Cinta ku

Cinta ku

18 Agustus 2012 Jam 07.05 Pagi

“ Siapapun yang terbukti melakukan korupsi, akan langsung dihukum mati. Itu tidak kejam, yang kejam adalah apabila kita membiarkan para Koruptor itu berkeliaran, menimbun uang di tengah rakyat yang mati kelaparan. M ari kita tumpas mereka! Dan sepantasnyalah sifat rakus itu hilang dari bumi kita ini ... Dan saya harapkan. Kita semua bekerja dengan baik, bertindak dalam norma dan agama ... Presiden bukanlah pahlawan super, jadi masih sangat membutuhkan bantuan. Jika setiap pribadi sudah dewasa, maka saya akan lebih mudah untuk memajukan kita semua! Bangsa ini!!”

Ayah Dira sedang menonton berita pagi. Begitu berapi-api pidato yang disampaikan oleh presiden yang baru. Cuplikan pidato di hari kemerdakaan itu benar-benar membakar semangat rakyat untuk bangkit bersama. Sedangkan dibenci oleh orang-orang serakah yang senang menimbun harta.

“ Ayo semua, sarapan dulu,” sahut ibu Dira.

Dira bergegas turun dari kamarnya. Ayahnya meninggalkan acara berita paginya. M ereka berkumpul di meja makan yang sempat kehilangan guna. Kini keluarga itu kembali. M eski kedua kakaknya tidak ikut berkumpul, Dira sudah merasakan bahwa keluarga ini sudah kembali lengkap. H armonis itu hangat. T iap pagi ada senyum yang memberi semangat. Ketika pulang pun ada cinta yang bisa mengobati lelah. Itulah rumah, kenyamanan untuk tinggal dan kebahagiaan dalam lelah.

20 Agustus 2012 Jam 07.35 Pagi.

Pagi yang cerah menemani langkah Dira pergi kuliah. Dia masih setia memakai motor. Sedikit berbeda karena motornya yang lama sudah tiada, berganti motor barunya ini. M otor yang tak kalah garang dengan yang sebelumnya. Dia pacu motor itu dengan pelan. Dia sekarang lebih tenang dan sabar, bahkan dalam menghadapi kemacetan sekali pun. Dia menyadari, butuh pengorbanan dalam membuat perubahan, maka patutnya hal kecil tidak pula berbuah kerepotan. Dia makin dewasa.

Dira melewati pos jaga itu, di mana dia bertemu dengan seorang bernama Irham. T iap dia memandang pos itu, ada harapan akan melihat sosok Irham di sana, tengah berdiri dan memberikan senyum padanya. Irham hilang, juga tidak ada kabar, Dira bahkan tidak tahu Irham selamat atau tidak dalam kerusuhan itu. Pos jaga itu kembali beroperasi namun dijaga oleh para polisi baru yang tidak Dira kenal.

Pos jaga itu menyimpan kenangan pertemuan. Kejadian yang konyol pun tak kalah meninggalkan kesan yang mendalam. Senyum itu, bentakan itu, masih Dira ingat dengan jelas. Irham, Seorang yang datang dengan singkat, memberi kenangan yang padat.

Dira memasuki kawasan kampus, di mana Fajar biasa menggelar orasi pembakar semangat para demonstran. T empat itu tidak lagi ramai, demo sudah jarang dilakukan, kini hanya dedaunan kuning yang berserakan, dan beberapa mahasiswa yang berjalan pelan. Fajar sudah tidak ada, tinggal bayangannya yang sering muncul dalam benak D ira. Fajar, seorang yang lembut dan pintar merubah suasana hatinya. Yang membantu Dira memperjuangkan cinta, meski di saat yang sama dia sendiri harus melepas cintanya. Dira makin paham betapa besar hati Fajar— bahkan pada batas yang hampir tidak dia mengerti, ternyata ada orang yang demikian.

Dira berjalan menuju kelas. Di depan kelas sudah ada N ovi yang sedang bergurau dengan teman satu kelasnya yang lain. “ H ai, N ov!” Sapa Dira.

“ H ai, Ra.” N ovi tersenyum. Dira masuk ke kelas. Begitulah rutinitas berjalan. Bayang-bayang masih

terlihat jelas, seringkali memberi kesedihan. N amun kenyataannya dia sekarang punya keluarga yang jadi tumpuannya, jadi atap jiwanya. Kehangatan mengisi tiap pagi dan senja. M embuatnya tidak terlalu larut dalam kesedihan tentang Fajar dan Irham.

Dua orang yang sangat istimewa. M engajari banyak hal baru. Dia tahu bahwa maksud melempar itu bukan pada orang, melainkan pada kejahatan. M encintai itu bukan pada memiliki, melainkan pada kebebasan untuk menghargai. Kemacetan itu bukan hal yang baik, tapi melanggar dan masuk jalur busway juga bukanlah ide yang baik, karena bisa membuat lelah pak polisi.

21 N ovember 2013

T ahun berganti. H ari-hari penuh semangat baru, membuang kesedihan yang lalu. M embuang kesedihan bukan berarti membuang kenangan. Kenangan bisa tetap hidup dan bernilai lebih, menjadi indah jika mau menatapnya dari sisi yang lebih baik. Fajar, kini dia sudah bahagia di singgasananya yang baru. Irham, dia pasti sudah lebih baik sekarang, di sana, di tempat yang tidak diketahui. Berusaha menilai baik segala hal, hanya butuh satu modal, yaitu keberanian meninggalkan kesedihan.

Dira makin dewasa. Keluarganya makin harmonis, kesehatan ayahnya juga makin membaik semenjak berkumpul kembali dengan ibunya yang merupakan seorang dokter. T iap hari, menu makanan diatur dan diramu lewat jemari cinta.

T idak lama lagi Dira akan lulus kuliah, dan menjajal jalan hidupnya yang baru. M ungkin ke suasana baru yang belum dia ketahui, seperti dunia kerja. N amun dia sendiri sudah merencanakan akan melanjutkan kuliah, tidak terburu-buru dalam mencari cinta, ya, masih seperti dia yang dulu.

Jam 09.45 Pagi.

Pagi itu Dira sedang menonton televisi dengan ayahnya, lalu, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ayahnya bangkit.

“ Biar aku aja yang buka. Ayah duduk aja di sini, oke! Itu pasti temanku,” sela Dira. Dira berjalan pelan menuju pintu sambil merapikan rambut panjangnya.

“ Krek..” Gagang pintu itu diputar ke bawah, lalu dibukanya pintu itu perlahan.

Deg! Dira terkejut, detak jantungnya berpacu dengan cepat. “ Irham?” Lirihnya dalam hati. Apa itu benar Irham yang dia lihat. Seorang lelaki dengan badan tegap lengkap dengan seragam yang gagah. T angan kanannya memegang topi polisi.

“ Dira...” M ereka saling tatap, “ aku janji untuk datang. Dan sekarang aku datang. M asih ingat?” Dia tersenyum.

Dira terdiam. Dia bingung apa yang harus dia lakukan atau katakan. T erlalu lama mereka tak bertemu, kali ini rasanya kembali melihat seorang yang asing. Itu memang Irham. W ajah yang sama, senyum yang sama, tatapan yang sama, dan potongan rambut yang sama. N amun Dira masih bingung dengan perasaannya, dia hanya berdiri di dekat pintu dan menatap ke arah Irham.

“ H ey! Kok bengong? Aku bukan hantu, Ra. Ini aku, Irham. Pukul wajahku kalau kurang percaya.” Irham tersenyum kembali.

Dira masih diam.

Irham memeluknya. Erat. Lalu perlahan Dira bicara, “ kamu ke mana aja?”

T anyanya. W ajahnya menyimpan kerinduan yang hendak membludak, namun tertahan oleh rasa yang asing. Dia masih ragu apa ini benar-benar Irham. Irham yang dulu dia kenal?

“ M aaf...” Singkat Irham. Dira merasakan pelukan itu. Iya, dia kenal

kehangatan itu. Ini adalah Irham. Perlahan lengannya membalas pelukan Irham, melepas kerinduan yang selama ini jadi hantu malam. Sering kali hantu itu menjelma dalam mimpi, hingga pagi membuyarkan kembali wajahnya.

T iba-tiba Dira melepas pelukannya, lalu “ Plak!!” Dia menampar Irham.