Karakteristik Atmosfer di atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010

KARAKTERISTIK ATMOSFER DI ATAS JALUR
PERLINTASAN ARUS LINTAS INDONESIA SELAMA
INDOMIX TAHUN 2010

DETI TRIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Atmosfer
Di Atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010 adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Deti Triani
NIM G24100026

ABSTRAK
DETI TRIANI. Karakteristik Atmosfer di Atas Jalur Perlintasan Arus Lintas
Indonesia Selama INDOMIX 2010. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan
AGUS SALEH ATMADIPOERA.
Mempelajari karakteristik atmosfer di wilayah yang dilewati oleh Arus
Lintas Indonesia (Arlindo) merupakan langkah awal untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh Arlindo terhadap kondisi atmosfer di atasnya. Pendekatan yang
digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik atmosfer adalah melalui metode
termodinamika dimana profil atmosfer dilihat secara vertikal, turbulensi
permukaan, dan tinggi dasar awan. Parameter yang digunakan adalah mixing ratio,
kelembaban spesifik, suhu potensial, suhu titik embun, dan suhu virtual dari
radiosonde yang dilepas di 21 titik sepanjang wilayah perairan yang dilewati
Kapal Riset Marion Dufresne. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji interaksi
laut-atmosfer selama pelayaran INDOMIX. Analisis dilakukan dengan

menggunakan pendekatan bulk parameterization untuk menghitung fluks panas
terasa dan fluks panas laten. Fluks panas terasa bernilai maksimum 4.12 W/m2 ,
minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Fluks panas laten minimum bernilai 0
W/m2, maksimum 2.97 W/m2, dan rata-rata 1.08 W/m2. Hasil analisis mengenai
interaksi laut-atmosfer dapat disimpulkan bahwa pada perairan dengan nilai suhu
permukaan dan panas laten yang lebih tinggi seperti di Perairan Sorong, Laut
Halmahera dan Laut Seram, memiliki nilai suhu udara permukaan dan
kelembaban menjadi lebih tinggi, sehingga ketinggian Lifting Condensation Level
(LCL) lebih rendah. Khusus Laut Banda, walaupun suhunya lebih rendah, namun
memiliki konvektivitas harian yang tinggi sehingga memiliki ketinggian LCL
terendah (312.5 m). Sebaliknya di Selat Ombai hingga Selatan Nusa Tenggara,
nilai suhu permukaan laut yang lebih dingin, menjadikan kelembaban atmosfer
yang lebih kering dan LCL di wilayah ini juga lebih tinggi.

Kata kunci: termodinamika, bulk parameterization, fluks panas laten, fluks panas
terasa, INDOMIX, Arus Lintas Indonesia

ABSTRACT
DETI TRIANI. Atmospheric Characteristic Above The Pathways of Indonesian
Throughflow During INDOMIX 2010. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and

AGUS SALEH ATMADIPOERA.
.
Study about atmospheric characteristic along the pathways of Indonesian
Throughflow (ITF) is the first step to know how ITF affect the atmospheric
condition above. Thermodynamics parameters which are like mixing ratio,
spesific humidity, potential temperature, dew point temperature and virtual
temperature, were used to describe the atmospheric condition vertically, to
calculate the cloud base or Lifting Condensation Level (LCL), and also to know
about turbulence on the surface layer. Those parameters were recorded from
radiosonde that released from R.V Marion Dufresne in 21 stations along
INDOMIX cruise’s track. Beside, this research was conducted also to analyze
about air-sea interaction along the pathways. Bulk parameterization were used to
estimate sensible and latent heat flux using near-surface parameter such as sea
surface temperature (SST) that measured onboard. Sensible heat flux was
maximum on 4.12 W/m2 , minimum on 0 W/m2 and average on 1.1 W/m2. Latent
heat flux was minimum 0 W/m2, maximum on 2.97 W/m2, and average on 1.08
W/m2. Result analysis of the interaction between air-sea showed that in near
Sorong, Halmahera Sea, and Ceram Sea where had higher SST and latent heat
flux, the condition of atmosphere became more moist and the surface air
temperature became warmer, so the LCL was lower. For Banda Sea, altough had

lower SST, the LCL was the lowest (312.5 m) because of diurnal high
convectivity. Then in Ombai Strait until southern Nusa Tenggara where the SST
was colder, made the condition of the atmosphere above become drier and higher
LCL.
Keywords: thermodynamics, bulk parameterization, sensible heat flux, latent heat
flux, INDOMIX, Indonesia Throughflow

KARAKTERISTIK ATMOSFER PADA JALUR
PERLINTASAN ARUS LINTAS INDONESIA SELAMA
INDOMIX 2010

DETI TRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S. Si
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Karakteristik Atmosfer di atas Jalur Perlintasan Arus Lintas
Indonesia Selama INDOMIX 2010
Nama
: Deti Triani
NIM
: G24100026

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat S.Si M.Sc
Pembimbing I

Dr Agus S Atmadipoera, DESS
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Karakteristik Atmosfer Di Atas Jalur
Perlintasan Arus Lintas Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Dr Rahmat Hidayat, selaku pembimbing I dan Dr Agus S.
Atmadipoera selaku pembimbing II atas kesabaran dalam memberikan
arahan, saran, dan nasihat kepada penulis hingga terselesaikannya tugas
akhir ini
2. Ibu Dr. Ir Tania June, selaku pembimbing akademik yang selalu
memberikan saran di setiap semester yang sudah sangat membantu
kelancaran studi penulis
3. Kedua orangtua tercinta, Bapak Sarli dan Ibu Tasmini yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat serta kepercayaan tanpa henti
kepada penulis. Serta Aa tedi dan Teh Era dan segenap keluarga besar
atas dukungannya
4. Seluruh staff pengajar Geofisika dan Meteorologi atas ilmu yang telah
diberikan selama mengemban pendidikan di Departemen Meteorologi
dan Geofisika
5. Teman-teman GFM47 : Ghalib, Desul, Dede ebol, “Forum Jeng-Jeng”
(Fiki, Nungce, Aulia, Linda), “Geng Naik Gunung” (Thaisir, Ryco,
Ryan, Sapei, Jun, Wanto, Indro, Haykal, Arisal), Jeny, Hima, Mani,
Alan, Pipito,
6. Warga ITK : Bang Holand dan Mba Mega atas semuanya, Mba Tyas
atas labnya. Galang, Dimi, “GRUP SEBELAH” dan semua ITK47.
Terima kasih telah menjadi teman yang baik bagi penyusup satu ini
7. Team in crime : Thony, Riana, Cornel, Fikri, Alfi
8. Teman-teman di Uni Konservasi Fauna, Angkatan 8 (yunita, umil,
chella, hesti, asfi, angga, putra, kucing, bibah, dan semuanya)
9. Jeng #280-281 Al-Hikmah dan Aisyah : Novia, Sucia, Indah, Windita,
Zeta, Intan, Icha, Chika, Hayu, Mbok, Nana. Terima kasih untuk
keceriaannya setiap hari.
10. Teman-teman Alumni Marine Science and Technology 2014 : Vidlia,

Mba tiela, Andini, Monae, Pre, Bang Iman, Bung Kus, Bang Faridz,
Bang Kelvin, Bang Dika, Eko. Terima kasih semangatnya. Good Job!
11. Arie Suci Hamdani
12. Semua pihak yang telah membantu yang tidak disebutkan satu per satu
di halaman ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat meskipun masih jauh dari sempurna.
Mohon maaf atas kekurangan yang ada dan sangat diharapkan kritik dan saran
terhadap karya ilmiah ini.
Bogor, November 2014
Deti Triani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii


DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Tempat

2

Data

2

Alat

3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Atmosfer

7

7

Karakteristik Atmosfer

13

Interaksi Laut-Atmosfer

17

SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1 Lokasi, waktu, dan profil pelepasan radiosonde di sepanjang
lintasan
kapal selama INDOMIX 2010
2 Kategori Turbulensi menurut Panofsky (1983)
3 Kategori turbulensi di permukaan sepanjang lintasan Arlindo selama
INDOMIX

3
16
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Peta jalur perlintasan Arlindo (Gordon 2005)
Lokasi pelepasan radiosonde selama INDOMIX
Indeks KI
Profil vertikal atmosfer Perairan Sorong (Pagi hari)
Profil vertikal atmosfer pagi (atas) dan sore (bawah) di atas Laut
Halmahera
Profil vertikal atmosfer di atas Laut Seram
Profil vertikal atmosfer di atas Laut Banda
Profil vertikal atmosfer di atas Selat Ombai pagi (atas) dan sore
(bawah).
Profil vertikal atmosfer di selatan Nusa Tenggara Pagi (atas) dan sore
(bawah)
Ketinggian dasar awan dan mixing ratio di atas permukaan laut
Nilai K-Index di atas permukaan laut
Trayektori kecepatan angin permukaan di sepanjang perlintasan
INDOMIX
Trajektori salinitas dan suhu dekat permukaan di sepanjang lintasan
INDOMIX
Trajektori fluks panas terasa dan fluks panas laten di sepanjang lintasan
INDOMIX

1
3
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
18
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Script Matlab Perhitungan Termodinamika
2 Script Matlab Pembuatan Sebaran Fluks
3 Kondisi atmosfer sepanjang jalur perlintasan arlindo

23
24
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Arus Lintas Indonesia (Arlindo) merupakan arus yang menjadi bagian dari
sirkulasi termohalin atau Global Conveyor Belt yang melewati perairan Indonesia.
Arus tersebut mengalir akibat adanya perbedaan tinggi muka laut sehingga
mendorong pergerakan massa air ~15 juta m3/s yang bersifat hangat dan
bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia (Sprintall & Liu
2005;Oppo and Rosenthal 2010). Arlindo memasuki perairan Indonesia melalui
dua jalur, yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat massa air dari Samudera
Pasifik akan mengalir menuju Laut Sulawesi melalui Selat Mindanao lalu
mengalir di sepanjang Selat Makassar menuju Laut Flores hingga Laut Banda atau
keluar melalui Selat Lombok. Di jalur timur, massa air masuk melalui Laut
Maluku dan Laut Halmahera, mengalir menuju Laut Banda melalui Laut Seram
dan keluar melalui Selat Ombai atau Pintasan Timor (Gambar 1).

Gambar 1 Peta jalur perlintasan Arlindo (Gordon 2005)
Dari karakteristik massa air yang dibawa, walaupun alirannya berada di
lapisan termoklin ke bawah, Arlindo berdampak seperti nilai suhu permukaan.
Transfer massa air oleh Arlindo berpengaruh terhadap proses-proses fisik di dekat
permukaan laut, yang selanjutnya berdampak terhadap sistem iklim regional dan
global dalam rentang skala variabilitas yang lebar (misalnya intra-musiman,
musiman, dan antar-tahunan) (Vranes et al. 2002). Variasi aliran Arlindo secara
musiman tergantung pada proses fisik sedang serta karakteristik perairan yang
dilewatinya. Proses fisik di dekat permukaan laut tersebut kemudian akan
berinteraksi dengan atmosfer di atasnya (Schneider 1998; Kida & Wijffels 2012).
Contoh pengaruh kondisi permukaan laut terhadap atmosfer adalah pada besarnya
konveksi dari lautan ke atmosfer. Di sisi lain atmosfer akan berperan sebagai
penyuplai panas atau radiasi matahari melalui massa udara serta air tawar dari

2
hujan yang akan dibawa turun dari permukaan hingga lapisan termoklin (Ffield &
Gordon 1992).
Kajian mengenai interaksi laut dan atmosfer di sepanjang jalur perlintasan
Arlindo belum banyak dilakukan khususnya melalui observasi secara langsung.
Pelayaran INDOMIX di tahun 2010, sebuah kegiatan penelitian kerjasama antara
Depertemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB (ITK-IPB) dengan LOCEAN
Universite Pierre et Marie Curie dan LEGOS salah satunya menghasilkan data
atmosfer yang diolah dalam penelitian ini meliputi perairan perairan sekitar
Sorong hingga selatan Nusa Tenggara yang dilalui oleh kapal riset Marion
Dufresne. Kajian ini penting untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara
kondisi permukaan dengan kondisi atmosfer di sepanjang jalur perlintasan
Arlindo yang dilalui selama pelayaran.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik
atmosfer di atas jalur perlintasan Arlindo dan mengkaji interaksi laut dan atmosfer
pada waktu ekspedisi INDOMIX 2010.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret 2014 hingga September 2014
bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen
Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB dan Laboratorium Oseanografi Fisik,
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB.
Data
Data yang digunakan adalah data pengamatan pada pelayaran INDOMIX
tahun 2010 (Gambar 2) meliputi data Radiosonde yang dilepas sebanyak 21 kali
pada waktu yang berbeda (Tabel 1), data parameter permukaan laut selama
pelayaran berlangsung yang terdiri dari data suhu (OC), salinitas (psu) , arah
(derajat) dan kecepatan angin (Knot, 1 knot = 0.514 m/s) yang ada di dekat
permukaan. Pelayaran INDOMIX ini merupakan kegiatan penelitian kerjasama
antara Depertemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB (ITK-IPB) dengan
LOCEAN Universite Pierrre et Marie Curie dan LEGOS yang bertujuan untuk
mengkaji dinamika proses oseonografi fisika, terutama gelombang pasang surut
internal dan percampuran turbulensi, terhadap sebaran biogeokimia laut,
biodiversitas dan variabilitas iklim. Salah satu komponen utana kegiatan
penelitian ini adalah Pelayaran INDOMIX 2010 dengan menggunakan Kapal
Riset Marion Dufresne, yang akan dilangsungkan pada tanggal 8-22 Juli 2010
dengan fokus beberapa lintasan Arlindo, yaitu perairan Halmahera, Seram, Banda,
Ombai dan Sumba.

3
Tabel 1 Lokasi, waktu, dan profil pelepasan radiosonde di sepanjang
lintasan kapal selama INDOMIX 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Lokasi
Bujur
Lintang
131.25
-0.89
132.20
-0.75
130.15
0.84
129.25
0.06
129.17
0.06
129.17
0.06
128.88
-0.75
128.88
-0.75
128.88
-0.75
128.76
-1.14
128.76
-1.14
127.85
-2.59
127.15
-5.19
127
-6.29
125.39
-8.25
125.39
-8.25
125.3
-8.27
125.24
-8.28
122.02
-8.9
122.02
-8.9
118.78
-9.07

Gambar 2

Tanggal

Waktu

9 Juli 2010
10 Juli 2010
10 Juli 2010
11 Juli 2010
11 Juli 2010
12 Juli 2010
12 Juli 2010
13 Juli 2010
13 Juli 2010
14 Juli 2010
14 Juli 2010
15 Juli 2010
15 Juli 2010
16 Juli 2010
16 Juli 2010
16 Juli 2010
17 Juli 2010
17 Juli 2010
17 Juli 2010
18 Juli 2010
18 Juli 2010

09.00
08.00
17.00
04.00
16.00
04.00
16.00
04.00
16.00
04.00
16.00
04.00
16.00
04.00
16.00
22.00
04.00
10.00
16.00
04.00
17.00

Ketinggian
Maks (km)
6.5440
5.0730
22.8800
34.3670
21.7320
24.6900
21.5160
25.8890
21.8420
34.8950
9.6070
24.5200
34.3500
28.6220
27. 3840
30.1070
29.1120
31.9030
6.7190
34.0990
28.0430

Lokasi pelepasan radiosonde selama INDOMIX
Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Laptop, perangkat lunak Ms.
Word 2010, MS. Excell 2010, MATLAB R2013a, dan Surfer 10.

4
Prosedur Analisis Data
1. Menghitung parameter atmosfer menggunakan metode termodinamika
a. Menghitung tekanan uap jenuh
Tekanan uap jenuh adalah tekanan uap jenuh yang dihitung
menggunakan rumus yang disebut formula of Magnus, dimana nilai
numerik dari tekanan uap jenuh di atas bahan air dan es telah
dipublikasikan di Smithsonian Meteorological Tables tahun 1958.
= .

/

×

Keterangan : α = 7.567
b = 239.7
T = suhu udara (oC)

+

(Riegel 1992) (1)

b. Menghitung Kelembaban spesifik jenuh
Kelembaban spesifik adalah rasio masa uap air terhadap total massa
udara. Parameter ini memiliki unit satuan milibar (mb).
µ =

× �


(Stull 2000) (2)

Keterangan : e = Tekanan uap (mb)
es = Tekanan uap jenuh(mb)
P = Tekanan(mb)
c. Menghitung Kelembaban spesifik
Kelembaban spesifik merupakan rasio antara massa uap air
terhadap udara basah.
µ=



�µ

(Riegel 1992) (3)

Keterangan : µs = Kelembaban spesifik jenuh
RH = Kelembaban relatif
d. Menghitung suhu potensial
Suhu potensial adalah suhu dari udara kering jika dibawa secara
adiabatik ke tekanan referensi (1000 mb) (Riegel 1992).
Ɵ=�

�0 �


Keterangan : T = Suhu (oC)
P0 = Tekanan 1000 mb
P = Tekanan
Kd = Rd/Cpd (0.286)

(Riegel 1992) (4)

5
e. Menghitung suhu virtual
Suhu virtual merupakan suhu fiktif atau khayal yang harus dimiliki
oleh udara kering agar memiliki kerapatan seperti udara lembab pada
tekanan yang sama.
�� = �

+ .



(Riegel 1992) (5)

Keterangan : T = Suhu (oC)
µ = Kelembaban Spesifik
f. Menghitung Stabilitas Dinamis
Sebuah aliran dapat mengalami turbulensi pada kondisi udara yang
stabil jika kecepatan angin cukup kuat. Stabilitas dinamis dihitung dengan
menggunakan Bulk Richardson Number (Ri). Dari nilai Ri ini dapat di
analisis apakah terjadi turbulensi atau tidak di suatu wilayah. Jika nilai
Ri 0.25

Kategori
Turbulensi Konvektif
Turbulensi dengan Konvektif lemah
Tidak ada turbulensi

Tabel 3 Kategori turbulensi di permukaan sepanjang lintasan Arlindo selama
INDOMIX
Lokasi
Kategori
Pagi
Sore
Sorong
Turbulensi Konvektif
Halmahera
Turbulensi Konvektif
Turbulensi Konvektif
Seram
Turbulensi Konvektif
Banda
Tidak ada turbulensi
Turbulensi Konvektif
Ombai
Tidak ada turbulensi
Turbulensi Konvektif
Selatan Nusa Tenggara
Turbulensi Konvektif
Tidak ada turbulensi
Dalam pendekatan perhitungan turbulensi menggunakan Ri, tidak hanya
faktor gaya apung yang diperhatikan dari konveksi akibat pemanasan di
permukaan, namun juga shear angin. Kondisi atmosfer yang stabil statis akan
menjadi turbulen ketika angin cukup kuat (Stull 2000). Pengukuran turbulensi ini
merupakan keadaan turbulensi pada ketinggian awal radiosonde (13m) dengan
ketinggian selanjutnya yang nilainya berbeda-beda pada masing-masing wilayah
perairan. Hasilnya, sepanjang perlintasan INDOMIX turbulensi yang terjadi
merupakan turbulensi konvektif. Hanya waktu tertentu angin tidak cukup
membentuk turbulensi, yaitu saat pagi hari untuk perairan Banda dan Ombai, juga
waktu sore hari untuk perairan Selatan Nusa Tenggara.

Gambar 12 Trayektori kecepatan angin permukaan di sepanjang perlintasan
INDOMIX
Data pengukuran kecepatan angin pada Gambar 12 diperoleh dari
pengukuran di atas kapal (onboard), bukan melalui radiosonde. Sehingga data di

17
atas hanya menggambarkan kondisi permukaan saja. Kecepatan angin di wilayah
Sorong hingga Laut Seram terlihat lebih kecil nilai kecepatannya daripada di Laut
Banda hingga Selatan Nusa Tenggara. Perairan dengan nilai kecepatan angin yang
lebih tinggi merupakan wilayah perairan yang terkena pengaruh angin monsun
tenggara dari Australia yang terjadi mulai bulan Juni. Secara klimatologis,
dinamika atmosfer di atas benua maritim Indonesia dipengaruhi oleh Hadley dan
Walker sel.
Sirkulasi Hadley berhubungan erat dengan angin pasat, angin yang
mempengaruhi pola iklim musiman yang disebut monsun. Monsun terjadi akibat
letak matahari yang mengakibatkan perbedaan tekanan antara dataran benua Asia
dan Australia. Siklus musiman ini mempengaruhi tipe curah hujan di sebagian
besar wilayah di Indonesia khususnya pada wilayah dengan konvektivitas tinggi
seperti Laut Banda (Aldrian et al. 2003; Jochum & Potemra 2008). Monsun terjadi
dua kali pembalikan arah angin dalam satu tahun dan terdapat periode peralihan
diantaranya. Pada periode pelayaran ini (Juli), Indonesia sedang mengalami
musim kering atau monsun tenggara dimana angin yang bersifat kering bertiup
dari benua Australia menuju ke benua Asia. Periode musim kering ini berlangsung
dari Mei hingga September.
Interaksi Laut-Atmosfer
Tahun pelayaran INDOMIX merupakan tahun yang juga bertepatan dengan
kejadian anomali iklim antar-tahunan La Nina 2010, dimana akumulasi kolam air
hangat yang berada di barat ekuator Samudera Pasifik semakin meningkat, serta
semakin banyak massa air hangat yang diangkut kearah perairan interior Laut
Indonesia. Kejadian La Nina merupakan salah satu fase dari pola sirkulasi walker
yang terjadi akibat interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik yang disebut
ENSO (El Nino and Southern Oscillation) (Hobbs; & Wallace 2006). Fenomena
ENSO juga berkontribusi terhadap pola curah hujan di Indonesia dan pengaruhnya
saling berhubungan dengan monsun. Pada fase tahun La Nina ini curah hujan akan
lebih besar daripada tahun non-ENSO (Aldrian et al. 2003). Saat variabilitas iklim
dengan periode 4-7 tahun ini terjadi, anomalinya akan lebih dominan daripada
periode yang bersifat musiman seperti monsoon (England & Huang 2005).
Dampak dari ENSO selain mempengaruhi keadaan atmosfer hingga pola iklim,
juga akan mempengaruhi kondisi perairan di benua maritim Indonesia salah
satunya melalui Arlindo. Aliran Arlindo dan ENSO memiliki korelasi antara lain
dalam bentuk transpor volume massa air dan bahang, dimana transport Arlindo
mencapai maksimum dalam tahun La Nina dan sebaliknya dalam tahun El Nino
(Potemra & Schneider 2007).

18

Gambar 13 Trajektori salinitas dan suhu dekat permukaan di sepanjang lintasan
INDOMIX
Profil salinitas dari Gambar 13 menunjukkan bahwa pada pintu masuk
Arlindo seperti Perairan Sorong dan Laut Halmahera hingga Laut Seram memiliki
nilai yang lebih tinggi dibandingkan salintas yang ada di pintu keluar perlintasan
Arlindo. Salinitas permukaan di sepanjang lintasan bernilai minimum 31.84 psu,
maksimum 33.62 psu, dan rata-rata 33.12 psu. Nilai salinitas permukaan yang
tinggi dapat disebabkan karena suhu permukaan yang juga tinggi, sehingga
penguapan lebih intensif. Suhu di Perairan Sorong hingga Laut Seram
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dan mengalami penurunan saat memasuki
Laut Banda hingga ke Perairan Selatan Nusa Tenggara.
Fenomena La Nina, dimana kolam air hangat berada lebih dekat dekat
Indonesia, akan membuat perairan di sekitarnya lebih hangat. Arlindo sendiri
yang alirannya berasal dari Samudera Pasifik, memberikan efek pada nilai rata-

19
rata suhu permukaan tahunan (Schneider 1998). Nilai suhu maksimum pada
gambar di atas berada di wilayah perairan Halmahera pada waktu pagi hari
dengan nilai 30.63 oC. Adanya suhu permukaan yang lebih tinggi merupakan
sumber utama dari panas dan uap air yang akan dilepaskan ke atmosfer. Jika
disandingkan dengan profil atmosfer, suhu permukaan di atas Laut Hamahera
pada ketinggian pertama yang dibaca radiosonde (13 m), perairan ini memiliki
suhu yang juga lebih tinggi daripada Laut Seram maupun Laut Banda. Pagi hari
suhu permukaan di Laut Halmahera berkisar antara 27-30 oC. Selain itu perairan
ini juga memiliki nilai tertinggi pada parameter kelembaban seperti mixing ratio
dan RH. Mixing Ratio maksimum di perairan ini mencapai 20.8 g/kg dan kisaran
71%-86%. Berbanding terbalik dengan perairan selatan Nusa Tenggara yang
memiliki suhu permukaan laut yang lebih rendah dan kondisi atmosfer yang lebih
kering.
Saat memasuki Laut Banda, suhu dan salinitas yang mulai turun salah
satunya dapat disebabkan oleh adanya percampuran massa air dengan lapisan di
bawahnya. Hal ini sama dengan hasil yang dipaparkan oleh Kida and Wijffels
(2012) yang juga menemukan penurunan suhu di sepanjang Laut Banda hingga
Laut Arafura karena percampuran massa air akibat pasang surut di bagian interior
lautnya hingga mempengaruhi suhu permukaan. Akibat tidal mixing ini, salinitas
maksimum akan mengalami penurunan hingga ~0.7 psu, dan suhu yang lebih
rendah di lapisan termoklin akan di transfer ke permukaan dan menyebabkan suhu
di permukaan mengalami penurunan hingga ~0.5oC (Koch-Larrouy et al. 2009).
Berdasarkan Atmadipoera et al. (2009) percampuran akibat pasang-surut ini masih
terjadi hingga pintu keluar lintasan Arlindo. Penurun suhu akibat tidal mixing juga
merupakan salah satu faktor pendorong konveksi yang tinggi ke atmosfer. Khusus
untuk perairan di selatan Nusa Tenggara, penurunan suhu juga dapat dikaitkan
dengan upwelling, naiknya massa air dari kedalamannya yang lebih dalam ke
permukaan (Sprintall et al. 2003).

20

Gambar 14

Trajektori fluks panas terasa dan fluks panas laten di sepanjang
lintasan INDOMIX

Fluks panas terasa merupakan proses dimana energi panas ditransfer dari
permukaan bumi seperti lautan ke atmosfer. Energi ini dibutuhkan untuk
mengubah suhu tanpa adanya perubahan fase. Perubahan suhu dapat terjadi ketika
adanya absorbsi dari matahari oleh permukaan laut, atau dari kontak langsung
dengan udara di atasnya. Fluks panas terasa yang bernilai positif menandakan
bahwa panas terasa lebih banyak diserap oleh lautan lebih banyak daripada panas
terasa yang dilepaskan. Penyerapan fluks panas terasa dapat melalui difusi
sedangkan pelepasan dapat melalui pecahnya gelombang di permukaan laut
(Veron et al. 2011). Sepanjang perlintasan, fluks panas terasa bernilai maksimum
4.12 W/m2 , minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Gambar 14
memperlihatkan bahwa pola fluks antara pintu masuk dan pintu keluar Arlindo
cenderung sama, yaitu bernilai rendah atau < 2 W/m2. Fluks panas terasa terlihat
paling tinggi berada di Laut Banda. Khusus untuk Laut Banda, penurunan suhu
yang diakibatkan oleh percampuran massa air, akan meningkatkan penyerapan
panas. Koch-Larroy et al. (2009) menyatakan bahwa lautan dapat menyerap
tambahan panas hingga ~20 W/m2.
Fluks panas laten minimum bernilai 0 W/m2, maksimum 2.97 W/m2, dan
rata-rata 1.08 W/m2. Panas laten merupakan energi yang dibutuhkan untuk
mengubah fase dari air tanpa mengubah suhunya. Perubahan bentuk zat dari cair
ke gas membutuhkan panas laten dari radiasi matahari. Tingginya panas laten
akan menunjukkan bahwa evaporasi juga tinggi di suatu wilayah perairan. Fluks
panas laten yang bernilai lebih kecil dapat menunjukkan bahwa evaporasi di suatu
wilayah lebih tinggi daripada wilayah yang memiliki nilai fluks panas laten yang
lebih besar. Itu artinya, perairan Laut Banda merupakan perairan yang memiliki
evaporasi paling besar karena seluruh wilayahnya memiliki nilai fluks panas laten
yang lebih rendah dibanding wilayah perairan lainnya. Dengan kondisi
konvektivitas yang tinggi dan juga evaporasi yang tinggi, menunjukkan adanya

21
potensi presipitasi yang lebih tinggi pula di Laut Banda seperti yang juga sudah
dimodelkan oleh Jochum & Potemra (2008).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil pembacaan radiosonde menunjukkan semua parameter suhu
(T,Td,Tv,Tpot) menunjukkan nilai maksimumnya berada di permukaan perairan
(