Analisis swimming layers dan sebaran densitas ikan pelagis kecil di Selat Makasar dengan pendekatan hidroakustik

(1)

ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS

IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR

DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK

DONWILL PANGGABEAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Swimming Layers dan Sebaran Densitas Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Donwill Panggabean C551020241


(3)

Swimming Layers Analysis and Density Distribution of Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach

Donwill Panggabean 1), Indra Jaya 2), Bonar P. Pasaribu 3) 1

Corresponding author : e-mail donwill@rock.com

Marine Technology Study Program IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: +628129729937 2

Department of Science and Marine Technology IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: +62811892394 3

Department of Science and Marine Technology IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: +62811112057 © 2011 Donwill Panggabean


(4)

Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach. Supervised by INDRA JAYA and BONAR P. PASARIBU.

The purposes of this research are to analyze swimming layer and to estimate distribution and density of small pelagic fish in Makassar Strait by acoustic system approach, and how far the effect of both temperature and salinity on distribution and density of small pelagic fish. Cruise track was designed by parallel grid, acoustic data were collected by echosounder, temperature and salinity data were collected by CTD instrument, data analysis displayed on 3 layers, namely: homogen layer (1 to 50 m), thermocline layer (50 to 300 m), and deep layer (300 m to bottom), all of data measured on October 14 to 25, 2003. In homogen layer, acoustic density values range 221,10 to 36199,92 m2/nmi2, in thermocline layer, acoustic density values range 5,09 to 2982,66 m2/nmi2 and in deep layer, acoustic density values range 281,69 to 577,49 m2/nmi2. In homogen layer, the temperature values range 25,33 to 29,59 oC and salinity values range 30,41 to 34,36 psu. In thermocline layer, a drastic decrease temperature is happened with range 9,98 to 28,47 o

C and salinity values range 33,74 to 34,79 psu. In deep layer, temperature tend to decrease with narrow range 3,61 to 11,28 oC and salinity tend to increase by decrease depth with values range 34,45 to 34,59 psu. The result showed that both temperature and salinity affect the distribution and density of small pelagic fish per layer.


(5)

Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan BONAR P. PASARIBU.

Informasi mengenai distribusi maupun densitas ikan pelagis kecil dengan metode hidroakustik di Selat Makassar serta hubungannya dengan faktor oseanografi masih sedikit dan mungkin masih kurang, oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan penelitian tentang estimasi distribusi (secara vertikal dan horisontal) dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan menggunakan peralatan deteksi hidroakustik dan hubungannya dengan faktor oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui pendekatan hidroakustik dan bagaimana faktor oseanografi khususnya parameter suhu dan salinitas dapat mempengaruhi distribusi dan densitas sumberdaya ikan pelagis kecil pada suatu perairan yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data akustik secara in situ dan real time, dimana instrumen akustik dan perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup seluruh area yang diteliti, maka di desain suatu rancangan survei berupa cruise track berbentuk paralel, ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg dengan jarak masing-masing leg sekitar 30 nautical mile (nmi). Bersamaan dengan perekaman data akustik, dilakukan juga pengumpulan data oseanografi dengan alat conductivity temperature depth (CTD) pada 16 stasiun di sepanjang cruise track.

Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan estimasi terhadap densitas nilai akustik pada area yang diteliti berkisar antara 5,09 - 36199,92 m2/nmi2. Nilai akustik pada homogen layer memiliki nilai densitas tertinggi dengan kisaran 221,10- 36199,92 m2/nmi2, dan selanjutnya densitas tersebut terdistribusi semakin kecil pada dua layer di bawahnya. Densitas nilai akustik pada thermocline layer berkisar 5,09- 2982,66 m2/nmi2 dan pada deep layer berkisar 281,69- 577,49 m2/nmi2. Hasil pengukuran faktor oseanografi pada 16 stasiun mendapatkan nilai suhu pada homogen layer berkisar 25,33 - 29,59 oC sedangkan salinitas berkisar 30,41 - 34,36 psu, pada thermocline layer suhu berkisar 9,98 - 28,47 oC sedangkan salinitas berkisar 33,74 - 34,79 psu, dan pada deep layer nilai suhu berkisar 3,61 - 11,28 o

Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa ada pengaruh suhu dan salinitas terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, hal ini diduga disebabkan batasan-batasan ikan pelagis kecil terhadap kondisi oseanografis terutama terhadap suhu dan salinitas. Hal tersebut dapat diketahui dari tingginya nilai densitas pada homogen layer dibandingkan dengan densitas pada thermocline layer dan densitas pada deep layer. Selanjutnya, walaupun tidak terlalu signifikan, ada pengaruh ketersediaan klorofil-a terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, dan dapat disimpulkan juga bahwa pada thermocline layer distribusi dan densitas ikan pelagis kecil lebih dipengaruhi oleh suhu dari pada ketersediaan klorofil-a. Pengaruh suhu paling besar dan cukup nyata dari pada pengaruh ketersediaan klorofil-a, hal ini dapat dilihat dari perbedaan distribusi dan densitas pada thermoclinelayer bila dibandingkan pada homogen layer, padahal klorofill-a masih tersedia pada thermocline layer tersebut.

C sedangkan salinitas berkisar 34,45 - 34,59 psu.


(6)

@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber ;

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sesuatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

ANALISIS

SWIMMING LAYERS

DAN SEBARAN DENSITAS

IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR

DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK

DONWILL PANGGABEAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si


(9)

Nama : Donwill Panggabean

NRP : C 551020241

Program studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(10)

(11)

Ucapan penuh syukur dan rasa terima kasih penulis sampaikan melalui puji-pujian dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih-Nya karena penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB dan memperoleh gelar Master. Selama melakukan penelitian dan penyusunan tulisan ini, penulis dapat merasakan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

• Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc. yang dengan sungguh-sungguh memberikan arahan dan bimbingan hingga tulisan ini dapat penulis selesaikan dengan baik

• Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajarannya, dan seluruh dosen Program Studi Teknologi Kelautan

• Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) • Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) DKP • Semua pihak yang telah memberikan dukungan terutama dalam bentuk moril,

namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini memiliki kekurangan, oleh karena itu kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan, dan semoga tesis ini memiliki manfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2011


(12)

Aku bersyukur kepada-Mu karena kejadianku dahsyat dan ajaib!

(Mazmur 139:14a). Untuk pertama kalinya penulis melihat dunia pada tengah hari bolong, Sabtu, 20 November 1976 di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir - Riau. Penulis merupakan anak kedua (empat bersaudara) dari pasangan keluarga M. Panggabean dan R.M. Lumban Tobing.

Penulis memulai pendidikan pada tahun 1983-1989 di SD Negeri 2 Tembilahan; tahun 1989-1992 mengikuti pendidikan di SMP Negeri 1 Tembilahan; dan pada tahun 1992-1995 mengikuti pendidikan di SMA Negeri 1 Tembilahan. Kemudian, pada tahun 1995 mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan di Universitas Riau dan menyelesaikan studi pada 29 Januari 2002.

Agustus 2002 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB dan diterima pada program studi Teknologi Kelautan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif menulis pada beberapa surat kabar dan jurnal nasional. Penulis juga cukup berperan aktif dalam beberapa project dan riset survei yang berhubungan dengan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Pada bulan Oktober 2003 penulis mengikuti ekspedisi census of marine life di Selat Makassar dan pada bulan Desember 2003 hingga Januari 2004 mengikuti pelayaran program international nusantara stratification and transport (leg 1 dan leg 2) di Selat Lombok, Laut Timor dan Selat Ombai.

Penulis melakukan riset untuk penulisan tesis dengan judul ‘analisis swimming layers dan distribusi densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan pendekatan hidroakustik’. Setelah mempertahankan argumen dihadapan penguji dan pembimbing saat sidang pada tanggal 20 Januari 2011, penulis dinyatakan lulus dan berhak untuk menyandang gelar Master Sains.


(13)

Halaman

DAFTAR ISI . . . ix

DAFTAR TABEL . . . x

DAFTAR GAMBAR . . . xi

DAFTAR LAMPIRAN . . . xii

DAFTAR ISTILAH . . . xiii

1 PENDAHULUAN . . . 1

1.1 Latar Belakang . . . 1

1.2 Perumusan Masalah . . . 3

1.3 Tujuan Penelitian . . . 4

1.4 Manfaat Penelitian . . . 5

2 TINJAUAN PUSTAKA . . . 6

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian . . . 6

2.2 Ikan Pelagis Kecil . . . 10

2.3 Landasan Teoritis Sistem Hidroakustik . . . 11

2.4 Target Strength . . . 15

2.5 Estimasi Densitas Ikan . . . 19

3 METODE PENELITIAN . . . 23

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian . . . 23

3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian . . . 23

3.3 Desain Survei . . . 24

3.4 Perolehan Data . . . 25

3.5 Analisis Data . . . 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 28

4.1 Distribusi Nilai Sv . . . 28

4.2 Distribusi Nilai NASC . . . 35

4.3 Distribusi Nilai Suhu . . . 44

4.3.1 Distribusi menegak suhu . . . 44

4.3.2 Distribusi mendatar suhu . . . 45

4.3.3 Distribusi melintang suhu . . . 47

4.4 Distribusi Nilai Salinitas . . . 53

4.4.1 Distribusi menegak salinitas . . . 53

4.4.2 Distribusi mendatar salinitas . . . 54

4.4.3 Distribusi melintang salinitas . . . 57

4.5 Distribusi Densitas Ikan Pelagis Kecil . . . 63

5 KESIMPULAN DAN SARAN . . . 66

5.1 Kesimpulan . . . 66

5.2 Saran . . . 66

DAFTAR PUSTAKA . . . 68


(14)

Halaman 1 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Longitude) . . . 48 2 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Latitude) . . . . 51 3 Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Longitude) . . 58 4 Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Latitude) . . . 61


(15)

Halaman

1 Massa Air Termoklin Samudera Pasifik Utara dan Pasifik Selatan . . . 7

2 Perambatan Suara pada Medium yang Ideal . . . 12

3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target . . . 14

4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam . . . 17

5 Prinsip dari Split Beam Echosounder . . . 17

6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target . . . 19

7 Cruise Track dan Posisi Stasiun Oseanografi . . . 24

8 Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya . . . 27

9 Estimasi Distribusi Menegak Nilai Sv pada Seluruh Leg dan Layer . . . 28

10 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer . . . 30

11 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Leg . . . 32

12 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Antar Leg . . . 34

13 Estimasi Distribusi Menegak Nilai NASC pada Seluruh Leg dan Layer . . . 35

14 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai NASC pada Seluruh Layer . . . 37

15 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Leg . . . 39

16 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Antar Leg . . 41

17 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Siang Hari . . . 42

18 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Malam Hari . . . 42

19 Distribusi Menegak Nilai Suhu pada 16 Stasiun Pengamatan . . . 44

20 Distribusi Mendatar Nilai Suhu pada Masing-masing Layer . . . 46

21 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Longitude) . . 49

22 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Latitude) . . . 52

23 Distribusi Menegak Nilai Salinitas pada 16 Stasiun Pengamatan . . . 54

24 Distribusi Mendatar Nilai Salinitas pada Masing-masing Layer . . . 56

25 Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section (Longitude) 59 26 Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section (Latitude) 62


(16)

Halaman

1 Gambar dan Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya VIII . . . 72

2 Gambar dan Spesifikasi SIMRAD EK 500 Scientific Echosounder . . . 74

3 Conductivity Temperature Depth . . . 75

4 Echogram dari Software Sonardata Echoview . . . 76


(17)

a : diameter transduser (m)

ABC : area backscattering coefficient dalam satuan m2/m2 bo : normalized target strength untuk tiap 1 cm (dB/cm)

c : kecepatan gelombang suara dalam medium air (m/s) C1 : parameter kalibrasi (SL, SRT, ψ dan lainnya)

cτ/2 : lebar pulsa yang merambat dalam medium air (m) dV : volume target strength suatu pulsa yang diinsonifikasi

dΩ : solid angle yang dibentuk oleh suatu volume target (steradian) EL : echo level, intensitas akustik pada receiving transduser (dB/1µ Pa) F : frekuensi suara (Hz)

Ge : faktor gain dari echo integrator

I : intensitas suara, jumlah energi perdetik yang melewati satuan luas tertentu dan tegak lurus terhadap arah pancaran (dB/1µ Pa)

Ib : intensitas suara yang dipantulkan oleh sekelompok target

Io : intensitas suara pada saat transmit

In : intensitas suara pada saat ke n

Ii : intensitas suara yang dipancarkan oleh suatu sumber suara

Ir

I

: intensitas suara yang dipantulkan target

r : rata-rata intensitas yang dipantulkan oleh sekelompok target k : faktor skala yang diperoleh dari kalibrasi

L : panjang ikan (cm)

M : nilai integrator pengamatan n : jumlah individu ikan (ekor)

N : panjang pulsa yang terjadi dalam interval jarak integrasi NASC : nautical area scattering coefficient, besarnya nilai acoustic

backscattering strength di dalam setiap milnya (m2/nmi2) PR : daya power yang keluar dari transduser

Rn : jarak ke n kedalaman integrasi

RL : reverberation level, jumlah total intensitas yang terhambur atau dipantulkan

∆R : interval jarak integrasi

SA : coefficientbackscatteringarea dari suatu area integrasi (m2/nmi2)

SL : source level, intensitas akustik pada sumbu axis, 1 meter dari sumber suara (dB/1µ Pa/m)

SRT : sensitivitas transduser (dB/IV/1µ Pa)

SV : volume backscattering, ratio logaritmik intensitas kelompok ikan dengan intensitas yang dipancarkan (dB)

Sv : volume backscattering strength (m2/m2)

T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m)

TL : transmission loss, jumlah kehilangan suara karena adanya faktor

geometrical spreading dan attenuation

TLA : transmission loss, karena faktor attenuation (dB)

TLG : transmission loss, karena faktor geometrical spreading

TS : target strength, ratio logaritmik intensitas yang dipantulkan target tunggal dengan intensitas yang dipancarkan


(18)

VRT : voltase yang ditimbulkan gelombang reverbrasi, terjadi ditransduser Vo2 : kuadrat keluaran voltase dari suatu sistem fungsi TVG

α : koefisien absorbsi (dB/km)

φ : sudut azimut pada bidang transduser yang dibentuk target

η : faktor peredaman (dB)

λ : panjang gelombang suara

θ : sudut dari target terhadap sumbu akustik

θ1 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi alongship

θ2 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi athwartship

ρA : densitas ikan per unit area yang diintegrasi (ekor/m2)

ρv : rata-rata densitas ikan per volume perairan (ekor/m3)

σ : acoustic backscattering dari target tunggal

σbs : acoustic backscattering dari target tunggal pada koordinat sudut (θ,φ)

τ : durasi pulsa yang dipancarkan suatu sumber suara (s)

ψ : beam ideal dalam akustik yang mempunyai directivity pattern seragam (steradian)


(19)

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini informasi sumberdaya ikan sangat berguna dan diperlukan bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, pengambilan keputusan, masyarakat, akademika dan swasta perikanan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang berkesinambungan. Sayangnya, ketersediaan informasi tersebut masih minim untuk didapatkan, padahal ini sangat penting untuk hal-hal di atas dan perlu dilakukan pengumpulan data untuk membuat suatu informasi bagi sumberdaya perikanan dan kelautan.

Tersedianya data dan informasi tentang potensi sumberdaya ikan pada suatu perairan dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi pengembangan (termasuk juga bagi investasi) pada wilayah tersebut. Estimasi potensi sumberdaya ikan (fish stock assessment) untuk sebagian wilayah Indonesia telah dirintis sejak tahun tujuh puluhan, sedangkan estimasi potensi sumberdaya ikan pada perairan Indonesia secara keseluruhan baru dilaporkan pada sekitar tahun sembilan puluhan (Martosubroto, 1991).

Seberapa besar stok awal sumberdaya ikan seharusnya menjadi perhatian utama, karena dengan demikian maka suatu rencana pembangunan terhadap upaya pengelolaan sumberdaya ikan akan lebih memiliki kepastian, apalagi bila didukung pula oleh informasi yang akurat mengenai distribusi dan densitasnya. Salah satu sumberdaya ikan tersebut adalah ikan pelagis kecil, yang merupakan sumberdaya ikan paling melimpah di Indonesia.

Kehidupan ikan di suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor oseanografi, antara lain; suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan juga faktor ekologi lainnya (Brand 1979). Fenomena distribusi vertikal populasi ikan berdasarkan hasil laporan dari beberapa penelitian (Simbolon 1996; Latumeten 1996; Nugroho 2004) menggambarkan adanya pergerakan pola migrasi ikan, dimana ikan pada umumnya melakukan migrasi diurnal (pada siang hari) dan nokturnal (pada malam hari) secara vertikal pada kolom perairan.

Sumberdaya ikan pelagis merupakan jenis-jenis ikan yang biasa hidup atau menghuni perairan lapisan tengah (midlayer) hingga ke permukaan suatu perairan.


(20)

Ikan pelagis ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ikan pelagis kecil antara lain adalah: ikan layang (Decapterus russeli), kembung (Ratrelliger spp), tembang (Sardinella fimbriata), dan ikan lemuru (Sardinella longiceps) dan ikan pelagis besar seperti; cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Scomberidae sp), madidihang (Thunnus albacores) dan ikan cucut (Carchahinidae).

Ikan pelagis kecil memiliki nilai ekonomis penting dan terdapat pada seluruh wilayah perairan Indonesia, akan tetapi informasi mengenai sebaran dan densitas ikan pelagis kecil ini masih dirasa kurang, seharusnya dengan wilayah perairan Indonesia yang sangat luas, kita memiliki informasi yang lengkap dan akurat tentang potensi sumberdaya ikan, oleh karena itu melalui penelitian-penelitian perlu digali informasi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Indonesia dan selanjutnya dipetakan agar dapat dimanfaatkan oleh stakeholders serta pihak lain yang memerlukannya.

Salah satu upaya untuk penggalian informasi ketersediaan sumberdaya ikan pelagis kecil bagi tujuan-tujuan pemanfaatan dan pengelolaan secara efesien serta berkelanjutan antara lain adalah dengan menerapkan pengetahuan bidang kelautan dan perikanan yang didukung oleh keahlian dalam bidang eksplorasi.

Hidroakustik merupakan salah satu metode yang digunakan dalam survei pendugaan sumberdaya ikan. Metode ini memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan metode lainnya, antara lain; informasi tentang kelimpahan dan distribusi sumberdaya ikan pada daerah yang disurvei dapat diperoleh secara

real time (cepat), in situ (langsung), tidak merusak atau mengganggu objek yang diteliti, serta memiliki selang dinamik yang cukup lebar sehingga informasi yang diperoleh cukup akurat. Sistem split-beam dari transducer memungkinkan perolehan nilai targetstrength dan posisi dari objek secara langsung.

Metode hidroakustik dapat memberikan informasi yang detail mengenai densitas, distribusi kedalaman renang, ukuran panjang ikan dan variasi migrasi vertikal. Metode hidroakustik merupakan salah satu teknik terbaik dan tercanggih hingga saat ini dengan menggunakan transduser split beam. Metode hidroakustik ini pada prinsipnya ditujukan untuk mengestimasi target strength, densitas dan kelimpahan ikan per satuan luas atau volume perairan. Cara ini dilakukan dengan mengintegrasikan energi echo (gema) yang sebelumnya telah dikonversi ke bentuk energi listrik, yang merupakan hasil pantulan echo dari sejumlah target (massa ikan


(21)

tertentu). Hasil intergrasi tersebut kemudian dikonversi ke dalam biomassa ikan. Perolehan kelimpahan sumberdaya ikan akan diperoleh dari densitas yang terdeteksi dengan luasan area lokasi ikan yang menjadi target.

Pengintegrasian echo merupakan cara yang diterapkan dalam penelitian akustik, karena dengan cara ini densitas dan distribusi ikan dapat ditentukan dalam cakupan yang besar. Dewasa ini, digital echo integrator telah dapat dengan mudah diprogram untuk menampung banyak parameter penelitian, termasuk di dalamnya interval kedalaman (layer) dimana akan dilakukan penghitungan densitas ikan. Apabila densitas ikan dapat diketahui berdasarkan swimminglayers di suatu lokasi perairan, akan lebih mudah melakukan analisa terhadap keberadaan sumberdaya ikan tersebut, dan selanjutnya untuk proses pemanfaatan (penangkapan) terhadap sumberdaya ikan tersebut dapat lebih ditingkatkan karena telah didapatkan informasi dan data mengenai keberadaan ikan tersebut di lokasi perairan yang diamati.

1.2Perumusan Masalah

Suatu kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkeberlanjutan membutuhkan indikator utama pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu seberapa besar stok sumberdaya ikan yang tersedia, dan untuk menganalisis stok sumberdaya ikan, maka dibutuhkan beberapa informasi penting yaitu; data hasil tangkapan (ukuran, jenis, dan jumlah ikan), daerah tangkapan (fishing ground) dan upaya penangkapan (effort). Untuk menyatakan bahwa suatu perairan tersebut adalah fishing ground, perlu suatu kegiatan eksplorasi yang disertai dengan kajian mengenai keberadaan dan ketersedian sumberdaya ikan pada perairan tersebut. Ketersediaan ikan dapat dikaji melalui seberapa besar nilai densitas serta distribusi ikan tersebut pada suatu area perairan.

Sumberdaya ikan memiliki spesies yang relatif beragam (multi-species) dan dinamis yang sangat bergantung pada karakteristik oseanografi, dimana karakteristik oseanografi tersebut sangat berpengaruh bagi tingkah laku, distribusi dan densitas serta fluktuasi sumberdaya ikan di suatu perairan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang densitas dan pola distribusi kelompok ikan di suatu perairan terutama dalam kaitannya dengan kondisi oseanografi perairan sangat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pendugaan dan pengkajian sumberdaya ikan sebagai komponen dasar pengelolaan sumberdaya ikan itu sendiri (Pasaribu etal. 1998). Maka, selain


(22)

menggunakan metode akustik, sangat perlu dilakukan penganalisaan faktor-faktor oseanografi bagi penentuan distribusi dan densitas sumberdaya ikan.

Sama halnya dengan densitas, untuk mengetahui dan menganalisa swimming layer sumberdaya ikan pada suatu perairan harus mengarah pada pengetahuan mengenai karakteristik fisik perairan, sebab fisik perairan merupakan faktor penting dan dominan bagi keberadaan sumberdaya ikan pada suatu area perairan, terlebih apabila perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan.

Laporan penelitian terdahulu dengan menggunakan pendekatan akustik yang menjelaskan densitas ikan berdasarkan swimming layers di perairan Indonesia masih terbatas, penelitian ini berusaha menjelaskan densitas ikan pelagis kecil berdasarkan

swimming layers yang dilakukan melalui pendeteksian akustik serta menganalisa karakteristik fisik perairan yaitu faktor oseanografi yang diduga turut mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan pelagis kecil tersebut di suatu perairan.

Selat Makassar merupakan salah satu perairan di Indonesia yang cukup unik bila dibandingkan dengan beberapa perairan lainnya, karena Selat Makassar dilalui massa air yang sangat besar yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan fenomena, baik terhadap oseanografi fisik perairan maupun terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang terdapat pada perairan Selat Makassar tersebut. Selain itu, perairan Selat Makassar juga menerima proses penyuburan sepanjang tahun dimana pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi bagian selatan Selat Makassar akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores. Hal-hal tersebut cukup menggelitik dan turut membangkitkan rasa ingin tahu lebih jauh sehingga diputuskanlah untuk melakukan riset di perairan Selat Makassar dengan mengkombinasikan peralatan deteksi hidroakustik dan pengukuran kondisi oseanografi fisik untuk mengestimasi sebaran dan densitas ikan pelagis kecil.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui pendekatan hidroakustik serta bagaimana pengaruh faktor oseanografi khususnya


(23)

parameter suhu dan salinitas terhadap distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar berdasarkan strata ketebalan lapisan perairan (layer).

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(1) Diperoleh data estimasi swimming layers (posisi lapisan renang) dan estimasi densitas ikan serta kecenderungan pola distribusinya secara vertikal maupun horizontal di Selat Makassar.

(2) Dapat diketahui sejauh mana faktor oseanografi (terutama suhu dan salinitas) turut mempengaruhi distribusi dan densitas nilai akustik di Selat Makassar.


(24)

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian throughflow. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki 1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik

et al. 1997; Susanto dan Gordon 2005).

Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus (Arlindo) dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo, sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok (Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996).

Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores (Illahude 1978).


(25)

Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungai-sungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah putus-putus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh

monsoon(Susanto dan Gordon 2005).

Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon (angin musim), monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun, hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember–Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan (west monsoon). Pada bulan Juni–Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin bergerak dari arah tenggara menuju selatan (east monsoon). Selama angin musim barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan


(26)

lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik melaui Laut Sulawesi (Wyrtki 1961).

Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon, kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga kedalaman 500 meter (Arief, 1998). Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup*

Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini pada musim tenggara dan 0,7 Sverdrup pada musim barat laut (Gordon dan McClean 1999). Pada kurun waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan mencapai 9,1 Sverdrup (Susanto dan Gordon 2005).

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan Indonesia umumnya berkisar antara 31,2 - 34,5 ppt. Naulita (1998) mendapatkan nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,12 ppt pada musim timur (Juni, Juli dan Agustus), dan mendekati nilai 30 ppt pada musim barat (Desember, Januari dan Februari). Hasil pengukuran Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,26 - 33,35 ppt pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit berfluktuasi dengan kisaran 30,4 - 33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga kedalaman 100 meter (34,7 psu), kemudian terjadi sedikit penurunan hingga kedalaman 300 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara 33,441 - 35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916 - 35,206 psu (Awaludin 2005). Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang memberikan suplai air tawar yang cukup besar (Naulita 1998).

*


(27)

diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan. Pada kedalaman melebihi 1000 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara 2 - 4oC (Hutagalung 1988). Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1o

Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter.

Lukas dan Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur (lapisan homogen). Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan

entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991) adveksi vertikal dan

entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya

upwelling.

Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald 1993). Maes (1998) menemukan bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang dan akhirnya perubahan yg drastis pada sistem iklim regional.


(28)

intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 - 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (Tomascik et al. 1997). Hasil pengukuran yang dilakukan Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran suhu antara 29,89 - 30,0oC pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 29,2oC dengan nilai kisaran antara 28,5 - 29,6oC dan mengalami penurunan hingga kedalaman 300 meter (11,29oC). Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan suhu permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 29,14 - 29,69oC dan sebelah selatan antara 27,44 - 29,10oC (Awaludin 2005).

2.2 Ikan Pelagis Kecil

Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya menyebar di perairan Selat Makassar antara lain adalah ikan kembung (Ratrelliger spp), layang (Decapterus russeli), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps), selar bentong (Selar crumenophthalmus),japuh (Dussumieria acuta), tenggiri (Scomberomorus sp), tongkol (Scomberidae sp), petek (Leognatidae spp) dan ikan teri (Engraulidae) (Latumeten 1996). Penyebaran ikan pelagis kecil tersebut semakin meningkat dari bagian utara ke arah selatan Selat Makassar (Simbolon 1996).

Ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebaran utamanya adalah di perairan sekitar pantai, dan pada daerah-daerah dimana terjadi proses up welling, dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke 1988).

Menurut Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol pada lapisan atas perairan, sedangkan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah. Burczynski et al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil dapat dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline.

Menurut Laevastu dan Hela (1970), hewan laut termasuk di dalamnya ikan pelagis dapat dibagi dalam beberapa kelompok melalui migrasi vertikal, antara lain:


(29)

(1) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada sedikit di atas termoklin, akan bermigrasi ke lapisan permukaan pada sore hari, menyebar di antara permukaan

thermocline pada malam hari, dan naik ke atas lapisan thermocline pada pagi hari.

(2) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi melalui thermocline ke lapisan permukaan selama pagi hari, menyebar antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di atas

thermocline.

(3) Spesies ikan pelagis yang berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi ke lapisan thermocline selama sore hari, menyebar kelapisan yang lebih dalam selama pagi hari.

Pendugaan kelimpahan sumberdaya ikan sangat penting karena merupakan langkah awal dalam manajemen pengelolaan perikanan. Pendugaan kelimpahan dapat digunakan untuk menduga laju eksploitasi, mortalitas dan rekrutmen pada suatu sok ikan (Aziz 1989).

2.3 Landasan Teoritis Metode Hidroakustik

MacLennan dan Simmonds (1992) menyatakan beberapa keuntungan dan keunggulan yang didapat bila menggunakan metode hidroakustik dalam estimasi ikan antara lain:

(1)Menghasilkan informasi tentang densitas ikan secara cepat dan meliputi suatu kawasan yang luas;

(2)Pendugaan dapat dilakukan secara langsung tanpa tergantung dari data statistik perikanan;

(3)Memiliki ketelitian dan kecepatan tinggi dan dapat digunakan ketika metode lain tidak dapat digunakan.

Metode ini menggunakan pulsa suara atau bunyi yang dihasilkan oleh alat transduser dan akan menghasilkan echo (gema) dari target yang dituju. Transmisi pulsa suara dari transduser dalam media air akan mengalami pengurangan intensitas dalam rambatannya menuju suatu obyek atau target. Pengurangan intensitas selama berlangsungnya proses transmisi pulsa itu disebut transmission loss (TL). Ada dua faktor yang membentuk pengurangan intensitas tersebut, yaitu perambatan geometris


(30)

(geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) suara oleh suatu massa air (Burczynski 1982; Urick 1983; Johannesson dan Mitson 1983).

Jika diasumsikan bahwa transmisi gelombang suara ada pada suatu titik dan merambat dalam medium yang ideal (tidak ada pengaruh peredaman), maka power (P) yang keluar dari seluruh permukaan sumber harus sama pada jarak berapapun dari sumber suara (misal; pada jarak R1, R2, ….Rn

2 2 2 2 2 1

14 4 ... n4 n

R I R I R I R P = π ≈ π ≈ ≈ π

), yang dirumuskan oleh Burczynski (1982) sebagai berikut:

. . . (1) dimana: PR : power yang keluar/dipancarkan sumber suara

I = 1,2,3,…n : besarnya intensitas yang diukur pada jarak R = 1,2,3,..n.

Dari persamaan (1) dapat ditentukan intensitas suara dari sumber pada jarak Rn

2 2

0

04 R IR4 Rn

I π ≈ π

, yaitu:

. . . (2) dimana: I0 : intensitas suara yang dipancarkan sumber suara

0

R : jarak standar, 1 meter dari sumber suara

R

I : intensitas suara pada jarak R dari sumber suara

karena standar jarak (R) untuk referensi yang digunakan adalah 1 meter dari sumber suara atau (R0), maka dari persamaan (2) akan didapat:

2 2

0 2 0

04 R I 4 1 I 4 R I π → π ≈ R π

sehingga: IR =I0 R2 . . . (3) Gambar 2 Perambatan Suara pada Medium yang Ideal (Burczynski 1982).


(31)

Penurunan intensitas yang diakibatkan oleh perambatan geometris (geometrical spreading) biasa juga disebut transmission loss (TLG

(

)

( )

2

0

G 10log I I 10log R TL = n

), persamaannya adalah:

R

log 20

≈ . . . (4) Pengurangan intensitas juga disebabkan adanya peredaman, dimana gelombang suara yang merambat di medium air sebagian energinya diserap oleh massa air, dan menurut Urick (1983) untuk setiap meter energi yang diserap dapat dinyatakan dengan:

,

dx I

dI =η

dimana:η : faktor peredaman

Pada jarak antara R1 dengan R0, maka intensitas I1 pada jarak R1 berhubungan

dengan I0 pada jarak R0, sehingga:

( 1 0)

0 1

R R I

I = −η − . . . (5) Dalam skala logaritmik, penurunan intensitas akibat peredaman (attenuation) (TLA

(

0 1

)

10log log

(

1 0

)

log

10 I I R R

TLA = ≈ η  −

), menjadi:

karena 10logηlog=α, dan R0 =1, maka:

R

TLA =α . . . (6)

Berdasarkan persamaan (4) dan (6), maka pengurangan intensitas suara pada medium air akibat perambatan geometris (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) ditentukan dengan persamaan:

R R

TL=20log +α . . . (7) Pengurangan intensitas pada persamaan (7) merupakan sekali perjalanan energi suara, yaitu dari transduser ke target, sedangkan sistem hidroakustik adalah menghitung gema (echo) yang dipantulkan kembali oleh target menuju sumber suara (transduser), sehingga akan terjadi dua kali perjalanan energi suara; dari transduser ke target, lalu kembali lagi (dipantulkan) ke transduser, yang berarti terjadi dua kali pengurangan intensitas. Maka untuk pengurangan intensitas ini, persamaannya adalah:

R R TL=40log +α


(32)

Sedangkan energi yang dipantulkan kembali oleh target dan diterima kembali oleh transduser disebut juga derajat gema (Echo Level, EL), dan dapat ditentukan dengan persamaan yang dikemukakan oleh Urick (1983) sebagai berikut:

TS TL SL

EL= −2 + . . . (9)

Namun persamaan di atas hanya diterapkan pada target tunggal, maka untuk

multiple target intensitas suara yang mencapai transduser biasa disebut reverberation level (RL). Johannesson dan Mitson (1983) mengemukakan konsep perhitungan intensitas suara yang mencapai transduser untuk multiple target, yang dijelaskan seperti pada Gambar 3.

Volume dVdihitung berdasarkan perkalian luas permukaan insonifikasi

(

R2 d

)

teradap ketebalan target

(

cτ 2

)

, sehingga diperoleh: Ω

=R c d

dV 2 τ 2 . . . (10) Untuk mendapatkan intensitas volume acoustic backscattering, digunakan istilah

coefficient volume backscattering (SV) yang analog dengan σ untuk target tunggal, yaitu:

1 I I

SV = b dan SV =10logsv

Sehingga intensitas dari dV (dΩ disubstitusi →ψ ) akan menjadi: svr2

(

cτ 2

)

ψ , dengan demikian maka RL dalam bentuk logaritmik adalah (Urick 1983):

Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson 1983).


(33)

(

)

[

τ 2 ψ

]

log

10 I0 r4 svR2 c RL=

(

τ 2

)

10 logψ

log 10 log

10 log

20 + + +

SL R sv c . . . (11)

Gelombang tekanan yang memutuskan aksi RL pada transduser menghasilkan sebuah voltase VTR yang amplitudonya pada seketika waktu sama dengan RL + SRT

(SRT = sensitivitas transduser), sehingga didapatkan:

VTR = SL + SRT + SV + 10 log cτ/2 + 10 log ψ . . . (12) SL + SRT adalah sebuah parameter kelompok yang dapat diukur dengan rata-rata dari prosedur kalibrasi pada standar target. Tegangan VRT diolah melalui echosounder, pada awalnya oleh gain amplifier tetap (G1) dan kemudian amplitudo TVG (G2). Semua tegangan dari echosounder dikuadratkan dalam echo integrator untuk dikonversi dari satuan tegangan ke intensitas (Johannesson dan Mitson 1983).

2.4 Target Strength

Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg 1984), sedangkan Coates (1990) mendefenisikan target strength sebagai ukuran desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar satu meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang mengenai target.

Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam kolom air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu, akan tetapi tidak semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan, karena ada juga yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit, distribusi dari sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan 1989).

Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy target strength. Nilai dan karakteristik target strength ikan ini ditentukan oleh


(34)

beberapa faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan, gelembung renang, tingkah laku (orientasi), acoustic impedance, panjang gelombang suara, beam pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect

(Johannesson dan Mitson 1983; MacLennan 1989; MacLennan dan Simmonds 1992). Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat diartikan sebagai 10 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (Ir)

pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur target tersebut (Ii

TS = 10 log I

), seperti pada persamaan berikut ini:

r Ii . . . (13)

dimana: Ir : intensitas suara yang dipantulkan target

Ii : intensitas suara yang membentur target

Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), target strength merupakan

backscattering crosssection (σbs

TS = 10 log ( σ 4 π ) ≈ 10 log σ

) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti persamaan di bawah ini:

bs . . . (14)

dimana : (σ/4 π) ≈σbs

TS = 10 log I

: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ)

Maka, target strength dapat dinyatakan dalam:

r I

≈ 10 log ( σ 4 π ) ≈ 10 log σ

i

bs . . . (15)

Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat dinyatakan dalam persamaan ini:

I = k ( 10-2αR/R4 ) b2( θ,φ ) σbs . . . (16)

dimana: k : faktor skala kalibrasi (10-2αR/R4) : faktor peredaman b2(θ,φ) : faktor beam pattern

σbs

Untuk mendapatkan target strength atau σ

: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ)

bs, maka faktor skala, peredaman

dan beampattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/time varied gain (penambahan berdasarkan variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem akustik dual beam, faktor beam pattern dieliminir dengan menggunakan narrow


(35)

beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti tampak pada Gambar 4.

Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target, keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk isolasi target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 5).

Gambar 5 menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh setiap kuadran diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang

Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999).


(36)

berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector maka phase angle

dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad 1977). Sudut lokasi dari suatu target tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh transduser. Pada sisi alongship,beda phase dapat diperoleh dengan cara membandingkan sinyal di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda phase θ1, kemudian

pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d, sehingga diperoleh beda phase θ2.

Dengan diketahuinya beda phase θ1 dan θ2, maka koordinat sudut (θ,φ)

dari posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983):

θ = sin –1γ ( sin2θ1 + sin2θ2 )

φ = tan –1 ( sin2θ1 / sin2θ2 ) . . . (17)

Setelah diperoleh nilai sudut θ1 dan θ2, maka faktor beam pattern dapat dihitung,

sehingga nilai σbs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (17) di atas.

Sebuah model geometrik sederhana untuk menduga energi backscatter

berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (1990) sebagai berikut: σ = b0 L2 . . . (18)

TS = 20 lo L + b0 . . . (19)

Love (1971) dan (1977) merumuskan persamaan yang menghubungkan

backscattering cross section (σ), panjang ikan (L) dan panjang gelombang (λ): σ/λ2 = a ( L/λ )b (dB ) . . . (20) dimana: a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan

dan panjang gelombang.

Persamaan (10) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (dB) . . . (21) dimana: TS : Target strength

f : frekuensi suara a, b, c : konstanta

Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak ada perbedaan hasil yang didapatkan dari frekwensi yang berbeda, oleh sebab itu diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan sebagai berikut:

TS = 20 log ( L) – 68 (dB) . . . (22) dimana: 68 adalah normalisasi target strength yang bersangkutan


(37)

2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan

Burczynski (1982) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang berada pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh gelombang suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu target menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu (Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi:

Ir total = Ir1 + Ir2 + . . . + Irn . . . (23) dimana: n = jumlah individu ikan

Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-rata intensitasnya (Īr), sehingga:

Ir total = n Īr . . . (24)

oleh karena σ = 4π (Ir / Ii), maka intensitas rata-rata per-target menjadi:

Īr = σIi / 4π . . . (25)

sehingga: Ir total = ( nσ / 4π) Ii . . . (26)

Persamaan (26) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi:

Ir total = nσIi . . . (27)

Persamaan (27) merupakan dasar untuk mengestimasi stok ikan secara kuantitatif dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

SV = 10 log n + TS dimana: S

. . . (28) V

Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 1982).


(38)

Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi pada jarak kedalaman ΔR = R1 - R2, volume backscattering strength (SV) untuk satu transmisi dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m3 air yang dijumlahkan dan dirata-ratakan pada ΔR, sehingga SV yang diperoleh merupakan rata-rata SV (SV ) dapat dituliskan sebagai berikut:

TS

SV =10logρν + . . . (29)

) ( ) ( 1 2 1 2 R R Ci n Vo S N n n V =

=

= . . . (30)

dimana: Ci : menggambarkan parameter SL, SRT, Ψ dan lain-lain N = ΔR/(C /2) : jumlah panjang pulsa yang terjadi dalam ΔR

(Vo2

V S

)n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n

Jika diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat diketahui apabila TS juga diketahui.

Selanjutnya secara matematis persamaan (30) digabung dengan persamaan integrator, dimana output (M) yaitu:

= 2 1 . 2 R R dr Vo Ge M

. . . (31)

dimana: Ge : faktor gain echo integrator

Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input terminal dari integrator

Penggabungan dari dua persamaan (30) dan (31) akan diperoleh:

V

S ΔR = M/Ci.Ge . . . (32)

Dengan mensubstitusi persamaan (29) dan (32) akan diperoleh:

ρv/ ΔR = M/Ci.Ge (σ/4π) . . . (33)

ρv/ ΔR = ρA . . . (34)

Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (34) diaplikasikan dengan:

ρA = SA / σbs . . . (35)

dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad 1997):

∂ / ∂v = 4πr2Sv . . . (36) ∂ / ∂A


(39)

Kemudian persamaan (38) mengubah volumebackscattering strength (SV) menjadi coefficient backscattering area (SA) per unit volume. Jumlah SA (m2/nmi2) dihubungkan dengan σbs menjadi:

SA = (1852 m/nmi)2σbs . . . (39)

Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan (36) dan (39) menjadi:

) / 1852 ( .

4 2 2

2 1 nmi m dr Sv R S R R A        

= π

. . . (40)

Coefficient backscatteringarea (SA) dari persamaan (40) dikalkulasi untuk setiap area terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh nilai backscattering cross section (Sv):

) ( ) / 1852 ( .

4 R2 m nmi 2 R2 R1 S

S A

− =

π

ν . . . (41)

Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung densitas ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (33) menjadi:

ρv = ρA ( R2 - R1 ) . . . (41)

dimana: ρv : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi dalam bentuk nilai jumlah ikan persatuan volume (1000 m3)

ρA : densitas ikan per luas area (ekor/m3)

R : jarak target dari transduser

Densitas akustik ikan ρv dapat juga dilihat dari nilai NASC (m2/nmi2), karena NASC merupakan besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap milnya. Nilai NASC dapat diturunkan dari ABC (area backscattering coefficient) dalam satuan m2/m2

T ABC S 10 10 ν = .

(m2/m2) . . . (42) dimana: Sv : volume backscattering strength (m2/m2

T NASC S 10 2 10 1852 4 ν π = )

T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m) Sehingga nilai NASC dapat diketahui seperti persamaan berikut ini:

. . . (43)

ABC 2

1852 4π

= (m2/nmi2

Nilai ABC dan NASC diukur berdasarkan area scattering, dihitung setelah terlebih dahulu mengintegrasikan area-area yang ingin dihitung, hal ini dilakukan ) . . . (44)


(40)

pada saat proses penghitungan dengan menggunakan softwaresonardata echoview

versi 4.10. NASC (nautical area scattering coefficient) identik dengan SA (coefficient


(41)

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Agustus 2003 sampai Januari 2004, mulai dari persiapan, pengukuran dan pengumpulan data di lapangan, analisis data hingga penyusunan laporan. Pengukuran dan pengumpulan data secara

in situ dilakukan pada tanggal 14 – 25 Oktober 2003 di perairan Selat Makassar.

3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

Sumberdaya ikan pelagis kecil dan data oseanografi (suhu dan salinitas) di perairan Selat Makassar merupakan bahan penelitian yang diteliti, sedangkan peralatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran dan pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain:

(1) Kapal Penelitian

Penelitian ini menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII (1300 GT) milik Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) (spesifikasi dan desain dapat dilihat pada Lampiran 1).

(2) Instrumen Akustik

Semua instrumen akustik yang digunakan telah tersedia pada KR. Baruna Jaya VIII, meliputi: 1) scientific echosounder SIMRAD EK-500 dengan frekwensi 38 kHz, transmisi berkekuatan 2 kW yang mampu mendeteksi hingga kedalaman 10.000 meter, bandwidth terdiri dari 0,38 kHz (narrow) dan 3,8 kHz (wide) serta panjang pulsa 0,1; 0,3; dan 3,0 (ms); 2) SIMRAD BI-500 post-processing system; 3) donggle; 4) komputer tipe pentium dan printer warna (Lampiran 2).

Selama perekaman data akustik, echosounder EK-500 diset sebagai berikut:

Frekuensi : 38 kHz

Kedalaman rekaman : 5 ~ 1.000 m

TVG : 20 log R

Kecepatan kapal : 6 ~ 7 knot Panjang pulsa : Medium

Sv minimum : -70 dB


(42)

(3) Instrumen Oseanografi

Pengukuran parameter perairan (suhu dan salinitas) dilakukan dengan alat

conductivity temperature depth (CTD) tipe SBE 911 plus seabirds dengan tingkat kemampuan mengukur hingga kedalaman maksimum 6.800 meter (Lampiran 3).

3.3 Desain Survei

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data secara in situ dan

real time. Peralatan akustik serta perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup seluruh area yang diteliti, maka dibuat suatu rancangan survei yang berupa suatu jalur transek pelayaran (cruise track) seperti Gambar 7.

Cruise track di Selat Makassar dibuat berbentuk sistematik sejajar (paralel) dengan jarak antar leg sekitar 30 mil laut. Menurut MacLennan dan Simmonds (1992) bahwa jika salah satu tujuan dari survei adalah untuk distribusi ikan, maka transek


(43)

dengan jarak yang sama atau sejajar (parallel grid) adalah lebih baik digunakan karena upaya penyamplingan distribusi akan merata pada area yang diteliti.

Ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg pada cruise track paralel yang digunakan, dan penentuan elementary sampling distance unit (ESDU) untuk perekaman data akustik ditetapkan sepanjang 1 nautical mile (nmi), sedangkan untuk pengukuran data oseanografi ditetapkan 16 stasiun pengukuran. Sebelum melakukan cruise

seluruh instrumen akustik dan instrumen oseanografi harus dikalibrasi, dan stasiun untuk sampling faktor-faktor oseanografi pada sepanjang transek harus terlebih dahulu ditentukan dan ditandai pada peta pelayaran, sehingga pada saat melakukan pengukuran mudah diketahui dengan menggunakan kompas dan GPS.

3.4 Perolehan Data

Data dan informasi yang diperoleh dari echosounder (frekuensi 38 kHz) diteruskan ke komputer melalui local area network untuk keperluan penyimpanan serta analisis data dan perhitungan selanjutnya. Integrasi echo dilakukan meliputi seluruh kolom air sepanjang jalur transek yang dilewati oleh kapal mulai dari kedalaman 5 meter, dan selanjutnya pada pengolahan data dilakukan per-layer

(lapisan kedalaman) dengan ketebalan masing-masing layer adalah 50m (5~50, 50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan 300~350m), sehingga ada 7

layer yang diambil datanya. Nilai integrasi dikelompokan dalam satuan integrasi (ESDU) yang diperuntukan dalam pendugaan rata-rata densitas ikan per km2 atau m2/nmi2

Instrumen akustik merekam data akustik secara otomatis dan terus menerus serta menghasilkan data dalam bentuk echogram, dan selanjutnya data deteksi ikan tunggal dan kelompok ikan oleh perangkat echosounder SIMRAD EK 500 diproses dengan menggunakan software di dalam BI 500 post processing system. Software

untuk seluruh kolom perairan atau per-layer.

Bersamaan dengan pengambilan data akustik, dilakukan juga pengumpulan data oseanografi (salinitas dan suhu) dengan menggunakan CTD pada 16 stasiun pengambilan data yang telah ditetapkan di sepanjang cruise track, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah hasil penghitungan nilai sebaran kandungan korofil-a di perairan Selat Makassar.


(44)

tersebut berisi formula target strength ikan tunggal dan formula scattering volume

kelompok ikan seperti yang diuraikan pada sub bab 2.4 Target Strength dan sub bab 2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan. Distribusi dan densitas ikan yang akan diestimasi diperoleh melaui proses intergrasi echo dalam arah vertikal untuk setiap layer yang telah ditentukan serta merata-ratakan dalam arah horisontal sepanjang cruise track.

Pemrosesan data tersebut menghasilkan nilai densitas relatif (mean volume backscattering strength) tiap ESDU yang direkam dan dapat diketahui dalam bentuk

echogram pada display komputer maupun dari print out printer. Pada prinsipnya keluaran echo integrator adalah dalam bentuk mean volume backscattering strength

(densitas relatif), dan untuk melihat pola sebaran densitas ikan secara horisontal, maka nilai densitas akustik (acoustic density) ikan untuk setiap ESDU dipetakan sebagai satu titik koordinat yang terletak pada bagian tengah jalur transek.

Echogram yang ditampilkan berdasarkan pemrosesan software sonardata echoview versi 4.10 dalam wujud densitas ikan dengan satuan ekor ikan/nmi2 pada setiap ESDU dan menurut layer (lapisan kedalaman), selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan variasi distribusi densitas berdasarkan keseluruhan kedalaman perairan. Kedalaman perairan dialokasikan masing-masing dalam layer

sekitar 50 meter, yaitu 5~50, 50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan 300~350 meter. Fenomena parameter suhu, salinitas, estimasi acoustic values dan distribusi densitas per layer divisualisasikan dalam bentuk peta kontur horisontal dengan menggunakan softwareocean dataview versi 3.2.3. Secara umum, seluruh proses pengolahan dan analisis data hidroakustik dan oseanografi pada penelitian ini adalah seperti diagram alir pada Gambar 8.


(45)

Gambar 8 Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya. Echosounder

Simrad EK 500

Software BI 500

Kondisi fisik perairan yang di teliti

Sv, NASC per layer

dan per ESDU

Software

Sonardata echoview version 4.10

Estimasi densitas dan distribusi

CTD

Temperatur dan Salinitas

Estimasi swimming layers dan densitas ikan pelagis kecil

O v e r l a y

Deskriptif Vessel position: Latitude and longitude

GPS

Software


(46)

Pembahasan dan analisa data untuk distribusi Sv dan NASC pada daerah penelitian ditampilkan berdasarkan tujuh layer (lapisan kedalaman). Suhu dan salinitas ditampilkan berdasarkan tiga layer, yaitu homogen layer (lapisan homogen) yang merupakan lapisan perairan dengan ketebalan lebih kurang 50 meter, mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 50 meter; thermocline layer (lapisan termoklin) yang berada tepat di bawah lapisan homogen hingga kedalaman 300 meter; dan deep layer (lapisan dalam) yang berada di bawah lapisan thermocline. Hal ini dilakukan untuk lebih memudahkan pembahasan yang dilakukan.

4.1 Distribusi Nilai Sv

Pada profil menegak, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1, 2 dan sedikit pada layer 3 hingga

layer 7, seperti tampak pada Gambar 9.

Pada profil mendatar berikut ini dapat dilihat secara detil estimasi distribusi nilai Sv pada masing-masing layer, seperti dapat dilihat pada Gambar 10.

Pada layer 1 yang ditunjukkan Gambar 10a memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv di bagian utara hingga tengah area memiliki nilai yang lebih tinggi


(47)

dibandingkan bagian barat dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar (-47,29 dB) – (-69,43 dB).

Pada layer 2 yang ditunjukkan Gambar 10b memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv cukup bervariatif, dimana nilai Sv yang lebih tinggi terdistribusi di bagian utara, di tengah, dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-58,29 dB) – (-69,92 dB).

Pada layer 3 yang ditunjukkan Gambar 10c memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian selatan, barat daya dan barat area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar antara (-63,27 dB) – (-70 dB).

Pada layer 4 yang ditunjukkan Gambar 10d memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada

layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-63,9 dB) – (-69,45 dB).

Pada layer 5 yang ditunjukkan Gambar 10e memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih hanya pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berada pada kisaran (-62,46 dB) – (-69,29 dB).

Pada layer 6 yang ditunjukkan Gambar 10f memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi tetap hanya pada bagian barat daya area yang diteliti. Secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv pada layer ini berada pada kisaran (-62,95 dB) – (-69,77 dB).

Pada layer 7 yang ditunjukkan Gambar 10g memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih di bagian barat daya area yang diteliti. Pada

layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-65,72 dB) – (-68,84 dB).


(48)

Gambar 10 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g)


(49)

Untuk memudahkan estimasi dan pembahasan terhadap nilai Sv, maka pada pembahasan ini profil melintang dibagi menjadi lima leg (section melintang searah

longitude)dan empat antar leg (section melintang searah latitude). Profil estimasi distribusi melintang nilai Sv yang terdiri dari lima leg dapat dilihat seperti tampak pada Gambar 11.

Pada leg 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 11a memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan 2 tersebut, dan setelah kedalaman 110 meter tidak terdeteksi adanya distribusi nilai Sv.

Pada leg 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 11b memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv masih tetap terkonsentrasi pada layer 1 dan 2, serta sedikit pada

layer 6 dan 7. Distribusi nilai Sv lebih dominan berada pada bagian barat, yakni di depan perairan Muara Bekapai.

Pada leg 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 11c memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv juga terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv lebih dominan pada bagian timur yang merupakan perairan di depan Delta Mahakam dan pada bagian barat yang merupakan perairan di atas Teluk Palu. Kekosongan yang terlihat pada bagian tengah leg disebabkan tidak tersedianya data akibat masalah teknis saat perekaman data di lapangan.

Pada leg 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 11d memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan 2 tersebut, dan setelah kedalaman 70 meter tidak terdeteksi adanya distribusi nilai Sv. Leg 4 ini berada tepat di depan perairan Bontang hingga depan perairan Tanjung Manimbaya yang berada di Sulawesi.

Pada leg 5 yang ditunjukkan oleh Gambar 11e memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Sama halnya dengan leg 3, pada leg 5 ini kekosongan yang terlihat pada bagian tengah leg disebabkan oleh tidak tersedianya data akibat masalah teknis saat perekaman data di lapangan.


(50)

Gambar 11 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Leg.

(a) (b)

(c) (d)

(e)


(51)

Profil estimasi distribusi melintang nilai Sv yang terdiri dari lima antar leg dapat dilihat pada Gambar 12.

Pada antar leg 1 yang ditunjukkan Gambar 12a memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi secara acak mulai dari layer 1 hingga pada layer 7. Lintasan antar Leg 1 ini berada di depan perairan Muara Bekapai.

Pada antar leg 2 yang ditunjukkan Gambar 12b memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv hanya terkonsentrasi pada layer 1, lebih dominan berada pada bagian utara lintasan. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Donggala.

Pada antar leg 3 yang ditunjukkan Gambar 12c memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv juga terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv lebih dominan pada bagian utara, yakni perairan di atas Muara Berau.

Pada antar leg 4 yang ditunjukkan Gambar 12d memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada sepanjang lintasan antar leg, pada layer 1 dan 2 serta sedikit pada layer 3. Lintasan antar leg 4 ini tepat berada di depan perairan Tanjung Manimbaya.


(52)

(a)

(b)

(c)

(d)


(53)

4.2 Distribusi Nilai NASC

Pada profil menegak ini terlihat bahwa estimasi distribusi kepadatan akustik ikan berkisar antara 5,09 – 36199,92 m2/nmi2

Sama halnya dengan pfofil distribusi secara menegak, maka pada profil mendatar ini dapat dilihat dengan jelas bahwa estimasi distribusi nilai NASC secara umum terkonsentrasi pada layer 1 dan 2, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14.

Pada layer 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 14a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC sangat bervariasi. Pada bagian utara hingga ke tengah area memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pada bagian barat, barat daya dan tenggara area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berkisar 221,10 – 36199,92 m

yang umumnya terkonsentrasi pada

layer 1 dan sedikit pada layer 2, seperti ditunjukkan pada Gambar 13.

2

/nmi2.

Pada layer 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 14b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC cukup variatif, dimana distribusi nilai yang lebih tinggi berada pada bagian selatan area yang diteliti. Pada layer ini, secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berada pada kisaran 219,60 – 2982,66 m2/nmi2

Gambar 13 Estimasi Distribusi Menegak Nilai NASC pada Seluruh Leg dan Layer.


(54)

Pada layer 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 14c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang lebih tinggi terkonsentrasi pada bagian selatan dan pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berada pada kisaran 175,24 – 1016,07 m2/nmi2.

Pada layer 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 14d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 5,09 – 878,32 m2/nmi2.

Pada layer 5 yang ditunjukkan oleh Gambar 14e memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi masih hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 210,20 – 1222,33 m2/nmi2.

Pada layer 6 yang ditunjukkan oleh Gambar 14f memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi tetap hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 125,29 – 933,06 m2/nmi2.

Pada layer 7 yang ditunjukkan oleh Gambar 14g memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC masih tetap terkonsentrasi pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 281,69 – 577,49 m2/nmi2.


(55)

Gambar 14 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai NASC pada Seluruh Layer.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


(56)

Untuk memudahkan estimasi dan pembahasan terhadap nilai NASC, maka pada pembahasan ini profil melintang dibagi menjadi lima leg (section melintang searah longitude) dan empat antar leg (section melintang searah latitude). Profil estimasi distribusi melintang nilai NASC yang terdiri dari lima leg dapat dilihat pada Gambar 15.

Pada leg 1 yang ditunjukkan Gambar 15a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran 5000 – 20000 m2/nmi2 hanya terkonsentrasi pada layer 1 yang berada di bagian timur lintasan leg. Selain dari area yang telah disebutkan tadi, distribusi nilai NASC di bawah kisaran 3000 m2/nmi2 menyebar hampir merata pada kolom perairan layer 1, 2 dan 3.

Pada leg 2 yang ditunjukkan Gambar 15b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran 5000 – 35000 m2/nmi2 hanya terkonsentrasi pada layer 1 yang berada pada bagian tengah lintasan leg. Selain dari area yang disebutkan tadi, distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m2/nmi2 hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan sebagian pada layer 2, serta sedikit pada layer 6 dan 7.

Pada leg 3 yang ditunjukkan Gambar 15c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang berkisar antara 5000 – 35000 m2/nmi2 terkonsentrasi pada hampir seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m2/nmi2 ada di sebagian layer 2.

Pada leg 4 yang ditunjukkan Gambar 15d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran 5000 – 35000 m2/nmi2 terkonsentrasi di hampir seluruh

layer 1, pola ditribusi nilai NASC pada leg 4 ini hampir sama seperti pola distribusi yang ada pada leg 3, dan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m2/nmi2 ada di sebagian layer 2.

Pada leg 5 yang ditunjukkan Gambar 15e memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran 5000 – 35000 m2/nmi2 terkonsentrasi di seluruh layer 1, pola ditribusi nilai NASC pada leg 5 ini ada kemiripan seperti pola distribusi yang ada pada leg 3 dan leg 4, dan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m2/nmi2 berada pada sebagian kecil layer 2.


(57)

Gambar 15 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Leg.

(a) (b)

(c) (d)

(e)


(58)

Profil estimasi distribusi melintang nilai NASC yang terdiri dari empat antar leg dapat dilihat pada Gambar 16.

Pada antar leg 1 yang ditunjukkan Gambar 16a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m2/nmi2 terkonsentrasi secara acak hampir membentuk kolom diagonal mulai dari layer 1 hingga layer 7. Antar leg 1 ini berada di depan perairan Muara Bekapai.

Pada antar leg 2 yang ditunjukkan Gambar 16b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang memiliki kisaran 5000 – 35000 m2/nmi2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m2/nmi2 berada pada sebagian kecil layer 2. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Donggala.

Pada antar leg 3 yang ditunjukkan Gambar 16c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m2/nmi2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sebagian pada layer 2 dan sebagian kecil pada layer 3. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Muara Berau.

Pada antar leg 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 16d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang memiliki kisaran 5000 – 35000 m2/nmi2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m2/nmi2 berada pada sebagian layer 2 dan sebagian kecil pada layer 3. Lintasan antar leg 4 ini berada tepat di depan perairan Tanjung Manimbaya.


(59)

(a)

(b)

(c)

(d)


(60)

Profil estimasi distribusi nilai NASC juga disajikan secara temporal (siang dan malam), dan pada Gambar 17 yang merupakan profil nilai NASC pada siang hari dapat dilihat bahwa nilai NASC yang terdeteksi pada sepanjang cruise track

berkisar antara 125,29 – 36190,54 m2/nmi2. Nilai NASC dengan kisaran nilai antara 5000 – 35000 m2/nmi2 umumnya terdistribusi mulai dari layer 1 hingga layer 2.

Pada profil nilai NASC malam hari yang ditunjukkan oleh Gambar 18 dapat dilihat bahwa nilai NASC yang terdeteksi pada sepanjang cruise track berkisar antara 5,09 – 36199,92 m2/nmi2. Nilai NASC dengan kisaran antara 5000 – 35000 m2/nmi2 umumnya terdistribusi hanya pada layer 1.

Gambar 17 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Siang Hari.


(61)

Perbedaan distribusi nilai NASC pada siang dan malam hari disebabkan oleh pengaruh suhu, karena pada siang hari umumnya suhu relatif akan lebih tinggi pada permukaan perairan akibat penerimaan intensitas sinar matahari, sehingga kawanan ikan diduga akan bergerak sedikit lebih dalam menuju layer di bawahnya. Pada malam hari suhu permukaan perairan umumnya relatif menjadi lebih rendah karena tidak ada intensitas sinar matahari, sehingga kawanan ikan akan bergerak sedikit ke permukaan perairan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17 dimana nilai NASC pada siang hari dengan kisaran cukup padat yakni 5000 – 35000 m2/nmi2 yang terdeteksi berada pada layer 1 dan layer 2. Pada Gambar 18 yang mewakili nilai NASC pada malam hari dapat dilihat bahwa NASC dengan kisaran nilai 5000 – 35000 m2/nmi2 hanya terdistribusi pada layer 1. Fenomena migrasi vertikal siang dan malam hari ini seperti yang dikemukaan oleh Laevastu dan Hela (1970) bahwa ikan pelagis umumnya akan melakukan migrasi vertikal menurut perubahan suhu pada perairan.


(62)

4.3 Distribusi Nilai Suhu 4.3.1 Distribusi menegak suhu

Pada Gambar 19 dapat dilihat profil nilai suhu pada ketiga layer, yaitu

homogen layer, thermocline layer dan deep layer pada seluruh area penelitian.

Pada seluruh stasiun pengamatan yang berjumlah 16 stasiun, nilai suhu yang tercatat memiliki kisaran 3,61 – 29,59 o

Dari data hasil pengukuran dan analisa yang telah dilakukan, didapatkan distribusi nilai suhu pada homogen layer mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 50 meter memiliki kisaran 25,33 – 29,59

C. Kisaran nilai suhu pada homogen layer

cukup bervariasi, sedangkan pada thermocline layer memiliki tren penurunan yang drastis, dan pada deep layer nilai suhu cenderung mengalami penurunan dengan kisaran yang sempit.

o

C. Pada thermocline layer, mulai dari kedalaman 50 meter hingga 300 meter didapatkan kisaran nilai suhu 9,98 – 28,47 o

Gambar 19 Distribusi Menegak Nilai Suhu pada 16 Stasiun Pengamatan.


(63)

penurunan kedalaman. Pada deep layer, mulai dari kedalaman 300 meter hingga perairan di bawahnya, nilai suhu tercatat pada kisaran 3,61 – 11,28 oC. Pada layer ini terjadi penurunan nilai suhu seiring dengan penurunan kedalaman, tetapi dengan kisaran nilai suhu yang kecil dan cukup konstan. Mulai dari kedalaman 1.000 meter hingga batas akhir pengukuran (kedalaman 3.260 meter) kisaran nilai suhu sangat kecil, yaitu antara 4,5 – 3,61 oC.

4.3.2 Distribusi mendatar suhu

Distribusi nilai suhu pada homogen layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20a memperlihatkan bahwa sebaran nilai suhu lebih tinggi berada pada bagian timur dan tenggara area yang diteliti. Sebaran nilai suhu paling rendah berada di bagian barat daya dan barat laut.

Pada thermocline layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20b memperlihatkan sebaran nilai suhu yang lebih tinggi masih berada pada bagian timur dan tenggara, menyebar hingga ke bagian barat area yang diteliti. Sebaran nilai yang relatif lebih rendah berada pada bagian utara hingga timur laut area yang diteliti.

Pada deep layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20c memperlihatkan bahwa sebaran nilai suhu yang relatif lebih tinggi berada pada bagian tenggara, barat daya, dan bagian utara area yang diteliti. Sebaran nilai suhu yang lebih rendah berada pada bagian selatan dan barat laut area yang diteliti, sedangkan untuk nilai suhu yang paling rendah menyebar merata pada seluruh area selain area yang telah disebutkan tadi.


(64)

(b)

(c) (a)


(1)

75

Lampiran 3

Conductivity Temperature Depth

tipe

SBE 911 Plus Seabirds

.


(2)

Lampiran 4

Echogram

dari

Software Sonardata Echoview

.


(3)

77

Lampiran 5

Nilai Suhu dan Salinitas pada Masing-masing Stasiun Pengamatan

Stasiun 1 Stasiun 2


(4)

Stasiun 5 Stasiun 6


(5)

79

Stasiun 9 Stasiun 10


(6)

Stasiun 13 Stasiun 14