. Resiliensi Sosial-Ekologi Lamun Dan Pengelolaan Adaptif Perikanan Skala Kecil, Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

RESILIENSI SOSIAL-EKOLOGI LAMUN DAN
PENGELOLAAN ADAPTIF PERIKANAN SKALA KECIL
STUDI KASUS: KABUPATEN BINTAN, KEPULAUAN RIAU

FITRIYAH ANGGRAENI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Resiliensi Sosial-ekologi
Lamun dan Pengelolaan Adaptif Perikanan Skala Kecil, Studi Kasus: Kabupaten
Bintan, Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015

Fitriyah Anggraeni
NIM C25213010

RINGKASAN

FITRIYAH ANGGRAENI. Resiliensi Sosial-ekologi Lamun dan Pengelolaan
Adaptif Perikanan Skala Kecil, Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA, LUKY ADRIANTO, MALIKUSWORO
HUTOMO.
Sistem sosial-ekologi (SES) disusun oleh sistem ekologi, sistem sosial serta
interaksi diantaranya. Penelitian ini diawali dengan memastikan adanya keterkaitan
antara ekosistem lamun dengan perikanan skala kecil (SSF). Setelah dipastikan ada
keterkaitan, maka perlu diketahui seberapa besar ketergantungan SSF terhadap
ekosistem lamun. Kemudian diuraikan faktor-faktor atau indikator resiliensi, baik
dari aspek ekologi maupun sosial dan menghitung resiliensi ekologi, sosial serta
resiliensi SES. Pengelolaan adaptif SSF dirumuskan berdasarkan kondisi SES

tersebut. Penelitian dilakukan di Desa Berakit dan Malang Rapat, Kabupaten
Bintan, Provinsi Kepulauan Riau pada September h ingga Oktober 2014. Data yang
dibutuhkan adalah (i) jenis biota yang berada di ekosistem lamun yang kemudian
dianalisis dengan menggunakan Seagrass Residency Index (SRI) serta dicek silang
dengan hasil wawancara terkait jenis biota yang menjadi tangkapan dominan
nelayan skala kecil, (ii) indikator-indikator ketergantungan perikanan skala kecil
terhadap sumberdaya lamun, (iii) indikator-indikator resiliensi sosial, ekologi
lamun serta sosial-ekologi lamun.
Sebanyak 30 biota dari 38 biota yang ditemukan di ekosistem lamun kedua
desa tersebut memiliki nilai SRI tinggi (SRI > 0,67). Hal ini menunjukkan
keterkaitan yang tinggi antara ekosistem lamun dengan biota. Hasil cek silang SRI
dengan wawancara menunjukkan bahwa 70% biota tangkapan dominan nelayan di
masing-masing desa memiliki nilai SRI tinggi. Hal ini membuktikan tingginya
keterkaitan antara ekosistem lamun dengan SSF. Ketergantungan nelayan terhadap
sumberdaya lamun di Desa Berakit tergolong sedang, sedangkan di Desa Malang
Rapat tergolong tinggi. Resiliensi ekologi lamun di Desa Berakit dan Malang Rapat
tidak berbeda jauh. Resiliensi sosial di Desa Berakit dan Malang Rapat tergolong
sedang. Namun jika sistem ekologi dan sosial dipandang dan diperlakukan sebagai
satu kesatuan dalam resiliensi SES, maka keduanya memiliki taraf resiliensi yang
sama-sama tinggi meski Desa Berakit sedikit unggul dalam aspek sosial, sedangkan

Malang Rapat unggul dalam aspek ekologi. Pengelolaan adaptif SSF yang
diusulkan adalah perpaduan dari pengelolaan perikanan berdasarkan hak dengan
cagar alam, yaitu TURF-Reserve.
Kata kunci: biota residen, daya lenting, kesatuan sistem ekologi dan sosial, hak
perikanan

SUMMARY

FITRIYAH ANGGRAENI. Seagrass Social-ecological Resilience and Small-scale
Fisheries Adaptive Management, Case Study: Bintan District, Riau Islands.
Supervised by RAHMAT KURNIA, LUKY ADRIANTO, MALIKUSWORO
HUTOMO.

Social-ecological system (SES) consist of ecological system, social system
and interaction between them. This study was began with proving the connectivity
between seagrass ecosystem and small-scale fisheries (SSF), then measured the
dependency of SSF to seagrass ecosystem. Ecological, social and SES resilience
was assessed using ecological and social indicators. Based on SES state, SSF
adaptive management was arranged. The study was held in Berakit and Malang
rapat village, Bintan District-Riau Archiphelago Province on September to October

2014. The required data were (i) seagrass associate biota that then analyzed using
Seagrass Residency Index (SRI) and crosschecked with fishers interview result to
prove the connectivity between seagrass ecosystem and SSF, (ii) SSF seagrass
dependency indicators, (iii) ecological, social and SES resilience indicators.
About 30 out of 38 seagrass associate biota had high SRI (SRI > 0,67). It
showed that seagrass ecosystem was highly connected to biota. Crosscheck
between SRI and interview result showed high connectivity between seagrass
ecosystem and SSF through high SRI value that owned by 70% of SSF dominant
catches. Berakit village’s SSF had moderate dependency on seagrass, whilst
Malang Rapat’s had high dependency on it. Both village’s ecological resilience had
almost same value. Both village’s social resilience had moderate value. But when
the ecological and social system were viewed and treated as one system in SES,
both village had high SES resilience although Berakit had higher result in social
aspect and Malang Rapat had higher result in ecological aspect. The proposed SSF
adaptive management for both village was TURF-Reserve that combine right-based
fisheries management (TURF) and marine reserve.
Keywords: resident biota, resilience, ecological and social coupled system, fishery
rights.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESILIENSI SOSIAL-EKOLOGI LAMUN DAN
PENGELOLAAN ADAPTIF PERIKANAN SKALA KECIL
STUDI KASUS: KABUPATEN BINTAN, KEPULAUAN RIAU

FITRIYAH ANGGRAENI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada ujian tesis: Prof Dr Ir Sam Wouthuyzen, APU

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diseleseikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan September 2014 hingga Oktober 2014 ini ialah sistem
sosial-ekologi pesisir, dengan judul Resiliensi Sosial-ekologi Lamun dan
Pengelolaan Adaptif Perikanan Skala Kecil, Studi Kasus: Kabupaten Bintan,
Kepulauan Riau.
Tesis ini berhasil ditulis sebagai hasil kerja keras yang panjang dan atas
bantuan berbagai pihak, baik berupa semangat, do’a, sumbangan pemikiran
maupun dana studi dan penelitian. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.

Komisi pembimbing, yaitu Dr. Ir. Rahmat Kurnia, Msi (Ketua), Dr. Ir.
Luky Adrianto, Msc (Anggota), dan Dr. Malikusworo Hutomo, APU
(Anggota), atas waktu, sumbangan pemikiran serta kesabaran dalam
mengarahkan penulis menyeleseikan tesis ini.
2.
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis, Prof. Dr. Ir. Sam
Wouthuyzen, APU atas saran yang diberikan.
3.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI), Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan.
4.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB atas dana
penelitian yang diberikan.
5.
Mama, Bapak, Malok serta keluarga besar atas do’a yang tiada henti.
6.
Drs. Wawan Kiswara, MSi; Adriani Sunuddin, MSi; Fery Kurniawan,
MSi; dan Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D atas arahan, tulisan serta
sumbangan pemikiran yang diberikan.
7.

Dyah Ika Nugraheni, Beta Indi Sulistyowati, Siti Marsugi, Daniel Siahaan,
Zulhijah serta Dita Ismartanti atas semangat yang diberikan.
8.
Dra. Nurul Dhewani Mirah Sjarie, MSi dan Muhamad Nur
Arkham, SPi MSi atas bantuannya dalam pengambilan data di lapangan.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, November 2015
Fitriyah Anggraeni

iii

DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI

iv

DAFTAR GAMBAR


iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

1

2

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


3

TINJAUAN PUSTAKA

4

6

3

Ekosistem Lamun

3

Perikanan Skala Kecil

6

Sistem Sosial-ekologi


8

Resiliensi
3

1

METODE

10
11

Waktu dan Tempat Penelitian

11

Jenis dan Sumber Data

13

Pengumpulan dan Analisis Data

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

23

Resiliensi Ekologi Lamun

23

Keterkaitan Lamun dengan SSF

32

Ketergantungan SSF terhadap Lamun

39

Resiliensi Sosial

48

Analisis Resiliensi Sosial-ekologi Lamun

49

Pengelolaan Adaptif SSF

52

SIMPULAN DAN SARAN

56

DAFTAR PUSTAKA

57

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

70

iv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Jenis, metode pengumpulan dan analisis data
Penentuan skoring resiliensi ekologi lamun
Penentuan skoring resiliensi sosial
Resiliensi ekologi lamun
Jenis biota yang ditemukan di ekosistem lamun Desa Berakit dan
Malang Rapat
6 Ketergantungan terhadap sumberdaya lamun
7 Skor resiliensi SES di Desa Berakit dan Malang Rapat

14
18
19
32
33
47
50

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kerangka pendekatan penelitian
Bagian-bagian lamun
Ekosistem lamun
Skema konsep untuk diagnosa dan pengelolaan SSF
Peta lokasi penelitian
Letak titik sampling ekologi di Desa Berakit dan Malang
Rapat
Taraf resiliensi sistem sosial-ekologi lamun
Contoh hasil pengamatan penutupan lamun pada belt
transect
Kerapatan lamun di ekosistem lamun Desa Berakit dan
Malang Rapat
Persentase individu lamun dengan jumlah tunas lamun
dengan daun kurang dari dua helai
Cadangan benih lamun
Pemulihan lamun
HSI yang menunjukkan kesehatan habitat lamun
Tutupan makroalga
Konsentrasi Nitrat dan Orto Fosfat dalam air poros sedimen
di Desa Berakit dan Malang rapat yang mengindikasikan
eutrofikasi
Tren perubahan luasan lamun di Desa Berakit dan Malang
Rapat berdasarkan wawancara
Nilai SRI biota laut yang mengindikasikan keeratan
hubungannya dengan ekosistem lamun Desa Berakit dan
Malang Rapat
Peta ilustrasi sebaran biota laut yang ditemukan di ekosistem
lamun Desa Berakit
Peta ilustrasi sebaran biota laut yang ditemukan di ekosistem
lamun Desa Malang Rapat
Alasan memilih mata pencaharian sebagai nelayan di Desa
Berakit dan Malang Rapat
Latar belakang personal nelayan di Desa Berakit dan Malang
Rapat

3
4
5
8
12
13
20
23
24
25
26
27
28
29
30
31
35
37
38
39
41

v

22 Karakteristik keluarga nelayan
23 Kepemilikan aset nelayan di Desa Berakit dan Malang Rapat
24 Pendapatan nelayan per hari di Desa Berakit dan Malang
Rapat
25 Tipe nelayan di desa Berakit dan Malang Rapat
26 Ketertarikan dan pengetahuan terhadap lingkungan di Desa
Berakit dan Malang Rapat
27 Resiliensi sosial nelayan di Desa Berakit dan Malang Rapat
28 Resiliensi sosial-ekologi lamun
29 Diagnosa SSF di Desa Berakit dan Malang Rapat
30 Tahapan penyusunan TURF-Reserve di Desa Berakit dan
Malang Rapat
31 Proses evaluasi hasil monitoring dalam pengelolaan adaptif
SSF di Desa Berakit dan Malang Rapat

42
43
44
45
46
49
51
53
55
56

DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto, famili, nama ilmiah, nama lokal serta nilai SRI biota

63

1

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ekosistem lamun merupakan salah satu dari ekosistem penting di wilayah
pesisir perairan tropis di samping ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ketiga
ekosistem tersebut memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, sehingga baik
langsung maupun tidak langsung dapat menyediakan barang/produk dan jasa
lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pesisir. Hubungan
antara sistem ekologi dengan masyarakat serta interaksi di antara keduanya dalam skala
yang lebih besar membentuk sistem sosial-ekologi (SES) (de la Torre-Castro 2006).
Pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hayati pesisir (SDHP)
merupakan contoh dari sistem ini. SES yang terdapat di pesisir berbeda dengan SES
lainnya karena tingginya tingkat resiko dan ketidakpastian di wilayah pesisir serta
ketergantungan masyarakat pesisir pada SDHP (Ferrol-Schulte et al. 2013).
Salafsky dan Wollenberg (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar
populasi dunia tinggal di wilayah pesisir serta memanfaatkan jasa ekosistem pesisir.
Jasa ekosistem yang paling banyak dimanfaatkan adalah provisioning atau
penyediaan SDHP, dari makanan hingga bahan tambang atau mineral (Liquete et
al. 2013). Kegiatan pemanfaatan dan eksploitasi SDHP yang tidak ramah
lingkungan menyebabkan meningkatnya tekanan dan ancaman terhadap
sumberdaya tersebut. Degradasi ekosistem pesisir (ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang) akibat pemanfaatan sumberdaya di Indonesia meningkat dalam
beberapa dekade (Siry 2011; Ferrol-Schulte et al. 2013a). Hal ini menunjukkan
bahwa pengelolaan adaptif perlu diterapkan pada pengelolaan SDHP (FerrolSchulte et al. 2013b).
Pengelolaan SDHP yang adaptif memiliki tujuan untuk mewujudkan
keberlanjutan SES yang terdapat di wilayah pesisir. Norberg dan Cumming (2008)
berpendapat bahwa keberlanjutan merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya
hayati dan sosial secara adil, etis dan efisien. Adil berarti semua golongan
masyarakat dengan berbagai status sosialnya memiliki hak yang sama untuk
memanfaatkan sumberdaya. Etis berarti mempertimbangkan kecocokan antara
kebutuhan dan sumberdaya yang dimanfaatkan. Efisien berarti tidak memanfaatkan
sumberdaya secara berlebihan (mempertimbangkan kebutuhan akan sumberdaya di
masa depan). Keberlanjutan merupakan bentuk konsistensi dari resiliensi SES. Oleh
karena itu, Ruiz-Ballesteros (2011) menegaskan bahwa keberlanjutan SES hanya
akan tercapai bila resiliensinya tercapai.
Kabupaten Bintan merupakan bagian dari wilayah Kepulauan Riau yang
terletak di perbatasan antara Indonesia dan Singapura. Pada tahun 2008, Kabupaten
Bintan dijadikan lokasi percontohan program pengelolaan lamun berbasis
masyarakat pertama di Indonesia yang disebut Program TRISMADES (Trikora
Seagrass Management Demonstration Site) (Wouthuyzen 2009). Adanya program
ini meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan lamun tidak hanya terkait
hal pemanfaatan tetapi juga pelestarian lamun di Pulau Bintan. Oleh karena itu,
penelitian ini sangat cocok dilakukan di Pulau Bintan sebagai langkah awal untuk
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi sosial-ekologi lamun dengan

2

harapan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan lamun berbasis
masyarakat tersebut.
Perumusan Masalah
SES terdiri dari komponen ekologi, komponen sosial serta interaksi diantara
keduanya. de la Torre-Castro (2006) menekankan perlunya kesetaraan pada
komponen sosial-ekologi serta interaksi diantaranya. Ketiga hal tersebut
menentukan kemampuan untuk
menerima, menyerap gangguan serta
mengorganisir kembali sistem tersebut baik struktur, fungsi serta identitasnya,
dengan kata lain menentukan resiliensinya (daya lenting) (Walker et al. 2004;
Adger et al. 2005; Walker 2006; Cumming 2011). Adger (2000) menyebutkan
bahwa resiliensi ekologi dan resiliensi sosial terhubung melalui ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya alam. Ada keterkaitan antara resiliensi ekologi
dalam mendukung resiliensi sosial, terutama pada SES pesisir dimana masyarakat
pesisir bergantung pada SDHP. Semakin tinggi resiliensi ekologi dapat
meningkatkan kesempatan sistem sosial (masyarakat pesisir) dalam mempelajari
dan memahami perubahan yang terjadi pada SDHP serta mampu mengatasi
perubahan tersebut. Sehingga sistem sosial akan lebih siap dalam menghadapi
perubahan-perubahan lain di masa datang.
Dengan kata lain, peningkatan resiliensi ekologi dapat meningkatkan
resiliensi sosial. Namun hal tersebut belum membuktikan bahwa resiliensi ekologi,
dalam hal ini resiliensi lamun, dapat mendukung terwujudnya resiliensi sosial
secara bersama-sama sebagai resiliensi sosial-ekologi lamun. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk menggali faktor-faktor yang berperan dalam
meningkatkan resiliensi sosial-ekologi lamun. Penelitian ini diawali dengan
memastikan adanya keterkaitan antara sistem ekologi (ekosistem lamun) dengan
sistem sosial (SSF). Setelah dipastikan ada keterkaitan, maka perlu diketahui
seberapa besar ketergantungan SSF terhadap ekosistem lamun. Kemudian
diuraikan faktor-faktor atau indikator resiliensi, baik dari aspek ekologi maupun
sosial dan menghitung resiliensi ekologi, sosial serta resiliensi SES. Pengelolaan
adaftif SSF dirumuskan berdasarkan kondisi SES tersebut.
Kerangka pendekatan penelitian ini ditampilkan oleh Gambar 1. Penelitian
diawali dengan menetapkan ruang lingkup penelitian, yaitu memberi batasan
terhadap SES yang menjadi objek pengamatan. SES yang dimaksud terdiri dari
ekosistem lamun dan SSF (SSF) di Desa Berakit dan Malang Rapat. Sistem sosial
yang menjadi objek dalam penelitian ini hanyalah SSF meski di lapangan masih
ada komponen sosial lain yang memanfaatkan ekosistem lamun, seperti operator
wisata dan wisatawan. Dari komponen-komponen SES tersebut digali informasi
tentang keterkaitan antara ekosistem lamun dan SSF di kedua desa hingga
ketergantunganya terhadap sumberdaya lamun. Selanjutnya, faktor-faktor resiliensi
ekologi lamun dan resiliensi sosial diamati hingga dianalisis dan menghasilkan
tingkat resiliensi SES dan usulan pengelolaan adaptif perikanan skala kecil.

3

Gambar 1. Kerangka pendekatan penelitian
Tujuan Penelitian




Adapun penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
Menguraikan asosiasi biota dengan lamun serta keterkaitan antara ekosistem
lamun dan SSF
Menilai ketergantungan SSF terhadap ekosistem lamun
Menilai resiliensi sosial-ekologi lamun dan merumuskan pengelolaan adaptif
SSF

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Lamun
Lamun adalah tumbuhan Angiospermae yang seluruh siklus hidupnya
terendam di perairan laut dengan salinitas tinggi, hidup di perairan dangkal serta
dapat tumbuh hingga kedalaman 40 meter (Phillips dan Menez 1988; Hemminga
dan Duarte 2000; Kuo 2007; Bjork et al. 2008). Lamun adalah tumbuhan tingkat
tinggi, karena memiliki daun,akar, bunga dan buah sejati serta berkembang biak
secara generatif dan vegetatif (Phillips dan Menez 1988; Bjork et al. 2008). Lamun
diduga merupakan tumbuhan darat yang berevolusi hingga mampu hidup di
perairan dengan salinitas tinggi (den Hartog 1970), sehingga bagian-bagian dari
tumbuhan lamun (Gambar 2) memungkinkan untuk melakukan fungsi sebagai

4

mana fungsi bagian-bagian tumbuhan darat. Lamun dikelompokkan ke dalam lima
famili, yaitu Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae, Posidoniaceae, Zosteraceae dan
Ruppiaceae yang tersebar di daerah tropis, sub tropis hingga daerah lintang tinggi,
seperti di Alaska (Bjork et al. 2008). Di Indonesia terdapat tujuh genus dari 12
genus lamun yang ada di dunia yaitu Cymodocea, Enhalus, Halodule, Halophila,
Syringodium, Thalassia dan Thalassodendron.
Sebagian besar jenis lamun memiliki daun dengan ukuran memanjang dan
tipis seperti pita yang disebut thalus, namun beberapa jenis lamun memiliki bentuk
daun bulat (rounded leave) seperti pada genus Halophila, serta daun berbentuk
silindris (cylindrical leave) seperti genus Syringodium. Daun lamun memiliki
stomata yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas (O2 dan CO2 terlarut) dan
cairan serta terdapat kloroplas pada lapisan epidermis dimana proses fotosintesis
terjadi, yaitu hanya pada daun saja, sedangkan proses tersebut dapat terjadi di
seluruh permukaan setiap bagian makroalga. Hal inilah yang membedakan antara
lamun dan makroalga (Seagrass Watch 2013). Rhizoma lamun berperan layaknya
batang pada tumbuhan darat sebagai saluran hasil fotosintesis, nutrien serta mineral
lainnya. Lamun memiliki dua jenis rhizoma, yaitu rhizoma horizontal dan vertikal
meski pada sebagian besar lamun rhizoma vertikalnya tidak berkembang.Akar
Lamun memiliki saluran lakunal yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas
secara efisien. Hal tersebut dikarekan pasokan oksigen sangat penting bagi
biomassa lamun di bawah substrat untuk proses respirasi dan mencegah
terbentuknya senyawa toksik akibat aktivitas metabolismeanaerobik di dalam
substrat. Titik pertumbuhan (meristem) juga terdapat pada ujung akar selain pada
ujung rhizoma (Hemminga dan Duarte 2000). Sistem perakaran lamun memiliki
dua tipe, yaitu Herringbone, dimana terdapat akar tunggal dengal bulu-bulu akar
sangat halus disekelilingnya, serta Dichotomous, dimana terdapat banyak
percabangan akar yang menyebar secara luas di dalam substrat (Kiswara et al.
2009).

Gambar 2. Bagian-bagian lamun (Hemminga dan Duarte 2000)

5

Ekosistem lamun didefinisikan sebagai unit organisasi biologis yang
meliputi interaksi antara komponen abiotik dan biotiknya (Phillips dan Milchakova
2003). Ekosistem lamun, meskipun relatif berukuran kecil, namun disusun oleh
komponen struktural dan fungsional, yang tidak mengesampingkan salah satu unit
penyusunnya. Dengan kata lain, ekosistem lamun tidak hanya terdiri dari kumpulan
atau komunitas lamun saja, namun juga termasuk seluruh biota, mineral serta
komponen abiotik lainnya yang saling berinteraksi. Ekosistem lamun (Gambar 3)
memiliki peranan penting sebagai penyedia barang dan jasa untuk keseimbangan
ekosistem serta pemenuhan kebutuhan manusia berupa habitat ikan dan
invertebrata, tempat pemijahan biota, pelindung pantai, stabilisasi sedimen,
resirkulasi nutrien, penyerap karbon dan lain sebagainya (De la Torre-Castro 2006;
Bjork et al. 2008; Christianen 2013; Cullen-Unsworth et al. 2013).

Gambar 3. Ekosistem lamun
Ekosistem lamun merupakan nursery ground bagi nekton dan fauna lainnya,
namun pola sebaran lamun bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi pola
sebaran fauna asosiasi lamun (Bostrom et al. 2006). Fungsi ekosistem lamun
sebagai pelindung pantai tidak hanya ditentukan oleh biomassa lamun di atas
substrat (above-ground biomass), namun juga oleh jenis lamun dengan kanopi
sangat pendek juga dapat menstabilkan substrat atau sedimen (Christianen (2013).
Akar dan rizhoma lamun dapat menstabilkan substrat dengan mengurangi
kemungkinan terjadinya erosi sehingga biota di dalam substrat pun dapat
terlindungi. Kestabilan substrat akan mempengaruhi penetrasi sinar matahari pada
lamun. Substrat perairan yang tidak ditumbuhi lamun akan mudah terangkat
(resuspensi) saat kolom perairan terganggu dan menyebabkan perairan keruh serta
penetrasi matahari berkurang. Oleh karena itu, keberadaan lamun sebagai penstabil
substrat sangat penting (Carr et al. 2012). Kehadiran biota pemangsa lamun
(grazer) seperti dugong dan penyu memang masih dianggap sebagai salah satu
ancaman pada keberadaan lamun, namun terbukti kegiatan pemangsaan lamun
(grazing) dapat meningkatkan pertumbuhan, produksi biomassa dan daya
resirkulasi nutrien oleh lamun (Aragones dan Marsh 2000; Christianen 2013).

6

Perikanan Skala Kecil
SSF cenderung identik dengan kegiatan penangkapan sumberdaya ikan
yang dilakukan dengan teknologi sederhana, tidak terikat (self-employed), tidak
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar, memiliki akses terbuka terhadap
sumberdaya ikan (open access resource), banyak ditemukan di negara berkembang
dengan pengelolaan perikanan yang kurang memadai (Mills et al. 2011). Berkes et
al. (2001) menyatakan bahwa SSF di negara berkembang menggunakan banyak
jenis alat tangkap serta menangkap banyak jenis ikan target dalam operasinya.
Menurut UU no. 45 tahun 2009 tentang perubahan UU no. 31 tahun 2004 tentang
perikanan, nelayan merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan
menggunakan kapal perikanan berukuran kurang dari 5 GT.
SSF memanfaatkan SDHP dalam kegiatannya. Keterkaitan dan interaksi
antara SSF dan SDHP, dalam hal ini ekosistem lamun, membentuk sistem SES (De
la Torre-Castro 2006). Pengelolaan SSF cenderung sulit dilakukan karena banyak
yang tidak terdaftar dan sering dianggap tidak terlalu penting (Mills et al. 2011).
Oleh karena itu, Kittinger et al. (2013) menekankan pentingnya penerapan konsep
SES dalam pengelolaan SSF karena pemahaman akan karakteristik SES yang
terbentuk dapat menghasilkan rencana pengelolaan SSF yang lebih efektif.
Penerapan konsep SES dalam penilaian dan pengelolaan SSF berujung pada
pengelolaan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem-based) dan pendekatan
resiliensi (resilience-based) (Allison et al. 2012). Terkait pendekatan resiliensi,
Andrew et al. (2007) menyatakan perlunya kolaborasi antar sektor dalam upaya
pengelolaan SSF (co-management) untuk dapat meningkatkan resiliensi dan
mengurangi kerentanan berbagai pihak yang terpengaruh dan mempengaruhinya.
Charles (2011) menyatakan bahwa hak dalam perikanan yang dimiliki oleh
nelayan bukan hanya hak untuk memanfaatkan, namun juga untuk mengelola
SDHP yang mereka manfaatkan. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya comanagement antara komunitas nelayan dan pemerintah dalam mengelola SSF.
Prinsip co-management SSF adalah komunitas nelayan dan pemerintah berbagi
wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan SSF. Co-management antara
komunitas nelayan dan pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkan
pengelolaan perikanan yang lebih baik serta keberlanjutan SDHP dan SSF. Adhuri
et al. (2015) menambahkan bahwa eksploitasi berlebih pada stok ikan menunjukkan
kegagalan pemerintah dalam mengelola perikanan, namun hal tersebut juga
mencerminkan ketidakmampuan nelayan dalam mendapatkan nilai lebih dari
kegiatan perikanan yang mereka lakukan.
Mengingat SES yang terbentuk melibatkan banyak sektor dan kompleks,
maka proses penilaian dan pengelolaan SSF dilakukan dengan cermat dan teliti.
Andrew et al. (2007) menyusun skema untuk penilaian dan pengelolaan SSF di
negara berkembang seperti pada Gambar 4. External environment dapat berupa
faktor makro ekonomi, kompetisi dengan industri perikanan, perubahan ekosistem,
tren pasar, harga bahan bakar, pembangunan infrastruktur. Selain, external
environment, potensi dan kendala baik dari aspek ekologi maupun sosial ekonomi
perlu diuraikan sebagai masukan untuk proses diagnosa ancaman dan potensi SSF.
Dengan kata lain, proses diagnosa tersebut merupakan upaya identifikasi indikator
dan ancaman terhadap resiliensi SSF. Jika dalam proses tersebut terungkap

7

ancaman yang tidak dapat diatasi, maka hal yang dapat dilakukan adalah
mengurangi kerentanan SSF dengan melakukan tindakan pencegahan atau mitigasi.
Proses diagnosa potensi dan ancaman SSF dapat dilakukan oleh peneliti,
akademisi, nelayan, pemerintah atau kerjasama beberapa pihak tersebut. Syarat
utama bagi proses ini adalah ketersediaan data (best available data). Tidak dapat
dipungkiri bahwa ketersediaan data SSF yang sahih atau valid sangat terbatas (Mills
et al. 2011; Belhabib et al. 2015). Oleh karena itu, semakin baik kualitas data yang
digunakan, maka hasil diagnosa yang dihasilkan akan semakin baik. Secara
sederhana, proses diagnosa merupakan proses untuk menggali pilihan-pilihan
pengelolaan SSF. Proses ini melibatkan partisipasi berbagai stakeholder dan tim
ahli, sehingga stakeholder yang terlibat perlu diklarifikasi terlebih dahulu. Setelah
beberapa pilihan pengelolaan SSF terbentuk, maka pemilihan upaya pengelolaan
SSF (management constituency) dilakukan melalui musyawarah dengan para
stakeholder sesuai dengan prinsip co-management SSF.
Proses pengelolaan terdiri dari tiga hal, yaitu (i) menentukan keluaran yang
diinginkan, (ii) menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai
keluaran, serta (iii) mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan. Hal terakhir
tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah keluaran sudah sesuai dengan yang
diharapkan atau tidak. Proses pengelolaan memiliki kemungkinan berlangsung
sedikit lebih lama, karena proses ini meliputi perencanaan, monitoring, dan
evaluasi. Tidak menutup kemungkinan bahwa proses pengelolaan ini melakukan
beberapa kali percobaan penerapan pengelolaan SSF hingga menghasilkan keluaran
yang diharapkan, yaitu keluaran yang dapat menjaga keberlanjutan baik ekosistem
(ekologi) maupun SSF itu sendiri (sosial-ekonomi). Keluaran yang dihasilkan dari
percobaan penerapan pengelolaan SSF tersebut menjadi timbal balik bagi proses
pengelolaan itu sendiri. Timbal balik tersebut menjadi pertimbangan dalam proses
evaluasi apakah pengelolaan yang dijalankan masih relevan dengan kondisi atau
status SSF saat ini atau tidak. Evaluasi pengolaan yang telah dijalankan tersebut
merupakan ciri dari pengelolaan adaptif.
Kendala utama dalam SSF di negara berkembang adalah ketidakmampuan
nelayan untuk menjamin hak dan tanggung jawab SDHP (Andrew et al. 2007).
Jentoft et al. (2011) menyatakan bahwa memiliki hak akan akses terhadap SDHP
yang menjadi tumpuan hidup adalah suatu keharusan bagi nelayan untuk dapat tetap
bertahan di industri perikanan. Jika hak untuk mengakses sumberdaya tersebut
dikelola dengan baik, maka berbagai permasalahan terkait perikanan dapat diatasi,
seperti mengurangi konflik, menjaga keamanan pangan dan mata pencaharian serta
menjaga kelestarian SDHP yang dimanfaatkan. Hal ini diperkuat oleh argumen
yang dikemukakan oleh Allison et al. (2012) bahwa semakin terjamin hak terhadap
akses SDHP, nelayan semakin termotivasi untuk menjaga sumberdaya. Sebaliknya,
nelayan yang beroperasi tanpa ada jaminan hak akses terhadap SDHP akan
cenderung berlomba dalam kegiatan SSF dan dapat mengakibatkan penurunan stok
ikan serta kualitas ekosistem yang dapat merugikan nelayan secara ekonomi (Wilen
et al. 2012). Pengelolaan perikanan berdasarkan hak (right-based fisheries
management) dapat meningkatkan efisiensi secara ekonomi dalam pemanfaatan
SDHP (Allison et al. 2012). Pengaturan hak untuk mengakses SDHP dapat
meningkatkan penghasilan, keuntungan serta rente ekonomi dalam kegiatan
perikanan (Allison et al. 2012; Wilen et al. 2012).

8

Gambar 4. Skema konsep untuk diagnosa dan pengelolaan SSF.Kotak bulat
menunjukkan status atau kondisi; kotak berlian menunjukkan proses;
tanda panah menunjukkan arah pengaruh; serta tanda panah titik-titik
menunjukkan timbal balik atau feedback. (Andrew et al. 2007)
Sistem Sosial-ekologi
SES mencerminkan adanya keterpaduan yang sangat erat antara sistem
manusia (sosial) dengan alam (Cumming 2011). Anderies et al. (2004)
mendefinisikan SES sebagai sebuah sistem ekologi yang terkait secara rumit dan
terpengaruh oleh satu atau lebih sistem sosial. Skala atau ukuran salah satu sistem
tidak menjadi penentu erat tidaknya SES yang terbentuk. Selama ada sistem sosial
dan ekologi yang saling berhubungan dan menunjukkan adanya interaksi timbal
balik diantara keduanya (ekologi dan sosial), maka sistem tersebut dapat dikatakan

9

sebagai SES. Sistem ini menunjukkan adanya hubungan serta perilaku yang sangat
komplek, sehingga sulit untuk dipahami dan diprediksi.
Umumnya SES menunjukkan adanya pemanfaatan yang dilakukan oleh
sistem sosial terhadap sistem ekologi. Pemanfaatan sumberdaya secara terus
menerus akan membentuk ketergantungan terhadap sumberdaya. Marshall et al.
(2007) menyusun konsep ketergantungan sumberdaya di bidang perikanan. Dalam
konsep tersebut, ketergantungan terhadap sumberdaya dapat diidentifikasi
berdasarkan 10 kriteria yang terbagi dalam tiga kelompok ketergantungan, yaitu:
(i) ketergantungan sosial, (ii) ketergantungan ekonomi serta (iii) ketergantungan
lingkungan. Ketergantungan secara sosial meliputi empat hal, yaitu keterikatan
terhadap pekerjaan (occupational attachment), keterikatan terhadap tempat
(attachment to place), kemampuan bekerja (empolyability), karakteristik keluarga
(family characteristic). Adapun ketergantungan secara ekonomi meliputi ukuran
usaha (bussiness size), pendekatan usaha (bussiness approach) dan kondisi
keuangan (financial situation). Sedangkan ketergantungan lingkungan meliputi
tingkat spesialisasi (level of specialisation), durasi melaut (time spent harvesting)
serta ketertarikan dan pengetahuan terhadap lingkungan (interest in and knowledge
of the environment).
Ketika ada pemanfaatan akan suatu sumberdaya alam, maka mutlak
diperlukan pengelolaan terkait pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya. Hal ini
bertujuan untuk menjada keberlanjutan sumberdaya alam serta pemanfaatannya
oleh sistem sosial. Pengelolaan ini bertujuan mencegah hilangnya sumberdaya
alam (sistem ekologi) yang kemungkinan besar dapat menjadi penyebab runtuhnya
sistem sosial terkait. Anderies et al. (2004) menyatakan bahwa keruntuhan SES
hanya dapat terjadi ketika sistem sosial dan sistem ekologi yang memiliki
keterkaitan sama-sama runtuh. Kompleksitas yang dimiliki oleh SES memerlukan
strategi pengelolaan yang siap menjawab teka-teki sistem tersebut, yaitu
pengelolaan yang adaptif.
Lamun sebagai wujud dari salah satu sistem ekologi sering kali menjadi hal
yang terlupakan dalam pengelolaan SDHP. Keberadaannya yang dulu dianggap
sebelah mata kini telah mulai diperhatikan dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, antara lain konsep yang tidak menganggap setiap sumberdaya sebagai
individu tunggal namun sebagai sebuah penyusun sistem pesisir. Berkembangnya
sudut pandang baru tentang SES dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem telah menghasilkan strategi pengelolaan adaptif yang lebih cocok
diterapkan dalam menjawab tantangan dalam pengelolaan sumberdaya alam saat
ini.
Ketika konsep SES muncul, keberadaan lamun dan sistem sosial yang
memanfaatkan lamun, baik secara langsung maupun tidak langsung, membentuk
suatu sistem sosial-ekologi lamun. de la Torre-Castro (2006) membahas tuntas
lamun mulai dari jasa ekosistem hingga keterkaitannya dengan masyarakat pesisir
Afrika Timur. Cullen-Unsworth et al. (2013) mencoba menunjukkan lamun dan
manusia dalam kesatuan SES dari berbagai lokasi dan karakteristiknya masingmasing dalam hal keterkaitan lamun dengan manusia dan kesejahteraannya,
ancaman pada lamun, peran lamun secara umum baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hal tersebut semakin memperkuat diperlukannya pemahaman akan
konsep SES dalam perencanaan pengelolaan adaptif.

10

Resiliensi
Ruang lingkup resiliensi pada awalnya hanya dalam aspek ekologi saja,
namun kini resiliensi telah diaplikasikan pada berbagai bidang dengan modifikasi
yang sesuai dengan karakteristik masing-masing bidang (Holling 1973; Brand dan
Jax 2007; Leslie dan Kinzig 2009). Resiliensi merupakan kemampuan suatu sistem
untuk menerima dan menyerap sejumlah perubahan (dan atau gangguan) namun
tetap dapat mereorganisasi dan menjaga struktur, fungsi dan identitas sistem
(Walker et al. 2004; Adger et al. 2005; Walker 2006; Brand dan Jax 2007; Leslie
dan Kinzig 2009; Cumming 2011). Cumming (2011) menyebutkan bahwa
resiliensi adalah sebuah konsep, bukan sebuah hipotesis sehingga tidak dapat
ditolak. Beberapa studi resiliensi mencoba untuk mengukur resiliensi dengan
pendekatan kerentanan serta kemampuan adaptasi dari suatu sistem baik secara
deskriptif ataupun dengan menggunakan pembobotan atau skoring dari indikatorindikator sistem.
Konsep resiliensi masih mengalami perubahan seiring bertambahnya
penelitian dan diskusi terkait hal tersebut. Hingga kini, penelitian dan
perkembangan konsep resiliensi menunjukkan bahwa resiliensi tidak selalu
merupakan hal yang terbaik dan diharapkan (Hughes et al. 2005; Troell et al. 2005;
Cumming 2011). Konsep resiliensi masih menjadi topik hangat untuk dikaji
diberbagai bidang atau sistem dengan harapan bahwa resiliensi meningkatkan
proses pembelajaran dan pemahaman dinamika yang terjadi di alam, baik secara
spasial atau temporal. Menjaga resiliensi penting baik bagi sistem sosial dan ekologi
karena kesejahteraan sistem sosial sangat terkait dengan sistem ekologi (Berkes dan
Folke 1998). Gunderson (2003) dalam Olsson (2003) berargumen bahwa resiliensi
ekologi membuka kesempatan sistem sosial untuk mempelajari dinamika
lingkungan, sehingga dapat mencegah kegagalan pengelolaan akibat kurangnya
pemahaman akan hal tersebut. Argumen tersebut membuka kesempatan dalam studi
resiliensi SES terkait strategi pengelolaan sumberdaya.
Kemampuan resiliensi SES dapat dibangun dengan menerapkan
pengelolaan yang adaptif, yaitu pengelolaan yang dilakukan secara fleksibel
berdasarkan respon dari perubahan yang terjadi pada sistem ekologi maupun sistem
sosial (Olsson 2003). Hal ini menunjukkan bahwa SES, resiliensi serta pengelolaan
telah menjadi kesatuan yang saling berhubungan. SES memiliki ruang lingkup,
interaksi serta perilaku yang komplek, oleh karena itu kajian tentang resiliensi dari
sistem tersebut hendaknya dilakukan dengan melakukan penelitian sesederhana,
namun masih menunjukkan kompleksitasnya (Cumming 2011) seperti yang
dilakukan Forster et al. (2014) dimana resiliensi SES diamati pada level paling
rendah, yaitu rumah tangga nelayan.
SES tersebut memiliki aspek ekologi dan aspek sosial sebagai penentu
resiliensinya. Taylor dan Rasheed (2012) mengamati resiliensi lamun secara
ekologi dari beberapa indikator, yaitu kemampuan generatif lamun, yaitu yang
terkait ketersediaan benih lamun dan rekruitmennya serta kemampuan vegetatif
lamun berupa perpanjangan rhizoma dalam pemulihan lamun dan resiliensinya
terhadap perubahan iklim. Carr et al. (2012) merekomendasikan pangamatan
jumlah daun per tunas sebagai indikator rusaknya lamun serta kemampuannya
untuk pulih dan tidak berganti fase. Kesehatan habitat lamun juga menjadi indikator
resiliensi lamun karena merupakan kunci keberlanjutan hubungan antara ekosistem

11

lamun dengan biota laut. Selain itu juga dilihat ada tidaknya indikasi eutrofikasi
serta potensi perikanan yang merusak pada lamun. Aspek sosial dari resiliensi SES
meliputi ketergantungan terhadap sumberdaya, fleksibilitas rumah tangga nelayan,
pendapatan, alternatif pekerjaan, kesadaran lingkungan, serta peran institusi
(Marshall dan Marshall 2007; Schwarz et al. 2011; Cullen-Unsworth et al. 2013;
Ferrol-Schulte et al. 2013b; Forster et al. 2014).

3.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 hingga Oktober 2014 di
Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Stasiun penelitian berada di dua desa, yaitu
Desa Berakit dan Malang Rapat. Desa Berakit merupakan bagian dari Kecamatan
Teluk Sebong serta terletak di pesisir utara dan timur Pulau Bintan. Letaknya yang
strategis menjadikan Desa Berakit sebagai lokasi Pelabuhan Fery Internasional
yang melayani rute pelayaran menuju dan dari Singapura serta Malaysia. Meski
tepat bersebelahan, Desa Malang Rapat merupakan bagian dari kecamatan yang
berbeda, yaitu Kecamatan Gunung Kijang. Desa ini berada di pesisir timur Pulau
Bintan dan merupakan bagian dari rangkaian Pantai Trikora. Kedua desa tersebut
memiliki ekosistem lamun yang cukup luas serta terdapat aktivitas masyarakat
pesisir pada ekosistem tersebut, termasuk SSF.
Desa Berakit memiliki luasan rataan terumbu yang lebih besar dibanding
Malang Rapat. Jarak tubir terjauh dari garis pantai di Desa Berakit mencapai kurang
lebih 2 km sedangkan di Malang Rapat kurang lebih 1 km. Tubir terjauh di Desa
Berakit terletak di sisi utara, sedangkan Malang Rapat di tengah sisi timur desa.
Berdasarkan Wouthuyzen (2009), Desa Berakit memiliki 8 titik atau spot di
ekosistem lamun yang memiliki penutupan lamun dengan nilai 75 – 100%,
sedangkan Malang Rapat hanya memiliki 3 titik saja. Penutupan lamun dengan
nilai 50 – 75% di ekosistem lamun Desa Berakit ada 7 titik sedangkan di Malang
Rapat hanya 3 titik saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain memiliki rataan
terumbu yang lebih luas, Desa Berakit juga memiliki ekosistem lamun yang lebih
luas dibanding Desa Malang Rapat. Adapun peta penutupan lamun sekaligus peta
lokasi penelitian ditunjukkan oleh Gambar 5.
Masing-masing desa atau stasiun memiliki 3 titik sampling untuk indikator
ekologi. Titik-titik sampling tersebut dipilih berdasarkan karakteristik rataan
terumbu, yaitu mewakili rataan terumbu terpanjang dan terpendek (Gambar 6a dan
6b). Titik sampling pertama di Desa Berakit terletak di sebelah kanan Pangkalan
TNI AL (01˚12”53,44’ LU dan 104˚32”41,10’ BT). Titik sampling kedua terletak
di depan Tanjung Berakit (01˚13”35,21’ LU dan 104˚34”54,69 BT), sedangkan titik
sampling ketiga terletak di depan Resort Danish (01˚13”04,96’ LU dan
104˚35”01,53’ BT). Titik sampling pertama di Desa Malang Rapat terletak di
depan Pulau Baka (01˚6”41,44’ LU dan 104˚37”49,44’ BT). Titik sampling kedua
terletak di sebelah kanan TPI Dusimas (01˚7”11,55’ LU dan 104˚37”00,17’ BT),
sedangkan titik sampling ketiga di sebelah kiri TPI Dusimas (01˚7”12,74’ LU dan

12

104˚36”47,54’ BT). Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan pada belt
transect sepanjang 20 m yang terdiri dari rangkaian transek kuadrat 1x1 m secara
berurutan (Gambar 6c).

Gambar 5. Peta lokasi penelitian ( =Ruang lingkup penelitian; Peta merupakan
hasil penelitian Wouthuyzen, 2009)

13

(a)

(b)
(c)
Gambar 6. Letak titik sampling ekologi di Desa Berakit (a) dan Malang Rapat (b)
serta susunan transek kuadrat pada belt transect sepanjang 20 m (c)
( = Titik sampling 1;
= Titik sampling 2;
= Titik sampling 3)
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dimana lebih
menekankan pada pengukuran terhadap suatu fenomena dengan menggunakan
variabel atau indikator tertentu. Data yang dibutuhkan adalah data primer
(pengukuran secara langsung, wawancara) dan sekunder (data dan informasi yang
didapat dari berbagai sumber literatur yang tersedia literatur). Tabel 1 merangkum
jenis data yang dibutuhkan, metodologi pengumpulan data serta analisis data dalam
penelitian ini.

14

Tabel 1. Jenis, metode pengumpulan dan analisis data1
NO

TUJUAN

1

Menguraikan asosiasi
biota dengan lamun
serta keterkaitan
antara lamun dan SSF

2

3

Menilai
ketergantungan SSF
terhadap lamun

Mengidentifikasi
faktor-faktor resiliensi
sosial-ekologi lamun

DATA PRIMER
JENIS DATA
METODE
Jenis biota yang berasosiasi dengan lamun pada
Sampling menggunakan gill net, Jermal
setiap tahap hidupnya (ikan, moluska,
(Tidal Trap) serta core
ekinodermata, krustasea, dsb.)
Identifikasi spesies biota di padang lamun
Tiga kelas fase kehidupan biota (juvenil, dewasa
Pengukuran panjang biota dan identifikasi
belum matang gonad, dan dewasa memijah)
fase kehidupannya
Pengamatan tingkat kematangan gonad

Tangkapan Nelayan (Jenis biota tangkapan dan
ukuran)
Demografi (Meliputi Umur, Pendidikan, Status)

In-depth interview, pendekatan partisipasi,
observasi lapangan
In-depth interview

Strategi Mata Pencaharian (Meliputi Pekerjaan,
area penangkapan/pengumpulan biota, alat yang
digunakan, jumlah tangkapan, durasi waktu
penangkapan/pengumpulan biota).
Ekologi:
Komposisi Jenis Lamun
Area Lamun (Total penutupan lamun dalam
transek (m²))
Kontinuitas Lamun (Jumlah kelompok
komunitas (patch) lamun yang didelineasi dari
kehadiran lamun dalam transek)
Kedekatan Lamun (Jarak antar kelompok lamun
dalam transek)
Tutupan Lamun (Rerata persentase penutupan
lamun dalam transek)
Jenis Lamun dalam transek
Jumlah Daun per Tunas

2 seri belt transect (20x1 m), 3 titik
sampling

Pertumbuhan Rhizoma Lamun

Penandaan (tagging) pada rhizoma dari
tunas terakhir lamun jenis Thalassia
hemprichii, 2 minggu, 30 titik sampling
Coring, 3 titik sampling

Persediaan Benih Lamun
Penutupan Makroalga
Nutrien (Nitrat dan Orto Fosfat)
Luasan Lamun yang rusak akibat alat tangkap
nelayan
Sosial-ekonomi:
Ketergantungan sosial, ekonomi, dan lingkungan
Ukuran Rumah Tangga (Jumlah anggota

Transek kuadrat 1x1 m, 3 titik sampling

2 seri belt transect (20x1 m), 3 titik
sampling
Pore water sampling, vacum pump, 3 titik
sampling
In-depth interview, observasi lapangan

In-depth interview

DATA SEKUNDER
JENIS DATA

METODE

Laju kematian alami biota
Usia pertama kali matang
gonad biota

Studi literatur, fishbase, jurnal, dsb
Studi literatur, fishbase, jurnal, dsb

Jumlah Nelayan

Studi Literatur, BPS, Data Statistik
Desa

15

Pengumpulan dan Analisis Data
Asosiasi biota dengan lamun serta keterkaitan antara Lamun dengan
Masyarakat Pesisir
Pengambilan sampel biota yang ada pada ekosistem lamun dilakukan di dua
stasiun, yaitu Desa Berakit dan Malang Rapat dengan menggunakan jaring insang
(Unsworth et al. 2007), kelong karang/sero (tidal trap), core serta mengumpulkan
biota (berkarang). Biota yang tertangkap difoto dan diukur panjang dan lebar biota
serta dicatat ciri-ciri fisik lainnya untuk identifikasi jenis biota. Data sekunder
mengenai sejarah hidup biota dikumpulkan dari studi literatur dari beberapa
publikasi (fishbase.org; shellfish.org; Hutomo 1985). Setelah data terkumpul di
analisis dengan menggunakan model Seagrass Residency Index (Scott et al. 2000;
McArthur dan Bolland 2006; Blandon dan Ermgassen 2014). Seagrass Residency
Index (SRI) ditentukan dari jumlah waktu yang dihabiskan oleh tiap-tiap jenis ikan
pada setiap tahap hidupnya (juvenil, dewasa, memijah), bukan berdasarkan
intensitas biota ditemukan di ekosistem lamun. Hal yang perlu digarisbawahi dalam
interpretasi hasil SRI adalah nilai tersebut menunjukkan keeratan hubungan biota
dengan ekosistem lamun.
Jenis biota yang memiliki nilai SRI semakin mendekati 1 berarti semakin
erat keterkaitannya dengan ekosistem lamun. Nilai SRI dari biota-biota tersebut
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok 1 (rendah) memiliki nilai SRI
antara 0 hingga 0,33, kelompok 2 (sedang) dengan nilai SRI berkisar antara 0,34
hingga 0,66 dan kelompok 3 (tinggi) dengan kisaran nilai SRI 0,67 hingga 1.
Pengelompokkan ini bertujuan untuk memudahkan interpretasi data SRI dimana
biota yang masuk dalam kelompok 1 memiliki keterkaitan rendah dengan ekosistem
lamun, biota yang masuk dalam kelompok 2 memiliki keterkaitan sedang dengan
ekosistem lamun, sedangkan biota yang masuk dalam kelompok 3 memiliki
keterkaitan yang tinggi dengan ekosistem lamun. Selanjutnya hasil SRI dicek
silang dengan hasil tangkapan nelayan untuk memastikan adanya keterkaitan antara
lamun dan SSF. SRI dapat dihitung menggunakan Persamaan 1 berikut (McArthur
dan Bolland 2006):

dimana,
mi
tfi
tji/tij
tai
xi
yi
zi

SRI = 1 - exp � � + � +



= 1 - exp(emi(tai- tij) .

�+ �+ �)

= kematian alami (natural mortality);
= umur pertama kali matang gonad (age of first maturity);
=−
ln⁡
1 + −���


ln �

=� +

= waktu yang dihabiskan di ekosistem lamun dalam fase juvenil
(tahun)
= waktu yang dihabiskan di ekosistem lamun dalam fase dewasa
memijah (tahun)
= waktu yang dihabiskan di ekosistem lamun dalam fase dewasa
belum matang gonad (tahun)

16

Ketergantungan SSF terhadap Lamun
Masyarakat pesisir umumnya menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
yang ada ekosistem pesisir, seperti ekosistem lamun. Ketergantungan ini dapat
memicu eksploitasi yang berlebih, sehingga dapat membuat lamun terdegradasi.
Seberapa besar ketergantungan masyarakat pesisir terhadap lamun dapat diukur
dengan menggunakan pendekatan mata pencaharian (livelihood) pada tingkatan
rumah tangga nelayan. Ferrol-Schulte et al. (2013b) menegaskan bahwa
pendekatan tersebut masih cocok untuk diterapkan dalam mengukur
ketergantungan masyarakat pesisir pada SDHP dan laut dalam suatu sistem sosialekologi pesisir sehingga pendekatan mata pencaharian ini akan digunakan dalam
mengukur sejauh mana ketergantungan masyarakat pesisir terhadap ekosistem
lamun dengan beberapa indikator tertentu.
Metode yang digunakan adalah in-depth interview menggunakan kuesioner
semi-terstruktur serta pendekatan partisipasi rumah tangga nelayan, yang
jumlahnya ditentukan dengan penarikan contoh acak sederhana, dan beberapa
responden kunci (Kepala Desa, Ketua Kelompok Nelayan, Ketua Organisasi, dan
tokoh penting lainnya) dengan menggunakan snowball sampling, yaitu responden
yang telah diwawancara merekomendasikan calon responden berikutnya (CullenUnsworth et al. 2013; Ferrol-Schulte et al. 2013b; Forster et al. 2014). Penggunaan
metode snowball sampling bertujuan untuk mewawancarai nelayan sebagai
responden, bukan nelayan yang beroperasi dengan skala yang lebih besar.
Pertanyaan yang diajukan pada saat wawancara terkait dengan demografi, mata
pencaharian, alasan memilih pekerjaan serta alternatif pekerjaan. Studi literatur
juga dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara tersebut. Data dari hasil
wawancara yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode open coding
method (Forster et al. 2014). Open coding method merupakan cara penyajian data
wawancara dengan mengelompokkan jawaban responden berdasarkan kemiripan
jawaban. Hal ini bertujuan untuk menggali jawaban responden yang beragam
(tidak terpaku pada pilihan jawaban yang disediakan pewawancara), sehingga
informasi yang diperoleh lebih banyak. Umumnya, metode ini digunakan untuk
penyajian data dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner semiterstruktur.
Identifikasi Faktor-faktor Resiliensi Sistem Sosial-ekologi Lamun
Dua aspek digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiliensi SES,
yaitu aspek ekologi dan sosial-ekonomi. Aspek ekologi meliputi komposisi jenis
lamun, kerentanan perubahan fase, cadangan benih lamun, pemulihan lamun,
kesehatan habitat lamun, tutupan makroalga, indikasi eutrofikasi, tren penutupan
lamun. Pengambilan data untuk komposisi jenis lamun dan kesehatan habitat lamun
dilakukan dalam setiap belt transect sepanjang 20 m (Irving et al. 2013) (Gambar
5). Dua seri belt transect dipasang di masing-masing desa atau stasiun, yaitu di
dekat pantai (A) dan tubir (B). Dalam sebuah belt transect memiliki 3 titik
sampling, sehingga total transek tersebut berjumlah 6 buah di masing-masing desa
atau stasiun. Area lamun ditentukan dari total penutupan lamun sepanjang transek.
Kontinuitas lamun merupakan jumlah kelompok lamun yang terbentuk dalam
transek.

17
Kedekatan lamun dilihat berdasarkan jarak antar kelompok lamun dalam
transek. Tutupan lamun yang dimaksud disini adalah tutupan relatif lamun karena
penghitungannya dilakukan dengan menerapkan skoring terlebih dahulu terhadap
tutupan lamun di setiap transeknya. Jenis lamun disini