Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga dari Suku yang Sama dan Berbeda

(1)

POLA KOMUNIKASI, PENYESUAIAN SUAMI ISTRI, DAN KEHARMONISAN KELUARGA

DARI SUKU YANG SAMA DAN BERBEDA

VENTI SANDITYA SEPTIANA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

This study aimed to analyze communication pattern, marital adjustment, and harmony of the same and different ethnic families. Samples in this research were 30 different ethnic families and 30 same ethnic families, selected purposively with the criteria husband and wife from the same or different ethnic. The data was collected through interviewing both husband and wife with the help of questionnaires. Communication pattern was measured by how couples communicate things that happen in the family, while adjustment was measured by four aspects: adjustment with a partner, sexual adjustment, financial adjustments, and adjustments to the partner’s family. Family’s harmony was measured based on samples satisfaction. The data was analyzed descriptively and inferentially using Independent sample t-test, Pearson correlation and multiple linear regressions. Result showed that generally communication pattern of husband and wife from the same and different ethnic families categorized as high category while marital adjustment and family’s harmony of the same ethnic and different ethnic families was categorized as moderate. There were no differences on communication pattern, adjustment, and family’s harmony between different and same ethnic families (p>0,05). There were statistically significant negative relationship between age, age when married, and income with family’s harmony in different ethnic families. In addition, there was a significant positive relationship between communication pattern and adjustment with family’s harmony in both groups of family. Factors that affected the family harmony were communication pattern and marital adjustment.

Keywords: Harmony, Adjustments, Ethnic, Communication Pattern ABSTRAK

VENTI SANDITYA SEPTIANA. Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga dari Suku yang Sama dan Berbeda. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan MEGAWATI SIMANJUNTAK.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda yang melibatkan 30 keluarga sama suku dan 30 keluarga beda suku dipilih secara purposive dengan kriteria suami istri dengan suku yang sama dan berbeda. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap suami dan istri dengan bantuan kuisioner. Pola komunikasi diukur dengan cara bagaimana pasangan mengkomunikasikan hal-hal yang terjadi di dalam keluarga. Penyesuaian terdiri dari empat aspek yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Keharmonisan keluarga diukur berdasarkan kepuasan responden. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan inferensia dengan menggunakan uji beda Independent t-test, korelasi Pearson dan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi suami istri pada keluarga sama suku dan beda suku berada pada kategori tinggi. Penyesuaian suami istri dan keharmonisan pada keluarga sama suku dan beda suku berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan pola komunikasi, penyesuaian, dan keharmonisan keluarga antara keluarga beda suku dan keluarga sama suku (p>0,05). Terdapat hubungan yang negatif signifikan antara usia, usia menikah dan pendapatan dengan keharmonisan keluarga pada keluarga beda suku. Selain itu terdapat hubungan yang positif signifikan antara pola komunikasi dan penyesuaian dengan keharmonisan keluarga pada keluarga sama suku dan beda suku. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga adalah pola komunikasi dan penyesuaian.


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga Dari Suku yang Sama dan Berbeda” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Venti Sanditya Septiana


(4)

ABSTRAK

VENTI SANDITYA SEPTIANA. Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga dari Suku yang Sama dan Berbeda. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan MEGAWATI SIMANJUNTAK.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda yang melibatkan 30 keluarga sama suku dan 30 keluarga beda suku dipilih secara

purposive dengan kriteria suami istri dengan etnis yang sama dan berbeda. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan bantuan kuisioner. Pola komunikasi diukur dengan cara bagaimana pasangan mengkomunikasikan hal-hal yang terjadi di dalam keluarga. Penyesuaian terdiri dari empat aspek yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Keharmonisan keluarga diukur berdasarkan kepuasan contoh. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif, uji beda Independent t-test, korelasi pearson dan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi suami istri pada keluarga sama suku dan beda suku berada pada ketegori tinggi. Penyesuaian suami istri dan keharmonisan pada keluarga sama suku dan beda suku berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan pola komunikasi dan penyesuaian antara keluarga beda suku dan keluarga sama suku (p>0,05). Terdapat hubungan yang negatif signifikan antara usia contoh dan pendapatan dengan keharmonisan keluarga pada keluarga beda suku. Selain itu terdapat hubungan yang positif signifikan antara pola komunikasi contoh dan penyesuaian contoh dengan keharmonisan keluarga pada keluarga sama suku dan beda suku. Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga adalah pola komunikasi contoh dan penyesuaian contoh.


(5)

ABSTRACT

VENTI SANDITYA SEPTIANA. Communication pattern, marital adjustment, and family harmony from the same ethnic and different ethnic. Supervised by DIAH KRISNATUTI and MEGAWATI SIMANJUNTAK.

This study aims to analyze communication pattern, marital adjustment, and family harmony from the same ethnic and different ethnic. Samples in research are 30 different ethnic families and 30 same ethnic families selected purposively with the criteria of husband and wife with the same and different ethnic. The data was collected through interviews with the help of questionnaires. Communication pattern is measured by how couples communicate things that are happening in the family. Adjustment was measured by Hurlock (2002) that divides into four aspects, namely the adjustment with a partner, sexual adjustment, financial adjustments, and adjustments to the partner's family. Family harmony is measured based on satisfaction samples. Analysis of the data used is descriptive, Independent sample t-test, Pearson correlation and multiple linear regression. Results showed that communication pattern husband and wife from the same ethnic families and different ethnic families rates of categorize high category. Marital adjustment and family harmony in the same ethnic and different ethnic in the category of being. There were no differences in communication pattern, adjustment, and family harmony among different ethnic families and same ethnic families (p>0,05). There is a significant negative relationship between age and income samples with family harmony in different ethnic. In addition there is a significant positive relationship between communication pattern samples and adjustment samples with family harmony in the same ethnic families and different ethnic families. Factors that affect the family harmony is communication pattern samples and marital adjustment samples.  


(6)

RINGKASAN

VENTI SANDITYA SEPTIANA. Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga Dari Suku Yang Sama dan Berbeda. Di bawah bimbingan DIAH KRISNATUTI dan MEGAWATI SIMANJUNTAK.

Angka perceraian di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Sejak Januari hingga Maret 2010 Pengadilan Agama (PA) Cibinong mencatat sedikitnya 500 berkas pengajuan permohonan perceraian. Ada banyak hal yang menyebabkan suatu rumah tangga mengalami masalah atau mungkin berada pada ambang keretakan, seperti kesibukan suami istri, tidak terjalinnya komunikasi yang baik, buruknya pengasuhan anak, masalah keuangan, hilangnya kepercayaan, dan masalah seksualitas (Pratiwi 2008).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda. Adapun secara khusus bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi keluarga sama suku dan beda suku 2) Mengidentifikasi perbedaan pola komunikasi dan penyesuaian antara suami istri pada keluarga sama suku dan beda suku 3) Mengidentifikasi keharmonisan keluarga sama suku dan beda suku 4) Mengidentifikasi hubungan pola komunikasi suami istri, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan suami istri, karakteristik keluarga contoh dengan keharmonisan keluarga 5) Menganalisis hubungan pola komunikasi suami istri, penyesuaian suami istri, dan karakteristik keluarga contoh dengan keharmonisan pada keluarga sama suku dan beda suku dan 6) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan pada keluarga sama suku dan beda suku

Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study yaitu suatu penelitian dengan teknik pengambilan data dalam satu waktu tertentu yang dilakukan di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor dan dilakukan secara purposive sampling dengan alasan daerahnya cukup heterogen suku penduduknya. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan kuisioner. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif dan inferensia (korelasi Pearson, regresi linear berganda, uji beda Independentt-test ).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi yang dilakukan suami istri sudah terkategori baik, namun penyesuaian dan keharmonisan


(7)

keluarga masih berada pada kategori sedang, baik pada keluarga beda suku maupun sama suku. Tidak terdapat perbedaan pola komunikasi, penyesuaian, dan keharmonisan keluarga antara keluarga beda suku dan sama suku. Pada keluarga beda suku, semakin tinggi usia contoh, usia ketika menikah contoh, dan pendapatan maka semakin rendah keharmonisan keluarga. Selain itu, pada keluarga sama suku dan juga beda suku, semakin baik pola komunikasi dan penyesuaian contoh maka semakin baik pula keharmonisan keluarga. Faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga yaitu pola komunikasi dan penyesuaian. Hal ini berarti keharmonisan sebuah keluarga tidak dilihat dari adanya perbedaan atau kesamaan suku, melainkan dipengaruhi oleh pola komunikasi dan penyesuaian pasangan. Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga pada keluarga beda suku yaitu pendapatan dan penyesuaian, sedangkan pada keluarga sama suku faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga yaitu penyesuaian.

Lebih dari separuh istri dan suami pada keluarga beda suku memiliki usia dewasa awal (20-40 tahun), begitupula istri pada keluarga sama suku. Namun lebih dari separuh suami pada keluarga sama suku memiliki usia dewasa madya (41-60 tahun). Sebagian besar contoh menikah pada kategori usia (20-30 tahun) dan memiliki lama pernikahan 5 hingga 10 tahun. Hampir separuh contoh pada keluarga beda suku bersuku jawa, begitupula pada keluarga sama suku lebih dari separuh contoh bersuku jawa. Proporsi terbesar lama pendidikan istri dan suami pada keluarga beda suku dan sama suku adalah SMA (10-12 tahun) dan tamat perguruan tinggi. Lebih dari separuh istri pada keluarga beda suku dan sama suku tidak bekerja (ibu rumahtangga), sedangkan lebih dari separuh suami pada keluarga beda suku dan sama suku bekerja sebagai pegawai atau karyawan swasta. Lebih dari separuh contoh memiliki ukuran keluarga kecil. Sebagian besar contoh pada keluarga beda suku memiliki pendapatan sebesar Rp 250.000,00 – Rp 3.666.667,00, pada keluarga sama suku memiliki pendapatan Rp 400.000,00 –Rp 5.250.000,00. Berdasarkan Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS (2010), sebagian besar contoh memiliki pendapatan keluarga per kapita per bulan lebih besar dari Rp 591.957,00.


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(9)

POLA KOMUNIKASI, PENYESUAIAN SUAMI ISTRI, DAN KEHARMONISAN KELUARGA

DARI SUKU YANG SAMA DAN BERBEDA

 

 

 

 

 

VENTI SANDITYA SEPTIANA

 

 

 

Skripsi

Sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(10)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga dari Suku yang Sama dan Berbeda

Nama : Venti Sanditya Septiana

NIM : I24070022

Disetujui,

 

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS. Megawati Simanjuntak, SP, M.Si. Pembimbing I Pembimbing II

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tanggal Lulus : Diketahui,

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk melakukan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung, memotivasi dan memberikan doa serta semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS. sebagai pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik yang terus memberikan bimbingan, dukungan, perhatian dan saran selama penulisan skripsi ini.

2. Megawati Simanjuntak SP, M.Si. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak masukan serta perbaikan yang positif sehingga dapat menyempurnakan penyelesaian skripsi ini.

3. Tin Herawati SP, M.Si. sebagai dosen pemandu seminar yang telah memandu seminar dan memberikan masukan sehingga dapat menyempurnakan penyelesaian skripsi ini. 4. Orang Tua yang telah memberikan dukungan dan memotivasi penulis untuk terus

berkarya dan berprestasi. Bapak Subaryadi S.E. dan Ibu Shanty Utami, merekalah yang tiada hentinya berjuang dan berdoa untuk mendukung penulis selama menempuh pendidikan dan penyelesaian skripsi. Selain itu untuk adik tersayang Ajeng Retno Yunita serta keluarga besar yang selalu memberikan doa dan dukungan baik secara fisik maupun non fisik.

5. Teman-teman seperjuangan Sri Wahyuningsih, Puspita Herawati, Sri Wahyuni Rahayu, dan Husfani A. Putri sebagai teman dalam penelitian yang mengalami suka duka bersama dan sebagai tempat berbagi keluh kesah serta tawa selama proses penelitian dan skripsi.

6. Latifatul Hayati, Ulfah Maesyaroh, Karimah Alatas, Mustika Dewanggi, Fitri Sari, Astari Sukmaningtyas, Nur Rochimah, dan Ine Rahmatin, teman seperjuangan yang selalu bersedia berbagi kesulitan serta memberikan masukan, kritik, dan motivasi dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.


(12)

7. Harmalinda, Nishe Fransiska, Khairul Bariyah, dan Lucy Amilia, teman di kosan yang memberikan motivasi, dukungan, dan saling berbagi canda dan tawa ketika senang dan susah.

8. Yanti Novi Yanti, Margaretha J.P., Malahayati Sartika, Andriyani R., Hedy M.P., sahabat-sahabat yang selalu memberikan semangat serta doa dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman rohis IKK 44 (Al-Awwal) dan seluruh teman seangkatan IKK 44 yang penuh dengan keceriaan dan keakraban, sebuah kenangan manis dan indah yang tak akan terlupakan serta bisa menjadi bagian dari keharmonisan keluarga di IKK angkatan 44.

10. Kepada semua pihak yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. Atas perhatian, saran, dan kritik yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Desember 2011

Venti Sanditya Septiana


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat menyebabkan tingkat perceraian semakin tinggi. Selain itu, akibat banyaknya wanita yang terjun ke dalam dunia pekerjaan menyebabkan waktu kebersamaan untuk suami dan istri menjadi berkurang. Data terakhir hasil perhitungan Kementerian Agama RI mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10 persen dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian (Nasrullah 2011).

Angka perceraian di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Sejak Januari hingga Maret 2010 Pengadilan Agama (PA) Cibinong mencatat sedikitnya 500 berkas pengajuan permohonan perceraian. Setiap hari sedikitnya 40 sidang perceraian berlangsung di Pengadilan Agama Cibinong. Data dari Pengadilan Agama Cibinong, jumlah kasus perceraian mengalami peningkatan. Sebagian besar kasus gugatan perceraian dilakukan oleh pihak istri (cerai gugat). Pada bulan Februari 2010 jumlah kasus yang masih ditangani Pengadilan Agama Cibinong mencapai 438 kasus. Ada banyak hal yang menyebabkan suatu rumah tangga mengalami masalah atau mungkin berada pada ambang keretakan, seperti kesibukan suami istri, tidak terjalinnya komunikasi yang baik, buruknya pengasuhan anak, masalah keuangan, hilangnya kepercayaan, dan masalah seksualitas (Pratiwi 2008).

Perkembangan informasi dan teknologi yang semakin pesat saat ini juga telah banyak membawa perubahan budaya secara global serta berpengaruh di dalam membina kehidupan rumah tangga. Teknologi yang banyak digunakan oleh suami istri saat ini, yaitu handphone dan penggunaan internet (facebook dan twitter). Melalui handphone dan internet suami istri bisa berkomunikasi dengan teman-teman lama, jika penggunaannya tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perselingkuhan antar suami istri. Pengejaran kebutuhan materi dan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dapat menjadi akibat dari segala macam tuntutan, pada saat suami istri sedang memiliki kesibukan masing-masing tentunya waktu untuk berkumpul bersama keluarga menjadi kurang, bahkan bisa tidak bertatap muka dengan anak maupun antar pasangan. Selain itu, perbedaan gaya hidup antar pasangan juga dapat


(14)

menyebabkan ketidakharmonisan keluarga (Tarmizi 2009). Berbagai isu yang dikemukakan di atas dapat menimbulkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga, terutama hubungan antar suami istri yang dapat mempengaruhi hubungan antara orang tua dan anak.

Irama kehidupan yang semakin bergerak cepat membuat kehidupan keluarga menjadi penuh tekanan dan persaingan, sehingga banyak yang merasa asing dari ikatan-ikatan pernikahan, karena masing-masing hanya memperturutkan ego dan dominasi kepentingan pribadi, serta tidak menjaga komunikasi antara suami istri. Kehidupan keluarga pun menjadi terasa kering dan hambar, sehingga keluarga menjadi rentan terhadap berbagai masalah dan konflik yang muncul. Baik suami ataupun istri dapat mengalami ketidakpuasan dalam pernikahan meskipun tidak ada konflik dalam rumah tangganya (Sumpani 2008). Namun suami istripun juga dapat merasa sangat puas dalam ikatan pernikahan ketika masalah atau konflik dapat terpecahkan secara bersama.

Kepadatan dalam keluarga jelas berpengaruh besar terhadap hubungan antar pribadi dalam keluarga. Adanya perbedaan secara perorangan, yaitu dalam hal usia, pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab akan mempersulit untuk saling menyesuaikan. Interaksi yang semakin majemuk, menimbulkan kesulitan untuk membina komunikasi yang baik (Gunarsa 2008). Sadarjoen (2005) dalam Sumpani (2008) menyatakan bahwa komunikasi merupakan titik pusat cara pasangan suami istri untuk hidup harmonis satu sama lain. Setelah pasangan dapat saling berkomunikasi, maka suami istri dapat saling berbagi dalam sistem interaksi yang selalu berubah dan bergerak maju serta terjadinya perubahan fase kehidupan pada masing-masing pasangan disamping berbagi perasaan, pengasuhan anak-anak, kejadian yang menyenangkan dan kejadian dalam menghadapi masalah.

Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa rawan, bahkan dapat disebut sebagai era kritis karena pengalaman pasangan suami istri belum banyak. Menurut Clinebell & Clinebell (2005) dalam Anjani dan Suryanto (2006), periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan. Pasangan suami istri harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri yang mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Masing-masing pasangan harus dapat menyesuaikan satu sama lain serta saling memberi dan menerima.


(15)

Masalah penyesuaian adalah suatu hal yang sifatnya universal dan unik, karena setiap individu mau tidak mau harus menghadapi masalah atau kesulitan dalam kehidupannya sehingga perlu melakukan penyesuaian. Sumber masalah tersebut dapat berubah-ubah pada tiap periode kehidupan, untuk itulah perlu melakukan penyesuaian. Pada saat seorang pria dan seorang wanita menikah, tentunya masing-masing membawa nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, dan gaya penyesuaian sendiri-sendiri ke dalam perkawinan tersebut. Masing-masing memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, tentu saja ada perbedaan dalam susunan nilai serta tujuan yang ingin dicapai, untuk itulah perlu dilakukan penyesuaian sehingga kebutuhan dan harapan masing-masing pasangan dapat terpenuhi dan memuaskan (Anjani dan Suryanto 2006). Menurut Hurlock (1994) penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.

Perumusan Masalah

Isu permasalahan keluarga muncul dari ketidakharmonisan suami istri, kenakalan anak-anak, bahkan sampai berakhir pada perceraian, anak-anak yang terlibat dalam pergaulan bebas, serta terjadinya kekerasan dikalangan anak-anak. Hal ini sebagian besar diakibatkan karena pola komunikasi yang kurang tepat atau komunikasi yang tidak efektif di dalam keluarga. Setiap keluarga memiliki aturan, pedoman, kebiasaan, tujuan dan tindakan yang berbeda. Perbedaan pola komunikasi dalam keluarga dapat disebabkan oleh faktor budaya individu tinggal dan dilahirkan, kebiasaan serta pengasuhan yang diberikan oleh orang tuanya kepadaindividu (Ahira 2011).

Menurut Burgess dan Locke (1960) kesulitan perkawinan merupakan sumber utama masalah hubungan suami istri. Sumber masalah lainnya adalah hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan tidak adanya persahabatan yang saling menguntungkan. Sedangkan Goldsmith (1996) dalam Sunarti (2001) mengelompokkan tiga area interaksi suami istri yang merupakan sumber konflik yaitu uang, pekerjaan, dan seks.

Banyak hal yang terjadi dalam sebuah perkawinan mulai dari masalah pembagian peran dan tugas antar suami istri, perbedaan sifat yang dimiliki antar suami istri, perbedaan dalam memberikan kasih sayang antar suami istri, kurangnya komunikasi antar pasangan, serta konflik yang muncul dalam


(16)

keluarga. Suami istri harus mampu menciptakan komunikasi yang harmonis dalam keluarga, sebab komunikasi harmonis akan memungkinkan adanya saling pengertian dan ketulusan terhadap segala aspek kehidupan itu sendiri.

Hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengoptimalkan dan mengefektifkan komunikasi antar anggota keluarga, serta menyediakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga agar dapat terbentuk keharmonisan dalam keluarga. Jika perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang didapatkan masing-masing pasangan lebih besar dibandingkan dengan kepuasan dari dimensi-dimensi lain dalam kehidupan (Duvall dan Miller 1985). Oleh karena itu, hal yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pola komunikasi dan penyesuaian suami istri terhadap keharmonisan keluarga. Dengan demikian, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi keluarga contoh?

2. Bagaimana pola komunikasi dan penyesuaian yang dilakukan oleh suami dan istri?

3. Bagaimana keharmonisan keluarga contoh?

4. Apakah terdapat hubungan pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan karakteristik keluarga dengan keharmonisan keluarga?

5. Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga?

6. Apakah terdapat hubungan pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan karakteristik keluarga dengan keharmonisan keluarga pada keluarga beda suku dan sama suku?


(17)

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi keluarga sama suku dan beda suku

2. Mengidentifikasi perbedaan pola komunikasi dan penyesuaian antara suami istri pada keluarga sama suku dan beda suku

3. Mengidentifikasi keharmonisan keluarga sama suku dan beda suku

4. Menganalisis hubungan pola komunikasi suami istri, penyesuaian suami istri, dan karakteristik keluarga contoh dengan keharmonisan pada keluarga sama suku dan beda suku.

5. Mengidentifikasi hubungan pola komunikasi suami istri, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan suami istri, karakteristik keluarga contoh dengan keharmonisan keluarga

6. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan pada keuarga sama suku dan beda suku

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menyediakan informasi kepada peneliti di bidang keluarga mengenai pola komunikasi dan penyesuaian suami istri dengan keharmonisan keluarga. Hubungan antara pola komunikasi dan penyesuaian suami istri dengan keharmonisan keluarga, diharapkan dapat menambah informasi dalam penelitian keluarga. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi lembaga dan institusi pemerintahan maupun pendidikan mengenai kehidupan keluarga yang merupakan bagian dari suatu komunitas, serta bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan keharmonisan dalam keluarga, sehingga tingkat perceraian akan dapat berkurang.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Fungsi Keluarga

Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang memiliki peranan penting terhadap perkembangan sosial, terutama pada awal-awal tahapan perkembangan yang menjadi landasan bagi tahapan perkembangan kepribadian selanjutnya (Gunarsa 2008). Keluarga merupakan instansi pertama dan utama yang terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, adopsi, dan saling berinteraksi satu sama lain serta memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri individu dalam pembentukan kepribadian individu. Jika keluarga bukan merupakan instansi pertama bagi sosialisasi diri individu maka lingkungan luar akan mengambil alih posisi instansi pertama tersebut dan mempunyai peran terhadap pembentukan kepribadian individu tersebut.

Menurut Burgess dan Locke (1960) empat ciri keluarga yaitu: 1) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi; 2) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap rumah serta merupakan susunan rumah tangga; 3) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi dan menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, serta saudara laki-laki dan saudara perempuan. Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan emosional yang menghasilkan pengalaman; 4) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.

Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai yakni membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Tujuan dalam membentuk keluarga antara lain mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anggota keluarga, serta mendapatkan keturunan sebagai generasi penerus bangsa berikutnya. Keluarga yang sejahtera dapat diartikan sebagai keluarga yang dibentuk atas dasar pernikahan yang sah, dapat memenuhi kebutuhan hidup baik dalam segi fisik maupun psikologi, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat menciptakan hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga maupun antara keluarga dengan masyarakat atau lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992 dalam Puspitawati 2009).


(19)

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1994) menyebutkan ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, antara lain:

1. Fungsi keagamaan yaitu keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan agama yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Fungsi sosial budaya yaitu memberikan kepada keluarga dan seluruh

anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

3. Fungsi cinta kasih yaitu keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. 4. Fungsi melindungi yaitu untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan. 5. Fungsi reproduksi yaitu mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang

direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan yaitu dengan memberi peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar dapat melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan masa depan.

7. Fungsi ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.

8. Fungsi pembinaan lingkungan yaitu memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.

Setiap anggota keluarga sebaiknya dapat menjalankan serta mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga tersebut agar dapat tercipta keluarga yang berkualitas. Pengembangan kualitas diri dan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, mental spiritual, nilai-nilai keagamaan, dan peningkatan usaha kesejahteraan lainnya (PP no. 21 1994).

Jika anggota keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dengan baik, maka antar anggota keluarga dapat saling memberikan perhatian satu sama lain, secara emosional mereka dapat saling terhubung satu sama lain


(20)

dan saling mendukung anggota keluarganya. Borr (1970) dalam Puspitawati (2009) menyatakan bahwa semakin meningkatnya usia perkawinan maka semakin baik pula keluarga dalam melaksanakan fungsinya. Maneker dan Rankin (1985) dalam Puspitawati (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara lama perkawinan, umur, dan tingkat pendidikan pasangan. Semakin lama usia perkawinan maka kesesuaian anggota keluarga akan semakin meningkat.

Menurut Bulut (1990) dalam Puspitawati (2009) juga menunjukkan bahwa anggota keluarga melaksanakan fungsi keluarganya menjadi lebih baik seiring meningkatnya lama usia perkawinan. Menurut Goleman (1998) dalam Puspitawati (2009) berdasarkan penelitiannya yang mengukur kepuasan pasangan, menunjukkan bahwa dalam permasalahan perasaan di antara pasangan ’komunikasi yang efektif’ merupakan faktor yang paling penting bagi wanita.

Penyesuaian dalam Perkawinan

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Dalam perkawinan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya (Anjani dan Suryanto 2006). Hal ini berarti pasangan harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, oleh karena itu diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling menyesuaikan diri untuk mencapai keharmonisan.

Tanpa memperhatikan tipe keluarganya, penyesuaian dalam perkawinan merupakan salah satu masalah yang paling sulit dan harus dialami oleh pasangan (Hurlock 2002). Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan dalam hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan dalam perkawinan, mencegah kekecewaan dan perasaan-perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri serta di kehidupan dalam bermasyarakat (Hurlock 2002). Menurut Hurlock (2002) pasangan suami istri yang melakukan penyesuaian diri berupaya untuk


(21)

dapat berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta, menunjukkan afeksi, dan melakukan konumikasi terhadap perbedaan yang dimiliki.

Penyesuaian merupakan interaksi individu yang secara terus-menerus dengan dirinya, orang lain, dan dengan dunianya. Penyesuaian diri menurut Atwater (1983) adalah suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki oleh seseorang menurut Haber dan Runyon (1984) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) adalah memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas atau kenyataan, mampu mengatasi atau menangani tekanan atau kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu untuk mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.

Penyesuaian diri dalam perkawinan adalah perubahan dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan yang ditandai dengan adanya kecocokan, persetujuan dan kepercayaan serta kasih sayang antara suami istri sehingga pada hubungan di antara keduanya dapat berjalan dan berfungsi dengan baik (Hapsariyanti & Taganing 2009). Menurut Landis dan Landis (1970) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) menyatakan bahwa ada beberapa area penyesuaian pada suatu perkawinan, yaitu kepribadian dan kemampuan untuk saling menyesuaikan diri dengan pasangan. Hal ini menyangkut kemampuan untuk saling menyesuaikan terhadap pribadi serta kebiasaan pasangannya. Di sini termasuk bagaimana pasangan menyelesaikan konflik dan perbedaan pendapat. Penyesuaian dalam perkawinan harus dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai dengan tingkat usia perkawinan pasangan (Hurlock 2002).

Landis dan Landis (1970) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) membatasi kriteria penyesuaian dalam perkawinan yang ditandai oleh adanya kesesuaian pendapat antara suami dan istri dalam hal yang dapat menjadi permasalahan besar; adanya minat dan kegiatan bersama; adanya pengungkapan kasih sayang dan rasa saling percaya; memiliki sedikit keluhan; dan tidak banyak memiliki perasaan kesepian, sedih, marah dan semacamnya.

Hurlock (2002) membagi masalah penyesuaian diri dalam perkawinan ke dalam empat pokok yang paling penting dan umum bagi kebahagian perkawinan antara lain: penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian dengan seksual, penyesuaian


(22)

keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga dari pihak masing-masing pasangan.

Penyesuaian dengan Pasangan

Masalah penyesuaian yang pertama kali dihadapi oleh keluarga adalah penyesuaian terhadap pasangannya (suami atau istri). Hubungan interpersonal mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan. Hubungan interpersonal jauh lebih rumit dibandingkan dengan hubungan bisnis atau persahabatan. Hal ini dikarenakan di dalam perkawinan terdapat berbagai faktor yang tidak biasa timbul dalam kehidupan individual (Hurlock 2002). Semakin banyak pengalaman dalam membina hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula wawasan sosialnya, serta semakin baik pula dalam menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan.

Hal yang lebih penting dalam penyesuaian perkawinan adalah kesanggupan dan kemampuan suami dan istri untuk berhubungan dengan mesra, serta saling memberi dan menerima cinta pasangan (Hurlock 2002). Berdasarkan Hurlock (2002) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan antara lain: konsep pasangan yang ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama, kesamaan nilai, konsep peran, dan perubahan dalam pola hidup.

Penyesuaian pada pasangan suami istri merupakan hal yang penting dalam perkawinan. Penyesuaian dalam perkawinan akan berjalan terus, sejalan dengan perubahan yang terjadi, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan usaha yang optimal untuk dapat mempertahankan perkawinan (Anjani & Suryanto 2006). Sebuah perkawinan dapat bertahan dengan adanya kemampuan komunikasi yang efektif di dalam keluarga, baik antara suami-istri, orangtua-anak, maupun anak-anak.

Hoffman dan Nye (1974) menyoroti penyesuaian perkawinan berdasarkan pembagian tugas rumah tangga antara suami istri. Wanita (istri) biasanya ditugaskan untuk mengurus masalah rumahtangga yakni: mengasuh, merawat, dan mendidik anak karena dianggap cocok dengan kondisi psikologis dan fisiologisnya. Sedangkan laki-laki (suami) ditugaskan sebagai pencari dan pemberi nafkah utama dan sebagai kepala keluarga yang harus dilayani dan dihormati oleh istri. Setiap suami maupun istri tentunya memiliki beberapa tugas yang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Menurut Gunarsa (1982)


(23)

setiap pasangan suami istri harus saling ikut serta dalam setiap perubahan yang terjadi melalui penyelesaian masalah demi masalah, khususnya perubahan dan perkembangan suasana rumah.

Menurut Hapsariyanti dan Taganing (2009) penyesuaian lainnya adalah pembagian peran. Suami istri harus membicarakan peran yang berkaitan dengan tugasnya sebagai suami istri. Suami istri harus membentuk persetujuan timbal-balik yang berkaitan dengan masalah peran suami dan istri di dalam rumah tangga, misalnya siapa yang lebih banyak berperan dalam mencari nafkah bagi keluarga dan siapa yang lebih banyak berperan dalam mengurus kehidupan keluarga sehari-hari. Penyesuaian pada pendapatan keluarga, pasangan suami istri harus melakukan penyesuaian terhadap pengelolaan pendapatan atau sumber keuangan keluarga termasuk pemakaiannya. Penyesuaian juga perlu dilakukan dalam rekreasi. Rekreasi atau kegiatan waktu luang berhubungan dengan kesesuaian antara suami dan istri mengenai pemakaian waktu bagi keluarga untuk berekreasi atau bersenang-senang bersama keluarga. Alokasi waktu itu mempunyai arti yang penting bagi kebahagiaan perkawinan setiap pasangan suami istri.

Penyesuaian diri di dalam perkawinan tidak terlepas dari kesediaan masing-masing individu untuk bisa memahami pasangannya dalam berbagai cara. Tetapi kepribadian, kesediaan berempati, latar belakang individu dan komunikasi yang baik juga merupakan syarat yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Untuk itu, penyesuaian perkawinan bukan merupakan suatu hal yang mudah tetapi justru harus diupayakan terus-menerus oleh pasangan suami istri (Hapsariyanti dan Taganing 2009).

Keberhasilan dalam proses penyesuaian perkawinan terletak pada kemampuan mereka untuk saling menyesuaiakan sudut pandang mereka satu sama lain. Oleh karena itu Hurlock (2002), tokoh yang juga berpendapat bahwa hubungan interpersonal memegang peran penting dalam sebuah perkawinan, menambahkan bahwa hal utama yang paling menimbulkan permasalahan adalah penyesuaian terhadap pasangan. Menurutnya, ada dua hal yang perlu dimiliki oleh pasangan suami istri untuk mencapai penyesuaian yang baik adalah kemampuan untuk saling memberi dan menerima afeksi secara terbuka serta kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi dengan baik.

Menurut Haber dan Runyon (1984) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki


(24)

oleh seseorang, yaitu memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas atau kenyataan, mampu mengatasi atau menangani stres dan kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Persepsi yang dimiliki individu biasanya diwarnai dengan keinginan dan motivasinya.

Dalam hal penyesuaian diri dalam perkawinan, peran kecerdasan emosional sangatlah penting. Karena dengan memiliki kecerdasan emosional, maka pasangan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan pasangannya. Kecerdasan emosional adalah suatu keajaiban dalam pemikiran yang memperlihatkan bagaimana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh ukuran besar kecil otak seseorang tetapi lebih kepada gagasan atau pemikiran seseorang dalam mengamati, memahami dirinya dan berinteraksi dengan orang lain Schwartz (1997) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009). Aspek kecerdasan emosional antara lain mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau berempati, dan membina hubungan (Goleman 2003) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009).

Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).

Penyesuaian Seksual

Menurut Hurlock (2002) masalah penyesuaian seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam perkawinan serta salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam perkawinan, jika kesepakatan tidak dapat dicapai dengan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan. Rubin dalam Hurlock (2002) menjelaskan bahwa wanita sejak bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya, wanita tidak dapat segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian seksual dalam perkawinan antara lain:


(25)

perilaku terhadap seks, dorongan seksual, dan sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi (Hurlock 2002).

Hasil penelitian Anjani dan Suryanto (2006) menyatakan bahwa meskipun setiap subjek mengakui tidak memiliki masalah dalam kehidupan seksualnya, namun hal ini bisa saja terjadi. Seperti adanya kehadiran seorang anak. Mungkin hal ini berpengaruh kecil, tetapi seringkali pasangan suami istri yang telah memiliki anak lebih mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak, sehingga waktu untuk bersama dengan pasangan menjadi berkurang bahkan sampai tidak ada. Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks, hal ini mungkin dikarenakan istri merasa kelelahan dan kekurangan waktu untuk bersama suami (Beardsley & Sanford 1994 dalam Anjani & Suryanto 2006).

Penyesuaian Keuangan

Memiliki uang yang lebih dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri pasangan dalam perkawinan. Banyak istri merasa sulit untuk menyesuaikan keuangan dengan pendapatan suami, hal ini dikarenakan istri telah terbiasa membelanjakan uang sesuka hatinya (Hurlock 2002). Begitupula dengan suami, ia merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan keuangan, terutama pada saat istri bekerja setelah menikah dan kemudian berhenti bekerja karena melahirkan anak pertama. Hal tersebut menyebabkan pendapatan keluarga menjadi berkurang, hanya dengan pendapatan suami saja mereka harus menutupi semua pengeluaran keluarga (Hurlock 2002).

Menurut Anjani dan Suryanto (2006) masalah keuangan pun berpengaruh kuat terhadap penyesuain perkawinan. Berdasarkan hasil penelitiannya beberapa subjek yang diteliti menyatakan bahwa dalam hal keuangan biasanya suami lebih menyerahkan semua hal keuangan kepada istrinya dan suami merasa kewajibannya hanya mencari uang saja. Banyak suami yang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan keuangan. Apabila suami tidak mampu menyediakan barang-barang keperluan, maka dapat menimbulkan perasaan tersinggung yang dirasakan oleh istri, dimana perasaan ini dapat berkembang ke arah pertengkaran (Hurlock 2002).

Gillin dalam Gunarsa (2008) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat dianggap sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat menyesuaikan diri


(26)

dengan standar kehidupan dalam kelompok serta tidak mampu mencapai tingkat fisik dan mental tertentu untuk menyesuaikan. Gillin juga mengungkapkan faktor yang menghambat penyesuaian dalam segi ekonomi, yakni: 1) ketidakmampuan seseorang yang berhubungan dengan kelainan karena kelahirannya atau karena lingkungan; 2) kondisi lingkungan fisik yang miskin akan sumber daya alam, cuaca yang buruk dan terjangkitnya penyakit menular; 3) ketidakseimbangan dalam kesejahteraan atau penghasilan, akibat dari kurang sempurnanya lembaga ekonomi dalam menjalankan fungsinya, hal ini dapat terlihat dari timbulnya pengangguran.

Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Suami dan istri harus mampu mempelajari dan menyesuaiakan diri dengan anggota keluarga pasangan yang memiliki perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya dengan dirinya. Masalah penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan menjadi serius pada tahun-tahun awal perkawinan (Hurlock 2002). Menurut Hurlock (2002) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan anatara lain: stereotipe tradisional, keinginan untuk mandiri, keluargaisme (lebih banyak menggunakan waktunya bersama keluarga), mobilitas sosial, anggota keluarga berusia lanjut, dan bantuan keuangan untuk keluarga pasangan.

Keluarga masing-masing pasangan pun memiliki pengaruh dalam kehidupan rumah tangga. Pengaruh dari keluarga masing-masing pasangan dapat menimbulkan masalah, hal ini dikarenakan adanya ikatan keluarga besar. Setiap orangtua masih merasa mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Mertua ataupun orangtua merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu. Persaingan ini bisa meruncing dan bisa menimbulkan percekcokkan (Gunarsa 1982).

Menurut Hurlock (2002) keberhasilan perkawinan tercermin pada besar kecilnya hubungan interpersonal dan pola perilaku. Ada beberapa kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan antara lain: kebahagiaan suami istri, hubungan yang baik antara anak dan orangtua, penyesuaian yang baik dari anak-anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keluarga, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.


(27)

Pola Komunikasi

Di setiap sisi kehidupan, manusia tidak akan pernah terlepas dari komunikasi. Hal ini disebabkan karena setiap saat manusia selalu melakukan interaksi dengan orang lain (Paruntu 1998). Komunikasi adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna yang ada dalam lingkungan (Turner & West 2007) Komunikasi juga merupakan pembelajaran dasar dari suatu interaksi, dan interaksi tersebut adalah dasar dari sosialisasi (Orenstein 1985 dalam Puspitawati 2009).

Menurut Day et al. (1995) dalam Puspitawati (2009) komunikasi merupakan proses mendapatkan respon melalui simbol-simbol verbal. Beberapa konsep komunikasi meliputi pembelajaran, pengertian, subjektivitas, timbal balik, dan negosiasi serta mediasi (Ruben 1988; Leaky 2002 dalam Puspitawati 2009). Dalam pendekatan ilmu sosiologi, hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia ini kemudian saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang diberikan, dan seluruh pesannya membentuk pengetahuan.

Komunikasi manusia juga terjadi dalam suatu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas tertentu (Rubrn 1988; Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2009). Aplikasi komunikasi dalam keluarga berkaitan dengan fokus pemahaman diri dari para anggota keluarga. Teori yang digunakan dalam pendekatan komunikasi adalah teori sistem dengan konsep yang memperkenalkan organisasi, sirkularitas, keutuhan, interdependensi antar elemen-elemen sistem, keseimbangan dan perubahan, serta interaksi (Ruben 1988; Hinde & Hinde 1988 dalam Puspitawati 2009).

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menjadi semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Disatu sisi, saat ini pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi dan globalisasi (Sunario 1995 dalam Puspitawati 2009). Dalam menyampaikan komunikasi, terdapat perbedaan pola komunikasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dipandang lebih tenang dan malu-malu. Kaum perempuan juga seringkali terbuai oleh angan-angan dan impian yang indah sehingga pola komunikasi mereka


(28)

selalu dibumbui oleh kata-kata mesra, ungkapan-ungkapan cinta, dan harapan-harapan (Surbakti 2008).

Menurut Surbakti (2008) perempuan selalu diidentifikasikan dengan kelemahlembutan, kehalusan perasaan, kehangatan cinta, kerentanan fisik dan psikis, dan hal-hal yang berkaitan dengan keindahan. Kelemahlembutan perempuan tercermin dari pola komunikasi yaitu tidak berterus terang, sering ragu-ragu dalam mengambil keputusan, kurang percaya diri, bersikap pasif dan menunggu, serta membiarkan pasangannya menafsirkan komunikasi yang ditunjukkannya. Kesalahan yang dilakukan laki-laki umumnya adalah tidak peka terhadap hati nurani sehingga salah menasfsrikan komunikasi sang istri. Sehingga berakibat timbul perselisihan karena perbedaan persepsi.

Salah satu pola komunikasi yang sangat dikuasai perempuan adalah menggunakan bahasa tubuh. Perempuan umumnya pandai menggunakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi yang ampuh dan memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mendapatkan keinginannya. Mereka juga pandai menyembunyikan perasaan dan membungkusnya dalam kemasan keluhan sehingga melibatkan pasangannya untuk menyelesaikannya (Surbakti 2008). Sedangkan pola komunikasi laki-laki lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan rasional daripada emosional, laki-laki lebih dianggap tegas, terus terang, berani, dan rasional. Rasionalisasi komunikasi dalam rumahtangga juga menyebabkan peristiwa komunikasi kehilangan sukma. Bagaimanapun, pola komunikasi dalam rumahtangga pasti selalui dibumbui oleh unsur-unsur yang melibatkan emosional, hal ini dikarenakan ikatan suami istri tidak didasarkan pada ikatan formal berdasarkan kontrak hukum, melainkan didasarkan pada komitmen yang melibatkan jiwa dan raga (Surbakti 2008).

Rasionalisasi pola pikir menyebabkan laki-laki lebih sering menyembunyikan dan memikul sendiri beban pikiran dan perasaannya daripada kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan budaya dan tradisi yang selalu menempatkan kaum laki-laki pada posisi yang kuat, tangguh, jantan, tidak mudah mengeluh, dan berani menghadapi tantangan (Surbakti 2008).

Pandangan ini menyebabkan suami tidak berani berterus terang untuk mengungkapkan ketakutan, kegelisahan, ketidakberdayaan maupun kekhawatirannya (Surbakti 2008). Perbedaan pola komunikasi antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 1.


(29)

Gambar 1 Pola komunikasi pria dan wanita

Kreppner dan Lerner (Zeitlin 1995) dalam Puspitawati (2009) mengemukakan pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang menekankan pada dimensi interaksi keluarga, suatu seri dari interaksi timbal balik dua arah, dan juga gabungan dari interaksi antar seluruh sub kelompok keluarga (dyadic, triadic, tetradic), serta suatu sistem hubungan internal yang menyangkut dukungan sosial, dan hubungan intergenerasi.

Menurut Burgess dalam Boss et al. (1993), keluarga merupakan kesatuan dari interaksi antar pribadi. Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, karena masing-masing anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan saling tergantung. Sistem interaksi interpersonal dapat dilukiskan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem Interpersonal dalam Keluarga

Berdasarkan Gambar 2 sistem interaksi yang terjadi dalam keluarga yang terdiri dari orangtua (ayah dan ibu) serta dua orang anak, terjadi enam buah interaksi interpersonal, yang digambarkan dengan tanda panah. Makin banyak anggota keluarga, maka makin banyak pula jumlah interaksi interpersonal yang

Ayah Ibu

Anak ke-2 Anak ke-1

Pola Komunikasi

‐Tegas -Berani -Rasional -Terus terang

Menyatakan pendapat

‐Emosional -Ragu-Ragu -Tersembunyi -Bahasa Tubuh


(30)

terjadi dan semakin kompleks (Puspitawati 2009). Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi. Guardja et al., (1992) menjelaskan bahwa jenis komunikasi yang terjadi dalam keluarga pada umumnya berupa komunikasi langsung, baik secara verbal maupun secara nonverbal. Kecuali dalam keadaan tertentu terjadi komunikasi tidak langsung dalam keluarga.

Komunikasi dalam keluarga merupakan aspek yang dianggap perlu untuk dibahas dalam penelitian karena setiap anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses interaksi dan komunikasi (Nugroho 2007). Komunikasi keluarga adalah proses mengembangkan intersubjektifitas (intersubjetivity) dan pengaruh

(impact) lewat penggunaan kode antara kelompok akrab yang memunculkan perasaan dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan kuat kesetiaan dan emosi. Intersubjektivitas (intersubjetivity) adalah pembentukan arti yang dibagi atau proses dimana kita mengerti pihak lain dan pihak lain mengerti kita. Pengaruh (impact) adalah tingkat efektifitas suatu pesan dalam mengubah kognisi, emosi, atau perilaku penerima (Noller & Fitzpatrick 1993 dalam Nugroho 2007).

Komunikasi keluarga yang efektif akan dapat menimbulkan saling pengertian, kesenangan, saling mempengaruhi sikap dan penghormatan, kedekatan, serta tindakan bersama-sama (family identity) (Pemdadiy 2005 dalam Nugroho 2007). Peran yang ada di dalam keluarga dilaksanakan melalui komunikasi (Suleeman 1990 dalam Nugroho 2007). Komunikasi antar pribadi mengharuskan terjadi pertukaran kode atau pengaturan simbol secara sistematis seperti huruf, kata, dan isyarat yang mempunyai makna yang telah dikenal dan dipergunakan oleh komunikator. Identitas keluarga (family identity) adalah identitas yang terbentuk lewat budaya dan peleburan antara bermacam identitas sosial (melding of various social identities). Keluarga selalu terpapar dengan norma dan nilai dalam satu budaya tertentu (Nugroho 2007).

Ikatan kuat kesetiaan dan emosi dalam keluarga memaparkan bahwa antar anggota keluarga menjadi saling ketergantungan (interdependence) yaitu seseorang mempunyai pengaruh bagi orang lain: mempengaruhi perasaan, pikiran, atau perilaku orang lain, dan komitmen (commitment) yaitu anggota keluarga terikat dengan kesejahteraan anggota lain. Ikatan emosi menimbulkan pengaruh yang kuat dalam komunikasi dan bagaimana komunikasi tersebut diterjemahkan (Nugroho 2007).


(31)

Menurut Friedman (1998) pola komunikasi dibagi menjadi dua jenis yaitu pola komunikasi fungsional dan pola komunikasi nonfungsional atau disfungsional.

1. Pola komunikasi fungsional

Pola komunikasi fungsional dapat dikaji dari adanya komunikasi yang jelas dan kongruen, adanya ekspresi perasaan, komunikasi terbuka dan terfokus, adanya konflik dan solusinya, adanya kesesuaian antara perintah dengan isi pesan, dan penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan mirip dengan pengirim. Dalam komunikasi fungsional terdapat keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas antar anggota keluarga (Friedman 1998).

2. Pola komunikasi nonfungsional atau disfungsional

Pola komunikasi nonfungsional dapat dilihat dengan adanya kondisi yang berpusat pada diri sendiri, kurangnya empati, adanya komunikasi tertutup (tidak langsung), serta tidak ada kesesuaian antara isi pesan dengan perintah (Friedman 1998).

Pola komunikasi keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu situasi dan kondisi, latar belakang etnik keluarga, bentuk keluarga, siklus kehidupan keluarga, perbedaan jenis kelamin, status sosioekonomi keluarga dan budaya khas keluarga (Friedman 1998).

Komunikasi dalam perkawinan

Komunikasi yang baik antara suami istri adalah bagian yang penting dalam kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Hasil penelitian menunjukkan komunikasi yang efektif akan mengarah pada kualitas perkawinan yang baik (Lewis & Spanier 1979 dalam Kammeyer 1987). Rathus, Nevid, dan Fichner Rathus (1993) dalam Paruntu (1998) menyatakan bahwa komunikasi yang baik merupakan hal penting dalam hubungan yang intim seperti perkawinan. Penelitian lain menunjukkan bahwa komunikasi yang baik adalah alat ukur dari kualitas hubungan perkawinan (Spanier 1976 dalam Kammeyer 1987). Pasangan yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik akan memperbaiki hubungan mereka. Dengan adanya hubungan yang membaik, pasangan akan termotivasi untuk memperbaiki komunikasi mereka pada kejadian yang lain (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987). Dimensi-dimensi dari komunikasi yang penting antara lain: keterbukaan dan kejujuran, dukungan, dan keterbukaan diri.


(32)

Keterbukaan dan kejujuran

Menurut Satir (1972) dalam Kammeyer 1987 salah satu dimensi dari kejujuran yaitu leveling. Leveling adalah cara berkomunikasi yang mengungkapkan perasaan seseorang secara akurat, dan tanpa pesan yang membingungkan. Untuk berkomunikasi akurat berarti bahwa jika seseorang marah kepada pasangan atas sesuatu yang telah dilakukan, maka perasaan tersebut diungkapkan secara langsung. Sebuah gambaran kedua dari kejujuran dan keterbukaan yakni pembicara harus memberikan dorongan secara tersembunyi. Jika tujuan untuk mendapatkan pengendalian tersembunyi, kekuasaan di atas orang lain, situasi sulit, memanipulasi orang lain, hal tersebut merupakan komunikasi tidak jujur.

Ketika keterbukaan dan kejujuran menjadi bernilai dalam komunikasi, hal tersebut tidak mengikuti suami istri harus selalu melengkapi dan benar-benar ikhlas. Khayalan yang idealis yaitu berpikir bahwa seseorang dapat jujur di setiap waktu. Banyak orang yang menikah mengetahui bahwa ada batasan untuk keterbukaan dan kejujuran secara intuitif.

Dukungan dalam komunikasi

Dukungan dalam komunikasi berarti harus memperlakukan seseorang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan menghormati. Peran pendukung dalam komunikasi adalah mendengarkan dan merespon seluruh aktivitas ketika orang lain berbicara atau memulai kegiatan. Ketika seseorang berbicara pada orang lain, mungkin untuk merespon dalam berbagai cara. Kita dapat mengabaikan mereka, menolak mereka, atau dapat memberikan respon positif pada mereka. Respon positif untuk orang lain adalah perkataan yang telah ditegaskan (Watzlawick et al 1967 dalam Kammeyer 1987).

Hal ini penting terutama ketika pasangan berbicara satu sama lain bahwa mereka saling memberi ketegasan satu sama lain. Secara keseluruhan yang penting yaitu memperhatikan orang lain ketika berbicara. Melalui bahasa tubuh dan isyarat verbal mungkin pembicara dapat tertarik dan terlibat. Hubungan yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi mereka, maka kepuasan dan kualitas


(33)

pernikahan mereka juga akan lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987).

Keterbukaan Diri

Keterbukaan diri sama dengan keterbukaan dan kejujuran, tetapi ada beberapa elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan oranglain tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari keterbukaan diri (Jourard 1971 dalam Kammeyer 1987). Tetapi tidak hanya perkataan dan pertukaran keakraban antara dua orang. Rubin (1983) dalam Kammeyer (1987) menyebutnya dengan keakraban. Keakraban adalah salah satu jenis timbal balik dari perasaan dan pikiran tidak keluar dari ketakutan atau tergantung kebutuhan, tetapi keluar dari keinginan untuk mengetahui kehidupan orang lain dan untuk dapat berbagi satu sama lain (Rubin 1983 dalam Kammeyer 1987). Penelitian menunjukkan bahwa secara umum self-disclosure dengan kepuasan pernikahan berhubungan positif (Hendrick 1981 dalam Kammeyer 1987).

Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa jika keterbukaan diri terlalu berlebihan, bahkan jika tidak negatif, maka bisa merusak hubungan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa ketika pasangan terlalu membuka diri, khususnya keraguan diri, akan berakibat buruk bagi kepuasan perkawinan (Cozby 1973 dalam Kammeyer 1987).

Bagaimanapun, jika terlalu banyak keterbukaan diri kadang-kadang dapat meredam suatu hubungan, ada kesepakatan yang berkembang bahwa jika terlalu sedikit keterbukaan diri akan menjadi masalah yang lebih serius bagi banyak pasangan yang sudah menikah. Keterbukaan diri yang terlalu sedikit dapat berbahaya bagi hubungan perkawinan, jika salah satu dari pasangan mengungkapkan perasaan lebih akrab daripada yang lain. Bahkan jika salah satu pasangan merasakan ketidakseimbangan dalam jumlah pengungkapan diri, akan berakibat pada hubungan buruk (Davidson et al,. 1983 dalam Kammeyer 1987).

Pria sering menemukan kesulitan untuk mengungkapkan perasaan dan emosi, dan lebih memilih untuk tetap diam. Pandangan lain menemukan sumber dari perbedaan laki-laki dan perempuan dalam ungkapan emosional pada kenyataannya yaitu dari pengasuhan ibu (Chodorow 1978; Rubin 1983 dalam Kammeyer 1987). Karena ibu adalah pengasuh utama pada bulan-bulan pertama dan tahun pertama dalam kehidupan balita, balita membuat kelekatan dengan ibu. Selanjutnya balita membuat identifikasi dengan ibu.


(34)

Menurut Paruntu (1998) komunikasi yang ada dalam sebuah perkawinan digolongkan sebagai sebuah bentuk dari komunikasi interpersonal karena di dalamnya terlibat dua pihak yang saling melakukan komunikasi dan masing-masing pihak memandang pasangan komunikasi sebagai individu yang utuh. Komunikasi yang ada di dalam perkawinan merupakan sebuah komunikasi yang unik karena komunikasi interpersonal terjadi pada dua orang yang terlibat hubungan intim. Pearson (1983) dalam Paruntu (1998) menyebutnya sebagai komunikasi intim.Komunikasi interpersonal menurut Pearson (1983) adalah proses pertukaran arti (informasi) antar individu. Hubungan interpersonal akan terlihat baik jika dua orang anggotanya memiliki persepsi yang sama dalam berkomunikasi serta keduanya melakukan komunikasi yang efektif.

Haber dan Runyon (1984) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa dengan adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah perkawinan, maka masing-masing individu merasa bebas untuk mengungkapkan ide-ide kepada pasangannya. Strong dan De Vault (1989) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa komunikasi dalam perkawinan adalah perasaan senang yang dirasakan pasangan karena dapat saling menemani, perasaan gembira dalam melakukan pembicaraan, bertukar sentuhan dan senyum, serta perasaan cinta yang tidak terucap.

Keharmonisan sebuah keluarga sangat didukung oleh komunikasi yang baik dari suami istri. Tidak heran bahwa riset dan statistik memperlihatkan bahwa penyebab utama perceraian, ataupun kegagalan sebuah rumah tangga, adalah dikarenakan gagalnya suami istri berkomunikasi dengan baik. Untuk mengatasi hal itu, ada beberapa prinsip dasar dalam komunikasi yang perlu diketahui oleh suami dan istri (Paulpla 2009).

Beberapa prinsip dasar dalam komunikasi suami istri antara lain:

1. Komunikasi adalah kebutuhan, dan alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Manusia adalah mahluk pribadi dan sekaligus sosial. Baik sebagai pribadi, maupun sebagai dalam hubungan sosial, ada kebutuhan mendasar yang perlu diisi lewat komunikasi. Kebutuhan itu adalah: rasa aman lahir batin, saling menghargai, saling berbagi, kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, kebutuhan kenyamanan fisik, dan kebutuhan seksual.

2. Komunikasi suami istri adalah sebuah proses menuju keintiman. Sewaktu berpacaran komunikasi dilakukan ketika kita ingin, namun ketika sudah menikah mau tidak mau, tepat atau tidak tepat kita akan berkomunikasi.


(35)

Ketika bersatu sebagai suami istri, sebenarnya kita sedang berproses dalam hal-hal berikut:

• Proses memahami satu sama lain

• Proses menciptakan suatu lingkungan yang aman

• Proses menyelesaikan masalah

3. Komunikasi suami istri adalah bentuk kasih. Tentu saja disini bukan hanya bersifat kata-kata semata, tetapi lebih dalam dari itu yaitu kehadiran dan mendengar. Memberikan dukungan yang positif, bisa lewat kata-kata yang memberi semangat, bisa juga lewat komunikasi non verbal, misalnya dengan memeluk, menepuk pundak, dan lain-lain.

4. Komunikasi suami istri adalah alat mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah. Suami dan istri perlu memiliki tujuan bersama yang jelas. Untuk itu perlu ada waktu untuk berbagi aspirasi dan perasaan, sehingga tujuan bersama itu dapat didiskusikan. Tidak penah ada dua orang yang benar-benar serupa. Selalu ada perbedaan latar belakang, pandangan, kepribadian atau pekerjaan sekali pun. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk menyatukan dua hal yang berbeda dalam hubungan seumur hidup. Pasti akan terjadi konflik dan gesekan, yang bisa terjadi dari suami istri sendiri, ataupun gesekan dari luar, yang memicu ketegangan dalam hubungan suami istri. Untuk itu komunikasi berperan sangat besar untuk menyelesaikan masalah ini (Paulpla 2009).

Keharmonisan Keluarga

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui proses akad nikah yang memiliki tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (Bakry 1996 dalam Aisyah 2004). Menurut Fittro (2002) dalam Aisyah (2004) terdapat beberapa ciri-ciri pasangan yang bahagia dalam perkawinannya, antara lain:

1. Pasangan saling memberi dan menemukan kebutuhan emosionalnya yang akan diberikan pada orang lain.

2. Pasangan memiliki kekuatan komitmen dalam perkawinannya. Pasangan tidak memaksakan kebahagiaannya untuk dapat diterima dengan benar, melainkan bertekad untuk bekerjasama dalam membangun perkawinan.

3. Pasangan memiliki kekuatan hubungan. Pasangan tidak kehilangan satu sama lain dalam berhubungan meskipun masing-masing memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, mengambil keputusan, dan mengejar


(36)

cita-cita pribadi. Akan tetapi yang menjadi prioritas utama pasangan adalah keharmonisan perkawinan.

4. Pasangan memiliki gairah seksual yang tinggi. Berhubungan seksual merupakan aspek yang sangat penting dan pusat dalam perkawinan.

5. Pasangan senang berbicara. Orang yang bahagia dalam perkawinannya lebih banyak meluangkan waktu untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal dengan pasangannya. Masing-masing langsung terbuka dan tidak memanipulasi pembicaraan.

6. Pasangan memiliki pandangan positif tentang hidup. Kepercayaan tentang suatu hal sangat membantu pasangan dalam menanggulangi krisis yang muncul dalam perkawinan.

7. Pasangan mengekspresikan apresiasinya (penghargaan) serta saling memberikan pujian.

8. Pasangan memiliki keteguhan dalam beragama. 9. Pasangan sensitif terhadap orang lain (berempati).

10. Pasangan bersama-sama tumbuh, berubah, dan bekerja keras untuk perkawinan.

Menurut Gunarsa (2008) sebuah keluarga dikatakan harmonis jika seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi, dan sosial. Hurlock (2002) mendefinisikan suami istri yang bahagia yaitu suami istri yang memperoleh kebahagiaan bersama dan menghasilkan keputusan yang diperoleh dari peran yang dimainkan secara bersama, mempunyai cinta yang matang dan mantap satu sama lain, serta dapat melakukan penyesuaian dengan baik.

Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa keharmonisan dalam keluarga banyak ditentukan oleh keharmonisan dalam hubungan antara anggota keluarga dan hal ini juga tergantung pada pribadi-pribadi yang berada di dalam rumah. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kondisi pribadi antara lain:

1. Stabilitas kepribadian

Stabilitas kepribadian terbentuk melalui proses perkembangan kepribadian yang telah dialami seseorang. Peranan latar belakang keluarga, pendidikan, sosial dan lingkungan fisik, sangat berpengaruh dalam proses perkembangan tersebut. Stabilitas kepribadian dipengaruhi pula oleh keadaan keluarga saat ini, yaitu ukuran keluarga. Keluarga yang berukuran besar akan


(37)

membentuk pola hubungan yang bertambah majemuk, dengan kemungkinan akan terjadi ketegangan yang lebih besar dalam hubungan antar anggota keluarga. Perbedaan pola pikir, tujuan hidup, dan pola sikap sehari-hari yang berbeda-beda antar anggota keluarga juga dapat menimbulkan suasana tegang, tidak sepaham, saling menuntut atau memaksa. Apabila stabilitas kepribadian kurang dipahami oleh anggota keluarga maka penyesuaian diri akan menjadi lebih sulit terbina.

2. Tekanan ekonomi

Tekanan ekonomi dapat menimbulkan ketegangan tersendiri dalam keluarga. Akan tetapi ketegangan yang dirasakan oleh setiap keluarga berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana sebuah keluarga tinggal serta kebutuhan yang diperlukan setiap keluarga juga berbeda-beda. Tekanan ekonomi mengakibatkan lingkungan dan ruang hidup seseorang dirasakan menjadi sempit dan tertekan. Menurut Hetherington dan Parke (1979) dalam Gunarsa (2008) menyatakan bahwa tekanan ekonomi dan kepadatan dalam keluarga berkontribusi timbulnya stres dalam keluarga. Kepadatan dalam keluarga berpengaruh besar terhadap hubungan antar pribadi dalam keluarga. Hal ini dikarenakan setiap anggota keluarga memiliki usia, pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab yang berbeda-beda satu sama lain.

Keharmonisan keluarga adalah salah satu dimensi dalam keluarga yang menunjukkan adanya keseimbangan dan keteraturan serta kepuasan terhadap apa yang telah dicapai dalam keluarga (Aisyah 2004). Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memilki konflik yang minimal, menciptakan komunikasi terbuka, saling menghargai dan memiliki kepuasan terhadap apa yang diperoleh keluarga. Deaux dan Wrightsman (1988) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah hubungan antar individu yang memiliki intensitas dan keintiman yang tinggi, komunikasi merupakan proses pusat untuk melakukan hubungan tersebut.

Menurut Nurzainun dan Prihatiningsih (2006) sebuah keluarga akan harmonis bila para anggota keluarga dapat berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh pemuasan atas segala kebutuhannya. Hubungan suami istri yang serasi dapat ditunjukkan dengan adanya penyesuaian diri antara keuarga, adanya saling pengertian antara pasangan, adanya saling penghargaan, adanya saling bertanggung jawab, adanya saling gotong royong, dan adanya pengakuan dari


(1)

Lampiran 7 Uji Korelasi Pearson Hubungan antar Variabel dengan Keharmonisan Keluarga

Sama Suku

Correlations

s_stat polkom

tot

s_stat totsesuai

s_stat

hrmns s_per s_nikah s_bsrkel s_statumur s_pddk s_pdpttot

s_stat polkom tot Pearson

Correlation 1 ,505

** ,423** ,041 ,089 ,076 ,127 ,182 ,261*

Sig, (2-tailed) ,000 ,001 ,754 ,500 ,562 ,335 ,165 ,044

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_stat totsesuai Pearson

Correlation ,505

**

1 ,553** ,175 -,035 ,029 ,206 -,029 ,087

Sig, (2-tailed) ,000 ,000 ,180 ,792 ,825 ,115 ,826 ,508

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_stathrmns Pearson

Correlation ,423

**

,553** 1 -,048 ,057 ,094 ,006 ,062 ,065

Sig, (2-tailed) ,001 ,000 ,718 ,663 ,475 ,964 ,637 ,622

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_per Pearson

Correlation ,041 ,175 -,048 1 -,455

**

,450** ,884** ,106 ,220

Sig, (2-tailed) ,754 ,180 ,718 ,000 ,000 ,000 ,419 ,091

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_nikah Pearson

Correlation ,089 -,035 ,057 -,455

**

1 -,308* -,015 ,272* ,388**

Sig, (2-tailed) ,500 ,792 ,663 ,000 ,017 ,906 ,035 ,002

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_bsrkel Pearson

Correlation ,076 ,029 ,094 ,450

** -,308* 1 ,376** ,055 -,207

Sig, (2-tailed) ,562 ,825 ,475 ,000 ,017 ,003 ,676 ,112

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_statumur Pearson

Correlation ,127 ,206 ,006 ,884

** -,015 ,376** 1 ,243 ,383**

Sig, (2-tailed) ,335 ,115 ,964 ,000 ,906 ,003 ,061 ,003

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pddk Pearson

Correlation ,182 -,029 ,062 ,106 ,272

*

,055 ,243 1 ,418**

Sig, (2-tailed) ,165 ,826 ,637 ,419 ,035 ,676 ,061 ,001

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pdpttot Pearson

Correlation ,261

*

,087 ,065 ,220 ,388** -,207 ,383** ,418** 1

Sig, (2-tailed) ,044 ,508 ,622 ,091 ,002 ,112 ,003 ,001

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

**, Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed),


(2)

Lampiran 8 Uji Korelasi Pearson Hubungan antar Variabel dengan Keharmonisan

Keluarga Beda Suku

Correlations

s_stat polkom

tot

s_stat totsesuai

s_stat

hrmns s_per s_nikah s_bsrkel s_statumur s_pddk s_pdpttot

s_stat polkom tot Pearson

Correlation 1 ,413

** ,405** -,025 -,259* -,371** -,222 -,210 -,102

Sig, (2-tailed) ,001 ,001 ,851 ,046 ,003 ,089 ,107 ,439

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_stat totsesuai Pearson

Correlation ,413

**

1 ,711** -,021 -,069 -,013 -,028 -,137 -,129

Sig, (2-tailed) ,001 ,000 ,872 ,601 ,922 ,834 ,296 ,325

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_stathrmns Pearson

Correlation ,405

**

,711** 1 -,166 -,287* -,182 -,291* -,145 -,315*

Sig, (2-tailed) ,001 ,000 ,206 ,026 ,165 ,024 ,268 ,014

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_per Pearson

Correlation -,025 -,021 -,166 1 -,282

*

,466** ,736** -,208 ,150

Sig, (2-tailed) ,851 ,872 ,206 ,029 ,000 ,000 ,110 ,252

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_nikah Pearson

Correlation -,259

*

-,069 -,287* -,282* 1 ,108 ,363** ,145 ,077

Sig, (2-tailed) ,046 ,601 ,026 ,029 ,412 ,004 ,270 ,559

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_bsrkel Pearson

Correlation -,371

** -,013 -,182 ,466** ,108 1 ,540** -,042 -,182

Sig, (2-tailed) ,003 ,922 ,165 ,000 ,412 ,000 ,748 ,165

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_statumur Pearson

Correlation -,222 -,028 -,291

* ,736** ,363** ,540** 1 -,132 ,165

Sig, (2-tailed) ,089 ,834 ,024 ,000 ,004 ,000 ,313 ,208

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pddk Pearson

Correlation -,210 -,137 -,145 -,208 ,145 -,042 -,132 1 ,211

Sig, (2-tailed) ,107 ,296 ,268 ,110 ,270 ,748 ,313 ,106

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pdpttot Pearson

Correlation -,102 -,129 -,315

*

,150 ,077 -,182 ,165 ,211 1

Sig, (2-tailed) ,439 ,325 ,014 ,252 ,559 ,165 ,208 ,106

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60

**, Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed),


(3)

Lampiran 9 Uji Korelasi Pearson Hubungan antar Variabel dengan Keharmonisan Suami

Correlations

s_per s_nsu s_bsrkel

s_stat usu

s_pdd ksu

s_pdpt su

s_polkom su

s_polkom issu

s_sesu ai su

s_sesuai issu

s_harmo nis su

s_harmo nis issu

s_per Pearson

Correlation 1 -,374

**

,418** ,830** ,050 ,062 ,112 ,035 ,182 ,123 -,046 -,066

Sig, (2-tailed) ,003 ,001 ,000 ,704 ,640 ,394 ,789 ,165 ,348 ,725 ,617

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_nsu Pearson

Correlation -,374

**

1 -,201 ,152 ,106 ,066 -,181 -,060 -,135 -,155 -,137 -,176

Sig, (2-tailed) ,003 ,123 ,246 ,422 ,616 ,167 ,648 ,302 ,237 ,296 ,177

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_bsrkel Pearson

Correlation ,418

**

-,201 1 ,336** ,026 ,025 -,072 -,203 ,065 ,002 -,041 -,063

Sig, (2-tailed) ,001 ,123 ,009 ,846 ,852 ,583 ,119 ,619 ,986 ,757 ,632

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_statusu Pearson

Correlation ,830

** ,152 ,336** 1 ,130 ,130 ,046 ,035 ,178 ,117 -,051 -,083

Sig, (2-tailed) ,000 ,246 ,009 ,321 ,322 ,725 ,788 ,174 ,375 ,698 ,529

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pddksu Pearson

Correlation ,050 ,106 ,026 ,130 1 ,228 -,183 -,107 -,179 -,205 -,042 -,056

Sig, (2-tailed) ,704 ,422 ,846 ,321 ,080 ,161 ,415 ,171 ,116 ,747 ,670

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pdptsu Pearson

Correlation ,062 ,066 ,025 ,130 ,228 1 -,135 -,059 -,022 ,013 -,121 -,047

Sig, (2-tailed) ,640 ,616 ,852 ,322 ,080 ,302 ,657 ,868 ,921 ,359 ,722

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_polkom su

Pearson

Correlation ,112 -,181 -,072 ,046 -,183 -,135 1 ,911

** ,474** ,443** ,460** ,458**

Sig, (2-tailed) ,394 ,167 ,583 ,725 ,161 ,302 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_polkom issu

Pearson

Correlation ,035 -,060 -,203 ,035 -,107 -,059 ,911

**

1 ,481** ,496** ,514** ,512**

Sig, (2-tailed) ,789 ,648 ,119 ,788 ,415 ,657 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_sesuai su

Pearson

Correlation ,182 -,135 ,065 ,178 -,179 -,022 ,474

**

,481** 1 ,929** ,559** ,562**

Sig, (2-tailed) ,165 ,302 ,619 ,174 ,171 ,868 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_sesuai issu

Pearson

Correlation ,123 -,155 ,002 ,117 -,205 ,013 ,443

**

,496** ,929** 1 ,600** ,675**

Sig, (2-tailed) ,348 ,237 ,986 ,375 ,116 ,921 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_harmoni s su

Pearson

Correlation -,046 -,137 -,041 -,051 -,042 -,121 ,460

**

,514** ,559** ,600** 1 ,913**

Sig, (2-tailed) ,725 ,296 ,757 ,698 ,747 ,359 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_harmoni s issu

Pearson

Correlation -,066 -,176 -,063 -,083 -,056 -,047 ,458

** ,512** ,562** ,675** ,913** 1

Sig, (2-tailed) ,617 ,177 ,632 ,529 ,670 ,722 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60


(4)

Lampiran 10 Uji Korelasi Pearson Hubungan antar Variabel dengan Keharmonisan Istri

Correlations

s_per s_nis s_bsrkel

s_stati s s_pdd kis s_pdpt is s_polkom is s_sesuai is s_har monis is s_polko m issu s_sesuai issu s_harmo nis issu

s_per Pearson

Correlation 1 -,390

**

,418** ,853** -,040 ,219 -,062 ,043 -,074 ,035 ,123 -,066

Sig, (2-tailed) ,002 ,001 ,000 ,761 ,093 ,638 ,744 ,573 ,789 ,348 ,617

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_nis Pearson

Correlation -,390

**

1 ,040 ,096 ,285* ,156 -,040 ,029 -,120 -,123 ,008 -,055

Sig, (2-tailed) ,002 ,761 ,464 ,028 ,234 ,763 ,823 ,361 ,351 ,952 ,676

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_bsrkel Pearson

Correlation ,418

**

,040 1 ,489** -,033 -,318* -,310* -,065 -,075 -,203 ,002 -,063

Sig, (2-tailed) ,001 ,761 ,000 ,805 ,013 ,016 ,623 ,569 ,119 ,986 ,632

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_statis Pearson

Correlation ,853

**

,096 ,489** 1 ,079 ,282* -,078 ,072 -,110 -,026 ,161 -,058

Sig, (2-tailed) ,000 ,464 ,000 ,548 ,029 ,554 ,586 ,403 ,841 ,219 ,662

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pddkis Pearson

Correlation -,040 ,285

* -,033 ,079 1 ,409** ,179 ,038 ,008 ,021 ,031 -,016

Sig, (2-tailed) ,761 ,028 ,805 ,548 ,001 ,171 ,775 ,951 ,876 ,812 ,904

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_pdptis Pearson

Correlation ,219 ,156 -,318

*

,282* ,409** 1 ,192 -,033 -,075 ,168 ,005 -,071

Sig, (2-tailed) ,093 ,234 ,013 ,029 ,001 ,142 ,801 ,568 ,200 ,971 ,592

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_polko m is

Pearson

Correlation -,062 -,040 -,310

*

-,078 ,179 ,192 1 ,444** ,371** ,878** ,445** ,461**

Sig, (2-tailed) ,638 ,763 ,016 ,554 ,171 ,142 ,000 ,004 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_sesuai is

Pearson

Correlation ,043 ,029 -,065 ,072 ,038 -,033 ,444

** 1 ,705** ,435** ,921** ,690**

Sig, (2-tailed) ,744 ,823 ,623 ,586 ,775 ,801 ,000 ,000 ,001 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_harmo nis is

Pearson

Correlation -,074 -,120 -,075 -,110 ,008 -,075 ,371

**

,705** 1 ,411** ,624** ,899**

Sig, (2-tailed) ,573 ,361 ,569 ,403 ,951 ,568 ,004 ,000 ,001 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_polko m issu

Pearson

Correlation ,035 -,123 -,203 -,026 ,021 ,168 ,878

**

,435** ,411** 1 ,496** ,512**

Sig, (2-tailed) ,789 ,351 ,119 ,841 ,876 ,200 ,000 ,001 ,001 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_sesuai issu

Pearson

Correlation ,123 ,008 ,002 ,161 ,031 ,005 ,445

**

,921** ,624** ,496** 1 ,675**

Sig, (2-tailed) ,348 ,952 ,986 ,219 ,812 ,971 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

s_harmo nis issu

Pearson

Correlation -,066 -,055 -,063 -,058 -,016 -,071 ,461

**

,690** ,899** ,512** ,675** 1

Sig, (2-tailed) ,617 ,676 ,632 ,662 ,904 ,592 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

N 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

*, Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed),


(5)

Lampiran 11 Uji Regresi Linear Berganda Antara Karakteristik Keluarga, Pola

Komunikasi,Penyesuaian, dengan Keharmonisan Keluarga Sama Suku

Model Summary

b

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std, Error of the

Estimate

Durbin-Watson

1

,620

a

,385

,288

,84368113800034

6

1,934

a, Predictors: (Constant), s_pdpttot, s_stat totsesuai, s_bsrkel, s_pddk, s_nikah, s_stat polkom tot,

s_statumur, s_per

b, Dependent Variable: s_stathrmns

ANOVA

b

Model

Sum of

Squares

df

Mean

Square

F

Sig,

1

Regression

22,698

8

2,837

3,986

,001

a

Residual

36,302

51

,712

Total

59,000

59

a, Predictors: (Constant), s_pdpttot, s_stat totsesuai, s_bsrkel, s_pddk, s_nikah, s_stat polkom

tot, s_statumur, s_per

b, Dependent Variable: s_stathrmns

Coefficients

a

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig,

Collinearity

Statistics

B

Std, Error

Beta

Tolerance

VIF

1

(Constant)

6,461E-17

,109

,000

1,000

s_stat polkom tot

,107

,141

,108

,760

,451

,599

1,670

s_stat totsesuai

,521

,133

,521

3,919

,000

,682

1,466

s_per

-,730

,823

-,724

-,887

,379

,018 55,183

s_nikah

-,260

,407

-,258

-,639

,525

,074 13,513

s_bsrkel

,194

,138

,192

1,402

,167

,644

1,553

s_statumur

,394

,707

,391

,558

,580

,025 40,674

s_pddk

,049

,127

,049

,388

,700

,761

1,314

s_pdpttot

,122

,172

,121

,710

,481

,417

2,401


(6)

Lampiran 12 Uji Regresi Linear Berganda Antara Karakteristik Keluarga, Pola

Komunikasi,Penyesuaian, dengan Keharmonisan Keluarga Beda Suku

Model Summary

b

Model

R

R

Square

Adjusted

R

Square

Std, Error of the

Estimate

Durbin-Watson

1

0,810

a

0,656

0,602 0,630812985206666

2,317

a, Predictors: (Constant), s_pdpttot, s_nikah, s_stat totsesuai, s_bsrkel, s_pddk, s_stat polkom tot, s_per,

s_statumur

b, Dependent Variable: s_stathrmns

ANOVA

b

Model

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig,

1

Regression

38,706

8

4,838

12,159

,000

a

Residual

20,294

51

,398

Total

59,000

59

a, Predictors: (Constant), s_pdpttot, s_nikah, s_stat totsesuai, s_bsrkel, s_pddk, s_stat polkom tot, s_per,

s_statumur

b, Dependent Variable: s_stathrmns

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig,

Collinearity Statistics

B

Std, Error

Beta

Tolerance

VIF

1

(Constant)

-1,786E-17

,081

,000

1,000

s_stat polkom tot

,002

,105

,002

,023

,982

,603

1,657

s_stat totsesuai

,655

,093

,655

7,030

,000

,777

1,287

s_per

-,284

,259

-,281

-1,097

,278

,102

9,766

s_nikah

-,354

,185

-,351

-1,912

,061

,200

4,992

s_bsrkel

-,135

,116

-,133

-1,160

,251

,510

1,960

s_statumur

,170

,267

,169

,639

,526

,096

10,384

s_pddk

-,001

,090

-,001

-,013

,990

,842

1,188

s_pdpttot

-,214

,095

-,213

-2,266

,028

,766

1,306