Rancang Bangun Alat Destilasi Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

(1)

SKRIPSI

OLEH

BAYU DWINARSO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

SKRIPSI

OLEH :

BAYU DWINARSO

050308007/TEKNIK PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si) (Ainun Rohanah, STP, M.Si)

Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

Ainun Rohanah.

Bioetanol berbahan baku ubi kayu merupakan alternatif dalam mengatasi semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, yang dapat memberikan dampak di segala sektor kehidupan terutama sektor transportasi. Selain ubi kayu mudah diperoleh, proses destilasi juga mudah dilakukan, sehingga memiliki prospek yang cerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain, membuat dan menguji alat destilasi bioetanol, dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2010 di Laboratorium Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Parameter yang diamati adalah kapasitas efektif alat, efisiensi alat, kadar alkohol, analisis ekonomi, titik impas dan analisis kelayakan usaha.

Hasil penelitian menunjukkan kapasitas efektif alat 195,84 ml/jam; efisiensi alat 67,4%; kadar alkohol 38,67% dan alat ini layak untuk dibuat. Kata kunci : ubi kayu, destilasi, bioetanol.

ABSTRACT

BAYU DWINARSO : The Engineering of Bioethanol Distiller with Raw Material of Cassava (Manihot esculenta Crantz), supervised by Saipul Bahri Daulay and Ainun Rohanah.

Bioethanol with raw material of cassava is the alternative in overcoming the rareness of unrenewable fuel availabality, that can give impact in every life’s sectors especially in transportation’s sector. Besides cassava is easy to get, the distilation process is also easy to do, so that it has fair prospect. This research was aimed to design, build and test the bioethanol distiller, conducted in January to March 2010 at the Laboratory of Agricultural Engineering Faculty of

Agriculture University of North Sumatera, Medan. The parameters observed were the effective capacity and efficiency of the equipment; the level of alcohol,

economy analysis, break event point and the feasibility study.

The result of the research showed that the effective capacity was 195,84 ml/hour; the efficiency of equipment was 67,4%; the level of alcohol was 38,67% and this equipment was feasible.


(4)

Bayu Dwinarso, dilahirkan di Medan pada tanggal 8 November 1987 dari ayah Alm. Y.R. Sunarso dan ibu Nazlina. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 13 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian di Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Komandan Tingkatan untuk Stambuk 2005, sebagai Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) pada tahun ajaran 2009 hingga 2010, serta menjadi Badan Pengurus Organisasi (BPO) pada Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian pada tahun ajaran 2009-2010 dan juga menjadi anggota pada kegiatan organisasi Agriculture

Technology Moslem (ATM).

Pada tanggal 20 Juni 2009 sampai dengan 20 Juli 2009, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Adolina, kabupaten Serdang Bedagai.


(5)

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Rancang Bangun Alat Destilasi Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu (Manihot esculenta

Crantz), yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di

Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan kakak karena telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada om Andi yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam membantu penulis dan menyelesaikan pembuatan alat. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ainun Rohanah, STP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberi masukan berharga kepada penulis mulai dari penetapan judul, melakukan penelitian, hingga pada tahap skripsi.

Di samping itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi Pertanian, serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(6)

Hal.

ABSTRAK ………….……….… i

ABSTRACT ……….… i

RIWAYAT HIDUP ……….… ii

KATA PENGANTAR ……….… iii

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR LAMPIRAN ……… vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….……… 1

Tujuan Penelitian ………...……….. 6

Batasan Penelitian ………...………...…….. 6

Kegunaan Penelitian ………...………. 6

TINJAUAN PUSTAKA Krisis Energi ……… 7

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) ... 8

Bioetanol ... 11

Proses Pembuatan Bioetanol ... 14

Destilasi ... 18

Kondensor ... 21

Kekuatan Bahan Dasar Pembuatan Alat ... 21

Analisis Ekonomi Alat ... 22

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 24

Bahan dan Alat ... 24

Bahan …………..………...……….. 24

Alat ……….………...……….. 24

Metode Penelitian ... 24

Komponen Alat ... 25

Persiapan Penelitian ... 26

Prosedur Penelitian ... 27

Parameter Penelitian ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Prinsip Kerja Alat ………...………….……… 37

Alat Destilasi Bioetanol …..………...……….……….………… 37

Proses Pendestilasian ……..………...……….……….………… 39

Kapasitas Efektif Alat ………….…...……….……….………… 40

Efisiensi Alat ………...……...……….………… 41

Kadar Alkohol ……….……...………...……….. 42

Analisis Ekonomi ………...………...……….. 42

Break Even Point ………...………....…….. 43

Net Present Value ………...………...……….. 43


(7)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ………….….…………...……….. 44

Saran ………...……….. 45

DAFTAR PUSTAKA ……….…….……… 46


(8)

No. Hal.

1. Kandungan zat gizi ubi kayu (per 100 g) ………..……... 9

2. Kandungan zat gizi buah ubi kayu (per 100 g) ……….……. 10

3. Kandungan zat gizi daun ubi kayu (per 100 g) ……….. 10

4. Konversi bimassa menjadi bioetanol ……….… 12

5. Data parameter yang diamati ………..……… 37

6. Kebutuhan alat untuk satu kali proses destilasi ……….………… 39

7. Hasil destilasi ……….… 40


(9)

No. Hal.

1. Flowchart penelitian ..……….… 49

2. Flowchart pembuatan bioetanol berbahan baku ubi kayu ..………….… 50

3. Gambar alat destilasi ...……..………... 52

4. Perhitungan kapasitas efektif alat, efisiensi alat dan kadar alkohol .…... 53

5. Analisis ekonomi ...……..………... 54

6. Break even point ...……..………... 58

7. Net present value ...……..………... 60

8. Internal rate of return ...……..………... 64

9. Spesifikasi alat destilasi bioetanol tipe sederhana ..…..………... 65

10. Prinsip kerja alat ...……..………... 66

11. Biaya produksi bioetanol dari ubi kayu untuk 1 kali pendestilasian ... 67

12. Dokumentasi selama penelitian ...…..…………... 68


(10)

Ainun Rohanah.

Bioetanol berbahan baku ubi kayu merupakan alternatif dalam mengatasi semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, yang dapat memberikan dampak di segala sektor kehidupan terutama sektor transportasi. Selain ubi kayu mudah diperoleh, proses destilasi juga mudah dilakukan, sehingga memiliki prospek yang cerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain, membuat dan menguji alat destilasi bioetanol, dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2010 di Laboratorium Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Parameter yang diamati adalah kapasitas efektif alat, efisiensi alat, kadar alkohol, analisis ekonomi, titik impas dan analisis kelayakan usaha.

Hasil penelitian menunjukkan kapasitas efektif alat 195,84 ml/jam; efisiensi alat 67,4%; kadar alkohol 38,67% dan alat ini layak untuk dibuat. Kata kunci : ubi kayu, destilasi, bioetanol.

ABSTRACT

BAYU DWINARSO : The Engineering of Bioethanol Distiller with Raw Material of Cassava (Manihot esculenta Crantz), supervised by Saipul Bahri Daulay and Ainun Rohanah.

Bioethanol with raw material of cassava is the alternative in overcoming the rareness of unrenewable fuel availabality, that can give impact in every life’s sectors especially in transportation’s sector. Besides cassava is easy to get, the distilation process is also easy to do, so that it has fair prospect. This research was aimed to design, build and test the bioethanol distiller, conducted in January to March 2010 at the Laboratory of Agricultural Engineering Faculty of

Agriculture University of North Sumatera, Medan. The parameters observed were the effective capacity and efficiency of the equipment; the level of alcohol,

economy analysis, break event point and the feasibility study.

The result of the research showed that the effective capacity was 195,84 ml/hour; the efficiency of equipment was 67,4%; the level of alcohol was 38,67% and this equipment was feasible.


(11)

Latar Belakang

Pemanasan global yang terjadi 15 tahun terakhir telah memicu pengembangan bahan bakar yang ramah lingkungan. Sebab, efek peningkatan suhu bumi yang disebabkan pemakaian bahan bakar minyak yang berlebihan yang mengakibatkan semakin mencairnya permukaan salju kutub utara dan es terapung di Laut Artik (Hartiningsih, 2007).

Kelangkaan bahan bakar minyak yang terjadi belakangan ini telah memberikan dampak yang sangat luas di berbagai sektor kehidupan. Sektor yang paling cepat terkena dampaknya adalah sektor transportasi. Fluktuasi suplai dan harga minyak bumi seharusnya membuat kita sadar bahwa jumlah cadangan minyak yang ada di bumi semakin menipis. Karena minyak bumi adalah bahan bakar yang tidak bisa diperbaharui maka kita harus mulai memikirkan bahan penggantinya.

Ketersediaan energi merupakan syarat mutlak khususnya dalam pelaksanaan pembangunan nasional baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang, guna menjamin pemenuhan pasokan energi yang merupakan tantangan utama bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan energi saat ini pada umumnya didominasi oleh energi fosil yaitu minyak bumi, gas bumi dan batubara. Di lain pihak, adanya cadangan energi fosil yang terbatas, seharusnya dilakukan antisipasi dengan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil tersebut. Sebagai ilustrasi, cadangan terbukti sumber daya fosil Indonesia yaitu


(12)

miliar barel minyak bumi, 185,8 TSCF gas bumi dan 19,3 miliar ton batubara. Dengan tingkat produksi minyak bumi, gas bumi dan batubara masing-masing sebesar 387 juta barel, 3 TSCF dan 132 juta ton per tahun, masing-masing sumber daya fosil tersebut akan habis dalam waktu 23 tahun, 62 tahun dan 146 tahun (Walisiewicz, 2003).

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki sumber energi non fosil relatif besar. Namun pemanfaatannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang ada. Sebagai ilustrasi, sampai dengan tahun 2004 pemanfaatan energi non fosil untuk pembangkitan listrik seperti tenaga air, panas bumi, surya, angin dan biomassa, hanya sebesar 5511,5 MW atau 14% dari total pembangkit listrik nasional (39.588 MW). Terlihat dengan jelas bahwa pangsa energi non fosil untuk pembangkit listrik relatif masih rendah. Pemanfaatan energi non fosil yang masih rendah ini disebabkan antara lain tingginya investasi yang dibutuhkan yang menyebabkan biaya produksi energi yang berasal dari energi non fosil relatif mahal, sehingga kurang kompetitif bila dibandingkan dengan harga energi yang berasal dari energi konvensional atau energi fosil. Namun demikian pemakaiannya saat ini harus segera digantikan dengan energi alternatif yang bersifat terbarukan dan ramah lingkungan, mengingat cadangan sumber energi fosil tersebut semakin menipis.

Kebijakan energi nasional mentargetkan pada tahun 2000-2025 sebesar 5% kebutuhan energi nasional harus dapat dipenuhi melalui pemanfaatan biofuel sebagai energi baru. Dalam pelaksanaannya didukung oleh Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang menginstruksikan kepada Menteri terkait sesuai


(13)

dengan lingkup tugasnya. Sumberdaya hayati yang terjamin ketersediaannya di bumi Indonesia yang subur merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber biofuel. Teknologi pengolahan dan pemanfaatan biofuel sudah banyak dikuasai oleh institusi terkait dan saat ini sudah dapat diaplikasikan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan energi nasional sesuai dengan arah kebijakan energi nasional.

Sebenarnya di Indonesia terdapat berbagai sumber energi terbarukan yang melimpah, seperti bahan bakar biodiesel dari tanaman jarak pagar, kelapa sawit atau kedelai. Atau bahan bakar ethanol dari biomassa, tebu, jagung, dan lainnya yang biasa dipergunakan sebagai pengganti bensin. Selain itu pembakaran bahan bakar fosil ini telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu penyebab pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan ini adalah kualitas udara yang semakin menurun akibat asap pembakaran minyak bumi, kemudian efek gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh gas CO2 hasil pembakaran minyak bumi yang mengakibatkan bumi menjadi semakin panas. Seperti kita ketahui pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna akan menghasilkan gas CO2 yang lama kelamaan akan menumpuk di atmosfer dan pada akhirnya radiasi sinar matahari yang dipancarkan ke bumi seharusnya dipantulkan kembali ke angkasa, namun karena adanya penumpukan CO2 ini di atmosfer maka akan menghalangi pantulan tersebut. Akibatnya radiasi akan kembali diserap oleh bumi yang akhirnya meningkatkan temperatur udara di permukaan bumi. Beberapa efek tersebut hanya sebagian dari efek negatif bahan bakar fosil yang kemudian masih diikuti serangkaian efek negatif lain bagi manusia. Oleh karena itu pemakaian suatu


(14)

bahan bakar terbarukan yang lebih aman bagi lingkungan adalah suatu hal yang mutlak.

Diantara beberapa jenis bahan bakar, premium cukup dominan penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi nasional. Kebutuhan premium untuk transportasi di dalam negeri akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, wilayah permukiman, perkotaan, dan infrastrukur transportasi. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan campuran premium murni dan tidak mempengaruhi kinerja mesin kendaraan.

Alasan penulis memakai ubi kayu sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol sesuai dengan Rukmana (1997), ini karena bahan bakunya mudah dan murah didapatkan, kadar gula yang cukup tinggi daripada ubi jalar serta lebih mudah diolah menjadi bioetanol.

Bioetanol C2H5OH adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol merupakan komoditas yang menjanjikan bagi bahan bakar pengganti di Indonesia. Faktor yang menyebabkan cerahnya prospek pengembangan bioetanol antara lain adalah :

1. Kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli yang kecil dari masyarakat

2. Mudahnya mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah 3. Ketersediaan lahan untuk bahan baku yang relatif memadai.

Kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli masyarakat Indonesia yang rendah dapat diatasi dengan penggunaan bioetanol. Proses dalam pembuatan


(15)

bioetanol meliputi persiapan baha baku, fermentasi, dan pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan alat destilasi atau destilator. Proses destilasi ini dapat dilakukan di laboratorium atau dengan menggunakan alat destilasi yang dirancang sendiri sesuai keinginan. Alat ini dapat dirancang dan dibuat dalam ukuran/skala besar maupun kecil. Pada umumnya mereka yang menggunakan alat ini dalam skala besar adalah mereka yang memproduksi bioetanol dalam jumlah yang banyak. Destilator dalam skala kecil atau menengah biasanya digunakan oleh mereka yang memproduksi bioetanol dalam skala rumah tangga.

Perancangan alat destilasi ini harus secara hati-hati. Perlu memperhatikan bahan baku pembuatan alat dan bentuk alat itu sendiri. Destilator dengan bahan yang terbuat dari kaca akan lebih tahan terhadap panas, mudah pengamatannya karena transparan, namun mudah pecah dan biaya pembuatannya yang cukup mahal, namun alat ini biasanya diperuntukkan bagi laboratorium. Alternatif lainnnya misalnya besi, alumunium, atau bahan stainless steel. Stainless steel ini sebenarnya baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan alat destilasi karena lebih kuat, tahan panas, dan tidak menyebabkan korosi. Namun harganya yang relatif mahal menjadi hambatan. Sangat jarang digunakan sebagai bahan baku.

Destilator yang terbuat dari besi lebih jarang lagi ditemukan. Selain lebih berpotensi menyebabkan korosi, perawatannya juga sangat sulit. Alternatif yang sering dipakai adalah alumunium. Selain tidak menyebabkan korosi, tahan panas, mudah dibentuk, harganya juga relatif murah. Namun, ketiga bahan ini mempunyai satu kelemahan yang sama, yaitu kesulitan dalam pengamatan karena bahan-bahan tersebut tidak transparan (Nixon, 1999).


(16)

Alat destilasi yang dirancang sendiri ini berbahan dasar alumunium sehingga diharapkan dapat membantu mereka yang berkeinginan kuat dengan bahan baku yang melimpah namun kurang memiliki modal usaha dan kurang mampu dalam memproduksi bioetanol dalam skala besar maupun kecil.

Tujuan Penelitian

Mendesain, membuat, dan menguji alat destilasi bioetanol yang terbuat dari alumunium sesuai dengan parameter yang diamati.

Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya membahas tentang alat destilasi untuk menghasilkan bioetanol berkadar 40% dengan menggunakan destilasi I tingkat.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai alat destilasi bioetanol

3. Bagi masyarakat, khususnya bagi pengusaha skala kecil untuk membantu memproduksi bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.


(17)

Energi fosil khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama dan merupakan sumber devisa negara. Krisis BBM baru-baru ini menunjukkan cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia terbatas jumlahnya. Fakta menunjukkan konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Terbatasnya sumber energi fosil menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang disebut pengembangan energi hijau. Yang dimaksud dengan energi terbarukan di sini adalah energi non-fosil yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui. Bila dikelola dengan baik, sumber daya itu tidak akan habis. Di Indonesia pemanfaatan energi terbarukan dapat digolongkan dalam tiga kategori, yang pertama adalah energi yang sudah dikembangkan secara komersial, seperti biomassa, panas bumi dan tenaga air. Yang kedua, energi yang sudah dikembangkan tetapi masih secara terbatas, yaitu energi surya dan energi angin, dan yang terakhir, energi yang sudah dikembangkan, tetapi baru sampai pada tahap penelitian, misalnya energi pasang surut. Salah satu sumber energi alternatif adalah energi biomassa yang berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, peternakan atau bahkan sampah. Energi dari biomassa dapat digunakan untuk menghasilkan panas, membuat bahan bakar dan membangkitkan listrik. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Hasil


(18)

konversi biomassa ini dapat berupa gas biomassa, bioetanol, biodiesel dan bahan bakar cair (Sudaryanto, 2007).

Jika ditelaah lebih jauh, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni:

1. Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru)

2. Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan terhadap minyak lebih besar dibandingkan minyak yang diproduksi

3. Polusi yang mengakibatkan terjadinya gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil (Salim, 2005).

Bioetanol merupakan alternatif penyedia energi yang merupakan senyawa alkohol dan dapat diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Bahan baku pembuatan bioetanol dapat berupa ubi kayu, jagung, ubi jalar, dan tebu. Semuanya merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang sangat mudah ditemukan di Indonesia karena iklim dan keadaan tanah Indonesia yang mendukung pertumbuhan tanaman tersebut. Ubi kayu dinilai sebagai sumber karbohidrat yang paling potensial untuk diolah menjadi bioetanol. Hal ini dikarenakan ubi kayu memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit, dapat diatur waktu panennya serta dapat tumbuh di tempat yang kurang subur (Karmawati, 2009).

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

Menurut tulisan penamaan ubi kayu sekarang ini adalah Manihot esculenta Crantz dan bersinonim dengan penamaan awalnya yaitu Manihot utilissima, sehingga dengan kata lain


(19)

tidak ada perbedaan antara kedua nama tersebut karena dianggap satu jenis yaitu ubi kayu.

Ubi kayu atau singkong (Mannihot esculenta) berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke-17 dibawa oleh pedagang Spanyol dari Mexico ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubi kayu mengandung air sekitar 60%, pati 25-35%, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Ubi kayu merupakan sumber energi yang lebih tinggi dibanding padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum. Singkong diolah menjadi bioetanol, pengganti premium. Menurut Dr. Ir. Tatang H Soerawidjaja, dari Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati sendiri merupakan senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan glukoamilase yang berperan sebagai pengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula, baru difermentasi menjadi etanol (Widianta dan Deva, 2008).

Tabel 1. Kandungan zat gizi Ubi kayu (per 100 g)

Komposisi Kadar

Kalori 146 kal

Protein 1,2 g

Lemak 0,3 g

Hidrat arang 34,7 g

Kalsium 33 mg

Fosfor 40 mg

Zat besi 0,7 mg


(20)

Tabel 2. Kandungan zat gizi buah ubi kayu (per 100 g)

Komposisi Kadar

Vitamin B1 0,06 mg

Vitamin C 30 mg

75% bagian buah dapat dimakan (Sumber : Rukmana, 2006)

Tabel 3. Kandungan zat gizi daun ubi kayu (per 100 g)

Komposisi Kadar

Vitamin A 11.000 SI

Vitamin C 275 mg

Vitamin B1 0,12 mg

Kalsium 165 mg

Kalori 73 kal

Fosfor 54 mg

Protein 6,8 g

Lemak 1,2 g

Hidrat arang 13 g

Zat besi 2 mg

87% bagian daun dapat dimakan (Sumber : Rukmana, 2006)

Sedangkan kulit batang ubi kayu mengandung tanin, enzim peroksidase,

glikosida dan kalsium oksalat. Secara taksonomi ubi kayu dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Famili : Euphorbiaceae Upa famili : Crotonoideae Bangsa : Manihoteae Genus : Mannihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz (Rukmana, 2006).


(21)

Bioetanol

Bioetanol berasal dari dua kata yaitu ”bio” dan “etanol” yang berarti sejenis alkohol yang merupakan bahan kimia yang terbuat dari bahan baku tanaman yang mengandung pati, misalnya ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sagu. Etanol merupakan senyawa alkohol yang mempunyai dua atom karbon (C2H5OH). Rumus kimia umumnya adalah CnH2n+1OH. Karena merupakan senyawa alkohol, etanol memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih), berfase cair pada temperatur kamar, mudah menguap, serta mudah terbakar. Etanol dapat diperoleh melalui proses fermentasi biomassa. Oleh karena berbahan dasar biomassa, maka selanjutnya lebih dikenal dengan bioetanol. Bioetanol ini dapat dibuat dari ubi kayu, tetes tebu, atau jagung (Prihandana dan Hendarko, 2007).

Bioetanol adalah etanol yang berasal dari sumber hayati. Bioetanol bersumber dari gula sederhana, pati dan selulosa. Setelah melalui proses fermentasi dihasilkan etanol. Etanol adalah senyawa organik yang terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai turunan senyawa hidrokarbon yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH. Etanol merupakan zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan menguap, dapat bercampur dalam air dengan segala perbandingan. Secara garis besar penggunaan etanol adalah : sebagai pelarut untuk zat organik maupun anorganik, bahan dasar industri asam cuka, ester, spirtus, asetaldehid, antiseptik dan sebagai bahan baku pembuatan eter dan etil ester, Etanol juga untuk campuran minuman dan dapat digunakan sebagai bahan bakar (gasohol).Proses pembuatan etanol dalam industri terdiri dari dua cara, yaitu:


(22)

1. Cara non Fermentasi

Suatu proses pembuatan alkohol yang sama sekali tidak menggunakan enzim atau jasad renik.

2. Cara fermentasi

Fermentasi merupakan proses metabolisme dimana terjadi perubahan kimia dalam subtrat/bahan organik karena aktifitas enzim yang dihasilkan jasad renik (Wahono, 2006).

Harga bioetanol sangat bervariasi tergantung dari kadarnya. Saat ini harga bioetanol untuk kadar (grade) 0-20 % harga jualnya berkisar Rp. 2.500 per liter,

grade tersebut biasanya digunakan untuk campuran minuman dan parfum. Untuk

kadar 20-40 % harganya sekitar Rp. 3.500 liter, kadar 70-80 % Rp. 12.000 sementara kadar 90 % keatas (untuk bahan bakar kendaraan Rp. 15.000 per liter), berarti Gross margin per liternya adalah sekitar Rp. 8. 000 (Siregar, 2009).

Tabel 4. Konversi biomasa menjadi bioetanol Biomassa Jumlah

biomassa (kg)

Kandungan gula (kg)

Jumlah hasil bioetanol

(liter)

Biomassa : Bioetanol

Ubi Kayu 1.000 250-300 166,6 6,5 : 1

Ubi Jalar 1.000 150-200 125 8 : 1

Jagung 1.000 600-700 400 2,5 : 1

Sagu 1.000 120-160 90 12 : 1

Tetes 1.000 500 250 4 : 1

(Sumber : BPPT, 2005)

Ada tiga faktor yang menyebabkan cerahnya prospek pengembangan bioetanol, antara lain adalah kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli yang kecil dari masyarakat, mudahnya mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah, dan ketersediaan lahan yang relatif memadai.


(23)

Pembuatan bioetanol secara garis besar melalui tiga proses, yaitu : 1. persiapan bahan baku

2. fermentasi

3. pemurnian (destilasi)

Kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli masyarakat Indonesia yang rendah dapat diatasi dengan penggunaan bioetanol (Trubus, 2007).

Karena proses pembuatan bioetanol meliputi fermentasi dan berbahan dasar biomassa, maka bioetanol juga dapat diartikan sebagai cairan biokimia dari proses fermentasi gula (sumber karbohidrat) dengan menggunakan bantuan mikroorganisme (Lowenstein, 1985).

Salah satu fungsi alkohol adalah sebagai octane booster, artinya etanol mampu menaikkan nilai oktan secara positif terhadap efisiensi bahan bakar. Fungsi lain ialah oxigenating agent, yakni alcohol mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan bakan dengan efek positif meminimalkan pencemaran udara. Karena bioetanol ini dapat dicampur dengan bensin sebagai bahan bakar, maka bioetanol juga dapat berfungsi sebagai penghemat bahan bakar fosil (Timnas BBN, 2007).

Mengingat pemanfaatan etanol/bioetanol beraneka ragam, maka grade etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk bioetanol yang mempunyai grade etanol 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade etanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan, harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga


(24)

etanol yang dibutuhkan untuk campuran kendaraan bermotor harus mempunyai

grade sebesar 99,5-100% (Reksowardojo, 2006).

Etanol dapat dicampur dengan bensin dalam kuantitas yang bervariasi untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak bumi, dan juga untuk mengurangi polusi udara. Bahan bakar tersebut dikenal di AS sebagai gasohol dan di Brasil sebagai bensin tipe C. Dua campuran umum di AS adalah E10 dan E85 yang mengandung 10% dan 85% etanol. Sedangkan campuran yang umum di Brasil adalah bensin tipe C dan jenis oktan tinggi, yang mengandung 20-25% ethanol (Wargiono, 2006).

Proses Pembuatan Bioetanol

Proses pembuatan bioetanol secara garis besar meliputi persiapan bahan, fermentasi, dan pemurnian (destilasi). Awalnya dipersiapkan bahan baku berupa ubi kayu, kemudian ubi kayu tersebut di kupas dari kulitnya kemudian dibersihkan. Setelah dibersihkan kemudian ubi kayu tersebut diparut dengan menggunakan parutan hingga halus. Setelah di parut kemudian ubi kayu tersebut di masak dengan penambahan air 1:4 serta di tambahkan enzym alfa-amilase dan dimasak selama 30 menit dengan suhu 100ºC. Setelah itu larutan tersebut di masak lagi dengan penambahan enzym gluko-amilase dan dengan mempertahankan suhu sekitar 60-65ºC selama 45 menit. Setelah itu, larutan tersebut dibiarkan dingin hingga suhu sekitar 25-30ºC agar dapat dicampurkan ragi agar mempercepat proses fermentasi dari larutan tersebut. Setelah dicampurkan dengan ragi,bahan tersebut dibaiarkan selama 4 hari agar alkohol dari larutan ubi tersebut muncul. Setelah 4 hari didiamkan, maka larutan tersebut disaring agar dapat didestilasikan cairannya, sementara endapannya dibuang.


(25)

Kenapa hanya beer bioetanol saja yang dimasak pada drum pemasakan, sedangkan endapannya di buang, karena apabila pada drum masakan, endapan juga ikut di masak, maka akan membuat destilasi tidak sempurna dan menimbulkan kerak serta kegosongan pada bagian bawah didalam drum masakan. Sehingga setelah disaring,larutan tersebut sudah menjadi beer bioetanol dengan kadar 7-9 % dan siap untuk didestilasikan selama 4 jam dengan suhu 85-95ºC, yang pada akhirnya akan menghasilkan bioetanol dengan kadar 40%. Produksi etanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Meliputi tahap pembersihan bahan, penggilingan, serta gelatinisasi. Tahap-tahap ini dilakukan pada bahan berpati, sedangkan pada bahan yang mengandung glukosa dapat langsung difermentasi. Selanjutnya fermentasi, dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi etanol. Pada umumnya hasil fermentasi adalah bioetanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 7-9%. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95%, maka alkohol hasil fermentasi ini harus melalui proses destilasi bertingkat atau dengan beberapa kali pengulangan. Destilasi dilakukan untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali. Proses destilasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat pemurni bioetanol yang disebut dengan destilator (Indartono dan Setyo, 2005).

Proses fermentasi merupakan proses biokimia dimana terjadi perubahan-perubahan atau reaksi-reksi kimia dengan pertolongan jasad renik penyebab fermentasi tersebut bersentuhan dengan zat makanan yang sesuai dengan pertumbuhannya. Akibat terjadinya fermentasi sebagian atau seluruhnya akan


(26)

berubah menjadi alkohol setelah beberapa waktu lamanya. Pati yang terkandung dalam garut dapat diubah menjadi alkohol, melalui proses biologi dan kimia (biokimia).

Fermentasi oleh yeast, misalnya dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2 melalui reaksi sebagai berikut:

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi: 1. Keasaman (pH)

2. Mikroba 3. Suhu

Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan. Pada suhu 10-30°C terbentuk alkohol lebih banyak karena ragi bekerja optimal pada suhu itu

4. Waktu

Laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi pertumbuhannya. Pada kondisi optimal, sekali setiap 20 menit

5. Makanan (nutrisi)

Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang menyediakan: Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon. Nitrogen, Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah urea. Mineral,


(27)

mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah satunya adalah asam

phospat yang dapat diambil dari pupuk TSP (Suhendar, 2007).

Dalam pembuatan bioetanol diperlukan tahapan fermentasi, dimana sebelum di fermentasikan pati diubah menjadi glukosa alias karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, diperlukan bantuan enzim alfa-amilase. Pati kemudian diurai oleh enzim beta-amilase menjadi glukosa. Setelah itu, glukosa difermentasi dengan ragi dan ditambahkan NPK dan Urea agar menjadi etanol (Purwono dan Purnamawati, 2007).

Proses destilasi adalah proses pemurnian alkohol. Alkohol memiliki titik didih 78ºC sementara air 100ºC. Karena itu apabila dipanaskan alkohol akan lebih dulu menguap daripada air. Pada hasil fermentasi yang mengandung alkohol 10 %, proses destilasi sederhana pada suhu 79-82ºC akan menghasilkan alkohol kadar 40-45 %. Alkohol 40% ini apabila di destilasi lagi akan menghasilkan kadar 60-70%. Jadi untuk menaikkan kadar alkohol sampai 95% keatas diperlukan destilasi berulang-ulang. Intinya adalah cairan yang mengandung alkohol apabila dipanaskan akan menghasilkan uap yang mengandung alkohol lebih kaya dari pada saat masih berbentuk cair yang diakibatkan perbedaan titik didih. Dengan prinsip ini, apabila kita bisa membuat cairan yang mengandung alkohol menguap, lalu mencair, lalu menguap lagi, dan lalu mencair lagi, demikian berulang-ulang dalam satu kali rangkaian proses dalam satu alat, maka sama saja alkohol yang dihasilkan telah mengalami rangkaian destilasi yang berulang. Ini artinya kita dapat merangkum beberapa kali proses destilasi dalam satu proses yang jauh lebih efisien dan menghasilkan alkohol yang lebih murni.


(28)

Adapun rangkaian peralatan proses dalam pengolahan bioetanol adalah sebagai berikut:

• Peralatan penggilingan

• Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi • External Heat Exchanger

Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators) • Tangki Penampung Bubur

Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor • Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol • Boiler, termasuk system feed water dan softener

Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting (Winarno dan Donny, 2006).

Destilasi

Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Bahan yang akan didestilasikan pada drum pemasakan tidak boleh penuh, melainkan harus menyediakan sedikitnya 10% ruang kosong dari kapasitas penuh drum pemasakan pada drum pemasakan (Kister, 1992).


(29)

Destilator adalah alat yang digunakan dalam proses produksi bioetanol. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, alat ini bekerja berdasarkan perbedaan titik didih (air dan etanol).

Macam-Macam Destilasi :

1. Distilasi Sederhana, prinsipnya memisahkan dua atau lebih komponen cairan berdasarkan perbedaan titik didih yang jauh berbeda.

2. Distilasi Fraksionasi (Bertingkat), sama prinsipnya dengan distilasi sederhana, hanya distilasi bertingkat ini memiliki rangkaian alat kondensor yang lebih baik, sehingga mampu memisahkan dua komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang berdekatan.

3. Distilasi Azeotrop : memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen yang sulit di pisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut, atau dengan menggunakan tekanan tinggi.

4. Distilasi Kering : memanaskan material padat untuk mendapatkan fasa uap dan cairnya. Biasanya digunakan untuk mengambil cairan bahan bakar dari kayu atau batu bata.

5. Distilasi Vakum: memisahkan dua kompenen yang titik didihnya sangat tinggi, motede yang digunakan adalah dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah dari 1 atm, sehingga titik didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu yang digunakan untuk mendistilasinya tidak perlu terlalu tinggi (Van Winkel, 1967).


(30)

Ketika bahan dipanaskan, etanol akan terlebih dahulu menguap daripada air karena etanol mempunyai titik didih yang lebih kecil (780C), sedangkan air mempunyai titik didih mencapai 100 0C. Destilator ini terdiri atas tiga bagian utama yaitu tempat bahan, pipa aliran uap, dan pipa keluaran. Ilustrasinya seperti berikut ini :

Gambar 1. Ilustrasi bagan alir destilator keterangan:

1. tempat bahan 2. pipa aliran uap 3. pipa keluaran

Ketika dipanaskan, etanol akan menghasilkan uap yang kemudian akan melewati pipa aliran. Hal ini dimaksudkan agar suhu etanol kembali menurun (mengembun) sehingga kembali pada fase cair dan selanjutnya akan mengalir menuju pipa keluaran untuk ditampung. Dengan beberapa kali pengulangan akan diperoleh etanol berkadar 95%-95,5%. Etanol dengan kadar ini sudah dapat digunakan oleh berbagai industri alkohol. Alat yang paling sering digunakan untuk melihat kadar ini adalah hidrometer alkohol. Penggunaan alkohol meter sangat sederhana, pertama masukkan bioetanol ke dalam gelas ukur atau tabung atau botol yang tingginya lebih panjang dari panjang alkohol meter. Kemudian masukkan batang alkohol meter ke dalam gelas ukur. Alkohol meter akan tenggelam dan batas

1

2


(31)

cairannya akan menunjukkan berapa kandungan alkohol di dalam larutan tersebut (Tjahjono dan Yudiarto, 2007).

Kondensor

Setelah dipanaskan, etanol yang menguap akan melalui pipa aliran uap. Agar uap kembali mencair, maka temperaturnya harus diturunkan. Penambahan kondensor dimaksudkan untuk mempercepat penurunan suhu agar proses pengembunan berlangsung lebih cepat (Suyamto dan Wargiono, 2006).

Kekuatan Bahan Dasar Pembuatan Alat

Brass alloy merupakan paduan dari tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang juga

mengandung unsur logam lainnya. Brass alloy Cu-Zn atau kuningan mempunyai resistansi korosi yang baik dan kekuatan tarik yang tinggi. Kuningan banyak mengandung butir dan fasa yang sama dengan berbagai mikrostruktur. Aplikasi kuningan banyak digunakan pada radiator mobil, pembuatan paku, rantai, skrup, dan lain-lain. Keunggulan alumunium adalah :

- mampu dibentuk dengan baik - massa jenisnya rendah

- penghantar panas dan listrik yang baik - mempunyai warna yang menarik - tahan karat

- sukar dilas (Surdia, 2000).

Aluminium pertama kali ditemukan oleh Hans Christian Oersted pada tahun 1825 dan didapat dari biji bauksit yang merupakan aluminium ialah Al, dan nomor atomnya 13. Aluminium bersifat tahan terhadap


(32)

korosif. Selain itu aluminium mempunyai nomor atom 13 dengan titik didih 2519 di dunia saat ini. Aluminium merupakan konduktor Merupakan konduktor yang baik juga buat panas. Dapat ditempa menjadi lembaran, ditarik menjadi kawat da bermacam-macam penampang. Kebanyakan darinya digunakan dalam kabel bertegangan tinggi. Juga secara luas digunakan dalam bingkai jendela dan badan da

Tembaga adalah suat lambang Cu da Tembaga merupaka digunakan sebagai pengantar cairan dengan suhu tinggi. Selain memiliki tingkat

Analisis Ekonomi Alat

Analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat secara layak untuk berkelanjutan dengan pembiayaan sendiri (self financing), dan selanjutnya dapat berkembang sendiri (self growing). Dalam analisis ini, keuntungan awal dianggap sama dengan nol. Bila pendapatan produksi berada di sebelah kiri titik impas maka kegiatan usaha akan menderita kerugian. Sebaliknya, bila berada di sebelah kanan titik impas maka usaha akan memperoleh keuntungan. Analisis titik impas ini juga digunakan untuk:


(33)

1. menghitung biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan usaha 2. merencanakan pengembangan pemasaran dalam rangka menetapkan

tambahan investasi untuk peraltan produksi

3. tingkat produksi dan penjualan yang menghasilkan ekivalensi (kesamaan) dari dua alternatif usulan investasi.

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung pada output yang dihasilkan. Semakin banyak produk yang dihasilkan maka akan semakin banyak bahan yang digunakan. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada banyak sedikitnya produk yang dihasilkan (Waldiyono, 2008).


(34)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Maret 2010 di Laboratorium Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat Bahan

Air, ubi kayu, enzym alfa-amilase, enzym gluko-amilase, ragi, drum 30 liter sebagai tempat bahan yang akan didestilasi, drum 20 liter sebagai tempat kondensor, pipa tembaga, hydrometer alkohol, gelas ukur, kompor gas, penutup/pembuka laju aliran air (kran) dan termometer.

Alat

Alat patri, palu, gergaji besi, bor listrik, gerinda, meteran, parutan, pisau, kamera, blender, timbangan, dandang, tabung gas 3 Kg, kalkulator, komputer dan alat tulis.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah studi literatur (kepustakaan) dan melakukan eksperimen dengan alat destilasi ini. Selanjutnya dilakukan perancangan dan pembuatan bentuk alat destilasi yang baik, kemudian dilakukan pengujian alat dengan pengamatan parameter.


(35)

Komponen Alat

Alat destilasi ini mempunyai beberapa komponen yaitu : 1. Kompor gas

Kompor gas berfungsi sebagai alat pemanas untuk memanaskan drum yang berisi bahan berupa bioetanol dan air. Selama proses pemanasan diusahakan suhu yang dihasilkan antara suhu 87-95ºC, karena apabila suhu mencapai 100 ºC, uap yang dihasilkan akan mengandung air, yang mengakibatkan penurunan kadar dari bioetanol yang dihasilkan.

2. Drum 30 liter

Drum ini berfungsi sebagai tempat bahan (bioetanol dan air) yang akan didestilasi. Pada drum ini dilengkapi termometer yang berfungsi untuk mengontrol suhu di dalam drum selama proses pemanasan/pemasakan. Drum ini berbentuk silinder yang pada bagian tutupnya diberi lubang keluaran uap yang dihubungkan dengan pipa alumunium yang berfungsi sebagai saluran uap yang akan dikondensasi

3. Pipa Tembaga

Pipa tembaga ini berfungsi sebagai pipa saluran uap berdiameter 1/4 inci. Pipa ini berfungsi untuk mengalirkan uap etanol yang dihasilkan dari proses pemanasan/pemasakan bioetanol di drum penampung menuju pipa ulir di dalam drum kondensor

4. Pipa ulir

Pipa ini terbuat dari tembaga dan berbentuk ulir yang berada di dalam kondensor. Pipa ulir ini berfungsi untuk mengubah etanol yang dihasilkan


(36)

dari proses pemanasan yang berupa fasa uap menjadi fasa cair dengan bantuan air yang merendam pipa ulir yang ada di dalam kondensor

5. Kondensor

Kondensor ini terdiri dari drum 20 L yang berisi air. Di bagian alas dan atas drum dilubangi sebagai tempat pipa ulir, bagian atas sebagai saluran pemasukan uap etanol dan bagian bawah sebagai saluran keluaran etanol yang telah berubah menjadi fasa cair. Air di dalam drum ini akan menurunkan temperatur uap etanol yang berada di dalam pipa ulir, sehingga etanol yang berfasa gas akan berubah fasa menjadi cair

6. Pipa keluaran

Pipa ini berfungsi untuk mengeluarkan hasil proses destilasi, pada pipa ini terdapat kran pembuka dan pengunci pipa

7. Gelas ukur

Gelas ukur berfungsi untuk mengukur volume bioetanol yang dihasilkan dari proses destilasi ini.

Persiapan Penelitian

a. Pembuatan alat

Adapun langkah-langkah dalam membuat alat destilasi ini yaitu : 1. Dirancang dan digambar bentuk alat destilasi

2. Dipilih bahan yang akan digunakan

3. Ditentukan ukuran bahan sesuai dengan gambar yang telah dirancang 4. Dipotong bahan sesuai ukuran


(37)

6. Disiapkan drum 30 L sebagai tempat pemasakan bahan yang dilengkapi dengan termometer. Kemudian pada tutup drum dibuat saluran pipa untuk mengalirkan uap etanol menuju kondensor

7. Disiapkan drum 20 L sebagai kondensor

8. Dibuat sebuah lubang pada bagian atas drum (kondensor) sebagai tempat pemasukan pipa uap etanol berbentuk ulir yang akan didinginkan di dalam kondensor, kemudian dibuat sebuah lubang lagi pada bagian alas drum sebagai saluran keluaran etanol yang telah didestilasi. Pada saluran keluaran terdapat kran yang berfungsi sebagai katup pembuka dan penutup pipa

9. Dirangkai keseluruhan bahan yang sesuai dengan rancangan gambar. b. Bahan yang digunakan

Pada penelitian ini, bahan yang diuji adalah beer etanol dari ubi kayu dengan kadar alkohol 2-4% sebanyak 33 liter. Jadi, pemurnian bioetanol ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat pada beer etanol sehingga dapat menghasilkan kadar bioetanol sebesar 40%.

Prosedur Penelitian

1. Dimasukkan etanol dengan kadar 2-4% ke dalam tempat bahan 2. Dimasukkan air dingin ke dalam drum kondensor

3. Dipanaskan tempat bahan dengan menggunakan kompor gas 4. Diatur dan dijaga temperatur pemanasan pada suhu 87-950C 5. Ditampung hasil penyulingan pada gelas ukur


(38)

7. Dilakukan pengamatan sesuai dengan parameter penelitian.

Parameter Penelitian

1. Kapasitas efektif alat

Kapasitas efektif alat diperoleh dengan menghitung banyaknya bioetanol yang dihasilkan (liter) tiap satuan waktu yang dibutuhkan selama proses penyulingan (jam)

T Vol

KA= …………....…….……….………..(1)

dimana:

KA = kapasitas efektif alat (liter/jam)

Vol = volume bioetanol yang dihasilkan (liter)

T = waktu yang dibutuhkan selama penyulingan (jam) 2. Efisiensi alat

Efisiensi alat dapat diketahui dengan membagi kapasitas efektif yang diperoleh alat terhadap kapasitas efektif alat secara teoritis, atau dapat dituliskan dengan rumus:

η = ×100%

Input Output

alat ……….………(2)

dimana:

η = efisiensi penyulingan (%) Output = kapasitas alat (l/jam) Input = kapasitas teoritis (l/jam)


(39)

3. Kadar alkohol

Kadar alkohol yang terkandung dalam bioetanol dapat diukur dengan menggunakan hydrometer alcohol. Kadar alkohol merupakan suatu indikator kandungan alkohol dalam cairan yang telah didestilasi sehingga alat ini layak untuk diciptakan karena sesuai dengan literatur yang dijadikan acuan.

4. Analisis biaya

Analisis ekonomi digunakan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan saat proses produksi menggunakan alat ini. Dengan analisis ekonomi dapat diketahui seberapa besar biaya produksi sehingga keuntungan alat dapat diperhitungkan.

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung pada output yang dihasilkan. Dimana semakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin banyak bahan yang digunakan. Tak heran jika biayanya semakin besar. Sedangkan, biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada banyak sedikitnya produk yang akan dihasilkan (Soeharno, 2007).

Pengukuran biaya produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya pokok).

Biaya BTT C

x BT tetap

  

+

= ………..…………..……….(3)

dimana:

BT = total biaya tetap (Rp/tahun) BTT = total biaya tidak tetap (Rp/jam) x = total jam kerja per tahun (jam/tahun) C = kapasitas alat (jam/satuan produksi)


(40)

Biaya Tetap

Menurut Darun (2002), biaya tetap terdiri dari: 1) Biaya penyusutan (metode garis lurus)

D =

n S

P )

( −

...(4) dimana:

D = biaya penyusutan (Rp/tahun)

P = nilai awal (harga beli/pembuatan) alat dan mesin (Rp) S = nilai akhir alsin (10 % dari P) (Rp)

n = umur ekonomi (tahun) 2) Biaya bunga modal dan asuransi

I=

n n P i

2 ) 1 )( ( +

...(5) dimana:

i = total persentase bunga modal dan asuransi

3) Biaya pajak

Di negara ini belum ada ketentuan besar pajak secara khusus untuk mesin-mesin dan peralatan pertanian, diperkirakan bahwa biaya pajak adalah 2% per tahun dari nilai awalnya.

4) Biaya gudang/garasi

Biaya gudang atau gedung diperkirakan berkisar antara 0,5 – 1 %, rata-rata diperhitungkan 1 % dari nilai awal (P) pertahun.


(41)

Biaya Tidak Tetap

Biaya tidak tetap terdiri dari:

1) Biaya perbaikan untuk sumber tenaga penggerak, mesin sumber tenaga adalah mesin penggerak peralatan lainnya yang umumnya dihubungkan dengan jenis-jenis transmisi tertentu. Biaya perbaikan ini dapat dihitung dengan persamaan:

Biaya reparasi =

jam S P

1000 ) ( % 2 ,

1 −

...(6) 2) Biaya Operator

Biaya operator tergantung pada kondisi lokal, dapat diperkirakan dari gaji bulanan atau gaji pertahun dibagi dengan total jam kerjanya.

Break event point (perhitungan titik impas)

Manfaat perhitungan titik impas adalah untuk mengetahui batas produksi minimal yang harus dicapai dan dipasarkan agar usaha yang dikelola masih layak untuk dijalankan. Pada kondisi ini income yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya operasional tanpa adanya keuntungan.

Untuk menentukan produksi titik impas dapat digunakan rumus :

) (R V

F N

= ...(7)

dimana :

N = jumlah produksi inimal untuk mencapai titik impas (ml) F = biaya tetap per tahun (Rp)

R = penerimaan dari tiap unit produksi (harga jual) (Rp) V = biaya tidak tetap per unit produksi


(42)

VN = total biaya tidak tetap per tahun (Rp/unit)

Net present value (NPV)

Identifikasi masalah kelayakan finansial dianalisis dengan menggunakan metode analsis finansial dengan kriteria investasi. NPV adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat layak atau tidaj untuk diusahakan. Secara singkat dapat ditulis :

CIF – COF > dimana :

0 ...(8)

CIF = cash in flow COF = cash out flow

Sementara itu keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan (%) bertindak sebagai tingkat bunga modal dalam perhitungan :

CIF = pendapatan x (P/A, i, n) + Nilai akhir x (P/F, i, n) COF = Investasi + pembiayaan (P/A, i, n)

dengan kriteria :

• NPV > 0, berarti usaha tersebut menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan

• NPV < 0, berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan dan tidak layak untuk dilaksanakan

• NPV = 0, berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.


(43)

Internal rate of return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) ini digunakan untuk memperkirakan

kelayakan lama (umur) pemilikan suatau alat atau mesin pada tingkat keuntungan tertentu.

Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkatan discount rate,

dimana diperoleh B/C ratio = 1 atau NPV = 0. Berdasarkan harga dari NPV = X (positif) atau NPV= Y (positif) dan NPV = X (positif) atau NPV = Y (negatif), dihitunglah harga IRR dengan menggunakan rumus berikut:

...(9) dan

...(10) dimana:

p = suku bunga bank paling atraktif q = suku bunga coba-coba ( > dari p) X = NPV awal pada p

Y = NPV awal pada q (Purba, 1997).

Analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri (self financing). Dan selanjutnya dapat berkembang sendiri (self growing). Dalam analisis ini, keuntungan awal dianggap sama dengan nol. Bila pendapatan dari produksi berada di sebelah kiri titik impas maka kegiatan usaha akan menderita kerugian, sebaliknya bila di sebelah kanan


(44)

Analisis titik impas juga digunakan untuk:

1. Hitungan biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan usaha, 2. Rencana pengembangan pemasaran untuk menetapkan tambahan investasi

untuk peralatan produksi,

3. Tingkat produksi dan penjualan yang menghasilkan ekuivalensi (kesamaan) dari dua alternatif usulan investasi.

(Waldiyono, 2008).

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung pada out put yang dihasilkan. Dimana semakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin banyak bahan yang digunakan. Tak heran jika biayanya semakin besar. Sedangkan, biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada banyak sedikitnya produk yang akan dihasilkan (Soeharno, 2007).

Umumnya setiap investasi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Memang ada juga investasi yang bukan untuk keuntungan, misalnya investasi dalam bidang sosial kemasyarakatan atau investasi untuk kebutuhan lingkungan, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Untuk mengetahui apakah suatu investasi itu menguntungkan atau tidak, maka pada tahap pengusulan suatu investasi perlu dilakukan studi/evaluasi aspek keekonomiannya. Salah satu caranya adalah dengan melakukan analisis arus kas (cash flow analysis) untuk menghitung indikator keekonomian investasi.


(45)

Ada beberapa indikator keekonomian investasi yang banyak digunakan untuk menentukan apakah suatu investasi menguntungkan atau tidak, yaitu:

1. Net Present Value (NPV).

2. Internal Rate of Return (IRR).

(Asro, 2008).

Identifikasi masalah kelayakan finansial dianalisis dengan menggunakan metode analisis finansial dengan kriteria investasi. Net present

value adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat layak atau

tidak untuk diusahakan. Perhitungan net present value merupakan net benefit yang telah didiskon dengan discount factor. Secara singkat rumusnya :

CIF – COF ≥ 0………(11) dimana :

CIF = cash inflow COF = cash outflow

Sementara itu keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan bertindak sebagai tingkat bunga modal dalam perhitungan :

Penerimaan (CIF) = pendapatan x (P/A, i, n) + Nilai akhir x (P/F, i, n) Pengeluaran (COF) = Investasi + pembiayaan (P/A, i, n)

Kriteria NPV yaitu

− NPV > 0, berarti usaha yang telah dilaksanakan menguntungkan; :

− NPV < 0, berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan;


(46)

− NPV = 0, berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.

(Darun, 2002)

Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkatan discount rate, pada discount rate mana diperoleh B/C ratio = 1 atau NPV = 0. Harga IRR dapat

dihitung dengan menggunakan rumus berikut: )

1 2 ( ) 1 2

(

1

1 i i

NPV NPV

NPV i

IRR × −

− −

= ...(12)

dimana : i1 =Suku bunga bank paling atraktif i2 =Suku bunga coba-coba

NPV1 =NPV awal pada i1 NPV2 = NPV pada i2 (Kastaman, 2006).


(47)

Prinsip Kerja Alat

Berdasarkan prinsip kerja alat, alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini mendestilasikan bahan beer bioetanol ini dengan cara memisahkannya berdasarkan titik didih dari bahan yang dipanaskan. Bioetanol pada beer ini pada suhu 87-95ºC akan lebih dahulu menguap sehingga air yang memiliki titik didih 100ºC akan tetap tertahan pada drum masakan. Jadi yang ditampung pada botol penampungan murni alkohol dengan kadar 40%.

Tabel 5. Data parameter yang diamati Kapasitas efektif alat (ml/jam) Efisi ensi alat (%) Kadar alkohol (%) Biaya pokok produksi (Rp/L) BEP (ml/tahun)

NPV 15 % (Rp)

NPV 20% (Rp)

IRR (%) 195,84 67,4 38,67 26.816 111.828 6.463.178 5.554.556 55,56

Alat Destilasi Bioetanol

Alat destilasi bioetanol ini adalah alat destilasi bioetanol tipe sederhana, karena alat ini dapat memisahkan 2 atau lebih cairan berdasarkan titik didihnya. Bagian dari alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini sendiri terdiri dari 2 komponen utama, yaitu :

1. Drum pemasakan 2. Drum kondensor

Drum pemasakan berdiameter 37 cm dan tinggi 34,5 cm. Pada drum pemasakan dilengkapi dengan alat pengukur suhu (termometer) yang digunakan untuk mengukur dan mengetahui suhu di dalam drum pemasakan agar suhu dapat dipertahankan pada suhu 85-95°C, karena apabila suhu di dalam drum mencapai


(48)

mengandung alkohol dengan kadar relatif kecil (dibawah standar kelayakan). Pada drum pemasakan juga terdapat kran pembuangan uap, kran ini berfungsi apabila tekanan uap berupa panas yang dihasilkan selama proses pemasakan beer bioetanol melebihi tekanan uap yang dibutuhkan, maka kran akan dibuka untuk mengurangi tekanan yang dihasilkan.

Drum pemasakan dihubungkan dengan drum kondensor dengan menggunkan pipa tembaga, pipa tembaga tersebut berfungsi sebagai media/saluran yang mengalirkan uap yang dihasilkan di drum pemasakan menuju drum kondensor, untuk diproses selanjutnya.

Drum kondensor berdiameter 40 cm dan tinggi 49 cm. Pada drum kondensor terdapat pipa ulir dari bahan tembaga yang disambungkan dengan pipa saluran uap dari drum pemasakan. Pipa tembaga yang berada di dalam drum kondensor berbentuk ulir. Pada drum kondensor juga terdapat dua saluran keluaran (output) yaitu saluran keluaran hasil (bioetanol) dan saluran pembuangan air yang digunakan untuk mengkondensasi uap menjadi cairan.

Proses pendestilasian dimulai dari pengisian beer bioetanol ke dalam drum pemasakan sebanyak 26 L dengan kadar alkohol 2-4%, kemudaian bahan beer bioetanol dimasak selama 4 jam dengan suhu dijaga antara 87-95ºC. Kemudian uap yang dihasilkan dari proses pemasakan beer bioetanol dialirkan melalui pipa tembaga menuju drum kondensor. Uap yang masuk ke dalam drum kondensor ini kemudian dikondensasi oleh air yang berada di dalam drum kondensor menjadi cairan bioetanol dengan kadar alkohol ± 40%. Kemudian cairan yang dihasilkan di tampung pada botol penampung hingga tidak ada lagi cairan yang menetes dari drum kondensor tersebut. Setelah itu botol penampungan ditutup dengan


(49)

menggunakan plastik polyethylene agar kedap sehingga kadar alkohol tidak menurun.

Proses Pendestilasian

Untuk satu kali proses pendestilasian, diperlukan:

Tabel 6. Kebutuhan alat untuk satu kali proses destilasi

Bahan Jumlah

Bahan bakar 0,6 Kg

Bahan ubi kayu 7 Kg

Beer bioetanol 33 L

Air kondensasi 56,5 L

Jadi untuk satu kali proses destilasi selama 4 jam diperlukan bahan bakar (gas) sebanyak 1,67 Kg, bahan ubi kayu sebanyak 7 Kg, beer bioetanol sebanyak 33 L dan air yang digunakan untuk keperluan kondensasi sebanyak 56,5 L.

Kebocoran uap pada tutup drum pemasakan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah bioetanol yang dihasilkan, karena uap bioetanol yang dihasilkan tidak menuju drum kondensor, melainkan keluar dari tutup drum pemasakan. Kebocoran terjadi karena tutup drum pemasakan kurang rapat (tidak kedap).

Kapasitas beer bioetanol yang dapat ditampung pada drum pemasakan mencapai 37 L. Akan tetapi beer bioetanol yang diisi hanya mencapai 33 L saja, hal ini bertujuan untuk memaksimalkan jalannya penguapan yang terjadi pada drum pemasakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kister (1992), yang menyatakan bahwa bahan yang akan didestilasikan pada drum pemasakan tidak boleh penuh, melainkan harus menyediakan sedikitnya 10% ruang kosong dari kapasitas penuh drum pemasakan pada drum pemasakan.


(50)

penelitian ini suhu yang dijaga adalah sebesar 87-95ºC. Pada dasarnya suhu sebenarnya untuk satu kali pendestilasian adalah 78-80ºC sesuai dengan pernyataan Indartono dan Setyo, 2005.

Beberapa bahan tambahan seperti plastik polyethilene, kertas alumunium foil dan selotip kertas digunakan untuk mencegah kebocoran pada drum pemasakan dan penutup wadah penampungan alkohol.

Kapasitas Efektif Alat

Tabel 7. Hasil destilasi

Bahan Volume (ml) Lama Pendestilasian (jam)

I 600 4

II 950 4

III 800 4

Rataan 783,33 4

Kapasitas efektif suatu alat menunjukkan produktifitas alat selama pengoperasian tiap satuan waktu. Dalam hal ini kapasitas efektif alat diukur dengan membagi banyaknya volume minyak hasil penyulingan terhadap waktu yang dibutuhkan selama pengoperasian alat.

Pendestilasian bioetanol dengan bahan baku ubi kayu yang dilakukan pada penelitian ini memakan waktu selama 4 jam. Bioetanol hasil pendestilasian yang mengandung alkohol mulai menetes pada saat bahan telah dimasak selama 3 jam, dengan mulai menetes secara perlahan dan konstan hingga 4 jam. Pendestilasian ini selesai setelah hasil pendestilasian tidak lagi menetes pada wadah penampungan.

Pada pendestilasian bioetanol yang telah dilakukan ini diperoleh hasil pada bahan I sebanyak 600 ml, bahan II sebanyak 950 ml dan bahan III sebanyak 800 ml. Perbedaan hasil yang sangat mencolok ini karena pada pendestilasian bahan


(51)

yang pertama terdapat sedikit kebocoran pada tutup drum pemasakan sehingga uap bioetanol yang dimasak merembes keluar, hal ini disebabkan karena tutup drum pemasakan kurang kedap. Lalu pada proses pendestilasian bahan yang kedua dan ketiga, kebocoran tersebut telah selesai diperbaiki sehingga uap biotanol yang didestilasi dapat terdestilasi dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Tabel 6), diperoleh kapasitas efektif alat destilasi bioetanol tipe sederhana dengan menggunakan bahan baku ubi kayu ini adalah sebesar 195,84 ml/jam, yang berarti alat destilasi ini mampu menghasilkan 195,84 ml bioetanol setiap satu jam waktu destilasi.

Efisiensi Alat

Pada dasarnya, menurut BPPT (2005), dengan menggunakan bahan baku ubi kayu sebanyak 6,5 Kg, maka akan menghasilkan 1 L bioetanol untuk satu kali proses pendestilasian. Namun penelitian yang saya lakukan dengan 7 Kg bahan ubi kayu yang diolah seharunsnya dapat, menghasilkan 1.162 ml namun pada kenyataannya alat pendestilasian ini hanya mampu menghasilkan 783,33 ml dalam selang waktu 4 jam.

Efisiensi alat ini dapat dihitung dengan cara membagi hasil yang diperoleh di lapangan terhadap hasil yang seharusnya diperoleh secara teoritis. Dari proses penyulingan yang telah dilakukan, seharusnya diperoleh hasil 1.162 ml untuk 7 Kg bahan baku ubi kayu yang diolah. Namun, hasil yang diperoleh hanya 783,33 ml (hasil rataan dari tiga bahan yang didestilasikan). Jadi efisiensi alat tersebut adalah 67,4%. Hal ini disebabkan adanya faktor kebocoran alat dan kurang optimal mengawasi termometer pada drum pemasakan.


(52)

Jika melihat kinerja alat pada proses penyulingan yang ke dua dengan hasil 950 ml, maka diperoleh efesiensi alat sebesar 81,75%. Namun demikian, secara teoritis alat dan mesin pertanian yang baik memiliki efisiensi antara 60-70%, lebih dari itu maka akan semakin baik. Berdasarkan pedoman tersebut, maka alat destilasi tipe sederhana ini dapat dikatakan layak untuk digunakan.

Kadar Alkohol

Tabel 8. Kadar alkohol secara praktek dan teoritis Bahan Kadar alkohol yang

didapat (%)

Kadar alkohol teoritis (%)

I 40,00 40

II 37,00 40

III 39,00 40

Rataan 38,67 40

Dari penelitian yang dilakukan maka kadar alkohol yang didapat dari 3 bahan yang didestilasikan maka kadar alkohol yang didapat adalah sebesar 38,67%. Sedangkan menurut Indartono dan Setyo, 2005, maka kadar alkohol yang didapatkan dari hasil destilasi satu tingkat ini adalah sebesar 40% dengan suhu 78ºC, namun hasil yang didapat adalah 38,67% dengan suhu 87-95ºC. Turunnya kadar alkohol yang didapat ini disebabkan beberapa hal, karena faktor kebocoran pada tutup drum pemasakan dan lama hari pada proses fermentasi beer bioetanol.

Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi digunakan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi tiap unit satuan produksi. Dengan analisis ekonomi dapat diketahui seberapa besar biaya produksi sehingga keuntungan alat dapat diperhitungkan.


(53)

Dari analisis ekonomi yang dilakukan pada Lampiran 5, diperoleh biaya untuk memproduksi bioetanol sebesar Rp. 26.816,31/L, artinya untuk memproduksi bioetanol sebanyak 1 L dibutuhkan biaya sebesar Rp. 26.816,31. Break Even Point

Menurut Waldiyono (2008) analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri dan selanjutnya dapat berkembang sendiri. Dalam analisis ini keuntungan awal dianggap nol. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan (Lampiran 6), alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini akan mencapai titik impas (Break even point) pada nilai 111.827,96 ml. Hal ini berarti alat ini akan mencapai titik impas apabila telah memproduksi bioetanol sebanyak 111.827,96 ml.

Net Present Value

Dari perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran 7) diperoleh nilai NPV 15% adalah Rp. 6.463.177,71 dan NPV 20% adalah Rp. 5.554.556,33. Karena bernilai lebih besar dari nol, maka NPV tersebut masuk kedalam kriteria NPV≥0, yang artinya usaha layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.

Internal Rate of Return

Internal rate of return (IRR) digunakan untuk memperkirakan kelayakan

lama (umur) pemilikan suatu alat atau mesin pada tingkat keuntungan tertentu. Untuk nilai IRR ini diperoleh sebesar 55,56% (Lampiran 8). Artinya kita dapat menaikkan bunga sampai pada tingkat keuntungan 55,56%, jika lebih dari itu


(54)

Kesimpulan

1. Alat bioetanol tipe sederhana yang digunakan untuk mendestilasikan beer bioetanol ini memiliki kapasitas efektif rata-rata sebesar 195,84 ml/jam. 2. Efisiensi alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini adalah 67,4%.

3. Kadar alkohol yang dihasilkan dari alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini adalah 38,67%.

4. Biaya pokok yang dikeluarkan untuk memproduksi bioetanol sebanyak 1 L dari alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini adalah Rp. 26.816,31.

5. Alat destilasi bioetanol yang digunakan untuk mendestilasi beer bioetanol ubi kayu ini akan mencapai break even point setelah memproduksi bioetanol sebanyak 111.827,96 ml/tahun.

6. Usaha pendestilasian bioetanol berbahan baku ubi kayu dengan menggunakan alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan karena memiliki net present value (NPV)

≥ 0 yaitu sebesar Rp. 5.554.556,33.

7. Besarnya nilai IRR yang diperoleh dalam proses pendestilasian bioetanol berbahan baku ubi kayu dengan menggunakan alat destilasi bioetanol tipe sederhana ini adalah 55,56%.


(55)

Saran

1. Sebaiknya pada tutup drum pemasakan dipasangkan karton atau bahan yang tahan panas dan dapat menahan uap alkohol pada saat pemasakan sehingga uap alkohol dapat mengalir dengan baik ke drum kondensor serta dapat meningkatkan hasil destilasi.

2. Untuk memudahkan pengoperasian alat, maka penempatan alat destilasi ini perlu diperhatikan agar dapat memudahkan operator membaca dan menjaga suhu yang ada pada drum pemasakan dan juga dapat mencegah kebocoran pada alat.

3. Setelah pemakaian alat, sebaiknya alat dibersihkan kembali untuk menjaga umur alat.


(56)

Alexandeer. 1985. Material Science and Engineering. John Willey and Sons, New York.

Asro. 2008. Ekonomi Investasi.

Baumer. 1992. Material Physics. Addison-Wesley Pu`blishing Company Inc, California.

BPPT. 2005. Prospek Pertanian Biodiesel dan Bioetanol [8 November 2009].

Darun. 2002. Ekonomi Teknik. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakults Pertanian USU. Medan.

Hartiningsih. M. 2007. Suhu Bumi: Duduk di Atas Bom Waktu yang Siap Meledak. Harian Kompas, Jakarta.

Indartono dan Y. Setyo. 2005. Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di Lapangan : Bioetanol, Alternatif Energi Terbarukan.

Karmawati. 2009. Tanaman Perkebunan Penghasil Bahan Bakar Nabati, IPB Press. Bogor.

Kastaman, R. 2006. Analisis Kelayakan Ekonomi Suatu Investasi. Tasikmalaya. Kister, H. Z. 1992. Distillation Design. McGraw-Hill, California, USA.

Lowenstein, M. Z. 1985. Energy Applications of Biomass. Solar Energy Research

Institute. Colorado. USA.

Nixon, M. 1999. Distillation-How It Works. Nottingham University, England. Prihandana, R. dan R. Hendarko. 2002. Energi Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Purba, R. 1997. Analisa Biaya dan Manfaat. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Purwono, dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Reksowardojo, I. K. 2006. Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia : Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol untuk Transportasi. Kadin dan IPB. Jakarta.


(57)

Salim. E. 2005. Membangun Tanpa Gas Rumah Kaca. Kompas. 21 Maret 2005. Siregar, R. D. 2009. Energi Terbarukan. BPPT dan KSO Agro Makmur Persada,

Jayengan. Solo.

Soeharno., 2007. Teori Mikroekonomi. Andi Offset, Yogyakarta.

Sudaryanto. 2007. Pengembangan Bioetanol di Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suhendar, Y., Dadang, Krus H., Selamat, Syafnijal dan Muhanda. 2007. Ketika Singkong Banyak Diincar. Agrina Volume 3 No. 55 edisi Juni, Jakarta. Surdia, T. 2000. Teknik Pengecoran Logam. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Suyamto dan J. Wargiono. 2006. Potensi dan Peluang Pengembangan Ubi kayu untuk Industri Bioetanol. Prosiding Lokakarya Pengemabangan Ubi Kayu. Balitkabi. Malang.

Tim Nasional Pengembangan BBN. 2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tjahjono, A. E. dan M. A. Yudiarto. 2007. Pemilihan Bahan Baku dan Teknologi Pengolahan Bioetanol Skala Kecil dan Industri. Trubus. Jakarta.

Trubus. 2007. Produksi Bioetanol Ramah Lingkungan. Pelatihan Produksi Bioetanol skala Rumahan. Jakarta.

Van Winkel. M. 1967. Distillation. McGraw-Hill, New York.

Wahono. S. 2006. Kajian Komperhensif dan Teknologi Pengembangan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati. Seminar Bioenergi : Pospek Bisnis dan Peluang Investasi. Departemen Pertanian RI, Jakarta.

Walisiewicz, M. 2003. Energi Alternatif : Panduan ke Masa Depan Teknologi Energi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Waldiyono., 2008. Ekonomi Teknik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wargiono, J., Hasanudin dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubi Kayu Mendukung Industri Bioetanol. Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Wargiono, J. 2009. Informasi Spesies Si Maret 2010].


(58)

Winarno dan Donny. 2007. Prospek Market Bioetanol untuk Biofuel. Trubus. Jakarta.


(59)

Mulai

Penyusunan desain dan rancangan Alat Destilasi

bioetanol Observasi desain dan rancangan Alat Destilasi

bioetanol pada literatur

Pemilihan bahan dan pengukuran bahan sesuai

dengan kebutuhan

Pemotongan bahan sesuai rancangan

Perakitan bahan sesuai dengan rancangan

Pengujian alat destilasi

Layak ?

Finishing alat destilasi

Pengamatan parameter

Pengambilan data

Selesai Ya Tidak


(60)

Lampiran 4. Perhitungan kapasitas efektif alat, efisiensi alat dan kadar alkohol Bahan Berat bahan

(kg) Volume beer (ml) Volume bioetanol (ml) Kadar alkohol (%)

Bahan I 7 33 600,00 40,00

Bahan II 7 33 950,00 37,00

Bahan III 7 33 800,00 39,00

Rataan 7 33 783,33 38,67

Lama pemasakan (t) = 4 jam Rentang suhu tetesan awal (T) = 87-95°C 1. Kapasitas efektif alat

KA =

KA =

jam ml 4 33 , 783

KA =

2. Efisiensi alat

ηalat = ×100%

input output

ηalat = 100% 1162

33 , 783

×

ηalat = 67,4% 3. Kadar Alkohol

Kadar alkohol ratarata = 100%

3 ×

+

+kadarII kadarIII

kadarI

=

( )

%

3 39 37 40+ +


(61)

Lampiran 5. Analisis ekonomi

Pengukuran biaya produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya pokok).

Biaya pokok = BTT C x

BT

  

+ dimana:

BT = total biaya tetap (Rp/tahun) BTT = total biaya tidak tetap (Rp/jam) x = total jam kerja per tahun (jam/tahun) C = kapasitas alat (jam/satuan produksi)

I. Unsur Produksi

1. Biaya pembuatan alat (P) = Rp. 1.900.000 2. Umur ekonomi (n) = 5 tahun

3. Nilai akhir alat (S) = Rp. 190.000 4. Jam kerja = 8 jam/hari 5. Produksi/hari = 1566,64 ml 6. Biaya operator = Rp. 40.000/hari 7. Biaya perbaikan = Rp. 8,6/jam 8. Bunga modal dan asuransi = Rp. 193.800/tahun 9. Biaya sewa gedung = Rp. 19.000/tahun 10. Pajak = Rp. 38.000/tahun

11. Jam kerja alat per tahun = Rp. 2.376 jam/tahun (asumsi 297 hari efektif berdasarkan tahun 2010)

II. Perhitungan Biaya Produksi a. Biaya Tetap (BT)

Biaya penyusutan

(

P S

)

D= −


(62)

P = nilai awal (harga beli/pembuatan alsin) (Rp) S = nilai akhir alsin (10% dari P) (Rp)

n = umur ekonomi (tahun)

(

)

5 000 . 190 000 . 900 . 1 − = D

D = Rp. 342.000/tahun Bunga modal dan asuransi

Bunga modal pada bulan Januari sebesar 15% dan asuransi sebesar 2% Bunga modal dan asuransi

( )( )

n n P i I 2 1 + = =

(

)( )

5 2 1 5 000 . 900 . 1 % 17 × +

= Rp. 193.800/tahun

Biaya sewa gedung = 1% . P

= 1% × Rp. 1.900.000 = Rp. 19.000/tahun

Pajak

= 2% . P

= 2% × Rp. 1.900.000 = Rp. 38.000/tahun Total biaya tetap (BT)

= Rp. 342.000 + Rp. 193.800 + Rp. 19.000 + Rp. 38.000


(63)

Biaya perbaikan alat (reparasi) =

(

)

x S P− % 2 , 1 =

(

)

jam Rp Rp 2376 000 . 190 . 000 . 900 . 1 . % 2 , 1 −

= Rp.8,6/ jam

Biaya operator

= Rp. 5000/jam Total biaya tidak tetap

= Rp. 8,6 + Rp. 5000 = Rp. 5008,6/jam

c. Biaya Produksi Bioetanol Biaya pokok

= BTT C

x BT ×       +

= Rp jam jam liter

tahun jam tahun Rp / 1 , 5 / 6 , 5008 . / 2376 / 800 . 592 . ×     +

=

(

Rp.249,5/ jam+Rp.5008,6/ jam

)

×5,1jam/liter

=

(

Rp.5258,1/ jam×5,1jam/liter

)

= Rp.26.816,31/liter


(64)

Lampiran 6. Break even point

Analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri (self financing). Dan selanjutnya dapat berkembang sendiri (self growing). Dalam analisis ini, keuntungan awal dianggap sama dengan nol.

(

R V

)

F N

− =

Biaya tetap (F) = Rp. 592.800/tahun

Biaya tidak tetap (V) = Rp. 5008,6/jam (1 jam = 195,83 ml) = Rp. 25,576/ml

Penerimaan dari tiap ml produksi:

=

{

(

)

} (

)

KA

BTT BT

BTT

BT + + +

× % 15 =

{

(

)

} (

)

jam ml jam jam Rp jam Rp jam Rp / 83 , 195 / 6 , 5008 / 5 , 249 . / 6 , 5008 . / 5 , 249 . %

15 + + +

=

(

) (

)

jam ml jam Rp jam Rp / 83 , 195 / 1 , 5258 . / 1 , 5258 . %

15 × +

= jam ml jam Rp / 83 , 195 / 815 , 6046 .

= 30,877/ml

Alat akan mencapai break even point jika alat telah menghasilkan bioetanol sebanyak:

) (R V

F N

− =

(

Rp ml Rp ml

)

tahun Rp N / 576 , 25 . / 877 , 30 . / 800 . 592 . − =


(65)

ml tahun N

/ 301 , 5

/ 800 . 592

=

tahun ml


(66)

Lampiran 7. Net present value

NPV adalah selisih antara present value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Identifikasi masalah kelayakan financial dianalisis dengan menggunakan metode analisis financial dengan kriteria investasi. Net present value adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat layak atau tidak untuk diusahakan. Perhiungan net present value merupakan net benefit yang telah didiskon dengan

discount factor (pudjosumarto, 1998).

Secara singkat rumusnya: 0

≥ −COF

CIF

dimana:

CIF = cash inflow COF = cash outflow

Sementara itu keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan (dalam %) bertindak sebagai tingkat bunga modal dalam perhitungan-perhitungan:

Penerimaan (CIF) = pendapatan × (P/A, i, n) + Nilai akhir × (P/F, i, n) Pengeluaran (COF) = investasi + pembiayaan (P/A, i, n)

Kriteria NPV yaitu

- NPV > 0, berarti usaha yang telah dilaksanakan menguntungkan :

- NPV < 0, berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan

- NPV = 0, berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.

Berdasarkan penerimaan nilai NPV alat ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

0

≥ −COF CIF


(67)

Nilai akhir = Rp. 190.000

Pembiayaan = Rp. 11.900.433,6/tahun Suku bunga bank paling atraktif = 15%

Suku bunga coba-coba = 20%

Umur alat = 5 tahun

Pendapatan =

{

(

15%

(

BT+BTT

)

) (

+ BT+BTT

)

}

× jamker ja alat /tahun

= Rp.6046,815/ jam×2376jam/tahun

= Rp.14.367.232,44/tahun

Pembiayaan = BTT× jam ker ja alat /tahun

= Rp.5008,6/ jam×2376jam/tahun

= Rp.11.900.433,6/tahun

Cash in Flow 15%

1. Pendapatan = Pendapatan × (P/A, 15%, 5) = Rp. 14.367.232,44 × 3,352 = Rp. 48.158.963,14

2. Nilai akhir = Nilai akhir × (P/F, 15%, 5) = Rp. 190.000 × 0,4972 = Rp. 94.468

Jumlah CIF 15% = Rp. 48.158.963,14 + Rp. 94.468 = Rp. 48.253.431,14

Cash out Flow 15%


(68)

= Rp. 39.890.253,43

Jumlah COF 15% = Rp. 1.900.000 + Rp. 39.890.253,43 = Rp. 41.790.253,43

NPV 15% = CIF – COF

= Rp. 48.253.431,14 – Rp. 41.790.253,43 = Rp. 6.463.177,71

Cash in Flow 20%

1. Pendapatan = Pendapatan × (P/A, 20%, 5) = Rp. 14.367.232,44 × 2,991 = Rp. 42.972.392,23

2. Nilai akhir = Nilai akhir × (P/F, 20%, 5) = Rp. 190.000 × 0,4019 = Rp. 76.361

Jumlah CIF 20% = Rp. 42.972.392,23 + Rp. 76.361 = Rp. 43.048.753,23

Cash out Flow 20%

1. Investasi = Rp. 1.900.000

2. Pembiayaan = Pembiayaan × (P/A, 20%, 5) = Rp. 11.900.433,6 × 2,991 = Rp. 35.594.196,9

Jumlah COF 20% = Rp. 1.900.000 + Rp. 35.594.196,9


(69)

= Rp. 43.048.753,23 – Rp. 37.494.196,9 = Rp. 5.554.556,33

Jadi besarnya NPV 15% adalah sebesar Rp. 6.463.177,71 dan NPV 20% sebesar Rp. 5.554.556,33. Sehingga nilai NPV dari alat ini ≥ 0, maka usaha ini dikatakan layak untuk dijalankan.


(1)

2. Pembiayaan = Pembiayaan × (P/A, 15%, 5) = Rp. 11.900.433,6 × 3,352 = Rp. 39.890.253,43

Jumlah COF 15% = Rp. 1.900.000 + Rp. 39.890.253,43 = Rp. 41.790.253,43

NPV 15% = CIF – COF

= Rp. 48.253.431,14 – Rp. 41.790.253,43 = Rp. 6.463.177,71

Cash in Flow 20%

1. Pendapatan = Pendapatan × (P/A, 20%, 5) = Rp. 14.367.232,44 × 2,991 = Rp. 42.972.392,23

2. Nilai akhir = Nilai akhir × (P/F, 20%, 5) = Rp. 190.000 × 0,4019 = Rp. 76.361

Jumlah CIF 20% = Rp. 42.972.392,23 + Rp. 76.361 = Rp. 43.048.753,23

Cash out Flow 20%

1. Investasi = Rp. 1.900.000

2. Pembiayaan = Pembiayaan × (P/A, 20%, 5) = Rp. 11.900.433,6 × 2,991 = Rp. 35.594.196,9

Jumlah COF 20% = Rp. 1.900.000 + Rp. 35.594.196,9

63


(2)

= Rp. 43.048.753,23 – Rp. 37.494.196,9 = Rp. 5.554.556,33

Jadi besarnya NPV 15% adalah sebesar Rp. 6.463.177,71 dan NPV 20% sebesar Rp. 5.554.556,33. Sehingga nilai NPV dari alat ini ≥ 0, maka usaha ini dikatakan layak untuk dijalankan.


(3)

Lampiran 8. Internal rate of return

Internal rate of return (IRR) ini digunakan untuk memperkirakan

kelayakan lama (umur) pemilikan suatu alat atau mesin pada tingkat keuntungan tertentu. Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkatan discount rate, dimana diperoleh B/C ratio = 1 atau NPV = 0. Berdasarkan harga dari NPV = X (positif) atau NPV = Y (positif) dan NPV = X (positif) dan NPV = Y (negatif), dihitung harga IRR dengan menggunakan rumus berikut:

(

q p

)(

positif X

Y X

X p

IRR % %− %

+ +

= dan negatif

)

dan

(

q p

)(

positif X

Y X

X q

IRR % %− %

− +

= dan positif

)

dimana:

p = suku bunga bank paling atraktif q = suku bunga coba-coba (> dari p) X = NPV awal pada p

Y = NPV awal pada q (Purba, 1997).

Suku bunga bank paling aktraktif (p) = 15% Suku bunga coba-coba (> dari p) (q) = 20%

(

% %

)

% q p

Y X X q IRR − − + =

(

)

% 15 % 20 33 , 556 . 554 . 5 . 71 , 177 . 463 . 6 . 71 , 177 . 463 . 6 . % 20 − − + = Rp Rp Rp % 56 , 55 =

Lampiran 9. Spesifikasi alat destilasi bioetanol tipe sederhana

64

65


(4)

Diameter : 37 cm Tinggi : 34,5 cm 2. Tabung kondensor

Dimensi

Diameter tabung : 40 cm Tinggi tabung : 49 cm Diameter pipa : 5 mm Panjang pipa : 5 m

Tebal plat : 1,2 mm

Kapasitas efektif : 195,84 ml/jam

Rendemen : 2,373%


(5)

Lampiran 10. Prinsip kerja alat

Seperti diketahui sebelumnya, proses destilasi bioetanol berbahan baku ubi kayu ini diawali dengan proses pengolahan ubi kayu menjadi beer, yang kemudian beer tersebut dimasukkan dalam drum pemasakan, kemudian beer dimasak dalam drum pemasakan dan dimasak dengan suhu 87-95ºC dengan lama pemasakan 4 jam. Setelah di masak selama ± 3 jam, maka bioetanol yang didestilasikan tersebut mulai menetes secara konstan. Setelah 4 jam maka kompor dimatikan dan bioetanol yang tertampung tersebut di ukur kadarnya dengan menggunakan alkohol meter (hydrometer alkohol).

66


(6)

Lampiran 11. Biaya produksi bioetanol dari ubi kayu untuk 1 kali pendestilasian - Ubi kayu 1 Kg = Rp. 1.000

Bahan ubi kayu yang diperlukan untuk 1 kali pendestilasian adalah 10 Kg. Sehingga ubi kayu 10 Kg = Rp. 10.000

- Upah parut ubi kayu = Rp. 2.000 Ubi kayu yang telah diparut = 7 Kg - Ragi = 50 gram = Rp. 5.000

- Enzym alpha amilase = 60 ml = Rp. 114.000 (Rp. 1.900.000/L)

- Enzym gluko amilase = 80 ml = Rp. 160.000 (Rp. 2.000.000/L)

- Air untuk campuran ubi kayu parut = 28 L = Rp. 277 (Rp. 9,89/L) - Air untuk kondensor = 56,6 L = Rp. 559

- Gas untuk masak 4 jam = 0,6 Kg = Rp. 2.800

Sehingga biaya produksi total = Rp. 294.636 Biaya operasi = = Rp. 42.090,86/Kg