Persentase Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan Mendapat ASI Eksklusif tahun 2015

Grafik 6 Persentase Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan Mendapat ASI Eksklusif tahun 2015

Sumber: Laporan Direktorat Gizi tahun 2015

d. Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Inisiasi menyusu dini adalah proses menyusu pada bayi yang dimulai secepatnya setelah bayi dilahirkan. IMD merupakan langkah penting yang dilakukan ibu dan bayi saat baru melahirkan. Penelitian menyatakan bahwa inisiasi menyusu dini dalam 1 jam pertama dapat mencegah 22% kematian bayi di bawah umur 1 bulan di negara berkembang (APN, 2007). Pencapaian 6 bulan ASI eksklusif bergantung pada keberhasilan inisiasi dalam satu jam pertama.

Untuk indikator bayi baru lahir mendapat IMD capaian target mencapai 73,4% dari target sebesar 38%.

e. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

Status gizi balita merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan peningkatan program kesehatan masyarakat. Menurut Caulfield dan Black (2002), status gizi kurang pada Status gizi balita merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan peningkatan program kesehatan masyarakat. Menurut Caulfield dan Black (2002), status gizi kurang pada

Indikator balita kurus yang mendapat makanan tambahan pencapaiannya secara nasional masih jauh dari target (70%) yaitu sebesar 45,2%.

f. Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

Remaja puteri merupakan salah satu komponen dalam life cycle yang perlu mendapat perhatian khusus. Remaja bisa mengalami kurang darah. Apalagi pada remaja putri dimana mereka setiap bulannya mengalami menstruasi yang mengakibatkan kehilangan darah sehingga kadar Hb-nya menurun. Umumnya di Indonesia penyebab kurang darah pada anak dan remaja disebabkan oleh kekurangan zat besi. Hal ini disebabkan kurangnya asupan bahan makanan sumber zat besi dan protein.

Cakupan remaja putri yang mendapat tablet tambah darah sebesar 20% dari target 10%.

g. Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil

Kelas Ibu Hamil ini merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular dan akte kelahiran.

Dewasa ini penyuluhan kesehatan Ibu dan Anak pada umumnya masih banyak dilakukan melalui konsultasi perorangan atau kasus per kasus yang diberikan pada waktu ibu memeriksakan kandungan atau pada waktu kegiatan posyandu. Melalui kelas ibu hamil diharapkan ibu hamil bertemu dengan ibu hamil lainnya dan saling berbagi cerita agar menjaga masa kehamilan ibu hingga persalinan.

Capaian indikator pelaksanaan kelas ibu hamil pada tahun 2015 tercapai yaitu sebesar 86,92% dari target yang direncanakan yaitu sebesar 78%.

Faktor pendukung keberhasilan:

1) Semua provinsi sudah memiliki trainer pelatihan kelas ibu melalui pelaksanaan TOT kelas ibu bagi seluruh provinsi pada tahun 2015;

2) Semua provinsi memiliki dukungan dana dekonsetrasi untuk melaksanakan pengembangan kelas ibu melalui pelatihan fasilitator kelas Ibu di tahun 2015 dan pengadaan paket kelas Ibu hamil.

Upaya (program maupun kegiatan) yang telah dilakukan

1) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan;

2) Penyediaan sarana pelatihan kelas ibu hamil;

3) Fasilitasi dan pendampingan dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan kelas ibu hamil.

Rencana tindak lanjut untuk meningkatkan cakupan

1) Percepatan pengembangan kelas ibu hamil dengan meningkatkan jumlah pelatihan kelas ibu hamil;

2) Peningkatan sistem pencatatan dan pelaporan pelaksanaan kelas ibu hamil;

3) Meningkatkan pemantauan dan evaluasi pasca pelatihan termasuk pelaksanaan kelas ibu hamil;

4) Menfasilitasi pelaksanaan kelas ibu hamil dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat tanpa tergantung dana BOK;

5) Meningkatkan sosialisasi pelaksanaan kelas ibu hamil, termasuk peningkatan keterlibatan suami dan keluarga.

h. Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

Untuk mencapai IKU persentase persalinan di fasilitas kesehatan (PF) kegiatan yang dilakukan adalah pembinaan kesehatan ibu dan reproduksi dengan sasaran meningkatnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi. Satu dari Indikator pencapaian sasaran tersebut yaitu persentase puskesmas yang melakukan orientasi program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) dengan target sebesar 100% pada akhir tahun 2019.

Pemantauan dan pengawasan yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil dan bersalin yang dilakukan diseluruh Indonesia dalam ruang lingkup kerja Puskesmas setempat serta menyediakan akses dan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang sekaligus merupakan kegiatan yang membangun potensi masyarakat khususnya kepedulian masyarakat untuk persiapan dan tindakan dalam menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.

Pendukung terlaksananya program P4K juga adalah kemampuan masyarakat untuk dapat mengenali tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas sehingga dapat dengan cepat melaporkan kepada tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan terdekat. Seiring dengan berjalannya waktu, pelaksanaan P4K dilapangan masih mengalami kendala atau hambatan, seperti pergantian petugas puskesmas yang paham P4K, Disamping itu masalah pendanaan masih menjadi kendala dalam keberhasilan pengembangan P4K sampai saat ini. Pada tahun 2015 capaian persentase puskesmas melakukan orientasi P4K sebesar 79,60% dari target sebesar 77%.

Grafik 7 Persentase puskesmas melakukan orientasi P4K tahun 2015

i. Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4)

Indikator ini memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan minimal 4 kali sesuai dengan ketetapan waktu kunjungan.

Pada tahun 2015, pencapaian indikator kinerja “Persentase (%) Ibu Hamil mendapat pelayanan antenatal (Cakupan K4)” dapat tercapai

dengan baik yaitu 83,39% dari target yang ditetapkan sebesar 72%.

Grafik 8 Persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal minimal 4 kali tahun 2015

Upaya yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu dalam rangka pencapaian target K4 tahun 2015 yaitu :

1) Peningkatan kualitas pelayanan antenatal dalam bentuk peningkatan kapasitas petugas kesehatan;

2) Peningkatan akses pelayanan antenatal;

3) Penyiapan bahan acuan pelayanan antenatal.

Faktor pendukung keberhasilan:

1) Adanya peningkatan kapasitas, pelatihan untuk tenaga kesehatan;

2) Tersedianya pedoman penatalaksanaan antenatal;

3) Pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali selama kehamilan merupakan komponen dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota;

4) Penyediaan alat deteksi risiko ibu hamil;

5) Dukungan dana pelacakan ibu hamil, dan kegiatan luar gedung untuk pemeriksaan ibu hamil dari dana BOK;

6) Adanya surveilans melalui PWS KIA;

7) Monitoring dan evaluasi secara berjenjang.

Faktor yang masih menjadi hambatan

1) Ibu hamil baru memeriksakan kehamilan pertama kali setelah trimester 1.

2) Ibu hamil yang tidak tercatat pada kunjungan di trimester 3 (drop out) karena :

- Ada budaya masyarakat pada saat menjelang persalinan pulang ke kampung halaman;

- Ada ibu hamil yang selalu berpindah-pindah tempat pelayanan dalam kunjungan antenatal (ibu hamil antenatal dari bidan ke dokter spesialis dan tidak kembali ke bidan.

3) Pencatatan dan pelaporan masih belum optimal

Rencana tindak lanjut untuk meningkatkan cakupan K4 : Penguatan pelaksanaan pelayanan antenatal sesuai standar dan pengembangan pelayanan antenatal terpadu, melalui :

a) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan;

b) Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan (alat, reagen, dan obat);

c) Mengusulkan ke provinsi dan kabupaten/ kota dalam penyediaan logistik pencatatan dan pelaporan, meliputi kartu ibu dan kohort ibu.

j. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

Cakupan kunjungan neonatal pertama atau yang dikenal dengan sebutan dengan KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6 - 48 jam setelah lahir yang meliputi, antara lain kunjungan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM) termasuk konseling perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian vitamin K1 injeksi dan Hepatitis B 0 (nol) injeksi.

Grafik 9 Persentase Kunjungan Neonatal pertama (KN1) tahun 2015

Faktor pendukung cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1). Kunjungan neonatal pertama didaerah terutama dilakukan oleh bidan. Kementerian Kesehatan (pusat) dan pembagian wewenang dengan daerah memiliki peran yang sangat besar didalam menjamin Faktor pendukung cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1). Kunjungan neonatal pertama didaerah terutama dilakukan oleh bidan. Kementerian Kesehatan (pusat) dan pembagian wewenang dengan daerah memiliki peran yang sangat besar didalam menjamin

1. Diperolehnya dukungan dari organisasi profesi dan lintas program dalam penggerakan anggotanya untuk melaksanakan KN 1;

2. Distribusi buku saku pelayanan neonatal esensial yang semakin tersebar setiap tahunnya.

Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk meningkatan cakupan KN1 selama tahun 2010 - 2014 yang antara lain:

1. Advokasi ke organisasi profesi (IBI dan IDI) dan lintas sektor untuk mendukung KN1, melalui pelibatan didalam kegiatan terkait pencapaian indikator;

2. Mengevaluasi dan membentuk kesepakatan bersama untuk mendukung peningkatan cakupan;

3. Pendampingan peningkatan kualitas pelayanan neonatus di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Upaya yang harus dilakukan agar terjadi peningkatan sekaligus mempertahankan cakupan kunjungan neonatal pertama, yaitu:

1. Penguatan advokasi ke organisasi profesi dan lintas sector;

2. Menambah lokasi pendampingan, untuk meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap standar/pedoman;

3. Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional;

4. Penguatan pemanfaatan register kohort bayi untuk pemantauan sasaran neonatus, serta distribusi tenaga bidan yang berkompeten hingga ke tingkat desa.

Beberapa upaya terkait peningkatan kualitas kunjungan neonatal pertama, diantaranya adalah:

1. Penyiapan fasilitator peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan bayi baru lahir (neonatus) di pusat dan provinsi;

2. Fasilitasi penerapan audit maternal perinatal di provinsi;

3. Peningkatan implementasi pembelajaran neonatal esensial, manajemen asfiksia dan BBLR di preservis;

4. Pembinaan teknis terkait program bayi baru lahir dan bayi dalam rangka akselerasi penurunan angka kematian bayi;

5. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam pelayanan neonatus di provinsi;

6. Peningkatan koordinasi lintas program dan lintas sektor melalui sekretariat SDGs.

k. Persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1

Pada capaian tahun 2015, indikator puskesmas melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 mencapai target yang telah ditetapkan. Target nasional di tahun 2015 adalah sebesar 50 %, dan sudah tercapai sebesar 51 % dan berarti sebanyak 4965 puskesmas sudah melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 1.

Grafik 10 Puskesmas melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 tahun 2015

Dari 34 provinsi terdapat 17 provinsi yang mencapai target indikator dan

17 provinsi yang belum mencapai target. Distribusi pencapaian target indikator dapat dilihat dalam grafik dibawah ini;

Grafik 11 Puskesmas melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 tahun 2015

20 Sumber data : Data Evaluasi Direktorat Bina Kesehatan Anak 2015

Gambaran pencapaian cakupan indikator puskesmas melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 memiliki disparitas yang cukup besar antar provinsi seperti terlihat pada grafik diatas.

l. Persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10

Indikator ini adalah indikator baru di Renstra 2015-2019. Walaupun pelayanan penjaringan peserta didik kelas 7 & 10 sudah dilaksanakan sejak lama, namun pelayanan ini baru dijadikan indikator di tahun 2015. Masuknya pelayanan penjaringan peserta didik kelas 7 & 10 merupakan bentuk intervensi di hulu didalam upaya penurunan AKI dan AKB. Melalui pemeriksaan kesehatan ini diharapkan status kesehatan remaja dapat diketahui untuk kemudian dilakukan tindak lanjut atas permasalahan yang ditemui.

Indikator ini, di tahun 2015 dapat mencapai target renstra dengan pencapaian cakupan sebesar 42 % dari target sebesar 30 %.

Grafik 12 Puskesmas melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 tahun 2015

Sumber: Data Direktorat Bina Kesehatan Anak tahun 2015 Dengan capaian sebesar 42 % ini berarti 4125 puskesmas telah melaksanakan penjaringan kelas 7 & 10. Per provinsi dapat dilihat dalam grafik berikut

Grafik 13 Cakupan puskesmas melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 7 & 10 tahun 2015

a a B Ut en T Se T en T Se Ut Pa Lamp

iman law mat en iman law M .

Pa

iman Kal Su Kep

Sumber data : Data Evaluasi Direktorat Bina Kesehatan Anak 2015

Sebanyak 16 provinsi telah mencapai target puskesmas melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 7 & 10, 17 provinsi lainnya masih belum mencapai target.

Faktor pendukung pencapaian indikator penjaringan kesehatan peserta didik

Upaya – upaya dan faktor yang mendukung untuk meningkatkan capaian indikator, dan kualitas pelayanan penjaringan kesehatan peserta didik yaitu :

1. Adanya peraturan/perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan UKS seperti SKB 4 Menteri tahun 2003 dengan nomor: 1/U/SKB; Nomor 1067/Menkes/SKB/VII/2003;Nomor MA/203 A/2003; Nomor: 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli 2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan UKS. Dan juga Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 79.

2. Penjaringan kesehatan telah masuk menjadi salah satu SPM Bidang Kesehatan yaitu penjaringan kesehatan pada siswa kelas I sekolah dasar.

3. Ketersediaan dana dekonsentrasi 2015 untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam upaya peningkatan kualitas hidup anak usia sekolah dan remaja, seperti kegiatan pelatihan penjaringan kesehatan bagi tenaga kesehatan secara berjenjang, pertemuan koordinasi lintas program dan lintas sektor serta monitoring dan evaluasi

4. Intervensi pusat dalam penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten dalam melaksanakan penjaringan kesehatan melalui alokasi dana dekon.

5. Akselerasi pembinaan dan pelaksanaan UKS, melalui optimalisasi peran dan fungsi lintas sektor dan lintas program, serta TP UKS dan sekretariat TP UKS pada setiap jenjang pemerintahan dari pusat sampai dengan kecamatan.

6. Pembinaan teknis secara berjenjang dimulai dari dinkes propinsi/kab/kota hingga puskesmas, maupun pembinaan program UKS

ke TP UKS provinsi/kab/kota/kecamatan sampai dengan TP Sekolah.

dengan

lintas

sektor

terkait

7. Penguatan koordinasi dengan lintas proram dan lintas sektor di wilayah kerja masing-masing, pemanfaatan BOK dan sumber dana lainnya (APBD, CSR, BOS), penguatan komitmen tenaga kesehatan yang telah dilatih serta mengenai pencatatan dan pelaporan.

8. Mengeluarkan surat edaran Dirjen Bina Gizi dan KIA, Kementerian Kesehatan kepada Direktur Jenderal pada Kementerian terkait SKB

4 Menteri dalam rangka mendorong jajarannya (dalam hal ini kepala daerah tingkat 1 dan 2) untuk melaksanakan penjaringan kesehatan agar tercapai target di tahun 2013.

9. Penyediaan dan distribusi buku-buku pedoman teknis penjaringan kesehatan anak sekolah sebagai acuan pelaksanaan penjaringan kesehatan.

m. Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja.

Indikator puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja merupakan transformasi dari indikator puskesmas PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) di tahun 2010-2014. Sejak tahun 2003, model pelayanan kesehatan remaja yang memenuhi kebutuhan dan selera remaja diperkenalkan dengan sebutan Pelayanan Kesehatan peduli Remaja (PKPR), yaitu pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau remaja, menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

PKPR ditujukan untuk semua remaja (10-19 tahun) baik di sekolah maupun di luar sekolah, seperti kelompok remaja masjid, gereja, karang taruna, pramuka, dll. Pelayanan kesehatan remaja dapat pula diperluas pada kelompok remaja yang tidak terorganisir, misalnya anak jalanan, jermal-jermal, atau pekerja anak di daerah industri.

Berdasarkan SKDI 2012 hanya sebesar 2% perempuan dan 4,2% laki-laki yang mengetahui PKPR sebagai salah satu layanan kesehatan remaja, hal ini menunjukkan rendahnya akses remaja terhadap layanan PKPR.

Tahun 2015, puskesmas PKPR masuk kedalam indikator Renstra sebagai bentuk penanganan di hulu dalam upaya penurunan AKI dan AKB.

Indikator puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja dapat mencapai 30% dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 25%.

Adapun cakupan indikator ini adalah sebesar, yang berarti 2891 puskesmas telah melaksanakan kegiatan kesehatan remaja di tahun 2015 (dari 9.731 puskesmas).

Grafik 14 Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan

remaja tahun 2015

Sumber data Laporan Direktorat Bina Kesehatan Anak tahun 2015

Masih terjadi disparitas antar provinsi terkait indikator ini. Disparitas diduga terjadi karena belum tersosialisasinya secara menyeluruh terkait indikator baru Renstra 2015 -2019. 18 Provinsi masih belum mencapai target puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja. Dari 18 provinsi tersebut terdapat provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta tidak mencapai target dikarenakan perbedaan persepsi jumlah puskesmas. Pusdatin mencatat terdapat 340 puskesmas di provinsi DKI Jakarta (data per 31 Desember 2014). Namun, yang dilaporkan hanya 44 Puskesmas (Puskesmas Kecamatan). Perbedaan ini dikarenakan adanya Masih terjadi disparitas antar provinsi terkait indikator ini. Disparitas diduga terjadi karena belum tersosialisasinya secara menyeluruh terkait indikator baru Renstra 2015 -2019. 18 Provinsi masih belum mencapai target puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja. Dari 18 provinsi tersebut terdapat provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta tidak mencapai target dikarenakan perbedaan persepsi jumlah puskesmas. Pusdatin mencatat terdapat 340 puskesmas di provinsi DKI Jakarta (data per 31 Desember 2014). Namun, yang dilaporkan hanya 44 Puskesmas (Puskesmas Kecamatan). Perbedaan ini dikarenakan adanya

Faktor pendukung pencapaian cakupan puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan remaja.

1. Perubahan kebijakandimana pada Renstra 2015-2019 penanganan kehulu menjadi hal yang prioritas dalam penurunan AKI dan AKB menempatkan periode remaja menjadi hal yang prioritas.

2. Masuknya indikator ini kedalam RPJMN dan Renstra 2015-2019, diharapkan akan berpengaruh pada ketersediaan dana dan komitmen pemerintah pusat dan daerah daerah untuk melaksanakan kegiatan ini.

3. Konsep metode pelatihan integrasi (PKPR, Penjaringan, Algoritma Kesehatan Remaja)

4. Konsep pelatihan integrasi disatu sisi membantu mempercepat pembangunan PKPR karena pelatihan dilakukan 1x secara serentak dan juga meringankan beban tugas para pemegang program di daerah yang memiliki keterbatasan anggaran dan SDM.

5. Terjalinnya penggalangan dan atau penguatan kemitraan, dengan membangun kerjasama atau jejaring kerja.

6. Banyak LSM yang bergerak di bidang kesehatan remaja sehingga peluang kerjasama Kementerian Kesehatan dengan LSM. Pelaporan Data

7. Setiap provinsi sudah memiliki penanggungjawab jelas yang bertugas mengolah dan mengirim data ke Pusat.

n. Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan

tradisional Dari

kab/kota) yang menyelenggarakan pembinaan pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer telah tercapai sebesar 59,15% (294 kab/kota).

target

50% kabupaten/kota

Dalam upaya pencapaian indikator kinerja tersebut upaya yang dilakukan antara lain:

1. Orientasi akupressur untuk tenaga kesehatan puskesmas;

2. Pelatihan asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur bagi fasilitator kesehatan;

3. TOT akupresur untuk pelayanan di puskesmas;

4. Fasilitasi pembentukan kelompok asuhan mandiri;

5. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer;

6. Penguatan peran dan fungsi Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) dalam mendukung pencapaian program Yankestradkom;

7. Kerjasama lintas program dan lintas sektoral untuk penguatan pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer.

Faktor pendukung keberhasilan dalam pencapaian indikator adalah:

1. Kerja sama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian dan TP-PKK Pusat dalam melakukan penilaian pemanfaatan TOGA;

2. Kesepakatan negara anggota WHO SEARO, dalam pengintegrasian pelayanan kesehatan tradisional dalam fasilitas pelayanan kesehatan;

3. Sosialisasi dan advokasi program pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer ke seluruh provinsi;

4. Meningkatnya kecenderungan masyarakat dunia dalam menerapkan gaya hidup kembali ke alam (back to nature);

5. Telah tersusunnya beberapa pedoman untuk pelatihan teknis bagi tenaga kesehatan di puskesmas dan pedoman penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional di puskesmas;

6. Terlaksananya orientasi/pelatihan tenaga kesehatan akupresur dan selfcare ramuan dalam pemanfaatan TOGA di puskesmas di 33 provinsi. Sampai akhir tahun 2014 tenaga kesehatan puskesmas yang telah dilatih akupresur sebanyak 1101 orang dan tenaga yang dilatih selfcare ramuan dan pemanfaatan TOGA sebanyak 643 orang;

7. Adanya dukungan pemerintah

provinsi maupun kabupaten/kota terhadap pengembangan pelayanan kesehatan tradisional di beberapa provinsi melalui dukungan anggaran pembiayaan program pelayanan kesehatan tradisional seperti di Provinsi Sulawesi Barat, Kota Jayapura, dan KotaTangerang Selatan;

daerah

8. Pembinaan oleh dinas kesehatan propinsi dan kabupaten / kota ke puskesmas, baik melalui dana dekonsentrasi maupun APBD provinsi dan kab/kota;

9. Peningkatan kapasitas bagi tenaga medis dalam bidang akupunktur medik dasar dan penggunaan obat herbal dalam mendukung upaya pelayanan kesehatan tradisional integrasi beserta penyusunan NSPK nya.

Faktor penghambat keberhasilan Walaupun telah melampaui target yang telah ditetapkan, sebenarnya

capaian indikator ini belum maksimal, dikarenakan:

1. Pemahaman masyarakat dan pemangku kebijakan yang masih rendah terhadap pelayanan kesehatan tradisional;

2. Kurangnya komitmen pemangku kebijakan dan pelaku pelayanan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional;

3. Kurangnya dukungan pembiayaan dari APBD provinsi dan kabupaten untuk program pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer;

4. Pelayanan kesehatan tradisional belum masuk paket manfaat dalam JKN;

5. Pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer belum menjadi program prioritas;

6. Seringnya terjadi mutasi pengelola program pelayanan kesehatan tradisional di daerah;

7. Kurang optimalnya pembinaan teknis oleh dinas kesehatan propinsi dan kabupaten/kota ke puskesmas, baik melalui dana dekonsentrasi maupun APBD propinsi dan kabupaten/kota;

Rencana tindak lanjut yang akan dilakukan untuk peningkatan pencapaian program antara lain:

1. Sosialisasi dan

rangka pemantapan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional komplementer sebagai pelayanan kesehatan tradisional yang terintegrasi;

advokasi

dalam

2. Peningkatan kompetensi dan kewenangan tenaga kesehatan yang terlatih pelayanan kesehatan tradisional, dan komplementer melalui peningkatan kapasitas;

3. Menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria sebagai tindak lanjut PP 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

o. Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar

Puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja yaitu Puskesmas yang menyelenggarakan Kesehatan kerja dasar dan atau, memberikan pelayanan kesehatan terhadap pekerja di wilayah kerjanya. Lingkup Kegiatan Pelayanan Kesehatan Dasar antara lain (1) Pemeriksaan dan seleksi kesehatan calon pekerja; (2) Peningkatan mutu dan kondisi tempat kerja; (3) Penyerasian kapasilitas kerja, beban kerja dan likungan kerja; (4) Pemeliharaan Kesehatan, Konseling dan rehabilitasi medis; (5) Pembentukan dan pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam pelayanan kesehatan kerja.

Pencapaian indikator kesehatan kerja dan kesehatan olahraga tergambar dalam grafik berikut ini:

Grafik 15 Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan

kerja dasar tahun 2015

Sumber data : Laporan Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga tahun 2015

Sebanyak 2.205 puskesmas yang telah melaksanakan kegiatan kesehatan kerja tersebar di 166 kab/kota dan 34 provinsi binaan yang telah ditargetkan. puskesmas terbanyak yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar berada pada Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 21 kabupaten/kota dan sebanyak 215 puskesmas dari 444 puskesmas yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.

Kegiatan pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga juga turut berperan dalam mendukung pencapaian indikator program bina gizi dan Kegiatan pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga juga turut berperan dalam mendukung pencapaian indikator program bina gizi dan

Hambatan dalam pencapaian target adalah:

1. Belum meratanya sosialisasi terhadap indikator yang baru;

2. Kurang tertibnya laporan yang dilaksanakan oleh petugas baik puskesmas, kab/kota ataupun provinsi.

Faktor pendukung tercapainya target indikator renstra kesehatan kerja dan olahraga:

1. Adanya dukungan pendanaan bersumber APBN di pusat dan daerah melalui dana dekonsentrasi;

2. Mengembangkan kegiatan-kegiatan yang difokuskan pada pencapaian indikator Renstra kesehatan kerja dan olahraga;

3. Dukungan dana yang berasal dari APBD di beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Serta sumber lain, seperti dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan;

Rencana tindak lanjut dalam pengembangan program, antara lain perlu dilakukan:

1. Peningkatan dukungan pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah;

2. Pemantapan regulasi di bidang kesehatan kerja dan olahraga;

3. Pemahaman dan persepsi yang sama terhadap program kesehatan kerja dan olahraga;

4. Peningkatan kompetensi SDM dan sumber daya;

5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat;

6. Peningkatan kerja sama lintas program dan lintas sektor;

7. Pelayanan kesehatan kerja dan olahraga yang mudah terakses;

8. Ketersediaan data dan informasi kesehatan kerja dan olahraga.

p. Jumlah pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI

Hasil laporan tahunan provinsi Tahun 2015 didapatkan bahwa dari

34 provinsi yang membentuk atau membina Pos UKK di daerah PPI dan TPI terdapat 6 provinsi yang di daerahnya tidak terdapat Pos UKK antara lain yaitu Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, NTT dan Papua. Dari target 230 Pos UKK di tahun 2015 capaian indikator ini sebanyak 243 Pos UKK. Provinsi dengan jumlah Pos UKK yang terbentuk ataupun dibina di daerah PPI/TPI terbanyak ada pada Provinsi Jawa Timur dengan jumlah Pos UKK sebanyak 28 Pos UKK.

Grafik 16 Jumlah pos UKK yang terbentuk di daerah tahun 2015

Sumber: Laporan Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga tahun 2015

Gambar 4 Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI / TPI

Sumber: Data Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga

q. Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi

standar

Pada tahun 2015 terdapat 156 sarana kesehatan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan dari 156 sarana kesehatan tersebut terdapat 156 sarana kesehatan yang telah memenuhi standar sehingga capaian indikator ini yaitu 100%. Fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI ini baru tersebar di 22 Provinsi. Provinsi yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan TKI antara lain Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan Utara, Papua Barat, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Barat dan Papua.

Gambar 5 Fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar

Sumber: Data Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga

r. Persentase Puskesmas yang melaksanakan Kegiatan Kesehatan Olahraga pada Kelompok Masyarakat di Wilayah Kerjanya

Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya menurut definisi operasionalnya adalah puskemas yang menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan atau pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya.

Adanya Balai Kesehatan Olahraga Masyarakat (BKOM) di 11 provinsi sebagai UPT Kesehatan Olahraga di tingkat provinsi/ kabupaten/ kota serta 1 BKOM Bandung sebagai UPT Pusat, merupakan pusat rujukan kesehatan olahraga yang membantu dalam melakukan pembinaan teknis terhadap puskesmas berkoordinasi dengan dinas kesehatan provinsi/ kabupaten/ kota.

Dari 1.262 puskesmas yang telah melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga, puskesmas tersebut tersebar di 86 kab/kota dari 34 provinsi binaan yang telah ditargetkan dan dinilai strategis. puskesmas tersebut paling banyak berada di Provinsi Sulawesi Selatan yang berada di 11 Dari 1.262 puskesmas yang telah melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga, puskesmas tersebut tersebar di 86 kab/kota dari 34 provinsi binaan yang telah ditargetkan dan dinilai strategis. puskesmas tersebut paling banyak berada di Provinsi Sulawesi Selatan yang berada di 11

Grafik 17 Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya

Sumber: Data Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga

s. Jumlah puskesmas yang mendapatkan BOK

Capaian Indikator Kinerja Kegiatan jumlah puskesmas yang mendapatan Bantuan Operasional Kesehatan pada tahun 2015, telah berhasil melampaui target yang sudah ditentukan yakni dari target yang sudah ditentukan sebesar 9.719 puskesmas dapat melakukan realisasi sebesar 9.742 puskesmas tahun 2015. Keberhasilan capaian puskesmas yang menyelenggarakan BOK inipun terjadi pada tahun-tahun sebelumnya terutama sejak perubahan pola pembiayaan dari dana Bantuan Sosial menjadi Dana Tugas Pembantuan, dibawah ini tren realisasi capaian puskesmas yang menyelenggarakan Bantuan Operasional Kesehatan.

Grafik 18 Trend puskesmas yang merealisasikan BOK tahun 2011 – 2015

Pada tahun 2015, capaian realisasi BOK diatas angka standar yang telah ditetapkan yaitu sebesar 9.742 puskesmas dari target yang telah ditentukan pada tahun 2015 sebesar 9.719 puskesmas, capaia realisasi terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Rata-rata peningkatan jumlah puskesmas yang menyelenggarakan Bantuan Operasional Kesehatan per tahun sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 adalah 200 puskesmas per tahun.

Faktor Pendukung Keberhasilan

1) Ketersediaan Dana BOK cukup besar dan dapat melingkupi seluruh puskesmas di seluruh Indonesia

2) Adanya pertemuan penguatan MDGs yang diselenggarakan di 9 propinsi fokus A, sehingga memacu peningkatan kualitas dan cakupan program yang menggunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan.

t. Persentase realisasi administrasi dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Capaian indikator realisasi dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak pada tahun 2015 sebesar 73,63%, capaian ini tidak mencapai target dari angka yang telah ditetapkan pada tahun 2015 yaitu 90%. Angka capaian yang tidak mencapai target yang telah ditetapkan ini dikarenakan adanya efisiensi dan revisi anggaran sehingga pelaksanaan kegiatan mundur dari waktu yang telah dijadwalkan.

Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan terutama dalam dukungannya terhadap pencapaian target indikator meningkatnya

dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak adalah sebagai berikut:

 Dukungan penyelenggaraan kegiatan perencanaan dan penganggaran, dilakukan baik dalam level nasional ataupun asistensi langsung ke satuan kerja penyelenggara program Gizi dan KIA, dengan melakukan beberapa kegiatan diantaranya: Rapat Koordinasi penyusunan Petunjuk Perencanaan Program Gizi dan KIA tahun 2015-2016, Rapat Koordinasi teknis Konsolidasi antar dan inter bagian, pendampingan teknis perencanaan ke daerah dan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Ditjen Bina Gizi dan KIA dan berbagai kegiatan lainnya yang mendukung pencapaian indikator ini.

 Konsolidasi laporan keuangan Ditjen Bina Gizi dan KIA, peningkatan SDM pejabat Perbendaharaan, pengelolaan PNBP, Monev dan Bimtek Keuangan serta penyelesaian tindak lanjut LHP.

 Menyelenggarakan evaluasi pelaporan dilakukan dengan beberapa kegiatan diantaranya: supervisi terpadu program GIKIA, penyusunan pedoman dan format pencatatan pelaporan program Bina Gizi dan KIA secara terintegrasi.

 Dukungan Peraturan Perundang-undangan, di tingkat Setditjen Bina Gizi dan KIA seperti Permenkes, SK menkes ataupun

Rancangan Peraturan Pemerintah ikut mendukung dalam pelaksanaan program kerja di lingkungan Ditjen Bina Gizi dan KIA.

Faktor penghambat keberhasilan capaian indikator ini yaitu:

1) Adanya pemblokiran beberapa kegiatan di awal tahun 2015 karena belum diuraikan peruntukannya.

2) Adanya penghematan dan pemanfaatan anggaran belanja perjalanan

meeting/konsinyering Kementerian/Lembaga. Pemanfaatan efisiensi perjalanan dinas ini kemudian digunakan untuk kegiatan refocusing yang DIPA-nya baru disahkan pada bulan Agustus 2015.

dinas

dan

3) Adanya kebijakan mengenai larangan melakukan pertemuan konsinyering di hotel yang berimplikasi dengan postur RKAKL yang sudah ditetapkan dan berpengaruh pada pelaksanaan kegiatan.

4) Adanya usulan penghapusan catatan halaman IV DIPA lingkup Setditjen Bina Gizi dan KIA.

5) Kegiatan BOK untuk manajemen BOK tidak terealisasi, karena kegiatan tersebut masih dalam bentuk paket (1 PT) belum diuraikan, karena kegiatan manajemen sudah dialokasikan pada dukungan manajemen.

6) Adanya prioritas dalam penyelenggaraan kegiatan sehingga beberapa kegiatan tidak terealisasi karena keterbatasan waktu.