JANGAN BIARKAN PUASAMU SIA-SIA

JANGAN BIARKAN PUASAMU SIA-SIA

Puasa bukanlah menahan lapar dan dahaga saja, namun puasa juga hendaknya menahan diri dari hal-hal yang diharamkan dan sia-sia. Jika tidak demikian, puasa seseorang menjadi sia-sia. Akhirnya yang ia dapati hanya lapar dan dahaga semata. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut melainkan hanya rasa lapar dan dahaga.” 116 Sungguh merugi dan sia-sia puasa yang dilakukan. Pahala yang begitu

besar bisa sirna begitu saja. Berikut adalah beberapa amalan yang sudah sepatutnya dihindari oleh setiap orang yang menjalankan

puasa.

1. Berkata Dusta.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” 117 As Suyuthi mengatakan, “Yang dilarang dalam hadits ini adalah

az zuur yaitu dusta dan menfitnah (buhtan). Sedangkan maksud “mengamalkannya” adalah melakukan perbuatan keji dan setiap apa yang Allah larang yang merupakan konsekuensi dari perkataan dusta.” 118

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Perbuatan yang disebutkan dalam hadits ini, itulah yang mengurangi pahala puasa seseorang.” Al Baidhowi rahimahullah mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari lapar dan dahaga. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah mengekang berbagai syahwat, mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak demikian, sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak akan menerimanya.” 119

2. Berkata sia-sia dan berkata kotor.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

116 HR. Ahmad 2/373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid. 117 HR. Bukhari no. 1903. 118 Syarh Sunan Ibni Majah, 1/121. 119 Fathul Bari, 4/117.

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. 120

3. Maksiat secara umum.

Perhatikanlah pula petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rajab Al Hambali berikut, “Ketahuilah bahwa amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang

sebenarnya boleh dilakukan ketika tidak berpuasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri, - pen) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan wejangan, “Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.”

Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat di bulan Ramadhan pun masih terus jalan. Kesadaran pun untuk berhenti dari maksiat tak kunjung datang. Hendaknya ketika berpuasa, setiap orang berusaha menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat dan hal-hal yang sia-sia, bukan hanya menahan lapar dan dahaga semata. Sebagian salaf mengatakan,

“Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya meninggalkan minum dan makan saja.” 121

Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah 122 tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa

yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqoho’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.” 123

120 HR. Ibnu Khuzaimah 3/242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih. Mengenai makna laghwu dan rofats telah diterangkan sebelumnya pada pembahasan “Hikmah di Balik Puasa Ramadhan”.

121 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277. 122 Makan, minum, jima’ di luar puasa adalah suatu yang asalnya mubah (dibolehkan). Ketika puasa hal ini dilarang

dan termasuk pembatal puasa. 123 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277-278.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Menjauhi berbagai hal yang dapat membatalkan puasa, hukumnya wajib. Sedangkan menjauhi hal-hal selain itu yang tergolong maksiat termasuk penyempurna puasa.” 124

Mala ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa

namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” 125

124 Fathul Bari, 4/117. 125 Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6/308