kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat
dari beberapa parameter, antara lain : • Koefisien korelasi
Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan hubungan
linier relatif antara dua peubah Sucahyono et al.
2009. Persamaan koefisien korelasi adalah :
r
∑ ∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
............. 3 Jika nilai koefisien korelasi curah hujan
estimasi dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan
diantara keduanya sehingga pola nilai estimasi akan semakin mendekati pola data aktualnya.
• Root Mean Square Error RMSE Galat atau error didefinisikan sebagai
selisih antara curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi Wibowo 2010. RMSE
menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dilakukan oleh model estimasi curah hujan.
RMSE dapat diketahui dengan persamaan sebagai berikut :
RMSE =
∑
......................... 4 Jika nilai RMSE antara curah hujan estimasi
dan curah hujan observasi semakin kecil maka semakin kecil perbedaan diantara keduanya
sehingga nilai estimasi akan semakin akurat. • Uji Pearson
Uji Pearson merupakan uji non parametrik dalam statistika. Uji ini dilakukan
untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara peubah x dengan peubah y
dan melihat seberapa besar sumbangan suatu peubah terhadap peubah lainnya.
Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :
H
o
: tidak terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi
dan curah hujan observasi. H
1
: terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah
hujan observasi. Hipotesis diterima berdasarkan nilai P value,
jika P value kurang dari selang kepercayaan α maka tolak H
o
dan kedua data berbeda secara nyata.
IV. PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Klimatologi
Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki wilayah di daratan
dan lautan sehingga terbagi menjadi provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Provinsi
Riau secara geografis terletak antara 01° 05 00 LS - 02° 25 00 LU dan antara 100° 00
00 - 105° 05 00 BT. Provinsi ini terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah
89 150 km
2
. Secara umum, wilayah Provinsi Riau memiliki topografi dataran rendah dan
agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota antara 2-91 mdpl
http:www.riau.go.id.
Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi
Riau berdasarkan UU No. 25 tahun 2002. Provinsi ini terletak antara 01
o
10 00 LS – 5
o
10 00 LU dan antara 102
o
50 00 – 109
o
20 00 BT. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 4
kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 252 601 km
2
, sekitar 95 berupa lautan dan sisanya berupa daratan
http:www.kepriprov.go.id. Penelitian ini mengambil empat titik pengamatan, yaitu
Provinsi Riau diwakili oleh stasiun Pekanbaru dan stasiun Japura Rengat. Sementara itu,
Kepualuan Riau diwakili oleh stasiun Tanjung Pinang dan Dabo Singkep.
Perbedaan topografi antara wilayah daratan dan lautan akan menyebabkan
perbedaan kondisi klimatologis di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Secara
umum wilayah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar 2000-
3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan
http:www.riau.go.id. Berdasarkan distribusi hujan pada setiap stasiun Gambar 3 terlihat
bahwa wilayah Riau, baik Provinsi Riau maupun Kepulauan Riau memiliki pola hujan
ekuatorial, dimana pola ini berbentuk bimodal dua puncak hujan. Pola hujan tersebut tidak
memiliki perbedaan yang signifikan antara musim hujan dan musim kemarau. Menurut
Tjasyono 2004, puncak musim hujan pada pola ekuatorial terjadi sekitar bulan Maret dan
Oktober atau saat ekinoks.
Gambar 3 Pola hujan wilayah Riau.
4.2 Analisis Pola Hubungan Curah
Hujan Observasi Terhadap Curah Hujan CMORPH
Penggunaan data penginderaan jauh
untuk menduga unsur-unsur iklim, misalnya curah hujan diharapkan dapat
menanggulangi masalah ketersediaan data. Penelitian ini mencoba mengkaji
penggunaan data CMORPH untuk pendugaan curah hujan di wilayah Riau.
Umumnya, data penginderaan jauh bersifat global sehingga dalam pemanfaatannya perlu
dilakukan tinjauan awal pola hubungannya dengan data observasi di permukaan.
Pola hubungan antara data observasi dan data CMORPH dapat dilihat pada
Gambar 4. Berdasarkan hasil plotting kedua data Gambar 4 tersebut pada masing-
masing wilayah kajian menunjukkan bahwa pola curah hujan CMORPH cukup mampu
mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan. Dengan demikian, data
CMORPH memiliki potensi yang cukup baik untuk digunakan dalam menduga curah
hujan di permukaan.
Potensi pemanfaatan data CMORPH untuk pendugaan curah hujan permukaan
dapat pula ditunjukkan dari nilai korelasi r antara kedua data tersebut. Sementara itu,
persentase keragaman yang dapat diwakili oleh masing-masing pola hubungan dapat
dinilai berdasarkan koefisien determinasi R
2
dari masing-masing model regresi sederhana antara kedua data tersebut.
Pembangunan model regresi sederhana untuk setiap stasiun hujan dilakukan antara
data observasi sebagai peubah tak bebas y dan rataan nilai curah hujan setiap grid
dalam masing-masing domain data CMORPH sebagai peubah bebas x.
Gambar 4 Pola hubungan curah hujan dasarian observasi dengan data CMORPH pada masing-masing lokasi penelitian.
Pembangunan model estimasi curah hujan perlu memperhitungkan pengaruh
musim. Oleh karena itu, penelitian ini terlebih dulu melakukan pemisahan antara
musim hujan dan musim kemarau dengan menggunakan uji nyata dua regresi. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui apakah perlu dilakukan pemisahan model estimasi untuk
musim hujan dan musim kemarau.
Hasil uji dua regresi menunjukkan bahwa nilai
α lebih besar daripada taraf nyata sebesar 5 Lampiran 3-6. Hal ini
berarti bahwa persamaan regresi musim hujan dan musim kemarau tidak berbeda
nyata, sehingga kedua persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Dengan demikian,
dalam penelitian ini selanjutnya tidak diperlukan pemisahan model estimasi antara
musim hujan dengan kemarau.
4.3 Analisis Regresi Curah Hujan