Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia

ANALISIS PENGEMBANGAN KOPI EKSTRAK SEBAGAI
UPAYA DIVERSIFIKASI EKSPOR KOPI INDONESIA

SISKA FIBRILIANI SAHAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengembangan
Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,
Desember 2015
Siska Fibriliani Sahat
NIM H151120271

RINGKASAN
SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak
Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia. Dibimbing oleh
NUNUNG NURYARTONO dan PARULIAN HUTAGAOL.
Berdasarkan industrinya, kopi dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori yaitu kopi biji sebagai komoditas, kopi sangrai dan kopi ekstrak
sebagai kopi olahan. Hingga saat ini, ekspor kopi Indonesia didominasi biji
kopi dan mengarah pada kebergantungan ekspor komoditas dan negara
tujuan ekspor. Kebergantungan ini menyebabkan performa ekspor kopi
Indonesia sangat bergantung pada kondisi eksternal yang fluktuatif.
Dari sudut pandang struktural, diversifikasi ekspor menjadi salah satu
kunci mengatasi masalah yang timbul karena kebergantungan. Berdasarkan
hasil dekomposisi ekspor, diversifikasi negara tujuan ekspor merupakan
bentuk diversifikasi yang prospektif, terutama untuk kopi ekstrak. Tiga
negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak yang prospektif, yaitu

Filipina, Cina dan Lebanon. Hal ini dilihat dari mulainya ekspor kopi
ekstrak Indonesia sejak tahun 2003 ke ketiga negara tersebut dan meningkat
di tahun-tahun setelahnya serta tingginya nilai impor dan tren impor kopi
ekstrak ketiga negara tersebut dari dunia.
Berdasarkan hasil analisis model panel gravity terhadap nilai ekspor
kopi ekstrak Indonesia ke tiga negara tersebut, didapatkan bahwa faktor
yang paling berpengaruh bagi diversifikasi ekspor kopi ekstrak ke negara
tujuan diversifikasi tersebut adalah sisi penawaran. Sehingga dengan
memperbaiki sisi penawaran, maka diversifikasi ekspor kopi dapat
ditingkatkan. Namun, terdapat indikasi bahwa kopi ekstrak Indonesia
merupakan barang inferior di negara tujuan diversifikasi ekspor yang diduga
karena mulai beralihnya konsumen pada keseragaman konsumsi yaitu kopi
yang lebih segar berupa kopi sangrai berjenis arabika.
Dari sisi faktor yang mempengaruhi arus perdagangan, daya saing,
diversifikasi ekspor kopi ekstrak Indonesia masih mengandalkan price
competitiveness melalui pelemahan nilai tukar. Di sisi lain, jarak ekonomis
tidak memiliki hubungan dengan diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor
kopi ekstrak. Dengan demikian, efisiensi perdagangan dapat ditingkatkan
dengan penyelenggaraan kerjasama perdagangan yang menjadi faktor yang
mempengaruhi positif diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor kopi

ekstrak.
Namun demikian, diversifikasi belum bisa dijadikan sumber yang
kokoh bagi pertumbuhan ekspor kopi Indonesia. Dalam rangka peningkatan
kinerja ekspor kopi, kebijakan diversifikasi ekspor tidak dapat berdiri
sendiri, melainkan melalui suatu paket kebijakan yang mendorong kinerja
secara keseluruhan.
Kata kunci : Diversifikasi, Ekspor, Kopi, Kopi Ekstrak

SUMMARY
SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analysis of Export Diversification as a Mean
to Develop Indonesian Coffee Export. Supervised by NUNUNG
NURYARTONO and PARULIAN HUTAGAOL.
Based on the industry, coffee can be divided into three categories,
namely green bean as the commodity, roasted coffee and extract coffee as
processed coffee. Up to this date, Indonesian coffee export is dominated by
green bean form which lead to dependency to both commodity and
destination countries. This condition causes high fluctuations in Indonesian
coffee export performance due to external uncertainty.
From structural perspective, export diversification could become one
of the alternative solutions to overcome the problems caused by

dependency. Based on export decomposition, diversification of export
destination is a promising one, especially for extract coffee. Three
prospective countries are Philippines, China and Lebanon. Indonesian
export of extract coffee to those three started since 2003 and have been
increasing since then. On the other side, their imports from world was also
recorded high.
From the analysis of gravity model of Indonesian extract coffee export
to the three countries, it is concluded that supply side is the most influencing
factor to export diversification of Indonesian extract coffee. The
improvement of supply side might increase the diversification.
Unfortunately, there is an indication that Indonesian extract coffee tend to
be an inferior in the destinations mentioned, as consumer’s preference
change to fresher coffee products, which is roasted coffee made from
Arabica bean.
Price is still the source of competitiveness of Indonesian extract coffee
export, through exchange rate depreciation. On the other hand, economic
distance has no influence to the diversification. Therefore, the efficiency of
export diversification can be elevated by implementing bilateral trade
agreement which positively influence Indonesian export flow.
However, diversification alone cannot yet be the robust source of

coffee export development. The best way to develop Indonesian coffee
export performance is through a simultaneous policy package.
Keywords : diversification, export, coffee, extract coffee

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGEMBANGAN KOPI EKSTRAK SEBAGAI
UPAYA DIVERSIFIKASI EKSPOR KOPI INDONESIA

SISKA FIBRILIANI SAHAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP

Judul Tesis : Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi
Ekspor Kopi Indonesia
Nama
: Siska Fibriliani Sahat
NIM
: H151120271

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Nunung Nuryartono, M Si
Ketua

Prof. Dr.Ir.M. Parulian Hutagaol, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Lukytawati Anggraini, M.Si

Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 2 Oktober 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih adalah diversifikasi ekspor kopi, dengan judul Analisis Pengembangan
Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan
Prof. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan
tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr Muhammad Firdaus, SP,
M.Si dan Dr. Tony Irawan, SE, M.App.Ec atas saran dan masukannya demi
perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan
kepada Dr. Ir. Lukytawati Anggraini, M.Si beserta pengelola Program Magister
pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua
dosen yang telah mengajar penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada

Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada suami tercinta, Dede Wahyu FM dan anakanak tersayang Hanif dan Hanum yang telah memberikan dukungan, dan doa
kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB
Batch 1 yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis
ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Desember 2015

Siska Fibriliani Sahat

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vi


1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Hipotesis Penelitian
3. METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Model Persamaan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekspor Biji Kopi Indonesia
Ekspor Kopi Olahan Indonesia
Dekomposisi Ekspor
Analisis Data Panel dengan Model Gravity

Hasil Estimasi Model Data Panel
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Ekstrak
Indonesia di Negara Tujuan Diversifikasi
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
3
6
7
7
9
9
14
21
23
23
23
25
31
31
35
39
47
47
49
55
55
56
57
61
68

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Impor dunia untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000
(Preparations with a basis of extracts, basis of coffee)
Impor Philippines untuk produk kopi ekstrak di bawah HS
210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee)
Impor China untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000
(preparations with a basis of extracts, basis of coffee)
Impor Lebanon untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000
(preparations with a basis of extracts, basis of coffee)
Ekspor dunia untuk produk kopi ekstrak
Ringkasan output regresi diversifikasi kopi ekstrak menggunakan
estimasi FGLS

37
44
44
45
45
48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Periode 1994-2013
Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk,
1994-2013
Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis
(a) ICO composite indicator price
(b) Group indicator price
Terms of trade kopi Indonesia di negara tujuan ekspor
Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal
Teori pertumbuhan neoklasik
Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi
Kerangka penelitian
Distribusi pendapatan kopi
Struktur umum rantai pemasaran kopi secara global
Geografi konsumsi kopi dunia
Konsumsi kopi dunia
Ekspor kopi sangrai Indonesia, 1994-2013
Tahapan pengolahan dan jenis kopi sangrai
Ekspor ekstrak kopi Indonesia, 1994-2013
Komposisi marjin ekspor produk kopi, 1994-2013
Pertumbuhan ekspor kopi berdasarkan marjin ekspor
Diversifikasi negara tujuan ekspor untuk produk kopi
Pertumbuhan diversifikasi ekspor produk kopi

3
4
5

6
12
13
19
29
31
32
35
36
37
32
38
40
40
41
42

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Korelasi antara pohon industri kopi, HS dan SITC
Kopi dan produk turunannya menurut klasifikasi HS
Konversi HS produk kopi, 1994-2013
Pohon industri kopi
Nilai ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013
Ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013
Diversifikasi ekspor kopi di Indonesia berdasarkan negara tujuan
ekspor
Daftar negara eksportir dan pasar tradisional kopi
Hasil uji regresi panel

61
61
62
63
64
64
65
66
67

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor penting dalam segi
ekonomi dan sosial di Indonesia. Dari segi ekonomi, sektor perkebunan
merupakan salah satu penyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) yang penting.
Sekitar hampir dua persen dari total PDB selama tahun 2012-2014 disumbang dari
tanaman perkebunan. Selain itu, secara historis sejak jaman kolonial, sektor
perkebunan juga menjadi bagian dari perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Sektor perkebunan juga menjadi salah satu penyokong lapangan pekerjaan karena
sifatnya yang labor intensive. Bersama-sama dengan sektor lain, kelompok
lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, merupakan
penyerap terbesar angkatan kerja yaitu sebesar 34 persen dari total angkatan
kerja.1) .
Kopi menjadi salah satu tanaman perkebunan yang penting dan memiliki
nilai ekonomis tinggi paling tidak dalam dua hal. Pertama, dari sisi produksi,
kopi merupakan penyokong perekonomian melalui basis produksi bahan mentah
dan basis penyerapan tenaga kerja. Sepanjang tahun 2012/2014, produksi kopi
Indonesia mencapai 8,4 persen dari total produksi dunia2) atau menempatkan
Indonesia sebagai produsen kopi terbesar keempat secara global, setelah Brazil,
Kolombia dan Vietnam. Luas areal tanaman kopi tahun 2013 adalah terbesar
ketiga setelah sawit dan karet.
Secara historis, kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah sejak
jaman kolonial diusahakan di Indonesia. Kopi pertama kali masuk ke Indonesia
di tahun 1696 melalui kedatangan Belanda ke Jakarta. Saat itu kopi yang masuk
adalah kopi jenis arabika. Semenjak itu, kopi mulai dibudidayakan bukan hanya di
Jakarta dan Jawa Barat saja tapi menyebar ke Sumatera, Bali dan kawasan Timur
Indonesia. Kopi jenis arabika Indonesia mencapai kejayaan hingga pertengahan
abad ke-19. Kopi Indonesia sangat terkenal karena mutunya yang baik, hingga
sebutan ‘kopi jawa/java coffee” merupakan jaminan kualitas yang tinggi. Namun
sejak terkena wabah hama di tahun 1876, kopi arabika digantikan dengan jenis
liberika, yang juga kurang tahan hama dan rasanya yang kurang disukai karena
terlalu asam. Upaya selanjutnya adalah mendatangkan jenis robusta di tahun 1900
dan terus berkembang di Indonesia hingga saat ini karena syarat pemeliharaan dan
perawatan yang lebih ringan. Semenjak pemerintah Hindia Belanda meninggalkan
Indonesia, perkebunan rakyat terus berkembang di Indonesia, sedangkan
perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian
Sumatera, dan perkebunan milik negara (PTPN) hanya tersisa di Jawa Timur dan
Jawa Tengah.3)
1) Badan Pusat Statistik (BPS), Data Statistik Tabel Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja
menurut
Lapangan
Pekerjaan
Utama
2004-2014
diakses
dari
http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970, pada Juni 2015
2) International Coffee Organization (ICO), Historical Data Total Production diakses dari
http://www.ico.org/historical/1990%20onwards/PDF/1a-total-production.pdf, pada Agustus
2015

2

Dengan demikian, areal perkebunan kopi didominasi perkebunan rakyat,
begitu juga dengan produksinya. Pada tahun 2010, areal perkebunan kopi rakyat
diperkirakan mencapai 96,07 persen dari total area penanaman kopi di Indonesia
sedangkan produksi dari perkebunan rakyat mencapai 95,78 persen dari total
produksi kopi, sedangkan produksi perkebunan negara dan swasta masing-masing
hanya 2,05 persen dan 2,18 persen. Proporsi yang relatif sama juga diperkirakan
terjadi di tahun 2011-2014. Hal ini menyebabkan perkebunan rakyat memainkan
peranan vital dalam produksi kopi nasional. Di samping itu, karena area
penanaman kopi tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang bukan termasuk
wilayah perkotaan, sektor kopi berperan penting bagi pembangunan pedesaan.
Sebagai contoh adalah Flores yang merupakan salah satu wilayah termiskin di
Indonesia. Kurang lebih sebanyak 30.000 petani menggantungkan hidup dari
produk kopi sebagai penghasilan utama.4)
Menyadari pentingnya tanaman ini, maka berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan
dan Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/ 10/2009
ditentukanlah kopi bersama 13 komoditas lainnya sebagai komoditas strategis
unggulan nasional agar diprioritaskan untuk difasilitasi dan dikembangkan.
Kedua, kopi juga memiliki peran di sisi perdagangan. Kopi merupakan
hasil pertanian yang diperdagangkan secara luas dan menjadi komoditas yang
paling penting setelah minyak bumi. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu
pemasok kopi penting di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Proporsi
produk kopi yang diekspor mencapai 67 persen dari total produksi dan sisanya
untuk konsumsi domestik5). Ekspor kopi ditunjang oleh suplai yang besar. Di sisi
lain, terdapat peluang dari tren impor kopi dunia yang berkembang dari US$ 9,52
trilyun di tahun 2001 menjadi US$ 36 trilyun di tahun 2013 6).
Menyadari akan potensi ekspor kopi, Kementerian Perdagangan
mengkategorikan kopi sebagai salah satu dari sepuluh produk prospektif ekspor
bersama dengan alas kaki; perhiasan; produk plastik; udang; ikan dan produk
ikan;kakao dan olahannya; kerajinan; rempah-rempah; serta kulit dan produk
kulit. Pemilihan sepuluh produk prospektif didasarkan pada nilai pertumbuhan
ekspor yang tinggi dengan tren perdagangan positif selama lima tahun terakhir
dan pangsa ekspor yang terus meningkat. Produk prospektif terus didorong
ekspornya agar terus menyokong performa ekspor Indonesia secara keseluruhan.
3) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Sejarah, diakses dari http://www.aekiaice.org/page/sejarah/id, pada Januari 2015
4) Ottaway, A Rapid Assesment of the Specialty Coffee Value Chain in Indonesia. USAID
diakses dari http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadl910.pdf, pada Januari 2015
5) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Industri Kopi diakses dari http://www.aekiaice.org/page/industri-kopi/id, pada Januari 2015
6) Trademap, Impor Dunia untuk Produk dari Kelompok HS Heading 0901 dan HS 2101
http://www.trademap.org/ diakses pada Maret 2015

3

Permasalahan
Dilihat dari kinerja secara keseluruhan, ekspor kopi Indonesia berfluktuasi
baik sisi nilai dan volume (Gambar 1). Pertumbuhan kumulatif ekspor kopi
selama 20 tahun (tahun 1994-2013) mencapai 111 persen, atau sebesar US$ 1,47
milyar di tahun 2013 (0,98 persen dari total ekspor non-migas Indonesia). Secara
nilai, ekspor kopi meningkat rata-rata 5,61 persen per tahun selama periode 19942013, namun dalam perkembangannya beberapa kali mengalami perubahan tren.

Nilai (000US$)-aksis kanan

Volume (Ton)

Sumber : BPS, 2014 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan ekspor kopi Indonesia periode 1994-2013
Tren pertama terjadi selama periode 1994-1998 saat nilai ekspor kopi
berkisar antara US$ 753,63 juta – US$ 529,67 juta dengan kecenderungan
penurunan 5,37 persen per tahun. Setelah itu, ekspor kopi Indonesia kembali
turun ke nilai terendah di tahun 1999-2004. Ini merupakan periode dimana nilai
ekspor kopi Indonesia mencapai nilai terendahnya sepanjang periode pengamatan.
Dengan titik terendah di tahun 2001, sebesar US$ 203,54 juta, tahun 2002 nilai
ekspor mulai naik pelan mencapai US$ 309,11 juta di tahun 2004. Pasca tahun
2004, nilai ekspor kembali naik, hingga pada tahun 2008, ekspor kopi menembus
angka US$ 1,08 milyar. Tren selanjutnya adalah penurunan kembali di tahun
2009-2010, dan kenaikan pada tahun 2010-2013, hingga nilai ekspor kembali di
atas US$ 1 milyar.
Pertumbuhan ekspor dari sisi nilai lebih tinggi dari pertumbuhan dari sisi
volume yang tumbuh dengan rata-rata 3,57 persen per tahun selama periode 19942013. Volume ekspor berfluktuasi tiap satu hingga tiga tahun. Titik-titik terendah
volume ekspor kopi antara lain di tahun 1995, 1997, 2001, 2007, dan 2011.
Volume terendah tersebut juga direspon dengan nilai ekspor yang rendah,
terkecuali tahun 2011, saat volume rendah, nilai ekspor justru menanjak naik.
Fluktasi yang tinggi pada nilai ekspor kopi selain disebabkan oleh hal
teknis dan volume ekspor, juga disebabkan karena tingginya proporsi biji kopi
(komoditas) dalam struktur ekspor kopi Indonesia (Jika dilihat dari jenis
industrinya, kopi dibagi menjadi tiga kelompok produk, yaitu kopi biji, kopi
sangrai dan kopi ekstrak. Pembagian ini berdasarkan pencatatan ekspor dalam
Harmonized System yang disesuaikan dengan pohon industri kopi dan Standard

4

International Trade Classification. Konversi produk dalam pohon industri kopi,
HS dan SITC dapat dilihat pada Lampiran 1). Selama periode 1994-2013,
konsentrasi yang tinggi terhadap ekspor komoditas mencapai 79-99 persen dari
total nilai ekspor kopi (Gambar 2). Konsentrasi bahkan lebih tinggi lagi di sisi
volume, mencapai 81-99 persen dari total ekspor kopi. Walaupun mengalami
penurunan pangsa, terutama sejak tahun 2010, namun ekspor kopi mengarah
kepada kebergantungan ekspor komoditas.

Sumber : BPS, 2014 (diolah)
Gambar 2
Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk,
periode 1994-2013
Ada beberapa resiko yang cenderung tidak menguntungkan bagi sektor
kopi Indonesia bila terlalu bergantung pada komoditas. Salah satunya adalah dari
segi harga. Komoditas kopi harganya ditentukan secara internasional dan sangat
berfluktuasi. Secara historis, perkembangan produk kopi di dunia dibedakan
dalam dua periode. Periode pertama yaitu dari tahun 1963-1989 dimana suplai
kopi diatur oleh suatu badan ICO (International Coffee Organization) melalui
berbagai perjanjian internasional kopi (International Coffee Agreements) yang
mewakili seluruh negara produsen, termasuk Indonesia, dan sebagian besar negara
konsumen dengan tujuan mengatur suplai dan menjaga kestabilan harga. Bentuk
intervensi tersebut antara lain adalah kuota yang ditetapkan di tiga periode, yaitu
1963-1972, 1980-1986 dan 1987-1989. Periode kedua yaitu Pada akhir tahun
1989, saat kopi merupakan komoditas pertama yang diliberalisasi (sistem kuota
tidak lagi diberlakukan). Implikasinya harga untuk komoditas kopi dibentuk
melalui mekanisme pasar.
Dengan demikian, fluktuasi harga semakin tinggi dan semakin sering
terjadi (Gambar 3). Keterpurukan harga (coffee crisis) pertama terjadi segera
setelah mekanisme pasar diberlakukan, yaitu selama periode 1989-1993. Istilah
coffee crisis mengacu pada anjloknya harga komoditas kopi di pasar internasional
semenjak terjadinya liberalisasi pasar dan kemudian berdampak secara luas pada
kehidupan sosial ekonomi petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar.
Melihat hal ini, di tahun 1993, negara produsen kopi berupaya untuk membentuk
kartel bernama Association of Coffee Producing Countries (ACPC) untuk
menjaga kestabilan harga. Indonesia turut bergabung ke dalamnya membuat

5

asosiasi ini menguasai 85 persen produksi biji kopi global. Namun sayangnya
upaya ini tidak berhasil karena tidak semua negara, terutama di Amerika Latin
bergabung, sehingga menciptakan ketidakefisienan kebijakan yang ditetapkan
organisasi ini. Tren penurunan nilai ekspor kopi Indonesia pada periode 19941998 merupakan dampak dari ketidakstabilan akibat diberlakukannya mekanisme
pasar tersebut.
(a) ICO composite indicator price

(b) Group indicator price

Sumber : ICO, 2015
Gambar 3 Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis

6

Pada tahun 1999-2004, harga kopi mencapai level terendahnya semenjak
periode mekanisme pasar (coffee crisis kedua) setelah sebelumnya bangkit dari
coffee crisis pertama di tahun 1989-1993. Pada periode itu pula, ekspor kopi
Indonesia turun di level terendahnya sepanjang periode pengamatan. Statistik
harga internasional kopi mulai menunjukkan adanya kenaikan setelah tahun 2004,
hingga mencapai puncaknya di tahun 2011 yang diperkirakan karena kondisi
tingginya curah hujan membuat banyak bunga kopi mengalami kerontokan hingga
panen kopi di negara produsen pun berkurang. Baik kenaikan maupun penurunan
harga internasional tersebut terefleksi pada kinerja ekspor bji kopi Indonesia.
Dengan demikian, kinerja ekspor kopi Indonesia banyak dijelaskan oleh faktor
eksternal.
Dari sisi harga relatif, terms of trade (TOT) kopi sebagai komoditas terus
menurun terhadap harga produk kopi olahan dan dengan demikian merugikan bagi
pendapatan ekspor negara penghasil. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa terms of
trade produk biji kopi Indonesia (yang diperoleh dari harga yang dibayarkan
kepada petani) dengan produk olahan di beberapa negara tujuan terbesar yaitu
Amerika, Jerman dan Inggris (yang ditunjukkan dari harga di tingkat retail)
memang menunjukkan penurunan. Secara prakteknya, hal ini dibuktikan melalui
coffee crisis. Saat melorotnya harga komoditas mempengaruhi petani dan negara
produsen, kontrasnya, coffee crisis tidak dirasakan di sisi konsumen, dimana
negara konsumen industri kopi terus berkembang dan keuntungan yang terus
meningkat diperoleh pengolah di negara konsumen. Harga dan TOT seharusnya
merupakan sinyal bagi peningkatan ekspor produk olahan. Namun demikian,
dalam 20 tahun perkembangannya (tahun 1994-2013), ekspor kopi Indonesia
mengarah pada kebergantungan terhadap komoditas. Dalam jangka panjang,
resiko yang tinggi di on-farm, bergejolaknya harga dan TOT yang terus menurun
akan menyebabkan insentif bagi suplai komoditas kopi semakin menurun. Ini
akan mengancam produksi yang berkelanjutan (sustainable production) dan
selanjutnya ke sisi perdagangan dan ekspor, sehingga hal ini mempengaruhi
kinerja ekspor kopi Indonesia secara keseluruhan.

Keterangan: Harga yang dibayarkan pada petani tersedia hanya hingga tahun 2006
Sumber : ICO, 2015 (diolah)
Gambar 4 Terms of trade kopi Indonesia di negara tujuan ekspor

7

Berdasarkan sudut pandang normatif, diversifikasi merupakan solusi
mengatasi kebergantungan ekspor, peningkatan ekspor dan kemajuan ekonomi.
Berbagai penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan
diversifikasi ekspor yaitu mengurangi resiko ekspor, seingga dapat mengatasi
volatilitas dan menghasilkan stabilitas pemasukan ekspor yang lebih baik.
Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengapa
terjadi kebergantungan ekspor komoditas kopi atau mengapa diversifikasi ekspor
kopi di Indonesia kurang berhasil? Apakah ada potensi pengembangan ekspor
kopi melalui diversifikasi ekspor kopi Indonesia? bagaimana bentuk diversifikasi
ekspor di bidang kopi di Indonesia? dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya? Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menentukan saran
kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja ekspor kopi
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa
bentuk diversifikasi ekspor kopi di Indonesia dan faktor-faktor yang
mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi di Indonesia sebagai dasar menentukan
rekomendasi bagi peningkatan kinerja ekspor kopi Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan masukan bagi Pemerintah dalam menyusun strategi
peningkatan ekspor produk kopi
2. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya
3. Memberikan informasi bagi pelaku usaha, terutama di bidang kopi
Ruang Lingkup Penelitian
Sejak tahun 1994, untuk pencatatan ekspor dan impor, Indonesia
menggunakan sistem klasifikasi HS yang ditetapkan oleh WCO (World Custom
Organization). Hal ini mengacu pada Keputusan Presiden Keppres No. 35 tahun
1993 yang kemudian ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan No.
81/KMK.05/1994 tanggal 16 Maret 1994. Sehubungan dengan hal tersebut,
rentang waktu penelitian menggunakan data dari tahun 1994-2013.
Kopi sebagai produk ekspor didefinisikan melalui sistem HS (Harmonised
System). Namun untuk menyesuaikan dengan industri, digunakan definisi lain
yang mempermudah analisis, yaitu pohon industri kopi dan sistem SITC
(Standard International Trade Classification) rev.4. Adapun produk sampingan
dari kopi tercatat dalam sistem HS antara lain asam asetat (dalam kategori HS
2915), enzim pektat dan pektin (HS 1302), etanol (HS 2905), cuka makan (HS
2209), dan protein sel tunggal (HS 3504), namun tidak dapat ditelusuri nilai
ekspornya karena berbaur dengan produk sampingan komoditi lainnya. Dengan
demikian, maka produk sampingan tersebut tidak disertakan dalam pembahasan.

8

Halaman sengaja dikosongkan

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Kebergantungan Ekspor
Kebergantungan didefinisikan sebagai kondisi historis yang
membentuk dunia menjadi struktur tertentu yang menguntungkan
negara tertentu dan merusak negara lainnya serta membatasi
kemungkinannya untuk berkembang dari kondisi pinggiran, sebuah
situasi dimana ekonomi sekelompok negara tertentu ditentukan dan
oleh pengembangan ekonomi negara lain yang menjadi subjek. Dalam
hal ini, teori kebergantungan ekspor menggunakan pendekatan
normatif.
Masalah kebergantungan ekonomi dibahas dalam berbagai paradigma
yang berbeda. Salah satunya adalah teori kebergantungan (dependency theory)
dalam ranah neo-marxis. Ekonom pendukung teori ini antara lain adalah Andre
Gunder Frank, Paul Baran dan Samir Amin. Teori ini secara eksplisit membagi
dunia sebagai sistem internasional menjadi dua bagian yang berbeda yaitu negaranegara maju (dominant/center/metropolitan) dan negara berkembang/pinggiran
(dependent/periphery/satellite).
Teori ini menjelaskan bahwa kebergantungan permanen yang terjadi di
negara berkembang terhadap negara maju adalah karena kepentingan negaranegara metropolis tersebut sebagai pusat kapitalis dunia.
Pertama kali
dikembangkan di tahun 1960-an di Amerika Latin teori ini berdasarkan kondisi
kemunduran Amerika Latin pasca tergabung dalam sistem ekonomi kapitalis.
Negara maju mempertahankan hegemoninya dengan menjadikan negara
berkembang sebagai negara pinggiran. Negara pinggiran ini dimanfaatkan
sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri mereka dan secara
bersamaan menjadikan negara tersebut sebagai konsumen barang jadi hasil
industri mereka. Dengan demikian terjadi struktur kebergantungan yang membuat
negara pinggiran tidak bisa mandiri dan perkembangan ekonominya stagnan.
Namun demikian, teori kebergantungan berbeda dengan teori imperialisme
yang diusung Karl-Marx. Inti dari teori kebergantungan adalah dampak dari
imperialisme, bukan membahas imperialisme (perluasan kekuasaan negara maju)
itu sendiri. Beberapa argumen dari teori kebergantungan antara lain : (1)
Underdevelopment. Underdevelopment adalah kondisi dimana sumber daya
dimanfaatkan untuk kepentingan negara maju, bukan negara berkembang sebagai
pemilik sumber daya tersebut; (2) Kondisi underdevelopment terjadi karena
negara berkembang bergabung dengan sistem ekonomi negara maju, yang
berfungsi sebagai produsen bahan baku dan sumber tenaga kerja murah. Segala
bentuk usaha yang dapat mengancam kepentingan negara maju akan ditiadakan;
(3) Penggunaan sumber daya di negara berkembang lebih mengikuti pola yang
dibebankan negara maju, terutama untuk ekspor produk pertanian; (4) Negara
memiliki kepentingan nasional dan kepentingan nasional harusnya pro rakyat

10

miskin dibanding membela kepentingan korporat; (5) Adanya kepentingan
pribadi para elit di negara berkembang yang menjadi kaki tangan dalam
melancarkan kepentingan negara maju walau harus mengorbankan rakyatnya
sendiri (kompradorisasi). Para elit tersebut juga kadang berbagi pemikiran yang
sama dengan negara maju melalui pelatihan dan pendidikan yang diberikan negara
maju sehingga menjadi agen kapitalis.
Dalam hal ini, kondisi kebergantungan juga diyakini bersifat dinamis,
sehingga memperluas sifat kapitalisme negara maju terhadap negara berkembang
dari waktu ke waktu. Namun demikian, teori kebergantungan memiliki spektrum
yang luas dan ada sebagian pendukung teori ini yang tidak mengidentifikasikan
kapitalisme sebagai motor penggerak hubungan kebergantungan ini. Salah satu
pemikirnya antara lain Raul Presbisch dan Hans Singer (Prebisch and Singer) di
tahun 1950an.
Awalnya, Prebish dan Singer menguji data dalam rentang periode yang
lama, sehingga dihasilkan kesimpulan yang berkaitan dengan terms of trade.
Elastisitas pendapatan terhadap permintaan untuk produk manufaktur lebih besar
daripada produk primer, terutama produk pangan. Dengan demikian, saat
pendapatan meningkat, permintaan akan produk manufaktur meningkat pesat
daripada permintaan untuk produk pangan. Hipotesis Prebish dan Singer ini
mengemukakan bahwa karena terms of trade produk primer yang menurun,
negara berkembang harus melakukan diversifikasi ekspor dengan mengurangi
kebergantungan terhadap ekspor produk primer.
Dari penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa karena
ketidakstabilan ekspor menyebabkan biaya yang substansial, dimana termasuk di
dalamnya ketidakstabilan permintaan dan investasi yang lebih beresiko,
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan peralihan dari
ketergantungan terhadap sekelompok produk ekspor tertentu kepada diversifikasi
yang cakupannya lebih luas. Cara yang dapat dilakukan untuk mendukung
industri agar mau berinvestasi adalah dengan melakukan proteksi. Usulan yang
dihasilkan dari hipotesis Prebisch dan Singer ini kemudian menjadi dasar
dilakukannya strategi substitusi impor dan proteksi di negara berkembang.
Salah satu poin penting dari teori ini adalah negara pinggiran dapat
berkembang dan mampu mengembangkan industrinya secara mandiri bila
memiliki sedikit keterkaitan dengan negara kapitalis. Hal ini karena munculnya
kawasan yang terbelakang adalah karena kawasan tersebut merupakan penghasil
ekspor barang mentah primer yang tidak memperoleh keuntungan yang
seharusnya melalui perdagangan internasional. Hubungan ini menjadi sangat
timpang, karena negara kapitalis maju justru semakin meningkatkan industri,
teknologi dan akumulasi modalnya. Dengan demikian, ada pihak yang menang
dan kalah dalam perdagangan internasional. Teori kebergantungan ini, walaupun
menjelaskan ekonomi secara keseluruhan, juga melibatkan sisi ekspor. Dengan
demikian, kebergantungan ekspor pada negara maju dapat menyebabkan
kebergantungan pada ekspor bahan mentah/komoditas.
Dalam ranah ekonomi liberal, kebergantungan tidak dipertimbangkan
dalam asumsi neo-klasik. Asumsi neo-klasik menyebutkan bahwa pertumbuhan
ekonomi akan menguntungkan bagi seluruh pihak walaupun pembagian
keuntungan di antara tiap pihak tidak selalu setara (Pareto Optimum). Namun
demikian, ada satu konsep dasar yang menjadi landasan bagi teori ini, yaitu

11

konsentrasi/spesialisasi dalam produksi dan perdagangan. Konsentrasi menjadi
antithesis dari diversifikasi sebagai salah satu solusi mengatasi kebergantungan
negara berkembang terhadap negara maju yang diusung teori kebergantungan.
Awalnya, konsentrasi merupakan konsep yang diusung melalui
keunggulan komparatif Adam Smith dan dikembangkan oleh David Ricardo.
Model Ricardian mengemukakan bahwa suatu negara akan memperoleh
keuntungan dari perdagangan internasional bila melakukan spesialisasi
berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Ini kemudian
dikembangkan melalui model Heckscher-Ohlin yang menunjukkan bahwa
perdagangan akan menguntungkan bila suatu negara melakukan spesialisasi
kearah produksi barang ekspor yang menggunakan faktor produksi yang banyak
dan murah. Ini merupakan teori-teori awal tentang perdagangan internasional atau
sering disebut sebagai teori klasik.
Dalam perkembangannya, teori klasik diperbarui melalui new trade theory
yang dipelopori Krugman di tahun 1980-an. Teori ini tetap mendukung
spesialisasi dengan menyatakan bahwa bila suatu negara melakukan spesialisasi,
volume ekspor akan meningkat dan akan mengalami skala ekonomi yang
meningkat. Namun dengan dimensi geografis, skala ekonomis dalam teori ini
menjelaskan tentang mengapa suatu negara tetap memperdagangkan suatu barang
yang sama, baik ekspor maupun impor. Selain, dari skala ekonomi, diferensiasi
produk menjadi salah satu argumen suatu produk yang sama bisa diekspor
sekaligus diimpor oleh beberapa negara yang kemudian dijelaskan dalam intra
industry trade. Diferensiasi tersebut tidak pernah menjadi pembahasan dalam
teori sebelumnya karena asumsi homogenitasnya.
Model Gravitasi (Gravity Model) dalam Teori Perdagangan
Teori klasik perdagangan internasional tidak memiliki penjelasan terhadap
zero-trade flows. Selain itu mengasumsikan bahwa tiap perusahaan memiliki
tingkat produktivitas yang sama, hingga mengabaikan heterogenitas perusahaanperusahaan di dalam suatu ekonomi. Asumsi lainnya mengenai arus simetris juga
tidak cocok untuk menjelaskan arus bilateral antara dua negara. Pada
kenyataannya, tiap perusahaan memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.
Dengan tidak mengabaikan kondisi ini, Melitz (2003) membangun suatu
kerangka teori baru melalui model dimana hanya melibatkan perusahaan yang
melakukan ekspor dengan tingkat produktivitasnya yang tinggi. Ide yang
mengawali pembentukan model ini adalah hanya perusahaan dengan produktivitas
yang tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan tinggi hingga bisa menutupi
biaya tetap yang besar jumlahnya untuk aktivitas ekspor. Teori ini disebut sebagai
“the new new trade theory” atau teori terkini perdagangan internasional.
Dalam penyusunan modelnya, Melitz menjelaskan bahwa, seiring dengan
semakin terbukanya perdagangan, maka proteksi akan berkurang, sehingga akan
mendorong perusahaan yang kurang produktif untuk keluar dari pasar. Dengan
demikian, perusahaan dengan produktivitas yang tinggi yang akan bertahan.
Sampai tahap ini, dapat dikatakan tiap perusahaan yang bertahan memiliki
kesamaan (homogeneity) yaitu melewati ambang batas produktivitas tertentu.

12

Dalam kerangka nasional, hal ini akan meningkatkan produktivitas rata-rata di
negara tersebut sehingga daya saing pun meningkat. (Gambar 5)

Export per Firm
Density Function
Total Ekspor

Marginal Cost (a)

ax
Exported Varieties

a0
Local Varieties

No Production

Keterangan : Visualisasi dari the new-new trade model
Sumber
: Amurgo Pacheco dan Pierola (2008)
Gambar 5. Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal
Menurut Melitz, perusahaan yang lebih produktif dan efisien memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk mengekspor daripada perusahaan kecil.
Selanjutnya, semakin jauh letaknya dari pasar, tingkat harga juga akan semakin
tinggi karena biaya perdagangan yang dibebankan. Dengan demikian, model
yang dapat disusun secara matematis adalah sebagai berikut :
od

…………………(1)

=

Volume perdagangan bilateral tersebut menyerupai model gravity, dengan
Bd merupakan

dimana Ed dapat diwakili oleh PDB negara importir dan

no sebagai faktor endowment dari negara eksportir diwakili oleh PDB Negara
pengekspor.
sebagai biaya bilateral.
Gravity model menampilkan analisis empiris dari pola aliran perdagangan
bilateral antara negara-negara yang berada pada daerah-daerah yang berbeda
secara geografis. Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis
perdagangan internasional oleh Jan Tinberger pada tahun 1962 untuk
menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa. Nama model ini
diambil dari bentuk dasarnya yang mampu memprediksi perdagangan berdasarkan
pada jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian antar
negara. Hal ini mengikuti prinsip dari hukum gravitasi Newton yang juga
memperhitungkan jarak dan ukuran fisik antara dua obyek. Pada gravity model
aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel, yaitu :
1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara
pengimpor.
2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara
pengekspor.

13

3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan
antar negara pengimpor dan negara pengekspor.
Pada umumnya gravity model dirumuskan sebagai berikut:
Tij = f (Yi, Yj, Fij) ………………………………………………………...…… (2)
dengan :
Tij = Nilai aliran perdagangan dari negara i ke negara j,
Yi = Gross Domestic Product negara i,
Yj = Gross Domestic Product negara j,
Fij = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perdagangan antara negara i dengan
negara j.
Gravity model perdagangan antar dua negara berbanding lurus dengan
massa perdagangan mitra dagang dan berbanding terbalik dengan jarak antara
mitra dagang. Variabel tambahan seperti area fisik, populasi, keselarasan kultural,
dan perbatasan bersama digunakan untuk memperjelas variabel massa ekonomi
dan jarak sebagai multilateral resistance.
Teori Marjin Ekspor dalam Teori Pertumbuhan
Berdasarkan teori pertumbuhan (growth theory), pertumbuhan output
dapat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu teknologi, kapital/investasi dan tenaga kerja
(Model Solow/Neoklasik). Dalam jangka panjang, peningkatan teknologi yang
melibatkan peningkatan kapital, dapat meningkatkan output. Dengan demikian,
output akan meningkat pada level yang lebih tinggi (Gambar 6).

Sumber : Grossman dan Helpman, 1993
Gambar 6. Teori pertumbuhan neoklasik
Teori pertumbuhan ini memiliki hubungan dengan ekspor. Peningkatan
permintaan ekspor, akan mendorong output untuk meningkat. Namun demikian,
pertumbuhan ekspor tidak hanya didorong dari permintaan akan produk yang
sama saja, tapi juga dari pertumbuhan jenis produk yang diekspor. Saat peluang
ekspor tersebut mendorong perusahaan untuk meningkatkan teknologi dan
investasi dalam memenuhi permintaan ekspor akan produk baru, maka
sebagaimana juga diungkapkan dalam Model Melitz, biaya marjinal menurun dan
produktivitas meningkat. Jika banyak perusahaan dalam industri merespon maka

14

secara agregat produktivitas meningkat, yang mana sesuai dengan teori
pertumbuhan bahwa teknologi dan kapital dapat meningkatkan output. Dengan
demikian, pada jangka panjang, produk ekspor baru menjadi solusi bagi
pertumbuhan ekspor.
Peran produk baru terhadap ekspor dijelaskan dalam marjin ekspor yang
dalam prosesnya dilakukan melalui dekomposisi ekspor. Hal ini ditujukan untuk
menganalisis struktur ekspor baik produk maupun negara tujuan ke dalam marjin
ekspor yang membagi pertumbuhan ekspor menjadi tiga kategori yaitu : (1) marjin
intensif, pertumbuhan nilai dari produk lama yang menggambarkan konsentrasi;
(2) marjin ekstensif atau pertumbuhan ekspor yang berasal dari produk baru yang
mencerminkan diversifikasi; (3) marjin yang hilang, baik dari produk yang tidak
bertahan sebagai produk ekspor. Dengan : ΔX = pertumbuhan ekspor; k =
produk yang diekspor; K0 dan K1 = produk yang diekspor pada tahun 0 dan tahun
1. Dekomposisi marjin ekspor secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :
……………………………………...(3)
Tinjauan Empiris
Produksi dan perdagangan kopi
Pembahasan mengenai ketergantungan antara lain dibahas dalam struktur
pendapatan dari perdagangan kopi yang merupakan bagian dalam penelitian
dalam ranah pembangunan baik ekonomi pembangunan, kelembagaan dan
ekonomi politik. Salah satu pemicu pembahasan mengenai struktur pasar kopi
adalah coffee crisis. Istilah ini mengacu pada anjloknya harga kopi sebagai
komoditas di pasaran internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar untuk
produk kopi dan kemudian anjloknya harga ini berdampak pada petani kopi,
sebagai penanggung resiko terbesar. Petani kopi di negara berkembang umumnya
tidak memiliki pendapatan lain di luar usaha tani kopinya, dengan anjloknya kopi,
maka petani menjadi bertambah miskin dan pembangunan daerah menjadi gagal,
terutama saat komposisi ekonomi suatu negara sangat bergantung pada satu
komoditi tunggal, yaitu kopi.
Salah satu penelitian di bidang ekonomi kelembagaan adalah Ponte
(2002). Metode yang digunakan adalah analisis GCC (global commodity chain).
GCC memiliki spektrum penelitian mencakup kontrol, koordinasi dan peran
masing-masing agen dalam rantai pemasaran dari produk primer dihasilkan
hingga konsumen akhir. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terjadinya
coffee crisis yang merugikan petani dan produsen dari negara berkembang, selain
disebabkan sisi produksi, juga ditengarai karena adanya perubahan struktur
kelembagaan. Perubahan struktur tersebut terutama karena beralihnya komoditi
kopi menuju sistem liberalisasi pasar. Dengan liberalisasi pasar ini, negara
produsen yang semula masih memiliki kekuatan, semakin terdesak oleh kekuatan
negara konsumen.
Tumbuhnya perusahaan raksasa bergerak di bidang
pengolahan kopi (roaster) yang mendominasi perdagangan kopi dunia,
menghasilkan kepentingan korporasi, yaitu keuntungan jangka pendek, dan
menyebabkan ketidakstabilan harga yang tinggi di pasar kopi.

15

Salah satu penelitian kritis lainnya mengenai coffee crisis adalah penelitian
dari Oxfam International. Penelitian-penelitian dari Oxfam membahas tentang
kemiskinan, bahayanya dan upaya mengatasinya termasuk di sektor kopi. Salah
satunya adalah Gresser dan Tickell (2002) menyatakan bahwa coffee crisis,
beranjak dari anjloknya harga komoditas kopi di pasaran internasional membawa
masalah yang lebih serius, yaitu kemiskinan dan masalah fundamental lainnya
yang menyeret negara produsen kepada masalah pembangunan manusia. Namun
demikian, hal ini tidak tercermin dalam konsumsi kopi di tingkat konsumen akhir.
Dengan kata lain, ada rantai yang hilang, dimana saat terjadi kemiskinan di pihak
petani namun di sisi lain, perusahaan besar (roaster) justru memperoleh margin
yang terus meningkat. Dengan demikian, ada perubahan struktur pendapatan dari
komoditas kopi yang dihasilkan petani hingga nilai tambah yang dihasilkan
industri yang semakin menekan petani.
Saran yang diutarakan adalah dengan menyelenggarakan a coffee rescue
plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, antara lain mengenai harga
yang sepatutnya diterima petani dan harus diatas harga produksi (diselenggarakan
melalui Fair Trade), peningkatan kualitas kopi dan perdangangan hanya kopi
dengan standar kualitas tertentu (yang baik) dan kualitas tersebut harus
terinformasikan dengan baik pada produk akhir. Saran ini juga bersesuaian
dengan yang diungkapkan oleh Ponte (2002) yang mengungkapkan bahwa negara
produsen perlu meningkatkan kualitas produksinya dengan berbagai upaya untuk
menyelenggarakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen sehingga
kualitas dapat terinformasikan dengan baik dan produsen dibayarkan sebagaimana
mestinya. Saran ini juga bersesuaian dengan resolusi ICO, agar kopi yang
diperdagangkan secara internasional harus memiliki standar kualitas tertentu,
sehingga kopi dengan kualitas buruk akan tereleminasi dari perdagangan
internasional dan harga akan meningkat.
Daniels dan Petchers (2005) menekankan kepentingan petani kopi skala
kecil. Setidaknya ada enam hal yang diidentifikasi sebagai hal yang paling
dibutuhkan oleh petani skala kecil, yaitu : stabilitas harga, akses kepada sumber
dana, akses pasar, pendampingan/bantuan teknis dalam peningkatan kualitas dan
diversifikasi, penguatan organisasi dan partisipasi dalam debat internasional.
Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut di atas menyetujui akan satu hal,
yaitu bagaimana menyusun suatu strategi yang pro-poor yang dianggap menjadi
strategi yang berkelanjutan (sustainable). Salah satu cara yang disepakati adalah
dengan meningkatkan kualitas dan standar. Salah satu cara lainnya yang
disebutkan adalah diversifikasi.
Penelitian tentang kopi di Indonesia antara lain dilakukan oleh Hutabarat
(2010), Anggraini (2006), dan Raharjo (2013). Studi Hutabarat (2010)
menggunakan teknik wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan
di bidang kopi (petani kopi, pedagang, pengusaha) dan mengumpulkan data
sekunder dari berbagai sumber. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak terutama
pajak pertambahan nilai, kebijakan pemasaran dan coffee crisis yang terjadi secara
internasional telah menghambat pertumbuhan industri kopi nasional (berdasarkan
pengolahan menggunakan OLS terhadap faktor-faktor dimaksud).

16

Volume ekspor didominasi kopi biji dan hanya menyisakan sedikit untuk
kopi olahan, sementara perusahaan kopi internasional mendominasi pasar kopi
olahan. Dampaknya adalah kopi Indonesia tidak mampu bersaing dan industri
nasional tidak mampu mengembangkan produknya untuk pasar internasional.
Saran yang disampaikan adalah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk
mengurangi area penanaman kopi yang tidak produktif dan menggunakannya
untuk tanaman lainnya serta meningkatkan kualitas produk kopi yang ditanam
saat ini, yaitu kopi spesialti dan kopi organik di lahan yang sudah ada.
Anggraini (2006) dan Raharjo (2013) meneliti faktor yang menentukan
ekspor kopi Indonesia. Anggraini (2006) menyatakan bahwa Amerika Serikat
merupakan sasaran ekspor yang menarik karena merupakan negara konsumen
kopi terbesar dunia. Saat krisis moneter terjadi di Indonesia, pada periode 19961998, impor kopi Amerika Serikat dari Indonesia justru meningkat tertinggi
dibanding empat negara terbesar pengimpor kopi, walaupun menurun di dua tahun
berikutnya. Variabel dependen yang diteliti adalah pendapatan per kapita Amerika
Serikat (tidak signifikan), harga kopi dunia (berpengaruh signifikan), harga teh
dunia (berpengaruh signifikan), konsumsi kopi Amerika Serikat tahun
sebelumnya (berpengaruh signifikan), nilai tukar Dolar terhadap Rupiah (tidak
signifikan), jumlah penduduk Amerika Serikat (berpengaruh signifikan) terhadap
terhadap permintaan ekspor kopi Amerika Serikat dari Indonesia sebagai variabel
independen. Argumentasi yang diberikan karena tidak signifikannya peningkatan
pendapatan per kapita AS terhadap permintaan ekspor produk kopi Indonesia
diduga karena faktor food safety dari produk Indonesia yang masih berstatus “not
guaranteed to pass the FDA”. Dengan demikian, saran yang diberikan antara lain
dengan memenuhi persyaratan terkait kualitas, memperkuat hubungan bilateral,
kemudahan regulasi, promosi, serta diversifikasi baik produk maupun negara
tujuan lain agar tidak mengalami kebergantungan.
Raharjo (2013) memberikan hasil estimasi variabel dependen pada
pengolahan data panel terhadap ekspor kopi Indonesia ke delapan negara yaitu :
Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, Malaysia, Singapura dan
Aljazair. PDB riil, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, harga ritel kopi negara
pengimpor memiliki pengaruh yang positif terhadap volume permintaan ekspor
kopi Indonesia. sedangkan, variabel dummy krisis moneter tidak berpengaruh
signifikan terhadap volume kopi Indonesia, ini membuktikan bahwa komoditas
ekspor kopi merupakan tahan akan krisis.
Salah satu penelitian mengenai dampak sosial ekonomi terjadinya krisis
kopi terhadap petani kopi di Indonesia antara lain Gunadi (2007). Lokasi yang
diteliti adalah Pasemah, salah satu daerah penghasil yang membentang di tiga
provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Hasil dari penelitian
ini adalah mes