HUBUNGAN ANTARA MACHIAVELLIANISM DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU ANTI-KORUPSI

Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

SKRIPSI

Rani Soraya
NIM: 201210230311174

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Rani Soraya

NIM

: 20121023031174


Fakultas / Jurusan

: Psikologi

Perguruan Tinggi

: Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi / karya ilmiah yang berjudul:
Hubungan antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak
bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar maka saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Malang, 31 Januari 2016
Mengetahui,
Ketua Program Studi


Yang menyatakan

Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si

Rani Soraya

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan
antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi”, skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk
serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
bantuan yang telah diberikan terutama kepada:
1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Malang dan pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan kesabaran
untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang dan dosen wali yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan
arahan sejak awal perkuliahan hinggan selesainya skripsi ini.
3. Adhyatman Prabowo, M.Psi selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu,
tenaga, dan kesabaran untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Kepada seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang
telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
5. Kepada keluargaku, Ayah Anhar, Ibu Adjizah, dan adikku Irsyad, serta seluruh keluarga
yang selalu memberikan dukungan, do’a, dan kasih sayang serta kebahagiaan dalam
hidup sehingga dapat menambah motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. Totok Waluyanto, M.Si selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Cabang Dinas
Pendidikan Kecamatan Buduran, Sidoarjo, beserta staf yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan Psikologi kelas F angkatan 2012 khususnya “uyuh” yang
selalu memberikan dukungan dan semangat, serta mengalami suka duka bersama selama
perkuliahan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.


iii

8. Teman-teman tercinta “ebes” dan teman-teman alumni SMAN 3 Sidoarjo khususnya
Heni yang selalu mendukung dan menjadi penyemangat, serta tempat curhat sehingga
penulis dapat menyelesaikan segala proses perkuliahan dan skripsi ini.
9. Kepala seluruh Pejabat Struktural SD dan SMP yang telah menjadi subjek penelitian,
terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.
10. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan
saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 31 Januari 2016
Penulis

Rani Soraya

iv


DAFTAR ISI
Surat Pernyataan ........................................................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................................................. iii
Daftar Isi ....................................................................................................................................... v
Daftar Tabel.................................................................................................................................. vi
Daftar Lampiran ........................................................................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 2
Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi .................................................................................. 5
Machiavellianism ................................................................................................................... 8
Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi .......... 9
Hipotesis ................................................................................................................................. 10
METODE PENELITIAN ............................................................................................................. 10
Rancangan Penelitian ............................................................................................................. 10
Subjek Penelitian .................................................................................................................... 10
Variabel dan Instrumen .......................................................................................................... 10
Prosedur dan Analisa Data ..................................................................................................... 12
HASIL PENELITIAN .................................................................................................................. 13
DISKUSI ...................................................................................................................................... 14

SIMPULAN DAN IMPLIKASI................................................................................................... 17
REFERENSI................................................................................................................................. 18
LAMPIRAN ................................................................................................................................. 21

v

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint Skala Machiavellianism ............................................................................. 11
Tabel 2. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi ............................................ 12
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian .................................................................................. 13
Tabel 4. Perhitungan T-Skor Skala Machiavellianism............................................................. 13
Tabel 5. Perhitungan T-Skor Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi............................ 13
Tabel 6. Korelasi Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi . 14

vi

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Blueprint Skala ..................................................................................................... 22
Lampiran II Hasil Uji Coba Skala ............................................................................................ 25
Lampiran III Skala Penelitian................................................................................................... 36

Lampiran IV Tabulasi Data Penelitian ..................................................................................... 42
Lampiran V Hasil Uji Korelasi Pearson .................................................................................. 55
Lampiran VI Surat Keterangan Turun Lapang ........................................................................ 59

vii

HUBUNGAN ANTARA MACHIAVELLIANISM DENGAN
KECENDERUNGAN PERILAKU ANTI-KORUPSI
Rani Soraya
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
ranivikipyon@gmail.com
Korupsi merupakan permasalahan yang banyak terjadi, termasuk pada pejabat
publik di Dinas Pendidikan maupun pejabat struktural di sekolah. Pejabat
struktural memegang wewenang dan tanggung jawab terkait pengelolaan sekolah
sehingga cenderung memiliki kesempatan melakukan korupsi. Salah satu faktor
penyebab korupsi adalah kepribadian, seperti machiavellianism. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan
perilaku anti-korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif
korelasional. Subjek penelitian ini adalah pejabat struktural sejumlah 50 orang
dan pengambilan sampel menggunakan teknik cluster sampling. Instrumen yang

digunakan adalah skala machiavellianisme dan skala kecenderungan perilaku antikorupsi. Uji analisa menggunakan korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku
anti-korupsi, dengan r = - 0,343 dan p = 0,015. Sumbangan efektif
machiavellianism sebesar 11,8%, dan sisanya adalah faktor lain. Jadi, semakin
tinggi machiavellianism seseorang, semakin rendah kecenderungan perilaku antikorupsinya, dan sebaliknya.
Kata Kunci: Korupsi, machiavellianism, kecenderungan perilaku anti-korupsi,
pejabat struktural
Corruption is a common problem that often happens, even to public officials at
the Department of Education and structural official at school. Structural officials
who have the authority and responsibility to the school management can lead to
corruption practice. One of the causes is personality, such as machiavellianism.
This study was aimed at investigating the correlation of machiavellianism with the
tendency of anti-corruption behavior. This correlational research employed 50
structural officials as participants through cluster sampling technique. The data
were obtained by using machiavellianism and tendency of anti-corruption
behavior scale, which then analyzed by using Pearson correlation. The result
showed that there was a negative correlation between machiavellianism and
tendency of anti-corruption behavior, with r = - 0.343 and p = 0.015. The
effective contribution of machiavellianism was 11.8%, and the rest was the others.
So, the higher someone’s machiavellianism was, the lower their tendency to anticorruption behavior, and vice versa.

Keywords: corruption, machiavellianism, tendency of anti-corruption behavior,
structural officials

1

Di Indonesia, masalah korupsi tidak lagi dipandang sebagai masalah sosial kecil yang bisa
diremehkan banyak orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa, korupsi merupakan masalah
sangat besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Korupsi seperti halnya budaya yang
telah berkembang tidak hanya pada kelompok elit tertentu tapi juga masyarakat pada
umumnya. Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebagaimana dilansir oleh
Transparansi Internasional tahun 2003 adalah 1.9, 2004 adalah 2.0, 2005 adalah 2.3, dan 2006
adalah 2.4 (Santiago, 2014). Tahun 2010, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat
korupsi paling tinggi di Asia Pasifik, IPK Indonesia tahun 2011 adalah 3.0 peringkat 100 dari
183 negara di dunia (Montessori, 2012)
Saat ini, perilaku anti-korupsi sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa yang lebih baik.
Perilaku anti-korupsi menunjukkan bahwa seseorang akan menghindari tindakan-tindakan
yang bisa mengarah pada perilaku korupsi. Salah satu upaya yang telah dilakukan sebagai
wujud sikap anti-korupsi adalah dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tahun 2002. Puluhan kasus korupsi telah berhasil terungkap oleh KPK. Di lain pihak, Kapolri
Jenderal Polisi Sutarman menyatakan bahwa Polri tahun 2013 telah menangani 1363 kasus,

naik 187 kasus dari tahun 2012 (Santiago, 2014). Fiardini (2015), menambahakan baru-baru
ini didirikan Gerakan Anti Korupsi (GAK) yang dideklarasikan alumni beberapa universitas
di Indonesia di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, pada 29 September
2015 lalu. GAK merupakan organisasi yang hadir bersama masyarakat guna mendukung dan
mengawal Trisula penanggulangan korupsi oleh Polri, Kejaksaan, dan KPK.
Namun demikian, menurut Mauro (dalam Mashal, 2011), memerangi korupsi bukanlah hal
yang mudah. Pendapat demikian mengacu pada strategi “saling melengkapi”, dimana jika
salah satu agen melakukan sesuatu maka akan menjadi lebih menguntungkan bagi agen lain
untuk melakukan hal yang sama. Montessori (2012), mengatakan salah satu cara untuk
memerangi korupsi adalah dengan menerapkan pendidikan anti-korupsi secara formal di
sekolah, yang memiliki beberapa keunggulan seperti anggaran yang diperlukan rendah,
kontinuitas, dan sistematisasi program. Namun, pelaksanaannya belum memenuhi hasil yang
diharapkan, terutama dalam mengembangkan sikap dan karakter anti-korupsi siswa. Dapat
dikatakan bahwa sekolah menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan dalam upaya antikorupsi bagi masyarakat sejak dini. Dalam pelaksanaannya, tentu anak didik di sekolah
memerlukan role model yang dapat dicontoh sehingga hal ini dapat terlaksana dengan baik.
Korupsi merupakan permasalahan yang bisa melibatkan berbagai pihak, tak terkecuali para
pendidik di sekolah yang seharusnya bisa menjadi contoh bagi para siswa. Peran besar dunia
pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertuang dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 menjadi harapan besar bangsa dalam mengatasi korupsi, namun justru
menjadi lahan yang subur terjadinya korupsi. Anti-Corruption Clearing House (2015),

menjelaskan adanya potensi korupsi di dunia pendidikan. Laporan Kajian Satu Dasawarsa
Korupsi Pendidikan ICW 2013 menyatakan bahwa dalam periode 2003-2013 ditemukan 296
kasus dana pendidikan dan sepanjang 2013, pendidikan termasuk jajaran tiga besar sektor
tersubur terjadinya korupsi di bawah sektor infrastruktur dan keuangan daerah. Laporan
Pemantauan Lapang Dana Pendidikan Tahun 2014 menyebutkan akar permasalahan
pengelolaan anggaran pendidikan disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal, lemahnya
sistem administrasi, adanya kekosongan pengawasan, dan lemahnya kontrol publik. Tim
Pencegahan KPK menyebutkan banyak sekali varian penyalahgunaan anggaran Biaya
Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada satuan pendidikan dasar dan
menengah. Beberapa potensi kebocoran dana BOS terkait keterlibatan pihak sekolah seperti
2

manipulasi jumlah siswa penerima BOS lewat entri data yang dilakukan oleh pihak sekolah,
pengalokasian dana BOS yang tidak sesuai dengan 13 item pembelanjaan dalam Petunjuk
Teknis, serta laporan tahunan yang terjadi seringkali terlambat, bahkan terjadi manipulasi
laporan. Sektor pendidikan menjadi salah satu fokus KPK dalam pemberantasan korupsi,
tidak semata-mata melihat dari sisi penindakan, namun juga pencegahan. KPK juga
melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) penindakan dengan kejaksaan dan kepolisian
yang terkait dengan korupsi di bidang pendidikan.
Contoh kasus korupsi yang terjadi terutama di dunia pendidikan seperti yang diberitakan
Sudiono (2015), dimana kasus kredit fiktif dengan jaminan Surat Keputusan (SK)
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp 12 miliar yang berhasil ditarik dari
Bank Perkreditan Rakyat Delta Artha Sidoarjo (BPR DAS) melibatkan Bendahara Unit
Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPTD Dindik) Kecamatan Tanggulangin selaku
tersangka utama, Atik Munziati berstatus Guru Taman Kanak-kanak (TK), Yunita selaku
pekerja swasta, dan Munawaroh selaku Kepala Sekolah SDN Ganggangpanjang,
Tanggulangin. Kasus lain terkait tindak pidana korupsi seperti yang diberitakan Zein (2013)
juga melibatkan kepala sekolah salah satu SMA Negeri bekas Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) di Sidoarjo. Pungutan biaya sekolah yang besar dengan tidak sesuai
dengan keputusan Mahkamah Konstitusi serta tindakan kepala sekolah yang tidak tranparan
dalam mengelola anggaran membuat kepala sekolah ini terindikasi korupsi dana BOS.
Korupsi merupakan perilaku yang tidak jujur atau ilegal dan termasuk salah satu contoh dari
unethical behavior. Beberapa perilaku tidak etis di tempat kerja seperti korupsi, penipuan
penjualan atau penggunaan teknik memanipulasi klien (Zińczuk, Cichorzewska &
Walczewski, 2013). Perilaku tidak etis seperti ini bisa dipengaruhi dari perilaku curang di
masa lalu. Contohnya, hasil survei Josephson Institute (dalam Stone, Kisamore, Kluemper, &
Jawahar, 2012), menunjukkan orang-orang yang mengaku menyontek ujian di sekolah tinggi
lebih cenderung berbohong kepada pelanggan, klien, bos mereka, dan lain-lain serta terlibat
perilaku tidak etis lainnya seperti menggembungkan klaim biaya untuk penggantian. Lebih
lanjut, Stone, Jawahar dan Kisamore (dalam Stone et al., 2012) menemukan kecurangan
dan/atau menjiplak di sekolah dikaitkan dengan sabotase dan pencurian di tempat kerja. Hal
ini membuktikan bahwa melakukan kecurangan kecil seperti menyontek di masa sekolah juga
berkaitan dengan tindakan korupsi dan akan berdampak pada kehidupan mereka bahkan
setelah bekerja. Tempat kerja seperti telah menjadi lahan bagi banyak oknum untuk
melakukan tindakan korupsi. Banyak ditemukannya kesempatan, serta contoh orang yang
telah melakukan korupsi menjadi dorongan tersendiri bagi pelaku korupsi di tempat kerja.
Perilaku anti-korupsi jelas menjadi kebutuhan penting mengingat besarnya kemungkinan
untuk terlibat korupsi dan dampak buruk yang didapatkan pelaku korupsi. Salama (2014)
melalui studi yang dilakukannya terhadap dua pelaku korupsi, didapati hasil mengenai
dampak buruk terhadap pelaku korupsi itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya: (1)
masuk penjara, membuat hidup menjadi sengsara dengan segala keterbatasan akan kebebasan
dalam hidup, (3) dampak terhadap keluarga, timbul rasa malu dan kesulitan pencarian nafkah
terutama apabila pelaku adalah sumber pencari nafkah keluarga, serta timbul kekhawatiran
akan munculnya efek psikologis yang kurang baik terhadap keluarga, khususnya anak, dan (4)
memiliki hutang baru yang lebih besar, untuk menutup hutang lama yang sebelumnya dimiliki.
Sari (2015) juga menjelaskan bahwa anak yang mempunyai orang tua yang menyandang gelar
koruptor lebih cenderung menutup diri baik dengan teman terdekatnya maupun dengan

3

lingkungan dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak melakukan korupsi, sehingga
kesejahteraan psikologis anak tidak dapat tercapai.
Mauro (dalam Mashal, 2011) menjelaskan bahwa korupsi tersebar luas di negara-negara
berkembang, bukan karena orang-orang mereka berbeda dari orang-orang di tempat lain,
tetapi karena kondisi yang memungkinkan untuk itu, seperti: (1) Motivasi untuk memperoleh
pendapatan sangat kuat karena kemiskinan, gaji/upah yang rendah, dan adanya risiko yang
tinggi dari berbagai hal (penyakit, kecelakaan dan pengangguran, kurangnya asuransi), (2)
Peluang untuk terlibat dalam korupsi banyak, peraturan yang lebih mengarah ke peluang yang
lebih tinggi untuk korupsi, (3) Lemah legislatif dan yudikatif sistem, (4) Hukum dan prinsipprinsip etika yang kurang berkembang, (5) Penduduk bergantung terhadap sumber daya alam
yang besar, serta (6) Ketidakstabilan politik dan kemauan politik yang lemah.
Menurut Stachowitsh (dalam Dayakisni, 2015) ada 3 aspek utama penyebab korupsi
berdasarkan beberapa studi empiris, yaitu aspek psikologis atau individual (faktor kepribadian
dan moral), aspek lingkungan (tekanan kelompok atau peer-group), dan aspek iklim
organisasi. Telah diketahui sebelumnya bahwa ada hubungan signifikan antara kepribadian,
niat untuk berbuat tidak etis, dan sikap terhadap korupsi, dimana kepribadian merupakan
prediktor paling potensial terhadap kecenderungan perilaku korupsi. Kepribadian sangat
berpengaruh pada pemaknaan individu mengenai nilai, membentukan ide/gagasan, serta
motivasi untuk melakukan suatu tindakan. Hasil studi Adejumo (2010), membuktikan bahwa
kepribadian, niat berbuat curang, dan motif berprestasi, serta ketakutan akan kejahatan
menjadi prediktor sikap terhadap korupsi. Dayakisni (2015), pada aspek psikologis yang
dikaitkan dengan perilaku tidak etis, faktor kepribadian seperti the big five, motif sosial, locus
of control, integritas, atau disengagement moral lebih banyak menjadi fokus perhatian sebagai
penyebab korupsi. Masih sedikit dan jarang ada studi empiris yang mengaitkan antara
unethical behavior seperti korupsi dengan sisi gelap kepribadian (dark side personality)
seperti machiavellianism, narcissism, dan psychopathy.
Machiavellianism adalah kepribadian dengan kecenderungan manipulatif yang sangat
berorientasi pada tujuan. Seseorang dengan machiavellianism akan menggunakan berbagai
cara bahkan walaupun tidak etis demi mendapatkan tujuan, yang nantinya akan terkait
kecenderungan melakukan perilaku-perilaku tidak etis dan munculnya perilaku kerja yang
buruk. Kepribadian ini dapat mempengaruhi kecenderungan perilaku korupsi yang juga
mengarah pada perilaku tidak etis. Korupsi adalah perilaku yang tidak etis dan ilegal karena
merusak dan bertujuan memperkaya diri demi kepentingan pribadi, seperti terkait suap,
penggelapan, menyalahgunaan jabatan, dan sebagainya, yang tentunya akan menimbulkan
kerugian pada lingkup kerja di sekitarnya.
Beberapa studi yang mendukung seperti, meta-analisis baru-baru ini oleh O'Boyle, Forsyth,
Bank, & McDaniel (dalam Spain, Harms, & Lebreton, 2013) yang menemukan bahwa
machiavellianism memiliki korelasi lemah dengan job performance. Selain itu, berdasarkan
studi Kish-Gephart, Harrison, & Trevino (dalam Spain et al, 2013) ditemukan korelasi yang
cukup kuat antara machiavellianism dan pengambilan keputusan yang tidak etis dalam
organisasi. Hasil lain studi Bruk-Lee, Khoury, Nixon, Gh & Spector, (dalam Spain et al.,
2013) membuktikan bahwa machiavelllianism berkorelasi negatif dengan kepuasan kerja, hal
ini terkait machiavellians dengan kecerdasan yang cenderung rendah tidak berhasil karena
mereka tidak memiliki kemampuan untuk mencocokkan situasi sosial dengan intensinya dan
terhalang oleh ketidakmampuan untuk membaca dan memanipulasi emosi orang lain,
4

sehingga mereka akan cenderung menggunakan cara-cara tidak etis saat berhubungan dengan
orang lain, termasuk dengan memanipulasi demi memperoleh keuntungan.
Hasil serupa terlihat dari penelitian penggunaan skala Machiavellian Personality Scale (MPS)
yang baru. Dari studi yang telah dilakukan, machiavellianism berkorelasi negatif dengan
outcomes seperti kepuasan kerja dan kinerja tugas, serta berkorelasi positif dengan perilaku
kerja yang tidak produktif. Machiavellianism dikonseptualisasikan sebagai kecenderungan
seseorang untuk tidak mempercayai orang lain, terlibat dalam manipulasi amoral, mencari
kontrol atas orang lain, dan mencari status untuk diri sendiri. Dengan kata lain,
machiavellianism terkait dengan kecenderungan munculnya perilaku tidak etis (Dahling,
Whitaker, & Levy, 2009). Adanya kecenderungan berperilaku amoral, tidak mengherankan
pekerja tipe mach bertindak tidak etis dan kontraproduktif di tempat kerja, mereka akan
mudah terlibat penyimpangan interpersonal dan pengambila keputusan tidak etis yang
tercermin dalam hal seperti mencuri, berbohong, sabotase, dan kecurangan lainnya (Dahling,
Kuyumcu, & Librizzi, 2015).
Studi lainnya, Weber & Getz (dalam Zińczuk et al., 2013) menyebutkan bahwa korupsi
menunjukkan pemanfaatan kekuasaan untuk keuntungan keuangan pribadi, yang meliputi
penggelapan, penyalahgunaan uang publik, eksploitasi informasi sensitif. Hal demikian juga
disampaikan Budgol (dalam Zińczuk et al., 2013), korupsi dapat mengambil karakter intraorganisasi, dimana seseorang akan memanifestasikan dirinya melanggar aturan, standar sosial
dan peraturan hukum. Korupsi membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan tidak etis
demi mendapatkan keuntungan pribadi. Korupsi adalah salah satu perilaku tidak etis yang
terjadi di tempat kerja.
Dengan berdasarkan fenomena yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa korupsi di
Indonesia dewasa ini sudah merupakan masalah sosial yang sangat berbahaya sehingga
perilaku anti-korupsi menjadi satu kebutuhan yang sangat diperlukan bagi masyarakat
terutama di dunia pendidikan yang merupakan salah satu wadah bagi masyarakat untuk
mengembangkan sikap dan perilaku anti-korupsi. Penelitian ini akan difokuskan pada pejabat
struktural SD, SMP, dan SMK di salah satu kecamatan di Sidoarjo sebagai subjeknya. Hal ini
dikarenakan bahwa pejabat struktural memegang wewenang dan tanggung jawab untuk segala
hal terkait pengelolaan sekolah dan cenderung memiliki kesempatan yang tinggi untuk
melakukan tindakan tidak etis demi mendapatkan keuntungan pribadinya.
Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi? Tujuan penelitian ini adalah
ingin mengetahui hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku antikorupsi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan sebagai
literatur baru dalam bidang ilmu Psikologi Sosial terkait tema perilaku anti-korupsi,
khususnya hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi.
Manfaat untuk instansi adalah dapat memberikan masukan pada instansi terkait mengenai
keterkaitan machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rekrutmen pejabat struktural.
Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
Schiffman (dalam Deliani, 2012), intensi adalah hal yang berkaitan dengan kecenderungan
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku tertentu. Deliani menyimpulkan
5

bahwa intensi adalah suatu kemungkinan individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (dalam Wahyuni, 2015), intensi adalah representasi kognitif kesiapan
seseorang untuk menerapkan perilaku tertentu dan dipandang sebagai yang paling dekat
dengan perilaku. Dengan demikian intensi dapat pula dikatakan sebagai kecenderungan. Antikorupsi adalah perilaku seseorang untuk menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada
perilaku korupsi. Transparency International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku
dari pejabat publik yang secara tidak wajar atau illegal dan tujuan memperkaya diri sendiri
dan orang-orang dekatnya dengan cara melakukan penyalahgunaan kekuasaan publik yang
telah dipercayakan kepada mereka. Sedangkan berdasarkan kamus hukum, korupsi berarti
merusak, seperti menerima suap, menggelapkan uang atau barang milik perusahaan atau
negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan publik untuk keuntungan pribadi,
penyalahgunaan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai seorang yang bekerja
untuk kepentingan pribadi maupun orang lain (Wahyuni, 2015). Dari beberapa pengertian di
atas, dapat disimpulkan mengenai kecenderungan perilaku anti korupsi yaitu kemungkinan
seseorang untuk berperilaku menghindari tindakan-tindakan negatif yang dilakukan dengan
tujuan memperkaya diri dan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak wajar demi
kepentingan pribadi maupun orang lain.
Salama (2014), korupsi seringkali dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan faktor ekonomi,
hukum, politik, dan kekuasaan, dan sangat jarang dikaitkan dengan segi lain yaitu dimensi
yang melekat pada manusia, khususnya dimensi perilaku. Korupsi merupakan perilaku yang
menyimpang dari norma dalam masyarakat dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi
yang dilakukan pegawai publik. Berkaitan dengan definisi di atas, korupsi tidak hanya
menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik saja tapi juga menyangkut aspek perilaku
manusia yang menjadi bahasan utama dari ilmu psikologi.
The Independent Commission Against Corruption Act 1988 menjelaskan bahwa perilaku
korupsi terjadi ketika: (1) seorang pejabat publik tidak benar menggunakan, atau mencoba
untuk menggunakan secara tidak benar, pengetahuan, kekuasaan atau sumber dari posisi
mereka untuk keuntungan pribadi atau keuntungan dari orang lain, (2) seorang pejabat publik
secara tidak jujur melaksanakan fungsi resmi, tidak benar melaksanakan fungsi resmi secara
parsial, melanggar kepercayaan publik atau menyalahgunakan informasi atau materi yang
diperoleh selama pelaksanaan fungsi resminya, dan (3) anggota dari publik mempengaruhi,
atau mencoba untuk mempengaruhi, pejabat publik untuk menggunakan posisi nya dengan
cara yang tidak jujur, bias atau pelanggaran kepercayaan publik. Selain itu, Salama (2014)
menambahkan bahwa korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang
memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana, dan memiliki
kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi.
Mengenai perilaku anti-korupsi, Wahyuni (2015) menyebutkan beberapa tipe korupsi: (1)
slippery, korupsi yang sengaja memberikan suap untuk mendapatkan keputusan yang
menguntungkan untuk penyuap dan orang disuap, (2) extortion system (sistem pemerasan),
menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi, berlindung di legitimasi dan
kekuasaan, dan (3) provocation system (sistem provokasi), lebih dikenal sebagai kejahatan
konspirasi korupsi atau kolusi, yang memberikan kesempatan bagi mitra untuk mencari
peluang yang berkaitan dengan perlindungan hukum, peraturan dan kekuatan yang dapat
membawa keuntungan atau kelompok pribadi. Selanjutnya dikembangkan dalam enam
dimensi kecenderungan anti korupsi, yaitu anti-suap (anti-bribe), anti-gratifikasi (anti-

6

gratification), anti-penipuan (anti-fraud), anti-menggembungkan (anti-mark up), antipemerasan (anti-black mail), dan anti-nepotism (anti-nepotism).
Menurut Alatas (1986), bentuk-bentuk korupsi mencakup tiga hal, yaitu: (1) penyuapan
(bribery), bentuk korupsi dimana seseorang menerima pemberian dari orang lain dengan
maksud untuk mempengaruhi penerima pemberian demi memberikan perhatian istimewa
terhadap kepentingan pemberi, (2) pemerasan (extortion), bentuk korupsi dimana ada
permintaan pemberian-pemberian atau hadiah termasuk penggunaan ancaman kekerasan
ataupun memunculkan informasi-informasi yang beresiko dapat menghancurkan demi
mempengaruhi orang lain agar bisa diajak bekerja sama, dan (3) nepotisme, tindakan memilih
keluarga, teman-teman, ataupun orang-orang tertentu dengan berdasarkan pertimbangan
adanya hubungan satu sama lain, bukan karena kemampuan ataupun hasil kerja yang dimiliki
seseorang dan dengan tidak mempertimbangkan konsekuensinya apa kesejahteraan publik.
Garner (2009) dalam Black’s Law Dictionary memberikan definisi mengenai beberapa bentuk
korupsi yang telah disebutkan di atas, sebagai berikut: (1) bribe: harga, imbalan, hadiah atas
permohonan yang diberikan sesuai yang telah dijanjikan dengan maksud untuk
memutarbalikkan penilaian atau mempengaruhi tindakan seseorang dalam hal kepercayaan.
(2) gratification: sebuah kesukarelaan memberikan imbalan atau balasan untuk layanan atau
manfaat yang telah didapatkan; gratifikasi. (3) fraud: sebuah kekeliruan dalam mengetahui
kebenaran atau penyembunyian fakta material untuk mendorong orang lain bertindak yang
justru merugikan dirinya sendiri. Penipuan biasanya perbuatan melawan hukum, namun
dalam beberapa kasus (terutama ketika perilaku dengan sengaja melakukan) mungkin
kejahatan. (4) mark up: jumlah yang ditambahkan ke biaya barang untuk menentukan harga
jual, meningkatkan harga barang, merevisi atau mengubah (tagihan legislatif, aturan, dan lainlain) dan dituliskan ke dalam laporan akhir sebelum laporan tersebut dilaporkan. (5) black
mail: Sebuah permintaan yang mengancam dibuat tanpa justifikasi; pemerasan. Tindakan atau
praktek memperoleh sesuatu dengan cara ilegal, seperti dengan kekerasan atau paksaan. (6)
nepotism: Pemberian bantuan resmi pada seorang kerabat terutama dalam perekrutan.
Djaja (2010) berdasarkan UURI No. 31 Tahun 1999 juncto UURI No. 20 Tahun 2001, juga
menambahkan beberapa definisi istilah bentuk korupsi terkait, sebagai berikut: (1) suap:
sejumlah uang atau benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau
penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan yang ada atau kedudukan untuk
memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi menggunakan uang atau aset orang
yang melakukan penyuapan. Penyuapan selalu melibatkan pihak yang melakukan suap dan
pihak yang menerima suap, (2) pemerasan: pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara
meminta bahkan cenderung melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan
pelayanan atau bantuan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tersebut, dan (3)
gratifikasi: pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tidak tahu menahu kalau akan
diberi sejumlah uang atau benda berharga, tidak ada deal atau kesepatakan besar nilai uang
atau benda, mengenai dimana, dengan siapa, dan kapan penyerahannya di antara kedua belah
pihak, tetapi secara sepihak dan tanpa diduga pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara
tersebut menerima pemberian atau gratifikasi.
Beberapa definisi dan penjelasan bentuk korupsi di atas dapat dibuat kesimpulan mengenai
dimensi kecenderungan anti korupsi, sebagai berikut:

7

1. Anti-Bribe: perilaku menghindari pemberian dan penerimaan uang atau benda tertentu
yang memiliki maksud mempengaruhi tindakan penerima demi kepentingan pemberi
yang bertentangan dengan hukum dan wewenang penerima
2. Anti-Gratification: perilaku menghindari penerimaan imbalan atau balasan atas
layanan atau keuntungan yang telah didapat pemberi, yang sebelumnya bahkan tidak
ada kesepakatan awal di antara kedua belah pihak.
3. Anti-Fraud: perilaku menghindari penyembunyian atau pemutarbalikan fakta, juga
termasuk perilaku yang justru mendorong orang lain melakukan tindakan yang
merugikan diri sendiri
4. Anti-Mark up: perilaku menghindari penambahan (menggelembungkan) biaya item,
pengubahan tagihan, aturan dan lain-lain dalam menentukan harga jual yang nantinya
dituliskan ke dalam laporan akhir sebelum akhirnya laporan tersebut dilaporkan.
5. Anti-Black mail: perilaku menghindari pemerasan dan ancaman, atau tindakan ilegal
lain yang serupa seperti penggunaan kekerasan, paksaan, ataupun memunculkan
informasi-informasi beresiko yang dapat menghancurkan demi mendapatkan suatu
kesepakatan dengan seseorang.
6. Anti-Nepotism: perilaku menghindari tindakan memilih keluarga, teman, atau kerabat
lainnya dengan tidak mempertimbangkan kemampuan atau hasil kerja melainkan
hanya berdasar hubungan pribadi, terutama dalam perekrutan.
Abidin & Siswadi (2014), menjelaskan mengenai adanya faktor-faktor psikologis (internal)
perilaku korupsi, seperti: (1) kepribadian, faktor kepribadian yang diungkap berupa the big
five personality (openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan
neuroticism); (2) motivasi, teori motivasi yang digunakan adalah teori motivasi McClelland
(need for achievement, need for power, dan need for affiliation); dan (3) locus of control,
Laveson membagi konsep locus of control menjadi tiga (internality, powersful others, dan
chance), selain perilaku korupsi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal seperti birokrasi,
penegakan hukum, sistem politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Dari studi yang dilakukan Abidin & Siswadi didapati hasil bahwa faktor-faktor psikologis di
atas juga terkait dengan perilaku korupsi. Chance, power motive, dan complience (indikator
agreeableness) yang tinggi memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan korupsi. Seorang
yang locus of control-nya masuk dalam kategori chance, cenderung berperilaku berdasarkan
persepsinya tentang ada tidaknya peluang atau kesempatan yang bersifat eksternal. Jika
kesempatan atau peluang untuk melakukan korupsi di tempat kerjanya terbuka lebar maka
besar kemungkinan dia akan melakukan korupsi. Apalagi jika didukung power motive dan
complience yang juga tinggi (dengan lingkungan sekitar yang mungkin juga korup).
Machiavellianism
Christie dan Geis (dalam Gunnthorsdottir, McCabe, & Smith, 2002) menjelaskan konsep
machiavellianism adalah kepribadian seseorang yang berdasarkan pada risalah Machiavelli
“The Prince” dan “Discourses on the First Decade of Titus Livius”, dimana
machiavelliansim merupakan kepribadian dengan kecenderungan manipulatif dan adanya
keyakinan bahwa hasil akhir membuat seseorang akan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkannya.
Beberapa hal terkait studi tentang machiavellianism dimana orang dengan kepribadian
machiavellianism ini kemudian disebut sebagai “mach”. Tipe mach cenderung menggunakan
8

taktik persuasi dan menjilat dalam mencapai tujuan mereka. Niat untuk berperilaku tidak etis
juga ditemukan dari tipe mach. Mereka menjadi cenderung lebih toleran terhadap perilaku
yang tidak etis tersebut. Dibandingkan dengan tipe mach rendah, tipe mach tinggi memiliki
motif intrinsik dan prioritas lebih pada hal seperti sex, uang, bisnis, kekuasaan, persaingan,
serta minat sosial yang rendah. Dalam memilih pekerjaan mereka cenderung lebih memilih
pekerjaan yang berorientasi bisnis daripada yang berorientasi membantu orang lain (Jones &
Paulus, 2009).
Seperti yang dikemukakan Christie (dalam Dahling et al., 2015), mach tinggi cenderung
memiliki tiga karakteristik (aspek). Pertama, cynical view of human nature, mereka
mengadopsi pandangan sinis dari dunia dan orang lain, mengharapkan bahwa setiap orang
diinvestasikan semata-mata kepentingan pribadi sendiri. Kedua, interpersonal tactics, mereka
bersedia untuk memanfaatkan taktik manipulatif untuk mempengaruhi orang lain dan
mengamankan hasil yang diinginkan. Ketiga, disregard for conventional morality, mereka
cukup bersedia keluar dari standar etika ketika perilaku yang tidak etis dinilai memberikan
keuntungan yang diperlukan atas orang lain. Demi mencapai hal ini, orang tipe mach
memerlukan kebebasan dari pertimbangan-pertimbangan etis.
Corral & Calvete (2000), ada 4 model berbeda terkait struktur faktor machiavellianism pada
skala Mach IV: (1) Model 1, machiavellianism sebagai struktur faktor tunggal; (2) Model 2,
machiavellianism sebagai struktur 2 faktor (interpersonal tactics dan cynical view of human
nature); (3) Model 3, machiavellianism sebagai struktur 3 faktor (interpersonal tactics,
cynical view of human nature, dan disregard for conventional morality. Ini adalah model asli
struktur faktor machiavellianism; dan (4) Model 4, machiavellianism sebagai struktur 4 faktor
(positive interpersonal tactics, negative interpersonal tactics, positive view of human nature,
dan cynical view of human nature).
Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
Tipe mach adalah seseorang dengan kecenderungan manipulatif yang sangat berorientasi pada
tujuan dan memiliki prioritas seperti pada bisnis, uang, kekuasaan, persaingan, serta
penghargaan akan berusaha mendapatkan tujuannya dengan berbagai cara walaupun harus
menggunakan cara yang tidak etis. Seperti yang diketahui sebelumnya, hasil studi
menjelaskan bahwa tipe machs diketahui memiliki kecenderungan memanipulasi dan
berperilaku amoral, menggunakan taktik manipulasi pikiran, penipuan, dan menjilat demi
mendapatkan tujuan mereka. Mereka juga lebih toleran terhadap perilau tidak etis dan mudah
terlibat penyimpangan di tempat kerja, termasuk seperti mencuri, berbohong, sabotase, dan
kecurangan lainnya. Hal ini dapat dihubungkan dengan perilaku korupsi yang juga mengarah
pada perilaku tidak etis.
Beberapa pengertian korupsi dan studi terkait juga telah menunjukkan bahwa korupsi adalah
perilaku yang tidak etis dan ilegal karena merusak dan bertujuan memperkaya diri demi
kepentingan pribadi, seperti terkait suap, penggelapan, menyalahgunaan jabatan, dan
sebagainya. Pemanfaatan kekuasaan atau otoritas untuk keuntungan keuangan pribadi yang
meliputi penggelapan, penyalahgunaan uang publik, dan eksploitasi informasi sensitif.
Korupsi akan membuat seseorang memanifestasikan dirinya melanggar aturan, standar sosial
dan peraturan hukum sehingga membuat mereka melakukan tindakan-tindakan tidak etis demi
mendapatkan keuntungan pribadi.

9

Dengan adanya kesamaan antara tipe mach dengan perilaku korupsi yaitu pada penggunaan
cara dalam pencapaian tujuan yang secara tidak etis, dan bahwa keduanya sama-sama
berorientasi pada tujuan atau kepentingan pribadi maka dapat ditemukan keterkaitan dimana
machiavellianism dan perilaku korupsi memiliki arah yang sama dan menjadi berkebalikan
antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi.
Hipotesis
Ada korelasi negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi,
artinya semakin tinggi machiavellianism seseorang maka semakin rendah kecenderungan
perilaku anti-korupsinya, dan sebaliknya semakin rendah machiavellianism seseorang maka
semakin tinggi kecenderungan perilaku anti-korupsinya.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan kuantitatif
korelasional dua variabel, yang bertujuan mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua
variabel yaitu machiavellianism dan kecenderungan perilaku anti-korupsi.
Penelitian korelasional adalah penelitian yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih,
yaitu sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain.
Derajat hubungan variabel dinyatakan dalam satu indeks yang dinamakan koefisien korelasi.
Koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan antarvariabel
atau untuk menyatakan besar kecilnya hubungan antara kedua variabel (Noor, 2014)
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pejabat struktural SD, SMP, dan SMK se-wilayah UPTD
Kecamatan “X” sejumlah 50 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Teknik sampling yang
digunakan adalah cluster sampling, pengambilan sampel berdasarkan daerah populasi yang
telah ditetapkan sebelumnya yaitu memilih pejabat struktural di Kecamatan “X”. Dalam
penelitian ini teknik cluster sampling digunakan karena populasi cukup luas sehingga
sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu daerah mana yang dijadikan sebagai sampel.
Terdapat 21 SD, 9 SMP, dan 6 SMK di Kecamatan “X”. Dari total 36 SD, SMP dan SMK,
sebanyak 25 sekolah dijadikan sampel dengan mengambil 2 orang pejabat struktural untuk
tiap sekolahnya.
Variabel dan Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, terdapat dua variable yaitu variable bebas dan variable terikat. Variabel
bebas dari penelitian ini adalah machiavellianism, sedangkan variabel terikat dari penelitian
ini adalah kecenderungan perilaku anti-korupsi.
Machiavellianism merupakan kecenderungan seseorang untuk bertindak manipulatif disertai
keyakinan untuk bisa menggunakan segala cara demi mencapai segala tujuan yang diinginkan,
bahkan walaupun sampai bertindak secara tidak etis. Machiavellianism ditandai seperti
10

adanya penggunaan taktik licik serta sering kali tidak etis demi melancarkan pencapaian
tujuan di tempat kerja mereka, melakukan tindakan yang berorientasi pada bisnis,
mengutamakan uang, kekuasaan, dan persaingan, serta kurang memiliki prioritas terkait
hubungan sosial. Skor yang diperoleh subjek penelitian dari skala Mach IV menunjukkan
machiavellianism seseorang.
Sedangkan untuk variabel terikatnya, kecenderungan perilaku anti-korupsi merupakan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku menghindari tindakan negatif yang bertujuan
memperkaya diri dan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak wajar. Kecenderungan
perilaku anti-korupsi ditandai dengan adanya penolakan terhadap suap, penggelapan uang,
penggunaan atau pengadaan barang-barang di luar tanggung jawab pribadi, pemerasan,
maupun nepotisme dalam pekerjaan. Skor yang diperoleh subjek penelitian dari skala
kecenderungan perilaku anti-korupsi menunjukkan seberapa tinggi kecenderungan seseorang
berperilaku anti-korupsi.
Instrument yang digunakan untuk mengetahui machiavellianism seseorang adalah skala
machiavellianism, yaitu skala adaptasi Mach IV yang disusun Christie dan Jolie (1970),
dimana dari 3 aspek skala machiavellianism yaitu interpersonal tactics, cynical view of
human nature, dan disregard for conventional morality dikembangkan dalam 4 faktor
(positive interpersonal tactics, negative interpersonal tactics, positive view of human nature,
dan cynical view of human nature). Skala Mach IV disusun dalam 20 item. 10 item
mengindikasikan mach tinggi dan 10 item mengindikasikan mach rendah. Subjek diminta
untuk menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan pada 6-point (1
= Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Sedikit Tidak Setuju, 4 = Sedikit Setuju, 5 =
Setuju dan 6 = Sangat Setuju). Koefisien alpha versi asli skala ini adalah .70, dengan masingmasing subskala bernilai: .50, .53, .62. dan .40 untuk positive view of human nature, cynical
view of human nature, positive interpersonal tactics, dan negative interpersonal tactics.
Setelah dilakukan try out dengan menggunakan versi bahasa Indonesia, diketahui koefisien
alpha .918 dengan 17 item valid.
Tabel 1. Blueprint Skala Machiavellianism
Aspek skala

Favorable

Negative
Interpersonal
Tactics
Positive
Interpersonal
Tactics
Cynical View
Human Nature
Positive View
Human Nature
Jumlah

1, 2, 12, 15

of

Unfavorable

Item Valid setelah
Try Out
1, 12, 15

Jumlah Item Valid
setelah Try Out
3

3, 6, 7, 9, 10, 16

3, 6, 9, 10, 16

5

5, 8, 13,17, 18, 20

6

4, 11, 14, 19

4, 11, 14

3

10

17

17

5, 8, 13,17, 18, 20

of
10

Untuk kecenderungan perilaku anti-korupsi, skala yang digunakan adalah skala
kecenderungan perilaku anti-korupsi yang disusun oleh Wahyuni, Z. A., Adriani, Y., &
Nihayah, Z., yang kemudian jumlah butir dari masing-masing aspek skala dikembangkan.
Aspek-aspek yang terdapat dalam skala tersebut antara lain, anti-suap (anti-bribe), anti11

gratifikasi (anti-gratification), anti-penipuan (anti-fraud), anti-menggembungkan (anti-mark
up), anti-pemerasan (anti-black mail), dan anti-nepotisme (anti-nepotism). Subjek diminta
untuk menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan pada 4-point (1
= Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Setuju dan 4 = Sangat Setuju). Versi asli skala
ini hanya memiliki 1 item untuk masing-masing subskala sehingga skala dikembangkan
terlebih dahulu dan diperoleh 30 item yang kemudian setelah diujicobakan didapati 22 item
valid dengan koefisien alpha .861.
Tabel 2. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
Aspek skala

Favorable

Unfavorable

Anti- Suap
Anti-Gratifikasi
Anti-Penipuan
Anti-Menggembungkan
Anti-Surat Kaleng
Anti-Nepotism
Jumlah

1, 13, 20
2, 10, 24
3, 11, 30
4, 15, 25
16
6, 9, 28, 29
17

14, 22, 27
8
18, 21
7
5, 12, 19, 26
17, 23
13

Item Valid setelah
Try Out
13, 14, 20, 22, 27
8, 10, 24
11, 18, 21
4, 7, 15
12, 16, 19, 26
6, 17, 23, 29
22

Jumlah Item Valid
setelah Try Out
5
3
3
3
4
4
22

Prosedur dan Analisa Data
Prosedur penelitian ini diawali dengan menyusun instrumen penelitian berupa skala likert.
Untuk skala machiavellianism, digunakan skala adaptasi machiavellianism versi IV (Mach
IV) yang disusun Christie dan Jolie dengan jumlah item 20. Sedangkan untuk skala antikorupsi, digunakan skala kecenderungan perilaku anti-korupsi yang disusun oleh Wahyuni, Z.
A., Adriani, Y., & Nihayah, Z., yang kemudian dikembangkan jumlah item dari masingmasing aspek dalam skala tersebut, jumlah total item skala menjadi 30 item. Setelah itu,
dilakukan penyebaran angket untuk try out terhadap 50 orang guru dan staf di sekolah pada
tanggal 18 – 23 November 2015. Skala disebar dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas dari
instrumen. Pada skala adaptasi machiavellianism versi IV diketahui koefisien alpha .918
dengan 17 item valid. Sedangkan pada skala kecenderungan perilaku anti-korupsi, 22 item
valid dengan koefisien alpha .861.
Pada tahap pelaksanaan, skala dengan item valid setelah try out disebar untuk mendapatkan
data penelitian pada subjek yang sesuai penelitian. Penelitian dilaksanaan pada tanggal 14
Desember 2015 – 4 Januari 2016 terhadap 50 pejabat struktural SD, SMP, dan SMK sewilayah UPTD Kecamatan “X”. Skala penelitian diserahkan pada UPTD dan pendistribusian
skala kepada masing-masing pejabat struktural dilakukan oleh petugas dari UPTD kecamatan
tersebut.
Uji analisa dilakukan setelahnya, data diinput dan diolah menggunakan analisa Korelasi
Pearson dalam melakukan analisa data hasil instrument (skala) yang digunakan dalam
penelitian ini. Uji analisa dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi. SPSS versi 21.0 digunakan
dalam melakukan analisa data. Hasil analisa dibahas secara keseluruhan dan peneliti
mengambil kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

12

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil yang akan dijelaskan
melalui tabel-tabel berikut. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian
dijelaskan pada tabel pertama bab hasil penelitian ini. Subjek yang digunakan sejumlah 50
orang yang merupakan pejabat struktural SD, SMP, dan SMK se-wilayah UPTD Kecamatan
“X”. Uraian lebih rinci mengenai subjek penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
Kategori
Jenis Kelamin
Laki – Laki
Perempuan
Usia
31 – 40 Tahun
41 – 50 Tahun
51 – 60 Tahun
61 – 70 Tahun

Jumlah

Persentase

26
24

52%
48%

11
12
26
1

22%
24%
52%
2%

Tabel 3 menunjukkan deskripsi subjek yang digunakan dalam penelitian ini. Diketahui subjek
penelitian y

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA INTERNAL LOCUS OF CONTROL DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU KORUPSI PADA KARYAWAN

0 11 56

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Delinkuen Pada Remaja.

0 2 15

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU KENAKALAN REMAJA Hubungan Antara Konformitas dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja.

2 12 15

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING Hubungan Antara Kelekatan Tidak Aman Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING Hubungan Antara Kelekatan Tidak Aman Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA Hubungan Antara Regulasi Emosi Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying Pada Remaja.

2 13 17

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SMP Hubungan Antara Empati Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying Pada Siswa SMP.

1 9 17

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING Hubungan Antara Konformitas Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING Hubungan Antara Konformitas Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying.

0 1 18

HUBUNGAN ANTARA DEPRESI DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Hubungan Antara Depresi Dengan Kecenderungan Perilaku Merokok Pada Remaja.

0 1 12