Gambaran Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

STRES

1)

Definisi Stres
Stres menurut Sarafino (2011), ialah kondisi dimana terjadi kesenjangan

antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan
dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu
tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya.
Lazarus dan Folkman (1984) juga menyatakan, stres adalah keadaan internal
yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan,
dll) atau oleh kondisi lingkungan

dan


sosial

yang dinilai

potensial

membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
melakukan coping. Menurut Atkinson (2000), stres muncul akibat adanya
permintaan yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesejahteraan fisik dan
psikologis seseorang terganggu.
Hager (dalam Santrock 2003) mendefinisikan, stres sangat bersifat
individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara
daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan
dengan suatu sumber stres tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis
maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada
persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah
persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk

13
Universitas Sumatera Utara


14

menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus &
Folkman, 1984). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh
bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah
suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun
psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan
individu dengan kemampuan individu dalam meresponnya.

2)

Penggolongan Stres
Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan

berdasarkan atas persepsi individu terhadap stres:
a.

Distres (Stres Negatif)

Distres merupakan stres yang merusak dan tidak menyenangkan. Distres

menciptakan kondisi cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Hal ini
mengakibatkan

individu

mengalami

keadaan

psikologis

yang

negatif,

menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Akibatnya, ia lebih
banyak menarik diri, tidak mengikuti kegiatan sosial, mudah tersinggung, marah,
mudah emosi.

b.

Eustres (Stres Positif)
Eustres merupakan stres bersifat menyenangkan. Istilah joy of stres

diungkapkan oleh Hanson (dalam Rice, 1992) untuk menjelaskan hal-hal positif
yang timbul dari stres. Eustres dapat meningkatkan performansi individu,
kreativitas dan peningkatan kemampuan kognisi.

Universitas Sumatera Utara

15

3)

Sumber Stres
Sarafino (2011) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stresors) yang dapat

terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:
1.


Sumber yang berasal dari individu
Ada dua hal yang memicu stres pada individu, yaitu: (1) Penyakit, dimana

adanya penyakit menyebabkan tekanan biologis dan psikososial sehingga dapat
menimbulkan stres; (2) Adanya Konflik, dalam konflik individu memiliki dua
kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat.
2.

Sumber yang berasal dari keluarga
Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-

kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak
pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya
masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda
antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang
dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 2011).
3.

Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak

kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa
banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan (Sarafino,
2011).

Universitas Sumatera Utara

16

4)

Aspek Stres
Sarafino (2011), mengemukakan 3 aspek psikologis dari stres yaitu:

1.

Kognisi
Stres dapat melemahkan ingatan dan konsentrasi dalam aktivitas kognitif


(Cohen dkk dalam Sarafino, 2011). Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan
penurunan kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa individu
yang terus menerus memiliki stresor dapat menimbulkan stres yang lebih parah
terhadap stresor. Kesulitan dalam berkonsentrasi, mengingat, memecahkan
masalah dan mengontrol impuls merupakan refleksi bahwa stres dapat
melemahkan kognitif (Sarafino, 2011).
2.

Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan

keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat
memengaruhi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres
yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi/perasaan sedih, dan rasa marah.
3.

Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino,

2011). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam

dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu
dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2011).
Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial yang negatif
cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif.

Universitas Sumatera Utara

17

5)

Faktor yang mempengaruhi Stres

a.

Faktor Lingkungan
Dukungan sosial dari lingkungan dapat mempengaruhi stres individu.

Ketika seseorang memperoleh dukungan sosial dari lingkungannya, maka stres
yang dialaminya dapat hilang dan kemungkinan menjadikan individu dapat

menyesuaikan keadaannya. Dukungan sosial dapat didapatkan individu juga
menjadikan individu memiliki self-esteem dalam menghadapi masalahnya
(Sarafino, 2011). Hasil Penelitian tentang dukungan sosial pada ibu dari anak
autis menyatakan bahwa ibu yang tidak memperoleh dukungan sosial yang cukup
dari lingkungan memiliki tingkat stres yang tinggi. Perasaan berjuang sendirian
menghadapi perilaku anak yang tidak dapat dikontrol menjadikan ibu memiliki
tingkat stres yang tinggi (Miftah, 2010).
b.

Kontrol personal
Derajat kontrol personal yang dimiliki seseorang atas kehidupannya

mempengaruhi stres yang dialaminya. Kontrol personal ialah perasaan individu
bahwa ia dapat mengambil keputusan dan tindakan efektif yang dapat
mempengaruhi suatu peristiwa secara langsung. Penelitian menyebutkan bahwa
orang dengan kontrol personal yang tinggi mengalami tingkat stres yang lebih
rendah pula (Sarafino, 2011). Terdapat 2 jenis kontrol personal menurut Sarafino
(2011), yaitu: (1) Kontrol Perilaku, melibatkan kemampuan untuk melakukan aksi
konkrit untuk mengurangi efek dari stres; (2) Kontrol Kognitif, melibatkan
strategi berpikir untuk memodifikasi efek dari stres. Kontrol personal yang rendah

dari ibu menjadikan ia larut dalam emosi negatifnya, sehingga ia tidak lagi peka

Universitas Sumatera Utara

18

pada kebutuhan anak; ketika anak menunjukkan perilaku yang tidak dapat
dikendalikan ibu, ibu menjadi bingung dalam mengambil tindakan, hal ini akan
meningkatkan stres ibu (Sari dkk, 2011).
c.

Faktor Kepribadian
Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, memiliki persepsi yang

berbeda pula terhadap stres. Ketika individu memandang stres sebagai sesuatu
yang negatif, maka ia akan menunjukkan perilaku maladaptif, sebaliknya, ketika
ia memandang stres sebagai sesuatu yang memotivasi, ia akan berperilaku adaptif
terhadap stres sehingga efek stres pun berbeda (Sarafino, 2011).
d.


Faktor Usia
Usia seseorang dapat mempengaruhi tingkat stres yang dimilikinya. Hasil

penelitian yang relevan menyatakan bahwa ibu dengan usia yang lebih muda
cenderung memiliki anak dengan perilaku tantrum pada intensitas yang lebih
tinggi (Astuti, 2016). Hal ini dikaitkan dengan kematangan emosi dan
kemampuan coping yang belum berkembang dengan maksimal, sehingga reaksi
ibu yang diberikan atas perilaku anak belum tepat, yang berakibat pada
meningkatnya tantrum anak (Astuti, 2016).

B.

AUTISME

1)

Defenisi
Asosiasi Psikolog di Amerika dalam DSM-IV-TR (2004) menyebutkan

autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam
interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan

Universitas Sumatera Utara

19

ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat
perkembangan dan usia kronologis dari individu (APA, 2004).
Parke & Gauvan (2009) menyatakan autisme ialah gangguan yang serius
pada kemampuan anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial; Anak
dengan sindrom autisme mengalami penurunan bahasa, dan mengutamakan
keteraturan dalam lingkungannya. Anak dengan sindrom autisme juga sangat
terikat dengan perilaku yang berulang-ulang (perilaku repetitif).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan
perkembangan pada anak - anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial
seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,
gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat - kalimat
yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan
ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan
stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan
kesamaan di dalam lingkungannya.

2)

Gejala Autisme
APA (2004) menyatakan gejala autisme dapat dikenali pada anak sejak usia

1 – 3 tahun. Namun dapat muncul sebelum usia 1 tahun jika penurunan terjadi
cukup parah, dapat juga muncul setelah lebih dari 2 tahun ketika gejala tidak
terlalu tampak. Adapun gejala perilaku yang sering ditunjukkan oleh anak dengan
gangguan autisme ialah:

Universitas Sumatera Utara

20

a.

Kurangnya minat dan interaksi sosial
Anak autis dapat kurang memiliki ketertarikan untuk bergabung dengan

lingkungan sosial, mereka seringkali tidak mau terlibat kontak mata dengan orang
lain, lebih menyukai bermain sendiri, dan gagal memberikan perilaku dan respon
yang sesuai dengan orang lain.
b.

Masalah dalam hal komunikasi
Anak dengan sindrom autisme memiliki jumlah kosakata yang sedikit

dibanding anak seusianya. Mereka juga cenderung mengalami echolalia , dimana
anak autis mengulang kembali perkataan orang-orang disekitarnya. Pemahaman
bahasa verbal dan nonverbal pada anak autis tidak terintegrasi dengan baik.
c.

Pola Perilaku yang terbatas, repetitif dan stereotip
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang - ulang secara terus-

menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar -putar, berjingkat-jingkat dan
lain sebagainya. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian - bagian tertentu dari
sebuah objek. Misalnya, pada roda mainan mobil- mobilannya. Anak autis juga
menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

3)

Penyebab Autisme
Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang kedokteran

yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani,
2003). Namun APA (2004) menyebut autisme sebagai gangguan perkembangan
pervasif, dimana keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa dan
pola perilaku tidak berkembang secara sesuai pada masa kanak-kanak pada

Universitas Sumatera Utara

21

umumnya. Gangguan ini mempengaruhi berbagai bidang perkembangan,
bermanifestasi pada awal kehidupan dan menyebabkan disfungsi yang bersistem.
APA (2004) mengemukakan 2 faktor penyebab dari anak mengalami
autisme, yaitu:
1.

Faktor Lingkungan
Penyebab anak mengalami autisme disebabkan adanya faktor-faktor yang

tidak spesifik dari lingkungan, seperti usia ibu ketika mengandung, berat yang
kecil ketika dilahirkan dan paparan zat kimia yang berlebihan sejak dini.
2.

Faktor Genetik dan Fisiologis
Heritabilitas atau faktor keturunan pada anak autis diperkirakan bergerak

dari angka 37 % - 90 %. Belakangan ini, sebanyak 15 % anak dengan autisme
diasosiasikan dengan adanya mutasi genetik dalam keluaranya.

4)

Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut APA (2004) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

A.

Jumlah dari 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua
dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
(1)

Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan
dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:
(a)

Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa
perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah,
postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.

Universitas Sumatera Utara

22

(b)

Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya
yang sesuai dengan tahap perkembangan.

(c)

Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain
(seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek
ketertarikan).

(d)
(2)

Kekurangan dalam emosi atau sosial yang timbal balik.

Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada
setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a)

Keterlambatan perkembangan bahasa atau bahkan tidak
berkembang sama sekali (tidak disertai dengan usaha untuk
menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi,
seperti gestur atau mimik).

(b)

Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup,
kerusakan ditandai dengan ketidakmampuan untuk memulai
atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(c)

Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap
atau bahasa yang aneh.

(d)

Kekurangan dalam variasi permainan berpura-pura yang
spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan
tahap perkembangan.

Universitas Sumatera Utara

23

(3)

Suatu pola-pola perilaku yang dipertahankan dan berulang-ulang dari
perilaku, minat dan kegiatan, yang dimanifestasikan setidak-tidaknya
satu dari hal berikut:
(a)

Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan
yang tetap dan berulang, yang intensitas atau fokusnya
abnormal.

(b)

Terpaku pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.

(c)

Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan
atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang
kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d)
B.

Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.

Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area
berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2)
bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan
simbolik atau imajinatif.

C.

Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.

5)

Tingkat Kecerdasan Anak Autis
Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan dari

anak autis dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

24

a.

Low Functioning (IQ Rendah)

Penderita autis yang dikategorikan dalam Low Functioning Autism, maka
dapat dipastikan dikemudian hari penderita tidak dapat hidup mandiri dan
seumur hidupnya akan bergantung kepada orang lain.
b.

Medium Functioning (IQ Sedang)

Penderita autis yang dikategorikan dalam level ini dikemudian hari masih
bisa hidup bermasyarakat dan masih dapat bersekolah di sekolah khusus
yang memang diperuntukkan bagi penderita autis.
c.

High Functioning (IQ Tinggi)

Penderita autis pada kategori ini dikemudian hari memiliki kemungkinan
untuk hidup mandiri, dapat bekerja bahkan memiliki kesempatan
berkeluarga.

6)

Perkembangan Anak Autis
Wenar & Kerig (2000) menyatakan autis berkembang pada 30 bulan

pertama dalam hidup, karenanya periode perkembangan anak autis dibagi menjadi
2 (dua) kelompok, yaitu:
1.

Masa infant dan toddler
Hubungan caregiver dengan anak merupakan kunci utama pada masa ini.
Beberapa faktor yang menjadi pembeda anak autis dari anak normal lainnya
ialah pola tatapan yang tidak fokus, ketidakmampuan afeksi contohnya
dalam hal senyum sosial, minimnya vokalisasi, keanehan dalam imitasi
sosial, tidak ada inisiatif dan pasif dalam permainan dengan orang dewasa,

Universitas Sumatera Utara

25

ketidakmampuan membentuk attachment, kepatuhan hanya pada hal-hal
yang dapat mereka pahami dan bersikap negatifistik secara berlebihan.
2.

Masa Prasekolah dan Middle Childhood
a.

Faktor Afektif-Motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif tidak dimiliki anak autis.
Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak autis juga
kurang dalam hal empati, yaitu proses dimana seseorang berespon
secara afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect
yang sama dengan orang tersebut.

b.

Hubungan Timbal-Balik
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh
dalam interaksi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan
seumur hidup mereka.

7)

Penanganan terhadap Anak Autis
Davison dkk (2006) mengungkapkan tiga (3) model penanganan terhadap

anak autis, yaitu:
a.

Penanganan Behavioral
Menggunakan teknik modelling dan operant conditioning, penanganan

terhadap anak autis biasanya dilakukan dengan mengajari mereka berbicara,
memperbaiki echolalia yang mereka miliki, mendorong mereka untuk bermain
dengan anak lain dan membantu mereka untuk lebih responsif terhadap orang

Universitas Sumatera Utara

26

dewasa. Penggunaan reward juga dibutuhkan untuk menguatkan perilaku yang
diinginkan dari anak autis.
b.

Penanganan Psikodinamika
Pandangan psikodinamika menganggap bahwa masalah attachment dan

kelemahan emosional merupakan penyebab autisme, sehingga diperlukan adanya
kehangatan dan suasana penuh kasih sayang dari lingkungan sekitar yang dapat
mendorong anak untuk ‘memasuki dunia’. Kesabaran dan penerimaan dari orang
sekitar khususnya keluarga sangat diperlukan oleh anak autis untuk mulai
memercayai orang lain dan mengambil kesempatan untuk mulai berhubungan
dengan orang lain.
c.

Penanganan dengan menggunakan obat-obatan
Obat yang paling sering digunakan pada anak dengan gangguan autisme

ialah haloperidol (nama dagang Haldol). Obat ini juga sering digunakan untuk
menangani pasien skizofrenia. Obat ini mampu mengurangi gejala penarikan diri
dari lingkungan sosial, perilaku stereotip, dan perilaku maladaptif seperti melukai
diri sendiri dan agresi. Kendatipun demikian, respon anak autis terhadap obatobatan berbeda dari satu anak ke anak lainnya. Beberapa studi mengemukakan
banyak anak autis yang tidak merasakan efek positif dari obat tersebut. Bukti
bahwa adanya peningkatan kadar serotonin pada anak autis menjadikan peneliti
terus mengembangkan obat terkait dengan penurunan kadar serotonin pada anak
autis. Namun Davison & Neale (2006) secara singkat menyatakan penanganan
farmakologis pada anak autis kurang efektif dibandingkan berbagai intervensi
behavioral.

Universitas Sumatera Utara

27

C.

STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
Ibu ialah seorang wanita yang telah menjalankan perannya dalam

melahirkan dan mengasuh seorang anak. Seorang ibu berperan dalam mengasuh
anaknya mulai dari lahir, hingga berkembang dan tumbuh dewasa. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibu ialah sebutan bagi wanita yang telah
berkeluarga dan memiliki keturunan (Depdiknas, 2008).
Kartono (1985) mengungkapkan bahwa salah satu fungsi ibu yang utama
ialah sebagai pengasuh bagi anak-anaknya. Ibu sangat berperan dalam kehidupan
buah hatinya di saat anaknya masih bayi hingga dewasa. Peranan ibu terhadap
anak adalah sebagai pembimbing kehidupan di dunia ini khususnya dalam hal
beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik dan sesuai norma (Bilih,
2011).
Peranan ibu akan menjadi lebih besar ketika anaknya memiliki kebutuhan
khusus, seperti autisme yang mengharuskan ibu memiliki perhatian yang lebih
pada anaknya. Ketika anak didiagnosa autis, maka beragam respon dari ibu dapat
muncul, hal ini juga terkait dengan tingkat keberfungsian anak. Pada umumnya
respon negatiflah yang pertama kali muncul ketika ibu mengetahui bahwa
anaknya autis (Wiliam & Wright, 2004).
Penelitian mengungkapkan ibu dari anak berkebutuhan khusus cenderung
mengalami stres dibandingkan dengan orangtua dari anak normal (Beckman et al.
dalam Lam & Mackenzie, 2008). Terlebih lagi, penelitian Davis, dkk (2008) dan
Plumb (2011) mengemukakan bahwa ibu dari anak autis memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan ibu dari anak dengan gangguan lain.

Universitas Sumatera Utara

28

Stres ialah kondisi terjadinya kesenjangan atau ketidaksesuaian tuntutan
yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber
daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang
akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya (Sarafino, 2011).
Salah satu sumber stres yang dikemukakan oleh Sarafino ialah bersumber
dari keluarga. Penyakit yang dialami anggota keluarga menjadikan anggota
keluarga lainnya harus mampu memahami dan beradaptasi dengan perilaku yang
berubah dikarenakan adanya anggota keluarga yang sakit (Sarafino, 2011). Dalam
sebuah keluarga yang memiliki anak autis, setiap anggota keluarga harus
melakukan penyesuaian terkait karakteristik anak autis, khususnya ibu yang
berperan penting dalam merawat anak. Kondisi ibu yang terbatas dalam
mengasuh, terkadang menjadikan ibu stres (Hutten, 2009).
Pisula (2011) menyatakan terdapat tiga penyebab utama stres ibu dari anak
autis, yaitu (1) Karakteristik perilaku anak, seperti interaksi sosial yang minim,
perilaku repetitif, ketidakmampuan menunjukkan emosi; (2) kurangnya dukungan
dari profesional yang tepat, hal seperti ini mengakibatkan hubungan orangtua
dengan profesional tidak efektif yang berdampak pada akses atas dukungan medis
maupun edukasi pada anak tidak berjalan dengan baik; (3) Sikap dari lingkungan
sosial atas kondisi anak, sikap cenderung negatif dari lingkungan terhadap anak
autis merupakan salah satu penyebab stres dari ibu anak autis. Lingkungan sosial
yang tidak mendukung, seperti orang disekitar tidak memahami keterbatasan
anaknya, bahkan mencibiri atau memandang dengan tatapan yang aneh,
merupakan contoh hal-hal yang dapat membuat ibu stres.

Universitas Sumatera Utara

29

Banyaknya gejala dari anak autis juga menjadikan ibu stres dalam
mengasuh anak. Berbagai kesulitan yang dialami ibu dalam mengasuh anak autis
diantaranya, dalam hal mengajar dan berkomunikasi dengan anak sangatlah sulit
karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan emosinya, harus
selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang, perawatan yang
ekstra karena anak autis tidak mampu merawat dirinya sendiri, memenuhi semua
kebutuhan anak autis, kebutuhan sekolah dan kesehatan anak, bahkan stigma
masyarakat tentang anak autis (Phetrasuwan & Miles, 2009).
Hasil penelitian sebelumnya terkait dengan anak autis juga mendukung
pendapat bahwa karakteristik dari anak autis dapat mengarahkan ibu dalam
kondisi stres.

Tomanik (dalam Whitman & Ekas, 2010) menemukan bahwa

terdapat tingkat stres yang tinggi pada ibu dari anak autis disebabkan oleh
iritabilitas, tidak bergairah, hiperaktif, ketidakmandirian, penurunan komunikasi
dan ketidak-tertarikan sosial yang dimiliki anaknya. Davis & Carter (2008) juga
menyatakan bahwa penurunan kemampuan sosial dari anak autis merupakan
prediktor stres bagi ibu dari anak autis. Lebih khusus lagi, kesusahan dalam
mengekspresikan verbal, ketidaksesuaian kognitif, menyakiti diri sendiri ketika
kesal merupakan salah satu faktor terberat yang menyebabkan stres dari ibu
(Suraiya & Yulianti, 2011).

Universitas Sumatera Utara