I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data iklim seringkali bervariasi baik secara temporal maupun spasial, terutama di
wilayah tropis. Curah hujan merupakan unsur iklim paling penting di Indonesia yang
memiliki variasi sangat besar dibandingkan unsur iklim lainnya. Secara umum besarnya
curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai pengaruh orografik. Besarnya
curah hujan yang turun di wilayah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan
bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun Asdak 1995.
Variabilitas yang tinggi akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data
curah hujan, dimana data iklim yang memadai dibutuhkan untuk memperoleh gambaran
iklim suatu wilayah. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia yang belum
mencakup seluruh wilayah, peralatan yang rusak dan tidak sesuai standar penempatan
akan menghasilkan data kosong untuk pencatatan harian Tejasukmana
Khomarudin 2000. Oleh karena itu, masalah ketersediaan data iklim menjadi hal yang
biasa terjadi di Indonesia.
Kebutuhan akan ketersediaan data dan informasi yang akurat mendorong
berkembangnya pendugaan curah hujan dengan memanfaatkan data penginderaan
jauh. Salah satunya adalah dengan menggunakan radiometer gelombang mikro
pasif passive microwave radiometer – MWR. CMORPH CPC MORPHing Technique
merupakan salah satu teknik baru yang dikembangkan NOAA dalam menduga
besarnya curah hujan. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang
dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary
yang berupa infrared 10.7 mikron saat ketinggian awan 4m Joyce et al. 2004.
CMORPH akan menghasilkan curah hujan global dengan resolusi spasial dan temporal
yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dengan menggunakan teknik
downscaling.
Teknik downscaling merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan
informasi iklim regional yang diperoleh dari informasi global Sutikno 2008. Teknik
downscaling terbagi menjadi dynamical
downscaling dan statistical downscaling.
Pendugaan curah hujan berdasarkan data CMORPH ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan statistical downscaling
berdasarkan analisis kuadrat terkecil parsial partial least square.
Pemanfaatan data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan diharapkan dapat
menjadi jalan keluar dalam masalah ketersediaan data iklim.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi data CMORPH dalam menduga curah
hujan permukaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaman Hujan di Indonesia
Curah hujan merupakan unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap berbagai
unsur kehidupan. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang ditimbulkan
akibat adanya sel tekanan udara tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan
Australia secara bergantian. Dalam bulan- bulan Desember, Januari, dan Februari di
belahan bumi utara terjadi musim dingin sehingga terdapat sel tekanan tinggi di daratan
Asia. Sementara itu, di belahan bumi selatan pada waktu tersebut berlangsung musim panas
sehingga terdapat sel tekanan rendah di daratan Australia Tjasyono 2004.
Perbedaan tekanan di kedua daratan tersebut menyebabkan bertiupnya angin dari
sel tekanan tinggi di Asia menuju sel tekanan rendah di Australia pada periode Desember,
Januari, dan Februari. Angin ini disebut dengan monsun barat. Sementara itu,
sebaliknya pada periode Juni, Juli, dan Agustus terdapat sel tekanan tinggi di daratan
Australia dan sel tekanan rendah di daratan Asia. Hal ini mengakibatkan munculnya
monsun timur atau monsun tenggara Asdak 1995.
Letak Indonesia yang dilewati garis khatulistiwa dan berada dalam pengaruh
kawasan laut pasifik menjadikan Indonesia sebagai wilayah pertemuan sirkulasi
meridional dan sirkulasi zonal. Hal ini akan mempengaruhi keragaman iklim Indonesia,
salah satunya keragaman curah hujan. Berdasarkan distribusi rata-rata curah hujan,
wilayah Indonesia terbagi menjadi tiga pola hujan, yaitu pola monsoon, pola ekuatorial,
dan pola lokal. Pola monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember. Pola ekuatorial dicirikan oleh pola
hujan dengan bentuk bimodal, dimana terdapat dua puncak hujan sekitar bulan Maret
dan Oktober. Pola lokal dicirikan oleh bentuk unimodal satu puncak hujan namun
bentuknya berlawanan dengan pola hujan monsoon Boerema 1938 dalam Boer 2002.
Gambar 1 Pola Hujan di Indonesia. Sumber :
http:kadarsah.wordpress.com Pola hujan monsoon mencapai jumlah
curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Saat monsun barat jumlah curah
hujan melimpah, sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat sedikit
Tjasyono 2004. Pola hujan monsoon dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu tipe A
dan tipe B. Kedua tipe memiliki pola yang sama, namun terdapat perbedaan yang cukup
jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Tipa A memiliki musim kemarau yang lebih
panjang meliputi wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara dan secara
keseluruhan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B Jawa, Sumatera, dan Sulawesi
Selatan. Secara umum, keragaman hujan musim kemarau April – September lebih
besar dibandingkan musim hujan Oktober – Maret. Pada pola hujan ini pengaruh angin
musim Australia selama musim hujan sangat jelas terlihat Boer 2002.
Pola hujan lokal disebut juga dengan tipe C, dimana umumnya lebih dipengaruhi
oleh sifat lokal wilayah Tjasyono 2004. Wilayah yang memiliki pola hujan ini
meliputi bagian timur ekuator Indonesia Maluku dan Sorong. Musim kemarau pada
wilayah ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan pada pola
hujan ini lebih besar dibandingkan tipe A dan tipe B Boer 2002.
Pola hujan ekuatorial memiliki dua puncak hujan yang terjadi saat matahari
berada dekat ekuator, yaitu sekitar bulan Maret dan Oktober Tjasyono 2004. Pola
ekuatorial dibagi menjadi tipe D dan tipe E. Tipe D mencakup wilayah pantai barat
Sumatera Utara, sedangkan tipe E mencakup daerah wilayah pantai barat Sumatera Selatan.
Pada wilayah ini musim kemarau tidak begitu jelas Boer 2002.
2.2 Permasalahan Data Hujan di