Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau).

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

POLA INTERAKSI KELUARGA YANG BERBEDA AGAMA

TERHADAP KELUARGA ASALNYA

(Studi kasus : Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau)

SKRIPSI Oleh: VERAWATI

050901057

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : VERAWATI

NIM : 050901057 DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL : POLA INTERAKSI KELUARGA YANG

BEREBEDA AGAMA TERHADAP KELUARGA ASALNYA.

(Studi Kasus : Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau)

DOSEN PEMBIMBING               SEKRETARIS DEPARTEMEN 

Dra. ROSMIANI, MA Dra. ROSMIANI, MA

Nip. 196002261990032002 Nip. 196002261990032002

DEKAN

Prof. DR. BADARUDDIN, M.Si Nip. 196805251992031002


(3)

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab.

Siak, Riau)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama itu terhadap keluarga asalnya. Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan sistem kekerabatan susku-suku yang ada di Kelurahan Minas Jaya.

Dalam memperoleh data tersebut penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus (Case Study). Dimana penulis melakukan observasi langsung. Melakukan wawancara dan dokumentasi serta didukung dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian diperoleh data, bahwa pola interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya terjadi suatu pengucilan, komunikasi yang kurang lancar, serta hubungan antara orang tua dan anak dan juga lingkungan kurang harmonis.


(4)

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

ABSTRAK ……….. iv

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ………. vii

DAFTAR BAGAN ……….... Viii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 9

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 9

1.4. Manfaat Penelitian ……… 10

1.5. Defenisi Konsep ………. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Interaksi Sosial ……….. 13

2.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional ………. 17

2.3. Adaptasi Sosial ………. 20

2.4. Sosialisasi Dalam Keluarga ………. 22

2.5. Teori Pilihan Rasional ………. 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 27

3.2. Lokasi Penelitian ………. 27


(5)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 29

3.5. Interpretasi Data ……….. 30

3.6. Jadwal Penelitian ……….. 31

3.7. Keterbatasan Penelitian ……… 32

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 33

4.2. Profil Informan ………. 41

4.3. Pandangan Keluarga Batak Toba Mengenai Agama ……… 51

4.4. Pandangan Keluarga Mengenai Sistem Kekerabatan …….. 53

4.5. Interpretasi Data ……… 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………. 78

5.2. Saran ……… 79 DAFTAR PUSTAKA

PEDOMAN WAWANCARA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(6)

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab.

Siak, Riau)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama itu terhadap keluarga asalnya. Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan sistem kekerabatan susku-suku yang ada di Kelurahan Minas Jaya.

Dalam memperoleh data tersebut penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus (Case Study). Dimana penulis melakukan observasi langsung. Melakukan wawancara dan dokumentasi serta didukung dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian diperoleh data, bahwa pola interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya terjadi suatu pengucilan, komunikasi yang kurang lancar, serta hubungan antara orang tua dan anak dan juga lingkungan kurang harmonis.


(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat dalam kelangsungan hidupnya. Manusia yang berbeda jenis kelamin juga saling membutuhkan untuk dijadikan teman hidupnya, karena setiap manusia memiliki kebutuhan atau dorongan naluri akan makanan dan seks. Kebutuhan seks dapat terpenuhi apabila seseorang telah memperoleh atau mendapatkan haknya sebagai suami istri.

Hak sebagai suami istri dapat diperoleh manusia yang berbeda jenis kelamin dengan sebuah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu dari jenjang kehidupan disepanjang hidupnya. Karena perkawinan adalah saat peralihan yang terpenting dari semua manusia diseluruh dunia dan hal itu dimulai dari tingkat remaja ketingkat berkeluarga.

Perkawinan pada hakekatnya merupakan bentuk kerjasama antara kehidupan pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus atau khas. Hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, Negara maupun adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, agama, Negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangkan wanita bertindak sebagai istri.


(8)

Menurut Suyono (1985:315) perkawinan adalah suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa saling mengadakan ikatan hukum adat atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu relatif lama. Laki-laki dan perempuan yang telah diikat dalam perkawinan biasanya mempunyai tujuan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri saling membantu dan melengkapi. Perkawinan merupakan masa yang penting dalam perjalanan hidup manusia, oleh karena itu harus benar-benar dipikirkan dengan siapa akan melangsungkan perkawinan, bagaimana adat istiadat yang dianut dan bagaimana perkawinan itu akan dilaksanakan.

Dalam perkawinan pasangan suami istri mengikat dirinya pada persetujuan umum yang diakui, untuk setia mentaati peraturan dan ketentuan-ketentuan didalam masyarakat, mereka secara timbal balik, terhadap anak-anaknya, sanak keluarganya dan terhadap orang lain dalam masyarakat. Dari perkawinan laki-laki dan perempuan inilah terbentuk suatu lembaga baru yaitu lembaga keluarga.

Pengertian keluarga menurut Burgess dan Locke (Khairuddin, 1997:6) adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan komunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.

Keluarga dibedakan menjadi dua tipe keluarga, yaitu keluarga batih (Nucklear Family)dan keluarga luas (Extended Family). Adapun keluarga batih merupakan satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak.


(9)

Adapun keluarga luas (Extended Family) adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih. keluarga sebagai unit terkecil, memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Keluarga terdiri dari beberapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antara anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tak bahagia.

Manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dia dilahirkan didunia. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena dengan pemenuhan kebutuhan tersebut dia akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tanpa berhubungan dengan manusia lain manusia tidak akan dapat bertahan untuk hidup. Hubungan timbal balik di antara manusia disebut juga sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial, pengertian mana menunjukkan pada hubungan sosial yang dinamis.

Didalam bukunya Phychologi social, Gerungan, mengutip H. Bonner mengemukakan interaksi sosial ialah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya (Ishomuddin,2005:163).

Inti yang ditarik dari kehidupan sosial adalah interaksi. Masyarakat merupakan jaringan relasi-relasi hidup yang timbal balik. Pola saling menyesuaikan ini lama-kelamaan akan menjadi norma yang diterima oleh individu-individu berkenaan untuk menentukan keadaan interaksi mereka.


(10)

Saat ini sudah mengalami perkembangan zaman, masuknya unsur-unsur kebudayaan baru dan hasil interaksi dengan berbagai suku bangsa mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama pada masyarakat Batak Toba, bentuk-bentuk perkawinan tidak lagi murni hanya didasarkan pada ketentuan adat. Karena sudah mendapat pengaruh dari luar seperti unsur agama dan pengaruh kebudayaan lain, sistem kekerabatan sudah mulai longgar.

Sejak dahulu masyarakat Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat yang sebagaian dari kebudayaan itu dianggap sebagai aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia, sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman, dan keharmonisan. Nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat Batak Toba dapat dilihat dan dapat dirasakan dalam bentuk salah satu aspek sistem kemasyarakatan dan sistem kekerabatannya. Nilai-nilai budaya ini dapat merupakan aturan-aturan yang menjadi pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Batak Toba yang menyangkut hubungan antara anak dan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, hubungan ipar dengan besan, antara menantu dengan mertua, hubungan antara individu dengan individu dan lain-lain. Oleh karena itu perkawinan pada masyarakat Batak Toba tidak boleh melanggar sistem kemasyarakatan atau kekerabatannya.

Masyarakat Batak Toba menganggap bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa yang sakral dan suci antara laki-laki dan perempuan yang telah mengikat diri dalam perkawinan akan dianggap menjadi satu. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan akan saling membantu dan saling melengkapi kekurangan pasangannya dalam membangun sebuah keluarga. Menurut Payung Bangun


(11)

(Koentjaraningrat,1979:102) perkawinan masyarakat Batak Toba merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan tertentu, kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si perempuan.

Proses perkawinan orang Batak tidak lepas dari agama. Acara-acara permulaan biasanya dilakukan dengan cara agama, maka penting untuk kedua belah pihak supaya menyelesaikan masalah perbedaan agama terlebih dahulu. Dalam kasus Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen, laki-laki diberkati dengan cara Kristen, hal itu berarti, jika agama kedua belah pihak berbeda, maka perbedaan agama antara kedua calon mempelai, biasanya mereka diselesaikan dengan cara salah satunya pindah agama, sedangkan penyelesaian adat-istiadat diatur berdasarkan kesepakatan keluarga kedua belas pihak.

Perbedaan agama dalam keluarga menjadi salah satu penyebab perubahan adat pada masyarakat Batak Toba, karena dengan adanya perkembangan teknologi, komunikasi semakin canggih mempercepat dan mempermudah hubungan tukar menukar kebudayaan baik antar suku bangsa maupun kebudayaan asing. Pada masyarakat perkotaan turut membawa implikasi perkawinan antar suku bangsa. Terjadinya perkawinan campuran antar suku bangsa juga mempengaruhi perubahan. Hal ini menyebabkan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Batak Toba sangat berpengaruh. Selain itu ada juga yang membuat sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba bergeser yaitu pada sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarga yang berbeda keyakinan atau berpindah agama dengan keluarga asalnya. Hal ini sangat berpengaruh kepada keluarga besar pada masyarakat Batak Toba yang adat istiadatnya sangat dijaga sistem kekeluargaan dan kekerabatannya.


(12)

Beraneka ragam alasan yang menyebabkan orang akhirnya memutuskan untuk berpindah agama. Tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa mereka telah menemukan kebenaran yang mereka cari, bermula dari ketidakpuasan atas keyakinan sebelumnya. Meski ada pula orang yang berpindah agama hanya untuk legalitas saja untuk syarat pernikahan atau bahkan justru ada pula orang untuk mencari kelemahan dan menghancurkan dari dalam. Hal yang tidak mudah ketika seseorang akhirnya memutuskan untuk memeluk agama yang berbeda dengan keluarga asalnya. Tentu ada berbagai pertimbangan dan kehati-hatian dalam menentukan pilihan tersebut. Keberagamaan memang urusan individu, namun implikasi dan konsekuensinya tentu berkaitan dengan urusan sosial. Sehingga dititik awal, keberanian mereka untuk mengubah keyakinan merupakan keputusan yang benar-benar patut dihargai. Berani mengetahui, berani belajar, berani yakin, dan berani berubah merupakan hal-hal yang patut mendapatkan perhatian khusus.

Perbedaan agama dalam keluarga memang bukan merupakan hal yang baru lagi di masyarakat Indonesia yang multi kultural. Perbedaan agama di dalam keluarga selalu saja menuai kontraversi dan polemik dikalangan masyarakat umum. Munculnya pro dan kontra dari kedua pihak keluarga pasangan secara mengejutkan bisa diatasi tanpa halangan yang berarti, begitu juga dengan dilingkungan sekitar tempat tinggal pasangan.

Perbedaan agama dalam sebuah keluarga bukanlah sumber dari ketidakharmonisan ataupun potensi konflik selama perbedaan ini bisa disikapi secara arif dan dewasa. Keluarga yang berbeda agama dari keluarga asalnya tentu menghadapi berbagai resiko, baik sosial maupun lainnya, yang tidak ringan ketika memutuskan untuk pindah agama yang berbeda dari anggota keluarganya. Dari sinilah kita bisa


(13)

berintrospeksi dan bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah diri kita memang sudah benar-benar memeluk agama kita sepenuhnya dengan keyakinan kita? (http://www.percikaniman.com/mapi/index.php?option=content&task=view&id=131&Ite mid=64).

Contoh studi kasus terjadi di masyarakat batak yang keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya, yaitu Olgarina Hutapea yang menjadi berbeda agama dari keluarga asalnya karena pernikahan. Beliau menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari suku Sunda, sementara ia berasal dari suku Batak. Beliau menikah karena kecelakaan, pada mulanya ia melakukan hal itu karena tidak mempunyai pilihan lain selain mengikut suami. Ketika menikah, tidak ada satu pun keluarga beliau yang tahu, karena pernikahan mereka amat sangat mendadak, disamping itu mereka juga belum siap menghadapi reaksi yang bakal timbul dari keluarga besarnya. Tiga bulan kemudian, mereka baru memberanikan diri untuk menemui kerabat orang tua dan kakak lelaki beliau yang berkebetulan tinggal di Tangerang. Benar seperti dugaan, ketika mengetahui tentang kehamilan dan berpindah agama beliau, keluarga yang di Tangerang sangat kaget, begitu juga dengan kakaknya shock berat, orang tua beliau pun dikabari melalui telepon juga terdengar menjerit-jerit histeris, Setelah pertemuan itu suami diperbolehkan untuk pulang, sementara ia ditahan dulu untuk beberapa hari dengan alasan masih ada yang harus dibicarakan, disamping itu mereka juga ingin menguji keberanian suaminya menghadapi keluarga Batak. Mereka memaksa supaya beliau mau menggugurkan kandungannya dan kembali ke orang tuanya. Mereka juga mengintimidasi dengan bahasa-bahasa yang kasar. Selama dua hari tidak tahan terus diintimidasi, sore-sore beliau lari ke wartel untuk telpon ke suami agar segera dijemput. Setelah kejadian itu,


(14)

kurang lebih setahun lamanya tidak ada komunikasi dengan keluarga besar beliau. Pada suatu hari mendapat telpon dari orang tuanya yang mengabarkan bahwa keadaan ibunya semakin parah dan beliau meminta mereka semua pulang ke Balige. Beliau pun beserta suami dan anaknya yang pertama yang masih berusia delapan bulan pulang Ke Balige. Kesan waktu pertama kali pulang ke balige, merasa bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara beliau dengan keluarga besar di Balige, beliau merasa bahwa beliau sudah diterima oleh keluarga besar beliau. Tapi ternyata kesan beliau itu salah besar, hal itu baru beliau rasakan beberapa tahun kemudian ketika mereka sekeluarga didera kesulitan ekonomi (http://groups.yahoo.com/group/mualafindonesia/message/398).

Dalam penelitian ini ada beberapa alasan yang membuat peneliti merasa tertarik untuk mengangkat pola interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya, yaitu dengan adanya perbedaan keyakinan dalam keluarga asalnya menimbulkan permasalahan didalam keluarga, seperti terjadinya suatu pengucilan, komunikasi yang kurang lancar, serta hubungan antara orang tua dan anak dan juga lingkungan kurang harmonis.

Kehidupan kelompok kekerabatan masyarakat Batak Toba berpusat pada tradisi kebudayaan yang telah dipelihara secara turun temurun, sangat sulit untuk mengubah tradisi tersebut. Oleh karena hampir tidak ada masyarakat Batak Toba tertutup dengan dunia luar, Indonesia. Kemungkinan mengubah tradisi kebudayaannya yang telah dipelihara turun temurun ada, melalui proses inovasi secara bertahap, maka perubahan tersebut dapat terjadi dalam waktu yang cukup lama (Soekanto,1992:30). Dalam adat istiadat Batak Toba garis keturunannya bersifat patrilineal atau kedudukan laki-laki lebih penting. Oleh sebab itu orang tua sangat mengkhawatirkan jika anaknya melakukan


(15)

penyimpangan terhadap adat istiadat Batak seperti melakukan perpindahan agama, dikarenakan dianggap membahayakan garis keturunannya akan berkurang. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah beda agama berlaku didalam suatu keluarga terutama pada masyarakat Batak Toba. Selanjutnya adanya anggapan dari masyarakat lingkungan sekitar bahwa beda agama membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi.

1.2Perumusan Masalah

Sesuai dengan pemaparan latar belakang yang diuraikan diatas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “bagaimana interaksi keluarga yang berbeda itu terhadap keluarga asalnya”. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai pola suatu hubungan interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya.


(16)

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melatih dan menambah wawasan ilmiah bagi mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan teori mengenai pola interaksi keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bagi si peneliti dalam memenuhi penelitian ini dan dapat menjadi bahan rujukan/referensi bagi penelitian yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini.

1.5Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep merupakan suatu gagasan yang dinyatakan dalam suatu simbol atau kata (Prasetyo dan Jannah, 2005:67). Selain itu defenisi konsep juga merupakan suatu pendapat yang terwujud dari suatu abstraksi mengenai suatu hal atau masalah yang dibuat untuk mendapatkan suatu pengertian mengenai hal atau dengan kata lain konsep bisa disebut dengan atraksi dari suatu gejala atau suatu pernyataan yang menunjukkan pada suatu pernyataan dapat berupa kata, nama, peristiwa dan simbol.


(17)

Adapun beberapa konsep penting dalam penelitian ini adalah: 1. Pola

Pola adalah standarisasi, pengulangan, organisasi atau arah dari perilaku. Pengertiannya dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk hubungan dan gambaran perilaku yang dilakukan oleh keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya.

2. Interaksi sosial

Interaksi Sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok, maupun antara individu dengan kelompok. Dalam hal ini peneliti melihat bagaimana hubungan interaksi sosial keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya dan juga interaksi sosial keluarga yang berbeda agama terhadap lingkungan sekitar melalui sikap dan pola tingkah laku didalam kehidupan sehari-hari.

3. Keluarga

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh Negara atau lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah atau adopsi. Keluarga yang di maksud adalah keluarga yang berbeda agama yang ada di Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas, Kabupaten Minas, Riau.


(18)

4. Keluarga Asal

Maksud dari keluarga asal dalam penelitian ini adalah keluarga yang ditinggal oleh keluarga yang berbeda agama itu sendiri.

5. Berbeda agama

Berbeda agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluarga yang berpindah agama yang dulunya menganut agama yang sama dengan keluarga intinya tetapi karena alasan tertentu ia berpindah agama atan beda agama dari keluarga intinya.

6. Suku Batak Toba

Suku Batak Toba adalah satu suku bangsa Batak yang sebagian besar mendiami daerah tepian Danau Toba dan Pulau Samosir, ada juga yang merantau ke seluruh pelosok Tanah Air, dan yang menjadi objek penelitian peneliti adalah keluarga masyarakat Batak Toba di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Interaksi Sosial

Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan mempelajari berbagai masalah masyarakat. Seperti di Indonesia dapat dibahas mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung antara pelbagai suku-bangsa, antara golongan-golongan yang disebut mayoritas dan minoritas, dan antara golongan terpelajar dengan golongan agama dan seterusnya.

Interaksi sosial berasal dari bahasa latin: Con atau Cum yang berarti bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Zainal,1997:98).

Teori ini melihat kehidupan sosial sebagai suatu proses dari interaksi. Interaksi dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk dipertahankan dan dipelihara, dan merubah perilaku, makna, dan bahasa. Dengan kata lain perkataan melalui interaksi dengan cepat dan mudah seseorang dapat mengetahui tentang sesuatu yang diinginkannya (Danandjaja, 2001:12).

Inti yang ditarik dari kehidupan sosial adalah interaksi yaitu aksi/tindakan yang berbalas-balasan. Orang saling menanggapi tindakan mereka. Masyarakat merupakan jaringan relasi yang timbal balik. Yang satu berbicara, yang lain mendengar, yang satu bertanya, yang lain menjawab, yang satu memberi perintah, yang lain menaati, yang satu berbuat jahat, yang lain membalas dendam, yang satu mengundang, yang lain datang. Selalu tampak bahwa orang saling pengaruh mempengaruhi. Max Weber menekankan


(20)

hakekat interaksi terletak dalam mengarahkan kelakuan kepada orang lain. Yang harus ada orientasi timbal balik antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Menurut Bonner dalam Gunawan (2000:31), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang atau lebih, sehingga kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, dan sebaliknya. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack dalam Soekanto (2000:67), interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Dalam kehidupan bersama setiap individu dengan individu lainnya harus mengadakan komunikasi yang merupakan alat utama bagi sesama individu untuk saling kenal dan bekerja sama serta mengadakan kontak fisik dan non fisik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bukunya Sosiologi suatu pengantar, Soekanto (2000:67), mengutip defenisi Gillin dan Gillin, yaitu interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok, maupun antara individu dengan kelompok.

Menurut Soekanto (2000:71) suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Kontak Langsung 2. Komunikasi

Kontak merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh invidu atau kelompok lain. Makna yang diterima direspon untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui gerak dari fisikal organisme, misalnya


(21)

melalui pembicaraan, gerak dan isyarat. Sedangkan kontak tidak langsung adalah lewat tulisan atau bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh seperti telepon, chatting, dan sebagainya. Setelah terjadi kontak langsung muncul komunikasi. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu timbul apabila seorang individu memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Dalam tafsiran itu lalu seseorang mewujudkan perilaku dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain.

Adapun ciri-ciri dari interaksi sosial adalah:

1. Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih.

2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol.

3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung.

4. Adanya suatu tujuan tertentu.

2.1.1. Konflik atau pertikaian

Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2000:77), menyebutkan bahwa proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial, seperti konflik atau pertentangan. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu maupun kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.


(22)

Pada umumnya pertentangan merupakan proses dissisiatif (persaingan yang tajam), akan tetapi adakalanya pertentangan tersebut mempunyai fungsi di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat yang positif. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk antara lain:

a. Pertentangan pribadi, yaitu dimulai sejak berkenalan, sudah saling tidak menyukai dan apabila dikembangkan maka akan timbul rasa saling membenci dan masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya.

b. Pertentangan sosial, yaitu pertentangan yang bersumber dari ciri-ciri badanlah dan juga karena perbedaan kepentingan kebudayaan.

c. Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena perbedaan kepentingan, seperti buruh dengan majikan.

Simmel dalam Ihromi (1999:177) mengatakan bahwa hubungan suami istri dalam perkawinan dapat dikatakan sebagai hubungan dua orang, yang secara kualitatif memiliki perbedaan dengan kelompok yang beranggotakan lebih dari dua orang. Sebab hidup matinya kelompok ini hanya tergantung pada kedua orang tersebut. Bila kedua belah pihak berkeinginan untuk mempertahankan kebutuhan keluarganya dengan sendirinya kesewenang-wenangan dari salah satu pihak tidak akan terjadi, tetapi sebaliknya jika salah satu pihak melakukan kesewenang-wenangan akan mudah membubarkan kelompok atau keluarga ini.

Konflik yang terjadi didalam keluarga pada akhirnya akan mengakibatkan ketidaksalahpahaman, perselisihan, beda pendapat diantara kedua bela pihak dan juga akan berpengaruh kepada keluarga besar sehingga mengakibatkan terjadinya goncangan dan ketidakharmonisan didalam keluarga tersebut. Kondisi ini disebut dengan


(23)

disharmonisasi keluarga karena jika didalam keluarga antara orang tua dan anak bermasalah maka seluruh interaksi didalam keluarga akan berpengaruh sehingga kebahagiaan didalam keluarga akan mengalami hambatan.

Dalam keluarga yang efektif, kepentingan utama terletak pada kesatuan. Apabila terdapat kesatuan maka keluarga tersebut akan terorganisasi. Tetapi apabila tidak adanya kesatuan maka keluarga telah mengalami disorganisasi. Runtuhnya kesatuan dapat disebabkan perselisihan dalam keluarga, yang membuat hubungan sulit untuk serasi (harmonis) walaupun hubungan yang formal dari keluarga mungkin tidak pernah terjadi (Khairuddin,1997:111).

2.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional

Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium. Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain.

Merton mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Ketika struktur dan fungsi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negatif seperti contoh yaitu pada struktur masyarakat patriarki memberikan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi


(24)

negatif bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional).

Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukan secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan status ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.

Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan).

Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifes, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk


(25)

kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak dan juga keluarga yang berbeda agama di dalam keluarga intinya.

Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberi sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.

Analisis Robert Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan mempengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disfungsi ketat antara norma-norma dan tujuan budaya (cultural) yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut.

Posisi mereka dalam struktur sosial, beberapa orang tidak mampu bertindak menurut norma-norma normatif. Kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disfungsi antara kebudayan dengan struktur akan


(26)

melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kritis tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa Teori Structural Fungsionalisme ini harus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya.

Struktur yang selalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Jika ada keteraturan maka harus siap dengan ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status didalamnya tapi kaitan dalam peran. Anomi atau disfungsi cenderung dipahami ketika peran dalam struktur berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai faktor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar.

Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk kedalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih, menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional)

2.3. Adaptasi Sosial

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, jadi dapat berarti


(27)

mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan pribadi (Gerungan,1991:55). Menurut Suparlan, adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja untuk melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan diluar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dan lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut.

Penyesuaian diri terhadap lingkungan fisik sering disebut dengan istilah adaptasi, dan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial disebut dengan adjustment. Adaptasi lebih bersifat fisik, dimana orang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, karena hal ini lebih banyak berhubungan dengan diri orang tersebut. tingkah lakunya tidak saja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya (adjustment).

Soerjono Soekanto (Soekanto,2000:10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yaitu:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan. 6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.


(28)

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menjelaskan bahwa penyesuaian dilakukan dngan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin,2000:38), antara lain:

1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Menyalurkan ketegangan sosial.

3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. 4. Bertahan hidup.

2.4. Sosialisasi Dalam Keluarga

Proses awal ataupun proses dasar pembentukan anak terutama dalam lingkungannya yang terdekat yakni dari keluarga. Proses pembentukan ini didapat karena belajar dari lingkungan. Dalam hal ini tentu si anak berinteraksi dengan orang lain.

Proses belajar ini diistilahkan dengan proses sosialisasi yaitu proses yang membantu individu dengan melalui proses belajar dan penyesuaian diri, bagaimana cara hidup dan cara berpikir dari kelompok tersebut. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana dia hidup (Khairuddin,1997:63). Sosialisasi adalah suatu proses, dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat menjadi anggota.

Berger mendefenisikan sosialisasi adalah proses melalui mana seseorang belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Yang diajarkan dalam


(29)

sosialisasi ialah peran-peran. Oleh sebab itu teori sosialisasi adalah merupakan teori mengenai peran (Sunarto,2004:23). Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.

Keluarga adalah kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada si anak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat dimana pun juga, keluarga merupakan unit terkenal yang peranannya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga (yakni keluarga batih) mempunyai fungsi yang sangat penting didalam kelangsungan kehidupan masyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terdapat pada peran dalam melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga.

Hubungan antar individu dalam lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak usia dewasa. Suasana yang penuh kasih sayang dan kondusif bagi pengembangan intelektual yang berhasil dibangun dalm sebuah keluarga akan membuat seorang anak mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya dan dengan masyarakat sekitarnya.


(30)

2.5. Teori pilihan Rasional

Teori pilahan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Teori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroprasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro.

Teori pilihan rasional oleh James S, Coleman adalah tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu


(31)

ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka (Ritzer,2004:394).

Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasional, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro (Ritzer,2004:394-395).

Inti dari penjelasan teori pilihan rasional adalah bahwa pilihan, keyakinan, dan tindakan memiliki hubungan satu sama lain. Sebuah tindakan akan dikatakan rasional bila tindakan tersebut memiliki hubungan dengan pilihan, keyakinan, yaitu dalam artian bahwa tindakan tersebut dapat dibuktikan sebagai tindakan yang paling dapat memuaskan pilihan sipelaku sesuai dengan keyakinan yang ia miliki dan dibuktikan secara ex ente dan bukan secara ex post (karena pengetahuan manusia tidak ada yang sempurna,sehingga orang rasional tetap bisa melakukan kesalahan secara ex post (yaitu ketika dibandingkan dengan hasil nyatanya)biarpun secara ex ente, yaitu sebelum


(32)

dampaknya diketahui, keputusannya sudah rasional). Keyakinan akan dikatakan bila sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Untuk membuktikan bahwa sebuah tindakan adalah rasional, kita harus menunjukkan sebuah deret dimana tindakan tersebut dipandang sebagai terberi (given) tapi segala sesuatu yang lain harus dibenarkan atau dicarikan alasannya (yaitu penjelasan mengapa individu mengambil tindakan tertentu, mengapa individu memiliki keyakinan tertentu).

(http://henkysosiologi.blogspot.com/2009/06/teori-pilihan-rasional-james-s-coleman.html).

Green dan Shapiro (1994;204) menyatakan teori pilihan rasional akan memeriksa batas-batas dari apa yang dapat dijelaskan oleh piihan rasional dan melepaskan kecenderungan untuk mengabaikan, menyerap/mendeskriditkan penjelasan teori lainnya (http://punggeti-sosial.blogspot.com/2008/01/coleman.html).


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus. Bogdan dan Taylor mendefenisikan bahwa metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati (Moleong, 2005: 4). Penelitian studi kasus (Case Study) adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam. mendetail dan komprehensif (secara menyeluruh), latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas (Azwar, 2004: 8).

Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian studi kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit (Arikunto, 2002: 120). Cara penelitian ini adalah memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa, gejala-gejala, fenomena-fenomena tertentu yang terjadi dalam masyarakat, kelompok-kelompok sosial maupun individu. Pendekatan terhadap suatu kasus tertentu secara umum tujuannya adalah untuk mempelajari secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (secara menyeluruh), latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas (Azwar, 2004: 8).

3.2.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Riau. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah


(34)

perbedaan agama didalam keluarga di Minas Jaya dianggap sudah tidak asing lagi dalam sosial di masyarakat. Selain itu juga lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti dan masyarakat yang berada di daerah tersebut dapat membantu dalam proses pengumpulan data dalam penelitian.

3.3. Unit Analisis dan Informan Penelitian

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang berbeda agama yang berada di daerah lokasidi Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau. Pemilihan informan ditentukan dengan cara menggunakan metode snowball sampling. Tehnik ini digunakan jika peneliti tidak memiliki informasi tentang anggota populasi. Peneliti hanya memiliki satu nama populasi. Dari nama ini peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya. Tehnik ini biasanya digunakan jika kita meneliti kasus yang sensitif atau rahasia (Prasetyo,2005:135).

Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini adalah: a. Informan Kunci

Informan kunci dalam penelitian ini adalah keluarga yang berbeda agama didalam keluarga asalnya.

b. Informan Biasa

Informan biasa dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai ikatan atau hubungan kekerabatan secara langsung dengan informan kunci (dalam hal ini seseorang yang tinggal bersama dengan orang yang berbeda agama itu sendiri), para tetangga dan juga lingkungan sekitar.


(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:

a. Observasi Langsung

Observasi langsung merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi ini bertujuan untuk memperoleh data yang dapat mendukung dari hasil wawancara mendalam. Aspek yang diobservasi, antara lain : interaksi kehidupan sosial keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan melalui percakapan atau komunikasi secara kontak atau hubungan pribadi antara pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai (interviewee). Wawancara merupakan bentuk menanyakan dengan karakteristik menggunakan pertanyaan verbal untuk menghindari kesalahpahaman dan dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik dengan panduan interview guide. Dalam hal ini dilakukan wawancara yang mendalam untuk dapat menggali lebih dalam segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Teknik wawancara seringkali dipakai apabila diperlukan data penting dari masyarakat lain.


(36)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Metode dokumentasi yang diterapkan ialah dengan cara mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur dan tulisan yang berhubungan dengan interaksi keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter yaitu pengamatan terhadap gejala-gejala objek yang diteliti dengan mengumpulkan dokumen, bahan referensi, majalah, jurnal dan internet yang berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

3.5.Interpretasi Data

Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2005: 248).

Selain itu interpretasi data juga merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan (Moleong, 2005: 151).

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas dan relevansi dengan masalah yang diteliti. Setiap data yang diperoleh direkam dalam catatan lapangan, baik itu data utama hasil wawancara maupun data penunjang lainnya. Setelah


(37)

seluruh data terkumpul, maka dilakukan interpretasi data yang mengacu pada tinjauan pustaka, sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data secara keseluruhan. Dari berbagai data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya akan dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian ini.

3.6. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III

Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal - Perbaikan Proposal Persiapan:

gurusan Izin

- Persiapan Instrumen Penelitian Penelitian:

- Observasi - Wawancara Pasca Penelitian:

- Analisis Data - Penyusunan Laporan


(38)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian terutama disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah terbatasnya waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan padatnya aktifitas informan. Hal ini tersebut dapat dimengerti karena umumnya informan atau keluarga pada masyarakat Batak Toba khususnya pada masyarakat Batak Toba yang berada di Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas mempunyai aktifitas kerja yang padat, seperti bekerja dan berdagang, oleh sebab itu waktu yang informan luangkan kepada peneliti relatif singkat. Ini yang membuat peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.

Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.


(39)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Singkat

Pada awalnya penduduk asli di Minas Jaya merupakan Suku Sakai. Kehidupan Suku Sakai diawal perkembangannya masih sangat primitif dan tradisional, ini tampak dalam kurangnya pemahaman mereka akan pengetahuan dan nilai-nilai modernisasi yang lambat laun mengalami pergeseran dalam bidang kemasyarakatannya oleh penduduk suku lainnya seperti Suku Minang, Suku Batak, dan Suku Jawa. Akibatnya suku-suku yang menempati daerah-daerah Minas tersebut adalah suku-suku-suku-suku dari perantauan. Karena banyaknya suku-suku timbullah suatu perbedaan pendapat dan karekteristik diantara setiap masyarakatnya sehingga mendatangkan perselisihan dalam memperebutkan suatu lahan tanah, oleh sebab itu Minas terbagi menjadi dua bagian yaitu Minas Timur dan Minas Barat. Minas Timur terbagi tiga Kecamatan yaitu: Minas Jaya, Lubuk Dalam, dan Kota Gasip.

Dahulunya Desa Minas Timur memiliki lahan yang begitu luas dan kaya akan bahan mentahnya dibandingkan daerah-daerah sekitarnya, tetapi karena adanya perebutan lahan diwilayah Minas Jaya maka Minas Jaya memisahkan diri dan membentuk Kecamatan baru yaitu Kecamatan Minas Jaya. Terbentuknya Kecamatan Minas Jaya pada tanggal 28 Desember 2003, karena merupakan hasil dari pemekaran Minas Timur, dan berdasarkan atas Undang-Undang Perda No. 53 Tahun 1999. Sekarang Kecamatan Minas Jaya adalah sebuah Kecamatan di Kab. Siak, Riau. Kecamatan Minas Jaya merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya pesat dan relatif dibandingkan


(40)

dengan daerah lainnya yang berada diwilayah Riau. Hal ini disebabkan karena Minas Jaya dahulunya memiliki sumur bersejarah yang bernama 6D 55 yang kaya akan ladang minyaknya seperti minyak mentah dan minyak kelapa sawit. Pada Tahun 1970-1980 prestasi ladang minyak Minas Jaya memberi sumbangan besar dengan rata-rata yang diproduksi, ditafsirkan sekitar 1.000.000 - 4.000.000 bopd (barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah di Indonesia. Kepala Wilayah Minas Jaya dipimpin oleh seorang Camat, kemudian dibantu oleh Kepala Kelurahan selanjutnya diteruskan oleh RW dan terakhit oleh RT (Sumber: Kantor kelurahan Minas Jaya, 2009).

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Kondisi iklim di Minas Jaya Kecamatan Minas adalah panas karena terletak di ketinggian 20 meter diatas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 230C - 260C.

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Jarak Wilayah

Batas wilayah Minas Jaya adalah 96 km2, beserta batas-batas wilayah Minas Jaya adalah:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Minas Barat

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Madya Pekan Baru 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Rokan Bertuah 4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Minas Timur


(41)

Jarak dari pusat pemerintahan (orbitasi) Minas Jaya:

1. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan : 4 km 2. Jarak dari pusat pemerintahan Kota Administratif : - km 3. Jarak ibu kota Kabupaten/Kota Madya Dati II : 120 km 4. Jarak ibu kota Propinsi Dati I : 30 km

5. Jarak ibu kota Negara : - km

4.1.3. Komposisi Penduduk

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Persentasi jumlah penduduk di Minas jaya yang paling besar masyarakatnya adalah suku Minang yaitu sebesar 50%, diikuti jumlah persentase yang terbesar kedua adalah suku Batak yaitu sebesar 45% dan yang paling sedikit jumlah persentase sukunya adalah suku Jawa yaitu sebesar 5%. Hal ini disebabkan karena suku Jawa masih pendatang baru. (Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009)

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Tabel 4.1

Persentase penduduk berdasarkan agama

No Agama Jumlah/Orang Persentase (%)

1. Islam 9911 90

2. Kristen Protestan 993 9

3. Katolik 105 1

4. Budha 5 -

Jumlah 11.014 100


(42)

Berdasarkan jumlah persentase penduduk dan penyebaran agama di Minas Jaya, mayoritas agama yang dianut adalah agama Islam. Sementara agama yang terbanyak kedua adalah Kristen Protestan yang hampir rata-rata adalah suku Batak, sedangkan Katolik kebanyakan dianut oleh kaum turis (bule). Sedangkan agama minoritas di Minas Jaya adalah agama Budha, karena jumlah penduduknya sedikit.

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jenis Pendidikan Jumlah/Siswa

Umum Khusus

1. Kelompok Bermain √ 52

2. Taman Kanak-kanak √ 280

3. Sekolah Dasar √ 567

4. Pondok Pesantren √ 54

5. S.M.P √ 448

6. Madrasah √ 231

7. S.M.A √ 756

Jumlah 2388 Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Banyaknya terdapat terdapat tingkat pendidikan di Minas Jaya mengakibatkan jumlah persentase para siswa dalam menuntut ilmu sungguh sangat membanggakan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat jumlah persentase dalam memilih untuk bersekolah dibanding dengan yang tidak bersekolah.


(43)

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Usia Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Usia

No Usia/Tahun Jenis Usia Jumlah/Orang

Pendidikan Tenaga Kerja

1. 04 - 06 √ - 332

2. 07 - 12 √ - 567

3. 13 - 15 √ - 1204

4. 20 - 26 - √ 2456

5. 27 - 40 - √ 544

Jumlah 5103 Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Penduduk di Minas Jaya yang berusia 3 tahun kebawah dikategorikan sebagai balita, karena belum tercakup kedalam tingkat pendidikan. Sementara usia 4 tahun termasuk kedalam golongan kelompok bermain.


(44)

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Tabel 4.4

Persentase Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1. Karyawan 3751 58

2. Wiraswasta 2315 36

3. Petani 175 3

4. Pertukangan 81 1

5. Buruh Tani 52 1

6. Pensiunan 63 1

7. Pemulung 26 -

Jumlah 6463 100

Sumber : Kantor Keluruhan Minas Jaya, 2009

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah mata pencaharian yang paling banyak didominasi adalah sebagai karyawan. Hal ini disebabkan karena lapangan pekerjaan yang tersedia di Minas Jaya adalah terdapat banyaknya PT-PT. oleh sebab itu masyarakatnya berminat bekerja di PT-PT tersebut, tetapi ada juga masyarakatnya bekerja sebagai pemulung. Menurut mereka pekerjaan yang seperti itu lebih cepat menghasilkan uang walaupun jumlahnya sedikit.


(45)

4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Kesehatan

Tabel 4.5

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Kesehatan

No Sarana kesehatan Jumlah

1. Puskesmas 1

2. Klinik 2

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Sarana kesehatan yang terdapat pada Minas Jaya terdiri dari dua fasilitas yaitu puskesmas dan klinik. Mayoritas masyarakat di Minas Jaya lebih banyak berobat ke klinik, hal ini disebabkan karena fasilitas peralatan dan perawatan dalam bidang obat-obatan lebih terjamin dibandingkan dengan perawatan yang didapat pada puskesmas. Oleh sebab itu pemerintah daerah menyediakan dua buah sarana klinik.

4.1.4.2 Sarana Ibadah

Tabel 4.6

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Ibadah

No Sarana Tempat Ibadah Jumlah

1. Masjid 4

2. Musholah 23

3. Gereja 5


(46)

Didaerah Minas Jaya, memang terdapat masyarakatnya penganut agama Budha, tetapi mereka melakukan ibadah di rumah mereka masing-masing seperti acara besar agama Budha yaitu Waisak ini dilakukan dengan cara berdoa bersama keluarga didalam rumah mereka masing-masing

4.1.4.3. Sarana Pendidikan

Tabel 4.7

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Pendidikan

No Sarana Pendidikan Jumlah

1. Kelompok Bermain 2

2. Taman Kanak-kanak 3

3. Sekolah Dasar 2

4. Sekolah Menengah Pertama 3

5. Sekolah Menengah Atas 2

6. Pondok Pesantren 2

7. Madrasah 3

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Sarana pendidikan di Minas Jaya telah mengalami perkembangan pesat yang kapasitasnya tidak terduga seperti sarana untuk Taman Kanak-kanak, Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah. Hal itu tampak karena jumlah dari masyarakat setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga anak-anak yang ingin bersekolah tidak kekurangan tempat dalam menuntut ilmu.


(47)

4.1.4.4. Sarana Angkutan

Tabel 4.8

Jumlah Sarana Berdasarkan Jenis Angkutan

No Jenis Angkutan Jumlah

1. Angkutan Umum 1

2. Bus Sekolah 1

3. Ojek/Becak 1

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Jenis angkutan yang ada di Minas Jaya yang paling sering digunakan masyarakatnya adalah sarana angkutan umum baik dari kalangan atas maupun bawah. Sedangkan sarana bus sekolah digunakan untuk anak sekolah yang jarak sekolah jauh dari rumah mereka. Ini dikarenakan angkutan umum lebih sering berhenti utnuk menaikkan dan menurunkan penumpang sehingga membuat anak menjadi terlambat sampai ke sekolah. Oleh sebab itu pemerintah daerah menyediakan sarana bus sebagai sarana alat transportasi untuk anak sekolah.

4.2. PROFIL INFORMAN

Untuk mendapatkan data mengenai pola interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya maka peneliti melakukan wawancara terhadap anggota keluarga yang melakukan perbedaan agama di Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas. Adapun profil informan yang diwawancarai sebagai berikut:


(48)

4.2.1. Profil Informan Keluarga Yang Berbeda Agama dari Keluarga Asalnya 4.2.1.1. B. Sihombing

Bapak B. Sihombing adalah seorang pria yang berusia 45 tahun, yang memiliki 6 orang anak. Beliau bekerja sebagai anggota Satgas Pancasila. Dahulunya bapak B. Sihombing menganut agama Kristen Protestan bersama dengan istri pertamanya, karena hubungan keduanya sudah tidak akur dan tidak memiliki kecocokan maka bapak B. Sihombing memutuskan untuk bercerai. Pada tahun 1997, B. Sihombing menikah lagi dengan seorang wanita yang menganut agama Islam. Hal tersebut yang membuat beliau berpindah agama menjadi penganut agama Islam, dengan kata lain beliau mengikut agama sang istri. Meskipun bapak B. Sihombing sudah berbeda agama dari keluarga kandungnya, beliau masih mau menjenguk atau berinteraksi kepada keluarganya dan keluarga besarnya, walaupun pada awalnya ia tidak diterima terutama mantan istri pertamanya dan anak-anaknya.

4.2.1.2. F. br Pasaribu

Ibu F. br Pasaribu adalah seorang wanita yang berusia 34 tahun, beliau juga melakukan dua kali pernikahan. Suami ibu F. br Pasaribu yang pertama adalah penganut agama Kristen dan mereka memiliki 4 orang anak, tetapi suatu kecelakaan terjadi pada suaminya dan mengakibatkan kematian pada suaminya. Setelah beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 2006, ibu tersebut menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang pria muslim. Beliau pun memutuskan untuk memeluk agama sang suami menjadi seorang wanita muslimah, dan dari pernikahannya yang kedua, ia memiliki 3 orang anak. Dengan berpindahnya agama ibu F. br Pasaribu menjadi penganut agama Islam, keluarga besar


(49)

dan anak pertama ibu tersebut mengucilkan bahkan menjauhinya seperti tidak mengundang beliau ke acara besar marga Pasaribu yang berkebetulan ibu F. br Pasaribu adalah bersuku Batak.

4.2.1.3. R. br Tambunan

R. br Tambunan adalah seorang wanita yang berusia 49 tahun. Wanita ini menikah pada tahun 1986 dengan pria duda. Mereka menikah dengan berbeda agama, sang suami penganut agama Kristen Protestan sementara ibu R. br Tambunan memeluk agama Islam. Walaupun keduanya memiliki perbedaan keyakinan, sepasang suami istri tersebut memiliki hubungan yang harmonis. Setelah dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1988, ibu R. br Tambunan mau dan ikhlas berpindah agama mengikut agama suaminya yaitu memeluk agama Kristen Protestan, ini mengakibatkan ibu R. br Tambunan mendapat tekanan dan pengucilan dari keluarga kandungnya serta para tetangga tempat tinggal keluarga asalnya dilingkungan sekitar. Meskipun demikian beliau tidak putus asa, ia selalu berdoa. Pada saat suatu musibah datang dengan meninggalnya ayah mertua ibu R. br Tambunan, hampir semua tetangga tempat tinggal suaminya datang untuk melihat dan mendukung ibu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa adanya mujizat pada dirinya, karena tetangganya sudah mau menerimanya sebagai anggota masyarakat dilingkungan sekitarnya.

4.2.1.4. D. br Pasaribu

D. br Pasaribu adalah seorang wanita yang berusia 29 tahun dan mempunyai 3 orang anak. Seorang ibu rumah tangga ini berpindah agama pada tahun 2003 karena ia


(50)

melakukan pernikahan dengan seorang pria yang berbeda agama darinya. Dengan kata lain beliau menganut agama Kristen Protestan karena mengikut suami. Pihak dari keluarga ibu D. br Pasaribu ini tidak menerima keputusannya, oleh sebab itu wanita ini mendapat pengucilan dari keluarganya seperti tidak ada lagi komunikasi yang baik diantara mereka tetapi ketika anak kedua dari pasangan ibu D. br Pasaribu ini lahir lambat laun keluarganya bisa menerima beliau menjadi bagian dari keluarga mereka. Ibu D. br Pasaribu juga mendapat keadilan dari lingkungan sekitar. Mereka sangat memahami perpindahan agama yang dilakukan beliau adalah wajar karena pernikahan menurut agama adat Batak, sang istri harus mengikut suami begitu juga sang suami harus bertanggung jawab mengayomi istri menjadi ibu rumah tangga yang baik.

4.2.1.5. Erlinda

Wanita berusia 34 tahun ini memiliki 2 orang anak, yang pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Ibu Erlinda awalnya beragama Islam dan tinggal di Padang. Pada tahun 2000, wanita ini menikah dengan seorang pria yang bersuku Batak yang penganut agama Kristen Protestan. Mereka membentuk suatu keluarga baru dengan dua keyakinan yaitu Islam dan Kristen Protestan. Setelah setahun menikah ibu Erlinda berpindah agama menjadi penganut agama Kristen Protestan. Hal itu ia lakukan karena beliau mendapat berkat sebagai pembawa injil dilingkungan sekitarnya. Disini keluarga kandung ibu Erlinda tidak menekan atau mengucilkannya tetapi mereka memberi dukungan kepadanya. Justru yang lebih menekan mereka adalah pihak dari keluarga suami, karena keluarganya tidak menerima ibu Erlinda sebagai menantunya, ini disebabkan beliau


(51)

berbeda suku dan agama dari mereka sebelum berpindah agama menjadi agama Kristen Protestan.

4.2.1.6. S. br Simanjuntak

Ibu S. br Simanjuntak adalah seorang wanita yang berusia 34 tahun, beliau memiliki 4 orang anak, ibu ini berbeda agama dari keluarga asalnya disaat beliau baru menikah dengan seorang pria yang berbeda keyakinan dengannya. Ibu rumah tangga ini menikah pada tahun 1993. Pada saat pertama sekali ibu ini berbeda agama dengan keluarga asalnya, tekanan dan pengucilan tidak terjadi tetapi yang ada adalah dukungan dan rasa kekeluargaan yang ia terima, bahkan ibu rumah tangga ini menjadi menantu kesayangan dikeluarga besar si suami.

4.2.2. Profil Informan Keluarga Asalnya 4.2.2.1. M. Sihombing

Bapak M. Sihombing adalah seorang pria yang berusia 52 tahun, yang memiliki 5 orang anak, bapak yang bekerja sebagai pegawai swasta ini adalah saudara kandung dari bapak B. Sihombing. Tanggapan dari bapak M. Sihombing tentang perihal berpindahnya agama saudaranya menjadi penganut agama Islam adalah awalnya menolak atau tidak terima serta menimbulkan pertentangan kecil, tetapi setelah lambat laun beliau menghargai dan mau menerima keputusan yang diambil saudaranya dan hubungan kekeluargaan pun menjadi membaik, meskipun demikian antara keluarga beliau dan keluarga besan tidak terjalinnya suatu komunikasi yang harmonis seperti ketika saudaranya bapak M. Sihombing yaitu bapak B. Sihombing menikah dengan


(52)

pasangannya, mereka tidak diundang oleh keluarga besannya, dengan kata lain tidak menggunakan sistem perkawinan adat Batak dari keluarga asalnya.

4.2.2.2. R. br Pasaribu

Wanita yang berusia 42 tahun ini adalah seorang ibu rumah tangga dan mempunyai 6 orang anak. Beliau sangat menentang keras dengan keputusan saudaranya F. br Pasaribu yaitu berpindah agama menjadi agama Islam karena menurut beliau berpindah agama sama saja dengan menduakan Tuhan, hal itu diakuinya karena ia adalah seorang pengurus Gereja. Beliau rela menjauhinya dan sama sekali tidak peduli dengan keadaannya, bahkan pada saat acara besar keluarga, ibu F. br Pasaribu tidak diundang. Dengan kata lain lebih mementingkan keegoisan diri sendiri, buktinya masih terjadi sampai saat ini.

4.2.2.3. Norma

Ibu yang berusia 53 tahun ini memiliki 5 orang, ibu yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga yang mengurus kehidupan keluarganya. Wanita separuh baya ini merasa kecewa dan tidak suka terhadap saudaranya yaitu ibu R. br Tambunan. Hal itu ia ungkapkan karena saudaranya itu telah menikah dengan seorang duda beranak 4 ditambah lagi suaminya beragama Kristen Protestan. Beliau dan juga keluarga besarnya sengaja tidak berkomunikasi dan menjauhkan diri dari saudaranya yaitu ibu R. br Tambunan, agar ia sadar dan mau kembali ke agama asalnya. Tetapi dengan bertambahnya tahun ibu tersebut semakin kuat dengan agama yang baru di yakininya. Hal itu membuat ibu Norma beserta keluarga besarnya pasrah dan menerima


(53)

saudaranya menjadi bagian dari keluarga Tambunan, meskipun demikian mereka belum bisa menerima suami saudaranya itu dan keluarga besannya menjadi keluarganya.

4.2.2.4. H. Pasaribu

Bapak H. Pasaribu adalah seorang pria berusia 40 tahun, yang memiliki 3 orang anak. Pria yang biasa di sapa bapak Pasaribu ini bekerja sebagai pegawai swasta untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dulunya memang bapak Pasaribu tidak setuju dan menentang keras jika saudaranya yaitu D. br Pasaribu menikah dengan seorang yang berbeda agama dari mereka yaitu agama Kristen Protestan. Dikarenakan akan membuat perbedaan dalam acara-acara di keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri, yang dulunya merayakan bersama serta saling berbagi THR (tunjangan hari raya). Namun hal itu tidak membuat beliau memusuhinya hanya saja komunikasi yang kurang lancar buktinya setelah kelahiran anak kedua saudaranya itu, bapak Pasaribu beserta keluarga besarnya mau memaafkan bahkan mereka sering mengunjungi kediaman saudaranya itu.

4.2.2.5. Susiyanthi

Wanita yang berumur 24 tahun ini bekerja sebagai guru SD. Ia yang biasa disapa susi memiliki saudara bernama ibu Erlinda. Susi berpendapat jika seseorang berpindah agama tidak berdosa karena sama-sama menyembah Tuhan. Dalam hal ini ia juga mengemukakan bahwa hak seseorang untuk berpindah agama, jika agama yang baru di anutnya membuat ia merasa lebih dekat dengan Tuhan (bertobat). Beliau mengatakan hal demikian kerana sesuai dengan kehidupan keluarganya, yang telah melakukan


(54)

perpindahan agama dan menjadi penganut agama Kristen Protestan. Dan sekarang saudaranya telah menjadi pembawa injil di Gerejanya.

4.2.2.6. Mitra

Ibu Mitra adalah seseorang wanita berusia 26 tahun yang memiliki 1 orang anak. Beliau merupakan keluarga dari ibu S. br Simanjuntak. Dalam hal ini, ibu tersebut tidak banyak komentar tentang masalah perpindahan agama seperti halnya yang dilakukan oleh saudaranya yaitu yang dulunya penganut agama Islam kemudian menjadi penganut agama Kristen Protestan. Bagi beliau hal itu wajar karena dalam adat istiadat batak si istri wajib mengikut suaminya. Jadi apa yang dilakukan oleh saudaranya dengan berpindah agama menjadi agama Kristen mengikut agama suaminya adalah tidak masalah artinya keluarga ibu Mitra mendukung sepenuhnya jika agama yang di anut saudaranya itu bisa membuatnya menjadi orang yang lebih taat kepada Tuhan-Nya.

4.2.3. Profil Informan Dilingkungan Sekitar 4.2.3.1. R. Sihombing

Bapak R. Sihombing adalah seorang pria berusia 40 tahun, yang memiliki 4 orang anak. Beliau dalam kehidupannya sehari-harinya bekerja sebagai direktur utama dalam suatu perusahaan koperasi. Bapak R. Sihombing dalam menanggapi perbuatan bapak B. Sihombing kerabatnya tersebut sangatlah memalukan dan tak layak dimaafkan, karena baginya bapak B. Sihombing adalah seorang pria yang bersuku Batak Toba mengapa harus menikah dengan wanita yang berbeda agama dan berbeda suku dengannya.


(55)

Kalaupun begitu mengapa ia yang berpindah agama bukan istrinya, sementara adat suku Batak Toba itu menyatakan bahwa si istri yang harus mengikut suaminya.

4.2.3.2. D. Panjaitan

Bapak D. Panjaitan adalah seorang penganut agama Kristen protestan. Beliau merupakan tetangga dari ibu F. br Pasaribu. Bapak ini berpendapat bahwa ibu F. br Pasaribu wajar untuk melakukan pindah agama menjadi penganut agama Islam, karena ibu F. br Pasaribu adalah seorang suku Batak tentulah ia harus mengikut suaminya artinya dalam adat Batak, si istri wajib mengikut suaminya, walaupun dilingkungan sekitar beliau mayoritasnya agama Kristen Protestan tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi mereka, selagi ibu F. br Pasaribu dan suaminya tetap taat pada Tuhan-Nya.

4.2.3.3. P. Panggabean

Pria berusia 43 tahun ini, bekerja sebagai buruh untuk memenuhi kebutuhan 5 orang anaknya dan istrinya. Bapak P. Panggabean sangatlah kecewa dan malu melihat rekan tetangganya yaitu suami dari ibu R. br Tambunan mau menikah lagi dengan seorang wanita yang bukan seagama dengannya. Beliau menganggap bahwa ibu R. br Tambunan telah merasuki pikiran kerabatnya tersebut dan takutnya ibu R. br Tambunan membawanya masuk keagamaan dan meninggalkan agamanya yaitu Kristen Protestan. Faktanya yang terjadi adalah ibu R. br Tambunan yang melakukan pindah agama, meskipun begitu beliau serta para tetangga sekitarnya belum bisa menerimanya karena ibu R. br Tambunan adalah seorang yang tidak konsekuen terhadap satu agama.


(56)

4.2.3.4. S. br. Siagian

S. Siagian adalah seorang wanita berusia 35 tahun, yang berprofesi sebagai guru SD disalah satu sekolah negeri. Ibu S. Siagian mengungkapkan bahwa ia beserta masyarakat dilingkungan sekitarnya mendukung apa yang dilakukan tetangganya yaitu Ibu D. Pasaribu yang mau berpindah agama menjadi penganut agama Kristen Protestan mengikuti agama suaminya. Dengan kata lain pendapat beliau sama halnya dengan pendapat bapak D. Panjaitan yaitu sama-sama mendukung dan mengayomi keluarga yang berpindah agama dari keluarga kandungnya asalkan agama yang dianutnya membuat mereka lebih dekat lagi kepada Tuhannya.

4.2.3.5. S. br Sitorus

Ibu S. Sitorus adalah seorang wanita yang berumur 41 tahun. Setelah suaminya meninggal dunia, beliau harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sebagai buruh tani. Ibu yang memilliki empat orang anak ini tidak mengomentari ibu Erlinda tetangganya tersebut karena bagi beliau dengan melakukan pindah agama seperti yang dilakukan Ibu Erlinda menjadi pemeluk Kristen Protestan merupakan hak pribadi beliau, dan ia menyatakan dalam pernyataannya” kenapa harus dipermasalahkan seseorang yang berpindah agama”.

4.2.3.6. L. Sianturi

Bapak L. Sianturi merupakan pria yang bekerja sebagai karyawan swasta dan memiliki empat orang anak. Beliau dan masyarakat sekitar rumah S. br Simanjuntak tidak


(57)

memberikan pernyataan keberatan terhadap sikap yang dilakukan oleh Ibu S. br. Simanjuntak tentang perbedaan agama dengan keluarga kandungnya.

4.3. Pandangan Keluarga Batak Toba Mengenai Agama

Agama merupakan suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia. Pengertian agama menurut Durkheim (Sunarto,2004:69-71) ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, bahkan kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman kedalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat. Dalam sosiologi agama juga dikenal dengan fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang berkaitan dengan segi doktrin, ritual dan aturan prilaku agama. Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa disamping mempunyai fungsi agama juga dapat mempunyai disfungsi. Pertentangan yang membahayakan keutuhan masyarakat tidak jarang bersumber pada faktor agama.

Sebab timbulnya agama justru terletak pada berbagai kesulitan tertentu dalam proses sosialisasi di lingkungan keluarga, dan pada berbagai konflik nyata antara kepentingan individual dan kolektif dalam masyarakat. Fungsinya adalah mendukung tatanan sosial yang sudah ada, meskipun kadang-kadang bisa timbul juga berbagai ekspresi keagamaan yang bercorak pemberontakan terhadapnya. Agama merupakan salah satu benteng pertahanan untuk menghadapi anomie (kericuhan) sepanjang sejarah manusia, ini bisa dianggap benar bila individu-individu bersedia mematuhi secara meyakinkan aturan-aturan dan nilai-nilai kelompok keagamaan tertentu yang mereka ikuti. Kepercayaan keagamaan tidak akan mengurangi kericuhan yang berkaitan dengan


(58)

nilai-nilai dan aturan-aturan pada beberapa unit sosial yang lebih besar, seperti bangsa atau kelas sosial, bila berbagai kelompok keagamaan yang secara bersama-sama menyatakan setia kepada nilai-nilai yang sama.

Dalam suku masyarakat Batak Toba sebelum menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Na Bolon. Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan dan kemuliaan di atas langit (di banua atas) dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu yaitu Silaon Nabolon. Sebagai penguasa dunia makhluk halus ia disebut bernama Pane Na Bolon. Di samping sebagai pencipta, Debata Mulajadi Na Bolon juga mengatur kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan dan kehamilan, sedangkan Pane Na Bolon mengatur setiap penjuru mata angin. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

1. Tondi

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka harus diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

2. Sahala

Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.


(59)

3. Begu

Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

4.4. Pandangan Keluarga Mengenai Sistem Kekerabatan 4.4.1. Sistem Kekerabatan Pada Suku Batak Toba

Batak adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatera Utara. Kehidupan masyarakat Batak mengelompok berdasarkan marga dan saling hidup berdampingan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari orang Batak sangat menjunjung tinggi budaya dan adat-istiadatnya. Orang Batak beranggapan bahwa adat itu tidak dipelajari, tetapi dijalankan. Sehingga tidak mengherankan jika mayoritas orang Batak mengerti dan paham tentang adat dan kebudayaannya sendiri. Dalam hal budaya, tidak ada strata sosial berdasarkan jabatan seseorang, umur, kekayaan, dan status sosial lainnya. Dalam adat Batak ada prinsip budaya yang dipegang erat, yaitu, prinsip Natalo atau tungku berkaki tiga, isinya yakni berbunyi, hormati sesama orangtua, hati-hati membangun persaudaraan dan mengasihi anak perempuan. Ketiga elemen dasar tersebut dipegang benar oleh orang Batak, sehingga terhindar dari konflik. Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu


(60)

ayah, satu kakek, satu nenek moyang, sehingga kedudukan laki-laki lebih penting (Posman,2000:17).

Bagan 1.1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba (Patrilineal)

Keterangan bagan patrilineal: = Laki-laki

= Perempuan = Garis keturunan = Perkawinan = Saudara = Ego

Orang Batak mengembangkan kategori sosial berdasarkan “kerabat” dan “bukan kerabat” (Edward Bruner,1999:159). Menurut Bruner, kategori sosial ini dikembangkan orang Batak ketika mereka bermigrasi ke kota Medan beberapa dekade yang lalu. Yang dimaksud dengan ”kerabat” adalah kategori sosial bagi anggota-anggota semarga atau sesuku, sedangkan “bukan kerabat” adalah kategori sosial untuk orang-orang bukan


(1)

kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas (http://www.slideshare.net/kazme/i-1297189 tanggal 17 Nov 2010 06:25:38 GMT).

Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.

Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_sosial).

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut: • Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.

• Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.

• Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.

• Toleransi diantara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan • Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi


(2)

• Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.

• Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat • Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal

• Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya

• Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut.

Dengan menyadari adanya pluralisme (sosial) di dalam masyarakat Indonesia, seperti melalui adanya eksistensi masyarakat adat, tiada cara yang lebih strategis selain mengelolanya sebagai kekuatan yang produktif dalam mencapai kemajuan bersama. Proses-proses sosial perlu dilakukan dalam memelihara terjalin pluralisme ini menjadi suatu tatanan sosial yang mapan di dalam masyarakat. Begitu pula di tingkat masyarakat, kesadaran pluralis harus terus ditanam dan dikembangkan di dalam lingkungan sosialnya. Sikap menonjolkan kebudayaannya sendiri atau hanya terpaku pada produk nilai lama dan enggan untuk mengapresiasi nilai baru yang dapat memberdayakan kehidupan bersama selayaknya pula ditanggalkan karena dapat menghambat kemajuan dan kreatifitas dalam membangun kebudayaan. Interaksi budaya antar aktor-aktor sosial di dalam masyarakat perlu dikembangkan, apakah melalui bentuk kerjasama secara institusional maupun secara personal. Forum-forum budaya yang dapat memperkuat kesadaran membangun pluralisme perlu terus dikembangkan. Hanya dengan cara demikian, adanya perbedaan dan keragamaan budaya tidak menciptakan daya ledak

kekerasan antar komunitas di dalam masyarakat (http://www.ireyogya.org/adat/modul_pluralisme.htm).


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.KESIMPULAN

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang (Posman,2000:17). Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah disebut saama. Dalam kehidupan masyarakat Batak ada suatu hubungan kekerabatan yang mantab, hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.

Jika hubungan kekerabatan seseorang tidak berjalan sesuai dengan sistem ajaran Batak atau tidak mematuhi kewajibannya sebagai orang Batak, maka akan diberikan sanksi sebagai berikut:

1. Pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah,

2. Pihak yang tidak menghormati anggota-anggota semarga akan menghadapi pisau tajam, dan

3. Yang tidak menghormati boru mendapat malu dan pengunjingan.

Oleh sebab itu orang tua memberi suatu pandangan kepada anak-anak mereka berupa nasehat sebagai berikut:

1. Orang tua tidak menginginkan keturunannya menikah dengan agama yang berbeda dari mereka.


(4)

2. Jika sianak melakukan penyimpangan atau dengan kata lain berbeda agama dari keluarganya, ia akan dihapuskan dari keturunan keluarga Batak Toba (klen kecil dan klen besar).

Klen Kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini atau saompu. Sedangkan Klen Besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang sampai generasi ke-20.

3. Interaksi sosial yang terjadi didalam keluarga masyarakat Batak Toba dapat berjalan harmonis apabila didalam satu keluarga tidak melakukan suatu penyimpangan terhadap adat istiadat Batak Toba. Jika demikian terjadi maka akan menimbulkan permasalahan didalam keluarga seperti terjadinya suatu pengucilan, kekerasan (konflik) dan komunikasi yang terjalin kurang erat.

5.2. SARAN

Dengan adanya perbedaan agama didalam keluarga satu-satunya jalan ialah kita harus toleransi terhadap agama yang dianut orang lain, dengan cara saling bertukar pikiran yang dilandasi pikiran positif. Untuk saling memberi dan menerima masukan apa yang baik dan berguna bagi kedua pihak. Hingga menemukan titik temu yang saling menguntungkan bagi kedua pihak. “Ajaran agama hanyalah jalan atau sarana yang digunakan oleh manusia untuk mencari kebahagiaan”.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Bungin, H. M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta, Predana Media Group.

Danandjaja. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Medan, Departemen Pendidikan Nasional Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta, Rineka Cipta. Ihromi, T.O. 1999. Sosiologi Keluarga. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. Malang, UMM Press. Khairuddin, H. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.

Lanasari, Rosalina, 2008. Interaksi Sosial Keluarga Dalam Perkawinan poligami Suku Batak Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman). Medan, FISIP-USU Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja Rosdakarya. Prasetyo, Bambang. & Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantatif Teori

dan Aflikasi. Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Simanjuntak, Posman. 2000. Berkenalan Dengan Antropologi. Jakarta, Erlangga. Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, RajaGrafindo Persada. . 1992. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja Dan

Anak. Jakarta, Rineka Cipta.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


(6)

Sumber Lain :

A Meng. Dikucilkan Keluarga Karena Masuk Islam. (http://huhu.facebook.com/note.php ?note_id=114831241173. 20 Nov 2009 16:03:11 GMT) . Diakses tgl 28 Nov 2009.

Penggeti. Teori Pilihan Rasional (James S, Coleman) (http://www.punggeti-sosial.blogspot.com/2008/01/coleman.html). Diakses tgl15 Nov 2010

Wibowo, Henky. Teori Pilihan Rasional (James S, Coleman)(http://henkysosiologi.blogs pot.com/2009/06/teori-pilihan-rasional-james-s-coleman.html). Diakses tgl 13 April 2010.

Olgarina Hutapea. Kisah Muallaf Yang Terjerat Utang Ke Rentenir.(http://groups.yahoo. com/group/mualafindonesia/message/398. 17 Nov 2009 00:35:07 GMT). Diakses tgl 28 Nov 2009.

(http://www.percikaniman.com/mapi/index.php?option=content&task=view&id=131&Ite mid=64). Diakses tgl 28 Nov 2009.

(http://www.kependudukan.siakkab.go.id/index:php?page=statistik). Diakses tgl 26 Okt 2010.

(http://www.id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional.htlm). Di akses tgl 15 Nov 2010.

Gimmy Rusdin Sinaga. Suku Batak.(http://www.id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak.htlm). Di akses tgl 15 Nov 2010.

Rozaki, Abdul dan Dewi Utari. Modul Masyarakat Adat Dan Pluralisme. (http://www.ireyogya.org/adat/modul_pluralisme.htm). Di akses tgl 7 Des 2010.