Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga Dan Stres Ibu Yang Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan.

PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DAN STRES
IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA TERHADAP
KEPUASAN PERKAWINAN

RAHMAITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Tugas Perkembangan
Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan
Perkawinan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Rahmaita
NIM I251120151

4

RINGKASAN
RAHMAITA. Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru
Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan Perkawinan. Dibimbing oleh DIAH
KRISNATUTI dan LILIK NOOR YULIATI.
Keluarga yang baru memiliki anak pertama berada pada tahapan kedua
dalam perkembangan keluarga, dan memiliki beberapa tugas perkembangan
keluarga antara lain menyesuaikan berbagai peran baru sebagai orangtua dalam
mengasuh anak dan kembali memantapkan hubungan suami istri. Tugas baru ibu
untuk selalu mengurus dan memperhatikan anak pertama dapat menimbulkan
stres pada ibu dan dapat mengakibatkan penurunan kepuasan perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tugas perkembangan
keluarga dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun
terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penentuan lokasi
dilakukan secara purposive di Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong,
Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat. Data dikumpulkan pada bulan
April – Agustus 2014. Contoh merupakan ibu bekerja dan tidak bekerja yang baru
memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun yang dipilih secara stratified
nonproporsional random sampling sebanyak 120 ibu masing-masing terdiri dari
60 ibu bekerja dan 60 ibu tidak bekerja.
Satu dari lima contoh ibu bekerja dan tidak bekerja memiliki tugas
perkembangan keluarga yang rendah. Separuh contoh ibu bekerja dan ibu tidak
bekerja memiliki tugas perkembangan keluarga kategori sedang. Lebih dari
separuh ibu bekerja memiliki stres yang lebih rendah, dan kurang dari separuh ibu
tidak bekerja memiliki stres dalam kategori sedang. Lebih dari separuh ibu yang
bekerja dan tidak bekerja berada pada kategori kepuasan perkawinan pada
kategori sedang. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada
tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orang tua, stres ibu dan
kepuasan perkawinan. Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa pendapatan
perkapita dan usia ayah mempunyai hubungan positif dengan tugas perkembangan
keluarga dimensi orangtua. Usia ibu, usia ayah dan lama pernikahan mempunyai
hubungan positif dengan tugas perkembangan keluarga dimensi anak. Usia ibu,
usia ayah, pendidikan ibu dan lama pernikahan mempunyai hubungan positif

terhadap kepuasan perkawinan. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat
hubungan yang positif antara tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan
dimensi anak terhadap kepuasan perkawinan. Hasil uji pengaruh menunjukkan
tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak mempunyai
pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Stres ibu yang baru
memiliki anak pertama mempunyai pengaruh negatif terhadap kepuasan
perkawinan.

Kata kunci: tugas perkembangan keluarga, stres ibu, kepuasan perkawinan, anak
pertama

SUMMARY
RAHMAITA. Influence of Family Developmental Tasks and New-Mother’s
Stress Who Has First Baby on Her Marital Satisfaction. Supervised by DIAH
KRISNATUTI and LILIK NOOR YULIATI.
The family that just had their first baby is at the second stage in the family
development, which has some family developmental tasks, such as to be able to
adjust a variety of new roles as parents in parenting and re-establish the marital
relationship. Duty to always care and pay attention to her first baby can cause
stress on mother and may lead to a decrease in marital satisfaction. This study was

aimed to analyze the influence of family development tasks and new-mothers’
stress who just had their first child age under two years on marital satisfaction of
working and not working mother.
This study was designed using cross sectional study. The location
determination is done by purposive in the Ratu Jaya and Bojong Pondok Terong
village, Cipayung sub-district, Depok. Data was collected in April-August 2014.
Subjects were 120 working and not working mothers who just had their first child
age under two years, selected by stratified non-proporsional random sampling,
consisting of 60 working mothers and 60 not working mothers.
One of five samples working mother and not working mother has low
family developmental task. Half of the entire subjects of working mothers and not
working mothers have a moderate category family developmental task. More than
half of working mothers have lower stress, and less than half of the not working
mothers have moderate stress category. More than half of the working and not
working mothers have marital satisfaction in the moderate category. T-test results
showed no significant difference in family development task child dimension and
parents dimension, mother’s stress and marital satisfaction.The correlation test
result indicates that the per capita income and father age have a positive
correlation with the family developmental taskparents dimension. Mother age,
father age and the long of marriage has a positive correlation with family

developmental task child dimension. Mother’s age, father’s age, maternal
education and long age of marriage have a positive correlation to marital
satisfaction. The analysis also shows that there is a positive correlation between
the family developmental task parents dimension and child dimension to marital
satisfaction. The influence test result shows the family developmental task parents
dimension and child dimension have a significant positive effect on marital
satisfaction. Stress of the new mothers who just had their first child has a negative
effect on marital satisfaction.

Keywords: family developmental task, maternal stress, marital satisfaction, the
first baby

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA, DAN
STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA
TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN

RAHMAITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Tin Herawati, SP., MSi


JudulTesis
Nama
NIM

: Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru
Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan Perkawinan
: Rahmaita
: I251120151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Diah Krisnatuti, MS
Ketua

Dr Ir Lilik Noor Yuliati, MFSA
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan anak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Pengaruh Tugas
Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama

Terhadap Kepuasan Perkawinan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu
Keluarga dan Perkembangan Anak, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini mendapat bantuan,
bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggitingginya kepada:
1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS dan Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu,
tenaga, pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan
hingga selesainya tesis ini.
2. Dr. Tin Herawati, SP., Msi selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Dr. Ir. Herien
Puspitawati, MSc, MSc, wakil ketua program studi Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc beserta seluruh staf pengajar
pada Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya pada Program Studi Ilmu Keluarga
dan Perkembangan Anak, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan pada
penulis.
4. Keluargaku tercinta Mama, Papa, Anggi, Ucok dan Iwan yang senantiasa
memberikan doa, semangat serta motivasi yang tak terhingga selama masa

perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.
5. Teman-teman seangkatan yang selalu memberi support, Dian, Fitrim, Fitria,
Mba Woel, Mba Bion, Risda, Mba Lita, Mas Iman, Mas Oks, Mas Adam,
Nora, Anggi, Bu yani, Mba Conny, Mba Herlin, Mba Eka, Mba Iin dan teman
seperjuangan Ria O.
6. Sahabat-sahabatku Fifah dan Wika yang tidak pernah berhenti mendukung.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna oleh
sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dalam
dan untuk dapat menyempurnakan dari penulisan ini. Semoga penulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor, Oktober 2015
Rahmaita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Masalah
Manfaat Penelitian
2.TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori
Keluarga
Pendekatan teori keluarga : struktral fungsional
Pendekatan teori perkembangan
Tugas Perkembangan Keluarga Tahap Kedua
Stres ibu yang baru memiliki anak pertama
Stres
Tingkat stres
Teori stres
Model stres ABC-X (Hill 1949)
Family Adjustment and Adaption Response (FARR) ( Patterson )
Kepuasan Perkawinan
Aspek -aspek kepuasan perkawinan

1
2
3
3
4
4
4
4
5
6
7
7
9
10
10
11
11
12

3 KERANGKA PEMIKIRAN

14

4. METODE PENELITIAN
Desain Waktu dan Tempat Penelitian
Contoh dan Cara Pengambilan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

17
17
17
18
20
21

5. PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA
TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN IBU YANG BARU
MEMILIKI ANAK PERTAMA
Abstrak
Abstrack
Pendahuluan
Tujuan penelitian
Metode Penelitian
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Hasil

22
22
22
23
24
24
24
24
24
25
25

Karakteristik Keluarga
Tugas Perkembangan Keluarga
Kepuasan Perkawinan
Hubungan Antar Peubah Penelitian
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Tugas Perkembangan
Keluarga Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu
Pembahasan
Simpulan
6. PENGARUH STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK
PERTAMA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA IBU
BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA
Abstrak
Abstrack
Pendahuluan
Tujuan penelitian
Metode Penelitian
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Hasil
Karakteristik Individu
Karakteristik Keluarga
Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama
Kepuasan Perkawinan
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Stres Ibu yang Baru Memiliki
Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu
Pembahasan
Simpulan

25
26
28
29
30
30
34

35
35
35
36
37
37
37
37
37
38
38
38
39
40
41
42
43
44

7. Pengaruh Karakateristik, Tugas Perkembangan Keluarga, Stres Ibu yang
Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan
8. PEMBAHASAN UMUM
9. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

45
46
48
48
48
50

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

68

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Variabel, skala data dan kategori data
Data karakteristik keluarga
Capaian variabel dimensi dan item tugas perkembangan keluarga
Sebaran contoh berdasarkan tugas perkembangan keluarga
Capaian dimensi kepuasan perkawinan
Sebaran contoh berdasarkan kepuasan perkawinan
Koefisien korelasi anatara karakteristik keluarga, tugas perkembangan
keluarga dan kepuasan perkawinan
Pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga terhadap
kepuasan perkawinan
Karakteristik individu berdasarkan status pekerjaan ibu
Karakteristik keluarga berdasarkan status pekerjaan ibu
Sebaran jenis pekerjaan berdasarkan status pekerjaan ibu
Capaian stres ibu yang baru memiliki anak pertama berdasarkan status
pekerjaan ibu
Sebaran contoh berdasarkan stres ibu berdasarkan status pekerjaan ibu
Capaian variabel dan dimensi kepuasan perkawinan berdasarkan status
pekerjaan ibu
Sebaran contoh kepuasan perkawinanberdasarkan status pekerjaan ibu
Sebaran koefisien regresi karakteristik keluarga, stres ibu yang baru
memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan
Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga, tugas
perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memilki anak pertama
terhadap kepuasan perkawinan

DAFTAR GAMBAR
1 Model ABC-X Hill yang telah direvisi untuk menunjukkan derajat stres
dan alternatif pemecahan masalah
2 Kerangka pikir penelitian
3 Teknik penarikan contoh

19
26
27
28
28
29
29
30
38
39
39
40
41
41
42
42

45

10
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta wilayah kecamatan Cipayung Kota Depok
2 Dokumentasi penelitian
3 Jumlah penduduk luas kelurahan dan kepadatan di Kecamatan
Cipayung tahun 2012
4 Indeks pembangunan manusia Kota Depok per kecamatan
5 Usia anak berdasarkan ibu bekerja dan tidak bekerja
6 Jenis kelamin anak berdasarkan ibu bekerja dan tidak bekerja

56
56
58
58
59
59

7 Pendapatan perkapita keluarga berdasarkan ibu bekerja dan tidak
bekerja
8 Sebaran kategori tugas perkembangan keluarga berdasarkan status
bekerja ibu
9 Uji beda tugas perkembangan keluarga berdasarkan status bekerja ibu
10 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik individu, karakteristik
keluarga, tugas perkembangan keluarga dan kepuasan perkawinan
11 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga, tugas perkembangan
keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan
perkawinan
12 Koesioner penelitian

59
59
60
61

62
63

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Setiap individu yang telah menjalani kehidupan pernikahan tentunya ingin
mendapatkan rumah tangga yang bahagia dan mendapatkan kepuasan perkawinan.
Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri
terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
pernikahan itu sendiri. Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada hasil evaluasi
pasangan suami istri terhadap hubungan kualitas pernikahan keduanya untuk
mencapai tujuan dari perkawinan (Hendrick dan Hendrick 1992).
Salah satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keturunan, sehingga
suami isteri akan merasa kurang lengkap sebagai sebuah keluarga bila belum ada
kehadiran anak ditengah-tengah keluarga. Hal ini merupakan babak baru didalam
kehidupan pasangan suami istri dan biasanya menimbulkan berbagai perasaan
yang bercampur baur antara bahagia dan penuh harapan antara kecemasan
menanti kelahiran sang buah hati dan merawatnya (Sloane dan Benedict 1997).
Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh seorang ibu baru dan salah satu yang
terpenting adalah cara mengasuh dan merawat anak dengan benar.
Saat menyambut kelahiran anak pertama, merupakan saat membahagiakan
dan sekaligus situasi yang paling kritis dan sulit karena dalam beberapa hal kedua
orang tua merasa belum mampu berperan sebagai orang tua. Di lain pihak,
pasangan suami istri baru masih dipengaruhi susasana yang romantis sehingga
kehadiran bayi dianggap mengganggu dan mempengaruhi keharmonisan
hubungan suami istri dan mengubah hubungan yang bersifat dwi tunggal ke
bentuk tritunggal (Hurlock 1999). Ayah dan ibu muda perlu mengenal lebih jauh
mengenai perkembangan sang buah hati karena bayi mengalami masa
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya.
Bayi memerlukan perawatan dan penanganan yang khusus, mulai dari masalah
kebersihan, kesehatan, pertumbuhan hingga gangguan yang mungkin terjadi, baik
yang bersifat psikis maupun fisik.
Masa transisi menjadi orang tua merupakan tahap kedua dari delapan
tahapan keluarga menurut Duvall (1971). Pada tahap kedua ini ada masalah yang
harus dihadapi oleh keluarga yang baru mempunyai anak pertama yaitu
pendidikan maternitas, fokus keluarga, perawatan bayi serta penyesuaian peran
baru sebagai orang tua. Pada tahap ini banyak ibu baru yang merasa tidak mampu
mengerjakan banyak hal akan merasa tertekan dan ingin lari dari kenyataan
(Suryabudhi 1994). Setiap keluarga mempunyai tugas-tugas perkembangan yang
harus di capai agar mampu beralih ke tahap berikutnya dengan berhasil. Menurut
Duvall (1971) ada dua dimensi yang dapat dilihat sebagai tugas perkembangan
keluarga tahap kedua yaitu dimensi anak dan dimensi orangtua.
Gangguan terhadap kehidupan rutin sehari-hari, sepertinya berkurangnya
kebebasan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dari bayi, serta tuntutan untuk
selalu mengurus dan memperhatikan bayi akan mengakibatkan stres baik secara
fisik maupun psikologis (Yanita dan Zamralita 2001). Hal ini tentunya dapat
meyebabkan stres ibu yang baru memiliki anak pertama. Menurut Spielberger
(1996) stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang misalnya

obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Tuntutan itu dapat bersifat fisik, psikologis (misalnya perasaan
bersalah, frustasi, dan lain-lain). Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan
tingkat kepuasan yang tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan,
kepuasan perkawinan menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan
meningkat kembali pada tahun selanjutnya (LeFrancois 1993). Hasil penelitian
Ross Wilkoson dari Australian National University menunjukkan bahwa
kehadiran anak pertama umumnya berpengaruh negatif bagi kesehatan
psikologis orang tua, gejala yang umum adalah kurangnya waktu tidur, kurangnya
ransangan intelektual, dan ketidakpuasan terhadap pasangan. Hal ini umumnya
disebabkan oleh kesulitan penyesuaian diri pada masa transisi menjadi orangtua
(Arifin dan Wirawan 2005).
Ibu bekerja dan ibu tidak bekerja akan berbeda dalam melakasanakan
tugas perkembangan keluarganya. Tercatat ada sekitar 33.5 persen perempuan
yang hanya mengurus rumah tangga sehingga tidak dimasukkan sebagai angkatan
kerja (Sakernas 2011). Wicaksono diacu Larasati (2012) menemukan peningkatan
jumlah istri yang bekerja menjadi tren yang berkembang pada saat ini yang
berdampak pada tugas ibu yang dahulunya hanya mengurus anak, suami, dan
rumah tangga saat ini telah mengalami pergeseran. Ibu yang bekerja akan
berkurang waktu bersama dengan keluarga, bahkan terkadang mereka pulang
terlambat karena harus menyelesaikan pekerjaan mereka di tempat kerja (Sari
2012).
Berdasarkan pada berbagai uraian diatas maka peneliti ingin melakukan
penelitian tentang Pengaruh tugas perkembangan keluarga dan stres ibu yang baru
memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak
bekerja.
Rumusan Masalah
Hasil survei di Amerika Serikat menemukan bahwa para istri cenderung
memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah (56%) dibandingkan
dengan para suami (60%). Istri yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) mempunyai
tingkat penyesuaian psikologis yang paling rendah, diikuti oleh para istri yang
bekerja, dan yang paling tinggi tingkat penyesuaiannya adalah para suami yang
bekerja (Unger dan Crawford 1992). Salah satu yang mempengaruhi kepuasan
perkawinan ibu adalah kehadiran anak pertama. Penurunan didalam kepuasan
perkawinan terjadi setelah kelahiran anak pertama sebagai transisi pasangan
menjadi orangtua. Kehadiran anak pertama ditengah-tengah keluarga merupakan
hal yang paling membahagiakan juga paling sulit dan kritis dikarenakan dalam
beberapa hal orangtua merasa belum mampu berperan sebagai orang tua. Stres
dalam mengasuh anak menimbulkan kesulitan tersendiri bagi orang tua,
khususnya pada ibu (Gunarsa 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
stres pengasuhan lebih sering dialami oleh ibu dibandingkan oleh ayah. Penelitian
yang dilakukan Shin (2006) di Kanada, yang meneliti 106 ibu dan 93 ayah
menunjukkan bahwa ibu mengalami stres yang lebih besar dibandingkan yang
dialami oleh ayah. Banyak ibu dan ayah yang merasa kurang yakin pada
kemampuan diri sendiri untuk merawat bayi mereka. Selain itu, kehadiran anak

pertama juga dianggap membatasi kebebasan kelurga karena pada umumnya
mereka masih cenderung ingin hidup bebas dan berkumpul dengan teman
sebayanya daripada merawat dan terikat dengan bayinya (Poli 1995).
Meninjau kepada fenomena di atas, penelitian ini ingin menjawab
pertanyaan permasalahan sebagai berikut :
1. Adakah perbedaan antara karakteristik keluarga, tugas perkembangan
keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan
perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja?
2. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga,
stres ibu yang baru memiliki anak pertama dengan kepuasan perkawinan ibu
bekerja dan tidak bekerja?
3. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga,
stres ibu yang baru memiliki anak terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja
dan tidak bekerja?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh tugas
perkembangan keluarga, stress ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap
kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik keluarga, tugas perkembangan
keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan
perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja.
2. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga,
stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu
bekerja dan tidak bekerja.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga,
stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan ibu
bekerja dan tidak bekerja.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat informasi dan
sumbangan pemikiran bagi masyarakat atau keluarga yang memiliki anak pertama
baik pada keluarga dengan ibu bekerja maupun keluarga dengan ibu tidak bekerja
tentang tugas perkembangan keluarga yang baru memiliki anak pertama serta
pengaruhnya terhadap kepuasan perkawinan. Bagi peneliti selanjutnya sebagai
bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian sejenis. Bagi pemerintah atau
LSM sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan pasangan yang ingin
menikah untuk dapat mengetahui tugas perkembangan keluarga yang dijalankan
tiap tahapan agar tidak terjadi stres ibu ketika ibu baru memiliki anak pertama.
Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dan wawasan
mengenai fenomena yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Keluarga Dan Pendekatan Teori
Keluarga
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, keluarga adalah suatu
kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan
adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan
sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara lakilaki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Keluarga
adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurang-kurangnya terdiri dari
orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidikan
anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan
anak. Keluarga menurut Sumarwan (2011) keluarga adalah sebuah kelompok
yang terdiri atas dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan. Darah
(keturunan: anak atau cucu) dan adopsi dan kelompok orang tersesbut biasanya
tinggal bersama dalam suatu rumah namun bisa saja semua anggota keluarga
tersebut tidak tinggal dalam satu rumah.
Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar-individu sebagai
anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Empat ciri
keluarga yaitu: (1) susunan orang-orang yang disatukan oleh perkawinan, darah
atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap (rumah tangga); (3) kesatuan
orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi (peran sosial); dan (4)
pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2012).
Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994,
Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dijalankan untuk
mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih,
perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan. Fungsi suatu keluarga dipengaruhi oleh jumlah, jenis kelamin dan
jarak kelahiran anak. Keluarga inti dalam semua masyarakat di dunia, mempunyai
dua fungsi pokok yang sama yaitu:
1. Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu pada dasarnya dapat
menikmati bantuan utama sesamanya serta keamanan dalam hidup.
2. Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu, ketika anak-anak
mendapatkan pengasuhan dan permulaan pendidikannya. Gabungan dari
keluarga inti yang berkerabat sangat dekat ( keturunan satu kakek/nenek)
disebut keluarga luas.
Pendekatan Teori Keluarga: Struktural Fungsional
Di dalam setiap bentuk komunitas manusia pasti mempunyai suatu struktur
atau tatanan baku didalamnya dan yang paling penting adalah disertai fungsi yang
melekat pada setiap bagian struktur tersebut, entah itu menyangkut kedudukan
dalam masyarakat, atau menyangkut pada lingkup yang lebih kecil yaitu keluarga.

Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip
serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan strukturalfungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang dapat diterapkan dalam institusi
keluarga. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial
yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman
dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem
(Megawangi 1999).
Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisa
peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga
keutuhan keluarga dan masyarakat (Muflikhati 2010). Salah satu aspek penting
dari perspektif struktural-fungsional adalah bahwa setiap keluarga yang sehat
terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam
struktur hirarki yang harmonis dan ada komitmen terhadap terselenggaranya peran
atau fungsi itu. Peran adalah sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan
oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk
mencapai tujuan sistem. Sejumlah kegiatan atau aktivitas yang memiliki
kesamaan sifat dan tujuan dikelompokkan ke dalam sebuah fungsi.
Pendekatan Teori Perkembangan
Teori perkembangan keluarga adalah sebuah pendekatan dalam
mempelajari perkembangan dalam suatu keluarga, yang bermafaat dalam
menjelaskan pola, sifat dinamis dari keluarga dan bagaimana perubahan terjadi
dalam siklus keluarga. Konsep dasar teori perkembangan keluarga adalah proses
perubahan dalam keluarga, waktu keluarga adalah faktor yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan keluarga.
Tahap-tahap perkembangan dianggap sebagai masa-masa stabilitas relatif
yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif diantara tahap-tahapnya. Empat
asumsi dasar tentang teori perkembangan keluarga: (1) Keluarga berkembang dan
berubah dari waktu ke waktu dengan cara-cara yang sama dan dapat diprediksi;
(2) Manusia menjadi matang karena berinteraksi dengan orang lain, sehingga
mereka memulai tindakan-tindakan serta reaksi terhadap tuntutan lingkungannya;
(3) Keluarga dan anggotanya melakukan tugas-tugas tertentu yang ditetapkan oleh
mereka sendiri atau oleh konteks budaya dan masyarakat; dan (4) Kecenderungan
keluarga untuk memulai dengan sebuah awal dan akhir yang kelihatan jelas.
Teori perkembangan keluarga meningkatkan pemahaman tentang keluarga
pada titik yang berbeda dalam berbagai siklus kehidupan keluarga dan
menghasilkan deskripsi yang khas tentang kehidupan keluarga dalam berbagai
tahap perkembangannya. Duvall (1971) menggambarkan tipe siklus keluarga dari
keluarga utuh dengan lingkaran yang memiliki 8 tahapan, yaitu: (1) tahapan
perkawinan; (2) tahapan mempunyai anak pertama; (3) tahapan anak berumur
preschool; (4) tahapan anak berumur sekolah dasar; (5) tahapan anak berumur
remaja; (6) tahapan anak lepas dari orang tua; (7) tahapan orang tua umur
menengah; (8) tahapan orang tua umur manula. Setiap fase perkembangan
keluarga memiliki tugas-tugas yang berbeda. Siklus ini membantu menempatkan
keluarga berada difase yang mana dan memprediksi kapan setiap fase akan
dicapai. Dalam fase perkembangan Duvall ini, tahap keluarga dengan anak

pertama berada pada tahapan kedua dimana keluarga memulai dari kelahiran anak
pertama hingga bayi berusia 30 bulan ( 2.5 tahun).
Tugas Perkembangan Keluarga Tahap Kedua
Tugas-tugas perkembangan keluarga terjadi apabila keluarga sebagai sebuah
unit berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan perkembangan mereka secara
individual. Tugas-tugas perkembangan keluarga juga diciptakan oleh tekanantekanan komunitas terhadap keluarga dan anggotanya untuk menyesuaikan diri
dengan harapan-harapan kelompok acuan keluarga dan masyarakat yang lebih
luas. Selain itu, tugas-tugas perkembangan keluarga juga meliputi tugas-tugas
spesifik pada setiap tahap yang melekat dalam pelaksanaan lima fungsi dasar
keluarga yang terdiri dari (1) Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian);
(2) Fungsi sosialisasi dan penempatan sosial; (3) Fungsi perawatan kesehatan –
penyediaan dan pengelolaan kebutuhan-kebutuhan fisik dan perawatan kesehatan;
(4) Fungsi reproduksi; dan (5) Fungsi ekonomi. Tugas-tugas perkembangan
keluarga menyatakan tanggung jawab yang dicapai oleh keluarga selama setiap
tahap perkembangannya sehingga dapat memenuhi (1) Kebutuhan biologis
keluarga, (2) Imperatif budaya keluarga, dan (3) Aspirasi dan nilai-nilai keluarga
(Duvall 1971).
Kedatangan bayi dalam rumah tangga menciptakan perubahan-perubahan
bagi setiap anggota keluarga dan setiap kumpulan hubungan. Orang asing telah
masuk ke dalam kelompok ikatan keluarga yang erat, dan tiba-tiba keseimbangan
keluarga berubah. Setiap anggota keluarga memainkan peran yang baru dan
memulai hubungan yang baru. Selain seorang bayi yang baru saja dilahirkan,
seorang ibu, seorang ayah, kakek nenek pun lahir. Istri sekarang harus
berhubungan dengan suami sebagai pasangan hidup dan juga sebagai ayah dan
sebaliknya. Ini merupakan suatu perkembangan kritis bagi semua yang terlibat.
Keluarga menanti kelahiran dan mengasuh anak. Adapun tugas perkembangan
pada tahap ini yaitu persiapan menjadi orangtua, adaptasi dengan perubahan
anggota keluarga, peran, interaksi, hubungan seksual, serta mempertahankan
hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
Oleh sebab itu, meskipun kedudukan sebagai orangtua menggambarkan
tujuan yang teramat penting bagi semua pasangan, kebanyakan pasangan
menemukannya sebagai perubahan hidup yang sangat sulit. Penyesuaian diri
terhadap perkawinan biasanya tidak sesulit penyesuaian terhadap menjadi
orangtua. Meskipun bagi kebanyakan orang tua merupakan pengalaman penuh arti
dan menyenangkan, kedatangan bayi membutuhkan perubahan peran yang
mendadak. Faktor penting yang menambah kesukaran dalam menerima peran
orangtua adalah bahwa kebanyakan orang sekarang tidak disiapkan untuk menjadi
orang tua. Menjadi orangtua merupakan satu-satunya peran utama yang sedikit
dipersiapkan dan kesulitan dalam transisi peran mempengaruhi hubungan
perkawinan dan hubungan orangtua dan bayi secara merugikan.
Menurut Duvall (1971) ada dua dimensi dalam tugas perkembangan
keluarga tahap ke dua yaitu:
1. Dimensi orang tua
a. Rekonsiliasi penyesuaian peran.
b. Menerima dan menyesuaikan tuntutan sebagai ibu muda.

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Belajar merawat bayi dengan kompeten.
Membangun dan mempertahankan rutinitas keluarga yang sehat.
Memberikan kesempatan penuh untuk perkembangan anak.
Berbagi tanggung jawab orang tua dengan suami.
Mempertahankan hubungan yang romantis dengan suami
Membuat penyesuaian yang memuaskan dengan realitas kehidupan.
Menjaga kehidupan ibu muda melalui otonomi pribadi.
Mengeksplorasi dan mengembangkan rasa memuaskan menjadi keluarga.

2. Dimensi anak
a. Mencapai keseimbangan fisiologis setelah kelahiran.
b. Belajar untuk mendapatkan kepuasan akan makanan.
c. Belajar mengetahui kapan, dimana dan bagaimana terjadi penghilangan.
d. Belajar untuk mengelola tubuh secara efektif.
e. Belajar menyesuaikan dengan orang lain.
f. Belajar untuk menyayangi dan disayangi.
g. Mengembangkan sistem komunikasi.
h. Belajar untuk mengekspresikan dan mengendalikan perasaan.
i. Menempatkan dasar untuk kesadaran diri.

Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama
Stres
Menurtut Atkinson et al. (2000) stres terjadi jika orang dihadapkan pada
peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau
psikologinya. Stres merupakan hasil dari hubungan (relationship) antara individu
dengan lingkungannya. Salah satu ciri yang paling jelas tentang pengalaman stres
adalah kuatnya pengaruh psikologis. Orang menunjukkan perbedaan individual
yang besar dalam reaksi mereka terhadap stresor. Bahkan respon fisiologis
terhadap peristiwa yang sulit dapat dipengaruhi oleh proses psikologis (Atkinson
et al. 2000).
Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres
sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan
merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Stres menurut
Spielberger (1996) adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang,
misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif
berbahaya. Tuntutan itu dapat bersifat fisik, psikologis (misalnya perasaan
bersalah, frustasi, dan lain-lain), sosial atau beberapa kombinasi faktor-faktor
tersebut (misalnya kematian orang yang dicintai, pekerjaan yang menumpuk atau
kelahiran anak pertama).
Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres secara psikologis sebagai
sebuah hubungan antara orang dan lingkungan dimana semua itu dinilai oleh
orang yang menjalaninya sebagai sesuatu yang melebihi sumberdaya yang
dimilikinya dan dapat mengganggu dan membahayakan kesejahteraan. Keadaan
stres merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan tersebut (Sutherland dan

Cooper 1990). Orangtua yang stres berarti orangtua yang kemampuan sumber
dayanya terbatas terhadap tuntutan dalam melakukan pengasuhan. Menurut Baker
et al. (2001) keadaan stres berkaitan dengan pengasuhan, dan ketidakmampuan
yang dimiliki orangtua. Pengasuhan diartikan sebagai sebuah proses dari
serangkaian tindakan dan interaksi orangtua untuk meningkatkan perkembangan
anak, proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak dipengaruhi oleh
budaya dan sosial (Brooks 1999). Bila keadaan stres terus menerus terjadi dalam
proses pengasuhan maka akan terjadi stres pengasuhan. Stres pengasuhan dapat
didefinisikan sebagai kecemasan yang berlebihan dan ketegangan spesifik yang
berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi orangtua dengan anak (Abidin
1995). Stres pengasuhan yang tinggi berhubungan dengan kurangnya kerjasama,
banyaknya sikap tidak mengacuhkan dan banyak intrusif dalam gaya pengasuhan
(Ahern, 2004). Stres tersebut dapat meningkat mungkin menyebabkan orangtua
menjadi bersikap mencela, menghukum dan cepat marah, hal ini dapat
menyebabkan anak berperilaku salah (Webster-Stratton 1990). Keadaan stres
pengasuhan yang dialami oleh orangtua berpengaruh negatif terhadap interaksi
orangtua dan anak. Hal tersebut dapat memicu timbulnya permasalahan pada
perkembangan anak yang berkaitan dengan stres ibu dalam mengasuh anak. Dapat
disimpulkan bahwa stres pada ibu yang baru mempuyai anak pertama adalah
suatu keadaan tegang dan tertekan yang dapat menimbulkan suatu reaksi fisiologis
maupun psikologis pada diri seorang perempuan/ibu karena adanya tuntutan
dalam mengurus atau menjaga anak pertamanya.
Stres yang terjadi pada setiap orang pasti berbeda-beda, hal ini dapat dilihat
dari gejala-gejala yang dialaminya. Menurut Badran (2006) menyatakan bahwa
gejala stres dapat dilihat dari ciri-ciri segi fisik maupun mental. Berdasarkan segi
fisik dapat dilihat bahwa dalam keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada
fisik seseorang. Para ahli mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena
adanya aktifitas besar pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan
tubuh ketika menghadapi sesuatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas
itu dapat mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya
tangan berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit,
denyut jantung naik, suara serak, sering buang air kecil. Berdasarkan segi mental,
stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta menyebabkan
berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang tersinggung, tidak percaya
diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur, merasa lemah dan gagal.
Golizek (2005) menyatakan bahwa gejala stres dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu gejala fisik, emosional dan perilaku. Adapun gejala tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Gejala Fisik
a. Stres dapat menyebabkan sakit kepala
b. Perubahan nafsu makan (nafsu makan hilang atau bertambah)
c. Terjadi perubahan berat badan (bertambah atau berkurang)
d. Jantung berdebar-debar
e. Berkeringat secara berlebihan
f. Cenderung mengalami kecelakaan
g. Ketegangan pada bagian otot tertentu yang menyebabkan pegal-pegal pada
bahu, pinggang, leher dan kepala

h. Stres menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun, melemah,
sehingga mudah masuk angin dan pilek.
i. Disfungsi seksual: penderita stres sering mengeluh masalah seksual,
impotensi, frigiditas, ejakulasi dini dan lain-lain.
j. Gangguan sistem pencernaan: ulkus ventrikuli (tukak lambung)
k. Sindrom ketegangan pramestrurasi, nyeri-nyeri di tubuh, mual-mual, sakit
kepala, rasa tidak nyaman sebelum haid, yang disebabkan terganggunya
keseimbangan hormon yang sering berkaitan dengan stres seseorang dan
haid yang tidak teratur.
2. Gejala Emosional
a. Perasaan tidak menentu, takut, cemas, yang tidak jelas dan tidak terikat
pada suatu ancaman yang jelas dari luar sehingga menyebabkan penderita
menjauh dari lingkungan sosial atau tempat dan keadaan tertentu.
b. Merasa putus asa, bingung, sedih, gangguan tidur, apatis, kehilangan minat,
pada aktivitas dan orang lain, pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya
pengalaman dan hari depan, pikiran dan dorongan melakukan percobaan
bunuh diri.
c. Ketidakseimbangan emosi: suasan hati cepat berubah, cepat marah, emosi,
cepat meluap, menjadi histeris.
3. Gejala Perilaku.
a. Suka menggeretakkan gigi
b. Dahi berkerut
c. Kebiasaan memutar-mutarkan rambut
d. Merokok secara berlebihan
e. Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan
f. Memakai obat-obatan secara berlebihan
g. Kehilangan ketertarikan pada penampilan fisik
h. Perilaku sosial berubah secara tiba-tiba
i. Mengantuk-antukkan kaki atau jari
Tingkat stres
Selye (1956) mengemukakan bahwa berat ringannya stress tergantung
kepada tiga hal, yaitu :
1. Stressor atau sumber stres itu sendiri, dalam hal ini rangsangan yang dirasakan
sebagai ancaman atau yang dapat menimbulkan perasaan negatif.
2. Frekuensi atau lama terpapar terhadap stressor,
3. Intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor.
Tingkat stres dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu rendah,
sedang dan tinggi. McElroy dan Townsend (1985) mengungkapkan bahwa tingkat
stres dibutuhkan untuk membentuk stimulasi dan tantangan dari lingkungan. Pada
beberapa tingkat stres dapat diatasi dengan mudah, tetapi ada pula tingkat stres
yang sangat sulit diatasi sehingga menciptakan situasi krisis. Adanya stres pada
tingkat tertentu dianggap mampu meningkatkan kemampuan, sehingga sering kali
diasumsikan sebagai “tekanan yang menyehatkan” (Helms dan Turner 1986).
Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres,
sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres.

Tingkat stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu faktor
pembeda dalam melakukan coping terhadap stres.
Menurut Selye (1956) stres dibatasi sebagai respon non spesifik pada
tubuh terhadap berbagai jenis tuntutan. Sindrom Adaptasi Umum (General
Adaption Syndromel/ GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang
menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan
pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1. Peringatan (alarm reaction), tahap pengenalan terhadap stres dimana terjadi
shock bersifat sementara (pertahanan terhadap stres di bawah normal) dan
mencoba dihilangkan. Tahap ini berlangsung singkat, jika stres berlanjut maka
individu akan ke tahap selanjutnya.
2. Perlawanan (resistance), pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif,
dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap ini, tubuh
dipenuhi hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan
pernafasan meningkat. Bila upaya yang dilakukan gagal dan stres tetap ada,
akan masuk ke tahap selanjutnya.
3. Kelelahan (exhausted), kerusakan pada tubuh semakin meningkat dan
kerentanan terhadap penyakit pun meningkat. Secara spesifik stres merupakan
gejala psikologis yang menurut Lazarus (1999), sebagai sebuah hubungan
khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui
kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya, singkatnya
merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan
idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan,
antara peluang dan potensi.
Teori Stres
Model Stres ABC-X (Hill 1949)
Model stres ABC-X pertama kali diperkenalkan oleh Hill (1949) sebagai
model stres dalam keluarga sebagai dampak dari “life event” yang terjadi dalam
keluarga sepanjang rentang kehidupan. Dalam kerangka kerja model stres Hill
diperkenalkan tiga variabel yaitu: faktor A merupakan kejadian yang menjadi
pencetus timbulnya stres (stressor); faktor B merupakan sumberdaya atau
kekuatan yang dimiliki keluarga pada saat kejadian stres dan faktor C merupakan
pemahaman atau pemakanaan keluarga terhadap kejadian yang dialami, yang pada
akhirnya ketiga variabel tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan X (sebagai
krisis atau stres) (Boss 1987).

Gambar 1. Model ABC-X

Family Adjusment and Adaptation Response (FAAR) (Paterrson 1988)
Model ini dibangun berdasarkan pada Double ABC-X Model, yang
menekankan pada kemungkinan-kemungkinan dari keluaran yang positif. Model
ini konsisten dengan banyak studi yang telah dilakukan yaitu berfokus pada
relationship dan resiliency (kelentingan) dari keluarga dan individu (Antonovsky
1979, diacu dalam Friedman et al. 2003). Berdasarkan situasi dan pengertian
umum (seperti hubungan keluarga) dipandang mempengaruhi keduanya yaitu
tuntutan atau stressor (ketegangan dan pertengkaran) dan kemampuan
(sumberdaya dan perilaku koping). Tuntutan versus kemampuan berperan penting
untuk membedakan tingkatan dari penyesuaian keluarga (sebelum krisis) dan
adaptasi keluarga (setelah krisis) (Friedman et al. 2003).

Kepuasan Perkawinan
Menurut Roach et al. (1981) kepuasan perkawinan merupakan persepsi
terhadap kehidupan perkawinan seseorang, sedangkan menurut Gray-Little &
Burks (1983) kepuasan perkawinan adalah pandangan subyektif pasangan
terhadap perkawinannya secara keseluruhan, juga terhadap aspek-aspek khusus
dalam hubungan perkawinannya.
Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri
terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
pernikahan itu sendiri. Sedangkan definisi kepuasan perkawinan menurut Olson
dan Hamilton meliputi (1) suatu evaluasi seseorang terhadap perkawinannya; (2)
bersifat subyektif; (3) pada saat ini; dan (4) berkaitan dengan aspek-aspek khusus
maupun keseluruhan dalam hubungan perkawinannya; (5) suatu kontinum dari
sangat memuaskan hingga sangat tidak memuaskan (Domiskus 2002). Kepuasan
perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi
hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick
dan Hendrick 1992).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan
adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai
kehidupan pernikahan.
Menurut Hendrick dan Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu:
a. Faktor sebelum menikah.
1. Latar belakang ekonomi, yaitu status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai
dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan.
2. Pendidikan, yaitu pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak
menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan
rendah.
3. Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap
romantisme, pernikahan dan perceraian.
b. Faktor setelah menikah.
1. Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
perkawinan terutama pada wanita. Penelitian menunjukkan bahwa

bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu
bersama pasangan (Hendrick dan Hendrick 1992). Kehadiran anak dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan
akan keberadaan anak tersebut.
2. Lama Pernikahan, dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan
pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran
anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. Pada
umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah
dalam hubungan pernikahannya.
Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan
Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam
perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Fower dan Olson (1989; 1993).
Adapun aspek aspek tersebut antara lain:
Komunikasi. Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu
terhadap komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini
berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi
dan menerima informasi emosional dan kognitif.
Aktifitas bersama. Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih
untuk menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial
versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan
dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan.
Orientasi religius. Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan
prakteknya dalam pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan
bagian yang penting dalam pernikahan. Menurut Wolfinger dan Wilcox (2008)
Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara
nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan
pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya
dalam pernikahan. Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan
terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan
secara psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan
(Wolfinger dan Wilcox 2008).
Penyelesaian konflik. Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai
eksistensi dan resolusi terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini
berfokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan
penyelesaian dan strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen
serta saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun
kepercayaan satu sama lain.
Pengelolan keuangan. Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan
dengan bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini
mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian
mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu
harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki
barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock 1999). Konflik dapat muncul
jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak
percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

Relasi seksual. Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan
hubungan seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual,
perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan.Penyesuaian seksual dapat
menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai
kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring
berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami
dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat
dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga
dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.
Keluarga dan teman. Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan
berhubungan dengan hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari
pasangan, dan teman-teman.Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan
kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.
Anak dan pernikahan. Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaanperasaan mengenai mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan dis