Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Teknologi akustik bawah air biasa disebut hydroacoustic atau underwater acoustics yang semula ditujukan untuk kepentingan militer telah berkembang dengan sangat pesat dalam menunjang kegiatan non-militer. Saat ini teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk kegiatan penelitian, survei kelautan dan perikanan baik laut wilayah pesisir maupun laut lepas termasuk laut dalam bahkan dapat digunakan di perairan dengan kedalaman sampai dengan 6.000 meter

(Supangat dan Susanna, 2003). Teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk mendeteksi sumberdaya hayati dan non-hayati termasuk survei populasi ikan yang relatif lebih akurat, cepat dan tidak merusak lingkungan dibandingkan dengan teknik lain seperti metode statistik dan perhitungan pendaratan ikan di pelabuhan (fish landing data) (MacLennan, 1990).

Schooling atau kawanan merupakan struktur paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan. Pembentukan kelompok pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan akan sangat dibantu dengan informasi mengenai kelompok ikan ini (Fauziah et al, 2010). Oleh karena itu, penelitian mengenai pendugaan kelompok ikan di suatu perairan sangat berguna untuk mendukung pemanfaatan sumber daya hayati laut khususnya ikan yang ada di suatu perairan.

Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa dan Selat Karimata di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Perpaduan

karakteristik massa air yang berbeda ini akan berpengaruh terhadap populasi, jenis, sebaran dan kelimpahan sumber daya perikanan (Wijopriono dan Genisa, 2003).


(2)

Beberapa penelitian telah dilakukan di Perairan Selat Sunda terkait eksplorasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan teknologi akustik. Penelitian

tersebut meliputi Pasaribu (2000) mengenai pengembangan algoritma untuk pemetaan sumberdaya ikan dengan teknologi akustik, Sultan et al. (2001)

mengenai pendugaan densitas ikan serta Wijopriono dan Genisa (2003) mengenai densitas akustik ikan pelagis.

1.2 Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengukur nilai dan sebaran volume backscattering strength (Sv) schooling ikan. Kemudian, dilakukan analisis hubungan nilai volume backscattering strength schooling ikan berdasarkan waktu dan kedalaman serta kaitannya dengan faktor oseanografi fisik seperti suhu dan salinitas.


(3)

3 2.1 Metode Akustik

Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan suara; karakteristik suara

(frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan / medium; kondisi target dan lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2, yaitu sistem akustik pasif dan sistem akustik aktif. Sonar (Sound Navigation And Ranging) memanfaatkan sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut (Supangat dan Susanna, 2003).

Ada dua sistem dalam metode akustik meliputi sistem echosunder dan sistem sonar. Sistem echosounder dan sonar umumnya terdiri dari lima komponen, yaitu: 1) Transmitter berfungsi untuk menghasilkan pulsa listrik

2) Transducer untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara begitu juga sebaliknya

3) Receiver untuk menerima echo dari objek 4) Peraga–perekam untuk mencatat hasil echo 5) Time base digunakan untuk mengaktifkan pulsa. (MacLennan and Simmonds, 1992)

Beberapa keunggulan dan keuntungan yang didapat dengan menggunakan peralatan dan metode hidroakustik dalam pendugaan kelimpahan dan distribusi kelompok ikan (MacLennan, 1990):

1) Menghasilkan informasi tentang distribusi dan kelimpahan ikan secara cepat dan mencakup kawasan luas.


(4)

kepada data statistik perikanan

3) Memiliki tingkat ketelitian dan ketepatan tinggi

4) Tidak berbahaya atau merusak karena frekuensi suara yang digunakan tidak membahayakan baik bagi pemakai alat maupun target survei.

2.2 Volume Backscattering Strength (Sv)

Volume backscattering strength adalah rasio antara intensitas yang

direfleksikan oleh suatu kelompok single target yang berada pada suatu volume air tertentu (1 m3) dan diukur pada jarak 1 meter dari target terhadap intensitas suara yang mengenai target tersebut (Johanesson dan Mitson,1983). Volume reverberasi digunakan untuk mendapatkan volume backsccatering strength dari kelompok ikan. Total intensitas suara yang dipantulkan oleh multiple target adalah jumlah dari intensitas suara yang dipantulkan oleh masing– masing target tunggal :

Irtotal = Ir1 + Ir2 + Ir3 + ….. + Irn ………...(1) dimana : n = jumlah target

Jika n memiliki sifat-sifat akustik yang serupa (linier), maka : Irtotal = n. Ir………...(2)

dimana : Ir = intensitas rataan yang direfleksikan oleh target tunggal.

Melalui prinsip ini maka, ketika jumlah ikan dalam satu schooling banyak akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi.

Selanjutnya dapat dicari nilai backscattering cross section (��� )rataan tiap target berdasarakan persamaan :

���

�����= 4��02(�

�) ...(3) (Johanesson dan Mitson, 1983).


(5)

Melalui software echoview dapat diketahui secara langsung nilai Sv menggunakan persamaan berikut ini :

...(4) Dimana :

Sv = nilai sv linear dari daerah yang dintegrasi (m2/m3) B = lebar beam

β = target yang ada di dalam beam

ρ = target yang dihitung secara horizontal berdasarkan ping v = target yang dihitung secara vertikal berdasarkan ping V = integrasi volume (m3)

N = jumlah sampel/target

Persamaan di atas akan menghasilkan nilai Sv linear dan untuk

mengkonversinya menjadi decibel (dB) yang digunakan dalam penelitian ini maka, dilakukan konversi menggunakan persamaan berikut ini :

�� = 10 log(�� )...(5) Dimana :

�� = nilai Sv dalam dB re m2/m3 �� = nilai Sv m2/m3 persamaan (4) (Echoview, 2011).

2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda

Luas perairan Selat Sunda sekitar 8.138 km2 berbentuk seperti corong dengan bagian utara yang lebih sempit dan dangkal dibandingkan dengan bagian selatan. Sv


(6)

Pada bulan April sampai September perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim barat laut dan angin musim tenggara. Pada bulan Oktober sampai Maret dipengaruhi oleh angin musim barat (Pasaribu, 2000).

Suhu perairan di Selat Sunda berdasarkan penelitian Muripto (2000) menunjukkan bahwa sampai kedalaman 150 meter kisaran nilai suhu adalah 28,5ºC sampai 28,8ºC. Kemudian, Pasaribu (2000) menyebutkan bahwa semakin ke arah selatan terjadi perubahan suhu dan lapisan termoklin (75 – 100 meter) karena pengaruh dari Samudra Hindia. Salinitas secara menegak sampai

kedalaman 125 meter berkisar antara 33,5 psu sampai 34,7 psu (Muripto, 2000). Komunitas ikan di Selat Sunda hasil penelitian Genisa (2003) menggunakan pukat dasar menunjukkan bahwa ikan – ikan terdiri dari 49 jenis (spesies) yang mewakili 27 genus. Jenis yang dominan meliputi Stoleporus sp, Upeneus

sulphureus, Leiognathus elongatus, Therapon theraps, Platycephalus scaber dan Sardinella brachysoma. Penelitian Pasaribu (2000) juga menyebutkan beberapa jenis dan jumlah tangkapan ikan yang dominan di TPI adalah tongkol, tenggiri, layur, bentong, selar, tembang, petek dan julung.


(7)

7 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakuk an mulai tanggal 26 Juni 2010 sampai 3 Juli 2010. Lokasi pengambilan data akustik berada di wilayah Selat Sunda (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian dan pengambilan data akustik di Perairan Selat Sunda.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Peralatan Pengambilan Data Akustik

Peralatan pengambilan data akustik terdiri dari :

a) Scientific Split Beam Echosounder Type Simrad EK 60 yang digunakan untuk pendeteksian target berupa kelompok ikan.


(8)

c) Printer yang digunakan untuk mencetak hasil pengolahan data dalam kertas.

3.2.2 Perangkat Lunak Analisis Data

Perangkat lunak analisis data terdiri dari :

a) Echoview 4.3 versi demo untuk mengolah data akustik bertipe *raw. b) ER 60 untuk mengkalibrasi data echogram dengan alat yang digunakan. c) Arc GIS 9 untuk membuat peta lokasi penelitian dan interpolasi data kedalaman, suhu dan salinitas.

d) Microsoft Excel yang digunakan untuk tabulasi, analisis dan visualisasi data.

3.3 Perolehan, Pengolahan dan Analisis Data

Perolehan data akustik bersumber dari hasil survei BRPL dan data tersebut berkaitan dengan beberapa hal seperti dalam Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian

Jenis Data Sumber Data Keterangan

Desain survei akustik pengambilan data dan peta laut

BRPL Menunjukkan jalur yang

dilalui sehingga

memperoleh data akustik Data Oseanografi (suhu

dan Salinitas)

BRPL Menunjukkan karakter

lingkungan dari schooling ikan

Echogram data BRPL Mengetahui sebaran

target berupa ikan atau kelompok ikan

Pengolahan data akustik hasil survei berupa data echogram. Data ini

mempunyai format *raw dan harus dikalibrasi menggunakan perangkat lunak ER 60. Selanjutnya, data kelompok ikan dari echogram diatur nilai ambang batas


(9)

(Threshold) antara -24,00 dB sampai -60,00 dB. Hal ini dikarenakan ikan mempunyai kisaran target strength antara nilai tersebut sesuai yang disebutkan dalam Lurton (2002). Setelah ambang batas diatur, maka akan terlihat target baik individu dan kelompok ikan. Target kelompok ikan ini yang dihitung

keberadaannya di berbagai kisaran kedalaman dan sepanjang lintasan survei. Kelompok atau schooling dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu pengelompokan yang bervariasi dari bentuk atau pun ukuran dengan tipe panjang minimal 1 meter dan lebar 10 meter (Lurton, 2002) dan dalam penelitian ini digunakan jumlah target atau sampel dalam satu schooling minimal 10 target. Contoh schooling yang terdeteksi dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 3.

Data kelompok ikan yang terlihat di dalam echogram selanjutnya diintegrasi dan agar hasil integrasi benar – benar merupakan berasal dari kelompok ikan maka, dilakukan dijitasi terhadap kelompok ikan tersebut. Hasil integrasi ini akan menghasilkan nilai volume backscattering strength

Selain nilai – nilai yang disebutkan di atas, dilakukan juga pengukuran karakteristik kelompok ikan. Karakteristik ini meliputi kedalaman kelompok ikan dan berdasarkan waktu ditemukannya schooling ikan tersebut. Data ini yang akan digunakan dalam analisis lanjut suatu kelompok ikan.

Analisis kedalaman menggunakan nilai kedalaman rata – rata (mean depth) dari hasil integrasi di echoview. Nilai kedalaman rata – rata adalah rata – rata kedalaman dari suatu contoh yang terseleksi atau dalam hal ini region hasil dijitasi. Pembagian kedalaman menggunakan bentuk sebaran frekuensi (pengelompokan data). Pengelompokan data berdasarkan kedalaman dibagi menjadi lima kelas


(10)

dengan selang kelas 25 meter. Analisis waktu digunakan selang setiap tiga jam dari semua data yang diambil di Selat Sunda. Analisis terhadap waktu ini dihubungkan terhadap nilai Sv dan kedalaman.

Sebaran Sv, suhu dan salinitas secara spasial diolah menggunakan ArcGIS untuk menampilkan sebaran di seluruh perairan. Selang nilai Sv, suhu dan

salinitas yang berbeda ditunjukkan oleh simbol dan degradasi warna yang berbeda. Sebaran Sv berdasarkan kedalaman dan waktu diolah dan ditampilkan

menggunakan MS Excell. Metode interpolasi digunakan dalam menentukan sebaran atau profil suhu dan salinitas dalam software ArcGIS.

Gambar 3. Contoh schooling ikan yang terdeteksi di Selat Sunda dan tampilannya dalam echogram.

Schooling ikan Schooling ikan


(11)

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan dan analisis data schooling ikan di Perairan Selat Sunda.

Interpolasi data Data Suhu dan salinitas

*txt

ArcGIS 9.3

Profil melintang suhu dan salinitas

Sebaran Volume backscattering strength schooling ikan di Selat Sunda

Nilai volume backscattering strength, kedalalaman, posisi

dan waktu

Tabulasi dan analisis data Data Echogram*raw Kalibrasi ER 60 Pengaturan variable properties dalam echoview Kalibrasi

Dijitasi schooling ikan

Integrasi dan Ekstraksi Data

Data Tampilan

Schooling minimal 10 target


(12)

12

4.1 Sebaran Schooling Ikan Secara Spasial di Selat Sunda

Informasi schooling ikan yang ditemukan di Perairan Selat Sunda berkisar antara 10 – 1324 target. Umumnya rata – rata schooling terdiri dari 87 target. Hal ini diperoleh dari jumlah target hasil dijitasi dan integrasi dalam software

echoview. Distribusi suatu schooling ikan secara spasial sangat bermanfaat untuk pemilihan teknik penangkapan ikan dan memberikan informasi mengenai lokasi suatu kelompok ikan yang bersifat musiman (Gunarso, 1985). Schooling ikan yang terdapat di perairan Selat Sunda pada Musim Timur (Gambar 3)

menunjukkan bahwa pola sebaran dominan berada di bagian utara yang berhubungan langsung dengan Pulau Jawa. Penelitian Wijopriono dan Genisa tahun 2001 di Bulan Juli menunjukkan kelompok ikan berada di area mulut selat bagian timur laut yang merupakan perairan dangkal.

Banyaknya ikan di bagian utara dan berdekatan dengan Pulau Jawa

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya merupakan jalur migrasi dari ikan yang melakukan ruaya dari Laut Jawa. Berdasarkan Muripto (2000) massa air bergerak sepanjang akhir Juni sampai awal Juli memasuki Selat Sunda dan sejajar Pantai Jawa Barat sampai melewati Pulau Panaitan. Bersifat stabil dan bukan merupakan massa air campuran ditandai dengan perbedaan faktor oseanografi (suhu, salinitas).

Sifat stabil dari massa air ini yang memungkinkan schooling ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus sp) untuk memasuki perairan Selat Sunda. Ikan layang menurut Pasaribu (2000) mempunyai daerah pemijahan di perairan Laut Jawa dan banyak terbawa arus masuk ke perairan Selat Sunda. Daerah tersebut


(13)

juga merupakan feeding ground ikan karena sumber nutrien dari wilayah daratan yang melimpah.

Kelompok ikan lain tersebar dominan juga di wilayah utara Pulau Sebuku dan Sebesi. Pulau – pulau kecil ini mempunyai karakter arus yang tenang terutama ketika Musim Timur (Muripto, 2000). Hal ini menjadi faktor pendukung bagi schooling ikan untuk bersembunyi. Pasaribu (2000) menyebutkan Pulau Sebesi merupakan lokasi persembunyian bagi ikan dan juga habitat bagi ikan pelagis kecil yang menyukai areal tertutup. Kelompok ikan juga ditemuka n di lokasi lain meliputi bagian timur laut Pulau Panaitan, bagian barat daya Pulau Legundi, dan bagian utara Pulau Tabuan atau di bagian mulut Teluk Semangka. Distribusi kelompok ikan di suatu perairan berdasarkan Gunarso (1985) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan faktor biososial yaitu dalam hal mencari makan dan menghindari predator.

Setiap wilayah di Selat Sunda mempunyai karakteristik yang berbeda karena merupakan percampuran massa air dari Samudra Hindia dan Laut Jawa. Hal ini juga mempengaruhi distribusi ikan dan memungkinkan pengelompokan hanya di lokasi tertentu yang memiliki faktor lingkungan lebih mendukung. Hasil

penelitian Muripto (2000) membagi perairan Selat Sunda menjadi tiga bagian yaitu wilayah oseanik, wilayah Selat Sunda dan wilayah Laut Jawa. Ketiga daerah ini mempunyai karakteristik fisik yang berbeda sehingga mempengaruhi distribusi schooling ikan. Hasil penelitian Wijopriono dan Genisa (2003) menyebutkan bahwa jenis ikan di area mulut selat yang berhubungan dengan Samudera Hindia adalah kelompok ikan pelagis besar berbeda dengan yang terdeteksi di area mulut selat bagain utara dan selatan yang cenderung berukuran lebih kecil.


(14)

Gambar 3. Lokasi schooling ikan di Perairan Selat Sunda pada musim timur dan pembagiannya berdasarkan nilai volume backscattering strength dan kaitannya terhadap kedalaman.


(15)

4.2 Volume Backscattering Strength Schooling Ikan di Selat Sunda Volume Backscattering Strength adalah perbandingan intensitas yang

dipantulkan oleh suatu kelompok ikan dalam volume air tertentu (Johanesson dan Mitson, 1983). Melalui nilai ini dapat diketahui kekuatan pantul suatu kelompok ikan sehingga dapat diduga kepadatan kelompok ikan tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan data di Perairan Selat Sunda didapat bahwa nilai volume

backscattering strength kelompok ikan tertinggi adalah -42,66 dB sedangkan nilai volume backscattering strength terendah bernilai –59,13 dB (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran nilai volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda. Gambar 4 memberi gambaran bahwa nilai pantulan suatu kelompok ikan yang terbesar ditemukan dengan jumlah terendah yaitu hanya satu schooling yang berada dikisaran -43,00 dB sampai -40,00 dB. Jumlah schooling ikan terbanyak mempunyai nilai volume backscattering strength antara -55,00 dB sampai -52,00 dB (warna merah). Nilai rata – rata volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda adalah -53,75 dB. Hal ini menjelaskan bahwa nilai Sv besar (-43,00 sampai -40,00) adalah nilai Sv yang berasal dari schooling ikan yang berukuran


(16)

besar (kelompok ikan yang besar) dibandingkan dengan nilai Sv dibawahnya. Schooling ikan yang berukuran besar diduga berasal dari jenis teri (Stolephorus sp) dan petek (Leiognathus elongatus).

Nilai rata – rata Sv schooling adalah (-55,00 dB sampai -52,00 dB)

menunjukkan schooling rata – rata ikan di Selat Sunda berukuran kecil. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh musim timur dengan kondisi perairan yang lebih tenang dan suhu yang optimal. Besar kecilnya ukuran schooling ikan berdasarkan Gunarso (1985) dapat terjadi akibat pengaruh musim, sebagai upaya perlindungan diri, mencari dan menangkap mangsa. Ketika Musim Timur perairan cenderung lebih tenang sehingga ikan mencari makanan lebih mudah dan

cenderung tidak berkelompok dengan ukuran yang besar.

Hasil penelitian Genisa tahun 2002 menyebutkan bahwa jenis ikan yang mendominasi di Perairan Selat Sunda adalah ikan teri (Stolephorus sp),ikan biji nangka (Upeneus sulphureus),ikan petek (Leiognathus elongatus),ikan kerong – kerong (Therapon theraps) dan ikan lemuru (Sardinella brachysomal). Ikan – ikan ini tergolong ikan ekonomis penting sehingga informasi keberadaan schooling dari jenis ikan ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui kelimpahan sumberdaya perikanan di Perairan Selat Sunda.

4.3 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Berdasarkan Kedalaman dan Kaitannya Terhadap Faktor Oseanografi Fisik

Keberadaaan schooling ikan di Perairan Selat Sunda mengalami perubahan ruang secara terus menerus. Informasi yang berkaitan dengan kedalaman, schooling dan volume backscattering strength akan memberi manfaat untuk mengetahui keberadaan ikan sehingga pemanfaatan dan pengelolaannya menjadi


(17)

lebih baik (Sultan et al., 2001). Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam

penggunaan alat tangkap nelayan yang mampu beroperasi hingga di kedalaman yang sesuai dengan keberadaan schooling ikan.

Secara statistik menunjukkan bahwa ikan dominan berada di strata kedalaman 0-25 meter dengan jumlah 76 schooling. Hal ini disebabkan lokasi dari schooling tersebut banyak berada di wilayah pesisir dengan kedalaman antara 21 – 49 meter sesuai dengan Gambar 3. Jumlah schooling ikan paling rendah berada di kisaran kedalaman 52 – 76 meter (Gambar 5). Rata – rata jumlah schooling ikan di semua strata kedalaman adalah 32 schooling ikan. Contoh schooling dalam echogram di setiap strata kedalaman ditunjukkan oleh Gambar 6. Sebaran ikan berdasarkan kedalaman ini dipengaruhi oleh tingkah laku renang serta pengaruh kondisi fisik (arus, suhu, salinitas) dan biologi lingkungan (predator, makanan) (Sumich, 1992 in Sultan et al., 2001).

Gambar 5. Sebaran schooling ikan berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda

Sebaran schooling ikan seperti yang disebutkan dalam Sumich, 1992 in Sultan et al., 2001 tentunya tidak terlepas dari faktor oseanografi fisik seperti suhu dan salinitas. Gambar 7 menunjukkan profil suhu dan hubungannya terhadap nilai


(18)

Sv dan sebarannya secara spasial. Kisaran suhu 28,43ºC sampai 28,94ºC secara spasial terdapat schooling lebih dominan terutama dibagian utara Selat Sunda. Beberapa schooling di dekat Pulau Panaitan dengan kisaran -47 dB sampai -44 dB mempunyai kisaran suhu yang lebih tinggi yaitu 29,97ºC sampai 30,48ºC.

Profil salinitas dalam Gambar 8 menunjukkan bahwa schooling ikan cenderung berada dikisaran salinitas 32,42 sampai 33,49 dan berada di wilayah utara Selat Sunda termasuk selatan Pulau Legundi dan utara Pulau Sebuku. Schooling dengan kisaran nilai Sv tertinggi (-43 dB sampai -42 dB) mempunyai kisaran salinitas 32,42 sampai 33,49. Nilai Sv yang dominan berdasarkan Gambar 9 (-55 dB sampai -52 dB) menyebar di kisaran salinitas 32,42 sampai 33,49, 31,35 sampai 32,42 dan beberapa di sekitar Teluk Semangka mempunyai kisaran 33,49 sampai 34,56.

Keterkaitan terhadap faktor oseanografi fisik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan schooling ikan. Kisaran suhu dan salinitas yang berbeda untuk setiap schooling terkait dengan tingkah laku ikan tersebut. Faktor suhu dan salinitas dapat mempengaruhi aktiftas metabolisme dan pergerakan ikan sehingga memungkinkan untuk membentuk suatu schooling.


(19)

Gambar 7. Profil melintang suhu di Selat Sunda saat pengambilan data.


(20)

Nilai volume backscattering strength jika dilihat berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda (Gambar 9) secara statistik menunjukkan bahwa schooling ikan dengan kisaran nilai volume backscattering strength -55,00 dB sampai -52,00 dB mendominasi di beberapa strata kedalaman seperti kisaran 0 – 25 meter, 26 – 51 meter, 52 – 76 meter dan 77 – 101 meter. Kedalaman 102 – 126 meter nilai volume backscattering strength yang dominan adalah -59,00 dB sampai -56,00 dB.

Parker et al.(2009) menyebutkan bahwa nilai volume backscattering strength merupakan bagian pokok untuk melakukan estimasi densitas ikan dan stok

sumberdaya perikanan. Hal yang mempengaruhi keberadaan schooling yang besar dan kecil berdasarkan kedalaman sangat terkait dengan kebiasaan ruaya untuk melakukan pemijahan dan proses adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya (Gunarso, 1985).

Gambar 9. Sebaran volume backscattering strength berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda.

Sebaran nilai volume backscattering strength jika dilihat secara umum berdasarkan kedalaman (Gambar 10) terlihat terkonsentrasi di kedalaman 0 – 40


(21)

meter dengan kisaran nilai volume backscattering strength 60,00 dB sampai -40,00 dB. Semakin dalam, nilai volume backscattering strength cenderung lebih rendah dengan jumlah schooling yang berkurang.

Penelitian Pasaribu (2000) menunjukkan densitas ikan pada Bulan Juli (Musim Timur) kedalaman 20 -40 meter mempunyai nilai densitas tertinggi dengan salah satu lokasi di Pulau Sebuku. Ikan yang dominan tertangkap pada Musim Timur ini adalah layur (Thrichiurus sp) dan petek (Leiognathus elongatus). Faktor lain yang menyebabkan volume backscattering strength lebih tinggi

dengan jumlah schooling yang lebih banyak di lapisan 0-40 meter adalah cahaya, suhu permukaan dan salinitas yang optimum untuk kehidupan ikan.


(22)

4.4 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Berdasarkan Waktu

Keberadaan schooling ikan di Selat Sunda tentunya sangat dipengaruhi oleh waktu. Tidak selamanya schooling ikan akan berada di lokasi dan waktu yang sama. Perbedaan kebiaasaan makan, pola migrasi dan aktivitas renang serta kondisi fisik menjadi penyebab ikan membentuk kelompok dan keberadaannya yang dinamis. Melalui informasi hubungan antara volume backscattering strength schooling ikan terhadap waktu akan dapat membantu dalam penentuan lokasi penangkapan dengan alat tangkap yang tepat digunakan.

Hasil penelitian ini membagi waktu dalam selang tiga jam dari keseluruhan data yang didapat dalam lintasan survei. Berdasarkan pembagian waktu tersebut dan dihubungkan dengan nilai volume backscattering strength didapat hasil seperti Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan bahwa schooling ikan cenderung ada ketika pagi sampai siang hari. Jumlah schooling yang tertinggi yaitu 60 schooling berada pada pukul 06.00 – 09.00, kemudian antara jam 09.00 – 12.00 siang dengan jumlah schooling adalah 49. Berdasarkan nilai volume

backscattering strength schooling ikan ketika pukul 06.00 – 09.00 terdapat nilai Sv tertinggi yaitu -42.46 dB dengan dominan berada di kisaran -50 dB sampai -55 dB.

Secara umum keberadaan schooling ikan dominan terdapat ketika adanya sinar matahari dapat disebabkan oleh suhu perairan yang akan mempengaruhi aktifitas metabolisme maupun penyebaran organisme (Hutagalung, 1988 in Sultan et al., 2001). Faktor ini juga mempengaruhi keberadaan schooling ikan lebih rendah saat tidak adanya sinar matahari (malam hari). Kisaran waktu ketika terdapat sinar matahari adalah dimulai dari pukul 06.00 sampai 18.00 dan ketika


(23)

melewati pukul 18.00 sampai kurang dari pukul 06.00 jumlah schooling lebih sedikit dengan nilai Sv lebih kecil terutama di pukul 00.00 sampai 03.00. Saat pukul 21.00 – 24.00 hanya ditemukan 3 schooling dengan satu diantaranya mempunyai nilai Sv -50.48 dB.

Melalui bantuan cahaya ketika siang hari memungkinkan untuk menemukan makanan dan mengenali predator atau disebut juga sebagai ikan phototaxis positif. Namun, demikian ada beberapa ikan yang yang bersifat nokturnal (aktif di malam hari) dan dalam penelitian ini kelompok ikan tersebut ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit.

Gambar 11. Keberadaan schooling ikan berdasarkan waktu dan hubungannya terhadap nilai volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda. Selain dilihat dari nilai volume backscattering strength, keberadaan schooling ikan juga dapat dihubungkan dengan kedalaman. Penyebaran schooling ikan saat siang dan malam hari secara vertikal ditunjukkan dalam Gambar 12.


(24)

Gambar 12. Keberadaan schooling ikan berdasarkan waktu dan hubungannya terhadap kedalaman di Perairan Selat Sunda.

Berdasarkan Gambar 12 diketahui bahwa schooling ikan dominan berada di kedalaman 0 -40 meter dan pada waktu siang hari (pukul 06.00 – 18.00). Hal ini juga terkait dengan Gambar 10 yang menunjukkan hubungan sebaran Sv yang cenderung di kedalaman 0 - 40 meter. Jumlah schooling di kedalaman lebih dari 70 meter cenderung lebih banyak ketika pukul 09.00 – 12.00. Hal ini diduga sebagai schooling ikan yang bermigrasi secara vertikal dan beberapa ikan

demersal yang membentuk schooling seperti ikan petek (Leiognathus elongatus). Gunarso (1985) menyebutkan bahwa migrasi ikan yang cenderung

membentuk kelompok muncul di atas permukaan termoklin pada siang hari dan sore hari. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pada umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam dan berkaitan juga dengan plankton yang menjadi sumber makanan. Hal ini memperkuat bahwa


(25)

dominasi ikan di Perairan Selat Sunda merupakan ikan pelagis dan aktif pada waktu siang hari baik dalam hal migrasi, berkelompok ataupun mencari makan.

Schooling ikan minimum ditemukan di lapisan kedalaman 50 - 70 meter. Hal ini diduga oleh faktor lapisan termoklin. Lapisan termoklin merupakan suatu lapisan saat terjadi penurunan suhu secara drastis (Wibisono, 2005). Penurunan suhu drastis ini menyebabkan ketidaknyamanan terhadap organisme termasuk kelompok ikan sehingga keberadaan schooling ikan di lapisan 50 - 70 meter tergolong minimum.


(26)

26 5.1 Kesimpulan

Schooling ikan di Perairan Selat Sunda menyebar di dalam lintasan survei akustik. Penyebaran ini erat kaitannya terhadap kondisi biologis dan geografis lingkungan. Nilai volume backscattering strength kelompok ikan tertinggi adalah -42,46 dB sedangkan nilai volume backscattering strength terendah bernilai – 59,13 dB dengan nilai rata – rata -52,23 dB. Berdasarkan kedalaman, schooling ikan berada cenderung berada di lapisan 0 - 25 meter dengan nilai volume

backscattering strength di lapisan kedalaman tersebut berkisar 55,00 dB sampai -52,00 dB. Berdasarkan waktu, pada siang hari ditemukan schooling ikan lebih banyak dibandingkan pada waktu malam hari. Nilai volume backscattering strength saat siang hari dominan berada dikisaran -55,00 dB sampai -52,00 dB.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan mengukur deskriptor akustik yang lebih banyak seperti panjang dan lebar schooling serta nilai targeth strength. Kemudian, perlu ditunjang juga oleh data hasil tangkapan di tempat penangkapan ikan disekitar Selat Sunda pada waktu penelitian serta pengambilan contoh ikan yang tertangkap ketika survei dilakukan menggunakan alat tangkap.


(27)

HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

IDA BAGUS ADI ANDITAYANA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(28)

Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI.

Salah satusifat ikan pelagis adalah hidup dengan membentuk kelompok (schooling). Besar kecilnya schooling sangat ditentukan oleh spesies ikan tersebut , aktifitas yang dilakukan dan kondisi lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sebaran volume backscattering strength dari schooling ikan. Data

diperoleh dari Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) hasil survei pada 26 Juni 2010 sampai 3 Juli 2010 (Musim Timur). Pengolahan data dilakukan menggunakan

software echoview 4.3 versi demo.

Hasil pengolahan data menunjukkan sebaran schooling ikan dominan berada di selat bagian utara yang berdekatan dengan Pulau Jawa dan mendapat pengaruh dominan dari Laut Jawa. Hal ini dikarenakan ketika Musim Timur angin muson timur sangat kuat dan menyebabkan ikan pelagis kecil seperti ikan layang (Decapterus sp) terbawa sampai di Selat Sunda.

Kepadatan schooling ikan yang digambarkan dengan satuan dB banyak berada di selang nilai -55,00 dB sampai -52,00 dB. Schooling ikan dominan berada di kedalaman 0-40 meter. Keberadaan schooling ikan di Perairan Selat Sunda cenderung banyak pada waktu siang hari. Hal ini diduga akibat pengaruh cahaya yang membantu ikan dalam menentukan mangsanya dan faktor cahaya juga memberi pengaruh terhadap fotosintesis fitoplankton sehingga ketersediaan makanan menjadi lebih banyak pada siang hari.


(29)

HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

IDA BAGUS ADI ANDITAYANA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(30)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

SEBARAN

VOLUME BACKSCATTERING

STRENGTH

SCHOOLING

IKAN MENGGUNAKAN METODE

HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

C54070014


(31)

© Hak cipta Milik Ida Bagus Adi Anditayana, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(32)

Judul Penelitian : Sebaran Volume BackscatteringStrength Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda

Nama Mahasiswa : Ida Bagus Adi Anditayana Nomor Pokok : C54070014

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

NIP. 19671021 199203 2 002 Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Prof. Dr. Setyo Budi Susilo, M.Sc

NIP. 19580909 198303 1 003


(33)

Dosen Pembimbing Lapang

NIP. 19781221 200212 1 003


(34)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-NYA skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini berjudul

Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Menggunakan

Metode Hidroakustik Di Selat Sunda”. Melalui informasi volume

backscattering strength kelompok ikan (schooling) akan sangat membantu dalam menentukan potensi penangkapan ikan serta penetapan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Penulisan skripsi ini memang masih sangat jauh dari kesempurnaan sehingga saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini, terutama kepada Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si sebagai dosen pembimbing dan Moh. Natsir, S.Pi, M.Si sebagai pembimbing lapang serta pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) atas arahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Tidak lupa juga teman - teman satu Departemen atas dukungan dan kerjasamanya.

8 Oktober 2011


(35)

DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi 1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Metode Akustik ... 3 2.2 Volume Backscattering Strength ... 4 2.3Kondisi Umum Perairan Selat Sunda ... 5

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 7

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian ... 7 3.2 Alat dan Bahan ... 7 3.2.1 Peralatan pengambilan data akustik ... 7 3.2.2 Perangkat lunak analisis data ... 8 3.3 Perolehan, Pengolahan dan Analisis Data ... 8

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

4.1 Sebaran Schooling Ikan Secara Spasial di Selat Sunda ... 12 4.2 Volume Backscattering Strength Schooling Ikan di Selat Sunda .. 15 4.3 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling

Ikan Berdasarkan Kedalaman dan Kaitannya

Terhadap Faktor Oseanografi Fisik ... 16 4.4 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan

Berdasarkan Waktu ... 22

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

5.1 Kesimpulan ... 26 5.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 29


(36)

1. Jenis dan sumber data penelitian ... 8


(37)

1. Lokasi penelitian dan pengambilan data akustik di Selat Sunda ... 7 2. Diagram alir proses pengolahan dan analisis

data schooling ikan di Perairan Selat Sunda ... 10 3. Lokasi kelompok ikan di Perairan Selat Sunda

pada Musim Timur dan pembagiannya berdasarkan nilai volume backscattering strength ... 14 4. Sebaran nilai volume backscattering strength

di Perairan Selat Sunda ... 15 5. Sebaran schooling ikan berdasarkan kedalaman

di Perairan Selat Sunda ... 16 6. Contoh schooling di setiap kedalaman ... 18 7. Profil melintang suhu di Selat Sunda saat pengambilan data ... 19 8. Profil melintang salinitas di Selat Sunda saat pengambilan data .... 20 9. Sebaran volume backscattering strength

berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda ... 20 10. Sebaran nilai volume backscattering strength

secara vertikal ... 21 11. Keberadaan schooling ikan berdasarkan waktu

dan hubungannya terhadap nilai volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda ... 23 12. Keberadaan schooling ikan berdasarkan

waktu dan hubungannya terhadap kedalaman

di Perairan Selat Sunda ... 24


(38)

1 1.1 Latar Belakang

Teknologi akustik bawah air biasa disebut hydroacoustic atau underwater acoustics yang semula ditujukan untuk kepentingan militer telah berkembang dengan sangat pesat dalam menunjang kegiatan non-militer. Saat ini teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk kegiatan penelitian, survei kelautan dan perikanan baik laut wilayah pesisir maupun laut lepas termasuk laut dalam bahkan dapat digunakan di perairan dengan kedalaman sampai dengan 6.000 meter

(Supangat dan Susanna, 2003). Teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk mendeteksi sumberdaya hayati dan non-hayati termasuk survei populasi ikan yang relatif lebih akurat, cepat dan tidak merusak lingkungan dibandingkan dengan teknik lain seperti metode statistik dan perhitungan pendaratan ikan di pelabuhan (fish landing data) (MacLennan, 1990).

Schooling atau kawanan merupakan struktur paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan. Pembentukan kelompok pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan akan sangat dibantu dengan informasi mengenai kelompok ikan ini (Fauziah et al, 2010). Oleh karena itu, penelitian mengenai pendugaan kelompok ikan di suatu perairan sangat berguna untuk mendukung pemanfaatan sumber daya hayati laut khususnya ikan yang ada di suatu perairan.

Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa dan Selat Karimata di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Perpaduan

karakteristik massa air yang berbeda ini akan berpengaruh terhadap populasi, jenis, sebaran dan kelimpahan sumber daya perikanan (Wijopriono dan Genisa, 2003).


(39)

Beberapa penelitian telah dilakukan di Perairan Selat Sunda terkait eksplorasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan teknologi akustik. Penelitian

tersebut meliputi Pasaribu (2000) mengenai pengembangan algoritma untuk pemetaan sumberdaya ikan dengan teknologi akustik, Sultan et al. (2001)

mengenai pendugaan densitas ikan serta Wijopriono dan Genisa (2003) mengenai densitas akustik ikan pelagis.

1.2 Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengukur nilai dan sebaran volume backscattering strength (Sv) schooling ikan. Kemudian, dilakukan analisis hubungan nilai volume backscattering strength schooling ikan berdasarkan waktu dan kedalaman serta kaitannya dengan faktor oseanografi fisik seperti suhu dan salinitas.


(40)

3 2.1 Metode Akustik

Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan suara; karakteristik suara

(frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan / medium; kondisi target dan lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2, yaitu sistem akustik pasif dan sistem akustik aktif. Sonar (Sound Navigation And Ranging) memanfaatkan sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut (Supangat dan Susanna, 2003).

Ada dua sistem dalam metode akustik meliputi sistem echosunder dan sistem sonar. Sistem echosounder dan sonar umumnya terdiri dari lima komponen, yaitu: 1) Transmitter berfungsi untuk menghasilkan pulsa listrik

2) Transducer untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara begitu juga sebaliknya

3) Receiver untuk menerima echo dari objek 4) Peraga–perekam untuk mencatat hasil echo 5) Time base digunakan untuk mengaktifkan pulsa. (MacLennan and Simmonds, 1992)

Beberapa keunggulan dan keuntungan yang didapat dengan menggunakan peralatan dan metode hidroakustik dalam pendugaan kelimpahan dan distribusi kelompok ikan (MacLennan, 1990):

1) Menghasilkan informasi tentang distribusi dan kelimpahan ikan secara cepat dan mencakup kawasan luas.


(41)

kepada data statistik perikanan

3) Memiliki tingkat ketelitian dan ketepatan tinggi

4) Tidak berbahaya atau merusak karena frekuensi suara yang digunakan tidak membahayakan baik bagi pemakai alat maupun target survei.

2.2 Volume Backscattering Strength (Sv)

Volume backscattering strength adalah rasio antara intensitas yang

direfleksikan oleh suatu kelompok single target yang berada pada suatu volume air tertentu (1 m3) dan diukur pada jarak 1 meter dari target terhadap intensitas suara yang mengenai target tersebut (Johanesson dan Mitson,1983). Volume reverberasi digunakan untuk mendapatkan volume backsccatering strength dari kelompok ikan. Total intensitas suara yang dipantulkan oleh multiple target adalah jumlah dari intensitas suara yang dipantulkan oleh masing– masing target tunggal :

Irtotal = Ir1 + Ir2 + Ir3 + ….. + Irn ………...(1) dimana : n = jumlah target

Jika n memiliki sifat-sifat akustik yang serupa (linier), maka : Irtotal = n. Ir………...(2)

dimana : Ir = intensitas rataan yang direfleksikan oleh target tunggal.

Melalui prinsip ini maka, ketika jumlah ikan dalam satu schooling banyak akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi.

Selanjutnya dapat dicari nilai backscattering cross section (��� )rataan tiap target berdasarakan persamaan :

���

�����= 4��02(�

�) ...(3) (Johanesson dan Mitson, 1983).


(42)

Melalui software echoview dapat diketahui secara langsung nilai Sv menggunakan persamaan berikut ini :

...(4) Dimana :

Sv = nilai sv linear dari daerah yang dintegrasi (m2/m3) B = lebar beam

β = target yang ada di dalam beam

ρ = target yang dihitung secara horizontal berdasarkan ping v = target yang dihitung secara vertikal berdasarkan ping V = integrasi volume (m3)

N = jumlah sampel/target

Persamaan di atas akan menghasilkan nilai Sv linear dan untuk

mengkonversinya menjadi decibel (dB) yang digunakan dalam penelitian ini maka, dilakukan konversi menggunakan persamaan berikut ini :

�� = 10 log(�� )...(5) Dimana :

�� = nilai Sv dalam dB re m2/m3 �� = nilai Sv m2/m3 persamaan (4) (Echoview, 2011).

2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda

Luas perairan Selat Sunda sekitar 8.138 km2 berbentuk seperti corong dengan bagian utara yang lebih sempit dan dangkal dibandingkan dengan bagian selatan. Sv


(43)

Pada bulan April sampai September perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim barat laut dan angin musim tenggara. Pada bulan Oktober sampai Maret dipengaruhi oleh angin musim barat (Pasaribu, 2000).

Suhu perairan di Selat Sunda berdasarkan penelitian Muripto (2000) menunjukkan bahwa sampai kedalaman 150 meter kisaran nilai suhu adalah 28,5ºC sampai 28,8ºC. Kemudian, Pasaribu (2000) menyebutkan bahwa semakin ke arah selatan terjadi perubahan suhu dan lapisan termoklin (75 – 100 meter) karena pengaruh dari Samudra Hindia. Salinitas secara menegak sampai

kedalaman 125 meter berkisar antara 33,5 psu sampai 34,7 psu (Muripto, 2000). Komunitas ikan di Selat Sunda hasil penelitian Genisa (2003) menggunakan pukat dasar menunjukkan bahwa ikan – ikan terdiri dari 49 jenis (spesies) yang mewakili 27 genus. Jenis yang dominan meliputi Stoleporus sp, Upeneus

sulphureus, Leiognathus elongatus, Therapon theraps, Platycephalus scaber dan Sardinella brachysoma. Penelitian Pasaribu (2000) juga menyebutkan beberapa jenis dan jumlah tangkapan ikan yang dominan di TPI adalah tongkol, tenggiri, layur, bentong, selar, tembang, petek dan julung.


(44)

7 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakuk an mulai tanggal 26 Juni 2010 sampai 3 Juli 2010. Lokasi pengambilan data akustik berada di wilayah Selat Sunda (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian dan pengambilan data akustik di Perairan Selat Sunda.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Peralatan Pengambilan Data Akustik

Peralatan pengambilan data akustik terdiri dari :

a) Scientific Split Beam Echosounder Type Simrad EK 60 yang digunakan untuk pendeteksian target berupa kelompok ikan.


(45)

c) Printer yang digunakan untuk mencetak hasil pengolahan data dalam kertas.

3.2.2 Perangkat Lunak Analisis Data

Perangkat lunak analisis data terdiri dari :

a) Echoview 4.3 versi demo untuk mengolah data akustik bertipe *raw. b) ER 60 untuk mengkalibrasi data echogram dengan alat yang digunakan. c) Arc GIS 9 untuk membuat peta lokasi penelitian dan interpolasi data kedalaman, suhu dan salinitas.

d) Microsoft Excel yang digunakan untuk tabulasi, analisis dan visualisasi data.

3.3 Perolehan, Pengolahan dan Analisis Data

Perolehan data akustik bersumber dari hasil survei BRPL dan data tersebut berkaitan dengan beberapa hal seperti dalam Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian

Jenis Data Sumber Data Keterangan

Desain survei akustik pengambilan data dan peta laut

BRPL Menunjukkan jalur yang

dilalui sehingga

memperoleh data akustik Data Oseanografi (suhu

dan Salinitas)

BRPL Menunjukkan karakter

lingkungan dari schooling ikan

Echogram data BRPL Mengetahui sebaran

target berupa ikan atau kelompok ikan

Pengolahan data akustik hasil survei berupa data echogram. Data ini

mempunyai format *raw dan harus dikalibrasi menggunakan perangkat lunak ER 60. Selanjutnya, data kelompok ikan dari echogram diatur nilai ambang batas


(46)

(Threshold) antara -24,00 dB sampai -60,00 dB. Hal ini dikarenakan ikan mempunyai kisaran target strength antara nilai tersebut sesuai yang disebutkan dalam Lurton (2002). Setelah ambang batas diatur, maka akan terlihat target baik individu dan kelompok ikan. Target kelompok ikan ini yang dihitung

keberadaannya di berbagai kisaran kedalaman dan sepanjang lintasan survei. Kelompok atau schooling dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu pengelompokan yang bervariasi dari bentuk atau pun ukuran dengan tipe panjang minimal 1 meter dan lebar 10 meter (Lurton, 2002) dan dalam penelitian ini digunakan jumlah target atau sampel dalam satu schooling minimal 10 target. Contoh schooling yang terdeteksi dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 3.

Data kelompok ikan yang terlihat di dalam echogram selanjutnya diintegrasi dan agar hasil integrasi benar – benar merupakan berasal dari kelompok ikan maka, dilakukan dijitasi terhadap kelompok ikan tersebut. Hasil integrasi ini akan menghasilkan nilai volume backscattering strength

Selain nilai – nilai yang disebutkan di atas, dilakukan juga pengukuran karakteristik kelompok ikan. Karakteristik ini meliputi kedalaman kelompok ikan dan berdasarkan waktu ditemukannya schooling ikan tersebut. Data ini yang akan digunakan dalam analisis lanjut suatu kelompok ikan.

Analisis kedalaman menggunakan nilai kedalaman rata – rata (mean depth) dari hasil integrasi di echoview. Nilai kedalaman rata – rata adalah rata – rata kedalaman dari suatu contoh yang terseleksi atau dalam hal ini region hasil dijitasi. Pembagian kedalaman menggunakan bentuk sebaran frekuensi (pengelompokan data). Pengelompokan data berdasarkan kedalaman dibagi menjadi lima kelas


(47)

dengan selang kelas 25 meter. Analisis waktu digunakan selang setiap tiga jam dari semua data yang diambil di Selat Sunda. Analisis terhadap waktu ini dihubungkan terhadap nilai Sv dan kedalaman.

Sebaran Sv, suhu dan salinitas secara spasial diolah menggunakan ArcGIS untuk menampilkan sebaran di seluruh perairan. Selang nilai Sv, suhu dan

salinitas yang berbeda ditunjukkan oleh simbol dan degradasi warna yang berbeda. Sebaran Sv berdasarkan kedalaman dan waktu diolah dan ditampilkan

menggunakan MS Excell. Metode interpolasi digunakan dalam menentukan sebaran atau profil suhu dan salinitas dalam software ArcGIS.

Gambar 3. Contoh schooling ikan yang terdeteksi di Selat Sunda dan tampilannya dalam echogram.

Schooling ikan Schooling ikan


(48)

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan dan analisis data schooling ikan di Perairan Selat Sunda.

Interpolasi data Data Suhu dan salinitas

*txt

ArcGIS 9.3

Profil melintang suhu dan salinitas

Sebaran Volume backscattering strength schooling ikan di Selat Sunda

Nilai volume backscattering strength, kedalalaman, posisi

dan waktu

Tabulasi dan analisis data Data Echogram*raw Kalibrasi ER 60 Pengaturan variable properties dalam echoview Kalibrasi

Dijitasi schooling ikan

Integrasi dan Ekstraksi Data

Data Tampilan

Schooling minimal 10 target


(49)

12

4.1 Sebaran Schooling Ikan Secara Spasial di Selat Sunda

Informasi schooling ikan yang ditemukan di Perairan Selat Sunda berkisar antara 10 – 1324 target. Umumnya rata – rata schooling terdiri dari 87 target. Hal ini diperoleh dari jumlah target hasil dijitasi dan integrasi dalam software

echoview. Distribusi suatu schooling ikan secara spasial sangat bermanfaat untuk pemilihan teknik penangkapan ikan dan memberikan informasi mengenai lokasi suatu kelompok ikan yang bersifat musiman (Gunarso, 1985). Schooling ikan yang terdapat di perairan Selat Sunda pada Musim Timur (Gambar 3)

menunjukkan bahwa pola sebaran dominan berada di bagian utara yang berhubungan langsung dengan Pulau Jawa. Penelitian Wijopriono dan Genisa tahun 2001 di Bulan Juli menunjukkan kelompok ikan berada di area mulut selat bagian timur laut yang merupakan perairan dangkal.

Banyaknya ikan di bagian utara dan berdekatan dengan Pulau Jawa

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya merupakan jalur migrasi dari ikan yang melakukan ruaya dari Laut Jawa. Berdasarkan Muripto (2000) massa air bergerak sepanjang akhir Juni sampai awal Juli memasuki Selat Sunda dan sejajar Pantai Jawa Barat sampai melewati Pulau Panaitan. Bersifat stabil dan bukan merupakan massa air campuran ditandai dengan perbedaan faktor oseanografi (suhu, salinitas).

Sifat stabil dari massa air ini yang memungkinkan schooling ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus sp) untuk memasuki perairan Selat Sunda. Ikan layang menurut Pasaribu (2000) mempunyai daerah pemijahan di perairan Laut Jawa dan banyak terbawa arus masuk ke perairan Selat Sunda. Daerah tersebut


(50)

juga merupakan feeding ground ikan karena sumber nutrien dari wilayah daratan yang melimpah.

Kelompok ikan lain tersebar dominan juga di wilayah utara Pulau Sebuku dan Sebesi. Pulau – pulau kecil ini mempunyai karakter arus yang tenang terutama ketika Musim Timur (Muripto, 2000). Hal ini menjadi faktor pendukung bagi schooling ikan untuk bersembunyi. Pasaribu (2000) menyebutkan Pulau Sebesi merupakan lokasi persembunyian bagi ikan dan juga habitat bagi ikan pelagis kecil yang menyukai areal tertutup. Kelompok ikan juga ditemuka n di lokasi lain meliputi bagian timur laut Pulau Panaitan, bagian barat daya Pulau Legundi, dan bagian utara Pulau Tabuan atau di bagian mulut Teluk Semangka. Distribusi kelompok ikan di suatu perairan berdasarkan Gunarso (1985) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan faktor biososial yaitu dalam hal mencari makan dan menghindari predator.

Setiap wilayah di Selat Sunda mempunyai karakteristik yang berbeda karena merupakan percampuran massa air dari Samudra Hindia dan Laut Jawa. Hal ini juga mempengaruhi distribusi ikan dan memungkinkan pengelompokan hanya di lokasi tertentu yang memiliki faktor lingkungan lebih mendukung. Hasil

penelitian Muripto (2000) membagi perairan Selat Sunda menjadi tiga bagian yaitu wilayah oseanik, wilayah Selat Sunda dan wilayah Laut Jawa. Ketiga daerah ini mempunyai karakteristik fisik yang berbeda sehingga mempengaruhi distribusi schooling ikan. Hasil penelitian Wijopriono dan Genisa (2003) menyebutkan bahwa jenis ikan di area mulut selat yang berhubungan dengan Samudera Hindia adalah kelompok ikan pelagis besar berbeda dengan yang terdeteksi di area mulut selat bagain utara dan selatan yang cenderung berukuran lebih kecil.


(51)

Gambar 3. Lokasi schooling ikan di Perairan Selat Sunda pada musim timur dan pembagiannya berdasarkan nilai volume backscattering strength dan kaitannya terhadap kedalaman.


(52)

4.2 Volume Backscattering Strength Schooling Ikan di Selat Sunda Volume Backscattering Strength adalah perbandingan intensitas yang

dipantulkan oleh suatu kelompok ikan dalam volume air tertentu (Johanesson dan Mitson, 1983). Melalui nilai ini dapat diketahui kekuatan pantul suatu kelompok ikan sehingga dapat diduga kepadatan kelompok ikan tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan data di Perairan Selat Sunda didapat bahwa nilai volume

backscattering strength kelompok ikan tertinggi adalah -42,66 dB sedangkan nilai volume backscattering strength terendah bernilai –59,13 dB (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran nilai volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda. Gambar 4 memberi gambaran bahwa nilai pantulan suatu kelompok ikan yang terbesar ditemukan dengan jumlah terendah yaitu hanya satu schooling yang berada dikisaran -43,00 dB sampai -40,00 dB. Jumlah schooling ikan terbanyak mempunyai nilai volume backscattering strength antara -55,00 dB sampai -52,00 dB (warna merah). Nilai rata – rata volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda adalah -53,75 dB. Hal ini menjelaskan bahwa nilai Sv besar (-43,00 sampai -40,00) adalah nilai Sv yang berasal dari schooling ikan yang berukuran


(53)

besar (kelompok ikan yang besar) dibandingkan dengan nilai Sv dibawahnya. Schooling ikan yang berukuran besar diduga berasal dari jenis teri (Stolephorus sp) dan petek (Leiognathus elongatus).

Nilai rata – rata Sv schooling adalah (-55,00 dB sampai -52,00 dB)

menunjukkan schooling rata – rata ikan di Selat Sunda berukuran kecil. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh musim timur dengan kondisi perairan yang lebih tenang dan suhu yang optimal. Besar kecilnya ukuran schooling ikan berdasarkan Gunarso (1985) dapat terjadi akibat pengaruh musim, sebagai upaya perlindungan diri, mencari dan menangkap mangsa. Ketika Musim Timur perairan cenderung lebih tenang sehingga ikan mencari makanan lebih mudah dan

cenderung tidak berkelompok dengan ukuran yang besar.

Hasil penelitian Genisa tahun 2002 menyebutkan bahwa jenis ikan yang mendominasi di Perairan Selat Sunda adalah ikan teri (Stolephorus sp),ikan biji nangka (Upeneus sulphureus),ikan petek (Leiognathus elongatus),ikan kerong – kerong (Therapon theraps) dan ikan lemuru (Sardinella brachysomal). Ikan – ikan ini tergolong ikan ekonomis penting sehingga informasi keberadaan schooling dari jenis ikan ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui kelimpahan sumberdaya perikanan di Perairan Selat Sunda.

4.3 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Berdasarkan Kedalaman dan Kaitannya Terhadap Faktor Oseanografi Fisik

Keberadaaan schooling ikan di Perairan Selat Sunda mengalami perubahan ruang secara terus menerus. Informasi yang berkaitan dengan kedalaman, schooling dan volume backscattering strength akan memberi manfaat untuk mengetahui keberadaan ikan sehingga pemanfaatan dan pengelolaannya menjadi


(54)

lebih baik (Sultan et al., 2001). Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam

penggunaan alat tangkap nelayan yang mampu beroperasi hingga di kedalaman yang sesuai dengan keberadaan schooling ikan.

Secara statistik menunjukkan bahwa ikan dominan berada di strata kedalaman 0-25 meter dengan jumlah 76 schooling. Hal ini disebabkan lokasi dari schooling tersebut banyak berada di wilayah pesisir dengan kedalaman antara 21 – 49 meter sesuai dengan Gambar 3. Jumlah schooling ikan paling rendah berada di kisaran kedalaman 52 – 76 meter (Gambar 5). Rata – rata jumlah schooling ikan di semua strata kedalaman adalah 32 schooling ikan. Contoh schooling dalam echogram di setiap strata kedalaman ditunjukkan oleh Gambar 6. Sebaran ikan berdasarkan kedalaman ini dipengaruhi oleh tingkah laku renang serta pengaruh kondisi fisik (arus, suhu, salinitas) dan biologi lingkungan (predator, makanan) (Sumich, 1992 in Sultan et al., 2001).

Gambar 5. Sebaran schooling ikan berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda

Sebaran schooling ikan seperti yang disebutkan dalam Sumich, 1992 in Sultan et al., 2001 tentunya tidak terlepas dari faktor oseanografi fisik seperti suhu dan salinitas. Gambar 7 menunjukkan profil suhu dan hubungannya terhadap nilai


(55)

Sv dan sebarannya secara spasial. Kisaran suhu 28,43ºC sampai 28,94ºC secara spasial terdapat schooling lebih dominan terutama dibagian utara Selat Sunda. Beberapa schooling di dekat Pulau Panaitan dengan kisaran -47 dB sampai -44 dB mempunyai kisaran suhu yang lebih tinggi yaitu 29,97ºC sampai 30,48ºC.

Profil salinitas dalam Gambar 8 menunjukkan bahwa schooling ikan cenderung berada dikisaran salinitas 32,42 sampai 33,49 dan berada di wilayah utara Selat Sunda termasuk selatan Pulau Legundi dan utara Pulau Sebuku. Schooling dengan kisaran nilai Sv tertinggi (-43 dB sampai -42 dB) mempunyai kisaran salinitas 32,42 sampai 33,49. Nilai Sv yang dominan berdasarkan Gambar 9 (-55 dB sampai -52 dB) menyebar di kisaran salinitas 32,42 sampai 33,49, 31,35 sampai 32,42 dan beberapa di sekitar Teluk Semangka mempunyai kisaran 33,49 sampai 34,56.

Keterkaitan terhadap faktor oseanografi fisik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan schooling ikan. Kisaran suhu dan salinitas yang berbeda untuk setiap schooling terkait dengan tingkah laku ikan tersebut. Faktor suhu dan salinitas dapat mempengaruhi aktiftas metabolisme dan pergerakan ikan sehingga memungkinkan untuk membentuk suatu schooling.


(56)

Gambar 7. Profil melintang suhu di Selat Sunda saat pengambilan data.


(57)

Nilai volume backscattering strength jika dilihat berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda (Gambar 9) secara statistik menunjukkan bahwa schooling ikan dengan kisaran nilai volume backscattering strength -55,00 dB sampai -52,00 dB mendominasi di beberapa strata kedalaman seperti kisaran 0 – 25 meter, 26 – 51 meter, 52 – 76 meter dan 77 – 101 meter. Kedalaman 102 – 126 meter nilai volume backscattering strength yang dominan adalah -59,00 dB sampai -56,00 dB.

Parker et al.(2009) menyebutkan bahwa nilai volume backscattering strength merupakan bagian pokok untuk melakukan estimasi densitas ikan dan stok

sumberdaya perikanan. Hal yang mempengaruhi keberadaan schooling yang besar dan kecil berdasarkan kedalaman sangat terkait dengan kebiasaan ruaya untuk melakukan pemijahan dan proses adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya (Gunarso, 1985).

Gambar 9. Sebaran volume backscattering strength berdasarkan kedalaman di Perairan Selat Sunda.

Sebaran nilai volume backscattering strength jika dilihat secara umum berdasarkan kedalaman (Gambar 10) terlihat terkonsentrasi di kedalaman 0 – 40


(58)

meter dengan kisaran nilai volume backscattering strength 60,00 dB sampai -40,00 dB. Semakin dalam, nilai volume backscattering strength cenderung lebih rendah dengan jumlah schooling yang berkurang.

Penelitian Pasaribu (2000) menunjukkan densitas ikan pada Bulan Juli (Musim Timur) kedalaman 20 -40 meter mempunyai nilai densitas tertinggi dengan salah satu lokasi di Pulau Sebuku. Ikan yang dominan tertangkap pada Musim Timur ini adalah layur (Thrichiurus sp) dan petek (Leiognathus elongatus). Faktor lain yang menyebabkan volume backscattering strength lebih tinggi

dengan jumlah schooling yang lebih banyak di lapisan 0-40 meter adalah cahaya, suhu permukaan dan salinitas yang optimum untuk kehidupan ikan.


(59)

4.4 Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Berdasarkan Waktu

Keberadaan schooling ikan di Selat Sunda tentunya sangat dipengaruhi oleh waktu. Tidak selamanya schooling ikan akan berada di lokasi dan waktu yang sama. Perbedaan kebiaasaan makan, pola migrasi dan aktivitas renang serta kondisi fisik menjadi penyebab ikan membentuk kelompok dan keberadaannya yang dinamis. Melalui informasi hubungan antara volume backscattering strength schooling ikan terhadap waktu akan dapat membantu dalam penentuan lokasi penangkapan dengan alat tangkap yang tepat digunakan.

Hasil penelitian ini membagi waktu dalam selang tiga jam dari keseluruhan data yang didapat dalam lintasan survei. Berdasarkan pembagian waktu tersebut dan dihubungkan dengan nilai volume backscattering strength didapat hasil seperti Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan bahwa schooling ikan cenderung ada ketika pagi sampai siang hari. Jumlah schooling yang tertinggi yaitu 60 schooling berada pada pukul 06.00 – 09.00, kemudian antara jam 09.00 – 12.00 siang dengan jumlah schooling adalah 49. Berdasarkan nilai volume

backscattering strength schooling ikan ketika pukul 06.00 – 09.00 terdapat nilai Sv tertinggi yaitu -42.46 dB dengan dominan berada di kisaran -50 dB sampai -55 dB.

Secara umum keberadaan schooling ikan dominan terdapat ketika adanya sinar matahari dapat disebabkan oleh suhu perairan yang akan mempengaruhi aktifitas metabolisme maupun penyebaran organisme (Hutagalung, 1988 in Sultan et al., 2001). Faktor ini juga mempengaruhi keberadaan schooling ikan lebih rendah saat tidak adanya sinar matahari (malam hari). Kisaran waktu ketika terdapat sinar matahari adalah dimulai dari pukul 06.00 sampai 18.00 dan ketika


(60)

melewati pukul 18.00 sampai kurang dari pukul 06.00 jumlah schooling lebih sedikit dengan nilai Sv lebih kecil terutama di pukul 00.00 sampai 03.00. Saat pukul 21.00 – 24.00 hanya ditemukan 3 schooling dengan satu diantaranya mempunyai nilai Sv -50.48 dB.

Melalui bantuan cahaya ketika siang hari memungkinkan untuk menemukan makanan dan mengenali predator atau disebut juga sebagai ikan phototaxis positif. Namun, demikian ada beberapa ikan yang yang bersifat nokturnal (aktif di malam hari) dan dalam penelitian ini kelompok ikan tersebut ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit.

Gambar 11. Keberadaan schooling ikan berdasarkan waktu dan hubungannya terhadap nilai volume backscattering strength di Perairan Selat Sunda. Selain dilihat dari nilai volume backscattering strength, keberadaan schooling ikan juga dapat dihubungkan dengan kedalaman. Penyebaran schooling ikan saat siang dan malam hari secara vertikal ditunjukkan dalam Gambar 12.


(61)

Gambar 12. Keberadaan schooling ikan berdasarkan waktu dan hubungannya terhadap kedalaman di Perairan Selat Sunda.

Berdasarkan Gambar 12 diketahui bahwa schooling ikan dominan berada di kedalaman 0 -40 meter dan pada waktu siang hari (pukul 06.00 – 18.00). Hal ini juga terkait dengan Gambar 10 yang menunjukkan hubungan sebaran Sv yang cenderung di kedalaman 0 - 40 meter. Jumlah schooling di kedalaman lebih dari 70 meter cenderung lebih banyak ketika pukul 09.00 – 12.00. Hal ini diduga sebagai schooling ikan yang bermigrasi secara vertikal dan beberapa ikan

demersal yang membentuk schooling seperti ikan petek (Leiognathus elongatus). Gunarso (1985) menyebutkan bahwa migrasi ikan yang cenderung

membentuk kelompok muncul di atas permukaan termoklin pada siang hari dan sore hari. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pada umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam dan berkaitan juga dengan plankton yang menjadi sumber makanan. Hal ini memperkuat bahwa


(62)

dominasi ikan di Perairan Selat Sunda merupakan ikan pelagis dan aktif pada waktu siang hari baik dalam hal migrasi, berkelompok ataupun mencari makan.

Schooling ikan minimum ditemukan di lapisan kedalaman 50 - 70 meter. Hal ini diduga oleh faktor lapisan termoklin. Lapisan termoklin merupakan suatu lapisan saat terjadi penurunan suhu secara drastis (Wibisono, 2005). Penurunan suhu drastis ini menyebabkan ketidaknyamanan terhadap organisme termasuk kelompok ikan sehingga keberadaan schooling ikan di lapisan 50 - 70 meter tergolong minimum.


(63)

26 5.1 Kesimpulan

Schooling ikan di Perairan Selat Sunda menyebar di dalam lintasan survei akustik. Penyebaran ini erat kaitannya terhadap kondisi biologis dan geografis lingkungan. Nilai volume backscattering strength kelompok ikan tertinggi adalah -42,46 dB sedangkan nilai volume backscattering strength terendah bernilai – 59,13 dB dengan nilai rata – rata -52,23 dB. Berdasarkan kedalaman, schooling ikan berada cenderung berada di lapisan 0 - 25 meter dengan nilai volume

backscattering strength di lapisan kedalaman tersebut berkisar 55,00 dB sampai -52,00 dB. Berdasarkan waktu, pada siang hari ditemukan schooling ikan lebih banyak dibandingkan pada waktu malam hari. Nilai volume backscattering strength saat siang hari dominan berada dikisaran -55,00 dB sampai -52,00 dB.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan mengukur deskriptor akustik yang lebih banyak seperti panjang dan lebar schooling serta nilai targeth strength. Kemudian, perlu ditunjang juga oleh data hasil tangkapan di tempat penangkapan ikan disekitar Selat Sunda pada waktu penelitian serta pengambilan contoh ikan yang tertangkap ketika survei dilakukan menggunakan alat tangkap.


(64)

27

Echoview. Help Content [9Oktober 2011].

Fauziah, E.N. Ningsih dan Wijopriono. Densitas Schooling Ikan Pelagis pada Musim Timur Menggunakan Metode Hidroakustik di Perairan Selat Bangka. Jurnal Penelitian Sains. 13(2d) : 49-52.

Genisa, A., S. 2003. Komunitas Ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia. 9 : 197-206.

Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. ii+ 149 h.

Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO Fisheries Technical Paper. Roma. 249 h.

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics (Principles And Applications). Praxis Publishing. Chichester. UK. xxv + 347 h.

MacLennan, D. N. 1990. Acoustical Measurement of Fish Abundance. Acoust. Soc. Am. 62 :1-15.

MacLennan, D.N. dan E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman & Hall. London. xvii +325 h.

MacLennan D.N, G.P. Fernandes dan J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES. 59: 365-369. Muripto, I. 2000. Analisis Pengaruh Oseanografi Terhadap Sebaran Spasial dan

Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda. Hal. 9-84. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 275 h.

Parker-Stetter, S.L., L.G. Rudstam, P.J. Sullivan dan D.M . Warner. 2009. Standard operating procedures for fisheries acoustic surveys in the Great Lakes. Comm. Spec. Canada.US. iv +166 h.

Pasaribu, B., P. 2000. Pengembangan Algoritma Untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Selat Sunda. Laporan Riset Terpadu. Dewan Riset Nasional (Tidak dipublikasikan). Bogor. 66 h.


(65)

Sultan, M., B. P. Pasaribu, I. Jaya dan J. Manurung. 2001. Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Oseanografi di Lepas Pantai Selat Sunda. Maritek. 1 (1): 63-77. Supangat dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut

dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. i + 273 h.

Wibisono, M., S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. xiii +225 h. Wijopriono dan A. S. Genisa. 2003. Densitas Akustik Sumber Daya Ikan Pelagis


(66)

29

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klungkung, Bali, 24 Februari 1989 dari ayah Ida Bagus Rai Yana dan ibu Ida Ayu Alit Rupini. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Semarapura, Klungkung, Bali. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (USMI).

Selama perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan acara Marine Goes to School sebagai ketua. Kegiatan organisasi himpunan mahasiswa profesi (HIMITEKA) sebagai anggota dan aktif di organisasi sosial Rotaract Buitenzorg (Rotary Club). Beberapa seminar juga penulis ikuti diantaranya Seminar Nasional “Save Mangrove For Our Earth”, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB dan Simposium Nasional “Managemen Pesisir dan Pulau Kecil” , Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB.

Penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor dengan memilih penelitian di bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan. Judul penelitian yang penulis lakukan adalah “Sebaran Volume Backscattering StrengthSchoolingIkan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda”.


(67)

27

Echoview. Help Content [9Oktober 2011].

Fauziah, E.N. Ningsih dan Wijopriono. Densitas Schooling Ikan Pelagis pada Musim Timur Menggunakan Metode Hidroakustik di Perairan Selat Bangka. Jurnal Penelitian Sains. 13(2d) : 49-52.

Genisa, A., S. 2003. Komunitas Ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia. 9 : 197-206.

Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. ii+ 149 h.

Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO Fisheries Technical Paper. Roma. 249 h.

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics (Principles And Applications). Praxis Publishing. Chichester. UK. xxv + 347 h.

MacLennan, D. N. 1990. Acoustical Measurement of Fish Abundance. Acoust. Soc. Am. 62 :1-15.

MacLennan, D.N. dan E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman & Hall. London. xvii +325 h.

MacLennan D.N, G.P. Fernandes dan J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES. 59: 365-369. Muripto, I. 2000. Analisis Pengaruh Oseanografi Terhadap Sebaran Spasial dan

Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda. Hal. 9-84. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 275 h.

Parker-Stetter, S.L., L.G. Rudstam, P.J. Sullivan dan D.M . Warner. 2009. Standard operating procedures for fisheries acoustic surveys in the Great Lakes. Comm. Spec. Canada.US. iv +166 h.

Pasaribu, B., P. 2000. Pengembangan Algoritma Untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Selat Sunda. Laporan Riset Terpadu. Dewan Riset Nasional (Tidak dipublikasikan). Bogor. 66 h.


(68)

Sultan, M., B. P. Pasaribu, I. Jaya dan J. Manurung. 2001. Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Oseanografi di Lepas Pantai Selat Sunda. Maritek. 1 (1): 63-77. Supangat dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut

dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. i + 273 h.

Wibisono, M., S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. xiii +225 h. Wijopriono dan A. S. Genisa. 2003. Densitas Akustik Sumber Daya Ikan Pelagis


(69)

Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI.

Salah satusifat ikan pelagis adalah hidup dengan membentuk kelompok (schooling). Besar kecilnya schooling sangat ditentukan oleh spesies ikan tersebut , aktifitas yang dilakukan dan kondisi lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sebaran volume backscattering strength dari schooling ikan. Data

diperoleh dari Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) hasil survei pada 26 Juni 2010 sampai 3 Juli 2010 (Musim Timur). Pengolahan data dilakukan menggunakan

software echoview 4.3 versi demo.

Hasil pengolahan data menunjukkan sebaran schooling ikan dominan berada di selat bagian utara yang berdekatan dengan Pulau Jawa dan mendapat pengaruh dominan dari Laut Jawa. Hal ini dikarenakan ketika Musim Timur angin muson timur sangat kuat dan menyebabkan ikan pelagis kecil seperti ikan layang (Decapterus sp) terbawa sampai di Selat Sunda.

Kepadatan schooling ikan yang digambarkan dengan satuan dB banyak berada di selang nilai -55,00 dB sampai -52,00 dB. Schooling ikan dominan berada di kedalaman 0-40 meter. Keberadaan schooling ikan di Perairan Selat Sunda cenderung banyak pada waktu siang hari. Hal ini diduga akibat pengaruh cahaya yang membantu ikan dalam menentukan mangsanya dan faktor cahaya juga memberi pengaruh terhadap fotosintesis fitoplankton sehingga ketersediaan makanan menjadi lebih banyak pada siang hari.


(1)

27

DAFTAR PUSTAKA

Echoview. Help Content [9Oktober 2011].

Fauziah, E.N. Ningsih dan Wijopriono. Densitas Schooling Ikan Pelagis pada Musim Timur Menggunakan Metode Hidroakustik di Perairan Selat Bangka. Jurnal Penelitian Sains. 13(2d) : 49-52.

Genisa, A., S. 2003. Komunitas Ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia. 9 : 197-206.

Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. ii+ 149 h.

Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO Fisheries Technical Paper. Roma. 249 h.

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics (Principles And Applications). Praxis Publishing. Chichester. UK. xxv + 347 h.

MacLennan, D. N. 1990. Acoustical Measurement of Fish Abundance. Acoust. Soc. Am. 62 :1-15.

MacLennan, D.N. dan E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman & Hall. London. xvii +325 h.

MacLennan D.N, G.P. Fernandes dan J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES. 59: 365-369. Muripto, I. 2000. Analisis Pengaruh Oseanografi Terhadap Sebaran Spasial dan

Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda. Hal. 9-84. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 275 h.

Parker-Stetter, S.L., L.G. Rudstam, P.J. Sullivan dan D.M . Warner. 2009. Standard operating procedures for fisheries acoustic surveys in the Great Lakes. Comm. Spec. Canada.US. iv +166 h.

Pasaribu, B., P. 2000. Pengembangan Algoritma Untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Selat Sunda. Laporan Riset Terpadu. Dewan Riset Nasional (Tidak dipublikasikan). Bogor. 66 h.


(2)

28

Sultan, M., B. P. Pasaribu, I. Jaya dan J. Manurung. 2001. Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Oseanografi di Lepas Pantai Selat Sunda. Maritek. 1 (1): 63-77. Supangat dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut

dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. i + 273 h.

Wibisono, M., S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. xiii +225 h. Wijopriono dan A. S. Genisa. 2003. Densitas Akustik Sumber Daya Ikan Pelagis


(3)

29

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klungkung, Bali, 24 Februari 1989 dari ayah Ida Bagus Rai Yana dan ibu Ida Ayu Alit Rupini. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Semarapura, Klungkung, Bali. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (USMI).

Selama perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan acara Marine Goes to School sebagai ketua. Kegiatan organisasi himpunan mahasiswa profesi (HIMITEKA) sebagai anggota dan aktif di organisasi sosial Rotaract Buitenzorg (Rotary Club). Beberapa seminar juga penulis ikuti diantaranya Seminar Nasional “Save Mangrove For Our Earth”, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB dan Simposium Nasional “Managemen Pesisir dan Pulau Kecil” , Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB.

Penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor dengan memilih penelitian di bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan. Judul penelitian yang penulis lakukan adalah “Sebaran Volume Backscattering Strength Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda”.


(4)

27

DAFTAR PUSTAKA

Echoview. Help Content [9Oktober 2011].

Fauziah, E.N. Ningsih dan Wijopriono. Densitas Schooling Ikan Pelagis pada Musim Timur Menggunakan Metode Hidroakustik di Perairan Selat Bangka. Jurnal Penelitian Sains. 13(2d) : 49-52.

Genisa, A., S. 2003. Komunitas Ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia. 9 : 197-206.

Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. ii+ 149 h.

Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO Fisheries Technical Paper. Roma. 249 h.

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics (Principles And Applications). Praxis Publishing. Chichester. UK. xxv + 347 h.

MacLennan, D. N. 1990. Acoustical Measurement of Fish Abundance. Acoust. Soc. Am. 62 :1-15.

MacLennan, D.N. dan E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman & Hall. London. xvii +325 h.

MacLennan D.N, G.P. Fernandes dan J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES. 59: 365-369. Muripto, I. 2000. Analisis Pengaruh Oseanografi Terhadap Sebaran Spasial dan

Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda. Hal. 9-84. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 275 h.

Parker-Stetter, S.L., L.G. Rudstam, P.J. Sullivan dan D.M . Warner. 2009. Standard operating procedures for fisheries acoustic surveys in the Great Lakes. Comm. Spec. Canada.US. iv +166 h.

Pasaribu, B., P. 2000. Pengembangan Algoritma Untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Selat Sunda. Laporan Riset Terpadu. Dewan Riset Nasional (Tidak dipublikasikan). Bogor. 66 h.


(5)

28

Sultan, M., B. P. Pasaribu, I. Jaya dan J. Manurung. 2001. Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Oseanografi di Lepas Pantai Selat Sunda. Maritek. 1 (1): 63-77. Supangat dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut

dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. i + 273 h.

Wibisono, M., S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. xiii +225 h. Wijopriono dan A. S. Genisa. 2003. Densitas Akustik Sumber Daya Ikan Pelagis


(6)

RINGKASAN

IDA BAGUS ADI ANDITAYANA.Sebaran Volume BackscatteringStrength

Schooling Ikan Menggunakan Metode Hidroakustik Di Selat Sunda.

Dibimbing oleh SRI PUJIYATI.

Salah satusifat ikan pelagis adalah hidup dengan membentuk kelompok

(schooling). Besar kecilnya schooling sangat ditentukan oleh spesies ikan tersebut

, aktifitas yang dilakukan dan kondisi lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sebaran volume backscattering strength dari schooling ikan. Data

diperoleh dari Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) hasil survei pada 26 Juni 2010 sampai 3 Juli 2010 (Musim Timur). Pengolahan data dilakukan menggunakan

software echoview 4.3 versi demo.

Hasil pengolahan data menunjukkan sebaran schooling ikan dominan berada di selat bagian utara yang berdekatan dengan Pulau Jawa dan mendapat pengaruh dominan dari Laut Jawa. Hal ini dikarenakan ketika Musim Timur angin muson timur sangat kuat dan menyebabkan ikan pelagis kecil seperti ikan layang

(Decapterus sp) terbawa sampai di Selat Sunda.

Kepadatan schooling ikan yang digambarkan dengan satuan dB banyak berada di selang nilai -55,00 dB sampai -52,00 dB. Schooling ikan dominan berada di kedalaman 0-40 meter. Keberadaan schooling ikan di Perairan Selat Sunda cenderung banyak pada waktu siang hari. Hal ini diduga akibat pengaruh cahaya yang membantu ikan dalam menentukan mangsanya dan faktor cahaya juga memberi pengaruh terhadap fotosintesis fitoplankton sehingga ketersediaan makanan menjadi lebih banyak pada siang hari.