Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

(1)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK

AIR AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) TERHADAP

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air akar tanaman Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada penelitian ini digunakan sebanyak 25 ekor mencit putih jantan (Mus musculus albinus). Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu 1) kontrol normal, 2) kontrol negatif, 3) ekstrak akar C.fenestratum dengan dosis 0.625 mg/ 25grBB, 4) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 1.25 mg/ 25grBB, dan 5) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 3.75 mg/ 25grBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase netrofil pada mencit jantan tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-1 setelah infeksi (58.40%), persentase eosinofil dan monosit tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-7 setelah infeksi (1.66% dan 5.00%), persentase limfosit dan basofil tertinggi yaitu pada dosis 3 hari ke-3 setelah infeksi (57.46% dan 1.00%).


(2)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Sri Uthami Verlitha Sari NIM B04070009


(4)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK

AIR AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) TERHADAP

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air akar tanaman Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada penelitian ini digunakan sebanyak 25 ekor mencit putih jantan (Mus musculus albinus). Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu 1) kontrol normal, 2) kontrol negatif, 3) ekstrak akar C.fenestratum dengan dosis 0.625 mg/ 25grBB, 4) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 1.25 mg/ 25grBB, dan 5) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 3.75 mg/ 25grBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase netrofil pada mencit jantan tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-1 setelah infeksi (58.40%), persentase eosinofil dan monosit tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-7 setelah infeksi (1.66% dan 5.00%), persentase limfosit dan basofil tertinggi yaitu pada dosis 3 hari ke-3 setelah infeksi (57.46% dan 1.00%).


(5)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. The Effect of Coscinium fenestratum Root with Water Extract to Profil Leucocyte On Mice Infected Plasmodium berghei.  Under direction of UMI CAHYANINGSIH. 

This research was conducted to determine the effect of Coscinium fenestratum root with water extract to the percentage of differential leucocyte mice that had been infected by Plasmodium berghei. This research used totally 25 male mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three treatment groups. The five groups were 1) negative control group, 2) positive control group, 3) Doses 1 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 0.625 mg/ 25grBB), 4) Doses 2 group extract (C. fenestratum root extract with doses of 1.25 mg/ 25grBB), and 5) Doses 3 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 3.75 mg/ 25grBB). In male mice, highest percentage of neutrophil was doses 1 on 1st day after infection (58.40%), highest percentage of eosinophil was doses 1 on 7th day after infection (1.66%), highest percentage of monocyte was doses 1 on 7th day after infection (5.00%), highest percentage of lymphocyte was doses 3 on 3rd day after infection (57.46%), and highest percentage basophil was doses 3 on 7th day after infection (1%) .

Keywords: water extract Coscinium fenestratum root , leucocyte, Plasmodium berghei.


(6)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. The Effect of Coscinium fenestratum Root with Water Extract to Profil Leucocyte On Mice Infected Plasmodium berghei.  Under direction of UMI CAHYANINGSIH. 

This research was conducted to determine the effect of Coscinium fenestratum root with water extract to the percentage of differential leucocyte mice that had been infected by Plasmodium berghei. This research used totally 25 male mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three treatment groups. The five groups were 1) negative control group, 2) positive control group, 3) Doses 1 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 0.625 mg/ 25grBB), 4) Doses 2 group extract (C. fenestratum root extract with doses of 1.25 mg/ 25grBB), and 5) Doses 3 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 3.75 mg/ 25grBB). In male mice, highest percentage of neutrophil was doses 1 on 1st day after infection (58.40%), highest percentage of eosinophil was doses 1 on 7th day after infection (1.66%), highest percentage of monocyte was doses 1 on 7th day after infection (5.00%), highest percentage of lymphocyte was doses 3 on 3rd day after infection (57.46%), and highest percentage basophil was doses 3 on 7th day after infection (1%) .

Keywords: water extract Coscinium fenestratum root , leucocyte, Plasmodium berghei.


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

SRI UTHAMI VERLITHA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

Nama : Sri Uthami Verlitha Sari

NIM : B04070009

Disetujui

Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS Dosen Pembimbing

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor


(10)

karunia yang diberikan sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada Februari sampai dengan Juli 2011  dan diberi judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei ”.

Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, adik dan keluarga besar yang tak henti-hentinya mendoakan, atas segala kasih sayang, pengorbanan dan dukungan yang diberikan.

2. Dr. Drh. Hj. Umi Cahyaningsih, M.S selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya yang berharga untuk mengarahkan, memberikan motivasi, membagi ilmu dan senantiasa sabar dalam membimbing penulis.

3. Dr. Drh. H. Heru Setijanto, M.Si. PAvet (K) selaku dosen pembimbing akademik (PA) yang selalu memberi semangat dan nasehat kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

4. Pegawai Laboratorium Protozoologi dan Helmintologi yang telah membantu dan memberikan pengarahan kepada penulis selama penelitian berlangsung.

5. Teman-teman sepenelitian (Arif Purwomihardi dan Arni Suryani) yang telah membantu selama penelitian.

6. Teman-teman angkatan 44 (Gianuzzi) sebagai teman seperjuangan di FKH IPB dan teman–teman kosan (dilah, didi, hikmah, feti, ichi, uni, amal, fitri dan anya) yang telah membantu, mendukung penulis.

7. Terima kasih kepada SHINee (terutama Jonghyun oppa) atas lagu-lagunya. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dengan semestinya.

Bogor, Januari 2012

Penulis  


(11)

Penulis dengan nama lengkap Sri Uthami Verlitha Sari lahir di Benteng Selayar pada tanggal 22 September 1989 dari ayah Drs. Gazali MMpd dan ibu Dra. Sri Jayatiningsih. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis lulus dari SDN Benteng Timur pada tahun 2001 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Benteng Selayar serta lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis menyelesaikan studi dari SMUN 1 Benteng Selayar dan kemudian diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) serta memilih mayor Kedokteran Hewan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota HIMPRO Ruminansia FKH IPB.


(12)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) ... 4

2.1.1. Klasifikasi ... 4

2.1.2. Kegunaan Kayu Kuning ... 5

2.1.3. Kandungan Kayu Kuning ... 6

2.2. Malaria ... ... 6

2.3. Plasmodium berghei ... 7

2.3.1. Klasifikasi P.berghei ... 8

2.3.2. Siklus Hidup ... 9

2.3.3. Perkembangan Aseksual ... 9

2.3.3.1. Sporozoit dan Fase Pre-eritrosit ... 9

2.3.3.2. Fase Eritrosit ... 10

2.3.3.3. Perkembangan Seksual ... 11

2.3.3.4. Fertilisasi dan Perkembangan Zigot ... 11

2.3.3.5. Perkembangan Ookista dan Sporozoit ... 12

2.4. Mencit ... 13

2.4.1. Klasifikasi ... 13

2.4.2. Sifat dan Morfologi Mencit ... 13

2.5. Darah ... 14

2.5.1. Leukosit ... 14

2.5.2. Neutrofil ... 15

2.5.3. Eosinofil ... 17

2.5.4. Basofil ... 18

2.5.5. Limfosit ... 19

2.5.6. Monosit ... 20

III BAHAN DAN METODE ... 22

3.1. Waktu dan Tempat ... 22

3.2. Metode Penelitian ... 22

3.2.1. Determinasi Sampel Tanaman ... 22

3.2.2. Penentuan Dosis Uji ... 22

3.2.3. Persiapan infeksi Plasmodium untuk menghitung persentase leukosit ... 22


(13)

xi  

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Netrofil Mencit ... 25

4.2. Eosinofil Mencit ... 27

4.3. Monosit Mencit ... 30

4.4. Limfosit Mencit ... 31

4.5. Basofil Mencit ... 35

V SIMPULAN DAN SARAN ... 38

7.1. Simpulan ... 38

7.2. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 44


(14)

1. Nilai fisiologis mencit ... 14 2. Rata-rata persentase neutrofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 29 3. Rata-rata persentase eusinofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)……... 29 4. Rata-rata persentase monosit mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 34 5. Rata-rata persentase limfosit mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 34 6. Rata-rata persentase basofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah


(15)

1. Habitat dan Morfologi tanaman Kayu Kuning ... 5

2. Plasmodium berghei ... 8

3. Siklus hidup Plasmodium berghei ... 9

4. Netrofil ... 15

5. Eosinofil ... 17

6. Basofil ... 18

7. Limfosit ... 19

8. Monosit ... 21

9. Rata-rata persentase netrofil pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum) dosis bertingkat... 25

10.Rata-rata persentase eusinofil pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 27

11.Rata-rata persentase monosit pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 30

12.Rata-rata persentase limfosit pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 31

13.Rata-rata persentase basofil pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 35


(16)

Halaman 1

2 3 4 5

Data perhitungan Tabel 2 untuk rata-rata persentase netrofil ... Data perhitungan Tabel 3 untuk rata-rata persentase eosinofil ... Data perhitungan Tabel 4 untuk rata-rata persentase monosit ... Data perhitungan Tabel 5 untuk rata-rata persentase limfosit ... Data perhitungan Tabel 6 untuk rata-rata persentase basofil ...

45 47 49 51 53


(17)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi parasit yang merupakan masalah kesehatan di banyak negara di seluruh dunia. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dengan genus Plasmodium. Penyakit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk dari jenis Anopheles. Plasmodium berghei merupakan parasit darah yang termasuk dalam Subkingdom Protozoa dari filum Apicomplexa (Levine 1995). Plasmodium berghei dapat ditemukan atau dapat menginfeksi hewan rodensia (Thomas 1983). Pada hewan rodensia seperti tikus dan mencit, protozoa ini dapat menyebabkan malaria. Secara analisa molekuler, terdapat persamaan antara parasit malaria pada manusia (P.falciparum) dengan P.berghei pada tikus, sehingga P.berghei sering digunakan sebagai model pada penelitian malaria. Disamping itu, parasit ini analog dengan parasit malaria pada manusia dalam aspek penting seperti struktur, fisiologi dan siklus hidupnya (Carter dan Diggs 1977).

Setiap tahun 300-500 juta kasus malaria menyebabkan 2 juta kematian (WHO 2005). Salah satu negara yang memiliki masalah utama terhadap penyakit malaria adalah Indonesia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita. Penyakit ini pada umumnya menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia (Nuchsan 1994). Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 1.143.024 orang. Jumlah ini mungkin lebih besar dari keadaan yang sebenarnya karena lokasi yang endemis malaria adalah desa-desa yang terpencil dengan sarana transportasi yang sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah (Depkes RI 2010). Penderita yang terinfeksi malaria pada dua dekade terakhir meningkat dua kali, terutama disebabkan oleh munculnya strain P. falciparum yang resisten terhadap obat malaria yang tersedia terutama klorokuin dan turunannya (Trape et al. 2002). Di Indonesia, kasus ini masih sering terjadi karena wabah yang tidak diduga dan juga ditemukan resistensi terhadap obat yang sering digunakan. Resistensi adalah kemampuan strain parasit untuk tetap hidup, berkembangbiak, dan menimbulkan gejala penyakit, walaupun diberi pengobatan terhadap parasit dalam dosis standar atau dosis yang lebih tinggi yang dapat ditoleransi.


(18)

Menurut Marleta et al. (1996), cara pengobatan yang tidak tepat menyebabkan sensitivitas parasit terhadap obat malaria menurun. Keadaan ekonomi masyarakat yang kurang, pendidikan/pengetahuan yang rendah, serta klorokuin yang mudah didapatkan di toko obat menyebabkan masyarakat melakukan pengobatan sendiri (jika terasa gejala panas dan sakit kepala) dengan cara yang tidak tepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian atau studi mengenai aktivitas antimalaria yang berasal dari tanaman obat sebagai sumber baru obat antimalaria (Mustofa et al. 2007).

Tanaman akar kayu kuning dengan nama ilmiah Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr., masyarakat Thailand menyebutnya “Hamm” merupakan tanaman semak yang merambat yang memiliki batang silindrikal, kayu kuning dan getah kuning (Rojsanga dan Gritsanapan 2005). Tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional di sebelah timur laut Thailand. Batang dari tanaman ini disebut sebagai agen detoksifikasi dan dapat digunakan untuk menyeimbangkan tekanan darah, menurunkan gula darah, dan kolesterol dalam darah (Rojsanga dan Gritsanapan 2005). Selain itu, masyarakat Thailand juga menggunakan akar tanaman tersebut dengan cara memotong dan merebus lalu airnya diminum untuk mengobati kolik dan sakit perut (Tran dan Ziegler 2001). Di beberapa daerah di Indonesia, penduduk terutama suku asli telah menggunakannya untuk obat penyakit tertentu, misalnya suku Sakai di Bengkalis (Provinsi Riau) menggunakan akarnya sebagai obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatra Selatan juga menggunakannya untuk pengobatan penyakit kuning, suku Punan Lisun dan suku Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengobati malaria dan sakit pinggang dengan akar tanaman ini (Sangat et al. 2000 dan Rahayu 2005).

Akar tanaman kayu kuning sudah digunakan secara tradisional untuk mengobati berbagai penyakit termasuk malaria. Namun, informasi mengenai pengaruh pemberian infusa akar tanaman kayu kuning terhadap diferensial leukosit penderita malaria masih terbatas. Karena itu, diperlukan penelitian aktivitas akar tanaman kayu kuning terhadap diferensial leukosit pada penderita malaria ini yang nantinya dapat memberikan tambahan informasi yang berguna dalam pengobatan penyakit ini.


(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infusa air akar tanaman Kayu Kuning dilihat dari gambaran diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar tanaman Kayu Kuning terhadap respon kekebalan dilihat dari gambaran leukosit, serta untuk menemukan alternatif obat antimalaria dari kekayaan alam flora Indonesia.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.) Klasifikasi

Taksonomi tanaman akar kayu kuning menurut Dey (1984 dalam Joy 1998) adalah :

Kingdom : Plantae

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledonae

Sub kelas : Ranunculidae

Ordo : Geraniales

Family : Menispermaceae Genus : Coscinium

Species : Coscinium fenestratum

Akar tanaman kayu kuning merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering digunakan masyarakat sebagai obat tradisional. Akar kayu kuning merupakan tumbuhan liana yang merambat pada pohon atau tumbuhan lain yang ada di sekitarnya. Menurut Forman (1986) tumbuhan akar kayu kuning merupakan liana besar dengan kayu dan getah berwarna kuning. Tumbuhan akar kayu kuning tumbuh merambat dan membentuk kelompok-kelompok pada beberapa pohon rambatan atau tumbuhan lainnya. Sehingga sulit untuk dibedakan antara individu satu dengan lainnya. Tumbuhan ini dapat merambat lebih dari 10 m pada pohon atau tumbuhan lain disekitarnya. Batang tumbuhan ini licin dengan warna abu-abu dan diameter terbesar yang ditemukan adalah 4,6 cm. Kulit bagian dalam berwarna kuning seperti pada Gambar 1. Memiliki daun yang peltate berwarna abu-abu di bagian bawah dan tidak berbulu. Anakan akar kayu kuning juga tumbuh mengelompok. Benih (biji) akar kayu kuning yang diamati berbentuk agak bulat (subglobose). Menurut Noorhidayah (2008) biji ini memiliki diameter sekitar 2 cm dan berwarna coklat seperti terlihat pada Gambar 2.


(21)

Gambar 1 Terlihat bahwa akar kayu kuning merambat pada pohon lain, sedangkan batang berwarna kuning di dalam (Tushar et al. 2008).

Gambar 2 Biji berbentuk bulat dan berwarna kecoklatan (Tushar et al. 2008).

Di Indonesia, kayu kuning ditemukan di ekosistem hutan hujan dataran rendah di ketinggian akar kayu kuning kurang dari 1000 m dpl, keanekaragaman paling tinggi, beriklim basah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya (Anonim 2007).

Kegunaan

Menurut Shamma (1972), beberapa tanaman dari keluarga Menispermaceae telah dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan tradisonal di Thailand. Keluarga Menispermaceae dikenal sebagai sumber penting dari isokuinolin alkaloid, salah satu kelompok produk alami yang menunjukkan aktifitas farmakologikal yang menarik. Di Thailand, tanaman ini sangat populer karena dikenal sebagai agen untuk detoksifikasi dan digunakan untuk


(22)

menstabilkan tekanan darah, menurunkan kadar gula darah serta kolesterol darah (Dechwisissakul et al. 2000 dan Rungsimakan 2001). Batang dan akar dari tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Contohnya, sebagai tonik pahit untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya sakit kuning (jaundice) dan beberapa penyakit infeksi seperti diare dan abses kulit (Perry and Metzger 1980).

Kandungan Kayu Kuning

Pada tanaman akar kayu kuning ini telah dilaporkan mengandung senyawa berberin, jatrorrhizin dan kolumbamin serta telah diisolasi alkaloid yang disebut shobakunon. Senyawa berberin digunakan sebagai antimalaria karena dapat menghambat pembentukan beberapa jenis enzim dan menghambat sintesis DNA (Silikas et al. 2011). Berdasarkan hasil fitokimia dari penelitian sebelumnya, Kusuma (2011) menyatakan bahwa kandungan akar kayu kuning yang diekstrak dengan pelarut air yaitu alkaloid, flavonoid, fenol hidroquinon, dan triterpenoid. Berdasarkan analisa kimia, Tushar et al. (2008) menyatakan bahwa tanaman ini mengandung berberin yang tinggi seperti halnya tanaman-tanaman dari ordo Menispermaceae lainnya. Berberin merupakan senyawa isokuinolin alkaloid banyak terkandung pada tanaman akar kayu kuning. Senyawa ini memiliki aktifitas biokimia dan farmakologi yang cukup luas, termasuk antidiare dan antitumor.

2.2. Malaria

Dahulu, malaria diduga disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena adanya wabah malaria di sekitar kota Roma. Malaria banyak ditemui di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk sehingga penyakit ini disebut dengan “malaria” yang berasal dari kata “mal area” yang berarti udara busuk (Pribadi 2003). Pada abad ke-19, Laveran melihat “bentuk pisang” dalam darah seorang penderita malaria, kemudian diketahui bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa-rawa (Pribadi 2003).

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dengan genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk dalam tubuh manusia melalui nyamuk malaria (Anopheles) betina (Kusumawardhani et al. 2005). Separuh siklus protozoa Plasmodium dilakukan dalam nyamuk Anopheles betina, sedangkan nyamuk Anopheles jantan tidak menghisap darah atau makan darah vertebrata (Fullerton 1990).


(23)

Tiap serangan malaria terdiri atas serangan demam yang timbul secara periodik. Menurut Gandahusada et al. (2000) pada semua infeksi malaria, timbulnya demam periodik berhubungan dengan waktu pecahnya skizon matang dan keluarnya merozoit dalam aliran darah. Timbulnya demam tergantung dari banyaknya jumlah parasit dalam darah. Demam dapat bersifat intermiten, remiten atau kontinu. Serangan yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium :

1) Stadium menggigil

Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Pada saat menggigil, seluruh tubuh bergetar, denyut nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari tangan biru serta kulit pucat. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai satu jam yang diikuti dengan peningkatan suhu tubuh.

2) Stadium puncak demam

Penderita yang sebelumnya merasa kedinginan berubah menjadi panas sekali. Wajah penderita merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, frekuensi nafas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala semakin cepat, muntah-muntah dan kesadaran menurun. Suhu badan bisa mencapai 41°C. Stadium ini berlangsung selama dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.

3) Stadium berkeringat

Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya. Suhu badan turun dengan cepat, penderita merasa cepat lelah, dan sering tertidur kemudian penderita akan merasa sehat. Namun sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuh penderitanya. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.

2.3. Plasmodium berghei

Menurut Sinden et al. (2008), Plasmodium berghei pertama kali ditemukan oleh Vincke pada tahun 1946 dari ulasan darah lambung nyamuk Anopheles duremi. Pada tahun 1948, P. berghei ditemukan juga dalam ulasan darah dari Grammomys surdaster yang dikumpulkan di Kisanga, Katanga (Zaire atau Republik Demokrasi Congo). Selanjutnya darah tersebut dipasase dalam tubuh tikus putih dan menjadi strain K173 yang telah diproduksi masal oleh sebuah lembaga untuk obat di daerah tropis di Antwerp.


(24)

Menurut LUMC (2011), P. berghei pertama kali ditemukan pada tikus pohon di Afrika Tengah. Selain P. berghei, ada juga spesies Plasmodium lainnya yang menginfeksi rodensia di kawasan Afrika Tengah, yaitu: P. vinckei, P. chabaudi, dan P. yoelli. Plasmodium berghei dapat ditransmisikan kepada hewan laboratorium seperti tikus laboratorium, mencit putih dan hamster. Plasmodium berghei adalah suatu hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil (Dewi dan Sulaksono 1994 dan Uskup 2008). 2.3.1. Klasifikasi Plasmodium berghei

Menurut Levine (1995), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut:

Kingdom : Protista

Filum : Protozoa

Subfilum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoasida

Subkelas : Coccidiasina

Ordo : Eucoccidiorida

Subordo : Haemospororina

Family : Plasmodiidae Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium berghei

Gambar 3 Plasmodium berghei. Sumber: Nahrevanian et al. (2010)


(25)

2.3.2. Siklus Hidup

Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia atau rodensia adalah sama, yaitu mengalami stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia atau rodensia dan kembali ke nyamuk. Siklus ini terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk Anopheles dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia atau rodensia yang terdiri dari fase eritrosit (erythrocytic schizogony) dan fase yang berlangsung dalam parenkim sel hati (exo-erythrocytic schizogony) (Darlina dan Devita 2008).

Adapun gambaran siklus hidup P. berghei sebagai berikut :

Gambar 4 Siklus Hidup Plasmodium berghei. Sumber: CDC (2010)

2.3.3 Perkembangan Aseksual 2.3.3.1.Sporozoit dan Fase Pre-eritrosit

Sporozoit menetap di hati dan menginfeksi hepatosit. Intak sporozoit dapat diamati di dalam hepatosit dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah terjadi infeksi. Hepatosit diinvasi melalui perantara invaginasi dari membran sel plasma sel inang ke bentuk sebuah vakuola parasitoporus yang mengelilingi invasi sporozoit. Sporozoit dapat bermigrasi melalui beberapa sel inang sebelum menginvasi hepatosit melalui suatu formasi dari sebuah vakuola parasitoporus. Di dalam hepatosit, sporozoit berkembang dalam 47-52 jam melewati fase trophozoit menjadi skizon dewasa yang berisi 1500-8000 merozoit (jumlah total dari merozoit tiap skizon dewasa dapat bervariasi tiap spesies yang berbeda) (LUMC 2011).


(26)

Dalam 51 jam, sporozoit memiliki panjang 12 µm berkembang menjadi skizon hepatik dewasa dengan diameter mencapai 30 µm. Skizon hepatik dewasa berisi kira-kira 8000 merozoit, pemisahan inti dimulai sekitar 24 jam setelah terjadi invasi pada hepatosit yang berarti sedikitnya menjadi 13 inti selama periode 26 jam. Merozoit terbentuk dengan panjang mencapai 1.6 µm dapat dibandingkan dengan ukuran merozoit fase eritrosit. Pola dasar merozoit dapat dibandingkan dengan mengamati skizon eritrosit dan selama multifikasi sporogoni pada nyamuk (LUMC 2011).

Setelah ruptur dari fase skizon pra-eritrosit, merozoit hepatik dilepas kedalam aliran darah untuk menginfeksi sel darah merah. Menurut Jekti et al. (1996), pada eritrosit yang terinfeksi tampak adanya inti sel parasit dengan sitoplasma yang berwarna ungu kebiruan. Eritrosit yang terserang parasit membentuk trombus yang mengakibatkan terjadinya nekrosis sel, anoreksia dan anemia. Peningkatan persentase eritrosit yang terserang parasit menyebabkan induk semang dapat mengalami kematian (Jekti et al. 1996).

2.3.3.2.Fase Eritrosit

Fase eritrosit dimulai ketika merozoit haploid yang dilepaskan dari skizon di hati menyerang sel darah merah. Plasmodium berghei dapat terlihat pada retikulosit tetapi juga dapat menyerang sel darah merah dewasa. Di dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi tropozoit, yang dikarakteristikkan adanya peningkatan ukuran dan sitoplasma sel. Tropozoit memakan haemoglobin dari sel darah merah kemudian memproduksi Kristal hemozoin coklat yang dapat diamati sebagai karakteristik pigmen granul di dalam sitoplasma (LUMC 2011).

Perkembangan merozoit menjadi tropozoit akhir terjadi selama 16 jam melalui pembentuk ringform (cincin). Selanjutnya tahap akhir tropozoit, parasit menduplikasikan DNAnya. Replikasi DNA ini diikuti dengan pembelahan inti mengarah ke pembentukan parasit binuclear (berinti dua). Pembelahan inti yang pertama, parasit memasuki tahap skizon. Selama tahap skizon (skizogoni) yang terjadi 6-8 jam, parasit mereplikasi DNAnya dan membagi intinya berkali-kali, membentuk sel sincitial dengan 8-24 inti. Skizon muda dan skizon dewasa menghilang dari sirkulasi perifer dan menetap dalam kapiler organ dalam seperti paru-paru dan limpa (LUMC 2011). Rupturnya skizon membebaskan


(27)

merozoit-merozoit ini untuk menyerang sel-sel darah merah yang baru (belum terinfeksi) akibatnya terjadi peningkatan parasitemia (presentasi dari sel darah merah yang terinfeksi parasit). Tahapan perkembangan sel darah sel darah merah yang terinfeksi P. berghei pada rodensia laboratorium biasanya asynchronous (tidak sinkron), yang berarti bahwa tahapan perkembangannya berbeda seperti cincin, tropozoit, dan skizon yang secara serempak berada dalam darah selama masa infeksi (LUMC 2011).

2.3.4 Perkembangan Seksual

Pada setiap siklus aseksual, sejumlah kecil dari parasit berhenti melakukan multiplikasi aseksual dan berdiferensiasi menjadi sel-sel seksual yang dinamakan gametosit. Makrogametosit (betina) dan makrogametosit (jantan) haploid merupakan sel prekursor dari gamet betina dan gamet jantan. Pada P. berghei, merozoit dari skizon organ hati mampu berdiferensiasi langsung menjadi gametosit setelah menyerang eritrosit. Periode perkembangan dari sebuah merozoit menjadi gametosit berlangsung singkat yaitu 26-30 jam (LUMC 2011). 2.3.4.1.Fertilisasi dan Perkembangan Zigot dalam Tubuh Nyamuk

Ketika seekor nyamuk menghisap darah dari inang yang terinfeksi, hanya gametosit dewasa yang dapat mengalami tahapan perkembangan lebih lanjut dalam alat pencernaan nyamuk (usus tengah). Hal ini mengakibatkan keluarnya gametosit dari sel darah merah dan formasi gamet (proses dari gametosis). Gametosit betina berdiferensiasi menjadi gametosit betina tunggal berbentuk bola sedangkan gametosit jantan menghasilkan 8 gamet yang menyerupai sperma. Formasi dari gamet jantan adalah suatu proses yang cepat. Dalam 10 menit, tiga tahap dari replikasi DNA, pemisahan inti, dan pembentukan dari 8 aksonema flagel, berakhir pada produksi 8 gamet motil. Terdapat tiga kondisi lingkungan yang dapat merangsang diferensiasi dari gametosit menjadi gamet yaitu penurunan suhu tubuh dari sel darah inang yang terinfeksi mencapai 5ºC dibawah suhu normal pada inang vertebrata, terjadinya peningkatan pH dari 7.3 menjadi 7.8-8.0 dan kehadiran dari faktor aktivasi gametosit (GAF) (LUMC 2011).

Fertilisasi terjadi setelah dari gamet jantan haploid masuk kedalam gametosit betina haploid, menghasilkan zigoid diploid. Antara 10 menit sampai 1 jam sesudah formasi (pembentukan) gamet, fertilisasi dan fusi dari inti jantan dan inti betina terjadi diikuti dengan meiosis. Meiosis tidak secara langsung diikuti


(28)

dengan pemisahan inti, menghasilkan zigot atau ookinet yang berinti satu dalam 2-4 kali jumlah DNA haploid. Kemudian zigot berbentuk bulat ini berkembang menjadi bentuk pisang, ookinet motil terjadi selama periode 18-24 jam. Granul pigmen kecil yang tersebar melalui sitoplasma dari gametosit atau zigot menjadi terbungkus dalam beberapa kelompok ookinet dewasa (LUMC 2011).

2.3.4.2.Perkembangan Ookista dan Sporozoit

Ookista dewasa dan motil melewati epitel usus tengah dengan menginvasi sel epitel dan menetap antara membran sel basal dan lamina basal dari dinding usus tengah. Sangat memungkinkan ookinet P. berghei tidak secara spesifik menyerang sel-sel usus tengah dan ookinet sitoplasma dari beberapa sel usus tengah secara bertahap sebelum memasuki dan migrasi melalui ruangan interselular basolateral untuk mencapai lamina basal. Sel yang terinfeksi akan melakukan apoptosis. Serangan yang terjadi pada sel epitel mengakibatkan ookinet kontak dengannya tetapi tidak mampu untuk melakukan penetrasi ke dalam lamina basal. Di sini parasit secara cepat berkembang mencapai ke tahap ookista. Setelah fase pertumbuhan dari ookista seksual, replikasi mitotik berakibat terhadap pembentukan ookista dewasa yang mengandung ratusan sel anak induk yang dimakan sporozoit. Akibatnya, ookista akan meningkat ukuran diameternya dari 2-3 µm menjadi kira-kira 40 µm dalam 10-13 hari (LUMC 2011).

Beberapa gambaran dari karakteristik infeksi dalam tubuh nyamuk, seperti jumlah dari ookista yang diproduksi dan jumlah dari sporozoit yang ditemukan di dalam glandula saliva tergantung dari spesies Anopheles yang digunakan untuk transmisi P. berghei. Dalam A. stephensi yang terinfeksi oleh strain ANKA dari P. berghei, ditemukan rata-rata 8000 sporozoit per ookista. Ookista yang ruptur dan sporozoit haploid dilepaskan ke dalam hacmococle yang akan menyerang glandula saliva. Telah ditemukan bahwa hanya 2% dari ookista sporozoit mencapai glandula pada A. stephensi. Sporozoit pertama dapat mencapai glandula saliva dalam 13-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi. Sporozoit bermigrasi melalui sel dari glandula dan keluar menuju ruang sekretori ekstraseluler dimana sporozoit dapat bertahan untuk beberapa minggu sebelum diinjeksikan kembali ke dalam tubuh inang yang baru (LUMC 2011).

Jumlah rata-rata dari 11 000 sporozoit glandula saliva dapat bertahan per nyamuk A. stephensi lebih dari 20 tahun pada nyamuk-nyamuk yang dapat


(29)

menginfeksi. Tiap gigitan dari nyamuk memungkinkan hanya 20-50 sporozoit yang akan dipindahkan ke dalam tubuh inang. Parasit rodensia secara extensive digunakan untuk memberikan suatu pandangan mengenai interaksi antara parasit dengan nyamuk (LUMC 2011).

2.4. Mencit 2.4.1. Klasifikasi

Tikus dan mencit adalah hewan pengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan penggangu di perumahan (Depkes RI 2009). Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit paling banyak digunakan di laboratorium untuk berbagai penelitian, yang sering digunakan adalah mencit albino Swiss (Swiss albino mice) yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat lingkungan hidupnya (Malole dan Pramono 1989).

Menurut Depkes RI (2009), mencit diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodensia

Family : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus 2.4.2. Sifat dan Morfologi Mencit

Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari, mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Kadang-kadang mencit mempunyai sifat kanibal (Yuwono et al. 2004).

Malole dan Pramono (1989) mengemukakan bahwa nilai fisiologis mencit adalah sebagai berikut:


(30)

Kriteria Nilai Sel darah putih

Netrophil Lymphosit Eosinophil Monosit Basophil

6 – 15 × 10 3 /mm3 10 – 40% 55 – 95% 0 – 4% 0.1 – 3.5%

0 – 0.3%

2.5. Darah

Darah merupakan cairan pembawa berbagai zat penting tubuh, dipompakan oleh jantung melalui suatu sistem pembuluh darah tertutup. Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah putih, sel darah merah dan trombosit yang tersuspensi di dalam plasma. Volume darah total yang beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan. Sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma (Ganong 2002).

2.5.1. Leukosit

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit pertahanan tubuh. Sel darah putih ini sebagian dibentuk dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam organ limfoid seperti timus, bursa fabrisius pada unggas dan limpa (Guyton dan Hall 1996).

Secara umum jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan jumlah eritrosit. Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi stress, aktifitas fisiologis yang meningkat, gizi dan umur (Hartono 1995). Selain faktor tersebut, jumlah leukosit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, lingkungan, efek hormon dan obat-obatan serta sinar-X (Lubis 1993). Pada keadaan normal terdapat 6 – 15 × 10 3 /mm3 leukosit per mikroliter darah mencit. Dari jumlah tersebut, jenis terbanyak adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobular dengan meningkatnya umur sel. Sebagian besar sel tersebut mengandung granula netrofilik (netrofil), sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat pewarna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mengadung granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lain yang lazim ditemukan dalam darah


(31)

tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit, yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerja sama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memiliki sistem pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit (Ganong 2002).

Leukosit dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit mempunyai granul di dalam sitoplasmanya, sedangkan agranulosit tidak mempunyai granul pada sitoplasmanya (Caceci 1998). Granulosit dibedakan menjadi tiga yaitu netrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit dibedakan menjadi dua, yaitu limfosit dan monosit. Granulosit, monosit dan sedikit limfosit dibentuk dalam sumsum tulang, sebagian limfosit ditambah sel plasma dibentuk di dalam jaringan limfe (Guyton dan Hall 1996). 2.5.2. Netrofil

Netrofil dewasa berdiameter 10-12 µm dengan sitoplasma beraspek kelabu pucat dan terdapat butir-butir halus berwarna ungu serta inti bergelambir (Dellman dan Brown 1992). Gambaran mikroskopis netrofil sebagai berikut:

Gambar 5 Netrofil Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Netrofil diproduksi dalam sumsum tulang bersama-sama sel granulosit lainnya, kemudian beredar di dalam sirkulasi darah atau disimpan di dalam depo marginal netrofil setelah 4-6 hari masa produksi (Dellmann dan Brown 1992). Waktu paruh rata-rata sel netrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah, diperlukan pembentukan lebih dari 100 milyar sel netrofil per hari. Sebagian besar sel ini akan memasuki jaringan. Sel-sel ini ditarik dan bergulir di permukaan endotelium oleh kerja selektin. Selanjutnya sel-sel tersebut akan berikatan dengan kuat pada


(32)

molekul perekat netrofil dari golongan integrin. Tahap berikutnya, sel-sel ini menyusup di antara sel endotelium, menembus dinding kapiler, melalui proses yang disebut diapedesis (Ganong 2002). Sejumlah besar sel yang meninggalkan sirkulasi dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan hilang dari tubuh. Invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan respon peradangan. Sumsum tulang dirangsang untuk menghasilkan dan melepas sejumlah besar netrofil. Interaksi produk bakteri dengan faktor-faktor plasma dan sel menghasilkan zat yang menarik netrofil ke daerah peradangan (kemotaksis) (Ganong 2002). Zat kemotaksis ini, yang merupakan bagian dari kelompok besar kemokin, mencakup komponen dalam sistem komplemen (C5a), lekotrein dan polipeptida dari sel limfosit, sel mast dan basofil. Pengaruh perasangan C5a pada aktivitas kemotaksis diperkuat oleh G-globulin. Membran netrofil mengandung protein tersebut, yang juga berfungsi mengikat dan mengangkut vitamin D di dalam plasma (Ganong 2002). Faktor plasma lainnya bekerja pada bakteri untuk menjadikannya difagositosis (opsonisasi). Opsonin utama yang menyelubungi bakteri adalah immunoglobulin-G (IgG) dan protein komplemen. Bakteri yang telah diselubungi akan berikatan dengan reseptor pada membran sel netrofil. Melalui respon yang diperantai oleh protein G heterotrimerik, tercetus peningkatan aktivitas motorik dalam sel, eksositosis, dan peristiwa yang dinamakan letupan respiratorik (Ganong 2002). Peningkatan aktivitas motorik menyebabkan segera dicernanya bakteri melalui endositosis (fagositosis).

Melalui eksositosis, granula netrofil menuangkan kandungannya ke dalam vakuola fagosit yang berisi bakteri, dan sampai taraf tertentu, juga ke dalam ruang interstisial (degranulasi). Granula yang mengandung beragam protease, serta protein antimikroba yang disebut defensin (Ganong 2002). Netrofil memiliki masa hidup yang singkat, setelah melakukan tugasnya akan mati dan melepas faktor kemotaktik untuk menarik netrofil lain. Netrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama yang bekerja singkat dan cepat lelah. Masa hidupnya beredar di dalam aliran darah kira-kira lima hari (Tizard 1988).

2.5.3. Eosinofil

Eosinofil adalah granulosit polimorfonuklear-eosinofilik dengan ukuran yang hampir sama dengan netrofil. Eosinofil memiliki granul bundar dan relatif


(33)

lebih besar, berwarna cerah dengan pewarna Wright’s (Sturkie dan Grimminger 1976). Granul pada sitoplasmanya mengambil warna eosinofilik yang kuat. Intinya khas yaitu memiliki dua lobus, tidak multilobus seperti netrofil (Caceci 1998). Eosinofil berukuran 10-15 µm, memiliki granul asidofilik yang berukuran 3-4 µm (Sturkie & Grimminger 1976). Eosinofil sebagai berikut:

Gambar 6 Eosinosil. Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Eosinofil dibentuk dalam sumsum tulang, bersifat sangat motil tetapi kurang fagositik. Jumlahnya meningkat pada saat terjadi reaksi alergi, shock anafilaksis, dan infeksi parasit (Swenson et al. 1993). Jumlahnya cenderung rendah pada kondisi stress, pelepasan kortikosteroid dan infeksi akut (Jain 1993). Eosinofil dalam darah berdiameter antara 10-15 mikrometer, intibergelambir dua, dikitari butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0,5-1,0 mikrometer dan jangka hidupnya 3-5 hari di dalam sirkulasi darah (Hartono 1995). Eosinofil mengandung suatu komponen enzim yang sama dengan netrofil tetapi tidak memiliki lisosim dan phagositin namun mengandung kadar peroksidase yang tinggi dan histaminase (Rumawas 1989). Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat dalam sirkulasi. Eosinofil akan ditarik ke permukaan sel endotel oleh selektin, dapat berikatan dengan integrin yang akan merekatnya pada dinding pembuluh, dan masuk ke dalam jaringan melalui cara diapedesis, seperti halnya dengan netrofil. Eosinofil melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan. Selain itu, eosinofil mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh (Frandson 1986). Namun respon eosinofil terhadap selektin dan integrin bersifat selektif, demikian pula molekul-molekul pembunuh yang di sekresikannya.

Keberadaan eosinofil banyak terutama di mukosa saluran gastrointestinal, untuk mempertahankan terhadap serangan berbagai parasit, serta di mukosa saluran pernafasan dan saluran kemih (Ganong 2002). Jumlah eosinofil yang


(34)

beredar di dalam sirkulasi akan meningkat pada penyakit alergi, seperti asma serta berbagai penyakit saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal lain.

2.5.4. Basofil

Basofil merupakan leukosit bergranulosit yang bersifat polimofonuklear-basofil. Basofil berdiameter 10-15 µm dengan inti dua gelambir, bentuk inti yang tidak teratur. Granul berukuran 0,5-1,5 µm berwarna biru tua sampai dengan ungu (basofilik), sering menutup inti yang berwarna agak cerah (Dellman dan Brown 1992). Basofil merupakan leukosit granulosit yang paling jarang, jumlahnya sangat rendah yaitu 1-4 % (Swenson et al. 1993), 3,1 % (Sturkie dan Grimminger 1976) atau 0,5-1,5 % (Hartono 1995). Gambaran mikroskopis basofil sebagai berikut :

Gambar 7 Basofil Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)

Basofil dibentuk dalam sumsum tulang. Basofil dapat membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif, sehingga dapat menyebabkan peradangan akut pada tempat antigen berada. Pada saat terjadi peradangan, basofil akan melepaskan histamine, bradikinin, dan serotonin sehingga menyebabkan reaksi jaringan dengan manifestasi alergi (Tizard 1988). Basofil juga melepaskan mediator untuk aktivitas peradangan dan alergi. Basofil akan masuk ke jaringan dan melepaskan berbagai protein serta sitokin. Basofil menyerupai tetapi tidak identik dengan sel mast. Seperti halnya dengan sel mast, basofi mengandung histamin dan heparin. Basofil melepaskan histamin dan mediator radang lain apabila diaktifkan oleh limfosit T, dan penting pada reaksi hipersensitifitas (Ganong 2002). Basofil mempunyai fungsi meningkatkan permebialitas dan vasodilatasi pembuluh darah dalam reaksi hipersensitifitas kulit seperti pada gigitan serangga (Dellman dan Brown 1992).


(35)

2.5.5. Limfosit

Limfosit adalah leukosit agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie & Grimminger 1976). Limfosit memiliki nukleus yang relatif besar dan dikelilingi oleh sitoplasma (Frandson 1986). Variasi ukuran besarnya terdiri dari limfosit besar, sedang dan kecil. Limfosit kecil berukuran 9 µm, inti besar dan kuat mengambil warna, sitoplasma berwarna biru pucat, inti memiliki sedikit lekuk di satu sisi. Sedangkan limfosit sedang dan besar berukuran 12-15 µm, lebih banyak sitoplasma, inti lebih besar dan pucat dibandingkan limfosit kecil. Limfosit besar berdiameter 12-16 µm dan limfosit kecil 9-12 µm. Gambaran mikroskopis limfosit adalah :

Gambar 8 Limfosit Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Limfosit diproduksi di jaringan limfoid seperti daun Payer, limpa, tonsil, timus, dan bursa Fabrisius (Lubis 1993). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekusor yang berasal dari sumsum tulang, setelah mengalami proses di dalam timus atau bursa ekivalen menjadi prekusor sel T atau sel B (Ganong 2002). Limfosit secara aktif bersifat motil dan menunjukkan aktivitas amuboid, tetapi tidak melakukan proses fagositosis. Kebanyakan limfosit dalam jumlah besar bermigrasi menuju saluran pencernaan dan membran mukosa saluran pernafasan (Swenson et al. 1993). Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag. Limfosit tertentu mengikat dirinya pada agen-agen asing dan merusaknya (Guyton dan Hall 1996).

Populasi limfosit didalam darah meliputi tiga tipe sel yaitu sel B (bergantung pada bursa), sel T (bergantung pada timus), dan non-T, non-B atau disebut sel null, yang tampak mirip satu sama lain dibawah mikroskop cahaya.


(36)

Limfosit T berperan dalam membantu dalam proses tanggap kebal berperantara sel, jumlahnya diperkirakan sekitar 70-75% dari seluruh limfosit dalam darah. Sedangkan limfosit B berperan dalam respon humoral dengan produksi sekresi utama adalah immunoglobulin (antibodi), jumlahnya hanya sekitar 10-12% (Ganong 1995). Limfosit Null, populasinya mencapai sekitar 10-15% dari total limfosit dalam darah, dan bervariasi pada berbagai spesies. Sel ini memiliki dua jenis sel yaitu cell mediated cytotoxic yaitu natural killer function (sel NK) dan Antibody Dependent Cellular cytotoxic (Dellman dan Brown 1992). Pada umumnya limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer, sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid.

2.5.6. Monosit

Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran paling besar dengan diameter 15-20 µm dan nukleusnya besar serta memiliki sitoplasma tanpa granul (Dellman dan Brown 1992). Nukleus monosit tunggal berbentuk oval atau tapal kuda. Monosit berasal dari sistem sel retikuloendotelial di limpa dan sumsum tulang (Swenson et al. 1993). Monosit pada jaringan perifer disebut makrofag bebas (Martini et al. 1992). Gambaran mikroskopis monosit sebagai berikut:

Gambar 9 Monosit. Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Monosit diproduksi di sumsum tulang. Monosit dari sumsum tulang masuk ke dalam darah dan beredar selama kurang lebih 72 jam (Ganong 2002). Sel-sel ini kemudian masuk ke jaringan dan menjadi makrofag jaringan. Pada saat ini monosit telah mempunyai fungsi sebagai makrofag dan mampu melawan agen-agen asing (Guyton dan Hall 1996). Makrofag jaringan, termasuk sel Kupffer di


(37)

hati, makrofag alveolar paru, dan mikrogilia di otak, seluruhnya berasal dari sirkulasi (Ganong 2002).

Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap rangsangan kemotaksis, selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan netrofil.


(38)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari- Juli 2011 di Laboratorium Protozoologi, dan Laboratorium Helmintologi bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3.2. Metode Penelitian

1. Determinasi Sampel Tanaman

Tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah herbal akar tanaman kayu kuningyang diperoleh dari kawasan hutan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan Oktober tahun 2010 dalam keadaan segar, kemudian dikeringkan terlebih dahulu baru dilakukan ekstraksi. Determinasi herbal dilakukan di Laboratorium Botani, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Kusuma 2011).

2. Penentuan Dosis Uji

Dosis disesuaikan dengan takaran jamu yang digunakan masyarakat yaitu 2 sendok teh diseduh dalam satu gelas air, maka infusa dibuat dengan memanaskan campuran tersebut menggunakan panci khusus untuk membuat infusa. Larutan dipanaskan di atas air mendidih selama 15 menit dengan suhu 90 °C (Depkes RI 1995). Hasil yang diperoleh lalu disaring dan dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, timbang padatan yang tersisa dan digunakan sebagai acuan dosis uji yaitu dosis pada manusia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kalimantan Timur sebesar 0.196 mg/kg berat badan (BB) dewasa. Dosis ini kemudian dikonversi menjadi dosis pada mencit dengan bobot badan 25 gr, dan diperoleh dosis 0.625 mg, 1.25 mg, dan 3.75 mg.

3. Persiapan Infeksi Plasmodium untuk Menghitung Persentase Leukosit Penelitian ini menggunakan hewan coba yang dikelompokkan sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan, kelompok diberi pengobatan ekstrak air akar tanaman kayu kuning. Kelompok kontrol terdiri dari kontrol positif (pengobatan dengan klorokuin) dan kontrol negatif (dengan larutan PGA (Pulvis Gum Arabic) 3%). Mencit yang digunakan adalah mencit


(39)

putih jantan sebanyak 25 ekor dari galur DDY berumur 2-3 bulan dengan berat badan antara 20-30 gram/ekor. Pakan dan air minum diberikan secara adlibitum. Mencit diinokulasi dengan 0.1 ml darah yang mengandung 1×104 P. berghei secara intra peritoneal. Mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok (3 kelompok perlakuan dan 2 kontrol), masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor mencit, yaitu :

1. Kelompok kontrol negatif, adalah kelompok mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi larutan PGA 3%

2. Kelompok kontrol positif, mencit terinfeksi dan diobati dengan klorokuin 3. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 0.625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB

(A1)

4. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 1.25 mg/25 gr BB = 50 mg/kg BB (A2) 5. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 3.75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB

(A3)

Pengobatan dilakukan setelah mencit positif terinfeksi P. berghei. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan sonde lambung, yang diberikan sekali dalam sehari dengan pemberian dua dosis sekaligus dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pengamatan dilakukan dengan membuat preparat ulas darah tipis yang diambil dari pembuluh darah di ekor pada hari ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-7 (D0, D1,D2, D3, D4, dan D7) setelah pemberian infusa (Tuti et al. 2007).

4. Pembuatan Preparat Ulasan Darah

Pembuatan preparat darah dilakukan dengan meneteskan 1 tetes darah ke atas gelas obyek, kemudian dibuat sediaan apus darah dengan gelas obyek lain yang membentuk sudut kurang lebih 45°, setelah itu darah dibiarkan sampai kering pada suhu kamar. Sediaan darah tipis difiksasi dalam metanol absolut selama 3-5 menit, kemudian diwarnai dengan Giemsa 5% selama 30 menit, terakhir bilas dengan menggunakan air mengalir.

5. Penghitungan Diferensial Leukosit

Penghitungan diferensiasi leukosit dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan minyak emersi dengan pembesaran 1000x. Setiap 100 leukosit yang ditemukan dihitung dan dikelompokkan ke dalam masing-masing jenis leukosit,


(40)

yaitu netrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit. Dilakukan tiga kali ulangan penghitungan. Nilai relatif leukosit yang ditemukan dirata-ratakan dan dinyatakan dalam satuan persen.

3.3. Analisis Data

Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan uji ANOVA (Analysis of Varian) lalu dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test dengan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang diberikan. Data ditampilkan dalam bentuk tabel.


(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut :

Netrofil

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 10, pada kelompok perlakuan A1 hari ke-1 menunjukkan peningkatan persentase netrofil yang nyata jika dibandingkan KN, KP, A2, dan A3 yakni 58.40%. Pada perlakuan AI, hari ke-2, ke-3 dan ke-4 menunjukkan penurunan persentase jika dibandingkan dengan kelompok KN, pada hari ke-7 terjadi peningkatan persentase netrofil jika dibandingkan dengan A2 dan A3. Pada perlakuan A2 hari ke-1 menunjukkan persentase yang lebih rendah dibanding KN, KP, A1, dan A3 yaitu sebesar 46.26%. Pada perlakuan A2, hari ke-2 menunjukkan penurunan persentase netrofil dan pada hari ke-3 terjadi peningkatan netrofil jika dibandingkan dengan KP dan A3. Pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi penurunan persentase netrofil jika dibandingkan KN, KP, A1, dan A3. Perlakuan A3 hari ke-1 menunjukkan peningkatan persentase netrofil, pada hari ke-2 hingga hari ke-7 terjadi penurunan persentase netrofil. Persentase netrofil terendah terjadi pada hari ke-3 dibandingkan dengan A1 dan A2 serta berbeda nyata lebih rendah terhadap KN.

Gambar 10 Rata-rata persentase netrofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya diberi larutan PGA 3%,KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.


(42)

Peningkatan persentase netrofil pada perlakuan A1 dan A3 pada hari ke-1 disebabkan oleh fungsi netrofil yang merupakan basis pertahanan pertama dalam menyerang infeksi bakteri/mikroorganisme, trauma jaringan, ataupun respon inflamasi (Kern 2002). Parasit akan mengeluarkan bahan kemotaktik yang dapat menarik netrofil untuk datang dan melakukan fagositosis (Meyer et al. 1992). Kemudian netrofil akan mengalami autolisis setelah proses fagositosis selesai. Histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interlukin) yang dilepaskan setelah lisisnya netrofil akan merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan netrofil sehingga produksi netrofil akan meningkat (Hafizhiah 2008). Netrofil hanya memiliki waktu paruh selama dua hari dan hanya efektif pada hari-hari pertama setelah infeksi parasit (Hargono 1996).

Penurunan jumlah netrofil pada kelompok A1, A2, dan A3 pada hari ke-2 sampai hari ke-7 jika dibandingkan dengan hari ke-1, disebabkan oleh pemberian infusa akar kayu kuning, menurut Rojsanga dan Gritsanapan (2005) tanaman akar kayu kuning mengandung senyawa yaitu berberin. Berberin yang merupakan alkaloid isokuinolon diketahui memiliki aktivitas farmakologi seperti aktivitas antimikrobial terhadap bakteri, fungi dan virus, antimalaria, antiinflamasi, dan antiproliferatif (Tungpradit et al. 2011). Menurut penelitian sebelumnya, akar kayu kuning yang diekstrak dengan pelarut air juga mengandung senyawa flavonoid (Kusuma 2011), menurut USDA (2010) flavonoid dapat meningkatkan aktivitas sebagai antiinflamasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Kusuma (2011), menunjukkan persentase parasitemia pada kelompok A1 dan A2 mengalami peningkatan dari hari ke-1 sampai hari ke-7 setelah infeksi. Sementara untuk kelompok A3 persentase parasitemianya mengalami penurunan sampai hari ke-3 setelah infeksi, dan persentase parasitemianya meningkat pada hari ke-4 setelah infeksi dan turun pada hari ke-7 setelah infeksi (Kusuma 2011). Peningkatan persentase parasitemia pada kelompok A1 dan A2 kemungkinan disebabkan karena penurunan persentase netrofil dan kurangnya dosis pemberian dari akar kayu kuningmenyebabkan efek antimalaria berkurang sehingga belum dapat menghambat pertumbuhan P.berghei.


(43)

Eosinofil

Hasil pengamatan persentase rata-rata eosinofil mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum), dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 11.

Gambar 11 Rata-rata persentase eosinofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya diberi larutan PGA 3%,KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 3 dan gambar 11, pada kelompok KP dan perlakuan AI, A2, dan A3 hari ke-1 persentase eosinofilnya lebih rendah dari kelompok KN. Pada perlakuan A1 hari ke-2 dan ke-3 persentase eosinofil menurun bahkan tidak terdapat eosinofil. Pada perlakuan A1, hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan dan hari ke-7 perlakuan A1 menunjukan persentase yang tertinggi dan berbeda nyata dengan KN, KP, A2 dan A3 yaitu 1.66%. Perlakuan A2, hari ke-2 menunjukkan peningkatan, bahkan persentasenya lebih tinggi dibandingkan KP, A1, dan A3. Perlakuan A2, hari ke-3 terjadi penurunan bahkan tidak terdapat eosinofil. Pada hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan persentase eosinofil, bahkan pada hari ke-7 persentase eosinofilnya lebih tinggi dibandingkan KN dan A3. Pada perlakuan A3, hari ke-2 menunjukkan peningkatan eosinofil jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Perlakuan A3, pada hari ke-3 menunjukkan penurunan bahkan tidak terdapat eosinofil, pada hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan kembali eosinofil. Jadi gambaran eosinofil A2 dan A3 hampir sama.

Guyton (1996) menyatakan bahwa eosinofil berperan dalam proses imun tubuh terhadap adanya infeksi parasit seperti cacing, protozoa dan lain-lain.


(44)

Jumlah eosinofil akan meningkat apabila ada reaksi alergi dan infeksi dari parasit (Kern 2002). Rata-rata persentase eosinofil kelompok A1, A2 dan A3 pada hari-hari pertama tidak menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari KN. Ini disebabkan karena ekstrak air akar kayu kuning yang menghambat produksi eosinofil. Menurut Sudharshan et al. (2010) bahwa kandungan flavonoid dalam kayu kuning berperan dalam aktivitas antiinflamasi. Berbeda dengan hari ke-7 yang menunjukkan rata-rata nilai ketiga perlakuan lebih tinggi dibanding KN. Terutama pada kelompok A1 hari ke-7, persentase eosinofilnya berbeda nyata dengan KN. Eosinofil tidak seefisien netrofil dalam fagositosis, namun memiliki lisosom yang dapat menghancurkan parasit bila dirangsang dengan tepat (Tizard 1988) sehingga nilainya tidaklah tinggi didalam darah. Tingkat parasitemia pada kelompok perlakuan A1 pada hari ke-7 mengalami peningkatan yang drastic (Kusuma 2011), sehingga keadaan umum hewan pun ikut memburuk, yang merangsang tubuh untuk memproduksi eosinofil. Menurut Tizard (1988), secara umum, antibodi yang ada didalam tubuh membantu mengontrol jumlah parasit dalam aliran darah.


(45)

Tabel 2 Rata-rata persentase netrofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning

Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7

KN 53.89±8.03cdefg 52.44±8.10bcdefg 54.44±6.87cdefg 57.01±8.05efg 59.89±3.83g 61.66±4.71g

KP 55.60±6.62defg 46.20±9.16abcde 41.73±9.03ab 43.00±10.39abc 53.08±10.84cdefg 61.50±4.12g A1 53.60±13.15cdefg 58.40±11.97fg 48.66±1.65abcdef 47.00±6.13abcde 46.33±0.00abcde 54.00±3.06cdefg A2 47.46±4.40abcdef 46.26±4.97abcde 40.73±8.94a 47.25±2.10abcdef 45.41±8.33abcd 44.66±4.02abcd A3 61.53±7.38g 53.93±4.27cdefg 43.20±10.93abc 39.59±11.08a 47.58±3.92abcdef 48.00±2.53abcdef *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625,1.25, 3.75.

Tabel 3 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning.

Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7

KN 0.44±0.54abcd 0.55±0.49abcd 0.66±0.47bcd 0.55±0.36abcd 0.66±0.47bcd 0.44±0.14abcd

KP 0.40±0.55abcd 0.26±0.43ab 0.53±0.38abcd 0.93±1.03cd 0.25±0.27ab 1.00±0.00d

A1 0.00±0.00a 0.13±0.18ab 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.16±0.11ab 1.66±1.17e

A2 0.06±0.15ab 0.13±0.18ab 0.66±0.15ab 0.00±0.00a 0.41±0.27abcd 0.89±0.49cd

A3 0.00±0.00a 0.13±0.18ab 0.33±0.24abc 0.00±0.00a 0.08±0.14ab 0.66±0.47bcd

*Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625; 1.25; 3.75.


(46)

Monosit

Hasil pengamatan persentase rata-rata monosit mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 12.

Gambar 12 Rata-rata persentase monosit pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum). KN: Kontrol negatif hanya diberi larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3: ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 4 dan gambar 12, persentase monosit perlakuan A1, A2 dan A3 pada hari ke-1 lebih rendah dibandingkan kelompok KN dan KP. Pada perlakuan A1 pada hari ke-2 mengalami peningkatan, persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan KN, A2, dan A3, tetapi masih rendah dari pada KP. Kemudian pada hari ke-3 dan ke-4 terjadi penurunan persentase monosit. Pada hari ke-7 terjadi peningkatan monosit, persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan KN, A2, dan A3. Persentase monosit A2 pada hari ke-2 lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok KN, KP, A1, dan A3. Pada hari ke-3, ke-4 dan ke-7 terjadi peningkatan, dimana persentasenya lebih tinggi dari pada kelompok perlakuan A3. Pada perlakuan A3 hari ke-2 terjadi peningkatan monosit jika dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi persentasenya lebih rendah dari kelompok KN, KP, dan A1. Kemudian terjadi penurunan persentase monosit pada hari ke-3, ke-4, dan ke-7, dimana persentasenya lebih rendah dari kelompok KN, KP, A1, dan A2.

Tingginya persentase dari monosit pada perlakuan A1 dan A2 pada hari ke-7, dapat disebabkan oleh senyawa flavonoid yang terkandung di dalam akar kayu kuning (Kusuma 2011). Flavonoid berpotensi sebagai antioksidan dan mampu meningkatkan respon imun (Depkes RI 1985). Flavonoid berpotensi


(47)

bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh sel T, sehingga akan meransang sel-sel fagosit (monosit) untuk melakukan respon fagositosis (Kusmardi et al. 2006). Dengan adanya flavonoid, jumlah monosit di dalam tubuh akan meningkat. Monosit merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun, baik berperan fungsional dalam fagositosis maupun perannya sebagai antigen presenting cells (APC) (Bratawidjaja 2003, Kern 2002). Dengan demikian, pemberian infusa akar kayu kuning dapat meningkatkan jumlah monosit di dalam tubuh. Peningkatan monosit juga disebabkan karena terjadi peningkatan persentase parasitemia, sehingga merangsang tubuh untuk melakukan perlawanan dengan mengeluarkan monosit. Sementara itu, penurunan monosit pada kelompok A3 hari ke-3 sampai hari ke-7 dapat disebabkan oleh penurunan tingkat parasitemia dank arena adanya pengaruh dari kandungan infusa akar kayu kuning yang berfungsi sebagai anti plasmodial.

Limfosit

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum), dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 13.

Gambar 13 Rata-rata persentase limfosit pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum). KN : Kontrol negatif hanya diberi larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 5 dan gambar 13, pada perlakuan A1 hari ke-1 menunjukkan penurunan persentase limfosit jika dibandingkan KN, KP, A2, dan A3 yakni 38.26%. Pada perlakuan A1, hari ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-7 masih


(48)

menunjukkan penurunan persentase jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan A2 dan A3. Pada perlakuan A2 hari ke-1 dan ke-2 menunjukkan peningkatan persentase limfosit jika dibanding KN, KP, A1, dan A3 yaitu sebesar 50.73% dan 56.86%. Pada hari ke-3 terjadi penurunan persentase limfosit jika dibandingkan dengan kelompok KP dan A3. Kemudian pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi peningkatan persentase limfosit jika dibandingkan semua kelompok. Persentase limfosit perlakuan A3 pada hari ke-1 lebih tinggi daripada perlakuan A1 tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok A2. Pada hari ke-2 dan ke-3 terjadi peningkatan limfosit, bahkan pada hari ke-3 persentase limfositnya lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, KP, A1, dan A2 yaitu 57.46%. Pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi penurunan persentase limfosit jika dibandingan dengan kelompok perlakuan A2, tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan KN, KP, dan A1.

Rendahnya persentase limfosit pada kelompok A1 jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain, bisa disebabkan karena nilai netrofil yang lebih tinggi sebagai garis pertahanan utama pada hari pertama setelah infeksi, sehingga organ limfoid utama lebih banyak mengeluarkan netrofil jika dibandingkan dengan limfosit (Baratawidjaja 2003). Peningkatan dari limfosit pada perlakuan A2 hari ke-1, ke-2, ke-4, dan ke-7, serta perlakuan A3 pada hari ke-2 sampai hari ke-7, disebabkan karena terjadi peningkatan persentase parasitemia pada setiap perlakuan (Kusuma 2011). Peningkatan limfosit ini dapat disebabkan oleh kandungan berberin dan flavonoid pada C. fenestratum. Menurut Wongbutdee (2009) C. fenestratum berfungsi sebagai imunostimulator sehingga merangsang tubuh untuk memproduksi limfosit. Jiao et al. (1999) menyatakan bahwa flavonoid dapat meningkatkan aktivitas IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit. Ganong (2002) menyatakan bahwa adanya benda asing (P. berghei) akan meransang terbentuknya antigen precenting cell (APC), APC ini akan meransang tubuh untuk membentuk sel limfosit T. Selain itu, IL-2 akan diproduksi dengan adanya sel limfosit T, IL-2 ini akan meransang sel T sitotoksik untuk menghancurkan benda asing (P. berghei) yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian infusa akar kayu kuning dapat meningkatkan jumlah limfosit, sehingga dengan adanya kerjasama antara sistem kekebalan tubuh dan infusa akar kayu kuning


(49)

dalam tubuh mencit dapat mengeliminasi jumlah parasit yang ada. Hal ini dapat dilihat pada kelompok A3 yaitu jumlah parasitemianya berkurang pada hari ke-7 setelah infeksi (Kusuma 2011).


(50)

Tabel 4 Rata-rata persentase monosit dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning.

Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 3.44±1.56abcdef 3.44±1.11abcdef 3.66±1.24abcdef 4.66±0.85defg 4.88±0.68fgh 3.77±1.18abcdef

KP 4.26±1.32cdefg 3.86±0.72abcdef 4.79±1.17efgh 4.20±1.12bcdefg 3.75±1.31abcdef 5.66±0.23gh A1 6.26±2.78h 3.20±1.23abcde 4.16±1.53bcdefg 3.16±0.59abcde 3.66±0.23abcdef 5.00±0.94fgh

A2 2.99±1.02abcd 2.80±0.80abc 2.33±0.97a 2.99±0.91abcd 3.08±0.49abcd 4.33±0.81cdefg

A3 3.00±0.97abcd 2.53±1.06ab 3.00±0.52abcd 2.66±0.97abc 2.25±0.63a 2.50±0.82ab

*Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625; 1.25; 3.75.

Tabel 5 Rata-rata persentase limfosit dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning.

Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 42.22±7.26abcdefgh 43.33±8.38bcdefgh 40.88±6.64abcdefg 37.77±7.43abc 34.44±3.30ab 34.11±5.19ab

KP 39.66±5.93abcdef 49.66±8.79defghi 52.86±8.71hi 51.66±10.88ghi 42.91±11.06abcdefgh 31.83±4.35a A1 40.14±13.03abcdef 38.26±12.47abcd 47.15±0.10cdefghi 49.66±5.41defghi 49.66±0.23defghi 39.18±5.29abcde A2 49.46±3.58defghi 50.73±5.17fghi 56.86±9.52i 49.66±2.69defghi 50.75±8.62fghi 49.77±4.22efghi A3 35.46±7.78ab 43.33±5.58bcdefgh 53.33±10.62hi 57.46±11.46i 50.00±3.86efghi 47.83±0.35cdefghi *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625; 1.25; 3.75.


(51)

Basofil

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning, dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 14.

Gambar 14 Rata-rata persentase basofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya diberi larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 6 dan gambar 14, pada kelompok A1 pada hari ke-1 dan ke-2 menunjukkan nilai nol atau tidak ditemukan basofil. Kemudian mulai pada hari ke-3 sampai hari ke-7 persentase basofilnya meningkat dan menunjukkan persentase yang sama yakni 0.16%. Persentase basofil pada kelompok A2 dan A3 pada hari ke-1 menunjukkan hasil yang sama yakni 0.06%, persentasenya lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, KP, dan A1. Pada hari ke-2 tidak ditemukan adanya basofil pada kelompok perlakuan A2, kemudian pada hari ke-3 sampai hari ke-7 terjadi peningkatan basofil. Persentase basofil pada hari ke-4 lebih tinggi dibandingkan dengan semua kelompok. Kelompok perlakuan A3 pada hari ke-2 dan ke-3 mengalami peningkatan basofil, persentasenya lebih tinggi dari semua kelompok. Pada hari ke-4 terjadi penurunan basofil dan pada hari ke-7 terjadi peningkatan kembali, persentasenya lebih tinggi daripada KN, KP, A1, dan A2, yakni 1.00%.

Persentase basofil pada tiap perlakuan tidak menunjukan hasil yang berarti. Hal ini dikarenakan basofil kurang merespon akan adanya parasit. Menurut Campbell et al. (2004), basofil memiliki peran utama dalam berbagai proses alergi dan penutupan luka, serta basofil kurang berperan terhadap adanya parasit. Selain itu, basofil juga berperan dalam respon peradangan, basofil mengandung zat


(52)

heparin (antikoagulan) yang dilepas didaerah peradangan guna mencegah pembekuan darah dalam reaksi inflamasi (Frandson 1992). Peningkatan persentase basofil pada kelompok A3 tiap harinya, mungkin karena peningkatan persentase limfosit. Menurut Tizard (1988), adanya infiltrasi basofil dapat disebabkan karena adanya pelepasan limfokin basofil-kemotaktik dari sel T. Peningkatan basofil ini menunjukkan keterlibatan basofil dalam mencegah rekasi inflamasi akibat tingginya persentase limfosit dan kerjasama dengan berberin yang terkandung dalam ekstrak yang mempunyai fungsi antiinflamasi.


(53)

Tabel 6 Rata-rata persentase basofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning.

Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7

KN 0.00±0.00a 0.22±0.13a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.11±0.13a 0.00±0.00a

KP 0.06±0.14a 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.26±0.15a 0.00±0.00a 0.00±0.00a

A1 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.16±0.11a 0.16±0.11a 0.16±0.11a

A2 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.00±0.00a 0.08±0.14a 0.33±0.40a 0.33±0.40a

A3 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.13±0.18a 0.26±0.59a 0.08±0.14a 1.00±0.70b

*Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625; 1.25; 3.75.


(54)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Rata-rata persentase netrofil tertinggi dari seluruh kelompok perlakuan yang diberi infusa C. fenestratum yaitu pada kelompok dosis 1 (A1) hari ke-1 setelah infeksi dengan persentase 58%.

2. Rata-rata persentase eosinofil dan monosit tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 1 (A1) hari ke-7 setelah infeksi dengan persentase masing-masing 1.6% dan 5.00%.

3. Rata-rata persentase limfosit tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 3 (A3) hari ke-3 setelah infeksi, dengan persentase 57.46%.

4. Rata-rata persentase basofil tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 3 (A3) hari ke-7 setelah infeksi, dengan persentase 1%.

5.2. Saran

Perlu diadakan uji lanjut mengenai pemberian ekstrak air akar kayu kuning (Coscinium fenestratum) dengan jangka waktu lebih lama untuk menurunkan tingkat parasitemia dan peningkatan daya tahan tubuh.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta : Depkes RI

Anonim. 2007. Peranan Tanaman Obat Dalam Pengembangan Hutan Tanaman. http://www.dephut.go.id/index.php?q=en/node/352

Bratawidjaja KG. 2003. Imunologi Dasar. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.

Caceci T. 1998. Formed Element of Blood. The Cancer Journal II (3): 1742-11826 http://www.cvm.tamu.edu/vaphgii/labotec.html. [23 Juni 2011] [Abstract]. Campbell NA, Jane BR, Lawrence GM. 2004. Biologi. Manalu W, penerjemah;

Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Carter B, Diggs CL. 1977. Parasitic Protozoa. New York: 184-218. Academic Press.

[CDC]. 2010. Malaria life cycle. www.dpd.cdc.gov/dpdx. [23 Juni 2011]

Darlina, Devita T. 2008. Daya Infeksi Plasmodium berghei Stadium Eritrositik yang Diirradiasi Sinar Gamma. http://nbc.batan.go.id. [23 Juni 2011]. Dechwisissakul P, Bavovada R, Thonghoom P. 2000. Pharmacognostic

identification of Hamm. Thai J Pharm Sci; 24 (suppl): 31 [Abstract]. Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner. Ed ke-3. UI Press, Jakarta. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Hari Malaria

Sedunia. http://www.penyakitmenular.info. [22 Juni 2011]

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian Tikus Khusus di Rumah Sakit. http://www.depkes.go.iddownloads-Pengendalian 20Tikus. Pdf [23 Juni 2011].

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Jakarta : 28-39.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Farmakope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta: Ditjen POM.

Dewi RM, Sulaksono E. 1994. Pengaruh Pasase P. berghei pada Mencit strain Swiss. Cermin Dunia Kedokteran Vol. ke-94. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma. Hlm.2. http://www.kalbe.co.id.htm. [23 Juni 2011].

Dewi RM, Harijani AM, Emiliana T, Suwarni, Rabea P.Y. 1996. Keadaan Hematologis Mencit yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokteran. No 106.

Forman L.L. 1986. Menispermaceae. Flora Malesiana Series I – Spermatophyta Flowering Plants. 10 (2): 157 – 253. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.

Frandson RD. 1986. Anatomy and Physiology Of Farm Animals. 4th Edition. USA: Lea and Febiger.


(56)

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fullerton DS.1990. Anti Malaria. Doerge RF, editor. Buku teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Terjemahan: Fatah AM. Ed ke-8. Semarang : IKIP semarang press.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Ed ke-4 Bagian VI. Petrus Andianto, Penerjemah Jakarta: EGC.

Gandahusada S, Herry DI, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3. FKUI. Jakarta : Penerbit Gaya Baru. 171-199.

Ganong WF. 2002. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Penerbir Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE.1996. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hafizhiah NH. 2008. Total Leukosit dan Diferensiasinya pada Kambing Peranakan Etawa (Capra aegagrus hircus) di Cariu, Bogor dan Cipanas-Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hargono D. 1996. Sekelumit Mengenai Obat Nabati dan Sistim Imunitas. Di dalam: Riyanto B, editor. Cermin Dunia Kedokteran. No 108. Jakarta: Group PT Kalbe Farma Tbk. [terhubung berkala]. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_108_obat_tradisional.pdf [25 Juli 2011]

Hartono. 1995. Histologi Veteriner (sitologi dan Jaringan Dasar). Bogor: Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and Febiger. USA.

Jekti RB, Sulaksono E, Sundari S, Marleta R, Subahagio. 1996. Pengaruh pasase terhadap gejala klinis pada mencit strain derived yang diinfeksi plasmodium berghei ANKA. Cermin Dunia Kedokteran No. 106 : 34 -40. Jiao Y, Wen J, Yun. 1999. Influence of Flavonoid of Astragalus Membranaceus’s

Stem and Leaves on the Function of Cell Mediated Immunity in Mice. Heilongjiang University [terhubung berkala]. http://www.nebi.nlm.nih.gov /pubmed.

Joy PP, Thomas J, Mathew S, Skaria BP. 1998. Medicinal Plants. India: Kerala Agricultural University.

Kern WMD. 2002. Cells and Composition of The Peripheral Blood. PDQ Hematology (March): 1-16.

Kusmardi, Shirly K, Dwita W. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Johar (Cassia siamea Lamk.) terhadap Peningkatan Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Sel Makrofag. Di dalam: Makara Kesehatan 10(2).


(1)

 

Duncan

interaksi

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

3

4

5

6

7

8

4siAIII

5

2.2500

2siAII

5

2.3340

7siAIII

5

2.5000

2.5000

1siAIII

5

2.5340

2.5340

3siAIII

5

2.6660

2.6660

2.6660

1siAII

5

2.8000

2.8000

2.8000

0siAII

5

2.9980

2.9980

2.9980

2.9980

3siAII

5

2.9980

2.9980

2.9980

2.9980

0siAIII

5

3.0000

3.0000

3.0000

3.0000

2siAIII

5

3.0000

3.0000

3.0000

3.0000

4siAII

5

3.0820

3.0820

3.0820

3.0820

3siAI

5

3.1680

3.1680

3.1680

3.1680

3.1680

1siAI

5

3.2020

3.2020

3.2020

3.2020

3.2020

0siKN

5

3.4420

3.4420

3.4420

3.4420

3.4420

3.4420

1siKN

5

3.4480

3.4480

3.4480

3.4480

3.4480

3.4480

2siKN

5

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

4siAI

5

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

3.6680

4siKP

5

3.7500

3.7500

3.7500

3.7500

3.7500

3.7500

7siKN

5

3.7780

3.7780

3.7780

3.7780

3.7780

3.7780

1siKP

5

3.8680

3.8680

3.8680

3.8680

3.8680

3.8680

2siAI

5

4.1680

4.1680

4.1680

4.1680

4.1680

4.1680

3siKP

5

4.2000

4.2000

4.2000

4.2000

4.2000

4.2000

0siKP

5

4.2660

4.2660

4.2660

4.2660

4.2660

7siAII

5

4.3380

4.3380

4.3380

4.3380

4.3380

3siKN

5

4.6680

4.6680

4.6680

4.6680

2siKP

5

4.7980

4.7980

4.7980

4.7980

4siKN

5

4.8880

4.8880

4.8880

7siAI

5

5.0000

5.0000

5.0000

7siKP

5

5.6680

5.6680

0siAI

5

6.2660

Sig.

.063

.051

.055

.054

.057

.069

.070

.061


(2)

Lampiran 4 Data perhitungan Tabel 5 untuk rata-rata persentase limfosit

dengan analisis statistik one way ANOVA dengan menggunakan uji

lanjut duncan

ANOVA

Limfosit

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

7070.237

29

243.801

4.374

.000

Within Groups

6688.823

120

55.740


(3)

 

Duncan

interaksi N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6 7 8 9

7siKP 5 31.8380

7siKN 5 34.1100 34.1100 4siKN 5 34.4480 34.4480 0siAIII 5 35.4680 35.4680

3siKN 5 37.7780 37.7780 37.7780

1siAI 5 38.2660 38.2660 38.2660 38.2660

7siAI 5 39.1880 39.1880 39.1880 39.1880 39.1880

0siKP 5 39.6640 39.6640 39.6640 39.6640 39.6640 39.6640 0siAI 5 40.1400 40.1400 40.1400 40.1400 40.1400 40.1400

2siKN 5 40.8880 40.8880 40.8880 40.8880 40.8880 40.8880 40.8880

0siKN 5 42.2220 42.2220 42.2220 42.2220 42.2220 42.2220 42.2220 42.2220 4siKP 5 42.9180 42.9180 42.9180 42.9180 42.9180 42.9180 42.9180 42.9180 1siKN 5 43.3320 43.3320 43.3320 43.3320 43.3320 43.3320 43.3320 1siAIII 5 43.3340 43.3340 43.3340 43.3340 43.3340 43.3340 43.3340

2siAI 5 47.1500 47.1500 47.1500 47.1500 47.1500 47.1500 47.1500 7siAIII 5 47.8300 47.8300 47.8300 47.8300 47.8300 47.8300 47.8300 0siAII 5 49.4680 49.4680 49.4680 49.4680 49.4680 49.4680 3siAII 5 49.6660 49.6660 49.6660 49.6660 49.6660 49.6660 1siKP 5 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 3siAI 5 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 4siAI 5 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 49.6680 7siAII 5 49.7780 49.7780 49.7780 49.7780 49.7780 4siAIII 5 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000

1siAII 5 50.7340 50.7340 50.7340 50.7340

4siAII 5 50.7500 50.7500 50.7500 50.7500

3siKP 5 51.6660 51.6660 51.6660

2siKP 5 52.8680 52.8680

2siAIII 5 53.3320 53.3320

2siAII 5 56.8680

3siAIII 5 57.4680

Sig. .053 .112 .081 .051 .065 .059 .066 .059 .078 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(4)

Lampiran 5

Data perhitungan Tabel 6 untuk rata-rata persentase basofil dengan

analisis statistik one way ANOVA dengan menggunakan uji lanjut

duncan

ANOVA

Basofil

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

5.626

29

.194

4.023

.000

Within Groups

5.787

120

.048


(5)

 

Duncan

interaksi N

Subset for alpha = 0.05

1 2

0siKN 5 .0000

0siAI 5 .0000

0siAII 5 .0000

0siAIII 5 .0000

1siKP 5 .0000

1siAI 5 .0000

2siKN 5 .0000

2siAI 5 .0000

2siAII 5 .0000

3siKN 5 .0000

4siKP 5 .0000

7siKN 5 .0000

7siKP 5 .0000

0siKP 5 .0660

1siAII 5 .0660

1siAIII 5 .0660

2siKP 5 .0660

3siAII 5 .0820

4siAIII 5 .0820

4siKN 5 .1100

2siAIII 5 .1320

3siAI 5 .1680

4siAI 5 .1680

7siAI 5 .1680

1siKN 5 .2200

3siKP 5 .2640

3siAIII 5 .2660

4siAII 5 .3320

7siAII 5 .3320

7siAIII 5 1.0000

Sig. .061 1.000


(6)