Kajian biologis, tingkah laku, reproduksi, dan kekerabatan burung weris, gallirallus philippensis di Minahasa Sulawesi Utara

KAJIAN BIOLOGIS, TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN
KEKERABATAN BURUNG WERIS, Gallirallusphilippensis
(Gruiformes: Rallidae)DI MINAHASA
SULAWESI UTARA

LUCIA JOHANA LAMBEY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Biologis, Tingkah Laku,
Reproduksi, dan Kekerabatan
Burung Weris, Gallirallus
philippensis
(Gruiformes: Rallidae)di Minahasa Sulawesi Utara adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2013

Lucia Johana Lambey
NIM: D161090071

ABSTRAK
LUCIA JOHANA LAMBEY Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan
Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae)di
Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR,
WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.
Daging burung weris mempunyai potensi sebagai sumber protein, dan telah lama
dikonsumsi oleh masyarakat Minahasa. Dikhawatirkan, populasi satwa harapan
tropis ini mengalami penurunan secara drastis dengan perburuan yang tidak
terkontrol. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragaman fenotipik,
genetik, aspek biologi, dan gambaran tingkah laku pada kondisi pembudidayaan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai Agustus 2012. Kegiatan
penelitian yang dilaksanakan meliputi kegiatan lapangan untuk pengambilan

sampel DNA, karakteristik morfologi, dan kajian biologis. Penelitian analisis
molekuler dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Studi Ilmu Hayati
dan Bioteknologi IPB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Burung weris
pada empat lokasi di Minahasa memiliki tingkat kesamaan morfologi yang tinggi.
Burung weris pada empat lokasi di Minahasa, yaitu Papontolen, Ranoyapo,
Tondano, dan Wusa, memiliki variasi genetik berupa perbedaan nukleotida, yang
masih tinggi ditunjukkan dengan keberadaan 5 haplotipe berbeda, akan tetapi
masih satu klaster Gallirallus philippensis pada empat lokasi di Minahasa.
Gallirallus philippensis yang ada di Minahasa, Australia, serta Filipina memiliki
jarak genetik yang cukup jauh sehingga membentuk klaster tersendiri.
Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan karakter morfometri pada
burung weris, yaitu jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot
tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter morfologi, terutama
perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap, terlihat jelas
berdasarkan perkembangan umur, yang dengan demikian dapat dijadikan dasar
pendugaan umur burung. Sarang burung weris adalah sarang tunggal dengan tipe
terbuka, clutch size 1-8 butir dan memiliki musim bertelur. Lama inkubasi adalah
19 hari, fertilitas telur burung weris 64.13%, dengan daya tetas 45.76%.
Persentase karkas burung weris sebesar 65.85%, sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai ternak penghasil daging. Berdasarkan komposisi kimia,

daging burung weris memiliki kualitas yang baik setara dengan ternak yang telah
didomestikasi. Tingkah laku penetasan burung weris memiliki ciri yang unik dan
sangat berbeda dari unggas umumnya. Proses penetasan burung weris memiliki 6
tahapan mulai dari retaknya telur sampai dengan keluarnya anak burung dari
cangkangnya. Peletakan telur pada akhir penetasan ialah bagian tumpul
menghadap ke atas. Burung weris termasuk burung diurnal yang aktivitasnya
dilakukan pada pagi hingga sore hari. Pada burung weris dewasa, aktivitas
tertinggi adalah bergerak, sedangkan pada anakan burung lebih banyak
istirahat/tidur. Pola tingkah laku burung weris yang diwariskan, seperti aktivitas
mandi, tidak berubah walaupun lingkungan berubah.
Kata kunci: burung weris, morfologi, tingkah laku

ABSTRACT
LUCIA JOHANA LAMBEY. Biological, Behavior Reproduction, and Genetic
Relationshipof Weris Bird Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae) at
Minahasa, North Celebes Supervision of RONNY RACHMAN NOOR,
WASMEN MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN.
Meat of weris has potential as a source of protein, and the Minahasa community
eats the meat as a traditional food. The population of weris bird has decreased
drastically mainly due to uncontrolled hunting. The purpose of this research was

to study the variations of phenotypic, genetic, and biological aspects of weris
behavior raised under captivity. The research was conducted in May 2011 until
August 2012. Research activities included DNA sampling, morphological
characteristics, and biological studies. Molecular analysis was conducted at the
Laboratory of Molecular Biology and Centre of Biological Sciences Study and
Center of Biotechnology, Bogor Agricultural University. The results showed that
weris from four locations in Minahasa had a high level of morphological
similarity. Weris from four locations: Papontolen, Ranoyapo, Tondano, and Wusa
had genetic variations with different haplotipes, thereby forming multiple
branching, but still one group. Gallirallus philippensis in Minahasa and Australia
had no relationship. Based on morphometric measurements, weris males were
larger than females on body weight, beak length, and beak width. Changes in
morphological characters, especially discoloration on the head and wings pins hair
growth during growth and development, could be used as the basis of age
estimation. Weris nest was a single nest with open type, clutch size 1-8 items and
have the spawning season. Incubation period was 19 days, fertility was 64.13%,
and hatchability was 45.76%. The carcass percentage was 65.85%, so it had
potential to be utilizedas meat producer. Based on the chemical composition of the
meat, weris had a good meat quality. Hatching behavior of weris was unique, and
very different from the other birds.Weris have six stages of hatching, that was

begun with the break down of the egg until the chick movement out of the gas
shell. Weris was a diurnal bird with activity started in the morning until the
afternoon. Weris chick performed different activities from the adults Weris. The
highest activity of adult weris was moving, but the weris chicks mainly resting.
The weris inherited behavior of bathing, and this behavior did not change even if
the environment changed.
Keywords: Weris bird, morphology, behavior

RINGKASAN
LUCIA JOHANA LAMBEY. Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan
Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae) di
Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR,
WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.
Burung weris (Gallirallus philippensis) yang dikenal sebagai Buff Banded
Rail atau mandar padi kalung kuning, dianggap sangat rentan terhadap kepunahan,
dikarenakan dari 20 spesies, hanya dua yang dianggap tidak terancam punah,
salah satunya adalah Gallirallus philippensis. Disamping itu, daging burung
weris telah lama dikonsumsi dan telah memberikan sumbangan protein hewani
bagi masyarakat Minahasa sehingga diperlukan suatu upaya untuk tetap menjaga
kelestariannya di alam serta tetap tersedianya daging burung weris melalui

pemeliharaan ex situ. Laporan ilmiah tentang kajian aspek biologis, tingkah laku,
reproduksi, dan karakteristik morfologi burung weris masih sangat kurang
sehingga hasil penelitian ini merupakan langkah awal untuk keberhasilan proses
budidaya burung weris kedepan.
Karakteristik morfologi antarlokasi, perbedaan jenis kelamin, dan
pendugaan umur dilakukan dengan pengukuran beberapa karakter morfologi,
yaitu bobot badan, panjang paruh, lebar paruh, panjang sayap, panjang shank, dan
panjang ekor. Data di analisis secara deskriptif, PCA (Principle Component
Analysis), analisis klaster, dan grafik box plot.
Karakteristik genetik burung weris di Minahasa dilakukan untuk melihat
keragaman genetik, jarak genetik, dan pohon filogeny dengan mengambil sampel
darah burung weris, dan dilakukan isolasi dan ekstraksi DNA berdasarkan metode
Sambrook et al. (1989). Amplifikasi daerah Cytochrome-b dengan menggunakan
primer spesifik, selanjutnya dilakukan perunutan nukleotida. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MEGA versi 4,0
(Tamura et al. 2007).
Kajian biologis burung weris meliputi habitat bertelur, persarangan, clutch
size, bentuk telur, ukuran telur, sex ratio, fertilitas, daya tetas, lama inkubasi,
kematian embrio, pemeliharaan menyangkut masa kritis, jenis pakan, cara
pemberian pakan, bentuk pakan, perkandangan, brooder, karakteristik kimia

karkas, dan persentase daging. Metode yang digunakan adalah survei langsung
ke habitat burung weris, informasi dari petani dan penangkap, serta melakukan
peneropongan, penimbangan dan pengukuran telur, penetasan telur, pemeliharaan
sampai umur 60 hari, serta analisis kimia daging. Analisis yang digunakan adalah
secara deskriptif dan kuantitatif,serta disajikan dalam bentuk tabeldan gambar.
Pengamatan tingkah laku menetas dan tingkah laku dipenangkaran
meliputi aktivitas istirahat, aktivitas bergerak, aktivitas makan, aktivitas minum,
aktivitas mandi, dan aktivitas menyelisik dilakukan dengan metode deskriptif dan
scan sampling (di kandang penangkaran) dengan bantuan kamera serta
handycam. Tingkah laku yang diamati disusun dalam katalog etogram.
Karakteristik genetik dievaluasi dengan menggunakan analisis molekuler untuk

melihat kekerabatan dan jarak genetik burung weris antarlokasi. Data hasil
sequencing dianalisis dengan menggunakan analisis rekonstruksi filogenetik
perangkat lunak MEGA versi 4.0 dengan menggunakan bootstraped Neighboor
joining dengan 1000 kali pengulangan.
Berdasarkan hasil analisis PCA (Principle Component Analysis)
didapatkan Eigen value (nilai eigen) dan persentase varians, yang menunjukkan
bahwa cukup dengan dua sumbu PC1 dengan nilai eigen sebesar 4.0785 dan PC2
dengan nilai eigen sebesar 1.3101, dan persentase varians PC1 sebesar 68% dan

PC2 sebesar 21% dapat memberikan kontribusi untuk penentuan komponen
utama. Observasi, kontribusi pada sumbu 1 (PC1) diberikan pada panjang shank,
sedangkan pada sumbu 2 (PC2) diberikan oleh panjang ekor. Kemudian
dilanjutkan dengan analisis multivariat, yaitu analisis cluster menunjukkan bahwa
kekerabatan burung weris antarlokasi sangat tinggi dengan tingkat kemiripan atau
similaritas 99%. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan karakter
morfometri pada burung weris, yaitu jantan lebih besar dibandingkan betina pada
karakter bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter
morfologi terutama perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu
sayap terlihat jelas berdasarkan perkembangan umur, dengan demikian dapat
dijadikan dasar pendugaan umur burung.
Matriks nilai jarak genetik kimura 2 parameter dari yang paling kecil
dengan nilai 0 sampai paling besar ialah 0.007. Jarak genetik kimura 2 parameter
tidak menunjukkan adanya pengelompokan pada masing-masing lokasi, tetapi ada
pengelompokan beberapa ekor burung yang terdapat pada empat lokasi yang
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi tidak memberikan pengaruh untuk
membentuk suatu kelompok yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa
Gallirallus philippensis tidak dapat dibedakan antarlokasi.
Jumlah haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel sekuen cyt-b sepanjang
695-nt dari empat lokasi berjumlah 5 haplotipe. Lokasi Papontolen memiliki 3

haplotipe, lokasi Tondano memiliki 3 haplotipe, lokasi Wusa memiliki 1
haplotipe, dan lokasi Ranoyapo memiliki 2 haplotipe. Hasil ini menunjukkan
bahwa lokasi Papontolen dan Tondano mempunyai keragaman haplotipe yang
paling beragam dibandingkan dengan populasi Wusa, dan Ranoyapo. Lokasi
Wusa hanya memiliki 1 haplotipe saja (seragam), yaitu haplotipe 4 yang
merupakan haplotipe bersama yang dimiliki oleh burung lain dalam lokasi yang
berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat burung weris adalah daerah
persawahan. Burung weris memiliki musim bertelur. Tipe sarang burung weris
adalah sarang tunggal dengan diameter 10 cm-16 cm dan clutch size 1-8 butir.
Fertilitas 64.13%, daya tetas 45.76 %, dengan lama inkubasi adalah 19 hari.
Bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur, yaitu semakin berat bobot telur akan
diikuti dengan semakin bertambahnya bobot tetas. Makanan anakan burung weris
adalah pisang masak, pepaya masak, makanan ayam AD2, dan cacing. Bentuk
pakan yang disenangi oleh anak burung weris adalah makanan ayam AD2 dalam
bentuk pellet kemudian dihaluskan dalam bentuk tepung yang dibasahi sedikit air
sehingga berbentuk pasta. Pakan diberikan dalam bentuk pelet dengan cara

disuapi. Pakan yang paling disukai oleh anak burung adalah cacing hidup. Pada
saluran pencernaan burung weris, osefagus tidak berkembang membentuk

cropsehingga burung weris tidak memiliki tembolok atau crop. Persentase karkas
burung weris adalah 65.85% dengan warna daging dan lemak sama dengan ayam
kampung.
Proses penetasan burung weris memiliki 6 tahapan dari retaknya telur
sampai anak burung keluar dari cangkangnya. Peletakan telur pada akhir
penetasan adalah bagian tumpul menghadap ke atas. Burung weris termasuk
burung diurnal yang aktivitasnya dilakukan pada pagi hingga sore hari. Anakan
burung dengan burung dewasa memiliki perbedaan aktivitas, yaitu burung weris
dewasa dapat melakukan aktivitas mandi dan terbang, sedangkan untuk anakan
tidak. Pengamatan tingkah laku pada burung weris dewasa (n=10 ekor), aktivitas
tertinggi selama 12 jam adalah bergerak selama 314.6 menit, istirahat selama
283.1 menit, makan selama 51.8 menit, minum selama 29 menit, mandi selama
22.9 menit, dan yang paling rendah adalah aktivitas menyelisik atau bersolek,
yaitu selama 18.6 menit. Pada anakan burung lebih banyak istirahat/tidur. Pola
tingkah laku burung weris yang diwariskan seperti aktivitas mandi tidak berubah
walaupun lingkungan berubah.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KAJIAN BIOLOGIS, TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN
KEKERABATAN BURUNG WERIS, Gallirallus philippensis
(Gruiformes: Rallidae) DI MINAHASA
SULAWESI UTARA

LUCIA JOHANA LAMBEY

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Ahmad Thohari, DEA
Dr. Ir. Rukmiasih, MSi

Penguji pada ujian Terbuka : Dr. Ir. Siti Amalia, M.Sc
Dr. Ir. Yeni Mulyani, M.Sc

Judul Disertasi

:

Nama
NRP
Program Studi/Mayor

:
:
:

Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan
Kekerabatan
Burung
Weris,
Gallirallus
philippensis (Gruiformes: Rallidae) di Minahasa
Sulawesi Utara
Lucia Johana Lambey
D161090071
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc
Ketua

Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D
Anggota

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota

Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Muladno,MSA

Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian :

Tanggal Ujian :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
anugerah dan kasihNya sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan
judul Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan Kekerabatan Burung
Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae)di Minahasa Sulawesi
Utarapada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.Penyusunan
disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada
program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana,
InstitutPertanian Bogor. Salah satu yang melatarbelakangi penelitian ini adalah
belum adanya publikasi ilmiah menyangkut karakteristik fenotipik, genetik, dan
kajian biologis serta tingkah lakuburung weris sebagai plasma nutfah yang ada di
Minahasa. Burung weris sejak dulu telah memberikan sumbangan protein hewani
bagi masyarakat di Minahasa khususnya sehingga penelitian ini merupakan
langkah awal sebagai upaya menjaga kelestariannya dengan cara budidaya.
Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya dukungan dari banyak pihak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir.
Ronny Rachman Noor MRur.Sc, Bapak Prof. Ir. Wasmen Manalu PhD, dan Dr.
Ir. Dedy Duryadi Solihin DEA yang telah memberi arahan, bimbingan, saran, dan
perhatian sejak perancangan penelitian, penulisan proposal, penelitian di
lapangan dan di laboratorium sampai penyelesaian disertasi ini. Rasa terima
kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Dahrul Syah MSc.Agr, Dekan
Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan Prof.Dr. Ir. Muladno, MSA yang memberikan perhatian,
pelayanan, dan semangat, para dosendilingkungan Program Studi Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan dan staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPBatas
ilmu, arahan, layanan, bantuan, dan semua masukan yang diberikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi atas izinnya untuk melanjutkan pendidikan Doktor di IPB. Terima
kasih kepada pengelola Dikti atas dukungan dana pendidikan BPPS. Terima kasih
kepada Pak Heri sebagai teknisi di Laboratorium Biologi Molekuler yang telah
membantu selama proses isolasi dan ekstraksi DNA.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Only, Tiltje, Enci Lenda, Indri,
Sabrina, Dave, Rendy,teman-teman Asrama Bogor Baru Satu danSempur, serta
mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 atas bantuan dan kerjasama yang baik
selama menuntut ilmu di IPB sampai terselesainya disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan hormat serta rasa sayang kepada mami dan papi
yang selalu mendoakan dan memberi semangat selama penulis studi, serta adikadikku Trintje, Albert, Debby, dan Hentje serta keponakanku Lidia, Bela, Feybi,
Rico,dan Marcelino yang sudah memberikan topangan doa dan semangat.
Ungkapan terima kasih dan rasa cinta kepada suami Elvrie Marten Somba, dan

anakku Winda Somba yang selalu memberikan perhatian, semangat, kasih
sayang, pengertian,dan topangan doa selama penulis studi di IPB.
Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu
peternakan di Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Utara.

Bogor, Januari2013

Lucia Johana Lambey

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1967 di Desa Kombi, Kabupaten
Minahasa Induk, Provinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Simon Lambey dan Ibu Amelia Esther
Manapa.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1979 di SD GMIM 6 Manado,
pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 1982 di SMP St.
Rafael Manado, pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Manado
diselesaikan tahun 1985, dan

perguruan tinggi pada Fakultas Peternakan,

Universitas Sam Ratulangi Manadodiselesaikan tahun 1990. Tahun 1996, Penulis
diterima sebagai mahasiswa magister sains pada Program Studi Ilmu Ternak,
Fakultas Peternakan, UniversitasPadjajaran Bandung. Pada tahun 2009 Penulis
melanjutkan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, di Fakultas Peternakan IPB. Penulis
merupakan dosen Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado.Selama
menempuh Program Doktor dibiayai oleh BPPS tahun 2009-2012.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….

xxiii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….

xxv

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………..

xxvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang………………………………………………………….

1

Tujuan Penelitian ……………………………………………………....

4

Manfaat Penelitian ……………………………………………………..

5

Alur Penelitian …………………………………………………………

5

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………

7

KARAKTERISTIK MORFOLOGI, PERBEDAAN JANTAN DAN BETINA,
DAN PENDUGAAN UMUR BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis)
DI MINAHASA SULAWESI UTARA
Abstrak …………………………………………………………………

15

Abstract ………………………………………………………………...

16

Pendahuluan ……………………………………………………………

17

Bahan dan Metode …………………………………………………….

18

Hasil dan Pembahasan …………………………………………………

20

Simpulan ……………………………………………………………….

33

Daftar Pustaka ………………………………………………………….

33

KARAKTERISTIK GENETIK BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis)
ASAL MINAHASA BERDASARKAN MARKA DNA MITOKONDRIA
GEN Cytochrome-b
Abstrak …………………………………………………………………

35

Abstract ………………………………………………………………...

36

Pendahuluan ……………………………………………………………

37

Bahan dan Metode ……………………………………………………..

40

Hasil dan Pembahasan …………………………………………………

43

Simpulan ……………………………………………………………….

54

Daftar Pustaka ………………………………………………………….

54

KAJIAN BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK DAGING
WERIS (Gallirallus philippensis)

BURUNG

Abstrak …………………………………………………………………

57

Abstract ………………………………………………………………..

58

Pendahuluan ……………………………………………………………

59

Bahan dan Metode …………………………………………………….

60

Hasil dan Pembahasan …………………………………………………

67

Simpulan………………………………………………………………..

82

Daftar Pustaka …………………………………………………………

82

TINGKAH LAKU MENETAS DAN TINGKAH LAKU BURUNG WERIS
(Gallirallus philippensis) DI PENANGKARAN
Abstrak …………………………………………………………………

85

Abstract ………………………………………………………………...

86

Pendahuluan ……………………………………………………………

87

Bahan dan Metode ……………………………………………………..

88

Hasil dan Pembahasan …………………………………………………

90

Simpulan………………………………………………………………..

100

Daftar Pustaka ……………………………………………………........

101

PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………..

103

SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………

111

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….

113

LAMPIRAN……………………………………………………………………

121

xxii

DAFTAR TABEL
Halaman
Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan
lokasi…………………………………………………………………….....

21

Nilai Eigen dari empat lokasi burung weris (Gallirallus philippensis)
di Minahasa…………………………………………………

22

3.

Deskripsi morfometri Gallirallus philippensis berdasarkan jenis kelamin

26

4.

Posisi perbedaan nukleotida dan haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel
(4 lokasi) G. philippensis………………………………………………….

47

Matriks jarak genetik kimura 2 parameter pada sampel Gallirallus
philippensis antara 4 lokasi di Minahasa…………………………………..

48

6.

Waktu ditemukannya telur burung weris…………………………………

68

7.

Persentase karkas burung weris dan beberapa jenis ternak atau hewan lain

79

8.

Komposisi kimia daging dari beberapa hewan dan ternak………………..

81

9.

Tahapan aktivitas menetas burung weris (Gallirallus philippensis)……….

91

10. Ethogram burung weris (Gallirallus philippensis)………………………………

96

1.

2.

5.

xxiv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan alur penelitian…………………………………………………..

5

2. Burung weris (Gallirallus philippensis)………………………………...

18

3. Proyeksi dari lokasi dan karakter morfologi dalam bidang dua dimensi.

23

Dendogram tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat populasi
burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa…………………..

24

5. Perbandingan pengukuran enam karakter morfologi burung jantan dan
betina……………………………………………………………………

28

4.

6. Perubahan warna pada bagian kepala, yaitu paruh, iris mata, dan warna
alis
mata
sejak
umur
1
hari
sampai
60
hari…………………………………
7. Pertumbuhan bulu sayap selama waktu pengamatan 60 hari…………...

31
31

8. Perubahan karakter burung weris dari umur 1 hari sampai 60 hari…….

32

9. Diagram alur penelitian …………………………………….………….

39

10. Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa…………………...

41

11. Habitat burung weris di persawahan di Minahasa………………………

43

12. DNA total dari masing-masing sampel…………………………………

44

13. Hasil elektroforesis pada gel agarose fragmen produk PCR (695) dari
Cyt b burung weris……………………………………………………...

45

14. Pohon filogeni Gallirallus philippensis antara lokasi di Minahasa
(P, R, T, W) dengan Gallirallus philippensis dari Australia (Q1),
dibandingkan dengan autgroup Rallus longirostris, menggunakan
metode Neighbor Joining (NJ) dengan jarak genetik Kimura 2
Parameter Bootstrap 1000 kali…………………………………………

51

15. Pohon filogeni Gallirallus asal Minahasa (Indonesia) dibandingkan
dengan data Gen Bank sepanjang 272 nt………………………………

53

16. Peta lokasi pengambilan sampel………………………………………...

60

17. Mesin tetas yang digunakan…………………………………………….

61

18. Morfometri telur………………………………………………………..

62

19. Sarang burung weris…………………………………………………….

68

20. Peneropongan telur untuk melihat fertilitas telur……………………….

72

21. Kematian embrio selama proses penetasan……………………………..

72

22. Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas……………………….

74

23. Saluran pencernaan burung weris dan bagiannya………………………

79

24. Penampilan warna daging dan lemak burung weris…………………….

80

25. Pengamatan tingkah laku burung weris di penangkaran………………..

90

26. Aktivitas tidur dan istirahat anak burung di penangkaran………………

92

27. Aktivitas terbang burung weris dalam penangkaran……………………

97

28. Aktivitas burung weris dalam penangkaran dalam waktu 12 jam………

98

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Penjajaran runutan nukleotida gen Cyt-b parsial pada G . philippensis.

121

2. Penjajaran runutan 695 nukleotida gen Cyt-b parsial pada G .
philippensis……………………………………………………………...

130

3. Penjajaran runutan 272 nukleotida Gen Cyt-b parsial pada G .
philippensis……………………………………………………………...

139

4. Jarak genetik……………………………………………………………

143

xxviii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index)
tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997).
Sekitar 1598 spesies burung ada di Indonesia. Sulawesi Utara mempunyai
keanekaragaman satwa yang sangat tinggi, namun kebanyakan di antara satwasatwa tersebut mengalami penurunan populasi. Mandar padi kalung kuning
(Gallirallus philippensis) atau Buff bunded rail di Minahasa dikenal sebagai
burung weris, dianggap sangat rentan terhadap kepunahan karena dari 20 spesies
yang masih ada hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah
Gallirallus philippensis (Taylor dan van Perlo 1998). Sebagian besar burung ini
adalah spesies kepulauan, atau dapat pula dengan daerah sebaran terbatas,
beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk klasifikasi endangered
dan extinct karena tingginya gangguan dari predator, seperti ular, kadal, anjing,
kucing, serta adanya degradasi habitat akibat aktivitas manusia. Gangguan
kelestariannya dapat menyebabkan kelangkaan. Menurut data dari IUCN,
Gallirallus philippensis masuk ke dalam kriteria least concern (LC) atau belum
mengkhawatirkan.
Potensi keindahan morfologis, keunikan tingkah laku, dan kemerduan suara
merupakan daya tarik burung yang menyebabkan perburuannya sering dilakukan,
terutama untuk kesenangan (hobiis). Selain itu, di beberapa daerah, satwa burung
banyak pula yang diburu untuk dijadikan sebagai makanan (sumber protein
hewani). Dengan demikian, keberadaan satwa burung tersebut semakin hari
semakin berkurang populasinya, bahkan dikhawatirkan berkurang pula ragam
jenisnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya guna menjaga eksistensi sekaligus
memulihkan populasi burung di Indonesia sehingga perlu dilakukan kegiatan
konservasi. Konservasi burung dapat dilakukan secara in-situ (di dalam habitat
alaminya), seperti melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi;
dan secara ex-situ (di luar habitat alaminya), salah satu diantaranya melalui
penangkaran.
Nilai ekonomis burung di Indonesia cukup penting walaupun belum terlalu
besar. Beberapa spesies burung yang telah mengalami domestikasi, seperti ayam,

2

itik, angsa, puyuh, telah memberikan sumbangan yang memadai untuk produk
nasional. Namun, jumlah spesis burung yang tergolong sebagai populasi liar
masih jauh lebih banyak lagi dan akhir-akhir ini mengalami ancaman yang sangat
serius, baik karena kerusakan habitat, gangguan pencemaran, maupun
penangkapan yang tidak terkendali dan secara klasik disebabkan oleh karena
pemahaman masyarakat terhadap ekologis burung belum memadai.
Kegiatan penangkaran burung tidak hanya sekadar untuk kegiatan
konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata. Hasil penangkaran dapat
dilepas-liarkan ke habitat alam (sesuai dengan syarat-syarat dan peraturan yang
berlaku), serta sebagian dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama
mulai dari hasil keturunan ke dua.
Masyarakat Manado dan Minahasa sudah sejak lama mengkonsumsi daging
burung weris pada acara pengucapan syukur keberhasilan panen, perkawinan, dan
acara syukuran lainnya. Pada acara syukuran tersebut masyarakat lebih memilih
daging burung weris dibandingkan dengan daging ayam karena daging burung
weris memiliki rasa yang manis, berserat, dan tidak berlemak dibanding ayam. Di
daerah Minahasa, burung weris diperoleh dengan cara menangkap menggunakan
jerat burung yang terbuat dari kayu atau buluh menggunakan tali snar yang
dinamakan dodeso, ada yang menggunakan pukat, senapan angin, dan anjing
sebagai hewan pemburu yang biasanya dilakukan pada malam hari. Penangkapan
dengan menggunakan dodeso, senapan, dan hewan berburu, hasil tangkapannya
dalam jumlah yang sedikit dan dalam keadaan mati, sedangkan yang
menggunakan pukat biasanya hasil tangkapannya dalam jumlah yang besar dan
dalam keadaan hidup. Para penangkap

tidak mempedulikan apakah hasil

tangkapannya sudah siap untuk dipanen atau belum, biasanya hanya yang masih
anakan saja yang dilepaskan kembali dan jika alat tangkapannya berupa dodeso
dan yang terkena dodeso masih anakan burung, tidak akan dilepaskan kembali
karena hasil tangkapannya dalam keadaan lemah atau mati.
Pada umumnya, para penangkap yang menggunakan dodeso tidak
menjualnya dipasar, tapi hanya untuk konsumsi rumah tangga, walaupun ada juga
yang dijual dalam perjalannya pulang kerumah. Hasil tangkapan menggunakan

3

dodeso dijual lebih mahal dibandingkan dengan yang menggunakan pukat.
Didaerah Minahasa Induk, para penangkap menjual dengan harga Rp.15.000–
20.000 perekor, lebih mahal dengan yang menjualnya dipasaran yang biasanya
menggunakan pukat. Hasil tangkapan tersebut akan dijual dipasar dengan kisaran
harga Rp7.500-15.000. Dibandingkan dengan ayam, burung weris lebih disenangi
walaupun harganya relatif lebih mahal dengan ukuran bobot badannya yang kecil.
Burung weris termasuk burung daerah tropis yang bisa dikembangkan
sebagai satwa harapan tropis karena burung weris adalah burung lokal yang
mempunyai keunggulan, yaitu kemampuan adaptasi dengan lingkungan cukup
tinggi dan tahan terhadap penyakit. Berdasarkan informasi dan pengamatan
dialam, makanan burung weris sangat beragam dari invertebrata, (seperti cacing,
molusca), biji-bijian, dan dari akar, tunas, dan daun, beras, jagung, buah, sampai
dengan sisa makanan manusia. Berdasarkan hal tersebut, jika burung weris
dibudidayakan, masalah yang paling besar adalah masalah pakan, namun masalah
ini bisa diatasi, karena ketersediaan pakan yang ada didaerah habitatnya cukup
memadai sehingga makanannya dapat dimanipulasi berdasarkan jenis makanan
yang ada dihabitat alaminya. Selain itu, sampai saat ini belum ada informasi yang
menyatakan bahwa burung weris memiliki sifat kanibal, jika dibandingkan dengan
burung puyuh yang memiliki sifat kanibalisme yang tinggi.
Mengingat permintaan akan burung weris ini yang semakin meningkat
sejalan dengan laju pertambahan penduduk yang diikuti dengan makin
berkurangnya habitat burung weris ini maka kontinuitas suplai burung weris
dipasar mengalami penurunan yang dibuktikan dengan tidak setiap saat dapat
menemukan daging burung weris dipasar tradisional di Minahasa. Dikhawatirkan
populasi satwa harapan tropis ini mengalami penurunan secara drastis dengan
perburuan yang tidak terkontrol dan pada akhirnya akan punah. Oleh karena itu,
perlu dicarikan solusi untuk tahap mempertahankan keberadaan satwa ini di alam
dan sekaligus dapat mensuplai permintaan makan masyarakat setempat, yaitu
dengan cara pembudidayaan. Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan suatu
kajian biologis dan filogeni (kekerabatan), terutama mengatur strategi
penangkaran dan pengelolaan satwa sehingga ketersediaannya untuk konsumsi
masyarakat tetap terpenuhi dan tidak terjadi penurunan populasi, bahkan

4

kepunahan. Dalam populasi yang terdiri atas sejumlah kecil individu terdapat
risiko biologi yang sangat besar, yaitu berkurangnya keragaman genetik karena
peningkatan silang dalam. Silang dalam yang tinggi akan mengancam
kelangsungan hidup populasi karena akan dihasilkannya keturunan-keturunan
yang abnormal.
Sampai saat ini, belum ada publikasi ilmiah ataupun penelitian tentang
burung weris, selain itu belum ada

usaha yang dilakukan oleh peneliti dan

pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan satwa harapan ini diluar
habitat aslinya. Alur penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.
Melalui pemahaman ini, diperlukan suatu kajian biologi, tingkah laku, dan
reproduksi untuk proses pengelolaan penangkaran dan pembudidayaan di kandang
sampai pada hubungan kekerabatan burung weris di Minahasa.

Diharapkan,

populasi burung weris akan meningkat melalui proses budidaya sehingga dapat
menyumbangkan pangan sumber protein hewani.

Hasil-hasil penelitian dan

kajian ini dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan dan pembudidayaan burung
weris (Gallirallus philipensis).
Tujuan Penelitian :
1.

Mempelajari aspek biologi pada kondisi pembudidayaan ex situ yang dapat
dikembangkan sebagai ternak pedaging.

2.

Memperoleh gambaran tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas
harian secara umum.

3.

Mempelajari keragaman fenotipik dan genetik di dalam dan antar populasi.

4.

Mengetahui kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, dapat
membedakan jenis kelamin jantan dan betina, serta melakukan pendugaan
umur burung weris.

5.

Membuat suatu pola manajemen pemeliharaan sesuai dengan lingkungan
pembudidayaan.

6.

Mengatur strategi konservasi kearah budidaya.

5

Manfaat
1.

Mendapatkan informasi habitat burung weris dan perkiraan populasinya.
Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat dalam penanganan dan pengembangan
satwa harapan yang ada di Sulawesi Utara.

2.

Informasi hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kalangan
ilmuwan sebagai bahan kajian maupun data dasar untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan penelitian tentang burung weris sebagai satwa harapan
tropis di Sulawesi Utara.

3.

Mempertahankan keberadaan plasma nutfah.

Alur Penelitian

Pakan

Gambar 1. Alur penelitian yang akan dilakukan.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Berdasarkan penilaian Birdlife Internasional (2006), Burung Weris
(Galllirallus

philippensis),

termasuk

kedalam

least

concern

(kurang

mengkhawatirkan). Taksonomi burung weris adalah sebagai berikut:
King

: Animalia

Phylum

: Chordata

Kelas

: Aves

Order

: Gruiformes

Family

: Rallidae

Genus

: Gallirallus

Species

: Gallirallus philippensis

Burung weris masuk ke dalam famili Rallidae, atau burung rail, yaitu
keluarga burung berukuran kecil hingga menengah. Habitat yang umum adalah
rawa, dekat sungai atau danau, dan hutan lebat. Rallidae umumnya berkembang
biak di daerah yang bervegetasi padat.
Burung air adalah burung yang seluruh hidupnya bergantung pada daerah
perairan. Menurut Rusila (1994), burung air dapat diartikan sebagai kelompok
burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang
dimaksud adalah daerah lahan basah yang alami dan buatan, meliputi daerah
bakau, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, dan sawah.
Pada umumnya, Rallidae adalah omnivora. Banyak spesies dari famili
Rallidae yang memakan invertebrata, buah-buahan, biji-bijian, dan hanya sedikit
yang bersifat herbivor. Perilaku berkembang biak famili ini sulit diketahui apakah
monogami, poligami, atau poliandri. Kebanyakan spesies ini jumlah telurnya 510 butir, namun ada juga burung yang bertelur hanya 1 butir, bahkan ada yang
bertelur sampai 15 butir. Telur dalam satu sarang tidak selamanya menetas dalam
jangka waktu bersamaan dan biasanya anak akan bergantung pada induknya
sampai kurang lebih 1 bulan.

8

Morfologi
Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung
atau diskor. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kualitatif, seperti warna, pola warna,
sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya.
Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2010).
Rail adalah famili yang cenderung bervariasi, berukuran kecil hingga
menengah. Ukuran bervariasi dari 12 cm hingga 63 cm dengan bobot dari 20 g
hingga 3 kg. Spesies Gallirallus torquatus memiliki paruh dan kaki gelap, paruh
atas cokelat gelap, muka dan pipi hitam dengan strip putih dipipi. Burung ini
memiliki panjang sayap 135-156 mm, Tarsus 46-53 mm, ekor 45-62 mm, paruh
41-48 mm. Gallirallus philipensis memiliki panjang sayap 129-144 mm, tarsus
39-46 mm, ekor 65-68 mm, dan panjang paruh 27-33 mm ( Allen et al. 2004).
Ukuran panjang badan Gallirallus phillipensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu
pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas berbintik putih (Coates &
Bishop 1997).
Ozaki (2009) menyatakan bahwa untuk penentuan jenis kelamin pada
Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui ukuran kepala dan tinggi paruh,
sedangkan untuk melihat umur dari Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui
bentuk dan warna bulu primer, paruh, dan mata.
Habitat dan Penyebaran
Famili ini menunjukkan tingkat keragaman habitat yang cukup tinggi yang
meliputi crake, coot, gallinule rail, dan swamphens. Banyak dari famili ini yang
akrab dengan tanah basah, dan juga daratan, kecuali padang tandus, dan wilayah
kutub. Burung ini menyenangi daerah lembap atau lahan basah, seperti daerah
dekat sungai, rawa, atau danau dengan vegetasi lebat. Burung ini biasanya cukup
pemalu, tapi bisa menjadi sangat jinak dan berani dalam beberapa keadaan, seperti
di daerah pulau di Great Barrier Reef. Beberapa spesies dari famili Rallidae hidup
dalam berbagai jenis hutan, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran
tinggi.
Rallidae berkembang biak musiman, selama musim semi dan musim panas
atau memasuki musim hujan di daerah tropis. Fakta-fakta ini tidak sama untuk

9

semua spesies, tapi kebanyakan mengikuti pola ini. Rail menampilkan tingkah
laku seksual seperti pacaran dan pada akhirnya terjadi kopulasi. Pada beberapa
spesies, kopulasi terjadi tanpa sebelumnya menampilkan tingkah laku pacaran.
Sebelum kawin, biasanya Rail jantan Afrikan berjalan di sekitar betina dengan
ekor diangkat dalam rangka untuk mengekspos bulu putih di bawah ekor atau Rail
jantan berjalan di sekitar betina dengan sayap terangkat. Jantan dari genus
"Sarothrura" ekornya bergetar dengan cepat dari sisi ke sisi dengan membungkuk
atau sikap tegak.
Burung weris banyak ditemukan di Australia, Asia,

dan wilayah

barat Pasifik, termasuk Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Selandia
Baru - di mana ia dikenal sebagai Buff Banded Rail. Burung weris ini memiliki
26 subspesies yang dua subspesies di antaranya telah punah, yaitu G.p. andrewsi,
endemik di Pulau Chatham dan G.p. macquariensis endemik di Kepulauan
Macquariensis. Ada satu subspesies yang dalam kategori langka, yaitu G.p.
andrewsi diKepulauan Cocos. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa
burung weris terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Habitat adalah bentuk komunitas biotik, atau sekumpulan komunitas biotik
di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey 1984). Habitat yang sesuai
memenuhi semua syarat-syarat tempat hidup dari suatu spesies untuk suatu musim
(habitat musim dingin, habitat perkembangbiakan) atau sepanjang tahun. Syaratsyarat habitat adalah bermacam tipe dari makanan, pelindung (cover), dan faktor
lain yang dibutuhkan oleh spesies satwa liar untuk bertahan hidup dan
berkembang biak. Alikodra (2010) menyatakan bahwa habitat adalah kawasan
yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biologis, yang merupakan
suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak
suatu organisme secara alami. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat mempunyai
fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan sebagai pelindung. Komponen fisik
dan komponen biotik membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan
satwa liar.
Semua organisme memiliki kemampuan untuk

hidup, tumbuh, dan

berkembang biak pada habitatnya. Habitat satwa terdiri atas dua komponen
penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya

10

suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah
satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider et al. 1988).
Habitat burung weris adalah padang rumput, subtropis/tropis kering,
perairan, rawa-rawa, lahan gambut, pesisir laut, pesisir danau, dan perkebunan.
Hilangnya habitat (habitat loss) mencakup semua bentuk perubahan struktur
habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas habitat yang tersedia
bagi spesis tertentu (Dekker dan McGowan 1995). Kerusakan habitat (habitat
degradation) adalah berkurangnya kualitas habitat tanpa kehilangan semua
lindungan vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan tebang pilih dan over grazing
oleh ternak.
Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat
berlindung (terhadap panas matahari, predator, dan gangguan lain), beristirahat
atau berkembang biak dari beberapa jenis satwa.

Naungan dapat berfungsi

sebagai tempat mencari makan dan minum.
Tingkah Laku
Tingkah laku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang disebabkan
oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau agents, sedangkan aktivitas
yang ditimbulkan dinamakan respons. Tingkah laku yang dipelajari tidak hanya
apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, dimana, bagaimana,
dan mengapa tingkah laku terjadi.
Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan
pengalaman hewan dari waktu kewaktu pada masa lalu, yang sangat
mempengaruhi respons hewan (Suratmo 1979). Selanjutnya, rangsangan yang
sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau
pada spesies yang berbeda.
Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi,
untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk hidup pada suatu
kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969). Tingkah laku terdiri atas
campuran komponen-komponen yang diwariskan, dibawa dari lahir (insting), dan
diperoleh dari lingkungan selama hidup, yaitu berupa pengalaman.

11

Respons hewan terhadap semua faktor rangsangan pada prinsipnya berasal
dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (Survive) dengan melakukan semua
usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya
memperoleh pakan, melakukan reproduksi, dan regenerasi. Dorongan dasar ini
akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan
(Suratmo 1979).
Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitannya dengan
aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas
harian. Pada burung, umumnya aktivitas tersebut dilakukan pada pagi hingga sore
hari, kecuali pada beberapa jenis burung malam (Powel 1986).
Perilaku makan binatang sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun
frekuensi tingkah laku pada saat makan. Perilaku makan dari tiap-tiap spesies
hewan memiliki cara-cara yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi berbedanya
cara makan antara lain morfologi hewan yang mencari makan, rangsangan dari
makanan itu sendiri, dan faktor dari dalam tubuh hewan yang akan memberikan
urutan gerak tubuh pada binatang tersebut (Suratmo 1979).
Kushlan (1978) mengidentifikasi tiga macam perilaku makan yang tampak
pada famili Ardeidae, yaitu berdiri atau mengikuti mangsa (stand or stalk
feeding), mengganggu dan memburu mangsa (disturb and chase feeding), serta
menangkap mangsa diudara dan dibawah perairan (aerial and deep water
feeding).
Konservasi Satwa Liar
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin

kesinambungan

persediaannya

dengan

tetap

meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

memelihara

dan

Kegiatan konservasi

berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan dan seimbang. Asas tersebut adalah
landasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengusahakan
terwujudnya

kelestarian

sumberdaya

alam

hayati

serta

kesinambungan

ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Widada et al. 2003).

12

Konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan,
pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan
pengembangan. Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara
umum, Alikodra (2002) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan
kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi,
introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan satwa liar. Jadi, tujuan
kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar
dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya, baik langsung
maupun tidak langsung, berdasarkan prinsip pelestarian.
Konservasi Genetik
Tolok

ukur

keberhasilan

kegiatan

konservasi

didasarkan

pada

keanekaragaman genetiknya sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator
kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu kewaktu
menyebabkan suatu spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang
berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu
untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig dan Nordtrom 1991).
Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada
beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat atau diwariskan. Ciri-ciri yang
diwariskan itu disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara
molekuler tersusun atas asam nukleat DNA (Sofro 1994). Bila suatu ciri masih
dinyatakan dalam perangkat genetiknya maka ciri-ciri ini disebut genotipe. Tapi
jika genotipe ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan
atau fenotipe.
Keanekaragaman genetik dari spesies liar Gallirallus okinawae dengan
menganalisis haplotipe pada daerah non coding (Control Region) DNA genome
mitokondria ditemukan keragaman nukleotida Gallirallus okinawae lebih tinggi
daripada yang ditemukan dispesies lain burung langka. Keragaman nukleotida
yang rendah didaerah kontrol (CR mt DNA) mungkin menunjukkan bahwa
Gallirallus okinawae telah mengalami botleneck, atau dapat dikatakan bahwa
program konservasi untuk Gallira