laut (Audicana dan
Kennedy 2008).
Anisakiasis pada manusia umumnya bersifat akut dan gejala anisakiasis
seperti alergi karena konsumsi seafood, dan sering didiagnosis sebagai alergi dan
menyebabkan salah penanganan (Audicana dan Kennedy 2008, Armentia et al.
2006, Gracia-Bara et al. 2001).
Siklus hidup Anisakis simplex sangat kompleks, melibatkan satu atau lebih
inang antara. Berawal dari telur yang belum berembrio keluar bersama feses

10

mamalia laut, kemudian menjadi larva stadium satu (L1) dan berkembang menjadi
larva stadium dua (L2). Larva stadium dua infektif menetas yang kemudian
dimakan oleh inang antara satu, biasanya berupa invertebrata laut seperti udangudangan (Crustacea), Copepoda, Amphipoda, ubur-ubur, dan ikan kecil. Larva
menembus dinding usus kemudian masuk ke dalam rongga tubuh atau dalam
jaringan-jaringan disekitamya. Inang antara satu dimakan oleh inang antara dua
(ikan), larva menembus dinding usus dan jaringan disekitarnya. Pada tubuh inang,
larva stadium dua berkembang menjadi larva stadium tiga (L3). Menurut Sakanari
and McKerrow (1990) jika ikan yang mengandung L3 ini dimakan oleh mamalia
laut yang merupakan inang definitif Anisakis sp., maka siklus hidupnya akan
sempurna (Gambar 3). Manusia bukan inang denitif larva Anisakis simplex tetapi
menjadi inang insidental, jika mengkonsumsi ikan laut mentah, kurang matang,
diasap, dibekukan, diasinkan atau diasamkan yang mengandung larva anisakid
dalam dagingnya (Sindermannn 1990). Larva tersebut termakan oleh manusia,
kemudian masuk melalui saluran pencernaan manusia dan menembus dinding
lambung atau usus sehingga mengakibatkan granuloma eosinofilik yang parah

Gambar 4 Siklus hidup A. simplex (Audicana dan Kennedy 2008)
Penyakit Anisakiasis telah dilaporkan dari beberapa negara seperti Jepang,
Korea dan beberapa negara di Eropa. Laporan tentang adanya anisakiasis pertama
kali dilaporkan dari Belanda pada pasien yang menderita gangguan pada bagian
pencernaannya dan dari hasil diagnosis menunjukkan bahwa pasien tersebut telah
terinfeksi oleh parasit Anisakis simplex. Cacing tersebut di Jepang termasuk salah
satu agen biologi patogen “Food Sanitation Law” (Ministry of Health Labour dan

11

Welfare 2004). Kasus Anisakiasis yang paling banyak dilaporkan di Eropa dan di
Jepang.
Richardson et al. (1982) menemukan larva anisakis dengan panjang 2 cm
dalam keadaan hidup pada muntahan seorang pasien setelah makan steak salmon
merah. Tahun 1990, dilaporkan adanya 56 larva Anisakis simplex di dalam perut
seorang pasien yang berusia 58 tahun di Jepang setelah 8 jam makan "Sashimi"
(irisan ikan mentah) yang berasal dari ikan bonito Katsuwonus pelamis L. (Kagei
dan Isogaki 1992).
Pada satu kasus infeksi berat larva empat A. simplex dilaporkan terjadi
radang usus buntu akut sehingga membutuhkan tindakan pembedahan dan
pengangkatan intestinal yang mengalami pembengkakan. Pada jaringan
ditemukan beberapa larva L4 A. simplex yang masih hidup. Seorang wanita
berusia 28 tahun di Florida terpaksa harus dilakukan pembedahan perut karena
terjadi obstruksi total usus akibat terbentuk nodul granular pada mesenterium usus
halus yang berisi larva Anisakis. Gejala klinis berupa nyeri abdomen akut, mual
dan muntah persisten yang terasa sekitar dua minggu setelah memakan sushi
(Roland et al. 2008).

3 METODE

Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel ikan sidat di Danau Lindu Kecamatan Lindu
Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah dan pemeriksaan ikan sidat di
Laboratorium Helminthologi dan Protozoologi, Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.

Waktu Penelitian

Koleksi sampel di Danau Lindu dilaksanakan pada bulan Juli sampai
Agustus 2014 dan pemeriksaan ikan sidat di Laboratorium Helminthologi dan
Protozoologi mulai dari bulan September sampai November 2014.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah analisis deskriptif menggunakan metode penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional. Metode yang dilakukan

12

meliputi koleksi sampel ikan sidat, pemeriksaan sampel ikan, pengamatan,
pengukuran dan identifikasi parasit.

Koleksi Ikan Sidat
Ikan sidat dipancing di sekitar danau Lindu sebanyak 43 ekor. Ikan
dimasukkan dalam plastik yang berisi oksigen dan selanjutnya dibawa ke
laboratorium, diaklimatisasi 1-2 hari ke dalam akuarium, dan diukur panjang dan
bobotnya.
Pemeriksaan Sampel Ikan
Prosedur pemeriksaan ikan dilakukan di laboratorium, kemudian dicatat
panjang dan bobot setiap sampel ikan. Pemeriksaan pada bagian lendir kulit,
permukaan kulit, insang, sirip, dan usus ikan sidat. Sampel ikan sidat (Anguilla
spp.) dipreparasi dengan mematikan ikan dengan menusukkan jarum tepat pada
bagian medulla oblongata. Bagian abdomen ikan disayat memanjang mulai dari
kloaka sampai operculum ikan. Insang dipisahkan selanjutnya dimasukkan ke
dalam cawan petri yang telah berisi larutan NaCl fisiologis. Usus telah disayat
dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis kemudian dilihat di bawah mikroskop
stereo. Spesimen yang belum teramati disimpan kembali pada lemari pendingin
bersuhu 4ºC. Cacing parasitik yang dikoleksi dari insang dan usus ikan kemudian
diisolasi dan disimpan pada botol yang telah diberi larutan NaCl fisiologis selama
8 jam di lemari pendingin bersuhu 4ºC, selanjutnya dipindahkan ke dalam etanol
70% untuk dilakukan proses pewarnaan (Soulsby 1973).
Pengamatan protozoa dilakukan dengan membuat preparat ulas tipis lendir
kulit, permukaan kulit, sirip, insang dan usus dengan pewarnaan Giemsa 10%.
Pembuatan preparat ulas tipis yang telah diperoleh diletakkan di atas gelas objek
untuk dibuat preparat ulas tipis. Kemudian dikeringkan selama 1-2 menit, dengan
diangin-anginkan lalu difiksasi menggunakan metanol selama 5-15 menit dan
dikeringkan beberapa saat. Preparat yang telah kering diletakkan di rak
pewarnaan, didiamkan sebentar lalu preparat ditetesi dengan Giemsa 10% dan
didiamkan selama 30 menit sampai 1 jam. Selanjutnya preparat diangkat dari rak
pewarnaan dan dibilas dengan aquades atau air yang mengalir lalu didiamkan.
Teknik pewarnaan semi permanen menggunakan KOH dan minyak cengkeh
yang diaplikasikan untuk pewarnaan nematoda. Tahapan pewarnaannya yaitu
penipisan dan penghilangan lapisan kutikula cacing yang dilakukan dengan cara
merendam spesimen dalam KOH 10% selama 1-3 menit sampai lapisan kutikula
terlihat tembus pandang. Setelah itu spesimen dipindahkan ke dalam minyak
cengkeh selama kurang lebih 30 detik sampai 1 menit sampai organ-organ tubuh
terlihat jelas. Kemudian cacing didehidrasi dengan dimasukkan ke dalam alkohol
bertingkat (70%, 85%, 95%) masing- masing selama 15 sampai 30 detik.
Spesimen yang telah didehidrasi di-mounting dengan entelan sebagai media
fiksasi.
Menurut (Lasse 2004) pewarnaan trematoda menggunakan perwarnaan
Semichon Acetocarmine (pewarnaan permanen). Spesimen diambil dari larutan

13

etanol 70% kemudian direndam dalam larutan Acetocarmine selama 15-20 menit
sampai warna terserap, warna spesimen akan berubah menjadi merah cerah. Setelah
perendaman spesimen dibilas dengan ethanol 70% dan direndam dalam larutan asam
alkohol (ethanol 70% dan HCl). Kemudian dilakukan dehidrasi pada spesimen
dengan menggunakan alkohol bertingkat (70%, 85%, 95%, 100%) dengan cara
merendamnya selama 5 menit pada setiap konsentrasi alkohol. Setelah itu
spesimen direndam di dalam xylol sampai spesimen terlihat tembus pandang.
Langkah terakhir adalah spesimen di-mounting dengan entelan sebagai media
fiksasi (Soulbsy 1982).

Pengamatan dan Pengukuran
Morfologi dan morfometri pada parasit menggunakan mikroskop stereo dan
binokuler. Pengukuran panjang dan lebar badan parasit menggunakan mikroskop
mikrometer untuk membantu identifikasi jenis cacing dan protozoa.

Identifikasi Parasit
Identifikasi parasit menggunakan mikroskop dan buku-buku identifikasi
seperti Woo (1995) dan Grabda (1991).

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara diskriptif untuk melihat variabel yang telah
ditetapkan sebagai berikut.

Tingkat Prevalensi
Menurut Bush et al. (1997), prevalensi adalah persentase jumlah ikan
terinfeksi parasit dibandingkan dengan jumlah ikan yang diperiksa, dan
dirumuskan sebagai berikut:
Prevalensi (%) =

n x 100%
N

Ketrangan:
n
: Jumlah ikan yang terinfeksi parasit
N
: Jumlah ikan yang diperiksa

14

Indeks Dominansi
Menurut Odum (1983), indeks dominansi digunakan untuk spesies parasit
terhadap habitat tubuh sidat yaitu :
D=∑
Keterangan:
D : Indeks dominansi
Ni : Jumlah individu tiap spesies parasit
N : Jumlah total seluruh individu parasit
Kriteria penilaian indeks dominansi yaitu semakin tinggi persentase
dominansi individu, maka individu tersebut lebih mendominasi dari pada individu
lainnya. Jika dominansi mendekati 1, maka keanekaragamannya rendah dan
kelimpahannya tinggi atau mendominasi dari jenis lain. Jika nilai dominasi
mendekati 0, maka keanekaragaman tinggi dan kelimpahannya rendah atau tidak
ada yang mendominasi.

Tingkat Kesukaan
Menurut Gazperz (1999) menggunakan uji Chi-kuadrat yaitu:

Keterangan:
O : Frekuensi pengamatan
E : Frekuensi harapan
Tingkat kesukaan diukur atau ditentukan berdasarkan tingkat keberadaan
jenis parasit pada organ tertentu, untuk mengetahui kesukaan tiap spesies parasit
pada bagian-bagian organ ikan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 43 ekor ikan sidat yang diperiksa dengan ukuran panjang 30-50
cm dan berat 30.10-273.50 gram dengan rata-rata 98.98 gram. Ikan yang terinfeksi
protozoa dan cacing parasitik sebanyak 34 ekor dengan persentase 79% dari total
ikan.

15

Keragaman Protozoa dan Cacing Parasitik

Protozoa parasitik yang ditemukan pada ikan sidat yaitu Myxidium sp.
menggolongkan ke dalam Filum Myxozoa Family Myxidiidae (Eiras et al. 2011).
Caffara et al. (2009) mengklasifikasikan Myxobolus sp. ke dalam filum Myxozoa
Famili Myxobolidae. Menurut Qodri (1952) menggolongkan Henneguya sp. ke
dalam Filum Myxozoa Famili Myxobolidae. Ceratomyxa sp. tergolong ke dalam
Filum Myxozoa Famili Ceratomyxidae (Gunter et al. 2009). Chilodonella sp.
digolongkan dalam Filum Ciliophora Famili Chilodonellidae (Padua et al. 2013),
Balantidium sp. tergolong ke dalam Filum Ciliophora, Famili Trichostomatidae
(Ming et al. 2013), dan menurut Azeem et al. (2015) mengklasifikasikan Glugea
sp. ke dalam Filum Microspora Famili Gluguidea (Gambar 5).

a

b

c

d

e

f

h

Gambar 5 Pewarnaan giemsa (a) Myxidium sp.,(b) Ceratomyxa sp., (c)
Myxobolus sp., (d) Henneguya sp.,(e) Balantidium sp.,(f) Glugea
sp.,(g) Chilodonella sp. pada pembesaran 100x.

16

Protozoa Myxidium sp. merupakan protozoa yang terbanyak ditemukan di
ikan sidat dengan ukuran panjang dan lebar 3.3x1.98 µm, Glugea sp. 2.64x1.32
µm dan Myxobolus sp. 2.64x1.98 µm. Cacing Anisakis simplex yang terbanyak
diantara cacing lain dan memiliki ukuran 1.69 x 0.03 mm (Tabel 2).
Tabel 2 Ukuran panjang dan lebar parasit pada ikan sidat
Parasit
Hasil Penelitian
Referensi
Ukuran (µm)
Ukuran (µm)
Protozoa
Myxidium sp.
3.3 x 1.98
8 x 3.5 (Ali et al. 2006)
Myxobolus sp.
2.64 x 1.98
5.3 x 3.4 (Szekely et al. 2009)
Chilodonella sp.
40 x 30
34.1 x 25.4 (Padua et al. 2013)
Ceratomyxa sp.
60 x 20
68 x 22 (Moser 1976)
Balantidium sp.
50 x 30
57 x 15.5 (Ming et al. 2013)
Henneguya sp.
3.96 x 1.98
7.7 x 2.9 ( Abdallah et al. 2007)
Glugea sp.
2.64 x 1.32
4.3 x 1.8 (Azeem et al. 2015)
Ukuran (mm)
Ukuran (mm)
Cacing
Anisakis simplex
1.69 x 0.03
3.47 x 0.05 (Larizza danVovlas 1995)
Anguillicola sp.
1.54 x 0.23
6.54x0.55(Nagasawa et al. 1994)
Digenea
0.12 x 0.01

Siklus hidup Myxidium sp. seperti Myxobolus sp., Henneguya sp.,
Ceratomyxa sp., dan Kudoa sp. Parasit keluar dari ikan melalui saluran urinari.
Spora protozoa tersebut bertahan hidup di air dan dapat mengendap selama
bertahun-tahun. Ketika spora yang tertelan oleh cacing rambut (Tubifex tubifex),
berkembang menjadi spora Triactinomyxon.
Protozoa Chilodonella sp. berbentuk oval, berukuran 40-60 µm dengan
lekukan di bagian posterior tubuh. Siklus hidup secara langsung, parasit ini
ditemukan di insang dan kulit pada beberapa jenis ikan. Protozoa berkembang
biak dengan cara pembelahan biner pada kulit. Parasit ini tergolong ektoparasit
dan tidak dapat melakukan penetrasi di kulit. Biasanya infeksi tanpa gejala tetapi
beberapa ikan menjadi lemah ketika berada pada suhu 5-10°C.
Prevalensi Glugea sp. pada ikan sidat asal Danau Lindu sebesar 46%
Dampak yang ditimbulkan parasit ini seperti terbentuknya nodul berwarna coklat
kehitaman pada jaringan adiposa dan organ viseral terutama pada dinding usus
dan caecae pyloric. Menurut Marzouk et al. (2010) prevalensi Glugea sp. pada
ikan kerapu mencapai 88.8%.
Siklus hidup Balantidium sp. dimulai ketika manusia konsumsi makanan
atau minuman yang telah terkontaminasi dengan kista infektif. Jika kista bertahan
melalui perut, trofozoit terbentuk dalam usus kecil. Trofozoit hidup di sekum dan
kolon dari usus besar. Protozoa tersebut tinggal dan makan di lumen tapi kadangkadang menembus mukosa. Mereka berkembang biak dengan pembelahan biner
dan melintang di dinding usus. Beberapa trophozoit kembali ke lumen dan encyst
(berubah menjadi kista) setelah feses kering. Kista terbentuk baik dalam usus
besar atau di luar tubuh. Jika feses mendapatkan kontak dengan sayuran atau air
minum, manusia mungkin menelan kista. Balantidium coli bersifat zoonosis akan
tetapi tidak semua Genus Balantidium zoonosis.

17

Cacing parasitik yang tergolong nematoda yaitu Anisakis simplex Famili
Anisakidae (Gambar 5), Anguillicola sp. dengan Family Anguillicoloidae
(Gambar 6). Menurut Larizza dan Vovlas (1995) mengatakan morfologi larva
Anisakis simplex stadium tiga dengan ciri-ciri pada bagian anterior memiliki
Booring tooth, excretory pore dan pada bagian posterior terdapat anus, mucron
dan rectal glands. Taraschewski et al. (1987) mendeskripsikan cacing
Anguillicola sp. memiliki tingkat ketebalan dan transparan, sehingga
memungkinkan terlihat organ bagian dalam.

a

b

c

d

e

Gambar 6 Morfologi Anisakis simplex (a) anterior, (b) posterior, (c) Anterior
Anguillicola sp., (d) Posterior Anguillicola sp. pewarnaan minyak
cengkeh dan KOH, (e) Digenea, pewarnaan semichon acetocarmine,
pembesaran 40x.

18

Prevalensi Protozoa dan Cacing Parastik

Prevalensi protozoa parasit tertinggi yaitu Myxidium sp. sebesar 77%,
menurut Williams & Bunkley-Williams (1996) prevalensi tersebut masuk dalam
kategori usually (70%-89%). Prevalensi Henneguya sp. sebesar 58% menginfeksi
lendir, insang dan usus, menurut Williams & Bunkley-Williams (1996) prevalensi
tersebut tergolong ke dalam frequently (50-69%). Cacing parasit Anisakis simplex
sebesar 44%, Williams & Bunkley-Williams (1996) menggolongkan prevalensi
tersebut ke dalam commonly sebesar 30-49%. (Tabel 3).
Tabel 3 Tingkat prevalensi protozoa dan cacing parasitik yang menginfeksi ikan
sidat
Parasit
Myxidium sp.
Myxobolus sp.
Chilodonella sp.
Ceratomyxa sp.
Balantidium sp.
Henneguya sp.
Glugea sp.
Anisakis simplex
Anguillicola sp.
Digenea
a

Lokasi

Jumlah
Ikan

Ikan
Terinfeksi

Prevalensi (%)

A,B,C,D,E
A,B,C,D,E
E
E
D
A,D,E
A,B,C,D,E
D
D
D

43
43
43
43
43
43
43
43
43
43

33
19
2
8
1
25
20
15
1
10

77
44
4
18
2
58
46
44
2
23

A: Lendir kulit, B: Kulit, C: Sirip, D: Usus, E: Insang.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi antara lain pola makan ikan,
daya tahan ikan dan kondisi lingkungan ikan. Kondisi kualitas air Danau Lindu
dengan pH 6.28. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) menyatakan bahwa
sebagian besar organisme dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan
dengan pH antara 5-9. Pengukuran nilai DO (dissolved oxygen) adalah 2.57 mg/l
ini menunjukkan tidak dapat ditoleransi organisme akuatik. Menurut Lee et al.
(1978), menyatakan bahwa kandungan DO kualitas perairan tersebut tercemar
sedang (2.0-4.4 mg/l). Pengukuran suhu air danau Lindu termasuk rendah yaitu
29ºC. Menurut Suitha dan Suhaeri (2008) ikan sidat dapat beradaptasi pada suhu
12-31ºC.
Faktor lain yang mempengaruhi prevalensi adalah zat pencemar seperti
logam berat, limbah dan sampah rumah t