Hubungan Fungsional Sebaran Jenis Lamun Dengan Kemunculan Dugong Dugon Di Pulau Bintan (Desa Pengudang Dan Desa Busung), Kepulauan Riau

HUBUNGAN FUNGSIONAL SEBARAN JENIS LAMUN
DENGAN KEMUNCULAN Dugong dugon DI PULAU BINTAN
(Desa Pengudang & Desa Busung) KEPULAUAN RIAU

JURAIJ

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Fungsional
Sebaran Jenis Lamun dengan Kemunculan Dugong dugon di Pulau Bintan
(Pengudang dan Busung), Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Juraij
NIM C551130011

RINGKASAN
JURAIJ. Hubungan Fungsional Sebaran Jenis Lamun dengan Kemunculan
Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang dan Desa Busung), Kepulauan
Riau. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan MUJIZAT
KAWAROE.
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan
berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal. Salah satu fungsi
ekologis ekosistem lamun adalah sebagai sumber makanan (feeding ground) serta
tempat berlindung organisme laut lainnya. Dugong (Dugong dugon) merupakan
mamalia herbivor yang memanfaatkan padang lamun sebagai habitat dan sumber
makanannya, dari 13 jenis lamun yang terdapat di Indonesia hanya sebagian yang
menjadi makanan favorit dugong yaitu Halophila, Cymodocea dan Halodule.
Pulau Bintan, Kepulauan Riau memiliki sebaran lamun yang cukup
beragam, terdapat 10 jenis lamun yang hidup di daerah tersebut. Kejadian

terdampar dan kemunculan dugong pada Pulau tersebut sering juga terjadi, tetapi
pendataan mengenai kemunculannya sangat minim. Penelitian ini bertujuan untuk
menilik sebaran jenis lamun pada area mencari makan (feeding area) Dugong
dugon, mengamati kemunculan Dugong dugong dan mengevaluasi hubungan
fungsional sebaran jenis lamun dengan kemunculan Dugong dugon di Pulau
Bintan (Desa Pengudang & Desa Busung).
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung
dilapangan dan wawancara, sementara analisis data dilakukan dengan analisis
komponen utama dan analisis faktorial korespodensi. Penelitian ini dilakukan
pada dua kawasan padang lamun di Pulau Bintan, yaitu Desa Pengudang (stasiun
1, 2, 3) dan Desa Busung (stasiun 4, 5, 6). Selama penelitian berhasil
teridentifikasi 10 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku (Hydrocharitaceae dan
Potamogetonaceae) dan 6 marga. Kesepuluh jenis tersebut adalah Cymodocea
rotundata, C. Serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule
uninervis, Halophila minor, H. ovalis, H. spinulosa, Syringodium isoetifolium dan
Thalassia hemprichii. Hasil wawancara dan observasi langsung dilapangan, ratarata kemunculan Dugong dugon di Desa Busung dan Desa Pengudang adalah 1-2
ekor pada setiap kemunculan.
Berdasarkan analisis korespodensi antara sebaran jenis lamun dan
kemunculan dugong, bahwa stasiun 1,3,4 dan 5 merupakan kawasan yang disukai
oleh dugong untuk mencari makan, yang didominasi oleh jenis-jenis lamun

Halophila sp, Halodule sp, Thalassia sp dan Cymodocea sp yang banyak tumbuh
pada kawasan padang lamun tersebut. Hubungan fungsional antara dugong dan
lamun saling berkaitan, oleh karena itu kawasan ini perlu dilakukan pengawasan
dan pengamatan yang rutin, agar dapat menjaga pertumbuhan lamun dan
kelangsungan hidup mamalia laut langka yaitu dugong.
Kata kunci: Dugong dugon, feeding area, lamun, Pulau Bintan.

SUMMARY
JURAIJ. Functional Relationships Diversity of Seagrasses with Dugong dugon
Appearance at Bintan Island (Pengudang & Busung), Riau Island. Supervised by
DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan MUJIZAT KAWAROE.
Seagrass is flowering plant (Angiospermae) that live and thrive in shallow
waters environment. The ecological function of seagrass ecosystems is a feeding
ground for marine organisms. Dugong (Dugong dugon) is a herbivore mammal
utilize seagrass for habitat and feeding. Halophila sp., Cymodocea sp. and
Halodule sp. are the most favorite species that consumed by them from 13 species
found in Indonesian coastal ecosystem.
Bintan Island is one of island in Riau, has a high distribution of seagrass
diversity. There are 10 species grows and forms in the heterogeneous seagrass
bed. The appearance of stranded dugongs at Bintan Island frequently occurs but

the official data still uncover.. This study was conducted to determine the
distribution of seagrass species in feeding area Dugong dugon, to observe the
appearance of Dugong dugon and to evaluate the functional relationships,
diversity of seagrass with Dugong dugon appearance at Bintan Island, Riau
Islands (Pengudang & Busung village).
The method used in this research was direct field observation and
interviews, while the data analysis by principal component analysis and
correspondence analysis. This research was observed in two seagrass area in
Bintan Island, that is Pengudang (stations 1, 2, 3) and Busung (stations 4, 5, 6).
During the observation was successful identified 10 species of seagrasses are
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila spinulosa,
Thalassia hemprichii belong to Hydrocaritaceae family and Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Syringodium isoetifolium belongs to Potamogetonaceae family. The result of
interviews and direct observations in the field, average appearance of Dugong
dugon at Busung and Pengudang were 1-2 individuals on each appearance.
Based on the correspondence analysis diversity of seagrasses species and
Dugong dugon appearance at station 1,3,4 and 5 were preferred area by dugong
for foraging, which is dominated by species of seagrass Halophila sp., Halodule
sp., Thalassia sp. and Cymodocea sp. The functional relationship between dugong

and seagrass is interlinked, therefore this area need to be conducted a routine
surveillance and observation, in order to keep the seagrass and survival of
dugongs from extinction. .
Keywords: Dugong dugon, feeding area, seagrass, Bintan Island.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

HUBUNGAN FUNGSIONAL SEBARAN JENIS LAMUN
DENGAN KEMUNCULAN Dugong dugon DI PULAU BINTAN
(Desa Pengudang & Desa Busung) KEPULAUAN RIAU

JURAIJ


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Pro. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah ekologi laut, dengan judul Hubungan Fungsional Sebaran Jenis
Lamun dengan Kemunculan Dugong dugon di Pulau Bintan (Pengudang dan
Busung), Kepulauan Riau.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjan IPB ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof Dr Ir Dietriech Geoffrey Bengen, DEA
dan Ibu Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, motivasi, ide dan waktu untuk penulis. Dr Ir Neviaty P.
Zamani, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu Kelautan. Prof. Dr. Ir. Dedi
Soedharma, DEA atas kesediannya sebagai penguji luar komisi yang telah
memberikan saran dalam menyempurnakan thesis ini. Wawan Kiswara M.Sc,
yang telah banyak memberikan masukan dan kritiknya pada penelitian ini.
Teman-teman S2 IKL 2013 yang telah banyak memberikan saran dan masukan.
Tim Spermi yang telah membantu dalam penyusunan rangka Dugong di Bintan
(Dr. Syamsuh Bahri A. M.Si, Adriani M.Si, Muta Ali K, Erik M, Rizky R. Fitri
dan Adie H). DKP Bintan yang telah membantu dalam data dan lokasi penelitian.
Keluarga di Bintan yang telah menerima untuk tinggal selama penentian dan
Beasiswa Unggulan Calon Dosen 2013 DIKTI yang memberikan kesempatan bagi
penulis untuk melanjutkan sekolah. Rasa terimakasih penulis ucapkan kepada aba,
umi dan adik-adik serta seluruh keluarga atas doa, semangat dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya
ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya, masyarakat
pada umumnya dan program Konservasi Dugong dugon di Indonesia.


Bogor, Januari 2016

Juraij

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
3
3
3
3
3
3
5

5
16
16
16
17
20
27

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Alat dan Bahan Penelitian
Penutupan Jenis lamun (%) pada lokasi penelitian
Kerapatan (individu/100m2) jenis lamun
Kualitas perairan pada Lokasi Penelitian

Kemunculan Dugong Pada Padang Lamun Desa Pengudang
Kemunculan Dugong Pada Padang Lamun Desa Busung

4
7
8
9
11
13

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Skema pengambilan data sebaran jenis lamun
Peta Lokasi Penelitian
Analisis Korelasi Faktor Lingkungan dengan Lamun
Rangka Dugong yang telah dirangkai kembali
Anak Dugong dugon yang ditemukan di Desa Busung
Cropping lamun Thalassia hemprichii oleh Dugong dugon
Analisis faktorial korespondensi antara lamun dan dugong

4
5
10
12
12
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1. Keragamana Jenis Lamun Desa Busung dan Pengudang
2. Lamun yang ditemukan pada kawasan feeding ground Dugong dugon
3. Dugong yang ditemukan di Desa Pengudang
4. Matriks (Correspondence Analysis) CA
5. Hasil (Principal Component Analysis) PCA
6. Kuesioner

20
20
21
21
22
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan
berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, estuari dengan kadar
garam tinggi, daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air
surut, pada subtrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang. Lamun
memiliki daun, batang rhizoma dan akar (Kawaroe 2009), walaupun
persentasenya kecil, lamun dapat menghuni daerah perairan laut dangkal sampai
ribuan km2.
Terdapat sekitar 60 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh
pada perairan laut dangkal yang memiliki substrat pasir atau lumpur. Lamun ini
terdiri dari empat suku (famili) yaitu suku Zosteraceae, Potamogetonaceae,
Posidoniaceae dan Hydrocharitacea (Larkum et al. 2006). Dari 60 jenis lamun
tersebut, terdapat 13 jenis yang ditemukan di Indonesia yaitu Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule
uninervis, Halophila decipiens, H. minor, H. ovalis, H. spinulosa, H. sulawesii,
Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Thalassodendron ciliatum
(Kuo 2007).
Fungsi ekologis ekosistem lamun adalah: (1) produsen primer, (2) pendaur
unsur hara, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat
menangkap sedimen (sediment trapping), (4) sebagai habitat, tempat pemijahan
(spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground) dan tempat mencari
makan (feeding ground) serta tempat berlindung organisme laut lainnya
(Nybakken 1992).
Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik
secara alami maupun oleh aktivitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap
integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat
dipandang di luar batas kesinambungan biologi.
Bengen (2001) menjelaskan bahwa terdapat dua dampak yang dapat terjadi
pada ekosistem lamun, yaitu (1) Dampak kegiatan manusia pada ekosistem
padang lamun seperti, pengerukan, pencemaran limbah dan perusakan total
padang lamun. (2) Dampak sekunder pada perairan seperti, meningkatnya
kekeruhan air, biological magnification, penurunan kandungan oksigen terlarut
dan eutrofikasi. Dengan adanya dampak-dampak tersebut, diperkirakan padang
lamun yang terdapat pada suatu perairan akan berangsur rusak. Hal ini secara
tidak langsung akan mengakibatkan hilangnya organisme yang memanfaatkan
padang lamun sebagai tempat untuk berlindung atau tempat untuk mencari makan
seperti dugong (Dugong dugon).
Dugong (Dugong dugon) merupakan mamalia laut dari ordo sirenia dan
famili Dugongidae, di dunia hanya ada satu jenis dugong yaitu Dugong dugon,
hidup pada perairan laut dangkal dari pesisir timur Afrika sampai Vanatu di
sebelah tenggara Papua New Guinea, sedangkan sebaran dugong di Indonesia
mulai dari utara Sumatera sampai dengan timur Papua.
Keberadaan dugong di Indonesia sangat sulit untuk diketahui dan
ditemukan, Marsh (2002) menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an diperkirakan
jumlah populasi dugong di Indonesia adalah sekitar 10,000 ekor, sedangkan pada

2

tahun 1994 diperkirakan sekitar 1,000 ekor. Selain keberadaannya yang sudah
sulit untuk ditemukan, dugong juga termasuk kategori hewan yang dilindungi dan
menurut IUCN (1996) termasuk hewan yang rentan kepunahan (vulnerable),
keadan ini bisa terjadi karena dugong merupakan salah satu hewan yang sering
diburu untuk dipergunakan sebagai makanan dan obat-obatan, seperti yang
banyak terjadi di perairan Bintan, dugong di buru oleh para suku laut.
Dugong merupakan mamalia laut herbivor yang memanfaatkan lamun
sebagai sumber makanannya, dari 13 jenis lamun yang terdapat di Indonesia
hanya sebagian yang menjadi makanan favorit dugong yaitu Halophila sp (Preen
1995), Cymodocea sp dan Halodule sp (Heinsohn dan Birch 1972). Tidak seperti
hewan herbivor lainnya yang lebih menyukai tumbuhan yang berserat atau
berselulose, dugong lebih memilih jenis tumbuhan lamun yang lembut dan mudah
dicerna tetapi mempunyai nilai gizi tinggi. Berbeda dengan penyu yang memakan
lamun hanya pada bagian daunnya saja, dugong mencongkel dan menggali
seluruh tumbuhan lamun sampai ke akar-akarnya, untuk dimakan (De longh
1995).
Padang lamun merupakan salah satu tempat yang dipergunakan oleh
dugong untuk melakukan aktivitas makan, jejak makan atau feeding trail yang
ditinggalkan oleh dugong dapat dijadikan sebagai indikator keberadaanya dan
juga keanekaragaman jenis lamun, terutama lamun-lamun yang menjadi favorit
dugong sebagai makanannya. Kajian mengenai sebaran jenis lamun pada kawasan
feeding area dan kemunculan Dugong dugon di Indonesia terakhir dilakukan oleh
De Iongh pada tahun 1997 (Kepulauan Lease).
Pulau Bintan, Kepulauan Riau memiliki sebaran lamun yang cukup
beragam, terdapat 10 jenis lamun yang hidup di daerah tersebut yaitu: Cymodocea
rotundata (CR), C. serrulata (CS), Enhalus acoroides (EA), Halodule uninervis
(HU), Halodule pinifolia (HP), Halophila ovalis (HO), H. spinulosa (HS),
Thalassia hemprichii (TH), Thalassodendron ciliatum (TC) dan Syringodium
isoetifolium (SI) (Trismades 2008).
Jika dilihat dari data sebaran lamun tersebut, padang lamun yang berada
di Pulau Bintan sesuai dengan preferensi makan dugong di wilayah tropis (De
Iongh et al. 1997). Kejadian terdampar dan kemunculan dugong pada pulau ini
sering juga terjadi, tetapi pendataan mengenai kemunculannya sangat minim.
Oleh karena itu, kajian hubungan fungsional sebaran jenis lamun dan kemunculan
dugong di Pulau Bintan (Desa Pengudang dan Desa Busung) Kepulauan Riau
perlu dilakukan, sebagai upaya konservasi lamun dan Dugong dugon pada daerah
tersebut.
Perumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Jenis lamun apa saja yang berada pada kawasan feeding area Dugong
dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang & Desa Busung).
2. Bagaimana kemunculan Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang
& Desa Busung).
3. Bagaimana hubungan fungsional sebaran jenis lamun dengan kemunculan
Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang & Desa Busung).

3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas dapat dirumuskan
tujuan sebagai berikut:
1. Menilik sebaran jenis lamun pada area mencari makan (feeding area)
Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang & Desa Busung).
2. Mengamati kemunculan Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang
& Desa Busung).
3. Mengevaluasi hubungan fungsional sebaran jenis lamun dengan
kemunculan Dugong dugon di Pulau Bintan (Desa Pengudang & Desa
Busung).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru mengenai
sebaran jenis lamun pada area Feeding Area Dugong dugon dan hubungan antara
lamun dengan kemunculan hewan tersebut di Pulau Bintan, khususnya di Desa
Pengudang dan Desa Busung, sebagai langkah awal konservasi lamun dan
Dugong dugon di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Batasan penelitian ini mencakup sebaran jenis lamun dan kemunculan
Dugong dugon di Pulau Bintan, khususnya Desa Pengudang dan Desa Busung.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 – Februari 2015 di
Pulau Bintan (Desa Pengudang dan Desa Busung) Kepulauan Riau.
Pengumpulan Data
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari padang lamun yang
digunakan oleh dugong dalam mencari makan, metode yang digunakan yaitu
wawancara terhadap nelayan setempat dan pemerintah setempat. Dalam penelitian
pendahuluan juga dilakukan pencarian jejak jalur makan atau feeding trail, luasan
survei yang dipergunakan disesuaikan dengan luasan padang lamun yang berada
di lokasi penelitian.
Pengambilan Data Sebaran Jenis Lamun
Pengambilan data sebaran jenis lamun ini dilakukan secara sistematis,
metode yang dipergunakannya yaitu pada setiap stasiun mengambil 3 garis
transek mengikuti garis pantai dengan panjang setiap transek 100 m dan jarak

4

antar garisnya 25 m. Pada setiap garis transek diamati ekosistem lamun dengan
bantuan transek plot berukuran 0.5 x 0.5 m2 yang dimulai dari titik 0 m dan
diulangi setiap 10 m sampai dengan 100 m (English et al. 1997). Data yang
diambil pada pengambilan data ini yaitu : jenis lamun, kerapatan lamun,
penutupan lamun dan biomassa lamun. Selain data biologi, dilakukan juga
pengambilan data faktor lingkungan (fisika-kimia) seperti : jenis substrat, suhu,
salinitas, pH, DO dan arus. Jenis-jenis lamun yang terdapat pada setiap plot
diamati dan dicatat dengan mengacu kepada Den Hartog (1977), Tomascik et al.
(1997) dan Mckenzie dan Yoshida (2009).

Gambar 1 Skema pengambilan data sebaran jenis lamun
Karakteristik setiap spesies yang berbeda berpengaruh pada zonasi yang
terbentuk pada hamparan padang lamun, terutama pada padang lamun dengan tipe
vegetasi campuran. Zonasi lamun yang terbentuk juga dipengaruhi oleh bentuk
topografi lokasi padang lamun berada. Padang lamun membentuk tiga zonasi
berdasarkan kedalamannya yaitu zona I merupakan daerah dangkal yang selalu
terbuka saat air surut(0–1 m); zona II berupa daerah pasang surut namun
tetap terendam air pada saat air surut ( 1– 5 m); dan zona III berupa daerah laut
selalu terendam air, tidak terpengaruh dengan pasang surut (5– 35 m) (Azkab
2006). Selain data sebaran jenis lamun, dilakukan juga pengambilan data zonasi
yang dapat dipergunakan sebagai data tambahan.
Pengambilan Data Kemunculan Dugong dugon
Metode yang digunakan untuk mendata kemunculan dugong ada 2 yaitu,
metode pertama, melakukan survei keberadaan feeding trail pada kawasan padang
lamun. Feeding trail atau jejak makan dari dugong sangat jelas terlihat, Mukai et
al. (1999), menemukan bahwa jejak makan atau alur makan yang ditinggalkan
oleh dugong rata-rata 5,1 m2. Metode kedua yaitu dengan melakukan wawancara
terhadap nelayan yang melakukan aktivitas pada kawasan feeding area tersebut.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner mengenai tangkapan
dugong yang diadopsi dalam bahasa Indonesia (lampiran) dengan metode Rapid
Rural Appraisal (RRA).

5

Analisis Data
Data yang diperoleh dikelompokkan menurut stasiun dan disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat
keterkaitan faktor lingkungan dengan sebaran jenis lamun menggunakan analisis
komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis komponen
utama berguna untuk mereduksi data, sehingga lebih mudah untuk
menginterpretasikan data-data tersebut, sedangkan untuk mengavaluasi hubungan
sebaran jenis lamun dengan kemunculan dugong menggunakan analisis faktorial
korespondensi (Correspondence Analysis, CA), menggunakan XL-STAT 2015.
Analisis koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan antara modalitas dari
dua karakter atau variabel pada variabel matrik data kontingensi serta mencari
hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antar
individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data disjungtif lengkap
(Bengen 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua kawasan padang lamun di Pulau Bintan,
yaitu Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sobong dan Desa Busung, Kecamatan
Bintan Utara. Kawasan padang lamun di Desa Pengudang telah menjadi Daerah
Perlindungan Lamun (DPL), sedangkan pada Desa Busung belum menjadi daerah
perlindungan lamun, kedua kawasan tersebut merupakan feeding area Dugong
dugon. Informasi kemunculan dugong pada kedua kawasan tersebut telah
diketahui dari tahun 1970an oleh para nelayan yang melakukan aktivitasnya pada
kawasan tersebut. Penempatan stasiun pada lokasi penelitian yaitu : Stasiun 1, 2, 3
pada Desa Busung dan Stasiun 4,5 dan6 pada Desa Pengudang, seperti Gambar 2.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

6

Stratifikasi Lamun Pada Lokasi Penelitian
Selama penelitian berhasil teridentifikasi 10 jenis lamun yang termasuk
dalam 2 suku (Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae) dan 6 marga. Kesepuluh
jenis tersebut adalah Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Enhalus acoroides,
Halodule pinifolia, Halodule uninervis, H. minor, H. ovalis, H. spinulosa,
Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii. Jenis lamun Halophila
spinulosa dan Halophila minor hanya ditemukan pada stasiun 1 Desa Busung,
sedangkan jenis lamun lainya terdapat pada kelima stasiun lainnya.
Padang lamun yang berada pada lokasi penelitian mememiliki tipe
vegetasi campuran, yaitu padang lamun yang pada umumnya terdiri dari 4 sampai
8 spesies. Menurut Hemminga & Duarte (2000) mengatakan bahwa karakteristik
padang lamun pada daerah tropis dan subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed
vegetation).
Setiap stasiun memiliki jenis lamun yang termasuk jenis pioner, seperti :
H. ovalis, H. pinifolia dan C. rotundata. Jenis-jenis lamun ini memiliki ukuran
relatif kecil, laju pertumbuhan yang cepat dan masa hidup yang lebih singkat
(Hilman et al. 1989; Duarte 1991). Jenis tumbuhan pioner merupakan jenis yang
pertama menempati lokasi setelah terjadinya gangguan (Duarte et al. 1997), salah
satu marga diantaranya, yaitu Halodule yang bersifat eurybiotic dan mampu
tumbuh pada awal substrat yang baru terbentuk atau telah tejadi gangguan
(Phillips & Menez 1988). Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya urutan
pergantian jenis dalam proses suksesi selama pemulihan setelah adanya gangguan.
Percobaan yang dilakukan pada habitat lamun yang telah rusak di Karibia
(Hemminga & Duarte 2000) menunjukan jenis lamun pioner Halodule wrightii
akan digantikan oleh Syringodium fliforme dan akhirnya akan tergantikan atau
klimaks oleh Thalassia testudinum, selama pemulihan.
Hasil penelitian Duarte et al.(1997) menunjukan bahwa jenis tumbuhan
yang terakhir tumbuh berukuran besar sensitif terhadap gangguan kekeruhan,
namun beberapa diantaranya tahan terhadap kondisi ini, seperti Enhalus acoroides
(Terrados et al. 1997) dan C. serrulata (Duarte et al. 1997). Kemampuan adaptasi
pada jenis ini yang mengakibatkan penyebaran jenis ini pada hampir ditemukan
pada setiap stasiun.
Jenis Halophila spinulosa hanya ditemukan pada stasiun 1 dan tidak
terdapat pada stasiun lainnya. Jenis ini merupakan jenis lamun dengan bentuk
daun bulat-panjang menyerupai pisau wali, memiliki 4 sampai 7 pasang tulang
daun. Daun dapat berpasangan sampai 22 pasang, serta memiliki tangkai yang
panjang. Bengen (2004) menjelaskan bahwa lamun jenis ini biasanya tumbuh
pada rataan terumbu karang yang rusak, tetapi berbeda dengan kondisi pada
stasiun 1 ini, jenis substratnya berlumpur dan tidak terdapat terumbu karang.
Tingkat penutupan lamun sangat berkaitan dengan kerapatan dan juga
morfologi (ukuran) jenis lamun penyusunnya. Penutupan lamun yang tinggi
umumnya di dominasi oleh jenis dengan morfologi yang besar (E. acoroides, C.
rotundata, T. hemprichii). Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian
(Tabel 2), stasiun 2 yang berada pada Desa Busung memiliki nilai penutupan yang
rendah (24%) sehingga tergolong dalam kondisi miskin (< 29.9%), sedangkan
pada stasiun 1 dan 3 (Desa Busung) serta 5 dan 6 (Desa Pengudang) termasuk

7

dalam kondisi kurang kaya atau kurang sehat (30 – 59.9 %) dan penutupan lamun
tertinggi terdapat di Desa pengudang (70.3%) sehingga dalam kriteria penutupan
lamun termasuk dalam kondisi kaya atau sehat (≥ 60%), hal ini berdasarkan
Kepmen LH 200 tahun 2004. Secara umum Desa Pengudang memiliki penutupan
lamun yang baik dan dalam kondisi sehat. Hal ini di karenakan lamun yang berada
pada desa ini telah menjadi Daerah Perlindungan Lamun (DPL), segala aktivitas
yang berkaitan dengan lamun pada daerah ini telah diatur oleh perundangundangan setempat, oleh karena itu menjadikan lamunnya tetap kaya dan sehat.
Tabel 2 Penutupan Jenis lamun (%) pada lokasi penelitian
Penutupan Lamun (%)
No.

Jenis Lamun

Busung
1

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Enhalus acoroides
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Thalassia hemprichii
Cymodoceae rotundata
Cymodoceae serrulata
Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Syringodium isoetifolium
Total Penutupan (%)

Pengudang

2

3

4

5

6

1.7

2.3

3.1

2.7

2.2

29.1

22.1

19.2

16.5

9.6

8.7

13.9

28.1

11.1

14.9

8.2

4.7

8.3

3.8

7.9

3.5

3.7

4

7.5

4.2

7.6

3

70.3

54.6

51.3

6.3
5.5
2
3.5

2.2
12.5

3.6

2.5
30.3

24

38.3

Penutupan lamun pada suatu perairan berhubungan erat dengan habitat
atau bentuk morfologi dan ukuran spesies lamun. Kerapatan lamun yang tinggi
dan kondisi pasang surut pada saat pengamatan juga sangat berpengaruh pada
nilai estimasi penutupan lamun yang didapatkan, seperti pada stasiun 4, 5 dan 6
yang memiliki kerapatan lamun yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun
lainnya, hal ini yang mengakibatkan kondisi padang lamun di stasiun tersebut
lebih kaya atau sehat. Selain kerapatan, morfologi jenis lamun juga sangat
berkaitan terhadap nilai penutupan lamun pada suatu kawasan. Penutupan lamun
yang tinggi umumnya di dominasi oleh jenis dengan morfologi yang besar (E.
acoroides, C. rotundata, T. hemprichii), menurut Short dan Coles 2001, satu
individu Enhalus acoroides akan memiliki nilai penutupan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan satu individu Halodule uninervis karena ukuran daun
Enhalus acoroides yang jauh lebih besar, sedangkan individu lamun yang
berukuran lebih kecil seperti Halophila minor akan memiliki nilai persentase
penutupan yang lebih kecil.
Secara umum Desa Pengudang memiliki penutupan lamun yang lebih baik
dan dalam kondisi sehat. Hal ini di karenakan lamun yang berada pada desa ini
telah menjadi Daerah Perlindungan Lamun (DPL), segala aktivitas yang berkaitan
dengan lamun pada daerah ini telah diatur oleh perundang-undangan setempat,
oleh karena itu menjadikan lamunnya tetap kaya dan sehat. Berbeda dengan Desa
Busung, kawasan ini belum menjadi Daerah Perlindungan Lamun (DPL) dan

8

adanya gangguan yang terjadi, seperti reklamasi pantai untuk pembangunan
bandara.
Berdasarkan pengamatan kerapatan lamun (Tabel 3), stasiun 1 memiliki
kerapatan lamun tertinggi yaitu pada jenis H. uninervis, jenis ini merupakan
lamun yang berukuran kecil dan tidak lebar, kerapatan lamun jenis ini lebih tinggi
dibandingkan dengan keempat jenis lamun lainnya, karena hidup pada substrat
lumpur yang sesuai dengan karakteristik jenis lamun tersebut. Kerapatan lamun
tertingi pada stasiun 2, 4 dan 6 yaitu jenis lamun Thalassia hemprichii, tumbuhan
ini merupakan jenis lamun yang mampu mentolerir kekeruhan (Terrados et al.
1997), oleh karena itu pada umumnya ditemukan pada substrat pasir, pecahan
karang dan juga substrat campuran lumpur pasir serta lumpur lunak (Phillips &
Menez 1988).
Tabel 3 Kerapatan (individu/100 m2) jenis lamun
Kerapatan Lamun (100m2)
No

Jenis Lamun

Busung
1

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Enhalus acoroides
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Thalassia hemprichii
Cymodoceae rotundata
Cymodoceae serrulata
Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Syringodium isoetifolium

2

Pengudang
3

4

5

6

28
168

40 68 64 56
380 420 392 240

176
40

240 616 264 372
180 112 208
84 188 88
112
220 260 188
256 492 208

280
244

156
552
64

72

Kerapatan lamun yang paling tinggi pada stasiun 3 dan 5 yaitu jenis lamun
H.ovalis. H. ovalis merupakan tumbuhan pionir yang mampu tumbuh dan
bertahan pada kondisi yang kurang baik atau gangguan dan memiliki
pertumbuhan yang cepat, sedangkan jenis lamun yang memiliki tegakan terendah
pada seluruh stasiun yaitu jenis E. acoroides, lamun jenis ini pada umumnya
hidup di sedimen berpasir atau berlumpur dan daerah dengan bioturbasi tinggi,
sehingga dapat beradaptasi dengan perairan keruh. Morfologinya yang besar dan
cukup lebar, membuat kehadiran E. acoroides dalam setiap transek tidak terlalu
rapat, oleh karena itu memiliki kerapatan yang rendah. Zieman (1986)
mengemukakan bahwa kerapatan lamun di suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi
abiotis seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat dan kandungan zat
hara. Menurut Terrasdos et al. (1997), pada umumnya peran jenis lamun
(misalnya kerapatan atau biomassa) cenderung didominansi oleh satu atau
beberapa jenis saja dalam suatu komunitas. Hal ini terkait kemampuan jenis
lamun dalam beradaptasi dengan lingkungan setempat.

9

Sebaran Karakteristik Perairan Pada Ekosistem Lamun
Secara umum kondisi lamun pada seluruh stasiun pada saat pasang, lamun
tenggelam dan ketika surut terendah hampir semua lamun terpapar. Sebagian
besar jenis lamun tidak mampu mentoleransi kondisi kekeringan sehingga tidak
mampu untuk tumbuh pada zona intertidal, hanya jenis lamun yang berukuran
kecil dan mampu menahan air di antara daun-daunnya, sehingga ketika terpapar
pada surut terendah mampu bertahan pada daerah tersebut seperti jenis lamun
Halodule uninervis yang banyak ditemukan pada Desa Pengudang. Namun
beberapa jenis lamun tidak mampu bertahan terhadap kekeringan misalnya S.
isoetifolium (Bjork et al. 1999) yang ditemukan pada kolam-kolam dangkal pada
daerah terumbu (Phillips & Menez 1988).
Keberadaan jenis lamun dengan ukuran besar didaerah intertidal sangat
berkaitan dengan kemampuannya dalam menoleransi kondisi kekeringan. Bjork et
al. (1999) menyatakan bahwa kemampuan menoleransi kondisi kekeringan sangat
berhubungan dengan karakter morfologis dari daun itu sendiri dalam
meminimalisir tekanan kekeringan. Tanaka dan Nakaoka (2004) menemukan
bahwa laju kehilangan air pada bagian daun C. rorotundata dan C. serrulata jauh
lebih cepat dibandingkan T. Hemprichii, dengan demikian kondisi ini menunjukan
bahwa kedua jenis lamun ini rentan terhadap kekeringan. Namun perbedaan
toleransi fisiologis ini tidak sesuai dengan variasi yang diamati pada batas atas
distribusi atau variasi kelangsungan hidup yang diukur pada percobaan
transpalantasi (Tanaka & Nakaoka 2004), karena jenis C. rotundata juga
ditemukan pada daerah intertidal dan mempunyai kelangsungan hidup yang
tinggi. Seperti yang ditemukan pada stasiun 4, 5 dan 6 jenis pada kawasan
intertidalnya banyak sekali ditumbuhi oleh C. Rotundata.
Kehadiran jenis lamun pada suatu perairan sangat berkaitan dengan
kondisi fisik dan kimia pada perairan tersebut, Tabel 4 berikut merupakan hasil
pengukuran kualitas perairan pada lokasi penelitian.
Tabel 4 Kualitas perairan pada Lokasi Penelitian
Lokasi

Busung

Pengudang

Kualitas Perairan
Jumlah
Stasiun Suhu Salinitas
Jenis
DO
Arus
0
0
-1
( C)
( /00)
(mg/L ) (m/det) Lamun
St 1
28.5
34
7.4
0.06
5
St 2

28.6

33

7

0.1

5

St 3

28

33

7.4

0.1

3

St 4

28.6

34

6.4

0.9

7

St 5

29

34

7

0.11

7

St 6

28.6

33

8

0.1

8

Substrat

Lempung
berdebu
Lempung
berpasir

Berdasarkan pengukuran dilapangan, kualitas perairan pada keenam
stasiun tidak memiliki perbedaan yang sangat signifikan, karena hasil yang
didapatkan masih termasuk dalam kategori normal dan tidak jauh berbeda dalam
mendukung pertumbuhan lamun, oleh karena itu diperlukan analisis statistik

10

untuk menentukan kualitas perairan yang paling mendukung dalam pertumbuhan
lamun.
3
Jumlah Jenis Lamun
S6

2

Suhu

DO

F2 (32.92 %)

S5
1

S1

0
S2

Salinitas

-1
Arus

S3

S4

-2
-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

F1 (48.74 %)

Gambar 3 Analisis Korelasi Faktor Lingkungan dengan Lamun
Berdasarkan analisis hubungan parameter lingkungan dengan kehadiran
jenis lamun dalam setiap stasiunnya (Gambar 3) menunjukan bahwa, korelasi
antara kehadiran lamun dengan suhu berkorelasi positif yang kuat dengan nilai
0.79, hal ini menunjukan bahwa suhu berpengaruh dalam penyebaran lamun. Suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
metabolisme dan penyebaran lamun, proses metabolisme akan dapat berlangsung
pada suhu yang relatif sempit, yaitu pada rentan 00C sampai 400C. Selain suhu,
salinitas juga berkorelasi positif tetapi tidak terlalu kuat dengan nilai korelasi 0,20,
karena sebagian besar jenis lamun dapat mentoleransi kisaran salinitas yang lebar
dan lamun mampu hidup pada kisaran salinitas 10 – 400/00, seperti contoh
Thallassia ditemukan hidup pada salinitas antara 3.5 – 600/00 meskipun waktu
toleransi yang singkat (Zieman 1986), sedangkan jenis Halodule mampu hidup
pada salinitas diatas 720/00 (Phillips & Menez 1988), meskipun demikian jenis
lamun ini memiliki kondisi optimum pertumbuhan yaitu 350/00 (Dahuri 2003).
Korelasi antara lamun dengan DO dan arus berkorelasi positif namun tidak
kuat dengan nilai korelasi 0,17 dan 0,10, meskipun keduanya tidak berkorelasi
kuat tetapi memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan dan penyebaran
lamun. Pada gas oksigen terlarut (DO) terjadi fluktuasi pada kisaran 6.4 – 8.0
mg/L-1, fluktuasi ini terjadi dikarenakan pemakaian respirasi oleh lamun dan biota
air lainnya, meskipun terdapat fluktuasi kondisi ini masih tergolong normal.
Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) kadar perairan oksigen terlarut di
Indonesia berkisar 4.5 – 7.0 mg/L-1. Hasil pengukuran kecepatan arus berkisar
antara 0.06 – 0.1 m/detik, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Koch (2001)
bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan distribusi padang lamun yang sehat
diperlukan kecepatan arus yang sedang (0.05 – 1.00 m/det).

11

Berdasarkan hasil pengamatan sedimen pada lokasi penelitian, kedua
kawasan tersebut memiliki dua tipe sedimen berdasarkan asalnya. Padang lamun
yang berada pada Desa Busung memiliki tipe sedimen terrigenous (berasal dari
daratan) dikarenakan dekat dengan muara sungai, sedangkan padang lamun pada
Desa Pengudang terletak di rataan terumbu bertipe sedimen karbonat yang berasal
dari hancuran karang.
Berdasarkan hasil analisis terhadap ukuran partikel substrat, pada daerah
Busung didominasi partikel debu (56%) dan pasir (32%), sedangkan liat 12%,
sehingga tipe tekstur sedimen pada lokasi ini lempung berdebu. Pada daerah
Pengudang ukuran partikel substrat di dominasi pasir (51%) dan debu (48%),
sedangkan liat hanya 1%, sehingga tipe tekstur sedimen pada lokasi ini lempung
berpasir. Distribusi ukuran partikel sedimen sangat mempengaruhi pertukaran air
pori dengan kolom air di bagian atasnya. Pada distribusi ukuran partikel yang
cenderung ke arah debu dan liat akan menyebabkan pertukaran air pori dengan
kolom air menjadi rendah (Huttel & Gust 1992) sehingga konsentrasi nutrien dan
fitotoksin seperti sulfida dalam sedimen akan meningkat (Koch, 2001; Holmer &
Nielsen, 1997). Kondisi sebaliknya akan dialami oleh lamun jika menempati tipe
sedimen pasir kasar (Huettel & Gust 1992).
Kemunculan Dugong
Dugong merupakan mamalia herbivor yang hidup di perairan dangkal,
keberadaan hewan ini pada habitat aslinya sudah sangat sulit untuk ditemukan
khususnya di Indonesia.Hasil observasi langsung dilapangan keberadaan jejak
jalur makan (feeding trail) dari Dugong dugon pada kawasan padang lamun di
Desa Pengudang tidak dapat ditemukan, kemungkinan ini terjadi dikarenakan
lamun tumbuh pada substrat pasir berkarang. Oleh karena itu dugong tidak
memakannya dengan cara menempelkan mulutnya pada substrat, melainkan hanya
Cropping mengambil jenis-jenis lamun yang menjadi kesukaannya. Anderson
(1982) mengatakan salah satu strategi yang dilakukan oleh dugong pada saat
memakan lamun yaitu Cropping, dimana hanya mengambil bagian helaian daun
dan pelepah daun saja, dengan demikian sedimen tidak sampai teraduk, tidak
menimbulkan kepulan sedimen dan tidak meninggalkan jejak feeding trail.
Tabel 5 Kemunculan Dugong Pada Padang Lamun Desa Pengudang
No
1
2
3
4
5
6
7

Bulan Kejadian
Juni 2010
Desember 2010
Januari 2011
Desember 2012
Januari 2013
November 2013
Januari 2015

Jumlah yang ditemukan
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor

Kondisi
Hidup
Mati
Hidup
Mati
Mati
Hidup
Hidup

Tidak ditemukannya jejak jalur makan dugong (feeding trail) pada Desa
Pengudang, bukan berarti tidak adanya aktivitas dugong pada kawasan tersebut.

12

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan, dalam 5 tahun terakhir
terdapat 7 ekor dugong yang ditemukan pada di kawasan padang lamun Desa
Pengudang(Tabel 5) (lampiran 3). Penelitian ini juga didukung dengan adanya
penemuan dugong yang telah dikubur oleh warga setempat pada tahun 2012,
dimana dilakukan penggalian rangka dugong dan penyusunan kembali rangka
tersebut (Gambar 4). Hasil identifikasi yang dikaji oleh Home 1821, menunjukan
bahwa hewan tersebut terbukti adalah dugong, berdasarkan morfologi kepala dan
bagian lainnya sama dengan rangka dugong.

0,4 meter

Gambar 4 Rangka Dugong yang telah dirangkai kembali
Observasi jejak jalur makan atau feeding trail dugong pada Desa Busung
tidak dapat ditemukan, lamun pada kawasan ini tumbuh pada substrat lumpur
berdebu yang merupakan substrat yang sangat disukai oleh dugong untuk
memakan lamun. Kesulitan observasi jejak makan pada substrat lumpur berdebu
yaitu sedimentasi yang terakumulasi pada kolom air, hal ini menyulitkan
observasi dengan melakukan pegamatan visual (snorkling atau menyelam), karena
terbatasnya jarak pandang.

Gambar 5 Anak Dugong dugon yang ditemukan di Desa Busung

13

Seekor anak dugong yang tersangkut jaring nelayan di kawasan padang
lamun Desa Busung ditemukan pada saat observasi (Gambar 5), dugong tersebut
tersangkut jaring pada malam hari ketika air laut berangsur naik dari surut.
Informasi yang didapatkan dari nelayan terdapat 2 ekor dugong yang berada di
sekitar kapal nelayan yang sedang melakukan aktivitas makan, satu ekor terbelit
jaring dan satu ekornya berhasil lepas. Berdasakan identifikasi, dugong tersebut
berjenis kelamin jantan, berumur < 18 bulan dan masih tergolong anak (infant),
memiliki panjang 1.45 meter dan berat + 40 Kg.
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan Desa Busung, terdapat
7 ekor dugong pada kawasan padang lamun di desa ini dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir. Berikut Tabel 6 kemunculan dugong pada kawasan lamun Desa Busung:
Tabel 6 Kemunculan Dugong Pada Padang Lamun Desa Busung
No

Tanggal Kejadian

1
2
3
4
5
6
7

Januari 2011
Juni 2012
November 2012
Januari 2013
Desember 2013
November 2014
Februari 2015

Jumlah yang ditemukan Kondisi
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
1 Ekor
2 Ekor
1 Ekor

Hidup
Mati
Mati
Mati
Mati
Hidup
Mati

Berdasarkan observasi yang dilakukan, kemunculan dugong banyak terjadi
pada bulan November sampai dengan Februari yaitu pada Musim Barat atau
masyarakat Pulau Bintan mengenalnya dengan Musim Utara baik pada Desa
Busung dan Desa Pegudang. Kondisi perairan pada musim tersebut di Desa
Busung cukup tenang dan tidak banyak angin yang mempengaruhi gelombang dan
perairan sangat keruh, sedangkan di Desa Pengudang kondisi perairan sangat
bergelombang dan angin yang kencang. Menurut masyarakat Desa Busung
kemunculan dugong pada musim dan kondisi perairan tersebut, berkaitan dengan
tingkah laku dugong dalam melindungi diri dari ancaman masyarakat sekitar.
Dugong sangat menyukai perairan yang keruh dibandingkan dengan
perairan yang jernih. Oleh karena itu perilaku makan yang sering dilakukan
adalah dengan cara mencongkel lamun dan membuat kebulan debu, tingkah laku
ini merupakan salah satu cara dugong untuk membuat perlindungan diri . Menurut
masyarakat Desa Pengudang, pada bulan November sampai dengan Februari
nelayan selalu melihat keberadaan hewan ini baik sedang makan atau hanya
muncul ke permukaan untuk mengambil nafas, tetapi tidak pada tahun 2015. Hal
ini dicurigai karena adanya pendalaman pelabuhan intenasional di sekitar perairan
desa Pengudang, gangguan dan ancaman inilah yang membuat dugong tidak
muncul..
Aktivitas pendalaman berlangsung dari Oktober sampai dengan Desember
2014, telah dicurigai dugong mulai pergi menjauh untuk mencari makan, tidak
pada kawasan padang lamun Pengudang. Menurut Anderson (1982) dugong akan
pergi menjauh 150-500 m jika terdapat adanya gangguan kapal yang lewat, Preen
(1992) menambahkan dugong mampu mendeteksi + 1 km jika terdapat kapal yang
mendekat.

14

Hubungan Fungsional antara Dugong dan Lamun
Kemunculan dugong di Desa Busung banyak terjadi pada stasiun 1,
dimana terdapat 5 kemunculan dalam 5 tahun terakhir. Karakteristik sebaran jenis
lamun pada stasiun ini banyak ditumbuhi oleh jenis Halophila minor, Halophila
spinulosa, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata dan Syringodium
isoetifolium dengan tipe substrat yaitu lempung berdebu. Kemunculan dugong
lebih sering datang pada stasiun 1 dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya,
karena dugong lebih menyukai jenis-jenis lamun pionir seperti genus Halophila
dan Halodule, terutama pada bagian daunnya. Hal ini dikarenakan pada bagian
daun lamun tersebut memiliki kandungan N (nitrogen) yang tinggi dan rendah
serat, dan bagian bawah tanahnya (berupa rhizoma atau rimpang dan akar) banyak
mengandung karbohidrat dan berenergi tinggi (De longh 1995).
Selain faktor makanan, substrat juga menjadi faktor yang berperan dalam
kegiatan makan memakan dari dugong. Jenis substrat lempung berdebu
merupakan jenis substrat yang disukai dugong pada saat makan, karena pada
subtrat ini di dominasi oleh 56% debu. Hal ini memudahkan untuk dugong pada
saat makan, karena ketika makan dugong menempelkan bagian mulutnya untuk
mencongkel dan menggali seluruh tumbuhan lamun, sampai ke akar-akarnya,
untuk dimakan (Nontji 2015). Pada saat pengamatan di lapangan, ditemukan juga
2 ekor dugong dengan ukuran 1.45 meter dan 2.5 meter yang sedang mencari
makan di kawasan padang lamun Desa Busung, dugong tersebut masih tergolong
anak dan dewasa. Hal ini menandakan bahwa kawasan padang lamun Busung
merupakan kawasan padang lamun yang dipergunakan oleh dugong untuk
mencari makan.
Kemunculan dugong pada Desa Pengudang lebih sering ditemukan pada
stasiun 4 dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya, stasiun ini banyak
ditumbuhi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea
serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Halodule uninervis,
dengan karakteristik substrat lempung berpasir. Kemunculan dugong sering terjadi
pada stasiun 4 karena terdapat jenis lamun yang menjadi kesukaannya yaitu jenis
lamun Halophila. Stasiun 4 lebih minim gangguan dari masyarakat terutama
gangguan dari pembangunan pelabuhan internasional.
Pemilihan jenis lamun menjadi sumber pakan dugong merupakan salah
satu perilaku mamalia herbivor . Preen (1993) menjelaskan bahwa karbohidrat
merupakan faktor penting yang dibutuhkan oleh dugong, sehingga mamalia laut
cukup selektif dalam pemilihan pakan. Thalassia hemprichii bukan makanan yang
menjadi preferensi dugong pada suatu padang lamun, tetapi kondisi di Desa
Pengudang jenis lamun yang tumbuh tidak terlalu besar dan kecil-kecil, hal ini
menjadikan dugong tetap datang memakan jenis tersebut, karena dugong lebih
menyukai tumbuhan yang berserat atau berselulose, lembut dan mudah dicerna
namun memiliki nilai gizi tinggi (De longh, 1995), ( Gambar 6). Jenis-jenis
lamun pada stasiun 4 , seperti Cymodocea sp dan Halodule sp merupakan jenisjenis lamun yang menjadi preferensi makan dugong di pesisir tropis Indonesia.
Menurut De Iongh et al. (1997) dugong di Kepulauan Lease (Maluku) memiliki
preferensi makan lamun dengan urutan sebagai berikut: Halophila ovalis >
Halodule uninervis > Cymodocea rotundata > Cymodocea serrulata > Thalassia
hemprichii.

15

Gambar 6 Cropping lamun Thalassia hemprichii oleh Dugong dugon
1.5

P
1

St 3

St 2
F2 (15.55 %)

0.5

0

-0.5

Hm
St 1 Hs

Dugong

EA Ho C
Th
N
St 4
St 5

Hu

Cr St 6

Cs
Si

-1

Hp
-1.5
-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

F1 (69.74 %)
Jenis Lamun,Nutrien,Dugong

Stasiun

Gambar 7 Analisis faktorial korespondensi antara lamun dan dugong
Berdasarkan analisis faktorial korespondens (Gambar 7), stasiun 2, 3 dan 4
dicirikan oleh jenis lamun Halophila ovalis, Enhalus acroides dan Thalassia
hemprichi yang mendominasi pada stasiun tersebut dan juga memiliki unsur hara
(C dan P) yang tinggi dalam substrat, sehingga bermanfaat dalam pertumbuhan
lamun. Stasiun 5 dan 6 memiliki karakteristik yang sama dengan dicirikan oleh
dominasi jenis lamun Cymodocea rotundata. Stasiun 1 memiliki karakteristik
yang paling berbeda dibandingkan dengan stasiun yang lainnya, karena pada
stasiun ini ditemukan jenis lamun Halophila spinulosa, Halophila minor dan
didominasi jenis Halodule uninervis. Jenis lamun Halodule pinifolia, Syringodium
isoetifolium dan Cymodocea serrulata tidak mencirikan dari setiap stasiunnya, hal
ini dikarenakan jenis-jenis tersebut ditemukan pada setiap stasiunnya dengan nilai
kerapatan yang rendah. Kemunculan dugong, erat hubungannya dengan
karakteristik seperti pada stasiun 2, 3 dan 4, namun tidak menutup kemungkinan
dugong juga terkait dengan karakteristik stasiun 1, 5 dan 6 untuk mencari makan.

16

Berdasarkan analisis tersebut, bahwa stasiun 1,3,4 dan 5 merupakan
padang lamun yang disukai oleh dugong untuk mencari makan yang didominasi
oleh jenis-jenis lamun Halophila sp, Halodule sp, Thalassia sp dan Cymodocea
sp. Pada dasarnya dugong merupakan mamalia herbivor yang makanan utamanya
adalah lamun atau tumbuhan meskipun ketika ketersediaan lamun pada suatu
daerah hanya satu atau dua jenis lamun, dugong akan survive dengan hal tersebut.
Seperti dugong yang berada pada perairan Thailand, hanya terdapat satu jenis
lamun yang tumbuh pada perairan tersebut yaitu Enhalus acoroides, tetapi dugong
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena dugong memiliki preferensi
atau makanan kesukaan pada jenis lamun tertentu untuk dimakan secara regular
(Adulyanukosol 2006).
Data sebaran jenis lamun dan kemunculan dugong yang dikemukakan
diatas pada kedua kawasan padang lamun tersebut, mengindikasikan bahwa kedua
kawasan tersebut merupakan padang lamun yang digunakan oleh dugong sebagai
areal makanan (feeding area) dan juga sebagai habitat dugong dalam melakukan
berbagai aktivitas. Hal ini didasarkan dari ketersediaan, kerapatan, penutupan
jenis lamun yang menjadi kesukaannya dan juga kemunculan dugong yang berada
pada kawasan tersebut. Oleh karena itu kawasan ini perlu dilakukan pengawasan
dan pengamatan yang rutin, agar dapat menjaga pertumbuhan lamun dan
kehidupan mamalia laut langka yaitu dugong. .

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebaran jenis lamun yang berada pada Desa Busung dan Pengudang yaitu
Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Enhalus acoroides, Halodule
pinifolia, H. uninervis, Halophila minor, H. ovalis, H. spinulosa,
Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii, merupakan feeding
ground dari Dugong dugon yang ada di Pulau Bintan.
2. Rata-rata kemunculan Dugong dugon di Desa Busung dan Desa
Pengudang selama observasi adalah 1-2 individu perbulan.
3. Dugong lebih menyukai jenis lamun Halophila sp, Halodule sp, Thalassia
sp dan Cymodocea sp dibandingkan dengan jenis lamun lainnya.
Saran
Berdasarkan hasil yang didapatkan, penulis menyarankan perlu dilakukan
pengkajian lebih lanjut mengenai keberadaan dugong pada wilayah lain di Pulau
Bintan pada musim air tenang, yaitu bulan April, Mei dan Juni (Musim Timur).

17

DAFTAR PUSTAKA
Adulyanukosol K, Poovachiranon S. 2006. Dugong (Dugong dugon) and seagrass
in Thailand : present status and future challenges. Proceedings of the 3rd
International Symposium on Sea STA R 2000 and Asian Bio-logging Science
(The 7th SEA STAR 2000 workshop). Kyoto University Research Information
Repository. pp. 41-50.
Anderson PK. 1982. Studies of dugongs at Shark Bay, Western Australia.II.
Surface and subsurface observations. Aust. Widl. Res. 9:85-99.
Azkab MH. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.
Oseana 31 (3): 45-55.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor(ID) : PKSPL. IPB.
Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Bogor(ID) : PKSPL. IPB.
Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Bogor(ID) : PKSPL. IPB.
Bjork M, Uku J, Weil A, Beer S. 1999. Photosynthetic tolerances to desiccation of
tropical intertidal seagrass. Mar Ecol Prog Ser 191:121-126.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan berkelanjutan
Indo