Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)

(1)

TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN

KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)

SKRIPSI

Oleh:

Nur Ari Murni Hasibuan

080306004

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN

KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)

SKRIPSI

Oleh:

NUR ARI MURNI HASIBUAN

080306004

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(3)

Judul Skripsi : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)

Nama : Nur Ari Murni Hasibuan

NIM : 080306004

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc Hamdan, S.Pt, M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.


(5)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi dengan judul “Siklus Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas SumateUtara, Medan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc sebagai ketua pembimbing dan Hamdan, S.Pt, M.Si sebagai anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Kepala BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong, Tapanuli Utara yang telah memberikan fasilitas tempat dan hewan penelitian. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan memberi dukungan moril serta spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis


(7)

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... …… i

ABSTRACT ... …… ii

RIWAYAT HIDUP ... …… iii

KATA PENGANTAR ... …… iv

DAFTAR ISI ... …… v

DAFTAR TABEL ... …… vii PENDAHULUAN Latar Belakang ... ..….. 1

Tujuan Penelitian ... ..….. 2

Kegunaan Penelitian ... ….... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ciri-Ciri Kerbau Murrah ... ..… 4

Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah Pubertas ... ….. 6

Siklus estrus... ….. 8

Hormon-hormon yang berperan dalam siklus estrus... ….. 12

Tingkah Laku Kawin Ternak Pre-copulatory ... ….. 14

Copulatory ... ….. 15

Post-copulatory... ….. 17

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... ….. 18

Bahan dan Alat Penelitian ... ….. 18

Bahan... ... 18

Alat ... ... 18

Metode Penelitian ... ….. 18

Parameter Penelitian ... ….. 18

Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina ... ... 19

Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan... ... 20

Pelaksanaan Penelitian ... ….. 20

Pengelompokkan Kerbau ... ... 21

Pemberian Pakan dan Air Minum... ... 21

Penggembalaan Kerbau ... ... 21

Setiap Hari Dilakukan Pengamatan Tingkah Laku Reproduksi Jantan dan Setiap Muncul Siklus Estrus Betina ... ... 21

HASIL DAN PEMBAHAN Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina ... …. 21

Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan ... …. 25

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... …. 31

Saran ... …. 31 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No

1. Populasi ternak kerbau di 10 Provinsi di Indonesia ... 6

2. Umur pubertas pada beberapa ternak ... 6

3. Variasi umur pubertas kerbau di beberapa negara ... 7

4. Siklus reproduksi pada beberapa ternak ... 11

5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina ... 11

6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak ... 17

7. Tingkah laku estrus kerbau betina ... 20

8. Tingkah laku kawin kerbau jantan ... 20

9. Rataan lama tingkah laku estrus kerbau betina ... 24


(10)

DAFTAR GAMBAR

No.

1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina ... 12

2. Grafik rataan frekuensi pemunculan tingkah laku estrus pada kerbau betina ... 22

3. Aktivitas estrus kerbau betina ... 25

4. Rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan... 26


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

1. Rataan Lama (durasi) dan Frekuensi Tingkah Laku Estrus pada Kerbau Betina. 2. Rataan Lama (durasi) dan Frekuensi Tingkah Laku Kawin pada Kerbau Jantan.


(12)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.


(13)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Unsur pertanian pangan yang berorientasi pada tanaman padi berkembang dengan baik, maka peternakan kerbau hampir sama tuanya dengan pertanian itu sendiri. Kebanyakan peternakan kerbau di negara-negara sedang berkembang dilakukan pada bagian pertanian kecil. Pada umumnya, tujuan peternakan kerbau adalah sebagai ternak tenaga kerja, sedang tujuan kedua adalah sebagai penghasil susu dan daging. Namun pemanfaatan ternak kerbau sebagai pedaging hanya berlaku terhadap ternak tua atau ternak dengan nilai ekonomi yang rendah.

Kerbau merupakan hewan ternak besar yang populasinya paling sedikit jika dibandingkan dengan sapi, kambing dan domba. Bahkan, dari tahun ketahun populasi kerbau pun semakin menurun. Ada beberapa penyebab penurunan jumlah populasi ternak kerbau ini yaitu diantaranya tingkat reproduksi yang rendah dan tingkat pemotongan kerbau itu sendiri yang sangat tinggi setiap tahunnya, yaitu 1,3 % per tahun (Susilawati dan Bustami, 2008).

Sedangkan untuk kerbau perah jenis murrah, populasinya masih sangat sedikit di Indonesia. Mungkin karena sebenarnya asal kerbau ini dari luar, yaitu dari India. Dengan sedikitnya jumlah kerbau perah, khususnya kerbau Murrah di Indonesia, menyebabkan manfaat lain dari kerbau belum banyak dimengerti dan disadari oleh masyarakat. Ternak kerbau bangsa Murrah diharapkan dapat berkembang dengan baik di Indonesia, terutama didaerah yang beriklim hampir sama dengan habitat aslinya India (Praharani, 2008).


(15)

Reproduksi yang kurang baik dari ternak kerbau adalah faktor utama yang membatasi kinerja kerbau dan pencapaian perbaikan mutu genetiknya. Kerbau mempunyai umur beranak pertama kali yang sangat tinggi, yaitu pada umur 2 - 3 tahun. Kegagalan reproduksi pada ternak kerbau disebabkan oleh reproduksi kerbau itu sendiri yang kurang mendapat perhatian. Peternak seringkali menganggap enteng masalah ini meskipun siklus kerbau betina dianggap kurang reproduktif (karena sifat estrusnya yang silent heat).

Pengendalian perkawinan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) ataupun kawin alam sangat ditentukan oleh penentuan berahi . Dengan penentuan berahi yang tepat akan dapat ditentukan waktu perkawinan yang tepat agar didapatkan fertilisasi yang baik dan menghasilkan angka kelahiran yang tinggi. Berahi pada kerbau seperti dikemukakan oleh beberapa ahli sulit dideteksi, akan tetapi oleh sebagian pakar reproduksi, dikatakan jelas dan mudah dilihat. Dari pengamatan yang dilaksanakan di daerah Serang, didapatkan bahwa pengetahuan peternak terhadap tanda-tanda berahi relatif masih kurang.

Pengamatan terhadap siklus estrus kerbau betina sangat diperlukan agar peternak dapat mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengawinkan kerbaunya. Maka, para peternak pun harus mengetahui tanda-tanda estrus pada kerbau. Selain itu, fase-fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus pun harus dipahami oleh peternak maupun masyarakat.

Tujuan Penelitian

Menganalisis tanda-tanda estrus pada kerbau Murrah (Bubalus bubalis) dan mengetahui tingkah laku kawinnya.


(16)

Kegunaan Penelitian

Untuk mempermudah peternak mengatur perkawinan alamiah melalui pengamatan siklus estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis) dan sebagai bahan informasi bagi peternak mengenai pengamatan estrus dan tingkah laku kawin pada kerbau murrah.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Ciri-Ciri kerbau Murrah

Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal dari India. Klasifikasi kerbau Murrah berdasarkan tata nama ilmiah menurut (Wikipedia, 2011) sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum: Chordata, class: Mammalia, ordo: artiodactyla, sub ordo: Ruminansia, family: Bovidae, subfamily: Bovinae, genus: Bubalus, spesias: B. bubalis, binomial name: Bubalus bubalis.

Klasifikasi kerbau masih belum pasti. Beberapa peneliti mengelompokkan kerbau sebagai spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu kerbau sungai (B. Bubalus bubalis) yang berasal dari Asia selatan, kerbau rawa (B. Bubalus carabanesis) yang berasal dari Asia tenggara dan arni atau kerbau liar (B. Bubalus arnee).

Kerbau yang ada di Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu kerbau lumpur dan kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Sebagian kerbau lokal adalah kerbau rawa (sekitar 98 %) dan sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 2 %) adalah kerbau sungai (Erdiansyah dan Anneke, 2007).

Secara umum, kerbau Murrah memiliki warna kulit normal hitam dengan bercak putih pada dahi, wajah dan ekor. Muka dan badan kerbau Murrah berukuran lebih panjang dibandingkan dengan kerbau rawa. Ada dua variasi bentuk tanduk kerbau Murrah, yaitu tipe sirkuler dengan ukuran panjang dan derajat lingkar yang berbeda, serta tipe lebih lurus dengan kecenderungan lekukan kebawah (Sitorus dan


(18)

Produksi susu kerbau Murrah dapat mencapai 1,5 - 2,5 liter/ekor/hari

dengan lama masa laktasi sekitar 7 bulan. Kadar lemak susu kerbau yaitu 6,6 - 9,0 % dan merupakan yang tertinggi diantara ternak domestikasi. Karakteristik

karkas kerbau Murrah umumnya dengan dressing percentage diatas 55 %. Nilai gizi susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, yaitu dengan kadar protein 5,25 % dan kadar lemak 8,79 % sedangkan pada sapi kadar protein susunya hanya 3,27% dan kadar lemaknya 3,45% (Bamualim, et al, 2008).

Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129 negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur diIndonesia sebesar 2,2 juta atau sebanyak 6 % dari total populasi kerbau dunia. Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di Sumatera Utara dan merupakan jenis kerbau Murrah nilli-ravi. Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8 % antara tahun 2002 dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti di provinsi Sumatera utara (Ditjennak, 2008). Populasi ternak kerbau di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1


(19)

Tabel 1. Populasi ternak kerbau di 10 provinsi di Indonesia

Provinsi Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

NAD 409,071 338,272 371,143 390,334 390,334 Sumbar 322,629 201,421 211,531 192,148 192,148 Sumut 263,435 259,672 261,794 189,167 155,341 Jabar 149,960 148,003 149,444 149,030 149,030 NTB 156,792 154,919 155,166 153,822 153,822 NTT 136,966 139,592 142,257 144,981 144,981 Banten 139,707 135,040 146,453 144,944 144,944 Sulsel 161,504 124,760 129,565 120,003 120,003 Jateng 122,482 123,815 112,963 109,004 109,004 Sumsel 86,528 90,300 86,777 90,160 90,160

Sumber: Data ditjennak (2008).

Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah Pubertas

Pubertas adalah umur dimana sistem reproduksi ternak mulai berfungsi dan organ reproduksinya telah siap untuk menerima embrio. Umur dan bobot badan hewan sewaktu timbulnya pubertas berbeda-beda menurut spesiesnya. Pubertas ternak betina (estrus pertama kali) dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan. Perbandingan umur pubertas pada beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Umur pubertas pada beberapa jenis ternak

Jenis ternak Umur pubertas

Kuda 10-24

Sapi Eropa 6-18

Sapi Brahman dan Zebu 12-30

Kerbau 24-36

Domba 6-12

Babi 5-8

Sumber: Toelihere (1993).


(20)

Dibeberapa negara, umur pubertas kerbau berkisar antara 16-40 bulan. Pada beberapa kondidi, estrus pertama terjadi pada umur 24-36 bulan. Namun pada kerbau dengan kualitas pakan yang baik dapat mencapai pubertas pertama pada umur 20 bulan (Lita, 2009).

Kerbau rawa mencapai umur pubertas lebih lama dibandingkan dengan kerbau sungai, yaitu pada umur 15-18 bulan untuk kerbu sungai dan 21-24 bulan untuk kerbau rawa. Di Mesir, 80 % kerbau sungai mencapai pubertas pada umur kurang dari 17 bulan dengan bobot badan antara 260-290 kg. Sedangkan di Indonesia, umur pubertas kerbau rata-rata adalah 3,76 tahun dengan bobot badan antara 250-275 kg (Fayed, 2008). Variasi umur pubertas kerbau dari beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Variasi umur pubertas kerbau dari beberapa negara

Asal negara Umur pubertas (bulan)

Filipina 26-29

Rusia 24-36

Bulgaria 39-26

Kamboja 36

Mesir 36

India (Kerbau murrah) 20-32

Sumber: Ranjhan and Pathak (1998).

Kerbau memiliki efisiensi reproduksi yang rendah disebabkan karena beberapa hal yaitu: pubertas yang lambat, umur calving pertama yang tinggi, periode past-partum anestrus panjang, periode calving interval panjang, tanda-tanda estrus yang kurang jelas dan angka kebuntingan yang rendah. Fertilitas kerbau hanya sekitar 35 - 40 %, ini disebabkan karena lambatnya dewasa kelamin baik pada betina maupun pada pejantan (Tappa, 2007).


(21)

Siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas perkawinan dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah fase sebelum estrus, dimana folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan estradiol. Estradiol meningkatkan suplai darah kesaluran kelamin dan meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan ovarium. Pada fase ini, ternak betina belum siap menerina perkawinan meskipun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus (Najamudin, 2010).

Estrus yaitu masa ternak ingin dikawinkan dengan pejntan. Periode ini berlangsung selama 6-30 jam, dengan rata-rata selama 20 jam. Biasanya ternak akan tidak tenang, vulva semakin membengkak dan vestibulum berwarna merah tua. Terlihat dengan jelas pengeluaran lendir yang mudah melekat, jernih dan kental.CL (Corpus Luteum) akan memproduksi hormon estrogen, sehingga produksi progesteron pun menurun. LH mencapai produksi yang cukup tinggi pada masa estrus, ini merupakan awal atau permulaan ovulasi (Larson and

Randle, 2001).

Metestrus ditandai dengan berhentinya estrus secara tiba-tiba. Pada fase ini, ternak masih menunjukkan gejala estrus namun tidak bersedia untuk aktivitas perkawinan. Ovulasi terjadi dengan pecahnya folikel secara berangsur mengecil, dan pengeluaran lendir pun berhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian besar sel-sel barunya yang terbentuk (Wikipedia, 2009).

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus birahi, CL menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada


(22)

fase ini, CL berkembang dengan sempurna dan pengaruh hormon yang dihasilkan, progesteron, tampak pada dinding uterus. Bila ovum tidak dibuahi, CL akan tetap berfungsi selama kurang lebih 19 hari, tetapi mulai berdegenerasi kira-kira pada waktu yang bersamaan, jadi mempersiapkan kembali siklus estrus yang akan datang.

Kerbau dara umumnya mengalami estrus pertama kali pada kisaran umur 2 - 3,5 tahun. Siklus estrus kerbau seperti halnya sapi adalah 21 hari, dengan kisaran 18 - 24 hari. Waktu estrus umumnya mencapai kisaran12 - 40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam. Kerbau dikenal sebagai ternak dengan penampilan estrus yang sering sulit untuk diamati karena sering terjadi dimalam hari dan sering terjadi silent heat atau birahi tenang, yaitu estrus yang tanpa menunjukkan tanda-tanda. Deteksi estrus yang sulit pada kerbau menyebabkan layanan perkawinan pada kerbau menjadi tidak mudah. Deteksi estrus umumnya dapat dilakukan dengan cara: 1) melihat pembengkakan pada vulva berwarna merah; 2) pengeluaran lendir dari vulva yang jelas; 3) penurunan nafsu makan; 4) keinginan untuk berinteraksi dengan ternak lain; 5) berdiri diam bila dinaiki oleh pejantan atau betina lain; 6) frekuensi urinasi semakin meningkat (Toelihere, 1993).

Menurut penelitian Siregar (2002), gejala estrus kerbau yang mudah diamati adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat mengeluarkan urine. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan. Begitupun kondisi servik yang terbuka adalah konsisten menunjukkan gejala estrus. Pengeluaran cairan mukosa hanya digunakan sebagai indikasi tambahan.


(23)

Konsistensi, warna dan pengeluaran sangat bervariasi selama waktu yang berbeda. Pengeluaran cairan juga kelihatan pada phase proestrus.

Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Pada hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus sampai ke permulaan periode selanjutnya. Gejala kebuntingan ternak setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam prakteknya, bukan berarti kerbau yang tidak menunjukkan gejala estrus dapat dinyatakan bunting. Hal yang harus dicatat adalah ternak betina yang sudah dikawinkan mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut terlihat. Ternak betina menjadi lebih tenang, pada ternak betina yang baru pertama kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya pergerakan pada perut sebelah bawah, sisi kanan dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif (Akoso, 1996).

Perkawinan tepat waktu adalah upaya mengawinkan kerbau betina dengan pejantan pada waktu masa berahi sebelum terjadinya ovulasi sehingga terjadi kebuntingan. Menurut Hafez (1993), bahwa ovulasi pada ternak kerbau terjadi 15 - 18 jam sesudah akhir berahi atau 35 - 45 jam sesudah munculnya gejala berahi. Pembuahan terjadi antara 5 – 6 jam sejak ovulasi Tambing et al.

(2000). Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, penentuan waktu terbaik untuk perkawinan pada kerbau adalah mulai 12 - 16 jam sesudah munculnya gejala berahi sampai 8 - 9 jam sebelum akhir berahi (Ranjhan dan Pathak, 1998) dalam Tambing et al. (2000) dan ini telah dibuktikan oleh Avanell (1981) dalam Tambing

et al. (2000) dimana angka konsepsi yang diperoleh 57 - 83% bila diinseminasi 12 - 16 jam setelah munculnya gejala berahi pada kerbau lumpur. Metode


(24)

inseminasinya adalah sama pada sapi, yaitu peletakan semen pada posisi 4 (pada pangkal corpus uteri) (Toelihere, 1993). Siklus reproduksi pada beberapa jenis

ternak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Reproduksi pada beberapa ternak

Jenis ternak Lama estrus Ovulasi

Kuda 6-7 hari 1-2 hari sebelum akhir estrus

Sapi 6-20 jam 16-90 hari

Domba 17 hari 8-10 bulan

Babi 2-5 hari 12-48 jam setelah awal estrus

Sumber: Widiyono (2008).

Karakteristik reproduksi pada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina

Karakteristik Lama

Umur Pubertas 15-36 bulan, rata-rata 21 bulan Siklus Estrus

Panjang 18-22 hari

Estrus 17-24 jam, rata-rata 21 jam

Ovulasi 18-45 jam, rata-rata 32 jam

Jumlah sel telur yang diovulasikan Usia corpus luteum

Lama kebuntingan Umur beranak pertama Interval post-partum

Ovulasi pertama calving interval

1 16 hari

305-330 hari, rata-rata 315 36-56 bulan, rata-rata 42 bulan 35-180 hari, rata-rata 75 hari 15-21 bulan, rata-rata 18 bulan

Sumber: Handiwirawan, et al (2007).

1. Hormon-hormon yang berperan dalam siklus estrus

Siklus estrus diatur oleh kelenjar hypotalamus, kelenjar pituitari dan ovarium, yang menghasilkan hormon-hormon pengatur sistem reproduksi. Hypotalamus fungsi utamanya adalah menghasilkan gonadotropin releashing


(25)

hormone (GnRH) untuk menstimulasi estrogen dan menghambat (menghentikan) produksi progesteron. Kelenjar pituitary berfungsi menghasilkan Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). FSH dan LH bekerja secara berlawanan dengan progesteron.

Ovarium terletak didalam rongga perut bagian panggul induk. Pada permukaan ovarium terdapat folike-folikel yang menghasilkan hormon estrogen. Folikel-folikel ini mencapai ukuran dan kematangan pada waktu yang berbeda-beda pada tiap siklusnya, tetapi pada umumnya hanya satu yang terovulasi. CL bertanggung jawab untuk memproduksi progesteron. Estrogen dan progesteron diproduksi mengikuti stimulasi FSH dan LH pada ovarium. Uterus juga terletak pada rongga perut induk, yang berperan untuk memproduksi hormon prostaglandin F 2 α (PGF2 α) (Rasby and Rosemary, 2011).

Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

Gambar 1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina (Sumber: Rasby and Rosemary, 2011).

Diawali dengan pelepasan GnRH dari kelenjar hypotalamus. Polypeptida hormon ini akan diangkat menuju kelenjar pituitary melalui suatu jaringan kapiler yang disebut hypotalamo-hypophysel. GnRH berfungsi untuk menstimulasi atau merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilkan serta melepaskan FSH dan LH. Kemudian FSH dan LH akan diangkat melalui perdaran darah menuju ovarium, dimana akan terjadi satu rangkaian berupa proses ovulasi dan kebuntingan jika terjadi fertilisasi (Rasby and Rosemary, 2011).

Hormon yang dihasilkan diovarium adalah estrogen dan progesteron. Hormon-hormon ini diedarkan melalui aliran darah. Estrogen dihasilkan oleh folikel yang terletak pada permukaan ovarium. Ketika folikel tumbuh, mka akan dihasilkan lebih banyak estrogen. Ketika produksi estrogen meningkat, sebagaian hormon ini akan dilepaskan kedalam aliran darah untuk menuju kelenjar pituitary sehingga merangsang pelepasan LH. Inilah yang mempengaruhi sistem nerveus ternak sehingga menyebabkan muncul kegelisahan pada ternak yang estrus, penunggangan dan yang paling penting yaitu keinginan ternak untukbersedia melakukan perkawinan. Efek lain dari peningkatan estrogen dalam darah yaitu aliran darah keorgan genital pun akan semakin meningkat, sehingga menghasilkan mucus (cairan) pada serviks dan vagina.


(27)

- GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormon), diproduksi di hypotalamus, berfungsi menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi dan melepaskan hormon-hormon gonadotropin (FSH/LH).

- FSH (Follicle stimulating hormone), diproduksi disel-sel basal pituitary anterior, sebagai respon terhadap GnRH. Berfungsi memicu pertumbuhan dan pematangan folikel dan sel-sel granulosa di ovarium betina, (pada pejantan berfungsi untuk memicu pamatangan sperma ditestis).

- LH (Luteinizing Hormone), diproduksi di sel-sel kromofob pituitary anterior. Besama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan folikel dan juga mencetuskan terjadinya ovulasi dipertengahan siklus. Selama fase luteal siklus LH meningkatkan dan mempertahankan fungsi korpus luteum pasca-ovulasi dalam menghasilkan progesteron.

- Estrogen, diproduksi terutama oleh folikel diovarium secara primer, dan dalam jumlah yang lebih sedikit juga diproduksi dikelenjar adrenal melalui konversi hormon androgen. Pada pejantan, diproduksi juga sebagian ditestis. Selama kebuntingan, diproduksi juga oleh plasenta. Berfungsi sebagai stimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada berbagai organ reproduksi betina, juga menstimulasi PGF2α.

- Progesteron, diproduksi terutama di Corpus Luteum diovarium, sebagian diproduksi dikelenjar adrenal, dan pada kehamilan juga diproduksi diplasenta. Progesteron menyebabkan terjadinya proses perubahan sekretorik (fase sekresi) pada endometrium uterus, yang mempersiapkan endometrium uterus berada pada keadaan yang optimal jika terjadi implantasi (Mottershead, 2011).


(28)

Tingkah Laku Kawin Ternak 1. Pre-copulatory

Pada umumnya, kerbau India mempunyai musim kawin antara bulan September- Februari. Pada musim ini kerbau jantan mempunyai aktivitas birahi yang sangat baik. Disamping itu, kualitas dan kuantitas semen selama musim kawin (September-Februari) sangat tinggi. Frekuensi estrus selama masa-masa perkawinan bisa mencapai Desember (Suthar and Dhani, 2010).

Tingkah laku seksual kerbau jantan sama dengan sapi tetapi kurang intense

dibandingkan sapi. Libido tertahan selama siang hari yang panas, terutama pada kerbau lumpur. Kemampuan seksual kerbau jantan menurun selama musim panas dan membaik dengan musim yang lebih dingi. Berkaitan dengan hal tersebut maka penampungan semen bagi pejantan untuk inseminasi buatan perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut.

Tingkah laku reproduksi pada jantan ada tiga yaitu tingkah laku pre-copulation, tingkah laku kopulasi dan post-copulation. Tingkah laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku courtship (percumbuan) dengan tidak menerima hewan jantan secara seksual tapi juga menghasilkan bau yang has (pheromon), suara dan stimulus fisik yang menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara seksual (Becker et.al, 1992).

Ketika kerbau jantan didekatkan dengan kerbau betina yang estrus, kerbau jantan biasanya akan membuka mulutnya, mengangkat bibir bagian atas (flehmen) dan mengangkat (menegakkan) lehernya. Lalu kerbau betinaestrus pun akan segera merespon dengan cara urinasi. Selama periode ini, pejantan akan mencium organ


(29)

genital betina, terlihat juga penis pejantan keluar preputium, kemudian pejantan akan melakukan mounting atau penunggangan (Johri, 1960).

2. Copulatory

Pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan aktivitas pre-kopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada periode ini biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain bahkan mengusir pejantan-pejantan sub-ordinat (secara hirarki lebih rendah tingkat sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual ditunjukkan dengan cara menciumi daerah perineal betina vocalisation. Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen percumbuan yang khas pada jantan. Stimulus flehmen juga dapat berupa urine atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina estrus, pejantan akan flehmen (Toelihere, 1993).

Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina membrikan respon dengan cara memberikan tekanan dengan menggunakan punggungnya kearah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan meletakkan kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis kearah depan. Selama proses penunggangan, organ kopulatori, itu merupakan ereksi dari kelenjar cowper, bukan semen (Toelihere, 1993).

Intromisi terjadi karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis. Setelah semua organ kopulatori keluar dari pereputium, intromisi baru terjadi. Lama waktu intromisi adalah bervariasi pada setiap jenis ternak. Ejakulasi terjadi


(30)

setelah intromisi sempurna sehingga semen dapat didesposisikan pada tempat yang sesuai dengan anatomi organ reproduksi betina. Pada kerbau, desposisi semen terjadi didekat mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak intromisi organ kopulatori pejantan (Frandson, 1996).

Frekuensi kopulasi berbeda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio, luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak

Jenis ternak Lama kopulasi

Domba 1-2 detik

Sapi 1-3 detik

Kuda 20-60 detik

Babi 5-20 menit

Sumber: Senger (1999).

3. Post-Copulatory

Refraktori adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Kebanyakan pejantan tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi. Refraktori merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam tahap kopulasi pada bagian akhir setelah ejakulasi (Toelihere, 1993).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Instalasi Silangit Kec. Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan dimulai pada bulan Mei sampai Oktober 2012.


(31)

Bahan dan Alat Bahan

Hewan penelitian yang digunakan ialah: 7 ekor kerbau betina dewasa dan 1 ekor kerbau jantan dewasa. Bahan lain yang digunakan yaitu: pakan yang terdiri atas konsentrat, hijauan dan air minum.

Alat

Alat yang digunakan ialah: 2 unit kandang kelompok, setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pengambilan data dengan menggunakan digital camera dan timer (stopwatch).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Setiap siklus estrus dan pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina diamati. Pencatatan data meliputi tingkah laku yang muncul dan frekuensinya. Data ditabulasi dan rataan dibahas secara deskriptif.

Parameter Penelitian

1. Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina

Data pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau betina tertera pada Tabel. 7.

Tabel 7. Tingkah laku estrus kerbau betina dalam satu populasi

Parameter gejala estrus

Frekuensi pemunculan

(kali/hari)

Lama (detik) 1 Sering mengeluarkan suara

2 Menaiki pejantan atau betina lain

3 Pembengkakan vulva (mengeluarkan lendir) 4 Bersedia didekati pejantan


(32)

8 Gelisah Sumber: Ranjhan and Pathak (1998).

2. Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Data tingkah laku kawin kerbau jantan tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkah laku kawin kerbau jantan

Parameter tingkah laku kawin

Frekuensi pemunculan

(kali/hari)

Lama (detik) -Pre-copulatory

Percumbuan (courtship) a. Memisahkan betina estrus b. Mencium genital betina c. Flehmen

Penunggangan -Copulatory

Ereksi Intromisi Ejakulasi

Post-copulatory

Refraktory

Sumber: Ranjhan and Pathak (1998).

Pelaksanaan Penelitian

1. Pengelompokkan kerbau

Kerbau yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 14 ekor, terdiri dari 12 ekor kerbau betina dan 2 ekor kerbau jantan. Selain dikandangkan, kerbau-kerbau ini juga digembalakan di padang penggembalaan yang terletak didekat kandang. Penggembalaan dilakukan setiap hari pada pukul 09.00 – 15.00 WIB. 2. Pemberian pakan dan air minum


(33)

Kerbau diberikan pakan hijauan berupa king grass selama ada di dalam kandang, frekuensi pemberian dilakukan 1 kali sehari yaitu pada sore hari (setelah kerbau digembalakan). Konsentrat diberikan pada pagi hari yaitu pada pukul 07.00 WIB (sebelum kerbau digembalakan). Pemberian air minum dilakukan secara

adlibitum.

3. Penggembalaan kerbau

Kerbau digembalakan di padang penggembalaan yang terletak disekitar kandang. Hijauan yang terdapat pada padang penggembalaan yaitu berupa rumput lapangan.

4. Setiap hari dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi jantan dan setiap muncul suklus estrus betina.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina

Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau betina yang terdapat dalam satu populasi, yaitu terdiri dari 7 ekor kerbau betina dan 1 ekor pejantan. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh 7 ekor kerbau betina yang mengalami estrus pada waktu yang berbeda-beda. Frekuensi pemunculan (kali/hari) tingkah laku estrus kerbau betina selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik rataan frekuensi tingkah laku estrus kerbau betina

Dari data yang diperoleh (Gambar 2), terlihat bahwa tingkah laku estrus yang paling dominan adalah pada aktivitas bersedia didekati pejantan, urinasi dan

melenguh (mengeluarkan suara). Frekuensi pemunculan untuk aktivitas bersedia 0 5 10 15 20 25 30 35 40 F r e k u e n s i Pe m u n c u la n (k a li /h a r i)

Tanda-Tanda Estrus Kerbau Betina

Kerbau I Kerbau II Kerbau III Kerbau IV Kerbau V Kerbau VI Kerbau VII


(35)

didekati pejantan yaitu 6,50 – 38,00 kali/hari dengan rata-rata 19,93 kali/hari. Setiap betina yang estrus akan siap menerima pejantan untuk aktivitas reproduksinya (kecuali bila betina berada pada fase proestrus, matestrus dan diestrus). Inilah yang menyebabkan betina tersebut bersedia didekati oleh pejantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Najamuddin (2010), yang menyatakan bahwa siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas perkawinan dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.

Urinasi merupakan tanda-tanda estrus kerbau yang paling mudah diamati ketika gejala lain tidak atau sulit diamati serta dapat dijadikan patokan terbaik untuk mengetahui apakah kerbau betina sedang estrus atau tidak. Terlihat bahwa semua betina yang estrus menunjukkan aktivitas urinasi. Frekuensi pemunculan urinasi tersebut yaitu antara 7,00 – 23,00 kali/hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siregar (2002), yang menyatakan bahwa gejala estrus kerbau yang mudah diamati adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat mengeluarkan urine sedikit-sedikit. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan. Untuk tingkah laku estrus pada pengamatan penurunan nafsu makan sulit diperoleh data karena kerbau-kerbau yang digunakan pada pengamatan ini diletakkan pada kandang kelompok sehinggaa tidak memungkinkan untuk melakukan penghitungan konsumsi pakan per individunya. Sedangkan pada pengamatan pembengkakan vulva dan pengeluaran lendir pun sulit diperoleh data


(36)

frekuensi dan lama waktunya. Karena pada saat kerbau betina estrus, pembengkakan vulva yang disertai pengeluaran lendir terjadi dari awal estrus sampai akhir estrus. Bagi para peternak rakyat, tanda inilah yang menjadi landasan utama dalam mengamati apakah kerbau tersebut sedang estrus atau tidak. Karena menurut peternak, kerbau merupakan hewan ternak yang sangat sulit diamati tanda-tanda estrusnya (silent heat) sehingga melihat pengeluaran lendir pada vulva lebih mudah dilakukan oleh peternak.

Rataan lama (durasi) tingkah laku estrus pada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan lama (durasi) tingkah laku estrus pada kerbau betina

Ternak

Lama (durasi) Pemunculan Tingkah Laku Estrus (detik)

Melenguh Menaiki Pejantan Bersedia Didekati Pejantan Mendekati

Betina Lain Gelisah Urinasi

Kerbau I 6.63 15.31 35.30 8.23 2.52 6.17

Kerbau II 5.37 - 19.30 - - 8.37

Kerbau III 6.8 - 10.60 - - 7.03

Kerbau IV 6.61 - 16.20 - - 6.54

Kerbau V 6.25 8.66 29.70 6.01 2.05 9.21

Kerbau VI 7.17 - 18.50 - - 5.93

KerbauVII 6.95 12.07 38.60 8.52 1.95 6.11

Rataan 6.54 12.01 24.03 7.59 2.17 7.05

Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian

Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa durasi yang paling lama terjadi pada tingkah laku estrus kerbau adalah aktivitas bersedia didekati pejantan yaitu dengan rataan 24,03 detik/ekor. Biasanya aktivitas ini terjadi ketika betina berada pada fase proestrus, yaitu dimana betina tersebut sudah mulai menunjukkan gejala estrus namun belum siap menerima aktivitas perkawinan. Sehingga pejantan hanya bisa mendekati betina tersebut dengan cara mengikuti kemanapun betina pergi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Najamuddin (2010), yang menyatakan bahwa siklus


(37)

estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah fase sebelum estrus, dimana folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan estradiol. Estradiol meningkatkan suplai darah kesaluran kelamin dan meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan ovarium. Pada fase ini, ternak betina belum siap menerina perkawinan meskipun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus.

Selain itu, terdapat pula tanda estrus lainnya yang tidak termasuk didalam parameter pengamatan, yaitu adanya penurunan produksi susu pada betina indukan yang sedang dalam masa laktasi. Namun tanda ini jarang menjadi acuan bagi peternak karena tidak semua peternak kerbau Murrah melakukan pencatatan (recording) terhadap produksi susu. Gambaran dari aktivitas estrus kerbau betina dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)


(38)

Gambar 2. Tingkah laku estrus kerbau betina: (a) Diam didekati pejantan, (b) Gelisah, (c) Menaiki pejantan atau betina lain dan (d) Urinasi

Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diamati melalui interaksi seksual dan kesiapan betina untuk menerima perkawinan oleh pejantan. Tingkah laku kawin kerbau jantan dapat dilihat pada Gambar 4.


(39)

Gambar 3. Grafik rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan

Percumbuan (courtship) merupakan awal dari proses perkawinan ternak. Percumbuan merupakan upaya pendekatan kerbau jantan dengan kerbau betina sebagai respon estrus yang ditunjukkan oleh betina. Tingkah laku pre-copulatory

penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya ditandai dengan belum siapnya betina menerima pejantan secara seksual. Pre-copulatory terdiri atas 3 yaitu memisahkan betina estrus, mencium genital betina dan flehmen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Becker et.al. (1992), yang menyatakan bahwa tingksh laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku courtship dengan tidak menerima pejantan secara seksual namun betina menghasilkan bau yang khas (pheromon), suara dan stimulus fisik yang

0 5 10 15 20 25 30 F r e k u e n s i P e m u n c u la n (k a li /h a r i)

Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Kerbau I Kerbau II Kerbau III Kerbau IV Kerbau V Kerbau VI Kerbau VII


(40)

Mounting merupakan awal dari tingkah laku copulatory yang biasanya diikuti oleh aktivitas intromisi dan ejakulasi. Dari data diatas, dapat kita amati bahwa mounting adalah aktivitas perkawinan yang paling tinggi frekuensi pemunculannya, yaitu berkisar antara 11,00 – 27,00 kali/hari dengan rata-rata 16,57 kali/hari sedangkan yang terendah adalah ejakulasi yaitu berkisar 2,00 – 4,00 kali/hari. Ini menunjukkan bahwa mounting merupakan aktivitas perkawinan yang paling sering dilakukan oleh pejantan. Namun, tidak semua aktivitas mounting selalu dilanjutkan dengan intromisi dan ejakulasi. hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina membrikan respon dengan cara memberikan tekanan dengan menggunakan punggungnya kearah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan meletakkan kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis kearah depan.

Rataan lama (durasi) tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan lama (detik/ekor) tingkah laku kawin kerbau jantan

Ternak

Rataan Lama (detik) Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan Memisahkan Betina Estrus Mencium Genital Betina

Flehmen Mounting Ereksi Intromisi Ejakulasi Refraktori

Kerbau I 95.50 28.05 5.02 4.69 47.60 4.05 2.12 5.21

Kerbau II 94.19 17.74 5.04 8.90 53.64 4.99 2.00 7.66

Kerbau III 72.35 25.01 5.67 4.50 32.69 4.19 2.07 8.38

Kerbau IV 77.60 21.39 4.89 10.87 24.24 6.53 3.98 8.63


(41)

Kerbau VI 63.98 18.84 4.32 9.31 16.99 5.36 5.60 6.40

KerbauVII 65.50 25.12 3.25 4.31 26.93 3.00 2.21 5.51

Rataan 73.77 24.24 4.53 6.53 36.83 4.52 2.91 7.13

Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian

Tingah laku reproduksi kerbau jantan hampir sama dengan sapi, hanya saja kurang intens dibandingkan dengan sapi. Aktivitas ejakulasi ditandai dengan cara melihat dorongan tulang panggul pejantan kearah depan. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa durasi ejakulasi kerbau jantan berkisar antara 2,00 – 3,98 detik dengan rata-rata 2,91 detik. Hal ini didukung dengan pernyataan Siregar (1999), yang menyatakan bahwa karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak yaitu pada domba 1 – 2 detik, kuda 20 – 60 detik, babi 5 – 20 menit dan sapi 1 – 3 detik. Frekuensi kopulasi berbeda-beda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio, luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual.

Refraktori adalah masa istirahat ternak jantan setelah melakukan aktivitas kopulasi. Durasi yang dibutukan pejantan untuk refraktori (pelemasan otot) yaitu berkisar 5,21 – 8,63 detik dengan rata-rata 7,31 detik. Setelah ejakulasi, pejantan akan diam dan tanpa melakukan aktivitas apapun selama sekitar 7,31 detik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa Refraktori adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Kebanyakan pejantan tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi. Refraktori merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam tahap kopulasi bagian akhir setelah ejakulasi. Gambaran dari aktivitas kawin kerbau jantan dapat dilihat pada Gambar 5.


(42)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)


(43)

(g)

Gambar 3. Tingkah laku kawinkerbau jantan: (a) Memisahkan batina estrus dari kelompok betina lain, (b) Mencium geinital betina, (c) Flehmen, (d) Mounting, (e) Ereksi, (f) Intromisi dan Ejakulasi serta (g) Refraktori.


(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada tingkah laku estrus, bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda yang paling mudah diamati untuk menentukan estrus atau tidaknya kerbau betina.

Saran

Disarankan pada penelitian selanjutnya agar dilakukan sinkronisasi estrus pada kerbau betina, sehingga estrus lebih mudah diamati dan waktunya dapat disesuaikan untuk mempermudah perkawinan ternak kerbau.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T., 1996. Sistem Reproduksi Sapi dalam: Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Arman, C., 2005. Penyisian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Fakultas Peternakan Unversitas Mataram, NTB.

Bamualim, A., M. Zulbardi dan T. Chalid, 2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi dan Pengembangan Kerbau di Indonesia. Makalah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 1 – 10.

Becker, J.B., M. Breadlove, D. Crews, 1992. Behavioral Endocrynology. The Mit Press Cambridge, Masschusetts.

Ditjennak, 2008. Data Populasi Kerbau dari: Statistika Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Erdiansyah, E. dan A. Anneke, 2007. Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Antara Subpopulasi Kerbau Rawa Lokal di Kabupaten Dompu. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Pertanian, Bogor. Hal: 55 – 67.

Fayed, R., 2008. Puberty and Maturity in: Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Ethology, Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University.

Frandson, R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Praseno, K. UGM Press, Yogyakarta.

Hafez. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.

Handiwirawan, E. dan A. Anneke, 2008. Tingkah Laku Kerbau Rawa dalam: Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor. Hal: 97 – 103.

Handiwirawan, E., Suryana dan T. Chalid, 2008. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor.


(46)

Nasional Usaha Ternak Kerbau. Dinas Pertanian dan Pangan Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Hal: 68 -71.

Ibrahim, L., 2008. Produksi Susu, Reproduksi dan Manajemen Kerbau Perah di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Vol (5) No. 1. Hal: 1 – 9.

Ismanto, A. H., 2003. Partisipasi Peternak dan Tingkat Keterampilan Inseminator dalam Program Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.

Johri, M. P., 1960. Indian Vet. Citation. Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing

House Pvt. Ltd, New Delhi. pp: 207 - 225.

Larson, R. L. dan R. F. Randle, 2001. The Bovinae Estrous Cycle and Synchronization of Estrous.

Lita, M., 2009. Reproduksi dalam: Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai Kabupaten Kartanegara Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 5 – 9.

Marawali, A., M. T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Jakarta.

Mottershead, J., 2001. Hormones Active During The Estrous Cycle of Mare in: The Mare Estrous Cycle. Seminar Course Note.

Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.

Najamuddin, 2010. Periode Siklus Estrus dalam: Kajian Pola Reproduksi Ternak. Makalah Pascasarjana IPB, Bogor.

Praharani, L., 2008. Karakteristik dan Populasi Ternak kerbau dalam: Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Makalah. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 29 – 37.

Ranjhan, S.K. and N.N., Pathak, 1998. Reproduction and Breeding in: Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing House Pvt, Ltd, New Delhi. pp: 209 – 298.

Rasby, R. and V. Rosemary, 2011. Endocrynology of The Estrous Cycle in: Estrous Cycle Module. University of Nebraska.


(47)

Senger, P. L., 1999. Reproduvtive Behaviour in: Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Conceptions, Inc. Washington State University. pp: 189 – 205.

Sitorus, A. J., dan A. Anneke, 2008. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional dan Usaha Ternak kerbau, Bogor. Hal: 38 – 43.

Siregar, A. R., 2002. Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi untuk Meningkatkan Produksi Kerbau. Makalah. Balai Pembibitan Ternak, Bogor.

Susilawati, E. dan Bustami, 2008. Pengembangan Ternak Kerbau di Provinsi Jambi. Makalah. Bahan Pengkajian Teknologi Ternak, Jambi. Hal: 11 – 17. Suthar, V. S and A. J. Dhani, 2010. Estrous Detection Methods in Buffalo. Journal

Veterinary World. Vol (3). pp: 94 – 96.

Tambing, S. N., M. R. Toelihere dan T. L. Yusuf., 2000. Optimasi Program Inseminasi pada Kerbau. Jurnal Wartazoa 10 (2): 41 – 50.

Tappa, B., 2007. Bioteknologi Reproduksi Untuk Pengembangan Kerbua Belang dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Hal: 40 – 48.

Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung. Widiyono, I., 2008. Komparasi Siklus Estrus pada Beberapa Macam Hewan dalam:

Hewan Produksi Ruminansia dan Non Ruminansia. Materi Kuliah. UGM, Yogyakarta.

Wikipedia, 2009. Four Phases of Estrous in: Estrous Cycle. Wikipedia, 2011. Taksonomi dan Klasifikasi Kerbau.


(1)

(a) (b)

(c) (d)


(2)

(g)

Gambar 3. Tingkah laku kawinkerbau jantan: (a) Memisahkan batina estrus dari kelompok betina lain, (b) Mencium geinital betina, (c) Flehmen, (d) Mounting, (e) Ereksi, (f) Intromisi dan Ejakulasi serta (g) Refraktori.


(3)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada tingkah laku estrus, bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh merupakan tanda yang paling mudah diamati untuk menentukan estrus atau tidaknya kerbau betina.

Saran

Disarankan pada penelitian selanjutnya agar dilakukan sinkronisasi estrus pada kerbau betina, sehingga estrus lebih mudah diamati dan waktunya dapat disesuaikan untuk mempermudah perkawinan ternak kerbau.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T., 1996. Sistem Reproduksi Sapi dalam: Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Arman, C., 2005. Penyisian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Fakultas Peternakan Unversitas Mataram, NTB.

Bamualim, A., M. Zulbardi dan T. Chalid, 2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi dan Pengembangan Kerbau di Indonesia. Makalah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 1 – 10.

Becker, J.B., M. Breadlove, D. Crews, 1992. Behavioral Endocrynology. The Mit Press Cambridge, Masschusetts.

Ditjennak, 2008. Data Populasi Kerbau dari: Statistika Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Erdiansyah, E. dan A. Anneke, 2007. Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Antara Subpopulasi Kerbau Rawa Lokal di Kabupaten Dompu. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Pertanian, Bogor. Hal: 55 – 67.

Fayed, R., 2008. Puberty and Maturity in: Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Ethology, Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University.

Frandson, R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Praseno, K. UGM Press, Yogyakarta.

Hafez. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.

Handiwirawan, E. dan A. Anneke, 2008. Tingkah Laku Kerbau Rawa dalam: Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor. Hal: 97 – 103.

Handiwirawan, E., Suryana dan T. Chalid, 2008. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor.


(5)

Nasional Usaha Ternak Kerbau. Dinas Pertanian dan Pangan Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Hal: 68 -71.

Ibrahim, L., 2008. Produksi Susu, Reproduksi dan Manajemen Kerbau Perah di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Vol (5) No. 1. Hal: 1 – 9.

Ismanto, A. H., 2003. Partisipasi Peternak dan Tingkat Keterampilan Inseminator dalam Program Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.

Johri, M. P., 1960. Indian Vet. Citation. Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing

House Pvt. Ltd, New Delhi. pp: 207 - 225.

Larson, R. L. dan R. F. Randle, 2001. The Bovinae Estrous Cycle and Synchronization of Estrous.

Lita, M., 2009. Reproduksi dalam: Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai Kabupaten Kartanegara Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 5 – 9.

Marawali, A., M. T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Jakarta.

Mottershead, J., 2001. Hormones Active During The Estrous Cycle of Mare in: The Mare Estrous Cycle. Seminar Course Note.

Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.

Najamuddin, 2010. Periode Siklus Estrus dalam: Kajian Pola Reproduksi Ternak. Makalah Pascasarjana IPB, Bogor.

Praharani, L., 2008. Karakteristik dan Populasi Ternak kerbau dalam: Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Makalah. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 29 – 37.

Ranjhan, S.K. and N.N., Pathak, 1998. Reproduction and Breeding in: Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing House Pvt, Ltd, New Delhi. pp: 209 – 298.

Rasby, R. and V. Rosemary, 2011. Endocrynology of The Estrous Cycle in: Estrous Cycle Module. University of Nebraska.


(6)

Senger, P. L., 1999. Reproduvtive Behaviour in: Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Conceptions, Inc. Washington State University. pp: 189 – 205.

Sitorus, A. J., dan A. Anneke, 2008. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional dan Usaha Ternak kerbau, Bogor. Hal: 38 – 43.

Siregar, A. R., 2002. Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi untuk Meningkatkan Produksi Kerbau. Makalah. Balai Pembibitan Ternak, Bogor.

Susilawati, E. dan Bustami, 2008. Pengembangan Ternak Kerbau di Provinsi Jambi. Makalah. Bahan Pengkajian Teknologi Ternak, Jambi. Hal: 11 – 17. Suthar, V. S and A. J. Dhani, 2010. Estrous Detection Methods in Buffalo. Journal

Veterinary World. Vol (3). pp: 94 – 96.

Tambing, S. N., M. R. Toelihere dan T. L. Yusuf., 2000. Optimasi Program Inseminasi pada Kerbau. Jurnal Wartazoa 10 (2): 41 – 50.

Tappa, B., 2007. Bioteknologi Reproduksi Untuk Pengembangan Kerbua Belang dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Hal: 40 – 48.

Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung. Widiyono, I., 2008. Komparasi Siklus Estrus pada Beberapa Macam Hewan dalam:

Hewan Produksi Ruminansia dan Non Ruminansia. Materi Kuliah. UGM, Yogyakarta.

Wikipedia, 2009. Four Phases of Estrous in: Estrous Cycle. Wikipedia, 2011. Taksonomi dan Klasifikasi Kerbau.