Gambaran Leukosit Setelah Pemberian Infusa Sambiloto (Andrographis paniculata) Pada Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei

(1)

GAMBARAN LEUKOSIT SETELAH PEMBERIAN

INFUSA SAMBILOTO (

Andrographis paniculata

)

PADA MENCIT YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

APRIANI SOSILAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul Gambaran Leukosit Setelah Pemberian Infusa Sambiloto (Andrographis paniculata) pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei adalah karya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penlis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2011

Apriani Sosilawati


(3)

ABSTRAK

APRIANI SOSILAWATI. Gambaran Leukosit Setelah Pemberian Infusa

Sambiloto (Andrographis paniculata) Pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei. Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa daun sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap persentase diferensial leukosit mencit (Mus muculus) yang diinfeksi Plasmodim berghei. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan dan mencit betina yang diinfeksi dengan

Plasmodium berghei. Rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan digunakan pada penelitian ini. Mencit dibagi dalam lima kelompok yaitu 1) kontrol normal/KNO (tidak diinfeksi dan tidak diberi infusa A. paniculata), 2) kontrol negatif/KN (diinfeksi dan tidak diberi infusa A. paniculata) dan kelompok perlakuan infusa sambiloto dengan pengenceran 1x10-2 (SB1), 1x10-4 (SB2) dan 1x10-6 (SB3).

Hasil penelitian menunjukkan pemberian infusa sambiloto pada mencit jantan kurang berespon terhadap persentase neutrofil dibandingkan dengan mencit betina. Pada mencit betina, kelompok sambiloto memiliki persentase neutrofil yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok KN dan mencit jantan. Pada mencit betina kelompok SB3, persentase jumlah neutrofil terendah ada pada hari ke-4 setelah infeksi (22.67%). Pada mencit jantan, kelompok SB2 memiliki persentase monosit tertinggi dihari ke-9 setelah infeksi (14%), persentase limfosit dihari ke-11 setelah infeksi (53.67%) sedangkan persentase monosit pada mencit betina pada kelompok SB3 tertinggi pada hari ke-11 setelah infeksi (13.67%) dan persentase limfosit tertinggi ada pada hari ke-9 setelah infeksi 60.00%. Pada kelompok sambiloto baik pada mencit jantan maupun betina tidak berespon terhadap persentase basofil.

Kata kunci: Plasmodium berghei, infusa Andrographis paniculata, mencit, leukosit.


(4)

ABSTRACT

APRIANI SOSILAWATI. Leucocyte Profil After Given Sambiloto Leaf (Andrographis paniculata) infusion On Mice Was Infected By Plasmodium berghei. Under direction of UMI CAHYANINGSIH.

This research was conducted to determine the effect of Andrographis paniculata infusion to the percentage of differential leucocyte mice (Mus musculus) that was infected by Plasmodium berghei. This research used totally 30 mice such as male and female mice, the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three replication. The five groups were 1) normal control group/KNO, 2) negative control group/KN, 3) SB1 group (A. paniculata infusion with dilutions of 1x10-2), 4) SB2 group (A. paniculata

infusion with dilutions of 1x10-4), and 5) SB3 group (A. paniculata infusion with dilutions of 1x10-6).

The result indicated that A. paniculata infusion in male mice had lower response compared to female mice. In female mice, A. paniculata group had a lower neutrophil counts compared to KN and male mice. In SB3 group of female mice, the lowest neutrophil percentage was found in day 4 after infection (22.67%). In SB2 group of male mice, the highest monocyte percentage was found in day 9 after infection (14%), the lymphocyte percentage in day 11 after infection (53.67%) while in SB3 group of female mice, the percentage of monocytes was the highest in day 11 after infection (13.67%) and the percentage of lymphocyte was the highest in day 9 after infection (60.00%). In A. paniculata

group of male and female mice, no responses were found in the number of basophil.

Keywords: Plasmodium berghei, Andrographis paniculata infusion, mice, leucocyte.


(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

GAMBARAN LEUKOSIT SETELAH PEMBERIAN

INFUSA SAMBILOTO (

Andrographis paniculata

)

PADA MENCIT YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

APRIANI SOSILAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Judul :Gambaran Leukosit Setelah Pemberian Infusa Sambiloto (Andrographis paniculata) pada Mencit yang Diinfeksi

Plasmodium berghei

Nama :Apriani Sosilawati NIM :B04061807

Disetujui,

Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB


(8)

PRAKARTA

Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah dan Ibu tercinta yang tidak lelah dan letih memberikan semangat dan doa untuk penulis.

2. Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS sebagai pembimbing atas bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis.

3. Drh. Titiek Sunartatie, M.Si sebagai dosen Pembimbing Akademik.

4. Adik-adikku tercinta, Ian, Alek, dan Anti yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

5. Keluarga besar Om Lius, Nenek, Bi Een, Lenda, Novi, Abi, Agil, Uu Memeh, Teh Fita, Mang Yadi, Uu Amir dan keluarga, Uu Karno dan keluarga, Susi Nia, Besa Iyas, dan Olga yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

6. Kerabat-kerabat Alm Mas Larno, Mba Ira, Mb Enur, Mba Widha, Mas Teguh, Mas Yadi, Pak Hasrul, Pak Ahyar, Pak Yudi, Bang Mae, Mas Boncos dan Aa Wawan yang telah memberi semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

7. Pak Komar, pak Saryo, Pak Eman dan Ibu Nani yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Teman-teman sepenilitian (Nanda dan Septi).

9. Januar Satya Nugraha yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat.

10.Sahabat-sahabatku tercinta yang selalu memberi semangat dan perhatian antara lain Fera, Wike, Arum, Ria, Vivi, Lina, Fitri, Siti, Anggun, Dila, Kukur, Asme, Mike, MBith, Ipin, Rizky, Sekar, Rini, Laras, Mela, Tya, Mba Helny, Mba Dian, Mba Wenny dan Mas Wawan.

11.Teman-teman Aesculapius yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

12.Teman-teman TPB tercinta Icha, Thea, Enur dan Nenny yang selalu memberikan motivasi.

13.Teman-teman SMA Siti, Dita, Fajri, Fitri, Febi, Alysti, Nijma, Tiwi, Yoga, Mbe, Azu, Sobari, Alfon, Eko, P-Man, Suhe, Doko, Zun, TB, Beto, 14.Teman-teman Ornithologi dan Unggas yang menemani penulis selama

perkuliahan di FKH IPB.

15.Teman-teman Gang Cangkir Isnia, Arin, Suci, Lina, Andri, Sisi, Mila, Icha, Merry, Tya, dan Chaca.

Bogor, Januari 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 07 April 1987. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Jonas The dan Darti Sumiati.

Pendidikan formal dimulai dari pendidikan Dasar yang diselesaikan pada tahun 2000 di SDN Tonjong I. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan tahun 2003 di SLTPN Bojonggede 2 Bogor dan Pendidikan Menengah Umum pada tahun 2006 di SMUN 6 Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai anggota dan pengurus Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2008-2009. Penulis juga mendapatkan beasiswa Supersemar tahun 2007-2008 dan BBM tahun 2009-2010.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan ……… 3

Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Plasmodiumberghei………...4

Klasifikasi………4

Siklus Hidup...5

Siklus Hidup Fase Seksua...…… 5

Siklus Hidup Fase Aseksual………6

Malaria………7

Mencit (Mus musculus)………..9

Klasifikasi………9

Morfologi dan Fisiologi ... 10

Sel Darah Putih (Leukosit) ... 10

Granulosit ... 11

Neutrofil ... 11

Eosinofil ... 12

Basofil ... 13

Agranulosit ... 13

Limfosit ... 13

Monosit ... 15

Sambiloto (Andrographis paniculata)………..16

Klasifikasi ... 16

Morfologi ... 16

Pertumbuhan ... 17

Kandungan ... 17

Manfaat Sambiloto ... 18

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Cara Kerja ... 19

Preparasi Hewan Coba ... 19

Kandang Hewan Coba ... ...19

Pakan dan Minum………...…20

Pengambilan Darah pada Mencit………...20

Penyimpanan dan Pembuatan Stok P. berghei………..20

Pembuatan Infusa Sambiloto………...…...…20

Infeksi P. berghei. ... 21

Kelompok Perlakuan Penelitian………...…...21

Pemberian Infusa Sambiloto pada Mencit………...…..21


(11)

x

Preparasi Ulas Darah………...….21

Pengamatan Preparat Ulas Darah……….…….…...…..22

Perhitungan Diferensial Leukosit………...22

Pengolahan Data………..………...………….…...…...22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan………..………...…...23

Neutrofil pada Mencit Betina………...………...…..24

Monosit pada Mencit Jantan………...….26

Monosit pada Mencit Betina………...….27

Limfosit pada Mencit Jantan………...…...…..29

Limfosit pada Mencit Betina………...…..30

Eosinaofil pada Mencit Jantan………...…...32

Eosinofil pada Mencit Betina………...……….…33

Basofil pada Mencit Jantan…...………35

Basofil pada Mencit Betina………...………....36

Pembahasan………...………38

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan………...……40

Saran………. ………..……...……..41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai Fisiologi Mencit………...……….10

2 Persentase Rata-rata Neutrofil Pada Mencit Jantan………..….25

3 Persentase Rata-rata Neutrofil Pada Mencit Betina……….………..25

4 Persentase Rata-rata Monosit Pada Mencit Jantan……….28

5 Persentase Rata-rata Monosit Pada Mencit Betina………....………28

6 Persentase Rata-rata Limfosit Pada Mencit Jantan…………...……...…31

7 Persentase Rata-rata Limfosit Pada Mencit Betina……….…...31

8 Persentase Rata-rata Eosinofil Pada Mencit Jantan………..….…34

9 Persentase Rata-rata Eosinofil Pada Mencit Betina...……….….……..…34

10 Persentase Rata-rata Basofil Pada Mencit Jantan………..37


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Plasmodium berghei………..…………5

2 Siklus Hidup Plasmodium sp………...….7

3 Mus musculus albinus……….………..9

4 Neutrofil………..12

5 Eosinofil………..………12

6 Basofil………..……….…..13

7 Limfosit……….…………..14

8Monosit……….……….……..15

9 Sambiloto………...……….17

10 Rata-rata persentase neutrofil mencit jantan………...…..23

11 Rata-rata persentase neutrofil mencit betina………...…24

12 Rata-rata persentase monosit mencit jantan………..………...…26

13 Rata-rata persentase monosit mencit betina………...…....27

14 Rata-rata persentase limfosit mencit jantan………...…....29

15 Rata-rata persentase limfosit mencit betina………...30

16 Rata-rata persentase eosinofil mencit jantan………...….…32

17 Rata-rata persentase eosinofil mencit betina……...………....…...…33

18 Rata-rata persentase basofil mencit jantan………..……...…....…35


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa parasit termasuk golongan Plasmodium, dengan proses penularannya melalui gigitan nyamuk

Anopheles, Culex, Aedes spp (Smyth 1976).

Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria. Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56.6 juta pertahun.

Berbagai upaya pemberantasan malaria telah dilakukan tetapi prevalensi malaria masih tetap tinggi, hal ini disebabkan adanya berbagai hambatan dalam pemberantasan malaria di antaranya resistensi vektor terhadap insektisida dan resistensi parasit terhadap obat antimalaria (Soedarto 1990). Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika serikat pada tahun 1962. Mulai dari kejadian ini resistensi menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan di Samarinda pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus menyebar dan pada tahun 1996 kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia. Dengan menyebarnya resistensi parasit malaria terhadap klorokuin dan sulfadoxin – pirimetamin ini mengakibatkan pemberantasan malaria menjadi semakin rumit


(15)

sementara mekanisme terjadinya resistensi belum diketahui pasti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Biomolekuler Eijman, Jakarta yang menyatakan bahwa hampir 100% parasit malaria di Indonesia telah mengalami mutasi gen dan kebal terhadap klorokuin dan antara 30-100 % kebal terhadap sulfadoxin – pirimetamin.

Tingginya kejadian resistensi ini mulai banyak digunakan tanaman obat sebagai alternatif untuk mengatasi resistensi parasit malaria. Data menunjukkan, ada sekitar 9.606 spesies tanaman obat namun baru 350 spesies yang teridentifikasi dan baru 3-4 persen di antaranya dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial. Penggunaan tanaman obat menjadi pilihan utama bagi sebagian masyarakat saat ini karena mulai banyaknya masyarakat yang mengetahui sedikitnya efek negatif yang ditimbulkan oleh tanaman obat. Tanaman obat yang biasa digunakan salah satunya adalah sambiloto. Tanaman sambiloto sebagai salah satu bahan obat tradisional semakin banyak peminatnya sehingga permintaan akan sambiloto sebagai bahan ramuan semakin meningkat. Khasiat daun sambiloto yang sudah banyak digunakan dan diakui khasiatnya yaitu sebagai obat antimalaria. Selain itu ternyata daun ini juga bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh atau stamina.

Plasmodium berghei adalah suatu hemoprotozoa yang menyebabkan malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil (Dewi dan Sulaksono 1994). Roden merupakan hewan percobaan yang mudah ditangani, banyak keturunan, dan mudah dalam pemeliharaan (Malole dan Pramono 1989). Hal ini diperkuat dengan adanya analisa molekuler yang menemukan persamaan antara malaria pada roden tersebut dengan P. falciparum. Penelitian mengenai imunologi dan obat malaria banyak menggunakan P. berghei dan mencit sebagai induk semangnya (Dewi dan Sulaksono 1994).

Dalam penelitian in vivo (di dalam tubuh makhluk hidup), daun sambiloto memang tidak mematikan P. berghei pada mencit. Namun, mencit yang tertular bisa diperpanjang masa hidupnya karena hati dan limpanya terlindung dari kerusakan (Anonim 2009a). Dengan demikian penggunaan daun sambiloto dapat menunjang penggunaan obat plasmodicide (bersifat menghancurkan plasmodia). Ekstrak tanaman ini mempunyai aktifitas antimalaria dengan cara menghambat


(16)

pertumbuhan P. falciparum in vitro (Widyawaruyanti 1995; Rahman et al. 1999). Uji in vivo dari ekstrak sambiloto terhadap P. berghei pada mencit juga menunjukkan aktivitas antimalaria (Rahman et al. 1999). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2009), infusa sambiloto memiliki aktifitas sebagai antiplasmodial dengan pengenceran bertingkat yaitu 1x10-2, 1x10-4 dan 1x10-6. Hal ini terlihat dari persentase parasitemia yang lebih rendah pada tingkat pengenceran 1x10-4 untuk mencit jantan dan 1x10-6 untuk mencit betina. Selain sebagai antiplasmodial, sambiloto juga berfungsi sebagai imunostimulan dan antiinflamasi. Fungsi ini dapat diketahui salah satunya dengan melihat gambaran leukosit mencit yang diinfeksi P.beghei setelah pemberian infusa sambiloto sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

Leukosit merupakan sel yang aktif dalam sisitem pertahanan tubuh. Sel leukosit sebagian dibentuk di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfoid (Guyton 1996). Leukosit terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu leukosit granul dan leukosit agranul. Leukosit granul terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil sedangan leukosit agranul hanya terdiri dari limfosit dan monosit (Frandson 1996). Tiap jenis leukosit memiliki fungsi dan peran masing-masing. Menurut Nordenson (2002), respon leukosit muncul dalam keadaan fisiologis maupun patologis. Respon yang ditimbulkan berupa penurunan maupun peningkatan salah satu atau beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat membantu dalam mendiagnosa penyakit yang disebabkan oleh parasit (Jain 1993).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa daun sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap persentase diferensial leukosit mencit (Mus muculus) yang diinfeksi Plasmodim berghei.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mencit yang di infeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto terhadap respon kekebalan dilihat dari gambaran leukosit.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Plasmodium berghei

Klasifikasi

Menurut Levine 1990, klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Protozoa Subfilum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Subkelas : Coccidiasina Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Haemospororina Famili : Plasmodiidae Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium berghei

P. berghei adalah hemoprotozoa yang menyebabkan malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. P. berghei banyak digunakan dalam penelitian pengembangan biologi parasit malaria pada manusia karena sudah tersedianya teknologi pembiakan secara in vitro dan pemurnian pada tahapan siklus hidup, pengetahuan pada susunan genom dan pengaturannya dan sebagainya. Bahkan secara analisis molekuler P. berghei sama seperti golongan Plasmodium yang menginfeksi manusia dengan model ini kemungkinan dapat dilakukan manipulasi pada hospes sehingga dapat dipelajari perubahan imunologis yang terjadi selama infeksi malaria (Jekti et al. 1999).

P. berghei memiliki induk semang invertebrata dan vertebrata. Anopheles dureni merupakan indung semang avertebrata sedangkan induk semang vertebratanya adalah Thamnomys surdaster, Praomysjacsoni dan Leggada bella


(18)

Gambar 1. P. berghei (Anonim 2007b)

Siklus Hidup

P. berghei memiliki dua tahapan siklus hidup, yaitu tahap siklus hidup seksual yang berlangsung di dalam tubuh nyamuk dan tahapan aseksual dalam tubuh induk semang vertebrata.

Fase Seksual

Bila nyamuk Anopheles spp betina menghisap darah induk semang yang mengandung parasit malaria, parasit aseksual dicerna bersamaan dengan eritrosit tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi empat sampai delapan yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Proses ini disebut dengan eksflagelasi yang hanya berlangsung beberapa menit. Gametosit kemudian mengalami proses pematangan (maturasi) menjadi mikrogamet dan makrogamet. Dalam lambung nyamuk, gamet jantan (mikrogamet) tertarik oleh gamet betina (makrogamet) yang membentuk tonjolan kecil tempat masuknya mikrogamet sehingga pembuahan berlangsung. Hasil pembuah ini disebut dengan zigot.

Pada permulaan, zigot merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak tetapi dalam waktu 18-24 jam menjadi bentuk panjang dan bergerak yang disebut dengan ookinet. Ookinet ini kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat (ookista). Jumlah ookista pada lambung Anopheles spp berkisar antara beberapa buah sampai beberapa ratus buah. Ookista makin lama makin besar membentuk bulatan-bulatan semitransparan dengan ukuran 40-80 mikron dan mengandung butir-butir pigmen. Bila ookista makin membesar dan intinya membelah maka pigmen tidak


(19)

akan tampak lagi. Inti yang sudah membelah dikelilingi oleh protoplasma yang berbentuk panjang dengan kedua ujungnya runcing dan inti ditengah (sporozoit). Kemudian ookista pecah, ribuan sporozoit dikeluarkan dan bergerak dalam rongga badan nyamuk untuk mencapai kelenjar liur. Sporozoit-sporozoit menandakan berakhirnya fase seksual (Noble dan Noble 1989).

Fase Aseksual

Bila nyamuk Anopheles spp betina yang mengandung parasit malaria dalam kelenjar liurnya menusuk induk semang vertebrata, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui probosis yang ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan setelah setengah jam sampai satu jam masuk ke dalam sel hati. Proses ini disebut dengan skizogoni praeritrosit. Inti parasit membelah diri berulang-ulang. Pembelahan inti disertai dengan pembelahan sitoplasma yang mengelilingi tiap inti sehingga terbentuk beribu-ribu merizoit berinti satu dengan ukuran 1.0 sampai 1.8 mikron.

Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk diperedaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa difagositosis. Merozoit yang dilepaskan oleh skizon mulai menyerang eritrosit. Invasi merozoit bergantung pada interaksi reseptor eritrosit, glikoforin dan merozoit sendiri. Sisi anterior merozoit melekat pada membran eritrosit kemudian membrane merozoit menebal dan bergabung dengan membrane plasma eritrosit lalu melakukan invaginasi membentuk vakuol dengan parasit di dalamnya. Stadium termuda dalam darah berbentuk bulat dan kecil, beberapa diantaranya mengandung vakuol sehingga sitoplasma terdorong ke tepi dan inti berada di kutubnya, oleh karena sitoplasma mempunyai bentuk lingkaran maka parasit muda disebut bentuk cincin. Selama pertumbuhan bentuknya berubah-ubah menjadi tidak teratur yang disebut trofozoit. Parasit ini mencerna hemoglobin dalam eritrosit dan sisa metabolismenya berupa pigmen malaria (hemozoin dan hematin). Setelah masa pertumbuhan, parasit berkembang biak secara aseksual melalui proses skizogoni. Inti parasit membelah menjadi sebuah inti yang lebih kecil yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma (skizon). Skizon mengalami proses pematangan membentuk merozoit. Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah (sporulasi).


(20)

Kemudian merozoit memasuki eritrosit baru dan generasi lain dibentuk dengan cara yang sama. Sebagian merozoit tumbuh menjadi bentuk seksual (gametogensis). Bentuk seksual tumbuh tetapi intinya tidak membelah (Gandahusada et al. 2000).

Gambar 2. Siklus Hidup P. berghei (CDC 2009)

Malaria

Malaria merupakan salah satu penyakit paling fatal di dunia, khususnya di daerah tropis dan merupakan endemis di 102 negara dengan lebih dari setengah populasi di dunia beresiko terkena malaria (Symth 1994). Perjalanan malaria terdiri atas serangan demam yang disertai oleh gejala lain yang diselingi oleh periode bebas penyakit. Malaria disebabkan oleh infeksi parasit genus

Plasmodium yang memiliki gejala klinis khas yaitu demam naik turun dan teratur disertai menggigil. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk ke dalam alian darah. Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam tubuh induk semang sampai timbulnya gejala demam, biasanya berlangsung antara 8-37 hari (Gandahusada et al. 2000). Serangan demam malaria dimulai dengan gejala prodomal, yaitu lesu, sakit


(21)

kepala, disertai mual dan muntah. Demam biasanya bersifat intermiten (febris intermitten), dapat juga remiten atau terus menerus (febris kontinua). Menurut Gandahusada et al. (2000) serangan demam terdiri atas beberapa stadium:

1. Stadium menggigil

Dimulai dengan perasaan dingin sekali lalu denyut nadi cepat tapi lemah, bibir dan tangan menjadi biru, kadang disertai dengan muntah. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai satu jam.

2. Stadium puncak demam

Dimulai pada saat mengigil berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala hebat, mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Suhu tubuh mencapai 410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung selama dua sampai enam jam. 3. Stadium berkeringat

Dimulai dengan banyak berkeringat, suhu turun dengan cepat kadang sampai subnormal, stadium ini berlangsung sampai dua sampai empat jam. Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung delapan sampai duabelas jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia. Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut relaps. Relaps dapat bersifat rekrudensi (relaps jangka pendek) atau rekurens (relaps jangka panjang). Rekrudensi timbul karena parasit dalam darah menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu delapan minggu sesudah serangan pertama hilang sedangkan rekurens timbul karena parasit daur eksoeritrosit dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang. Bila infeksi malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps maka keadaan ini disebut periode laten klinis walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain seperti splenomegali.

Salah satu tanda khas pada infeksi malaria menahun adalah splenomegali. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Gangguan ini terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah makrofag limpa (hyperplasia makrofag).


(22)

Pada malaria menahun jaringan ikat semakin bertambah sehingga konsistensi limpa menjadi keras.

Pada malaria terjadi anemia. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokromik dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Anemia disebabkan oleh penghancuran eritrosit yang mengandung

parasit dan tidak mengandung parasit terjadi di dalam limpa (Noble dan Noble1989).

Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan hewan coba yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit memiliki sifat-sifat reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta siklus estrus yang pendek (Malole dan Pramono 1989). Hewan ini digunakan karena cukup efisien, mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas untuk pemeliharaanya, waktu kebuntingan yang singkat dan banyak memiliki anak per kelahiran.

Taksonomi mencit menurut Malole dan Pramono (1989) adalah: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus Musculus

Gambar 3. M. musculus albinus (CDC 2009

Morfologi Mencit

Mencit (M. musculus) adalah hewan pengerat yang memiliki variasi genetiknya cukup baik dengan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi


(23)

dengan baik. Menurut Suhana (1944) sifat biologis mencit mendukung mencit sebagai hewan percobaan dengan lama hidup 1-2 tahun. Walau ukuran tubuhnya kecil namun denyut jantungnya 600/menit dengan konsumsi oksigennya 1.7 ml/gr/jam. Susunan giginya 3/3, tidak ada taring dan premolar. Mencit memiliki tiga pasang mamae dibagian dada dan dua pasang mamae di daerah inguinal.

Perutnya terdiri dari bagian yang berkelenjar dan tanpa kelenjar (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1 nilai fisiologis mencit.

Kriteria Nilai

Frekuensi nafas 94-163/menit

Frekuensi jantung 325-780/menit

Volume darah 76-80 mg/kg

Tekanan darah 113-147/81-106 mm Hg

Butir darah merah 7.0-12.5 x 103/mm3

Hematokrit 39-49 %

Hemoglobin 10.2-16.6 mg/dl

Butir darah putih 6-15x 103

Neutrofil 10-40 %

Limfosit 55-95 %

Eosinofil 0-40 %

Monosit 0.1-3.5 %

Basofil 0-0.3 %

Platelet 160-410 x 103

Protein serum 3.5-7.2 g/dl

Albumin 2.5-4.8 g/dl

(Malole dan Pramono 1989)

Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit atau sel darah putih terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu granuler (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit). Pembagian ini berdasarkan pada ada atau tidak adanya butiran (granul) dalam sitoplasma (Frandson 1996).


(24)

Diferensiasi sel darah putih dilakukan dengan membedakan jumlah tiap sel leukosit dalam darah mencit. Menurut Suhana (1994) sel darah putih pada mencit adalah 6,0-12,0 x 106/mm3 dengan rincian neutrofil 12-30%, eosinofil 0.2-4%, basofil 0.03%, limfosit 55-85% dan monosit 1-12%.

Granulosit a. Neutrofil

Menurut Dellman dan Brown (1992) neutrofil dewasa berdiameter 10-12 mikrometer dengan sitoplasma beraspek kelabu pucat dan terdapat butir-butir halus berwarna ungu serta inti bergelambir. Neutrofil bersifat sangat reaktif, bersama makrofag biasanya menjadi sel leukosit yang datang pertama kali ke daerah yang terinfeksi (Martini 1992). Neutrofil menghancurkan benda asing atau agen penyakit dengan cara fagositosis. Enzim lisosom neutrofil dapat mencerna dinding sel bakteri, enzim proteolitik, mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase secara bersamaan bersifat letal bagi agen penyakit (Tizard 1982). Proses fagositosis ini kemudian dibantu oleh monosit yang mengalami transformasi ketika sel ini memasuki jaringan ikat dan menjadi sel-sel fagosit yang besar yang disebut sebagai makrofag. Semua proses ini adalah pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik.

Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang bersamaan dengan sel granulosit lainnya kemudian bersirkulasi atau disimpan dalam depo marginal neutrofil setelah 4-6 hari masa produksi. Neutrofil segera akan mati setelah melakukan fagosit terhadap agen penyakit dan akan dicerna oleh enzim lisosom kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman dan Brown 1992). Pada penyakit yang disebabkan oleh agen bakteri, umumnya terjadi peningkatan jumlah neutrofil dan akan tampak neutrofil muda. Jumlah neutrofil di dalam darah dipengaruhi oleh tingkat granulopoiesis, laju aliran sel darah dari sumsum tulang, pertukaran antar sel di dalam sirkulasi dan depo marginal, masa hidupnya dalam sirkulasi dan laju aliran sirkulasi darah menuju jaringan (Jain 1993).


(25)

Gambar 4. Neutrofil (Laszlo 2006)

b. Eosinofil

Eosinofil atau asidofil memiliki granul bundar dan besar yang berwarna cerah dengan pewarnaan Wright’s (Sturkie dan Grimminger 1976). Inti sel eosinofil memiliki dua lobus dan tidak multilobus seperti neutrofil (Caceci 1998). Sel eusinofil berukuran 10-12 mikrometer (Metcalf 2006) dan jangka hidupnya 3-5 hari dalam sirkulasi darah (Hartono 1992). Jumlah eosinofil sekitar 1-3% dari total leukosit dan akan meningkat bila terjadi reaksi alergi, infeksi parasit dan benda asing (Ganong 1983). Jumlah eosinofil cenderung rendah pada saat stress, pelepasan kortikosteroid dan infeksi akut (Jain 1993).

Gambar 5. Eosinofil (Laszlo 2006)

Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang, bersifat kurang fagositik namun bersifat kemotaksis (Ganong 1983). Sel ini mempunyai sifat amuboid dan fagositik untuk toksifikasi terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh dan racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme (1996). Eosinofil mengandung suatu komponen enzim yang sama dengan neutrofil tetapi tidak memiliki lisosim dan phagotisin namun mengandung kadar peroksidase yang tinggi dan histaminase (Rumawas 1989). Eosinofil berperan dalam mengatur alergi akut dan proses


(26)

peradangan, mengatur invasi parasit dan memfagositosis bakteri, antigen-antibodi komplek, mikroplasma dan ragi (Hartono 1992). Eosinofil dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi hipersensitifitas tipe 1 (Tizard 1982).

c. Basofil

Basofil merupakan leukosit granulosit yang berwarna biru sampai ungu dengan pewarnaan dan memiliki jumlah yang sedikit dalam darah normal (Frandson 1996). Memiliki diameter antara 10-15 mikrometer dengan inti dua bergelambir atau bentuk inti tidak teratur. Menurut Metcalf (2006) sel ini berjumlah 0,5-1% atau 3.1% (Sturkie dan Grimminger 1976) dari jumlah total sel darah putih.

Gambar 6. Basofil (Laszlo 2006)

Basofil dapat merangsang reaksi hipersensitifitas dengan pelepasan mediator radang dan alergi (Frandson 1996). Pada saat terjadi peradangan, basofil akan melepaskan histamine, heparin, bradikinin dan serotonin sehingga menyebabkan alergi (Tizard 1982). Heparin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah akan mencegah terjadinya penggumpalan darah dan dapat mempercepat pelepasan jaringan lemak dari darah (Ganong 1983). Basofil memiliki fungsi penting namun diantaranya belum diketahui secara pasti (Martini 1992).

Agranulosit a. Limfosit

Limfosit adalah leukosit agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie dan Grimminger 1976). Beberapa limfosit dibentuk dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dibentuk di dalam limfonodus, timus dan limpa (Ganong 1983). Limfosit juga diproduksi di daun peyer dan tonsil (Lubis 1993). Limfosit memiliki nukleus yang relatif besar dan dikelilingi oleh


(27)

sitoplasma (Frandson 1996). Umumnya limfosit memiliki inti bulat dan berwarna ungu (Dellman dan Brown 1992). Menurut morfologinya dibedakan atas tipe kecil dan tipe besar. Tipe kecil merupakan limfosit dewasa dengan diameter 6-9 mikrometer serta perbandingan sitoplasma 1:9 dan inti bulat heterokromatik. Tipe besar merupakan limfosit muda yang jarang ditemukkan pada sirkulasi darah dengan karakteristik diameter 915 mikrometer, perbandingan sitoplasma inti sebesar 1:1, inti melekuk heterokromatik dan dikelilingi sitoplasma (Microanatomy 1999).

Gambar 7. Limfosit (Laszlo 2006)

Limfosit memiliki fungsi utama yaitu memiliki respon benda asing dan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 1982). Di dalam darah, limfosit terbagi atas tiga tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut sel null. Tipe sel B hanya terdapat sekitar 10-12% dan berperan dalam kekebalan humoral yang akan membentuk sel memori dan sel plasma. Sel plasma akan membentuk antibodi. Sel B diproduksi di sumsum tulang, limfonoduli dan limpa yang dipengaruhi oleh interferon-Y (Jain 1993). Limfosit dan turunannya berperan dalam kekebalan selular (Ganong 1999). Menurut Dellman dan Brown (1992) sel limfosit T terdiri atas limfosit T-killer

(cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper (Th cell), limfosit T-supresor (Ts cell). Limfosit menghasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration inhibitor faktor yang mencegah perpindahan makrofag. Zat lain yang dihasilkan limfosit adalah faktor kemotaksis untuk makrofag, lymphocyte transforming substance dan faktor peradangan (Dellman dan Brown 1992). Limfosit dalam darah dipengaruhi oleh jumlah produksi, sirkulasi dan proses penghancuran limfosit (Jain 1993).


(28)

b. Monosit

Monosit merupakan leukosit agranulosit yang diproduksi di sumsum tulang dan retikuloendotelial sistem limpa (Swenson et al. 1993), memiliki jumlah antara 3.5%-8% dari jumlah leukosit dalam darah (Metcalf 2006). Monosit memiliki diameter 15-20 mikrometer dan nucleus yang besar serta sitoplasma yang besar tanpa granul (Dellman dan Brown 1992). Nukleus monosit berbentuk tapal kuda. Monosit memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah dengan sedikit kemampuan melawan agen penyakit kemudian masuk ke dalam jaringan menjadi makrofag (Ganong 1999). Monosit berperan penting dalam reaksi imunologi dengan cara membentuk protein dari suatu komplemen dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson et al. 1993). Monosit pada jaringan perifer disebut dengan makrofag yang sangat aktif setelah terjadi perlukaan. Makrofag dapat bersatu menjadi giant cell atau sel raksasa yang berfungsi memfagositasi antigen yang berukuran lebih besar ( Martini 1992). Makrofag memiliki kemampuan fagositasis yang lebih hebat dibandingkan neutrofil dan mampu memfagosit sebanyak 1000 bakteri (Guyton 1996).

Gambar 8. Monosit (Laszlo 2006)

Makrogaf aktif melepaskan bahan aktif yang berperan penting dalam proses peradangan dan memperbaiki luka. Bahan aktif yang dilepaskan oleh makrofag diantaranya plasma protein, platelet activating factor, faktor kemotaksis, sitokinin dan faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth factor, fibroblast growth factor, epidermal growth factor dan transforming growth factor. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang merangsang pembentukkan ujung endotel di akhir pembuluh darah (Vegad 1995).


(29)

Sambiloto Klasifikasi

Klasifikasi sambiloto (A. paniculata) menurut Hutapea dan Syamsuhidayat (1991) adalah:

Divisi : Spermatophyta Subdivis : Angiospermae Kelas : Dictyledonae Bangsa : Solanales Suku : Acanthaceae Marga : Andrographis

Jenis : Andrographis paniculata, Ness

Morfologi

Sambiloto adalah salah satu tanaman obat yang banyak digunakan. Sambiloto merupakan tanaman semak yang mempunyai banyak cabang yang berdaun dan tingginya bisa mencapai kurang lebih 90 cm. Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun sambiloto kecil-kecil berwarna hijau tua. Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus dan tangkai pendek (Prapanza dan Lukito 2003). Panjang daun 2-8 cm, lebar 1-3 cm (Widjayakusuma et al 1994). Bunganya berwarna putih keunguan, bunga berbentuk jorong (bulan panjang) dengan pangkal. Buah sambiloto berbentuk memanjang sampai lonjong dengan panjang sekitar 1.5 cm dan lebar 0.5 cm. Pangkal dan ujung buah tajam setelah masak buah akan pecah menjadi empat keping yang kecil dan berwarna cokelat muda (Muhlish 1998). Perbanyakan dengan stek batang juga relatif mudah dilakukan. Bagian yang biasa digunakan untuk obat tradisional adalah daun, batang, bunga dan bagian akar .


(30)

Gambar 9. Sambiloto (Anonim 2008c)

Pertumbuhan

Sambiloto tergolong tanaman terna (perdu) yang tumbuh diberbagai habitat, seperti pinggiran sawah, kebun atau hutan. Ketinggian tempat yang optimum bagi pertumbuhan dan produksi sambiloto adalah dari daerah pantai sampai ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Tinggi tempat ini erat hubungannya dengan suhu hangat yang berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologik tanaman dan akan mempengaruhi produksi sambiloto. Selama pertumbuhan tanaman sambiloto menghendaki banyak sinar matahari. Namun demikian tanaman ini masih tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi ternaungi sampai 30%. Tetapi jika budidaya dilakukan dengan kondisi naungan diatas 30%, mutusimplisia sambiloto cenderung menurun (Yusron et al. 2004).

Kandungan

Komponen utama sambiloto adalah andrographolid yang berguna sebagai bahan obat. Disamping itu, daun sambiloto mengandung saponin, falvonoid, alkaloid dan tanin. Kandungan kimia lain yang terdapat pada daun dan batang adalah laktone, panikulin, kalmegin dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit. Daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrographolid, andrographolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrographolid dan homoandrographolid, juga terdapat flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik dan damar. Flavonoid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0- metilwithin dan apigenin-7,4- dimetileter (Mahendra 2005).


(31)

Manfaat sambiloto

Banyak sekali manfaat dari daun sambiloto ini, diantaranya adalah untuk mengobati penyakit diabetes atau kencing manis, tifus dan ada juga yang mengatakan daun sambiloto juga bisa untuk penyakit gatal-gatal dan mencegah kanker. Secara tradisional sambiloto telah dipergunakan untuk pengobatan akibat gigitan ular atau serangga, demam, disentri, rematik, tuberculosis, infeksi pencernaan dan lain-lain. Sambiloto juga dimanfaatkan untuk antimikroba /antibakteri, antihyper-glikemik, antisesak napas dan untuk memperbaiki fungsi hati. Namun yang sudah banyak digunakan dan diakui khasiat dari daun ini adalah untuk mencegah malaria karena itu daun ini disebut juga obat antimalaria. Selain itu ternyata daun ini juga bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh atau stamina. Untuk tifus biasanya daun sambiloto ditambah dengan kunyit dan temulawak kemudian digodok dan air rebusannya diminumkan tiga kali sehari sampai yang menderita tifus sembuh sedangkan untuk diabetes lebih baik daun sambiloto dimakan atau dikunyah dalam keadaan masih segar (Anonim 2009c).

Berbagai penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, menemukan bahwa dibalik rasa pahit sambiloto, terkandung zat aktif androgapholid yang sangat bermanfaat untuk pengobatan. India juga sudah lama mengenal tanaman obat ini, bahkan sambiloto digunakan untuk memerangi epidemi flu di India pada tahun 1818 dan terbukti efektif. Di Cina, sambiloto sudah di uji klinis dan terbukti berkhasiat sebagai anti hepapatoksik. Di Jepang, sedang di jajaki kemungkinan untuk memakai sambiloto sebagai obat HIV dan di Skandinavia, sambiloto digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit infeksi (Zein 2005).


(32)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Protozologi dan Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hewan coba berupa mencit strain Swiss Albino, P. berghei, pewarnaan Giemsa, infusa sambiloto dengan beberapa pengenceran (1x10-2, 1x10-4, 1x10-6), metanol, pakan mencit (pellet ikan), xylol, kertas saring, tissue minyak emersi, posphate buffer saline

(PBS), larutan Hayem, NaCl fisiologis.

Alat yang digunakan adalah syringe 1 ml, syringe 10 ml, mikroskop cahaya, objek gelas, gelas ukur, timbangan listrik, cawan penguap, mortar, stempher, mikrohematokrit, pipet kapiler eritrosit, sonde lambung, kandang mencitdan lemari pendingin.

Cara Kerja

Preparasi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan mencit strain Swiss Albino jantan dan betina sebanyak 30 ekor yang memiliki berat 25 g berumur 1.5-2.5 bulan. Hewan tersebut diperoleh dari kandang mencit Taman Syifa. Mencit dipelihara dalam kandang yang cukup untuk 3-5 mencit.

Kandang Hewan Coba

Pada penelitian ini mencit yang digunakan ditempatkan di dalam kotak kandang yang terbuat dari polipropilen atau polikarbonat dan diberi alas kandang secukupnya. Kandang tersebut diberi penutup kawat untuk tempat makan dan botol minum (Malole dan Pramono 1989). Dalam satu kandang dipelihara mencit sebanyak 3-5 ekor.


(33)

Pakan dan Minum

Pakan yang diberikan untuk mencit berbentuk pellet secara tanpa batasan (ad libitum). Air minum diberikan dengan menggunakan botol melalui pipa gelas atau pipa logam (Smith dan Mangkoewidjojo 1998). Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole dan Pramono 1989).

Pengambilan Darah Pada Mencit

Darah diperoleh dari medial canthus sinus orbitalis dengan menggunakan mikrohematokrit atau tabung kapiler. Darah tersebut digunakan untuk stok

P. berghei.

Penyimpanan dan Pembuatan Stok Plasmodium berghei

Stok P. berghei diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang sudah diinfeksi selama lima hari pada mencit dan kemudian disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -700C (Jekti et al. 1996). Stok P. berghei dimasukan ke dalam mikrotube yang diberi heparin kemudian ditambahkan gliserol dengan tujuan agar darah tidak lisis dan rusak.

Pembuatan Infusa Sambiloto

Infusa sambiloto diperoleh dengan mengeringkan daun sambiloto kemudian direbus dalam air dengan perbandingan (25:100) sampai mendidih (900C) selama 10-15 menit (Wintarsih et al 2009) setelah itu disaring. Kadar sambiloto dalam infusa diukur dalam rotarioevaporator dan didapat kandungan sambiloto dalam cairan yaitu 0.98 g/ml.

Pengenceran yang digunakan yaitu 1x10-2, 1x10-4 dan 1x10-6. Pengenceran didapat dengan cara 1 ml infusa ditambah dengan 99 ml akuades kemudian dilakukan pengocokkan manual dengan menggunakan tangan sebanyak 170 kali dalam semenit dengan tujuan memperkecil partikel-partikel ekstrak sehingga mempercepat dan mempermudah perjalanan obat dalam tubuh mencit.


(34)

Infeksi P. berghei

P. berghei diinfeksikan pada mencit yang memiliki berat 25 g berumur 1.5-2.5 bulan secara intraperitoneal dengan dosis sebanyak 0.25 x 106 mm3/ ml per ekor. Dosis parasit ditentukan mula-mula dengan menghitung presentasi parasit dari ulasan darah yang diwarnai Giemsa kemudian dihitung jumlah parasit per jumlah eritrosit (Dewi et al 1996). Tahap selanjutnya yaitu perhitungan jumlah eritrosit dengan cara darah diencerkan dengan menggunakan larutan Hayem dalam pipet kapiler eritrosit kemudian dilakukan perhitungan eritrosit menggunakan Improved Neubauer Counting Chamber. Jumlah eritrosit didapat dengan membandingkan jumlah eritrosit dengan volume counted (0.02) lalu dikalikan dengan pengencer (200) per µl. Jumlah dosis parasit diperoleh dengan mengkalikan presentasi parasit dengan jumlah eritrosit yang telah dihitung dan dikonversikan menjadi per ml.

Kelompok Perlakuan

Penelitian ini menggunakan rancang acak lengkap (RAL) dengan tiga pengulangan. Dalam penelitian ini terdiri atas lima kelompok perlakuan yaitu kontrol normal (tanpa infeksi dan tanpa diobati), kontrol negatif (diinfeksi tanpa diobati), SB1 (infusa daun sambiloto dengan pengenceran 1x10-2), SB2 ( infusa daun sambiloto dengan pengenceran 1x10-4), SB3 (infusa daun sambiloto dengan pengenceran 1x10-6). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 3 ekor mencit jantan dan 3 ekor mencit betina.

Pemberian Infusa Sambiloto pada Mencit

Infusa sambiloto diberikan satu kali sehari setelah mencit diinfeksi secara peroral dengan menggunakan sonde lambung selama 4 hari setelah infeksi berturut-turut. Dosis pemberian sebanyak 0.5 ml/hari dengan kandungan sambiloto setiap pengenceran adalah 4.9 mg/0.5 ml, 0.049 mg/0.5 ml dan 0.00049 mg/0.5 ml.

Preparasi Ulas Darah

Pembuatan ulas darah dilakukan dengan cara pengambilan darah dari ekor mencit kemudian diteteskan pada gelas obyek pertama dengan posisi mendatar. Gelas obyek lain ditempatkan pada bagian darah tadi dengan posisi membentuk


(35)

sudut 45o sehingga darah menyebar sepanjang garis kontak antar kedua gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek didorong ke arah depan dengan cepat hingga terbentuk usapan darah tipis di atas gelas obyek. Ulas darah tersebut dikeringkan di udara kemudian difiksasi dengan mengunakan metanol selama 5 menit lalu dimasukkan ke dalam pewarnaan Giemsa selama 30 menit dengan perbandingan 1 bagian giemsa dan 1 bagian PBS (Phosphate Buffer Saline). Selanjutnya dicuci dengan air mengalir pada posisi miring dan dikeringkan di udara.

Pengamatan Preparat Ulas Darah Perhitungan Diferensial Leukosit

Setiap kelompok perlakuan kemudian diamati diferensial leukosit di bawah mikroskop dengan menggunakan minyak emersi dengan pembesaran 1000x. Setiap 100 leukosit yang ditemukan dihitung dan dikelompokkan ke dalam masing-masing jenis leukosit, yaitu neutrofil, monosit, limfosit, eosinofil dan basofil. Perhitungan leukosit menggunakan beberapa lapang pandang sepanjang ulasan yang digeser kearah tengah kemudian bergeser sejajar dengan tepi ulasan dan bergerak ke tepi kembali dan seterusnya sampai mencapai jumlah leukosit sebanyak 100. Nilai relatif leukosit yang ditemukan dinyatakan dalam satuan persen.

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan uji Analysis of Varian (ANOVA)-SPS-17- System kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang diberikan (Mattjik dan Sumertajaya 1999).


(36)

0 10 20 30 40 50

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

n

t

a

s

e KNO

KN SB1 SB2 SB3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap diferensial leukosit mencit (M. musculus) yang terinfeksi P. berghei, setelah pemberian infusa daun

sambiloto (A. paniculata), sebagai berikut :

Neutrofil Mencit Jantan

Hasil pengamatan persentase rata-rata neutrofil pada mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 10 Rata-rata persentase neutrofil pada mencit (M. musculus) jantan yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Berdasarkan Tabel 2 pada hari ke-2, 4, 6, 8 dan ke-10 setelah infeksi terlihat pada kelompok SB1, SB2 dan SB3 cenderung terjadi peningkatan persentase jumlah neutrofil dibandingkan dengan kelompok KN. Pada hari ke-2 dan ke-4 setelah infeksi, persentase jumlah neutrofil pada kelompok SB2 cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan kelompok KN, SB1 dan SB3.


(37)

Neutrofil Mencit Betina

Hasil pengamatan persentase rata-rata neutrofil pada mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 11 Rata-rata persentase neutrofil pada mencit (M. musculus) betina yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Berdasarkan Tabel 3 pada hari ke-4, 6, 8, 9, 10 dan ke-11 setelah infeksi, persentase jumlah neutrofil pada kelompok perlakuan SB3 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan KN, SB1 dan SB2. Secara keseluruhan, persentase jumlah neutrofil kelompok perlakuan sambiloto cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN.

0 10 20 30 40 50

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e KNO

KN SB1 SB2 SB3


(38)

Tabel 2 Rata-rata persentase neutrofil pada mencit (M. musculus) jantan yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 30.33 ± 10.40 abc 39.00 ± 0.00 bc 39.67 ± 8.96 bc 37.33 ± 3.78 cd 38.67 ± 12.50 bc 39.00 ± 14.00 bc 33.33 ± 19.00 abc 28.00 ± 5.00 abc

KN 30.00 ± 8.54 abc 28.67 ± 1.52 abc 32.67 ± 5.03 abc 21.00 ± 2.65 a 31.00 ± 8.72 abc 39.33 ± 16.20 bc 35.33 ± 3.06 abc 37.00 ± 10.82 bc

SB1 30.67 ± 8.33 abc 38.00 ± 3.46 bc 34.67 ± 4.04 abc 28.67 ± 3.78 abc 38.33 ± 1.52 bc 36.67 ± 1.52 bc 40.00 ± 1.00 bc 37.67 ± 1.00 bc

SB2 33.67 ± 5.85 abc 42.00 ± 6.55 c 39.67 ± 6.11 bc 41.00 ± 4.58 c 37.33 ± 2.52 bc 37.00 ± 2.00 bc 37.67 ± 3.22 bc 35.00 ± 3.46 abc

SB3 25.00 ± 2.64 ab 30.67 ± 8.50 abc 30.33 ± 17.38 abc 38.67± 1.52 bc 39.00 ± 0.00 bc 38.00± 0.00 cd 38.00± 0.00 cd 40.00 ± 0.00 bc

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6

Tabel 3 Rata-rata persentase neutrofil mencit (M. musculus) betina yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 26.33 ± 1.85 abcdefg 29.67 ± 15.89 abcdefg 31.00 ± 6.56 abcdefg 33.00 ± 5.29 bcdefg 41.67 ± 4.51 g 30.67 ± 3.21 abcdefg 27.33 ± 6.03 abcdefg 41.66 ± 13.58 g

KN 25.67 ± 1.53 abcdef 38.67 ± 2.08 cdefg 21.33 ± 9.07 a 39.00 ± 9.54 defg 39.67 ± 3.21 efg 41.50 ± 1.50 fg 40.00 ± 1.00 efg 42.00 ± 0.00 g

SB1 23.67 ± 4.35 abc 36.67 ± 3.05 abcdefg 25.00 ± 6.24 abcde 34.00 ±8.55 abcdefg 34.33 ± 17.50 abcdefg 40.00 ± 0.00 efg 38.67 ± 1.15 cdefg 40.00 ± 0.00 efg

SB2 26.33 ± 3.21 abcdefg 29.33 ± 10.50 abcdefg 38.67 ± 10.21 cdefg 30.33 ± 12.67 abcdefg 31.00 ± 3.00 abcdefg 38.67 ± 11.93 cdefg 35.33 ± 7.64 abcdefg 39.67 ± 14.98 efg

SB3 24.33 ± 5.04 abcde 35.67 ± 3.22 abcdefg 22.67 ± 4.72 ab 23.67 ± 11.02 abcd 30.67 ± 4.93 abcdefg 37.67 ± 6.51 bcdefg 29.67 ± 10.50 abcdefg 36.00 ± 6.00 abcdefg

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6


(39)

0 10 20

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO KN

SB1

SB2

SB3

Monosit Mencit Jantan

Hasil pengamatan persentase rata-rata monosit pada mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 12 Rata-rata persentase monosit pada mencit (M. musculus) jantan yang

diinfeksi P.berghei setelah pemberian infisa daun sambiloto

(A. panuculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-6, 8, 9, 10 dan ke-11 setelah infeksi, kelompok SB1, SB2 dan SB3 cenderung mengalami kenaikan persentase monosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok KN. Kelompok SB2 memiliki persentase jumlah monosit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan SB1 dan SB3 pada hari ke-2 dan ke-9 setelah infeksi.


(40)

0 10 20

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

rs

e

n

ta

s

e

KNO

KN

SB1

SB2

SB3

Monosit Mencit Betina

Hasil pengamatan persentase rata-rata monosit pada mencit betina diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 13 Rata-rata persentase monosit pada mencit (M. musculus) betina yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-2, 4, 6, 8, 9, dan 10 setelah infeksi, kelompok SB1, SB2 dan SB3 mengalami kenaikan persentase jumlah monosit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok KN. Pada kelompok SB3 memiliki persentase jumlah monosit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan SB1 dan SB2 pada hari ke-6 dan ke-11 setelah infeksi.


(41)

Tabel 4 Rata-rata persentase monosit mencit (M. musculus) jantan yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 4.00 ± 2.65 abc 11.33 ± 4.51bcde 8.33 ± 2.08 abcde 4.67 ± 4.62 abcd 12.67 ± 7.57 de 11.67 ± 3.21 bcde 10.00 ± 5.00 abcde 13.00 ± 2.00 de

KN 2.33 ± 0.57a 12.33 ± 5.13 cde 7.67 ± 4.51 abcde 8.33 ± 4.93 abcde 3.67 ± 1.54 ab 6.33 ± 8.39 abcde 5.00 ± 6.25 abcd 3.33 ± 1.53 abc

SB1 9.67± 4.50 abcde 6.67± 2.08abcde 8.67± 1.52 abcde 10.33± 1.52 abcde 6.67± 3.05 abcde 12.67± 3.21 de 10.67± 1.52 abcde 10.67± 3.21 abcde

SB2 8.33± 3.78 abcde 11.00± 8.18 bcde 5.67± 0.58 abcd 10.00± 4.58 abcde 7.67± 2.30 abcde 14.00± 8.00 e 8.00±2.64 abcde 8.33 ± 3.05 abcde

SB3 8.67± 6.42 abcde 9.33± 2.52 abc 11.67± 2.88 bcde 8.67± 5.50 abcde 11.00± 1.00bcdefgh 11.00± 0.00 bcde 10.00± 0.00 abcde 10.00± 00.00 abcde

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6

Tabel 5 Rata-rata persentase monosit mencit (M. musculus) betina yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 3.00 ± 1.73 ab 6.33 ± 1.53 abcd 9.00 ± 8.54 bdef 12.33 ±1.53 cdef 8.33 ± 2.31 abcd 9.33 ± 3.06 bcdef 9.67 ± 4.13 bcdef 6.00 ± 2.00 abc

KN 1.67 ± 0.58 a 3.33 ± 2.31 ab 6.00 ± 4.36 abc 8.67 ± 3.06 abcde 5.67 ± 5.69 abc 3.00 ± 1.00 ab 8.00 ± 2.00 abcd 9.50 ± 0.50 bcdef SB1 6.00 ± 2.00bc 7.67 ± 2.30 abcde 11.67 ± 1.15 cdef 8.67 ± 1.52 abcdef 13.00 ± 6.08 cdef 6.00 ± 3.00 abc 11.67 ± 6.65 cdef 6.00 ± 0.00 abc

SB2 8.33 ± 0.58 abcd 11.33 ± 1.52 cdef 8.33 ± 3.52 abcd 11.33 ± 6.02 cdef 12.00 ± 3.00 cdefg 16.00 ± 5.56 f 15.67 ± 3.78 ef 8.67 ± 2.52 abcde SB3 8.00 ± 3.60 abcde 8.33 ± 3.52 abcd 11.33 ± 3.52 cdef 12.67 ± 3.78 cdef 7.67 ± 1.15 cdef 11.67 ± 2.52 cdef 12.00 ± 4.00 cdef 13.67 ±0.57 def

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6


(42)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO KN SB1 SB2 SB3

Limfosit Mencit Jantan

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit pada mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 14 Rata-rata persentase limfosit pada mencit (M. musculus) jantan yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-4, 6, 8, 9, 10 dan ke-11 setelah infeksi, kelompok SB1, SB2 dan SB3 memiliki persentase jumlah limfosit yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok KN. Kelompok SB2 memiliki persentase jumlah neutrofil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok SB1 dan SB3 pada hari ke-8 dan ke-11 setelah infeksi.


(43)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0

2

4

6

8

9

10

11

Hari

P

e

r

s

e

n

t

a

s

e

KNO KN SB1 SB2 SB3

Limfosit Mencit Betina

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit pada mencit betina diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 15 Rata-rata persentase limfosit pada mencit (M. musculus ) betina yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-2, dan ke-4 setelah infeksi kelompok SB1, SB2 dan SB3, memiliki persentase jumlah limfosit yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok KN. Pada kelompok SB3, hari ke-6, 9 dan ke-10 setelah infeksi memiliki persentase jumlah limfosit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok SB1 dan SB2.


(44)

Tabel 6 Rata-rata persentase limfosit mencit (M. musculus) jantan yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun Sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 60.00 ± 16.37 bcd 47.67 ± 4.16 abcd 47.33 ± 10.50 abc 55.00 ± 3.00 abcd 46.67 ± 17.50 abc 45.33 ± 15.04 ab 54.00 ± 20.30 abcd 58.00 ± 3.00 abcd

KN 66.33 ± 9.54 abcd 52.33 ± 6.81 abcd 56.33 ± 9.81 abcd 68.67 ± 7.02 d 62.00 ± 9.54 bcd 52.33 ± 27.21 abcd 55.00 ±12.49 abcd 55.33 ± 13.65 abcd

SB1 55.33± 5.50 abcd 48.67± 7.09 abc 52.67± 3.78 abcd 57.33± 4.72 abcd 50.00± 13.12 abcd 49.00± 2.64 abcd 52.00± 4.00 abcd 50.67± 7.51 abcd

SB2 52.33± 11.67 abcd 43.33± 3.52 ab 52.67± 5.68 abcd 46.33± 5.50 ab 53.33± 3.05 abcd 47.67± 6.12 abc 50.67± 7.23 ab 53.67± 8.08 abcd

SB3 61.33± 8.08 bcd 54.00± 5.00 abcd 56.00± 15.09abcd 46.67± 1.52 abc 44.67± 0.57 ab 40.00± 0.00 a 50.00± 0.00 abcd 40.00± 6.66 a

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6

Tabel 7 Rata-rata persentase limfosit mencit (M. musculus) betina yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 67.33 ± 2.89 def 62.33 ± 14.15 cdef 58.00 ±12.17 abcdef 50.00 ± 2.00 abcd 47.00 ± 4.36 abc 56.00 ± 1.73 abcdef 61.67 ± 5.51 cdef 48.33 ± 13.79 abc

KN 71.33 ±1.15 f 57.00 ± 3.46 abcdef 69.33 ± 15.01 ef 46.00 ± 15.72 abc 53.67 ± 4.04 abcde 54.00 ± 3.00 abcdef 48.50 ± 2.50 abc 46.00 ± 1.00 abc

SB1 62.33± 9.29 cdef 52.67± 2.8 abcde 59.67± 5.78 bcdef 54.33± 8.14 abcdef 50.00± 13. abcd 49.67± 1.52 abc 45.00± 7.00 abc 52.00± 0.00 abcde

SB2 59.67± 5.50 bcdef 54.67± 12.05 abcdef 48.33± 11.67 abc 54.67± 7.23 abcdef 56.67 ± 5.50 abcdef 43.67± 10.06 ab 47.67± 11.50 abc 51.67± 15.56 abcd

SB3 60.67± 2.52 bcdef 51.33± 6.65 abcd 58.00± 10.53 abcdef 59.00± 13.85 abcdef 41.67± 10.78 a 60.00± 5.29 bcdef 58.00± 8.00 abcdef 49.67± 5.50 abc

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6


(45)

0 10

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO

KN

SB1

SB2

SB3

Eosinofil Mencit Jantan

Hasil pengamatan persentase rata-rata eosinofil pada mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 16 Rata-rata persentase eosinofil pada mencit (M. musculus ) jantan yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-2 setelah infeksi, persentase rata-rata eosinofil kelompok kelompok SB1, SB2 dan SB3 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan KN. Kelompok SB3 pada hari ke-8 setelah infeksi, memiliki persentase jumlah eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan KN, SB1 dan SB2. Pada hari ke-11 setelah infeksi, pada kelompok SB1, SB2 dan SB3 mengalami penurunan yang lebih rendah dari kelompok KN.


(46)

0 15

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO KN SB1 SB2 SB3

Eosinofil Mencit Betina

Hasil pengamatan persentase rata-rata eosinofil pada mencit betina diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 17 Rata-rata persentase eosinofil pada mencit (M. musculus ) betina yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Berdasarkan Tabel 9 hari ke-4 setelah infeksi pada kelompok SB2 dan SB3 persentase eosinofil mencit betina lebih tinggi dibandingkan kelompok KN dan SB1. Pada SB3 terjadi peningkatan yang siginifikan sebesar 8% dibandingkan kelompok SB1 dan SB2. Pada hari ke-10 dan ke-11 setelah infeksi, persentase jumlah eosinofil pada kelompok SB2 dan SB3 lebih rendah dari kelompok KN.


(47)

Tabel 8 Rata-rata persentase eosinofil mencit (M. musculus) jantan yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 5.00 ± 2.65 bcdef 2.00 ± 1.00 abcde 4.67 ± 3.79 bcdefg 2.67 ± 2.08 abcde 2.00 ± 0.00 abcde 4.00 ± 1.73 bcde 2.67 ± 1.53 abcde 1.00 ± 0.00 ab

KN 1.33 ± 0.58 abc 8.33 ± 4.73 f 3.00 ± 1.00 abcde 2.00 ± 2.65 abcde 3.33 ± 1.53 abcde 2.00 ± 2.65 abcde 3.33 ± 4.16 abcde 3.33 ± 0.58 abcde

SB1 4.67 ± 2.51 bcdef 5.33 ± 3.52 cdef 4.00 ± 1.00 abcde 3.00 ± 1.73 abcde 2.67 ± 0.58 abcde 2.33 ± 2.08 abcde 1.67 ± 0.58 abcd 1.00 ± 1.00 ab

SB2 5.00 ± 1.73 bcdef 3.33 ± 2.08 abcdef 2.00 ± 1.00 abcde 2.67 ± 2.51 abcde 2.67 ± 1.15 abcde 1.33 ± 1.15 abc 3.67 ± 1.52 abcde 3.00 ± 2.64 abcde

SB3 5.00 ± 3.78 abcdef 6.00 ± 1.00 efg 2.00 ± 1.73 abcde 1.00 ± 0.00 ab 5.67 ± 0.58 def 3.00 ± 0.00 abcde 2.00 ± 0.00 abcde 0.00 ± 0.00 a

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6

Tabel 9 Rata-rata persentase eosinofil mencit (M. musculus) betina yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto (A. paniculata)

Kelompok Perlakuan

Waktu Pengamatan (Hari ke-….setelah infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 3.00 ± 1.73 abcde 1.67 ± 0.58 abc 2.00 ±1.00 abc 4.67 ± 2.08 abcd 2.33 ± 2.52 abcde 3.67 ± 2.08 abcdef 1.33 ± 1.53 ab 4.00 ± 2.00 abcdef

KN 1.33 ± 0.58 ab 1.00 ± 1.00 ab 3.33 ± 3.21 abcdef 6.00 ± 3.61 defg 1.00 ± 1.00 ab 1.50 ± 0.50 abc 3.50 ± 1.50 abcdef 2.50 ± 0.50 abcde

SB1 7.33 ± 3.21 fg 3.00 ± 3.00 abcde 3.33 ± 0.57 abcdef 2.67 ± 1.52 abcde 2.67 ± 3.05 abcde 1.67 ± 1.52 abc 4.67 ± 2.51 bcdefg 2.00 ± 0.00 abcd

SB2 5.67 ± 4.04 cdefg 4.67 ± 0.58 bcdefg 4.67 ± 2.08 bcdefg 3.67 ± 1.52 bcdefg 1.00 ± 1.00 ab 1.67 ± 1.15 abc 1.33 ± 1.15 ab 0.00 ± 0.00 a SB3 6.33 ± 4.04 cde 4.67 ± 1.52 bcdefg 8.00 ± 3.46 g 4.33 ± 1.52 bcdefg 1.67 ± 0.58 abc 2.00 ±1.00 abc 2.67 ± 0.58 abcde 1.00 ± 1.00 ab

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf P>0.05 KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1: pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6


(48)

0 5

0 2 4 6 8 9 10 11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO KN SB1 SB2 SB3

Basofil Mencit Jantan

Hasil pengamatan persentase rata-rata basofil pada mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 18 Rata-rata persentase basofil pada mencit (M. musculus ) jantan yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Berdasarkan Tabel 10, secara umum rata-rata persentase basofil pada semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05), Pada kelompok SB1, SB2 dan SB3 tidak ditemukannya basofil hingga hari ke-11 setelah infeksi.


(49)

0

5

0

2

4

6

8

9

10

11

Hari

P

e

r

s

e

nt

a

s

e

KNO

KN

SB1

SB2

SB3

Basofil Mencit Betina

Hasil pengamatan persentase rata-rata basofil pada mencit betina diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa daun sambiloto (A. paniculata) dosis bertingkat dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.

Gambar 19 Rata-rata persentase basofil pada mencit (M. musculus ) betina yang

diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa daun sambiloto

(A. paniculata). KNO: Kontrol normal, KN: Kontrol negatif, SB1:

pengenceran 1x10-2, SB2: pengenceran 1x10-4, SB3: pengenceran 1x10-6 Pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-11 setelah infeksi pada semua kelompok perlakuan, persentase jumlah basofil terlihat tidak ada perbedaan yang nyata dan masih dalam kadar basofil normal yaitu 0-3.1% (Sturkie dan Grimminger 1976).


(1)

41

5. Pada mencit jantan maupun mencit betina yang diberi infusa sambiloto cenderung tidak berpengaruh terhadap persentase jumlah basofil.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada limpa dan hati baik secara patologi anatomi maupun histopatologi untuk mengetahui stadium perkembangan parasit pada organ tersebut.

2.

Perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan hormon pada mencit jantan dan mencit betina serta pengaruhnya terhadap diferensial leukosit.


(2)

GAMBARAN LEUKOSIT SETELAH PEMBERIAN

INFUSA SAMBILOTO (

Andrographis paniculata

)

PADA MENCIT YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

APRIANI SOSILAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009a. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0606/02/ipt04. html [29 Nov 2009]

Anonim. 2007b. http://profelis.org/neu/ap2/4166_final_sampler.html [20 Okt 2009]

Anonim. 2009c. Manfaat sambiloto untuk pengobatan. http://www.smallcrab.com/kesehatan/25-healthy/107-sambiloto-dan-manfaatnya. [20 Okt 2009].

Bujhbal S, Sohan SC, Anupama AS, Devanand BS, Manohar JP. 2008. Anti-inflamatory activity of an isolated flavonoid fraction from Celasia argentea Linn. JMPR. Vol. 2(3), pp. 052-054

Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical endocrinology of companion animals. Philadelphia. Lea andFebiger.

Caceci T. 1998. Formed element of blood. The Cancer Journal II(3) 1742-1826.

[CDC]. 2009. Malaria life cycle. www.dpd.cdc.gov/dpdx. [11 Agust 2009].

Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi veteriner. Hartono R, penerjemah. 3rd Ed. Jakarta.UI Press.

Departemen Parasitologi FKUI. 2008. Parasitologi kedokteran. 4th Ed. Sutanto I, Suhariah PK, Saleh Su, editor. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dewi RM, Haijani, Emiliana, Suwarni, Yekti RP. 1996. Keadaan hematologis mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta. 106:37-40.

Dewi RM, Sulaksono E. 1994. Pengaruh pasase P. berghei pada mencit strain Swiss. Cermin Dunia Kedokteran. Volume ke-94. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma. hlm 2.

Frandson RD. 1996. Anatomi dan fisiologi ternak. 4th Ed. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Gandahusada S, Herry DI, Pribadi W. 2000. Parasitologi kedokteran. 3rd Ed. FKUI. Jakarta. Penerbit Gaya Baru.171-199.

Ganong WF. 1983. Review of physiology. 11th Ed. California. Lange Medical Publication. pp 414-443.


(4)

43

Ganong WF. 1999. Review of physiology. 17th Ed. Adji Dharma, penerjemah. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-17. EGC. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.

Guyton AC, Hall JE.1996. Buku ajar fisiologi kedokteran. 9th Ed. Setiawan I, editor. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hartono. 1992. Histologi veteriner (sitologi dan jaringan). Bogor. Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Haryanti W. 2009. Pengaruh pemberian infusa sambiloto (Andrographis paniculata) dengan pelarut air tanpa evaporasi pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei (Skripsi). Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Hutapea JR, S Syamsuhidayat. 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan.

Jain NC. 1993. Essential of veteriner hematology. USA. Lea and Febiger.

Jekti, R.P, E. Sulaksono, S. Sundari Y, 1996. Pengaruh pasase terhadap gejala klinis pada mencit strain Swiss derived yang diinfeksi Plasmodium berghei. ANKA. Cermin Dunia Kedokteran. 106, 34-36.

Kelly WR. 1984. Veteriner clinical diagnosis. 3rd Ed. London. Bailliere Rindall.

Laszlo T. 2006. A Normalis Periferias Verkenet. . http://xenia.sote.hu/depts/pathophysiology/hematology/hu/images/p1-43a.jps [ Januari 2010]

Levine ND. 1990. Protozologi veteriner. Soekardono S, Brotowidjojo MD, penerjemah. Terjemah dari: Veterinary protozology. 406-407. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Lubis S. 1993. Diferensiasi leukosit pada infeksi Eimeria tenelle dengan ulas darah tipis. Skripsi. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Mahendra B. 2005. Tigabelas jenis tanaman obat ampuh. Jakarta. Penebar Swadaya

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Martini F. 1992. Fundamental of anatomy and physiology. 2nd Ed. New Jersey. Prentice Hall Englewood Cliffs.


(5)

44

Mattjik AA, Sumertajaya M. 1999. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS, SPSS, dan Minitab. Bogor. IPB Press.

Metcalf D. 2006. Principles and practice of phytotheraphy modern herbal medicine. Churchil Livingstone, Edinburg, London. Lange Medical Publication. 262-267.

Microanatomy. 1999. Blood. Scholl of Veterinary Medicine. Turkegee University.

Muhlish F. 1998. Tanaman obat keluarga (TOGA). 4th Ed. Jakarta. Penebar Swadaya.

Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi biologi parasit hewan. 5th Ed. Wardianto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Parasitology the biology of animal parasites.

Nordenson NJ. 2002. Encyclopedia of medicine.

http://www.lifesteps.com/gm/Atoz/ency/white_blood_cell_count_and differential.jsp [26 Nov 2009]

Prapanza IEP dan Lukito AM. 2003. Khasiat dan manfaat sambiloto: raja pahit penakluk aneka penyakit. Jakarta. Agromedia Pustaka. 4-15.

Puri A, S Ragini, Saxena RP, Saxena KC.1993. Immunostimulant agents from Andrographis paniculata. Journal of Natural Production. 56(7): 995-999.

Rahman NN, Furuta T, Kojima S, Takane K, Ali Mohd. 1999. Antimalarial activity of extracts of Malaysian medicinal plants. JE. Malaysia.64(3) : 249-54.

Rumawas W. 1989. Patologi umum. Bogor. Jurusan Parasitologi dan Patologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Shen YC, Chen CF, Chou WF.2002. Andrographolide prevents oxygen radical production by human neutrofil: possible mechanism(s) involved in its anti-inflammatory effects. BJP. 135:339-406.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1998. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan percobaan di daerah tropis. Jakarta. UI-Press.

Soedarto. 1990. Protozoologi kedokteran. Jakarta. Widya Medika. 81-92.


(6)

45

Smyth JD. 1976. Introduction to animal parasitology. London Sydney Auckland Toronto. Parasitology Imperial Collage of Science and Technology University of London.

Suhana N. 1994. Etika dan penggunaan hewan model untuk penelitian biomedik. Jakarta. Universitas Indonesia.

Sturkie PD, Grimminger P. 1976. Blood: physical characteristic, formed elements, hemoglobin, and coagulation dalam : Sturkie PD, Editor. Avian physiology. 3rd. Ed. Spinger Verlag. New York.pp 21-25.

Swenson, Melvin. J, William RO. 1993. Duke’s physiology of domestic animal. 11th Edition. London. Cornell University Press.

Tizard I. 1982. Pengantar imunologi veteriner. Masduki, penerjemah. Surabaya. Airlangga University Press. Terjemahan: An introduction to veterinary immunology. 65-70.

Vegad. JL. 1995. A Textbook of veterinary general pathology; healing and repair. New Delhi. Vikas Publishing House Put. Ltd. 82-153.

Widjayakusuma MH, Dalimarta S, Wirian AS. 1994. Tanaman berkhasiat obat di Indonesia. Vol ke-1. Jakarta. Pustaka Kartini. 117-119.

Widyawaruyanti A. 1995. Uji anti malaria herba sambiloto terhadap Plasmodium falcifarum secara in vitro. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi

Wintarsih I, Bayu F, Rini M, Lina N. 2009. Penuntun praktikum farmasi dan ilmu resep. Bogor. Laboratorium FKH IPB.

Yusron M, Januwati M, Rini P. 2004. Standar prosedur operasional budidaya pegagan, lidah buaya, sambiloto dan kumis kucing. Bogor. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 15-19.

Zein U. 2005. Pemanfaatan tumbuhan obat dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Sumatera Utara. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


Dokumen yang terkait

Perbandingan gambaran diferensiasi leukosit ayam setelah pemberian sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan dosis bertingkat dan koksidiosat

0 10 14

Diferensial Leukosit Darah Ayam yang Diifeksi Leucocytozoon caulleryi Setelah Pemberian Infus Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Melalui Air Minum

0 11 73

Gambaran sel radang sekum ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata) dalam pelarut air dosis bertingkat

0 9 53

Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella

0 12 77

Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) Yang Diinfeksi Plasmodium berghei Dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn.

0 19 122

Gambaran Leukosit Pada Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei Dan Diberi Infusa Daun Papaya (Carica papaya Linn.)

0 4 111

Pengaruh Ekstrak Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) dengan Pelarut Etanol Terhadap Gambaran Leukosit Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

0 4 145

Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

2 20 125

PENGARUH PEMBERIAN ECHINACEA TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI LIEN PADA MENCIT SWISS YANG DIINFEKSI PLASMODIUM BERGHEI

0 4 66

Peran Ekstrak Tinospora crispa Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Mencit Balb c Yang Diinfeksi Plasmodium berghei ANKA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 10