Tingkah Laku Makan Kerbau Murrah (Bubalus Bubalis) Di Balai Pembibitan Ternak Unggul (Bptu) Babi Dan Kerbau Siborong Borong

(1)

TINGKAH LAKU MAKAN KERBAU MURRAH (

Bubalus bubalis)

DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL (BPTU) BABI

DAN KERBAU SIBORONG BORONG

SKRIPSI

Oleh:

RAMDIAH FITRIANI LUBIS 080306012

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

TINGKAH LAKU MAKAN KERBAU MURRAH (

Bubalus bubalis)

DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL (BPTU) BABI

DAN KERBAU SIBORONG BORONG

SKRIPSI Oleh :

RAMDIAH FITRIANI LUBIS 080306012

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERDITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul : Tingkah laku makan kerbau murrah (Bulbalus bulbalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborong borong

Nama : Ramdiah Fitriani Lubis

Nim : 080306012

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Armyn Hakim Daulay, M.B.A.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ristika Handarini, MP Ketua Program Studi Peternakan


(4)

i ABSTRAK

RAMDIAH FITRIANI LUBIS : Tingkah Laku Makan Kerbau Murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau Siborong borong. Dibimbing oleh HAMDAN dan ARMYN HAKIM DAULAY.

Kerbau murrah (Bubalus bubalis) merupakan kerbau penghasil susu yang sangat cocok dikembangkan di Sumatera Utara, Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir populasi kerbau semakin menurun tiap tahunnya. Salah satunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam tingkah laku biologi kerbau sehingga tidak berproduksi seperti yang diharapkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Siborong borong. Penelitian ini dilakukan terhadap 41 ekor ternak kerbau murrah dengan 4 populasi yang berbeda ( populasi I perbandingan jantan betina dewasa 1:12; populasi II perbandingan jantan dan betina dewasa 1:4; populasi III perbandingan dara jantan dan betina 8:7 ; dan populasi IV anak kerbau dengan perbandingan jantan betina 3:5). Penelitian menggunakan metode One Zero dengan interval 15 menit dilakukan pada pukul 08.00-12.00. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas makan lebih tinggi dibandingkan aktivitas ruminasi. populasi dengan aktivitas makan tertinggi pada populasi dara, sedangkan aktivitas ruminasi tertinggi pada populasi dewasa 1:4.


(5)

ii

ABSTRACT

RAMDIAH FITRIANI LUBIS: Eat Behavior Murrah buffalo (Bubalus bubalis) in Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau (BPTU) Siborong Borong. Under supervision of HAMDAN and ARMYN HAKIM DAULAY. Murrah buffalo (Bubalus bubalis) is milk producer (maker) buffalo that very suitable in the development of North Sumatra, Indonesia. In recent years population of buffalo has more declined each year. One was caused by lack of knowledge of breeder in biologycal behavior of buffalo, so buffalo can’t produce as expected.

This research aims to determine feeding behavior of Murrah buffalo (Bubalus bubalis) in Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau (BPTU) Siborong Borong. This research was conducted to 41 Murrah buffalo in 4 different populations (population I comparison ratio of adult male and female 1:12; populations II comparison ratio of adults male and female 1:4; populations III comparison ratio of virgin male and female 8:7, and population IV calves with comparison of male and female young 3:5). This research is using One Zero methode with 15 minutes interval that performed at 08:00 to 12:00 AM. The results showed that feeding activity higher than rumination activity. Highest feeding activity showed by population III, but highest rumination activity showed by population II.


(6)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 April 1991 dari ayah H. Zulkifly Lubis dan Hj. Ibu Yarjuna Adhawyah Hasibuan. Penulis merupakan

putri ketiga dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2008 penulis lulus SMU Plus Yayasan Persaudaraan Haji Bogor (YPHB) dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Penulis memilih Program Studi Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET) dan Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP).

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. ADISA LESTARI, Medan Polonia pada bulan Juni - Juli 2011.


(7)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkah Laku Makan Kerbau Murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan ternak Unggul (BPTU) Babi dan KrbauSiborong borong ”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penuh kasih sayang kepada penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hamdan selaku ketua pembimbing dan Bapak Armyn Hakim Daulay selaku anggota pembimbing yang telah membimbing dan memberikan masukan berharga kepada penulis. Serta kepada seluruh staf di Balai Pembibitan ternak Unggul (BPTU) Siborong borong.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian, serta rekan-rekan seperjuangan yang tidak dapat di sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.


(8)

v DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau ... 4

Karakteristik Kerbau Murrah (Bubalus bubalis) ... 5

Tingkah Laku Umum ... 7

Lokomosi (pergerakan) ... 7

Tingkah Laku Sosial ... 8

Tingkah Laku Alelomimetik (Kecenderungan untuk Berkelompok) ... 9

Tingkah Laku Makan ... 8

Pola Tingkah Laku Makan ... 10

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat Penelitian ... 15

Bahan ... 15

Alat ... 15

Metode Penelitian ... 16

Parameter yang Diamati ... 17

Aktivitas Makan ... 17

Aktivitas Ruminasi ... 17

Pelaksanaan Penelitian ... 18

Persiapan Pedok (Padang Penggembalaan) ... 18

Pemberian Nomor Kerbau... 18

Pengamatan Kerbau ... 19


(9)

vi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi I ... 20

Populasi II ... 22

Populasi III ... 25

Populasi IV ... 27

Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(10)

vii

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kebutuhan Energi untuk Pemeliharaan Kerbau (Kcal ME/Wt k /d) ... 6

2. Frekuensi tingkah laku makan populasi I pedok I ... 20

3. Frekuensi tingkah laku makan populasi I pedok III ... 21

4. Frekuensi tingkah laku makan populasi II pedok I ... 23

5. Frekuensi tingkah laku makan populasi II pedok III ... 24

6. Frekuensi tingkah laku makan populasi III pedok II ... 26

7. Frekuensi tingkah laku makan populasi IV pedok I ... 28

8. Frekuensi tingkah laku makan populasi IV pedok III ... 29


(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Hal. 1. Kerbau Murrah (Bubalus bubalis) ... 4 2. Lokasi pedok ... 13


(12)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Diagram tingkah laku makan populasi I pedok I ... .36

2. Diagram tingkah laku makan populasi I pedok III ... .37

3. Diagram tingkah laku makan populasi II pedok I ... .38

4. Diagram tingkah laku makan populasi II pedok III ... .39

5. Diagram tingkah laku makan populasi III pedok II ... .40

6. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok I ... .41

7. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok III ... .42

8. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi I (%) ... .43

9. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi II (%) ... .44

10. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi III (%) ... .45


(13)

i ABSTRAK

RAMDIAH FITRIANI LUBIS : Tingkah Laku Makan Kerbau Murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau Siborong borong. Dibimbing oleh HAMDAN dan ARMYN HAKIM DAULAY.

Kerbau murrah (Bubalus bubalis) merupakan kerbau penghasil susu yang sangat cocok dikembangkan di Sumatera Utara, Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir populasi kerbau semakin menurun tiap tahunnya. Salah satunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam tingkah laku biologi kerbau sehingga tidak berproduksi seperti yang diharapkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Siborong borong. Penelitian ini dilakukan terhadap 41 ekor ternak kerbau murrah dengan 4 populasi yang berbeda ( populasi I perbandingan jantan betina dewasa 1:12; populasi II perbandingan jantan dan betina dewasa 1:4; populasi III perbandingan dara jantan dan betina 8:7 ; dan populasi IV anak kerbau dengan perbandingan jantan betina 3:5). Penelitian menggunakan metode One Zero dengan interval 15 menit dilakukan pada pukul 08.00-12.00. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas makan lebih tinggi dibandingkan aktivitas ruminasi. populasi dengan aktivitas makan tertinggi pada populasi dara, sedangkan aktivitas ruminasi tertinggi pada populasi dewasa 1:4.


(14)

ii

ABSTRACT

RAMDIAH FITRIANI LUBIS: Eat Behavior Murrah buffalo (Bubalus bubalis) in Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau (BPTU) Siborong Borong. Under supervision of HAMDAN and ARMYN HAKIM DAULAY. Murrah buffalo (Bubalus bubalis) is milk producer (maker) buffalo that very suitable in the development of North Sumatra, Indonesia. In recent years population of buffalo has more declined each year. One was caused by lack of knowledge of breeder in biologycal behavior of buffalo, so buffalo can’t produce as expected.

This research aims to determine feeding behavior of Murrah buffalo (Bubalus bubalis) in Balai Pembibitan Ternak Unggul Babi dan Kerbau (BPTU) Siborong Borong. This research was conducted to 41 Murrah buffalo in 4 different populations (population I comparison ratio of adult male and female 1:12; populations II comparison ratio of adults male and female 1:4; populations III comparison ratio of virgin male and female 8:7, and population IV calves with comparison of male and female young 3:5). This research is using One Zero methode with 15 minutes interval that performed at 08:00 to 12:00 AM. The results showed that feeding activity higher than rumination activity. Highest feeding activity showed by population III, but highest rumination activity showed by population II.


(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau mempunyai keistimewaan dibandingkan sapi yaitu dapat hidup di kawasan yang relatif sulit. Saat ini kerbau masih belum termanfaatkan secara maksimal walaupun sudah ada upaya di beberapa daerah di Indonesia untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Pemanfaatan utama ternak kerbau sampai saat ini adalah sebagai sumber protein hewani berupa daging dan sebagai hewan pekerja membajak sawah.

Populasi kerbau di dunia sekitar 158 juta ekor dan 97 % berada di Asia (FAO, 2000). Di Indonesia, populasi kerbau mengalami pasang surut, dan puncak populasi kerbau di Indonesia terjadi pada pada tahun 1925 mencapai 3,3 juta ekor dan selanjutnya terjadi penurunan yang terus menerus. Menurut Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, jumlah ternak kerbau di seluruh indonesia ialah 1.902.291 ekor dan khususnya Provinsi Sumatera Utara ialah

Kerbau dapat berkembang dalam rentang agroekositem yang luas, oleh sebab itu kerbau dapat ditemukan hampir di seluruh provinsi di Indonesia.

Terdapat dua bangsa kerbau yang dipelihara di Indonesia yaitu kerbau rawa dan sungai. Kerbau sungai hanya terdapat di Sumatera Utara dengan

populasi yang terbatas dan biasa dipelihara untuk produksi susu 115.183 ekor. Sedangkan kerbau sungai di Indonesia hanya berjumlah kurang dari

1000 ekor yang terdapat di Sumatera Utara merupakan jenis Murrah dan Nilli-Ravi (Triwulanningsih et al., 2004).


(16)

2

(Diwyanto dan Subandrio, 1995). Pengembangan kerbau di Sumatera Utara memiliki potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu regional Sumatera Utara. Haloho dan Yufdi (2006) menyatakan bahwa sekitar 40% pemenuhan kebutuhan daging di Sumatera Utara diperoleh dari daging kerbau.

Pertumbuhan populasi kerbau yang kurang menggembirakan dikarenakan beberapa sebab di antaranya adalah masyarakat yang memiliki kerbau hanya

sebagai keeper (bukan sebagai producer atau breeder), penyusutan luasan

padang penggembalaan dan daya dukungnya dengan signifikan (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006), penyakit, perhatian peternak yang kurang

baik dalam manajemen pemeliharaan, dan lain-lain. Pengetahuan peternak yang kurang baik dalam tingkah laku biologi kerbau juga sering menyebabkan kerbau tidak dapat berproduksi seperti yang diharapkan.

Pemahaman mengenai tingkah laku kerbau dapat memberikan informasi mengenai apa saja yang dibutuhkan oleh kerbau dalam hidupnya. Salah satu nya ialah tingkah laku makan, yang dapat menunjang pemenuhan nutrisi kerbau tersebut. Informasi ini penting bagi peternak dalam upaya mengkondisikan lingkungan dan merancang manajemen yang sesuai dengan kebutuhan kerbau. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborong borong.


(17)

3

Kegunaan Penelitiaan

Sebagai bahan informasi bagi peneliti, peternak dan masyarakat umum mengenai tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) untuk merancang manejemen pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan kerbau murrah (Bubalus bubalis).

Hipotesis Penelitian

Tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborong borong memiliki perbedaan frekuensi tingkah laku makan pada setiap populasi yang ada.


(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau menurut Bhattarchya (1993) termasuk dalam klas mamalia, ordo ungulate, famili bovidae, subfamili bovina, genus bubalus dan spesies bubalis. Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang di duga berevolusi dari Bubalus arnee, yakni kerbau liar di india. Hampir semua kerbau domestikasi saat ini berasal dari moyang Bubalus arnee. Kerbau yang ada di Indonesia secara umum dikeloompokkan menjadi dua jenis, yaitu kerbau lumpur atau kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Sebagian besar kerbau lokal adalah kerbau rawa (sekitar 98%) dan sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 2 %) adalah kerbau sungai. Kerbau sungai memiliki ciri senang berkubang dalam air jernih seperti sungai dan danau dan penyebaran terbanyak ada di Sumatera Utara.

Untuk dapat hidup nyaman kerbau memerlukan kondisi ideal dengan temperatur lingkungan berkisar 16–24ºC, dengan batas toleransi hingga 27,6ºC (Markvichitr, 2006). Walaupun pada kenyataannya kerbau ditemukan paling banyak di daerah tropis dan subtropis, akan tetapi kerbau tidak mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas. Kerbau akan menderita bila diletakkan dalam waktu lama yang langsung terkena sinar matahari. Apalagi bila dikerjakan secara berlebihan selama siang hari yang panas, yang menyebabkan temperatur tubuh, denyut nadi dan laju pernafasan akan meningkat lebih cepat dibandingkan sapi. Exposure langsung sinar matahari selama 2 jam menyebabkan temperatur

tubuh kerbau meningkat 1,3ºC, sementara sapi hanya meningkat 0,2–0,3ºC (Ligda, 1998). Kerapatan kelenjar keringat kerbau hanyalah sepersepuluh dari


(19)

5

yang dimiliki sapi, sehingga pelepasan panas dengan cara berkeringat tidak banyak membantu. Selain itu, kerbau mempunyai bulu yang sangat jarang, sehingga mengurangi perlindungannya terhadap sinar matahari langsung. Hal inilah yang menyebabkan kerbau kurang tahan terhadap sengatan sinar matahari atau udara yang dingin. Penurunan temperatur yang tiba-tiba dapat menimbulkan pneumonia dan kematian (Hardjosubroto, 1994; Ligda, 1998). Kerbau aktif terutama pada senja dan malam hari, menghabiskan istirahat siang hari dengan berkubang di dalam lumpur atau beristirahat di tanah yang dinaungi pepohonan Karena kebiasaannya ini kerbau menjadi tidak mudah terserang kutu atau ektoparasit lainnya (FAO, 2000).

Kebutuhan energi untuk pemeliharaan kerbau dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Energi untuk Pemeliharaan Kerbau (Kcal ME / Wt kg / d) Tipe Kerbau Kebutuhan Energi Pernyataan

Masa Kering 100-147 Kurar dan Mugdal (1981)

Dara 188 Siviah dan Mugdal (1978)

Kerbau muda (anak) 186 Arora et al., (1978) Kerbau dewasa (non produksi) 125 Kearl (1982) Sumber : Ibrahim et. al., (2001).

Karakteristik Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)


(20)

6

Kerbau Murrah adalah kerbau sungai yang sangat penting dan sangat efisien dalam menghasilkan susu. Kerbau Murrah dipelihara terutama untuk produksi susu di Thailand, Filipina dan Cina. Di Indonesia kerbau Murrah dipelihara oleh masyarakat keturunan India di daerah Sumatera Utara sebagai penghasil susu (Diwyanto dan Subandrio, 1995).

Ciri-ciri umum kerbau Murrah menurut Mason (1974) adalah berwarna hitam dengan muka bercak putih pada muka, mempunyai ujung ekor berwarna putih dan tanduk yang pendek. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa warna coklat atau bhurra merupakan variasi lain dari warna kerbau Murrah yang terdapat dalam jumlah kecil. Warna coklat ditemukan sebanyak 30% dalam populasi kerbau Murrah dan diduga bersifat resesif (Mason, 1974).

Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa bentuk tanduk adalah karakteristik yang paling spesifik pada kerbau Murrah. Tanduk tumbuh ke arah belakang dan ke atas lalu membentuk lingkaran memutar ke dalam dengan bentuk spiral. Kepala kerbau Murrah betina biasanya kecil dan lebih terbentuk daripada kerbau jantan. Dahi luas dan agak menonjol, muka memiliki tanda putih di dahi dan lubang hidung terpisah jauh. Telinga kerbau Murrah kecil, tipis dan tergantung. Mason (1974) menambahkan bahwa bagian kaki belakang dan pinggang kerbau Murrah lebih besar dibandingkan bagian depannya. Pinggul kerbau Murrah luas dan tertutup halus. Ambing berkembang baik pada kerbau betina. Kerbau Murrah memiliki puting yang panjang, terpisah simetris dan baik. Secara umum puting bagian belakang lebih panjang daripada puting bagian depan.

Mason (1974) menyatakan bahwa kerbau Murrah jantan dewasa memiliki berat badan 450-800 kg dan kerbau betina sekitar 350-700 kg. Kerbau Murrah


(21)

7

jantan dan betina memiliki tinggi pundak sekitar 142 cm dan 133 cm dengan panjang badan 151 cm (jantan) dan 149 cm (betina). Tinggi pundak kerbau Murrah jantan dan betina menurut Fahimuddin (1975) masing-masing adalah 142,2 cm dan 132,2 cm dengan panjang badan 149,8 cm dan 147,2 cm. Ukuran lingkar dada kerbau Murrah jantan dan betina menurut Fahimudin (1975)

berturut-turut adalah 220,7 cm dan 218,4 cm. Mason (1974) menyatakan

ukuran lingkar dada yang lebih besar yaitu 223 cm dan 220 cm. Puslitbang Peternakan (2006) melaporkan bahwa bobot badan kerbau Murrah

betina pada umur 2,5-4 tahun mencapai 407 kg sedangkan jantan mencapai 507 kg. Halgberg dan Lind (2003) menyatakan bahwa rata-rata produksi susu kerbau Murrah selama 294 hari laktasi adalah 1.764 kg per laktasi.

Tingkah Laku Umum Lokomosi (pergerakan)

Dari sisi kemampuan fisik kerbau memiliki kaki yang kokoh disertai teracak yang lebar. Sungguh pun jalannya lambat tetapi mampu menarik beban yang berat serta menempuh medan yang becek bahkan berlumpur. Kerbau mempunyai kekuatan dan daya tahan yang baik dalam bekerja. Sebagai hewan pekerja, kerbau lebih baik dibandingkan sapi dalam kondisi basah atau terendam air, seperti bekerja di sawah yang berlumpur. Kerbau dapat menarik bajak di tanah berlumpur dalam dimana traktor tidak dapat dipergunakan. Kerbau juga dapat dipekerjakan untuk menarik gerobak, membawa angkutan yang lebih berat dibandingkan sapi (FAO, 2000) Kelebihan-kelebihan yang dimiliki kerbau ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu kerbau lebih bermanfaat sebagai ternak kerja. Kerbau sangat cocok digunakan sebagai ternak penarik hasil


(22)

8

produksi pertanian dan kehutanan di lokasi-lokasi yang hampir mustahil dilalui oleh kendaraan lainnya.

Tingkah Laku Sosial

Kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan, sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982 dalam Handirwirawan, E., et, al.,, 2008). Kerbau liar hidup dalam kelompok-kelompok kecil dengan betina dan anak kerbau beranggota 10 - 20 individu meskipun teramati bisa sampai 100 individu, yang menempati area untuk mencari pakan, minum, berkubang dan istirahat. Ada hirarki yang terbentuk di dalam kelompok dimana pemimpin kelompok adalah kerbau betina paling tua dan sering dikawal oleh satu kerbau jantan dewasa. Kerbau jantan lain hidup menyendiri atau membentuk kelompok kerbau jantan muda berjumlah sekitar 10 ekor. Kerbau jantan muda berlatih bertarung dengan kerbau jantan muda yang lain untuk menegaskan dominansi tetapi menghindari perkelahian yang serius. Kerbau jantan akan bergabung dengan kelompok betina pada musim kawin (Massicot, 2004). Tingkah laku Alelomimetik (Kecendrungan untuk Berkelompok)

Alelomimetik merupakan kecenderungan untuk berkelompok dan terikat

pada tingkah laku yang sama dalam satuan waktu (Wodzicka-Tomaszewska et. al., 1993). Tingkah laku ini meliputi berjalan, berlari, makan dan tidur


(23)

9

Tingkah Laku Makan

Schoenian (2005).menyatakan kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazer) Kerbau kurang memilih dalam mencari makan dan oleh karena itu mengkonsumsi dalam jumlah besar pakan yang kurang bermutu, tidak seperti sapi. Hal ini menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembangbiak dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982 dalam Handirwirawan, E., et. al., 2008). Sering kali karena sifat kurang memilih pakan maka kerbau diberi pakan seadanya tanpa memperhatikan kualitas yang diberikan yang mengakibatkan laju pertumbuhan yang dicapai rendah. Justru dengan sifat tersebut maka kerbau dapat diberikan pakan yang mempunyai palatabilitas rendah bagi ternak lain namun memiliki nilai nutrisi yang baik.

Kerbau memiliki kemampuan mencerna pakan bermutu rendah lebih efisien daripada sapi, dengan kemampuan mencerna 23% unit lebih tinggi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan lambannya gerakan makanan dalam saluran pencernaan kerbau sehingga makanan tersebut dapat diolah lebih lama dan penyerapan gizinya akan lebih banyak (Devendra, 1987; Wanapat et al., 1994).

Superioritas kerbau di atas sapi terutama menyolok dalam situasi dimana penyediaan pakan dalam jumlah dan kualitas rendah. Superioritas pencernaan kerbau karena perbedaan dalam proporsi dan jumlah mikroba rumen yang mempengaruhi bentuk proses fermentasi dan produk akhir dari fermentasi. Jumlah bakteri dan fungi di dalam rumen kerbau lebih tinggi sedangkan jumlah protozoa lebih rendah dibandingkan sapi. Hal tersebut menyebabkan kemampuan untuk memanfaatkan pakan lebih tinggi dan oleh karena itu kecernaan pakan menjadi


(24)

10

tinggi (Wanapat, 2001). Oleh karena itu jarang sekali ditemukan kerbau yang kurus walaupun dengan ketersediaan pakan yang seadanya.

Yurleni (2000) menyatakan hanya menemukan 2,5 - 12,5% kerbau yang diamati dalam kondisi kurus. Pada kondisi pakan yang jelek setidaknya kerbau dapat tumbuh menyamai sapi, tetapi pada kondisi pakan yang sangat baik misalnya pada penggemukan, kecepatan pertumbuhannya tidak dapat melampaui pertumbuhan sapi (Hardjosubroto, 1994).

Pola Tingkah Laku Makan

Hewan-hewan herbivore (pemakan rumput) seperti domba, sapi kerbau disebut sebagai hewan memamah biak (ruminansia). Sistem pencernaan makanan pada hewan ini lebih panjang dan kompleks. Makanan hewan ini banyak mengandung selulosa yang sulit dicerna oleh hewan pada umumnya sehingga sistem pencernaannya berbeda dengan sistem pencernaan hewan lain. Perbedaan sistem pencernaan makanan pada hewan ruminansia, tempat pada struktur gizi, yaitu terdapat geraham belakang (molar yang besar), berfungsi untuk mengunyah rerumputaan yang sulit dicerna. Disamping itu terdapat pada hewan ruminansia terdapat modifikasi lambung yang dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu rumen

(perut besar), retikulum (perut jala), omasum (perut kitab) dan abomasum (perut masaro). Dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan

alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, abomasum 7-8% (Prawirokusumo, 1994)

Sistem pencernaan hewan ruminansia :

1. Gigi seri (Insisivus) memiliki bentuk untuk menjepit makanan berupa tetumbuhan seperli rumput.


(25)

11

2. Geraham belakang (Molare) memiliki bentuk datar dan lobar. 3. Rahang dapat bergerak menyamping untuk menggiling makanan.

4. Struktur lambung memiliki empat ruangan, yaitu: rumen, retikulum, omasum dan abomasum

(Akoso, 1996).

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang berupa getah-getah pencernaan. Mikroorganisme hidup dalam pencernaan ruminasi. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan secara enzimatik yang enzimnya dihasilkan oleh sel-sel mikroorganisme (Tillman, et al., 1981).

Aktivitas makan terdiri atas:

1) aktivitas mencium hijauan yaitu awal aktivitas mencium hijauan hingga kerbau mulai melakukan aktivitas lainnya,

2) aktivitas merenggut makanan yaitu awal perenggutan hijauan hingga diangkat untuk dikunyah,

3) aktivitas mengunyah makanan yaitu aktivitas yang dimulai dari hasil perenggutan hijauan yang telah dikumpulkan di dalam mulut hingga aktivitas menelan, dan

4) aktivitas menelan makanan yang dimulai dari menelan hasil kunyahan hingga aktivitas lainnya.


(26)

12

Aktivitas ruminasi terdiri dari :

1) aktivitas mengeluarkan bolus yaitu aktivitas yang dimulai dari dikeluarkan bolus ke mulut hingga kerbau melakukan aktiivitas mengunyah bolus,

2) aktivitas mengunyah bolus yaitu aktivitas yang dimulai dengan mengunyah bolus yang telah dikeluarkan dari rumen ke mulut hingga aktivitas menelan beberapa bolus, dan

3) aktivitas menelan bolus yaitu aktivitas yang dimulai dari bolus yang langsung ditelan setelah dikeluarkan dari rumen ke mulut atau menelen bolus yang melalui proses pengunyahan hingga aktivitas mengeluarkan bolus kembali. (Setianah, et al., 2004).

Pengunyahan selama makan dan ruminasi dapat mengurangi ukuran partikel dan mengubah bentuk pakan. Tingkat pengurangan ukuran partikel pakan

dicerna atau bahan yang diruminasi akan ditentukan oleh waktu yang

diperlukan untuk makan, ruminasi dan jumlah kunyahan per satuan waktu dalam setiap kegiatan dan oleh tingkat keefektifan pengunyahan (Wodzicka-Tomaszeweka et, al., 1993).

Proses pengunyahan pada saat makan dan ruminasi merupakan aktivitas lengkap di dalam pengurangan partikel. Partikel yang lebih kecil mungkin mempunyai waktu retensi yang relatif lebih pendek di dalam rumen, sehingga

tingkat kecernaan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecernaan ingesta, tetapi juga oleh waktu tersimpan di dalam rumen

(Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991).

Kerbau merumput lebih banyak dan lebih baik daripada sapi. Karena itu, kerbau mengonsumsi lebih banyak pakan dan gizi per kg berat badan daripada


(27)

13

sapi. Kerbau lebih suka merumput dan hanya meramban bila pakan sangat langka. Biasanya, kerbau merumput pada siang hari. Kalau temperatur lingkungan sangat tinggi, merumput dilakukan di pagi hari dan sore hari dan kadang-kadang pada malam hari. Anak kerbau mulai belajar menggigit rumput pada umur 3 sampai 4 minggu walaupun mereka belum benar-benar merumput. Setelah anak kerbau berumur dua bulan, pakan hijauan mulai jadi lebih penting daripada sebelumnya

dan sebagian besar asupan zat gizi berasal dari pakan hijauan ketimbang susu induknya

Ruminansia berasal dari kata lain “ruminate” yang berarti “mengunyah berulang”. Proses ini disebut proses ruminasi yaitu suatu proses pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali (regurgitasi), dikunyah kembali (remastikasi), lalu penelanan kembali (redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan kesaluran berikutnya. Proses ruminasi berjalan kira-kira

15 kali sehari, dimana setiap ruminasi berlangsung 1 menit – 2 jam (Prawirokusumo, 1994).

Waktu yang dihabiskan untuk ruminasi tergantung pada asupan bahan dinding sel dalam pakan. Waktu yang dihabiskan untuk ruminasi umumnya dibagi menjadi berbagai periode diselingi dengan interval makan, minum dan istirahat Ibrahim et. al., (2001). Ruminasi menghabiskan 60 - 70% dari waktu ternak kerbau makan selama siang hari, mereka menghabiskan lebih banyak waktu ruminasi pada malam hari dibandingkan siang hari. Kerbau telah ditemukan untuk

menghabiskan lebih sedikit waktu ruminasi daripada ternak lain (Currie, 1988 dalam Ibrahim, et. al.,2001). Diamati di lingkungan tropis, dengan


(28)

14

suhu berkisar 20-31 C dan kelembaban relatif berkisar antara 40 - 98%, kerbau murrah menghabiskan 8 jam / hari merumput dan hanya 6 jam ruminasi / hari. Sebagian besar merumput dan berkubang itu berlangsung pada siang hari. (Kashiwamura dan Jayasuriya, 1977 dalam Ibrahim, et., al., 2001).


(29)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi I

Populasi I terdiri dari perbandingan jantan dan betina dewasa 1:12. Pada penelitian populasi menempati 2 padang penggembalaan (pedok) yakni padang penggembalaan I (2 ha) dan padang penggembalaan III (1 ha). Pengamatan yang dilakukan ialah pengamatan aktivitas makan dan aktivitas ruminasi. Aktivitas makan terdiri dari mencium, merenggut, mengunyah, dan menelan. Aktivitas ruminasi terdiri dari mengeluarkan bolus, mengunyah bolus dan menelannya kembali.

Tabel 2. Frekuensi tingkah laku makan populasi I pedok I

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 77,20 85,71 76,49

Mencium 6,66 9,82 6,40

Menrenggut 41,83 43,75 41,67

Mengunyah 21,63 25,00 21,06

Menelan 7,35 7,14 7,37

Aktivitas Ruminasi 19,92 12,50 20,54

Mengeluarkan bolus 5,36 2,68 5,58

Mengunyah bolus 11,33 8,04 11,61

Menelan bolus 3,23 1,79 3,35

Aktivitas Lain 2,88 1,79 2,98

Tabel 2 menunjukkan tingkah laku makan pada populasi I (perbandingan jantan dan betina dewasa 1:12) pada padang penggembalaan I

(2 ha) . Tingkah laku makan tertinggi terdapat pada aktivitas makan (77,20 %) dengan aktivitas tertinggi pada merenggut sebanyak 41,83%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schoenian (2005) yang menyatakan kerbau termasuk hewan


(30)

21

yang suka merumput (grazer) dan Banerjee (1982) kerbau kurang memilih dalam mencari makan dan oleh karena itu mengkonsumsi dalam jumlah besar. Aktivitas makan tertinggi pada jantan (85,71 %) sedangkan betina (76,49 %).

Frekuensi ruminasi dilakukan sebanyak 19,92 %, dengan aktivitas tertinggi ialah mengunyah bolus sebanyak 11,33 % dan aktivitas terendah ialah menelan bolus sebanyak 3,23 %. Pada jantan 12,50 % dan betina 20,54 %, kerbau murrah betina dewasa lebih sering melakukan ruminasi dibandingkan kerbau murrah jantan dewasa.

Dalam pengamatan tingkah laku makan kerbau murrah tidak hanya melakukan aktifitas makan dan ruminasi, tetapi terdapat aktifitas lain yang terdiri dari istirahat, minum, menggesekkan badan pada pembatas padang penggembalaan, saling menanduk antar kerbau dan melakukan kegiatan reproduksi. Kerbau murrah betina (1,79%) lebih sering melakukan aktivitas lain dibandingkan kerbau murrah jantan (2,98%).

Frekuensi tingkah laku makan populasi I pada padang penggembalaan III dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi tingkah laku makan populasi I pedok III

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 77,13 86,61 69,79

Mencium 7,01 8,04 6,47

Menrenggut 42,38 44,64 39,06

Mengunyah 21,98 28,57 19,12

Menelan 5,77 5,36 5,13

Aktivitas Ruminasi 20,05 10,71 19,35

Mengeluarkan bolus 6,32 2,68 5,95

Mengunyah bolus 10,44 6,25 10,04

Menelan bolus 3,30 1,79 3,35


(31)

22

Pada Tabel 3 tingkah laku makan populasi I pada padang penggembalaan III (1 ha) dengan aktivitas tertinggi terdapat pada aktivitas makan yakni merenggut (42,38 %) dibandingkan dengan aktivitas makan yang lain sedangkan pada aktivitas ruminasi tertinggi yakni aktivitas mengunyah bolus (10,44 %). Aktivitas ruminasi diselingi dengan aktivitas lain yang dilakukan sebanyak 2,82 % . Ibrahim, et., al., (2001) mengatakan waktu yang dihabiskan untuk ruminasi umumnya dibagi menjadi berbagai periode diselingi dengan interval makan, minum dan istirahat.

Populasi II

Populasi ini terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan perbandingan 1:4. Populasi II menempati padang penggembalaan I (2 ha) dan III (1 ha). Populasi tidak dapat menempati semua padang penggembalaan (padang penggembalaan II) dikarenakan sesama populasi kerbau murrah dewasa tidak dapat ditempatkan bersebelahan. Apabila diletakkan bersebelahan jantan dewasa akan bertengkar karena ingin melindungi wilayah kekuasaannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Banerjee (1982) dalam Handirwirawan, E., et. al (2008) yang menyatakan kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan, sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian.


(32)

23

Tabel 4. Frekuensi tingkah laku makan populasi II pedok I

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 71,43 70,54 71,65

Mencium 5,18 6,25 4,91

Menrenggut 38,21 31,25 39,96

Mengunyah 23,93 28,57 22,77

Menelan 4,11 4,46 4,02

Aktivitas Ruminasi 26,25 26,79 26,12

Mengeluarkan bolus 8,75 8,93 8,71

Mengunyah bolus 13,04 14,29 12,72

Menelan bolus 4,46 3,57 4,69

Aktivitas Lain 2,32 2,68 2,23

Tabel 3 menunjukkan tingkah laku makan tertinggi pada padang penggembalaan I (2 ha ) terdapat pada aktivitas makan (71,43 %) dengan aktivitas tertinggi pada merenggut (38,21 %). Sedangkan aktivitas ruminasi (26,25 %) tertinggi pada aktivitas mengunyah bolus (13,04 %), diikuti dengan aktivitas mengeluarkan bolus (8,75%) dan menelan bolus (4,46%)

Menurut Wodzicka-Tomaszeweka et, al., (1993), pengunyahan selama makan dan ruminasi dapat mengurangi ukuran partikel dan mengubah bentuk pakan. Tingkat pengurangan ukuran partikel pakan dicerna atau bahan yang diruminasi akan ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk makan, ruminasi dan jumlah kunyahan per satuan waktu dalam setiap kegiatan dan oleh tingkat keefektifan pengunyahan.

Frekuensi tingkah laku makan pada padang penggembalaan III dapat dilihat pada Tabel 5.


(33)

24

Tabel 5. Frekuensi tingkah laku makan populasi II pedok III

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 75,18 75,89 75,00

Mencium 6,43 5,36 6,70

Menrenggut 42,86 41,07 43,30

Mengunyah 18,57 22,32 17,63

Menelan 7,32 7,14 7,37

Aktivitas Ruminasi 23,39 24,11 23,21

Mengeluarkan bolus 6,25 8,04 5,80

Mengunyah bolus 13,39 11,61 13,84

Menelan bolus 3,75 4,46 3,57

Aktivitas Lain 1,43 0,00 1,79

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa tingkah laku makan tertinggi terdapat pada aktivitas makan (75,18 %) pada pukul 08.00-09.00 pada jantan dan betina setiap padang penggembalaan (Lampiran 9), dimana aktivitas tersebut terus menurun pada waktu berikutnya. Hal ini dikarenakan pada saat di lepas ke padang penggembalaan kerbau murrah langsung melakukan aktivitas makan yakni merenggut sebanyak-banyaknya. Persentase aktivitas tertinggi terjadi pada aktivitas merenggut (42,86 %) dan terendah mencium (6,43%). Hal ini menunjukkan bahwa hasil renngutan dikumpulkan di mulut dalam jumlah banyak, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas mengunyah (28,57%) yang tinggi jika dibandingkan aktivitas menelan (7,32 %). Hal ini diduga karena banyaknya kerbau dalam melakukan aktivitas merenngut, sehingga frekuensi pengunyahan lebih banyak.

Pada kerbau murrah jantan aktivitas mencium lebih rendah (5,36%) di bandingkan kerbau murrah betina (6,70%), sehingga dapat disimpulkan bahwa kerbau murrah jantan kurang memilih pakan dibandingkan betina. Diikuti dengan


(34)

25

aktivitas merenggut yang lebih rendah, tetapi pada aktivitas mengunyah kerbau murrah jantan lebih banyak melakukan pengunyahan dibandingkan kerbau murrah betina. Disimpulkan kerbau murrah betina dewasa lebih aktif melakukan aktivitas makan dibandingkan kerbau murrah jantan dewasa.

Aktivitas ruminasi tertinggi pada pukul 11.00-12.00 pada jantan dan betina (Lampiran 9) yakni pada aktivitas mengunyah bolus. Aktivitas ruminasi relatif terjadi pada siang hari pada saat ternak akan kembali kekandang. Di duga ternak melakukan aktivitas ruminasi untuk mencerna makanan sebelum kembali ke kandang, karena pada saat kembali ke kandang sudah disediakan rumput potong. Aktivitas ruminasi terdiri dari ternak mengelurkan bolus, mengunyah bolus hingga menelannya kembali. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prawirokusumo (1994) yang menyatakan ruminansia berasal dari kata lain “ruminate” yang berarti “mengunyah berulang”. Proses ini disebut proses ruminasi yaitu suatu proses pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali (regurgitasi), dikunyah kembali (remastikasi), lalu penelanan kembali (redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan kesaluran berikutnya. Proses ruminasi berjalan kira-kira 15 kali sehari, dimana setiap ruminasi berlangsung 1 menit – 2 jam.

Populasi III

Populasi III terdiri dari perbandingan jantan dan betina dara 8:7. Pada penelitian populasi menempati 1 pedok yakni padang penggembalaan II (5 ha), dikarenakan sebagai pemisah antara populasi I dan II. Frekuensi tingkah laku makan populasi III padang penggembalaan II dapat dilihat pada Tabel 6. Dimana


(35)

26

aktivitas tertinggi terdapat pada aktivitas makan (93,33 %), kemudian diikuti aktivitas ruminasi yang rendah (5,36 %) dan aktivitas lain (1,31 %).

Tabel 6. Frekuensi tingkah laku makan populasi III pedok II

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 93,33 92,97 93,75

Mencium 10,77 10,49 11,10

Menrenggut 57,38 54,46 60,71

Mengunyah 20,06 22,54 17,22

Menelan 5,12 5,47 4,72

Aktivitas Ruminasi 5,36 5,36 5,36

Mengeluarkan bolus 0,89 1,12 0,64

Mengunyah bolus 3,87 3,68 4,08

Menelan bolus 0,60 0,56 0,64

Aktivitas Lain 1,31 1,67 0,89

Pada aktivitas makan tertinggi terdapat pada aktivitas merenggut (57,38%) dan aktivitas terendah yaitu menelan (5,12 %). Jika aktivitas makan telah selesai, maka dilanjutkan dengan aktivitas ruminasi. Aktivitas ruminasi diawali dengan mengeluarkan bolus hasil sementara yang disimpan dalam rumen untuk dilakjutkan ke aktivitas ruminasi. Bolus yang dikeluarkan dari rumen ke mulut untuk dikunyak kembali. Aktivitas ruminasi tertinggi terdapat pad aktivitas mengunyah bolus (3,87 %) dan terendah pada menelan bolus (0,60 %).

Pengamatan tingkah laku makan pada populasi III dilakukan pada pedok terluas yaitu 5 ha. Luasan padang penggembalaan membuat kerbau lebih banyak melakukan aktivitas merenggut pada kerbau betina (60,71%) sedangkan kerbau

jantan (54,46%), yakni merenggut tertinggi pada pukul 08.00-09.00 (Lampiran 10). Tetapi pada aktivitas mengunyah kerbau jantan lebih tinggi di


(36)

27

energi tertinggi dibandingkan dengan tipe kerbau lainnya (dewasa dan anakan), sehingga kerbau dara memiliki pola tingkah laku makan tertinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibrahim et al., (2001) yang menyatakan kerbau dara memiliki kebutuhan energi 188 (Kcal ME / Wt kg / d) dan tertinggi diantara tipe kerbau lainnya.

Ruminasi tertinggi pada populasi III ialah 5,36 % pada kerbau jantan dan kerbau betina dara pada pukul 11.00-12.00 (Lampiran 10). Pada populasi ini kerbau dara lebih sering melakukan aktivitas makan dibandingkan aktivitas ruminasi. Aktivitas ruminasi terjadi pada pukul 11.00-12.00 dikarenakan pada waktu tersebut kerbau sudah mendekat pada pintu kandang. Kerbau mengetahui waktu kembali ke kandang secara naluriah.

Populasi IV

Populasi IV ialah populasi kerbau murrah anakan, yang terdiri dati 3 jantan dan 5 betina. Selama pengamatan suhu berkisar antara 16 - 25 ◦

Hasil pengamatan populasi IV pada padang penggembalaan I (2 ha) dapat dilihat pada Tabel 7.

C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Markvichitr (2006) untuk dapat hidup nyaman kerbau memerlukan kondisi ideal dengan temperatur lingkungan berkisar 16–24ºC, dengan batas toleransi hingga 27,6ºC Walaupun pada kenyataannya kerbau ditemukan paling banyak di daerah tropis dan subtropis, akan tetapi kerbau tidak mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas. Ligda (1998) kerbau akan menderita bila diletakkan dalam waktu lama yang langsung terkena sinar matahari


(37)

28

Tabel 7. Frekuensi tingkah laku makan populasi IV pedok I

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 83,26 84,82 82,32

Mencium 10,38 10,12 10,54

Menrenggut 41,96 43,15 41,25

Mengunyah 23,21 22,92 23,39

Menelan 7,70 8,63 7,14

Aktivitas Ruminasi 12,50 12,50 12,50

Mengeluarkan bolus 2,68 2,08 3,04

Mengunyah bolus 7,81 8,04 7,68

Menelan bolus 2,01 2,38 1,79

Aktivitas Lain 4,24 2,68 8,35

Tabel 7 menunjukkan bahwa aktivitas mencium sebanyak 10,38 % (10,54 % pada betina dan 10,12 % pada jantan). Rangkaian selanjutnya adalah merenggut (41,96 %), frekuensi renggutan tertinggi pada jantan (43,15 %), sedangkan betina (41,25 % ) dan merupakan aktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lainnya.

Menurut banyak dan lebih baik daripada sapi. Karena itu, kerbau mengonsumsi lebih banyak pakan dan gizi per kg berat badan daripada sapi. Kerbau lebih suka merumput dan hanya meramban bila pakan sangat langka.

Setelah merenggut makanan ke dalam mulutnya, anak kerbau akan memulai aktivitas berikutnya yaitu mengunyah. Fungsi pengunyahan selama makan yaitu merusak bagian permukaan pakan sehingga ukuran partikel menjadi lebih kecil yang memudahkan pakan untuk dicerna. Frekuensi pengunyahan merupakan frekuensi kedua paling banyak dilakukan setelah ferkuensi merenggut.


(38)

29

Pada jantan 22,92% dan pada betina 23,39 % dan kemudian pakan tersebut ditelan.

Aktivitas makan telah selesai, dilanjutkan dengan aktivitas ruminasi,diawali dengan mengeluarkan bolus, mengunyah dan menelannya. Aktivitas ruminasi lebih tinggi pada jantan dibandingkan betina pada pagi hari, dan sebaliknya saat menjelang siang hari (Lampiran 11) dengan aktivitas tertinggi yakni mengunyah bolus (pada jantan 8,04 % dan pada betina 7,68%).

Menurut Wodzicka-Tomaszewska et, al., (1991) proses pengunyahan pada saat makan dan ruminasi merupakan aktivitas lengkap di dalam pengurangan partikel. Partikel yang lebih kecil mungkin mempunyai waktu retensi yang relatif lebih pendek di dalam rumen, sehingga tingkat kecernaan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecernaan ingesta, tetapi juga oleh waktu tersimpan di dalam rumen.

Frekuensi tingkah laku makan pada padang penggembalaan III dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Frekuensi tingkah laku makan populasi IV pedok III

Tingkah Laku Makan Frekuensi (%)

Populasi Jantan Betina

Aktivitas Makan 83,26 83,63 83,04

Mencium 9,26 9,226 9,29

Menrenggut 46,21 47,32 45,54

Mengunyah 21,09 20,54 21,45

Menelan 1,19 6,55 6,79

Aktivitas Ruminasi 6,79 12,20 13,04

Mengeluarkan bolus 1,55 2,976 2,86

Mengunyah bolus 4,11 7,44 7,86

Menelan bolus 1,13 1,79 2,32


(39)

30

Pada Tabel 8 aktivitas tertinggi terdapat pada aktivitas makan (83,26%), diikuti aktivitas lain (9,96%) dan aktivitas ruminasi menjadi aktivitas terendah (6,79%). Aktivitas lain pada populasi IV (anak) tertinggi jika dibandingkan dengan populasi lain, itu merupakan persentase yang cukup besar. Hal ini disebabkan selain melakukan aktivitas makan dan ruminasi sebagian anakan masih menyusu kepada induknya, dan anak kerbau belum terbiasa jauh dari induk dan mengikuti kemana induk pergi, selain itu anak kerbau sering terganggu dengan aktivitas kerbau dewasa lain. Contohnya anak kerbau yang merumput dekat dengan kerbau dewasa selain induk nya akan ditanduk agar menjauh dari kerbau dewasa tersebut. Sehingga aktivitas lain di peroleh hasil yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan menyatakan anak kerbau mulai belajar menggigit rumput pada umur 3 sampai 4 minggu walaupun mereka belum benar-benar merumput. Setelah anak kerbau berumur dua bulan, pakan hijauan mulai jadi lebih penting daripada sebelumnya dan sebagian besar asupan zat gizi berasal dari pakan hijauan ketimbang susu induknya.


(40)

31

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Parameter Populasi I Populasi II Populasi

III Populasi IV Pd I Pd III Pd I Pd III Pd III Pd I Pd III Aktivitas makan 77,20 77,13 71,43 75,18 93,33 83,26 83,26 Mencium 6,66 7,01 5,18 6,43 10,77 10,38 9,26 Merenggut 42,83 42,38 38,21 42,86 57,38 41,96 46,21 Mengunyah 21,36 21,98 23,93 18,57 20,06 23,21 21,09

Menelan 7,35 5,77 4,11 7,32 5,12 7,70 1,19

Aktivitas

ruminasi 19,92 20,05 26,25 23,39 5,36 12,50 6,79 Mengeluarkan

bolus 5,36 6,32 8,75 6,25 0,89 2,68 1,55

Mengunyah bolus 11,33 10,44 13,04 13,39 3,87 7,81 4,11 Menelan bolus 3,23 3,30 4,46 3,75 0,60 2,01 1,13 Aktivitas lain 2,88 2,82 2,32 1,43 1,31 4,24 9,96 Keterangan Pd : Padang Penggembalaan

Hasil rekapitulasi data diperoleh aktivitas makan tertinggi terdapat pada populasi III padang penggembalaan II (5 ha) yaitu 93,33% dan aktivitas makan terendah terdapat pada populasi II padang penggembalaan I (2 ha). Aktivitas ruminasi tertinggi terdapat pada populasi II padang penggembalaan I (2 ha) yaitu 23,39% dan terendah pada populasi III padang penggembalaan III (5 ha). Hal ini berkaitan dengan kebutuhan energi pada setiap fase pertumbuhan ternak, sama hal nya dengan pernyataan Ibrahim et, al., (2001) kebutuhan energi menurut tipe kerbau tertinggi hingga terendah yakni dara, anak, kerbau masa kering dan kerbau non produksi.

Pada hasil rekapitulasi aktivitas tertinggi pada setiap pedok ialah aktivitas makan, seperti pernyataan Kashiwamura dan Jayasuriya (1977) dalam

Ibrahim, et., al., (2001) kerbau murrah menghabiskan 8 jam / hari merumput dan hanya 6 jam ruminasi / hari. Sebagian besar merumput dan berkubang itu berlangsung pada siang hari.


(41)

32

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tingkah laku makan kerbau murrah (Bubalus bubalis) di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborong borong memiliki aktivitas tertinggi pada aktivitas makan,di ikuti aktivitas ruminasi dan aktivitas lain. Aktivitas makan tertinggi terdapat pada populasi III ( kerbau murrah dara), aktivitas ruminasi tertinggi terdapat pada populasi II (kerbau murrah dewasa 1:4) dan aktivitas lain tertinggi pada populasi IV (anak).

Saran

Disarankan adanya penelitian lanjutan yang lebih spesifik, misalnya tingkah laku makan kerbau murrah selama 24 jam.


(42)

33

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Benerjee, G. C. 1982. A Textbook of Animal Husbandry. Fifth Edition. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi. Dalam Handirwirawan, E., Suryana dan C. Talib. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau Untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. 2008.

Bhattarchya. 1993. Dalam : Williamson, W. G. A. And W. J. A. Payne. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Currie, 1988 dalam Ibrahim, et. al.,2001. Water Buffalo in Asia. National Science Foundation. Sri Langka. Dalam Handirwirawan, E., Suryana dan C. Talib. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau Untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. 2008.

Devendra, C. 1987. The Nutrition of Herbivore. Hacker, J. B. Dan J. H. Ternouth. (ed). Academy Press. Sidney.

Diwyanto dan Handiwirawan, 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau : Aspek Penjaringan dan Distribusi. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Pembibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 3-12.

Diwyanto, K dan Subandriyo. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV (4) : 92 - 101.

Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Oxford and IBH Publishing Co, New Delhi.

FAO. 2000. Water Buffalo : An Asset Undervalued. FAO Regional Office for Asia and The Pasific. Bangkok. Thailand.

Hadjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. P. T. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Halgberg , M. S dan O. Lind. 2003. Buffalo MilkProduction - Chapter 5 : Milk

Production of The Buffalo. http://www.milkproduction.com. [18 januari 2012].


(43)

34

Haloho, L dan P. Yufdi. 2006. Kondisi Ternak Kerbau di Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan, Sumatera Utara. Prosiding Lokakarya Nasional Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Pembibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 170-177. Ibrahim, M. N. M., Pathirana, K.K., and Siriwardene, J. A. De S., 2001. Water

Buffalo in Asia. National Science Foundation. Sri Langka.

Kashiwamura dan Jayasuriya, 1977. Dalam Ibrahim, et., al., 2001. Water Buffalo in Asia. National Science Foundation. Sri Langka.

Ligda, D. J. 1998. Water Buffalo.

djligda/wbfacts.htm. [ 17 Januari 2012 ]

Markvichitr, K. 2006. Role of Reactive Oxygen Species in the Buffalo Sperm Fertility Assessment. Procceding International Seminar The Artificial Reproductive Bioterchnologies for Buffaloes. ICARD and FFTC-ASPAC. Bogor, Indonesia, August 29-31 2006. P. 68- 78.

Massicot, P. 2004. Wild Asian (water) buffalo. Dalam Handirwirawan, E., Suryana dan C. Talib. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau Untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. 2008.

Mason, I. L. 1974. Species, Types and Breeds. Dalam : Cockrill, W. R. (Editor). 1974. The husbandry and health of the domestic buffalo. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.

Prawirokusumo, S., 1994. Ilmu Gizi Komparatif. UGM-Press, Yogyakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2006. Studi Karakteriistik Kerbau Sungai, Kerbau Lumpur dan Persilangannya di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor.

Setianah, R., Jayadi, S., dan Herman, R., 2004. Tingkah Laku Makan Kambing Lokal Persilangan yang Digembalakan di Lahan Gambut: Studi Kasus di Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Schoenian, S. 2005. Ruminant Digestive System.


(44)

35

Tillman, A, D, H, Hartadi, S, Reksohadiprojo,S, Prawirokusumo, dan S, Lepdosoekojo., 1981. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wanapat, M. 2001. Swamp buffalo rumen ecology and its manipulation. Proceeding Buffalo Workshop. Desember [15 januari 2012].

Wanapat,M., K. Sommart, C. Wachirapakorn, S. Uriyapongson and C. Wattanachant. 1994. Recent advances in swamp buffalo nutrion and feeding. M. Wanapat and K. Sommart (Eds.). Proc. The 1st Asian Buffalo Association Congress. Khon Kaen, January 17-21, 1994. Khon Kaen University. Khon Kaen. Thailand.

Wodzicka-Tomaszewska, M., I. K. Sutama, I. G, Putu dan T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Wodzicka-Tomaszewska, M., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardier dan T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret Univercity Press. Surakarta.

Yurleni. 2000. Produktivitas dan Peluang Pengembangan ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(45)

36 LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram tingkah laku makan populasi I pedok I Aktivitas

Makan 77,20 Aktivitas

Ruminasi 19,92

Aktivitas Lain 2,88

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 6,66

Merenggut , 41,83 Mengunya

h, 21,36 Menelan,

7,35

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 5,36 Mengunya

h bolus, 11,33 Menelan bolus, 3,23


(46)

37

Lampiran 2. Diagram tingkah laku makan populasi I pedok III Aktivitas

Makan, 77,13 Aktivitas

Ruminasi, 20,05

Aktivitas Lain, 2,82

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 7,01

Merenggut, 42,38 Mengunya

h, 21,98 Menelan,

5,77

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 6,32 Mengunya

h bolus, 10,44 Menelan bolus, 3,30


(47)

38

Lampiran 3. Diagram tingkah laku makan populasi II pedok I Aktivitas

makan, 71,43 Aktivitas ruminasi,

26,25

Aktivitas lain, 2,32

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 5,18

Merenggut , 38,21 Mengunya

h, 23,93 Menelan,

4,11

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 8,7

5 Mengunya

h bolus, 13,04 Menelan bolus, 4,4

6


(48)

39

Lampiran 4. Diagram tingkah laku makan populasi II pedok III Aktivitas

makan, 75,18 Aktivitas ruminasi,

23,39

Aktivitas lain, 1,43

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 6,43

Merenggut , 42,86 Mengunya

h, 18,57 Menelan,

7,32

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 6,25

Mengunya h bolus,

13,39 Menelan bolus, 3,75


(49)

40

Lampiran 5. Diagram tingkah laku makan populasi III pedok II Aktivitas

Makan, 93,3 3 Aktivitas

Ruminasi, 5,36

Aktivitas Lain, 1,31

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 10,77

Merenggut , 57,38 Mengunya

h, 20,06 Menelan,

5,12

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 0,8

9

Mengunya h bolus, 3,8

7 Menelan bolus, 0,6

0


(50)

41

Lampiran 6. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok I Aktivitas

Makan, 83,26 Aktivitas

Ruminasi, 12,50

Aktivitas Lain, 4,24

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 10,38

Merenggut , 41,96 Mengunyah

; 23,21 Menelan,

7,70

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 2,68

Mengunyah bolus; 7,81 Menelan bolus, 2,01


(51)

42

Lampiran 7. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok III Aktivitas

Makan, 83,26 Aktivitas Ruminasi,

6,79

Aktivitas Lain, 9,96

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 9,26

Merenggut , 46,21 Mengunya

h, 21,09 Menelan,

1,19

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 1,55

Mengunya h bolus, 4,11 Menelan bolus, 1,13


(52)

43

Lampiran 8. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi I (%) Jenis

Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00 08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00

Jantan Mencium 14,29 0,00 14,29 10,71 3,57 10,71 3,57 14,29 Merenggut 50,00 46,43 39,29 39,29 42,86 46,43 39,29 50,00 mengunyah 14,29 32,14 25,00 28,57 42,86 17,86 32,14 21,43 Menelan 7,14 7,14 7,14 7,14 0,00 10,71 10,71 0,00 Mengeluarkan

Bolus 3,57 3,57 0,00 3,57 0,00 3,57 0,00 7,14 Mengunyah

Bolus 7,14 10,71 7,14 7,14 3,57 7,14 10,71 3,57

Menelan

Bolus 3,57 0,00 0,00 3,57 0,00 3,57 3,57 0,00 Betina Mencium 8,63 8,04 6,25 2,68 10,71 5,95 6,55 2,68 Merenggut 52,08 48,21 37,50 28,87 49,11 47,62 36,31 23,21 mengunyah 20,83 24,11 25,30 13,99 18,75 21,73 22,62 13,39 Menelan 5,95 7,44 9,82 6,25 5,06 4,46 7,44 3,57 Mengeluarkan

Bolus 2,68 2,98 8,04 8,63 1,19 2,38 7,74 12,50 Mengunyah

Bolus 4,17 3,57 9,23 29,46 3,27 4,46 7,74 24,70

Menelan


(53)

44

Lampiran 9. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi II (%) Jenis

Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00 08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00

Jantan Mencium 14,29 7,14 3,57 0,00 10,71 7,14 3,57 0,00 Merenggut 46,43 46,43 28,57 3,57 60,71 42,86 35,71 25,00 Mengunyah 25,00 42,86 39,29 7,14 17,86 35,71 14,29 21,43 Menelan 3,57 3,57 10,71 0,00 10,71 7,14 10,71 0,00 Mengeluarkan

Bolus 0,00 0,00 10,71 25,00 0,00 3,57 21,43 7,14 Mengunyah

Bolus 0,00 0,00 7,14 50,00 0,00 3,57 10,71 32,14

Menelan

Bolus 0,00 0,00 0,00 14,29 0,00 0,00 3,57 14,29 Betina Mencium 9,82 3,57 5,36 0,89 12,50 8,04 5,36 0,89

Merenggut 58,93 56,25 34,82 9,82 57,14 56,25 34,82 25,00 Mengunyah 27,68 27,68 32,14 3,57 20,54 19,64 25,00 5,36 Menelan 3,57 4,46 7,14 0,89 7,14 8,93 8,93 4,46 Mengeluarkan

Bolus 0,00 0,00 9,82 25,00 0,00 1,79 9,82 11,61 Mengunyah

Bolus 0,00 0,00 8,04 42,86 0,89 1,79 10,71 41,96

Menelan


(54)

45

Lampiran 10. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi III (%) Jenis

Kelamin Tingkah Laku Makan

Pedok II

08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00

Jantan Mencium 16,07 10,27 12,05 3,57 Merenggut 64,29 61,16 54,91 37,50 Mengunyah 16,96 22,77 24,11 26,34

Menelan 2,23 5,80 5,36 8,48

Mengeluarkan Bolus 0,00 0,00 0,00 4,46 Mengunyah Bolus 0,00 0,00 1,34 13,39 Menelan Bolus 0,00 0,00 0,45 1,79 Betina Mencium 15,31 12,76 12,24 4,08 Merenggut 73,47 66,33 62,24 40,82 Mengunyah 9,69 16,84 18,88 23,47

Menelan 1,02 3,57 5,61 8,67

Mengeluarkan Bolus 0,00 0,51 0,00 2,04 Mengunyah Bolus 0,00 0,00 0,00 16,33 Menelan Bolus 0,00 0,00 0,00 2,55 Lampiran 11. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi IV (%)

Jenis Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00 08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00

Jantan Mencium 13,10 8,33 10,71 8,33 8,33 11,90 8,33 8,33 Merenggut 57,14 40,48 41,67 33,33 48,81 48,81 53,57 38,10 Mengunyah 16,67 28,57 25,00 21,43 21,43 16,67 15,48 28,57 Menelan 4,76 8,33 9,52 11,90 9,52 8,33 4,76 3,57 Mengeluarkan

Bolus 1,19 3,57 0,00 3,57 0,00 3,57 5,95 2,38 Mengunyah

Bolus 8,33 3,57 11,90 8,33 8,33 5,95 5,95 9,52

Menelan

Bolus 0,00 3,57 0,00 5,95 1,19 1,19 2,38 2,38 Betina Mencium 15,00 10,71 11,43 5,00 6,43 12,86 8,57 9,29 Merenggut 50,71 44,29 38,57 31,43 46,43 54,29 44,29 37,14 Mengunyah 16,43 27,86 25,00 24,29 23,57 13,57 28,57 20,00 Menelan 7,14 7,14 7,86 6,43 7,14 5,00 5,71 9,29 Mengeluarkan

Bolus 2,14 0,71 2,86 6,43 2,14 2,86 2,86 3,57 Mengunyah

Bolus 4,29 2,86 4,29 19,29 5,71 5,71 7,14 12,86

Menelan


(1)

Lampiran 5. Diagram tingkah laku makan populasi III pedok II

Aktivitas Makan, 93,3

3 Aktivitas

Ruminasi, 5,36

Aktivitas Lain, 1,31

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 10,77

Merenggut , 57,38 Mengunya

h, 20,06 Menelan,

5,12

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 0,8

9

Mengunya h bolus, 3,8

7 Menelan bolus, 0,6

0


(2)

Lampiran 6. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok I

Aktivitas Makan,

83,26 Aktivitas

Ruminasi, 12,50

Aktivitas Lain, 4,24

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 10,38

Merenggut , 41,96 Mengunyah

; 23,21 Menelan,

7,70

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 2,68

Mengunyah bolus; 7,81 Menelan bolus, 2,01


(3)

Lampiran 7. Diagram tingkah laku makan populasi IV pedok III

Aktivitas Makan,

83,26 Aktivitas Ruminasi,

6,79

Aktivitas Lain, 9,96

Tingkah Laku Makan (%)

Mencium, 9,26

Merenggut , 46,21 Mengunya

h, 21,09 Menelan,

1,19

Aktivitas Makan (%)

Mengeluar kan bolus, 1,55

Mengunya h bolus, 4,11 Menelan bolus, 1,13


(4)

Lampiran 8. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi I (%)

Jenis Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00

09.00 -10.00

10.00 -11.00

11.00 -12.00

08.00 -09.00

09.00 -10.00

10.00 -11.00

11.00 -12.00

Jantan Mencium 14,29 0,00 14,29 10,71 3,57 10,71 3,57 14,29 Merenggut 50,00 46,43 39,29 39,29 42,86 46,43 39,29 50,00 mengunyah 14,29 32,14 25,00 28,57 42,86 17,86 32,14 21,43 Menelan 7,14 7,14 7,14 7,14 0,00 10,71 10,71 0,00 Mengeluarkan

Bolus 3,57 3,57 0,00 3,57 0,00 3,57 0,00 7,14 Mengunyah

Bolus 7,14 10,71 7,14 7,14 3,57 7,14 10,71 3,57

Menelan

Bolus 3,57 0,00 0,00 3,57 0,00 3,57 3,57 0,00 Betina Mencium 8,63 8,04 6,25 2,68 10,71 5,95 6,55 2,68 Merenggut 52,08 48,21 37,50 28,87 49,11 47,62 36,31 23,21 mengunyah 20,83 24,11 25,30 13,99 18,75 21,73 22,62 13,39 Menelan 5,95 7,44 9,82 6,25 5,06 4,46 7,44 3,57 Mengeluarkan

Bolus 2,68 2,98 8,04 8,63 1,19 2,38 7,74 12,50 Mengunyah

Bolus 4,17 3,57 9,23 29,46 3,27 4,46 7,74 24,70

Menelan


(5)

Lampiran 9. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi II (%)

Jenis Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00

09.00 -10.00

10.00 -11.00

11.00 -12.00

08.00 -09.00

09.00 -10.00

10.00 -11.00

11.00 -12.00

Jantan Mencium 14,29 7,14 3,57 0,00 10,71 7,14 3,57 0,00 Merenggut 46,43 46,43 28,57 3,57 60,71 42,86 35,71 25,00 Mengunyah 25,00 42,86 39,29 7,14 17,86 35,71 14,29 21,43 Menelan 3,57 3,57 10,71 0,00 10,71 7,14 10,71 0,00 Mengeluarkan

Bolus 0,00 0,00 10,71 25,00 0,00 3,57 21,43 7,14 Mengunyah

Bolus 0,00 0,00 7,14 50,00 0,00 3,57 10,71 32,14

Menelan

Bolus 0,00 0,00 0,00 14,29 0,00 0,00 3,57 14,29 Betina Mencium 9,82 3,57 5,36 0,89 12,50 8,04 5,36 0,89

Merenggut 58,93 56,25 34,82 9,82 57,14 56,25 34,82 25,00 Mengunyah 27,68 27,68 32,14 3,57 20,54 19,64 25,00 5,36 Menelan 3,57 4,46 7,14 0,89 7,14 8,93 8,93 4,46 Mengeluarkan

Bolus 0,00 0,00 9,82 25,00 0,00 1,79 9,82 11,61 Mengunyah

Bolus 0,00 0,00 8,04 42,86 0,89 1,79 10,71 41,96

Menelan


(6)

Lampiran 10. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi III (%)

Jenis

Kelamin Tingkah Laku Makan

Pedok II

08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00

Jantan Mencium 16,07 10,27 12,05 3,57

Merenggut 64,29 61,16 54,91 37,50

Mengunyah 16,96 22,77 24,11 26,34

Menelan 2,23 5,80 5,36 8,48

Mengeluarkan Bolus 0,00 0,00 0,00 4,46

Mengunyah Bolus 0,00 0,00 1,34 13,39

Menelan Bolus 0,00 0,00 0,45 1,79

Betina Mencium 15,31 12,76 12,24 4,08

Merenggut 73,47 66,33 62,24 40,82

Mengunyah 9,69 16,84 18,88 23,47

Menelan 1,02 3,57 5,61 8,67

Mengeluarkan Bolus 0,00 0,51 0,00 2,04

Mengunyah Bolus 0,00 0,00 0,00 16,33

Menelan Bolus 0,00 0,00 0,00 2,55

Lampiran 11. Perbedaan tingkah laku makan jantan dan betina populasi IV (%)

Jenis Kelamin

Tingkah Laku Makan

Pedok I Pedok III

08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00 08.00 -09.00 09.00 -10.00 10.00 -11.00 11.00 -12.00

Jantan Mencium 13,10 8,33 10,71 8,33 8,33 11,90 8,33 8,33 Merenggut 57,14 40,48 41,67 33,33 48,81 48,81 53,57 38,10 Mengunyah 16,67 28,57 25,00 21,43 21,43 16,67 15,48 28,57 Menelan 4,76 8,33 9,52 11,90 9,52 8,33 4,76 3,57 Mengeluarkan

Bolus 1,19 3,57 0,00 3,57 0,00 3,57 5,95 2,38 Mengunyah

Bolus 8,33 3,57 11,90 8,33 8,33 5,95 5,95 9,52

Menelan

Bolus 0,00 3,57 0,00 5,95 1,19 1,19 2,38 2,38 Betina Mencium 15,00 10,71 11,43 5,00 6,43 12,86 8,57 9,29 Merenggut 50,71 44,29 38,57 31,43 46,43 54,29 44,29 37,14 Mengunyah 16,43 27,86 25,00 24,29 23,57 13,57 28,57 20,00 Menelan 7,14 7,14 7,86 6,43 7,14 5,00 5,71 9,29 Mengeluarkan

Bolus 2,14 0,71 2,86 6,43 2,14 2,86 2,86 3,57 Mengunyah

Bolus 4,29 2,86 4,29 19,29 5,71 5,71 7,14 12,86

Menelan