pemeriksaan perkara h.
Mengadakan penghentian penyidikan i.
Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, j.
Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang, di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang asing yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2 Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan, c.
Harus patut , masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, d.
Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan, e.
Menghormati hak asasi manusia.
E. Profesionalisme Polisi Ditinjau Dari Perspektif HAM Dalam
Melaksanakan Tindakan Paksa
KUHAP, UU tentang HAM maupun UUD 1945 yang telah diamandemen sendiri telah sama-sama menyatakan bahwasanya setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakukan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, khususnya dengan tegas mengatur kedudukan hak tersangka dalam setiap pemeriksaan. Oleh karena setiap pemerikaan dengan
menggunakan tindak kekerasan selayaknya dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM.
Adapun yang dimaksud dengan penyiksaan dan pelanggaran HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM terdapat pada Pasal 1 ayat 4 menyatakan :
penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah
dilakukan atau telah diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa
sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atau hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
Pasal 1 butir 6 menyatakan tentang pengertian pelanggaran hak asasi manusia, yaitu : setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termaksud aparat
negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Relevansi antara istilah “penyidikan” dengan hak asasi manusia terfokus pada hak tersangka dalam proses penyidikan. Polisi dalam perkara tindak pidana
umum seharusnya menghormati hak-hak tersangka, namun ternyata masih ada oknum yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap tersangka dan
memperlakukannya seolah-olah si tersangka adalah orang yang tidak patut hidup lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa peristiwa di bawah ini :
Dari data yang diperoleh oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan tahun 2010, terdapat cukup banyak kasus di Sumatera Utara yang merupakan
pelanggaran terhadap HAM.” Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia HAM yang dicoba untuk difokuskan ke dalam pelanggaran hak sipil dan politik HSP
dalam kenyataannya cukup tinggi, terutama yang dilakukan oleh aparat POLRI jika dibandingkan oleh aparat TNI, dan jumlah kasus seluruhnya ada 117 kasus.
Sebagai bahan acuan dapat dilihat tentang kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap tersangka dalam proses penyidikan.
BENTUK KEKERASAN ALAT YANG DIGUNAKAN
Penangkapan sewenang-wenang -
Dipukul kaki, tangan dan dada Benda tumpul dan sepatu
Disiksa badan dan kaki Benda tumpul dan kabel
Ditendang dada depan dan punggung belakang Benda tumpul dan sepatu
Disiksa bagian kepala dan jari kaki Benda tumpul dan kursi
Dipukul dada dan kaki Rotan
Dipukul dada dan badan Rotan dan besi
Dipukul bagian muka, dada, badan dan kaki, di sulut rokok
Bangku, hekter, senjata dan rokok Sumber:
Pengaduan keluarga korban oleh Divisi Hak-hak Sipil dan Politik LBH Medan, tahun 2010
Dari tabel di atas tampak bahwa para tahanan yang ada selalu mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polisi sejak mereka berada di tahanan sebagai tersangka atau terdakwa.
Meskipun hak-hak tersangka telah tercantum dalam undang-undang, namun nyatanya Polisi sebagai penyidik tidak memperhatikan ketentuan yang diatur oleh undang-undang, sehingga
dapat dikatakan telah terjadi tindakan yag menympang. Terhadap tindakan yang menyimpang ini, secara otomatis perkaranya dimungkinkan pembatalannya, meskipun secara faktual maupun yuridis
menjurus pada kesalahan dari si tersangka.
Contoh dapat dilihat pada bunyi Pasal 52 KUHAP : “Dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim.” Memori penjelasan dari pasal ini menyebutkan agar supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya, maka
tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Selanjutnya pada Pasal 117 KUHAP dinyatakan bahwa “keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun.”
Masalah hak asasi manusia, dalam pembahasan ini yaitu tersangka, sebagaimana yang dijelaskan dalam kedua pasal di atas, haruslah diartikan sedemikain rupa bahwa keterangan yang
diberikan oleh si tersangka itu bersumber pada free will kehendak bebas, sehingga penyidik tidak diperkenankan untuk mencari keterangan yang tidak diberikan secara bebas. Tidak dipenuhinya
persyaratan ini menimbulkan persoalan pembuktian yang diperoleh oleh penyidik besumber dari kondisi tersangka yang terpaksa tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bukti. Sebagai
perbandingan, di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggeris, suatu perolehan pembuktian secara tidak sah berkaitan dengan Exclusionary Rules, yaitu
suatu aturan yang berlaku umum dan berisikan larangan penggunaan alat-alat bukti yang dilakukan untuk melindungi tersangka dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penyidik dalam proses
penyidikan. Pada penjelasan sebelumnya telah diterangkan tentang hak-hak tersangka dalam proses
penyidikan. Kalau saja hak-hak tersebut benar-benar didapat si tersangka, maka akan kecil kemungkinan bahwa tersangka akan besinggungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
dengan mendapat tindakan kekerasan dari penyidik dalam proses pemeriksaanpenyidikan. Perlingungan terhadap tersangka terutama yang menyangkut tentang hak asasi manusia
adalah sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara tersangka dengan pelaku penegakan hukum, dalam halini penyidik, yaitu Proses perkara pidana merupakan suatu peraturan dimana
seorang tersangka akan berhadapan dengan negara melalui aparatur-aparaturnya. Untuk itu maka
garansi hak-hak asasi manusia harus diperkuat, karena jika tidak maka pertarungan akan timpang. Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peraturan
hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting. Hal ini penting karena sebagian besar dalam rangkaian proses hukum acara pidana menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak asasi
manusia, mulai dari penangkapan, penahanan hingga penghukuman yang pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap hak asasi manusia.
KUHAP sendiri salah satu alat perlindungan bagi tersangka tidak ada mengatur secara jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh tersangka jika ternyata tersangka mendapat
perlakuan yang tidak semestinya, atau dengan kata lain poilsi sebagai pejabat penyidik telah melakukan tindakan yang menyimpang dari ke wenangannya. Dalam penjelasan umum KUHAP
angka 3 dijelaskan bahwa karena itu undang-undang ini mengatur tentang hukum acara pidana wajib didasarkan pada falsafahpandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka seharusnya
didalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga negara dimuka, maupun asas yang akan disebutkan selanjutnya.
Di dalam undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kehakiman yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan
yang terakhir digantikan dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dijumpai adanya asas-asass yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat
serta martabat manusia yang antara lain adalah : 1.
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang untuk oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan
undang-undang; 3.
Setiap orang yang disangka, ditahan dan dituntut aataupun dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Kepada seseorang yang dianggap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yanga berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan
rehabilitasi sejak ditingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. 6.
Setiap orang yang tersangka perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaann dirinya.
7. Kepada seorang tersangka, sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib
diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam hal yang diatur
undang-undang. 10.
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tindakan menyimpang sama proses penyidikan bukanlah sebagai suatu kejadian yang jarang ditemukan, bahkan sebaliknya hal itu merupakan sebagai suatu kejadian yang jarang
ditemukan, bahkan sebaiknya hal itumerupakan metode yang dianggap “wajar” oleh pejabaat
penyidik. Oleh karena itu, kenyataan yang ada dari due process model menghendaki adanya suatu penelitian untuk setiap proses.
Hal ini dapat diterima karena dalam due process modek sejak semula didasarkan pada pelaksanaan aturan acara pidana mana yang benar dan aturan mana merupakan suatu aturan yang
menjaga hak asasi manusia. Karenanya, jika terjadi suatu kesalahan dalam penerapan pelaksanaan aturan acara pidana, maka dengan sendirinya proses perkara tersebut dianggap batal, karena dengan
demikian telah dianggap menyalahi hak asasi manusia seseorang, dan hal ini tentu saja tidak akan dibenarkan.
Untuk negara Indonesia sendiri, harus diakui asas-asas yang terkandung dalam KUHAP telah cukup inovatif, dan bahkan pengaturannya mengandung paralel dengan instrumen hukum
internasional. Hal ini juga terjadi pada hukum acara pidana dengan adanya kemajuan yang berkaitan dengan hak-hak tersangka. Namun demikian juga terjadi pelanggaran hak-hak tersangka,
seperti tindakan kekerasan dan penyiksaan selama proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, maka bagaiman pengaturan pencegahannyam, tindakan akibat hukumnya, dan lembaga apa yang
berwenang melakukan pengawasan, KUHAP sama sekali tidak mengaturnya secara jelas. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan
pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku, demi untuk
kelancaran penyelesaian pemeriksaan dengan hukum dan undang-undang adalah merupakan perkosaan terhadak hak asasi tersangka, yang merupakan tindakan yang tidak sah.
Untuk hal tersebut, karena secara terperinci tidak ada diatur di dalam KUHAP, maka bagi para korban penyiksaan dan tindak kekerasan ini dapat melakukan upaya hukum dengan
mengajukan pra peradilan. Pra peradilan berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa.
Pasal 1 butir 10 menegaskan Pra peradilan adalah wewenang pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atau
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan merupakan lembaga
peradilan yang berdiri sendiri. Praperadilan merupakan suatu sarana dalam melakukan pengawasan secara horizontal yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa dalam
tingkat penyidikan maupun penuntutan. Pra peradilan tidak mempunyai kewenangan pengawasan yang meliputi tindakan penyidik yang menyimpang selama proses penyidikan dalam hal
pemeriksaan yang menyangkut adanya tindak kekerasan, penganiayaan terhadap tersangka dan bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang untuk memberi putusan
akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Pra peradilan merupakan suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya adalah sebagai berikut :
1 Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap peradilan negeri pra peradilan
sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.
2 Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar
dengan pengadilan negeri. 3
Administrasi yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, berbeda di bawah piminan serta pengawasan dan pembinaan
ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. 4
Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial dari pengadilan negeri itu sendiri.
22
Dari penggambaran ciri di atas, eksistensi atau keberadaan serta praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri. Itu hanyalah merupakan wewenang khusus yang dilimpahkan
KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi dari pengadilan itu sendiri.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya peraperadilan sangat sulit, sehingga terhadap pemeriksaan yang dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan terjadap tersangka
menimbulkan kesulitan, apalagi dengan penyiksaan phisikis yang tidak meninggalkan bekas sama sekali, hanya yang paling dekat jaminan pelaksanaan prperadilan atas adanya tindak kekerasan
22
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 515.
dalam proses penyidikan adalah dengan mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar alasan bahwa pemeriksaan telah dilakukan tanpa alasan undang-undang.
BAB III PENEGAKAN HUKUM UNTUK PERLINDUNGAN HAK DI INDONESIA