Penentuan perbedaan antara ikan dengan megaplankton melalui analisis beda mean volume backscattering strength(MVBS)

(1)

PENENTUAN PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN

MEGAPLANKTON MELALUI ANALISIS

BEDA MEAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH

(

MVBS)

Oleh: Fahad C64101049

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PENENTUAN PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN MEGAPLANKTON MELALUI ANALISIS

BEDA MEAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH (MVBS)

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterb itkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Januari 2006

FAHAD C64101049


(3)

RINGKASAN

FAHAD. Penentuan Perbedaaan antara Ikan dengan Megaplankton melalui Analisis Beda Mean Volume Backscattering Strength (MVBS). Dibimbing oleh INDRA JAYA dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Penelitian ini bertujuan untuk membedakan antara ikan dengan

megaplankton melalui analisis beda mean volume backscattering strength dan menganalisis hubungan antara penyebaran kawanan ikan dengan faktor-faktor oseanografi (suhu dan salinitas).

Data echogram diperoleh dari hasil kerja sama survei akustik di Perairan Selatan Jogjakarta yang dilakukan oleh tim FPIK-IPB dengan Tokyo Unversity of Marine Science and Technology dari tanggal 9-24 Desember 2003. Kedalaman perairan yang diambil dalam pengolahan data akustik ini adalah kedalaman 11,25 hingga 157,50 meter, dan dibagi setiap 11,25 meter kedalaman atau 10 kali nilai resolusi vertikal.

Nilai MVBS dari 2 frekuensi (38 kHz dan 120 kHz) kemudian diselisihkan, sehingga didapatkan nilai ∆MVBS. Nilai ∆MVBS yang berkisar antara -1 sampai dengan 4 digolongkan sebagai ikan, sedangkan nilai ∆MVBS yang lebih dari 10 digolongkan sebagai plankton. Hasil tersebut kemudian

dibandingkan untuk ketiga threshold yang digunakan yaitu: -80 dB; -75 dB dan -70 dB.

Setelah dikelompokkan sebagai ikan dan plankton, berdasarkan nilai

∆MVBS, setiap kawanan ikan dihitung jumlah kawanannya untuk setiap kedalaman 11,25 meter. Kawanan ikan yang dihitung adalah kawanan ikan dengan tinggi kawanan lebih dari 3,375 m. Untuk memudahkan penghitungan, maka kawanan yang terdeteksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: 2,25 < h < 4,50 m; 4,50 ≤ h < 6,75 m dan 6,75 ≤ h < 9,00 m dengan h: tinggi kawanan. Jumlah kawanan pada kedalaman perairan 0-11,25 meter tidak dihitung dan dianggap sebagai derau (noise).

Kawanan ikan dan plankton paling banyak ditemukan menggunakan threshold -80 dB disusul oleh threshold -75 dB, sedangkan yang paling sedikit menggunakan threshold -70 dB. Kawanan ikan yang paling banyak ditemukan pada kedalaman 11,25-33,75 meter.

Perbedaan banyaknya jumlah kawanan ikan pada threshold yang berbeda, berlaku juga untuk penyebaran plankton. Plankton yang paling banyak

ditemukan pada threshold kecil (-80 dB) diikuti oleh thresshold sedang (-75 dB) dan threshold besar (-70 dB). Plankton yang ditemukan pada thrshold besar (-70 dB) diperkirakan sebagai target den gan ukuran besar (megaplankton) begitu juga dengan ikan yang ditemukan pada threshold ini merupakan kawanan ikan


(4)

PENENTUAN PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN

MEGAPLANKTON MELALUI ANALISIS

BEDA MEAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH

(

MVBS)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh: Fahad C64101049

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

Judul : PENENTUAN PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN MEGAPLANKTON M ELALUI ANALISIS

BEDA MEAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH (MVBS) Nama : Fahad

NRP : C64101049

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc NIP. 131 578 799 NIP. 131 631 207

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil ‘aalamiin, segala puji dan syukur bagi Allah Azza wa Jalla, Tuhan Maha Penjaga, Yang Maha Menemukan, Yang Maha Pembuka dan Yang Maha Melapangkan, atas semua nikmat, karunia yang tak terhingga. Sholawat dan salam semoga tercurah bagi Rosululloh saw. beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc atas

kesabaran, bimbingan dan arahan beliau selama penulis menyelesaikan tugas akhir ini, Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc dan Ibu Ir. Yuli Naulita, M.Si atas saran dan masukannya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

Penulis pun menyadari bahwa tulisan ini masih banyak terdapat

kekurangannya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Amin.

Bogor, Januari 2006


(7)

GLOSARI

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Akustik : ilmu tentang suara, sifat dan karakteristiknya di dalam suatu medium

Echo/Gema : Gelombang suara yang dipantulkan oleh target Echogram : Rekaman dari rangkaian gema

Echosounder : Perangkat akustik yang digunakan untuk menampilkan data dari transduser

ESDU : Elementary Sampling Distance Unit

Hidroakustik : Ilmu yang mempelajari tentang, sifat, karakteristik dan perambatannya dalam medium air

∆MVBS : Difference of MVBS/selisih MVBS

MVBS : Mean Volume Backscattering Strength/rata-rata SV

Ping : Sebutan untuk setiap pulsa yang dipancarkan oleh

transduser

SV : Backscattering volume/rasio antara intensitas yang

direfleksikan oleh suatu grup target tunggal dimana target berada pada volume air tertentu (m3)

Threshold : Ambang nilai, yang berfungsi untuk membatasi/menapis pantulan yang ditampilkan pada echogram

Transduser : Perangkat akustik yang digunakan sebagai

transmiiter(pemancar) dan receiver (penerima) gelombang suara

TS : Target strength/Nilai yang menunjukkan ukuran echo dari target tunggal.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Sistem akustik KFC-Kaijo 3000 ... 3

2.2. Volume backscattering strength (sv) ... 3

2.3. Mean Volume Backscattering Strength (MVBS) ... 4

2.4. K lasifikasi ikan bersama megaplankton ... . 7

2.4.1. Sumber daya ikan pelagis... . 8

2.4.2. Migrasi vertikal dalam hubungannya dengan lingkungan .. . 11

2.5. Ikan pelagis yang dominan tertangkap di Samudera Hindia ... . 12

2.6. Krill ... . 14

3. BAHAN DAN METODE ... . 16

3.1. Waktu dan tempat penelitian ... . 16

3.2. Desain survei ... . 17

3.3. Kapal penelitian ... . 17

3.4. Alat penelitian ... . 17

3.4.1. Alat pengambilan data akustik... . 17

3.4.2. Perangkat lunak analisis data... . 18

3.4.2. Alat pengambilan data oseanografi... . 18

3.5. Metode pengambilan data ... . 18

3.5.1. Metode pengambilan data akustik ... . 18

3.5.2. Metode pengolahan data akustik... . 19

3.5.3. Metode pengambilan data oseanografi ... . 20

3.6. Metod e pemrosesan ... . 21

3.6.1. Pemrosesan data MVBS ... . 21

3.6.2. Pemrosesan data ∆MVBS... . 21

3.6.3. Pengelompokan nilai ∆MVBS ... . 22

3.6.4. Pengelompokan ukuran target ... . 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... . 23

4.1. Hasil ... . 23

4.1.1. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -80 dB ... . 25

4.1.2. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -75 dB ... . 26

4.1.3. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -70 dB... 27

4.1.4. Penyebaran plankton ... . 38

4.2. Perbandingan nilai ka dengan acoustic backscattering... . 30


(9)

4.4. Sebaran suhu dan salinitas ... . 32

4.4.1. Sebaran suhu vertikal ... . 32

4.4.2. Sebaran salinitas vertikal... . 34

4.5. Pembahasan ... . 34

5. KESIMPULAN DAN SARAN .... 38

5.1. Kesimpulan ... . 38

5.2. Saran ... . 38

DAFTAR PUSTAKA .... 39

LAMPIRAN ... . 41


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hasil tangkapan semua kategori ikan pelagis kecil di

Samudera Hindia tahun 2000-2004 ... 13 2. Hasil tangkapan semua kategori ikan pelagis besar di

Samudera Hindia tahun 2000-2004 ... 13 3. Jumlah kawanan berdasarkan tinggi kawanan, pada tiap threshold

-80 dB, -75 dB dan -70 dB ... 24 4. Sebaran megaplankton pada threshold -80, -75 dan -70 dB ... 29


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Samudera Hindia, bagian Selatan Pulau Jawa dan tiitk

pengambilan data oseanografi ... 16 2. Desain surveisystematic parallel transect yang digunakan

pada saat penelitian ... 17 3. Diagram alir sistem pengolahan data ... 20 4. Diagram tampilan ∆MVBS ... 23 5. Hubungan antara frekuensi (nilai ka) (sumbu X) denganσbs

(acoustic backscattering) (sumbu Y) ... 31 6. Sebaran suhu dan salinitas secara vertikal di perairan Parangtritis


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kapal Riset Umitaka ... 41 2. Sistem instrumen echo sounder KFC-Kaijo 3000... 42 3. Gambar CTD (Conductivity, Temperature, Depth )


(13)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Integrasi echo merupakan metode hidroakustik yang telah dipergunakan secara luas untuk tujuan memperkirakan stok kelimpahan, memetakan distribusi dan penyebaran serta untuk perolehan informasi bio-ekologi. Meskipun begitu, khusus untuk daerah multi spesies, estimasi biomassa pada penentuan jenis target dengan metode MVBS (Mean Volume Backscattering Strength)/single frequency akan menghasilkan galat (error) (Kang, 2002).

Pendugaan target/objek sering dilakukan berdasarkan tampilan echogram. Namun metode ini menimbulkan bias, karena pengamatan echogram didasarkan secara kasat mata (manusia) sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Untuk mengetahui jenis target, maka dilakukan trawling kemudian mengidentifikasi target berdasarkan jenis dan ukuran di atas kapal. Pada kawanan yang kecil, kecil pula kemungkinan terjadi penyimpangan akan tetapi jika ditemukan kawanan yang besar, hasil pengambilan contoh berdasarkan trawling akan sulit dipercaya. Selain itu juga, cara seperti ini membutuhkan banyak waktu untuk melakukannnya, karena untuk setiap kegiatan sounding harus mengulangi kegiatan trawling. Oleh karena itu diperlukan suatu cara yang lebih efisien dan akurat dalam penentuan jenis target.

Metode yang sedang populer dan diakui kebenarannya adalah teknik dengan menggunakan beda mean volume backscattering strength (

MVBS atau MVBS difference) dari beberapa frekuensi. Penggunaan metode multi frekuensi telah digunakan untuk membedakan antara plankton dan ikan (Kang, 2002), antara spesies makrozooplankton dan antara spesies ikan (Logerwell, 2004).

Kegunaan dari

MVBS adalah untuk menggambarkan karakteristik frekuensi dari penghamburan gelombang suara yang berasal dari organisme di laut.


(14)

Meskipun begitu, metode ini masih perlu disempurnakan supaya lebih dapat dipercaya dan berguna. Hal itu dikarenakan frekuensi dari karakteristik echo tidak hanya berasal dari target/organisme di laut juga dari sistem echosounder, penghamburan gelombang suara dan derau (noise).

Penentuan jarak (kedalaman) observasi diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya pada jenis pantulan. Integrasi sel yang besar mungkin akan berisi percampuran dari berbagai ukuran dan jenis, hal ini akan membuat ∆MVBS menjadi cara yang tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, integrasi sel harus dilakukan dalam ukuran yang kecil.

1.2. Tujuan

Menentukan perbedaan antara ikan dengan megaplankton berdasarkan analisis beda mean volume backscattering strength (

MVBS) dengan menggunakan frekuensi 38 kHz dan 120 kHz.


(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem akustik KFC-Kaijo 3000

Instrumen akustik KFC-Kaijo 3000 merupakan suatu sistem akustik dengan menggunakan transduser split-dual beam (gabungan), yaitu gabungan antara bim terbagi (split-beam) dan bim ganda (dual beam) dengan frekuensi 38 kHz dan 120 kHz secara simultan (Purbayanto et al., 2004).

Pada sistem dual beam, sinyal ditransmisikan dengan beam sempit dan diterima oleh beam sempit dan beam lebar. Untuk split beam, transducer dibagi menjadi empat kuadran. Gelombang suara ditransmisikan oleh keempat kuadran secara bersamaan dan backscattering diterima oleh setiap kuadran. Posisi target yang tidak tepat dibawah axis akan menyebabkan terjadinya penerimaan backscattering tidak dalam waktu bersamaan, sehingga akan menimbulkan perbedaan fase. Perbedaan fase yang terbaca antara dua kuadran akan dianalisis untuk mengestimasi posisi target.

2.2. Volume backscattering strength (Sv)

Volume backscattering strength (Sv) dalam bentuk linier diperlihatkan pada

persamaan berikut :

Sv =n.Ts...(1) dimana : Svadalah nilai linier dari backscttering volume; nadalah densitas; dan

s

T adalah target strength.

Jika kawanan ikan dikenai pancaran beam, Svyang diperoleh untuk setiap 1 ping menggambarkan densitas dari kawanan ikan yang sebenarnya. Namun, untuk beberapa kawanan ikan yang berada dalam satu lintasan survei yang di kenai pancaran beam, Svyang diperoleh tidak selalu menggambarkan secara


(16)

langsung densitas beberapa kawanan ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam beam terdapat ruang kosong (tidak terdapat kawanan ikan) untuk menggambarkan kawanan besar ikan. Karena ketidakmenentuan ini, Svyang diperoleh setiap 1 ping sering disebut juga backscattering volume mentah (raw Sv) (Kang, 2002).

Permasalahan ini dapat dikurangi dengan metode integrasi echo dimana setiap Sv beberapa kawanan ikan dirata-ratakan untuk mendapatkan mean

volume backscattering strength (MVBS) atau rata-rata Sv. MVBS akan

menggambarkan densitas rata-rata kawanan ikan dari beberapa kawanan besar ikan dalam bentuk integrasi sel (Kang, 2002).

2.3. Mean Volume Backscattering Strength (MVBS)

MVBS tergantung pada frekuensi karena Ts juga tergantung pada frekuensi, sehingga persamaan (1) dapat ditulis :

)) ( . ) (

(Sv f =nTs f ...(2) Menekankan pada ketergantungan frekuensi berdasarkan pada f , n dan Ts pada persamaan ini adalah nilai rata-ratanya, berbeda dengan persamaan (1). Dengan membuat rasio MVBS antara 2 frekuensi, maka n dapat dihilangkan dan rasio Ts akan lepas dari ketergantungan pada frekuensi (Kang, 2002).

Prinsip dari metode

MVBS adalah menggunakan perbandingan Ts pada

pengklasifikasian tipe organisme. Berdasarkan hal tersebut, metode dua

frekuensi ini digunakan untuk memperkirakan keberadaan plankton. MVBS pada dua frekuensi diperoleh dari luasan observasi yang bersamaan,


(17)

MVBS = MVBS (frekuensi 1) – MVBS (frekuensi 2)

=Ts (frekuensi 1) –Ts (frekuensi 2)...(3)

∆MVBS diperoleh dengan mengurangkan MVBS frekuensi 1 dengan MVBS dari frekuensi 2 atau mengurangkan rasio Ts frekuensi 1 dengan rasio Ts frekuensi 2. Ketika MVBS dari kedua frekuensi lebih besar dari MVBS ambang (3 threshold yang digunakan, yaitu: -70 dB, -75 dB dan -80 dB) maka MVBS frekuensi 38 kHz dikurangi MVBS frekuensi 120 kHz; jika dari salah satu frekuensi (frekuensi 120 kHz) mempunyai nilai MVBS yang lebih kecil dari MVBS ambang maka MVBS frekuensi 38 kHz dikurangi MVBS ambang dan jika nilai MVBS dari kedua frekuensi lebih kecil dari MVBS ambang, maka diasumsikan tidak terdapat echo (Kang, 2002).

Echosounder yang digunakan untuk studi jenis ini harus mempunyai 2 atau lebih frekuensi, lebar beam pada frekuensi harus sama dan integrasi sel

MVBS berada pada ESDU kecil. Nilai ESDU yang kecil akan mampu menggambarkan kawanan ikan dengan sebenarnya dan mampu membedakan jika terdapat jenis ikan yang berbeda dalam kawanan yang berdekatan (Kang, 2002).

Ketika terdapat beberapa spesies, maka MVBS diperlihatkan sebagai :

∑∑

= = = J j m i vij M v j S S 1 1

1 ...(4)

dimana :

S

v adalah MVBS; Madalah nomor ping untuk satu periode integrasi; jadalah indeks untuk spesies; Jadalah nomor spesies dalam satu periode; iadalah nomor ping;

j

m adalah nomor ping dimana j-spesies terlihat; dan vij

S adalah volume backscattering strength mentah (raw Sv) untuk spesies j, ping ke-i.


(18)

Jika hanya muncul satu spesies secara terus menerus dalam satu periode integrasi, maka

MVBS dapat dilihat dengan menggunakan persamaan (2), dan beda frekuensi dari Ts terlihat seperti pada persamaan (3).

Jika muncul hanya satu spesies pada sebagian dari periode integrasi, maka MVBS diperlihatkan sebagai berikut :

= = = m i v v M v S M m S S 1 1 ...(5)

Pada persamaan (5) nilai raw Svdikurangkan dengan daerah yang tidak berisi objek. Sehingga

S

v lebih kecil dari Svdengan perbandingan

M m

. Perbandingan dari

S

v didapatkan pada 2 frekuensi yaitu f1 danf2, persamaan menjadi :

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

2 1 2 1 2 1 2 1 f Ts f Ts f Ts f Ts n n f Sv f Sv f Sv f Sv = − = = ...(6)

Pada persamaan ini, meskipun nilai

S

v berbeda dengan nilai Sv. Perbandingan dari

S

v pada 2 frekuensi benar-benar menggambarkan

perbandingan Ts dari organisme/target dari kawanannya. Hal ini akan menjamin

keakuratan metode

MVBS untuk kawanan yang lebih kecil dari satu periode integrasi.

Persamaan (4) menampilkan kasus umum dimana terdapat beberapa spesies atau variasi ukuran pada satu periode integrasi. Sv adalah nilai

rata-rata dari beberapa spesies yang pada kejadian ini sulit untuk didapatkan rasio Ts dari rasio

S

v seperti pada persamaan (3).

ESDU yang besar akan menyulitkan dalam analisis dan intrepretasi, sehingga metode ini akan berguna jika menggunakan ESDU yang kecil untuk


(19)

membedakan antara ikan dengan plankton. Nilai ESDU yang kecil ditentukan sebesar 1 ping x 1,125 meter. Walaupun demikian, metode analisis

MVBS masih sangat sulit untuk menentukan spesies ikan.

2.4. Klasifikasi ikan bersama plankton

Tanpa melakukan penangkapan in situ maka sulit untuk menentukan distribusi ikan dengan cara kisaran

MVBS. Melalui kombinasi berbagai informasi lain seperti suhu perairan dan pembagian kedalaman , maka akan didapatkan gambar diagram dan pola penyebaran dari ikan atau plankton.

Newell dan Newell (1963) in Basmi (2000) menyatakan bahwa plankton adalah semua hewan dan tumbuhan yang hidup bebas di dalam air, dan karena kemampuannya bergerak (lokomosi) sangat terbatas maka mereka lebih-kurang terhanyut oleh arus air. Plankton terbagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Berdasarkan ukuran plankton dibedakan menjadi: megaplankton (> 2,0 mm), makroplankton (0,2 mm – 2,0 mm), mikroplankton (20µm – 0,2 mm), nanoplankton (2µm – 20 µm) dan ultraplankton (< 2 µm). Tiga kelompok plankton pertama bisa ditangkap oleh jaring plankton baku, sementara

nanoplankton dan ultraplankton tidak bisa ditangkap dengan menggunakan jaring baku (Nybakken, 1992). Plankton biasanya menunjukkan refleksi/pemantulan yang kuat pada frekuensi rendah (Kang, 2002). Plankton yang menjadi fokus penelitian ini adalah kelompok megaplankton yang berukuran lebih dari 2 mm dari famili euphasiid (krill).

Echo dengan

MVBS kecil (-1dB <

MVBS < 4 dB) menunjukkan ikan walleye pollock (Theragra chalcogramma). Echo dengan

MVBS yang besar (

MVBS > 10 dB) menunjukkan krill (Kang, 2002). Nilai kisaran tersebut

didasarkan hasil trawling yang dilakukan sebanyak 33 kali pada observasi sejenis di perairan Jepang (Kang, 2002). Ikan walleye pollock (Theragra chalcogramma)


(20)

yang merupakan objek penelitian Kang (2002) mempunyai nilai ∆Ts kecil, sekitar -2 dB. Nilai tersebut didapatkan dari panjang rata-rata ikan 17 cm. Sementara panjang badan plankton mempunyai nilai rata-rata 1,93 cm. Nilai tersebut berdasarkan dari nilai ∆Ts sebesar 15 dB antara frekuensi 38 kHz dan 120 kHz.

Panjang rata-rata plankton didapatkan berdasarkan pengamatan panjangnya, yaitu: 23,1; 21,5; 20,0; 18,5; 17,1 dan 15,7 mm (Kang, 2002).

MVBS yang lebih kecil dari -1 dB dan kisaran antara 4 dB sampai dengan 10 dB tidak dapat diketahui jenisnya, karena berdasarkan hasil trawling tidak ditemukan apa-apa, baik ikan maupun krill (Kang, 2002). Namun untuk daerah perairan multisize atau multispesies, nilai tersebut dapat dimungkinkan sebagai target. Hal diperkuat oleh pernyataan Korneliussen (2002) yang menyatakan bahwa metode analisis ∆MVBS bergantung pada besarnya ukuran rata-rata target dan besarnya echo.

2.4.1. Sumber daya ikan pelagis

Seluruh daerah perairan terbuka disebut kawasan pelagis (Nybakken,1992). Permukaan laut sampai dengan kedalaman 100 - 150 meter (zona tembus cahaya) disebut zona epipelagik. Zona dibawah zona epipelagik sampai kedalaman 700 meter disebut zona mesopelagik.

Pada umumnya ikan pelagis hidup secara bergerombol dan densitasnya di dekat permukaan lebih besar dari pada perairan di bawahnya, kecuali pada daerah upwelling yang merupakan daerah subur akibat adanya pengangkatan zat hara dari lapisan dalam perairan ke lapisan permukaan (Amin et al., 1991).

Samudera Hindia di selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim Barat dan Timur (Soeriatmadja, 1957 dan Wyrtki, 1961) in Utami (2003). Bulan September sampai April dipengaruhi angin dari Barat laut sehingga di sebut musim Barat dan dari bulan April sampai September dipengaruhi oleh angin musim dari


(21)

Tenggara yang disebut musim Timur. Kondisi angin tersebut berpengaruh terhadap pola arus pada perairan tersebut.

Penyebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan perairan disekitarnya. Ikan jenis ini akan mencari kondisi lingkungan yang cocok dengan kondisi tubuhnya. Daerah yang disukai ikan pelagis adalah daerah yang masih

mendapatkan sinar matahari (eufotik) dengan kisaran suhu antara 28 oC - 30 oC. Pada siang hari ikan pelagis akan turun sampai ke kedalaman 12 - 22 m, karena intensitas cahaya matahari yang kuat. Pada malam hari ikan pelagis akan

menyebar merata di kolom perairan. Pada saat ini juga, ikan demersal akan melakukan migrasi vertikal ke lapisan atas, bercampur dengan ikan pelagis

(Laevastu dan Hayes, 1981).

Sebaran ikan pelagis sangat terkait dengan kedalaman batas bawah lapisan termoklin dan kelimpahan makanan (volume fitoplankton dan zooplankton).

Konsentrasi ikan pelagis paling banyak ditemukan di area upwelling pantai yang produktivitasnya tinggi, umumnya sepanjang pantai barat benua. Migrasi ikan-ikan pelagis dipengaruhi oleh arus. Artinya bahwa ikan-ikan-ikan-ikan pelagis sebenarnya mampu bergerak melawan arus, namun karena arus menyebabkan

pengkonsentrasian plankton maka ikan pelagis bergerak mengikuti arus untuk mendapatkan daerah tempat makanannya terkumpul (Laevastu dan Hayes, 1981).

Gunarso (1985) menerangkan bahwa, ikan-ikan yang lebih besar dan lebih tua cenderung melakukan ruaya ke arah perairan yang lebih dingin dalam area penyebarannya, sedangkan ikan yang berukuran lebih kecil akan tetap pada daerah penyebarannya yang normal.


(22)

Pada lapisan tercampur faktor pembatas bagi kehidupan ikan sangat sedikit. Selain faktor suhu yang hangat, ketersediaan oksigen yang melimpah yang berasal dari atmosfer dan dari hasil fotosintesis fitoplankton. Ikan pelagis kecil, terdapat banyak di lapisan permukaan bertujuan untuk mencari makanan yang terdapat banyak di lapisan permukaan.

Suhu pada termoklin lebih dingin daripada di lapisan dekat permukaan, walaupun faktor pembatas lebih besar (faktor suhu yang dingin), namun ikan dari kelompok pelagis besar bisa tetap hidup. Ikan jenis ini merupakan pemangsa bagi ikan-ikan kecil.

Ikan pelagis besar merupakan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renangnya dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas (beberapa spesies dapat menyebar dan migrasi lintas samudera).

Ikan pelagis besar menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebarannya dipengaruhi garis lintang (latitude) tapi tidak terpengaruh garis bujur (longitude) (Nakamura, 1969) in (Diniah et al., 2001). Di Samudera Hindia dan Atlantik menyebar di antara 40 0LU dan 40 0LS (Collete dan Nauen, 1983) in (Diniah et al., 2001). Khususnya di Indonesia, menurut Uktolseja et al. (1991) in (Diniah et al., 2001), ikan jenis ini hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia.

Distribusi ikan pelagis besar di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari

lingkungannya. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis menyebabkan perbedaan morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor


(23)

eksternal merupakan faktor lingkungan, diantaranya: suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang ikan pelagis besar tergantung jenisnya. Umumnya ikan Tuna dan Cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 m.

2.4.2. Migrasi vertikal dalam hubungannya dengan lingkungan

Migrasi vertikal ikan bergantung terhadap hari dan musim. Secara umum, hampir semua ikan pelagis naik ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam mereka menyebar di kolom perairan dan turun ke lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit. Cahaya adalah faktor utama dalam migrasi ikan secara vertikal, ikan akan menempati kedalaman tertentu yang memilki intensitas cahaya optimum bagi ikan tersebut.

Migrasi harian ikan dalam hubungannya dengan cahaya juga dipengaruhi oleh fito plankton. Beberapa organisme fitoplankton mampu untuk memproduksi substansi toksik selama periode fotosintesis yang menyebabkan ikan menjauh dari konsentrasi fitoplankton pada siang hari.

Menurut Blaxter dan Southward (1990) in Nery (2003), migrasi vertikal dapat dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu:

(1) Ikan bergerak naik ke dalam kolom perairan pada saat permulaan malam dan turun pada saat permulaan siang.

(2) Ikan bergerak turun pada saat permulaan malam dan naik pada saat permulaan siang.

Menurut Laevastu dan Hayes (1981), migrasi vertikal ikan dibagi menjadi 6 kategori seperti berikut :

(1) Spesies pelagis pada siang hari berada sedikit di atas termoklin; bermigrasi ke lapisan permukaan pada saat matahari terbenam;


(24)

menyebar antara permukaan dan lapisan termoklin saat malam hari; turun ke dekat lapisan termoklin pada saat matahari terbit.

(2) Spesies pelagi s yang pada siang hari berada di bawah lapisan termoklin; bermigrasi melewati lapisan termoklin menuju lapisan permukaan dan dasar perairan saat malam dengan sebagian besar berada di atas lapisan termoklin; turun melewati lapisan termoklin menuju lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit.

(3) Spesies pelagis yang pada siang hari berada di lapisan bawah termoklin, bermigrasi menuju lapisan termoklin saat matahari terbenam; menyebar antara termoklin san dasar perairan saat malam; turun menuju lapisan yang leb ih dalam saat matahari terbit.

(4) Spesies demersal yang pada siang hari berada dekat dengan dasar, bermigrasi dan menyebar ke dalam kolom air di bawah ( dan kadang-kadang di atas) termoklin saat matahari terbenam; turun menuju dasar perairan saat matahari terbit.

(5) Spesies yang pada siang hari menyebar di kolom perairan, bermigrasi menuju dasar perairan pada saat malam hari.

(6) Spesies pelagis dan demersal yang tidak jelas migrasi hariannya.

2.5. Ikan pelagis yang dominan tertangkap di Samudera Hindia

Berdasarkan data Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen kelautan dan Perikanan (2001), ikan-ikan yang sering ditemukan di Samudera Hindia, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.


(25)

Tabel 1. Hasil tangkapan semua kate gori ikan pelagis kecil di Samudera Hindia tahun 2000 – 2004.

Tahun Nama Spesies

2000 2001 2002 2003 2004 Layang, Benggol 4.000,00 - - 200,00 805,00 Sunglir/Salem - - 1.484,00 - - Kuwe - 220,00 340,00 834,00 70,00

Teri 6.000,00 - - - -

Tembang 2.000,00 - - - -

Lemuru 3.000,00 - - - -

Kembung Perempuan 12.500,00 - - - - Alu -alu/Barakuda - - - - 70,00 Layur - 320,00 - 398,00 355,00 Jenaha, Tambangan - - 60,00 - - Lencam - 90,00 4.587,10 - 490,00

Balong - 70,00 180,00 - -

Tikus-tikus - - - - 56,00

Cumi-cumi, Enus - 35.552,00 67.923,00 - 3.489,00 Sumber: http://www. dkp. go. id. SDI, 14 Desember 2004/ 09:30

Tabel 2. Hasil tangkapan semua kategori ikan p elagis besar di Samudera Hindia tahun 2000 – 2004.

Tahun Nama Spesies

2000 2001 2002 2003 2004 Madidihang 4.000,00 242.048,00 838.619,00 - 47.689,00 Tuna Mata Besar - 10.238,00 - 25.502,00 693.920,22 Albacora - 610,00 54.056,00 - 17.953,00 Tuna Sirip Biru Selatan - - - 3.432,00 - Baby Tuna - 1.367,00 20.047,00 502,00 6.048,00 Cakalang 3.500,00 554.742,00 1.803.408,00 104.065,00 317.457,71 Ikan Pedang 50,00 1.949,00 42.700,00 - 2.372,00 Setuhuk Putih - 18.371,00 53.114,00 - 1.585,00 Setuhuk Hitam - 21.748,00 89.113,00 1.526,00 12.981,00 Setuhuk Loreng - - - - 157,00 Layaran 3.500,00 10.998,03 34.342,00 1.848,00 11.247,00 Tongkol 14.600,00 - 9.030,00 25.818,00 44.878,29 Tongkol,Komo - 132,00 - - 4.019,00 Tongkol Walang Kekek - 180,00 - 1.753,00 - Tenggiri 5.350,00 99,00 3.422,60 1.741,00 103,00 Cucut botol - 1.070,00 5.693,00 180,00 12,00


(26)

Cucut, Hiu - 5.274,00 7.312,00 8.660,00 29.763.811,0 0 Cucut martil - 2.520,85 9.198,00 94,00 385,00 Cucut Super - 2.034,00 5.103,00 1.166,00 137,00 Cucut Tikus - 16.405,00 201.912,00 - 2.101,00 Cucut Lanjaman - 1.094,00 3.178,00 1.020,00 6.837,00 Cucut Slendang - - 29.478,00 - 30,00 Cucut Cakilan - - 3.378,00 - 76,00 Cucut Pahitan - - 12.390,00 - 440,00 Lemadang - 2.743,00 8.152,00 - 270,00 Sumber: http://www. dkp. go. id. SDI, 14 Desember 2004/ 09:30

Hasil ekspedisi laut dalam (9 - 24 Desember 2003) dengan menggunakan kapal riset Umitaka, kerjasama antara FPIK-IPB dan Tokyo University of Marine Science and Technology, berhasil memetakan darah tangkapan (fishing ground), tempat pemijahan dan jaring makanan ikan laut dalam Selatan Jawa. Pemetaan tersebut dibuat berdasarkan hasil tangkapan ikan sejak 11 - 14 Desember 2003 pada kedalaman 120 - 800 meter. Pada kedalaman sekitar 100 meter, spesies ikan banyak didominasi jenis ikan Buntal, triglidae dan Scolopsis. Pada

kedalaman sekitar 200 - 400 meter didominasi jenis Hiu dan macroridae. Jenis argentinidae pada kedalaman sekitar 200 meter. Pada kedalaman 200 meter, juga ditemukan jenis larva ikan Conger. Larva kelompok sidat ini dinamakan Leptocephalus. Ikan jenis ini memijah dan menetaskan telur di laut dalam, kemudian bermigarasi ke daerah litoral pada kedalaman 30 - 80 meter.

2.6. Krill

Krill merupakan kelompok megaplankton dari famili euphasiid. Krill

berukuran sangat besar bisa mencapai 2 inchi, sehingga dapat ditangkap tanpa harus memisahkannya dengan jaring plankton berukuran sangat kecil. Euphasiid mempunyai alat gerak dan termasuk kelompok krustasea, sehingga termasuk ke dalam zooplankton yang biasa di sebut krill (Nybakken, 1992).


(27)

Krill berjumlah tidak terhingga di laut, khususnya di Anatartika dan Arktik. Stok krill sebanyak 50 juta ton, namun pendugaan lain menurut Idyll (1970) in Nybakken (1992) berkisar sampai dengan 100 juta ton. Stok yang besar ini diperkirakan terjadi karena stok Paus Balin yang merupakan pemakan krill telah berkurang hingga pada titik kepunahannya (Nybakken, 1992).


(28)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan tempat penelitian

Data akustik yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil ekspedisi Umitaka Maru: Trawl Survey for Deep Sea Fish Resource in The Indian Ocean, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang bekerja sama dengan Tokyo University of Marine and Science and Technology. Penulis tidak ikut langsung dalam pengambilan data ini, hanya sebatas penggunaannya untuk penulisan skripsi.

Observasi ini dilaksanakan selama 14 hari dari tanggal 9 Desember 2003 sampai dengan 24 Desember 2003 di Samudera Hindia bagian Selatan Jawa Tengah sampai dengan perairan Selatan Bali. Data yang diolah untuk

kepentingan penelitian ini hanya pada transek ke-2/perairan Parangtritis (di beri tanda lingkaran). Lokasi transek terletak pada koordinat 8o.24,03’LS

110o.29,01 ’BT - 8o.33,03’LS 110o.29,10’BT serta 8o.27,06 ’LS 110o.52,92’BT -8o.33,19’LS 110o.51,12’BT, (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Samudera Hindia, bagian Selatan Pulau Jawa dan titik pengambilan data oseanografi.


(29)

3.2. Desain survei

Desain trek survei yang digunakan pada penelitian ini adalah: systematic parallel transect, supaya dengan waktu yang terbatas dapat mencakup daerah yang luas dan memperoleh data yang cukup banyak yang mewakili perairan yang disurvei. Kedalaman pada survei ini berawal dari permukaan sampai dengan dasar perairan, namun untuk kepentingan pengolahan data penelitian hanya mencapai kedalaman 157,50 m, untuk melihat kelimpahan ikan pelagis.

Gambar 2. Desain s urvei systematic pararel transect yang digunakan pada saat penelitian.

3.3. Kapal penelitian

Kapal yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapal riset Umitaka. Spesifikasi kapal riset Umitaka: Panjang total kapal 93 m; Tonnase 1886 G.T (www. Tokyo-u-fish, 2006) (Lampiran 1).

3.4. Alat penelitian

3.4.1. Alat pengambilan data akustik

1) Perangkat akustik KFC-Kaijo 3000 (Lampiran 2) 2) Personal computer

3) Alat penentu posisi (Global Positioning System)


(30)

3.4.2. Perangkat lunak analisis data

1) Matlab 6.p.1

2) Microsoft office excel 2003

3) ODV (Ocean Data View) versi MP13.a 4) Sonardata Echoview v.3

3.4.3. Alat pengambilan data oseanografi

• CTD (Conductivity, Temperature, Depth) tipe SBE 911plus (Lampiran 3).

3.5. Metode pengambilan data

3.5.1. Metode pengambilan data akustik

Metode pengambilan data dilakukan dengan metode hidroakustik dengan menggunakan instrumen akustik KFC-Kaijo 3000, suatu sistem akustik dengan menggunakan transduser gabungan, yaitu bim terbagi (split-beam) dan bim ganda (dual beam) dengan frekuensi 38 kHz dan 120 kHz secara simultan. Untuk pengolahan data digunakan 2 buah frekuensi (38 kHz dan 120 kHz) yang keduannya mempunyai bim yang sempit (Narrrow beam) supaya dapat

dibandingkan antar keduanya.

Pada sistem dual beam, sinyal ditransmisikan dengan bim sempit dan diterima oleh bim sempit dan bim lebar. Untuk split beam, transduser dibagi menjadi empat kuadran. Gelombang suara ditransmisikan oleh keempat kuadran secara bersamaan, dan back scattering diterima oleh setiap kuadran. Posisi target yang tidak tepat dibawah axis akan menyebabkan terjadinya penerimaan back scattering tidak dalam waktu bersamaan, sehingga akan menimbulkan perbedaan fase. Perbedaan fase yang terbaca antara dua kuadran akan

dianalisis untuk mengestimasi posisi target. Jarak transmisi dari alat ini di setting untuk dapat mencapai kedalaman sampai 1200 m.


(31)

3.5.2. Metode pengolahan data akustik

Pengolahan data mengikuti diagram alir pada Gambar 3. Data

MVBS dikumpulkan pada 2 frekuensi dan digunakan pada ESDU yang kecil. ESDU yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan tiap 1 ping, dengan ukuran periode 1 ping dan lebar 1,125 meter (kedalaman sel sebelum diintegrasikan adalah 1 ping dengan lebar 7,5 cm, kemudian dirata-ratakan setiap 15 sel kedalaman) kedalaman yang meliputi Selatan Yogyakarta, Jawa Tengah. ESDU dalam ukuran besar dimungkinkan mengandung jenis dan ukuran ikan berbeda yang bercampur. Oleh karena itu untuk mengurangi bias, maka ESDU yang digunakan harus kecil. ESDU yang kecil mempunyai ketelitian dalam penentuan kelompok ikan akan lebih teliti dan jika terdapat beberapa jenis ikan dalam suatu kawanan yang berdekatan akan lebih mudah membedakannya (Kang, 2002). Untuk menentukan posisi pengambilan data akustik digunakan GPS (Global Positioning System).

Data yang diolah berada pada kisaran 11,25 m sampai dengan kedalaman 157,50 m. Pengambilan kisaran ini disebabkan karena: tujuan penelitian ini untuk melihat kelimpahan ikan pelagis sampai kedalaman tersebut, karena pengaruh ketinggian kapal yang berpengaruh pada penempatan transduser, juga karena kedalaman setiap ∆MVBS setinggi 1,125 m.


(32)

Gambar 3. Diagram Alir Sistem Pengolahan Data

3.5.3. Metode pengambilan data oseanografi

Data suhu dan salinitas diperoleh dengan menggunakan CTD (Conductivity, Temperature, Depth) pada 15 stasiun yang dapat mewakili daerah penelitian, dari perairan Selatan Cilacap sampai dengan perairan Selatan Bali. Data suhu dan salinitas yang digunakan hanya 3 stasiun yang terletak di daerah yang diteliti (perairan Parangtritis). Data ini digunakan untuk mendukung dalam penentuan kelompok target (ikan) di perairan tersebut.

KFC-3000

FREKUENSI 120 kHz

SUHU DAN SALINITAS Sv (120 kHz)

MVBS (120 kHz)

POSISI DAN WAKTU

MVBS = MVBS (38 kHz) – MVBS (120 kHz)

MVBS (38 kHz) Sv (38 kHz) FREKUENSI

38 kHz

PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN PLANKTON

PENGGABUNGAN


(33)

3.6. Metode pemrosesan 3.6.1. Pemrosesan data MVBS

Data dari KFC-Kaijo 3000 ditampilkan dengan Matlab 6.p.1 untuk mendapatkan volume backscattering coefficient (Sv) yang selanjutnya

dimasukkan ke dalam microsoft office excel 2003, kemudian nilai Sv ditampilkan

nilai untuk masing frekuensi (38 kHz dan 120 kHz). Untuk masing-masing frekuensi diambil kedalaman sel sampai 2250 sel kedalaman (setiap sel mempunyai kedalaman 7,5 cm). Kemudian dirata-ratakan setiap 15 sel

kedalaman (1,125 m). Setelah dirata-ratakan, kedalaman sel berubah menjadi 150 sel kedalaman untuk masing-masing frekuensi. Setiap sel baru ini

merupakan nilai MVBS. Nilai MVBS (38 kHz) di kurangi oleh MVBS (120 kHz) sehingga didapatkan nilai ∆ MVBS.

Untuk penentuan ESDU diusahakan sekecil mungkin, hal ini dikarenakan dengan nilai ESDU yang kecil maka akan bisa ditentukan kawanan ikan dengan lebih tepat dan bisa membedakan spesies yang berbeda (Kang, 2002).

3.6.2. Pemrosesan data MVBS

Setelah nilai MVBS didapatkan, kemudian pindah ke microsoft office excel 2003 untuk masing-masing frekuensi. Setelah kedua nilai pindah ke microsoft office excel 2003 kemudian selisih nilai dari MVBS antar sel yang sama untuk nilai frekuensi yang berbeda. Threshold yang digunakan ada 3, yaitu: -80 dB, -75 dB dan -70 dB.

1) Jika nilai MVBS untuk kedua frekunsi lebih besar dari threshold, maka : MVBS (38 kHz) – MVBS (120 kHz).

2) Jika dari salah satu frekuensi (frekuensi 120 kHz) mempunyai nilai MVBS yang lebih kecil dari MVBS ambang maka MVBS frekuensi 38 kHz dikurangi MVBS ambang.


(34)

3) Dan jika nilai dari kedua frekuensi lebih kecil dari Threshold, maka dianggap tidak ada echo.

3.6.3. Pengelompokan nilai MVBS

Nilai ∆ MVBS kemudian dikelompokkan berdasarkan kisaran yang telah ditentukan, dimana nilai -1 dB < ∆MVBS < 4 dB dikategorikan sebagai ikan, sedangkan nilai ∆MVBS > 10 dB dikategorikan sebagai plankton.

Penggolongan ini mengikuti Kang (2002).

Penghitungan kawanan ikan dilakukan secara manual. Penghitungan jumlah kawanan ikan dilakukan berdasarkan setiap satu strata kedalaman (11,25 m) dengan menghitung jumlah kotak berwarna merah yang menyatu secara vertikal (lebih dari 2 kotak = 2,25 m) (Gambar 4). Kawanan ditetapkan sebagai satu kawanan jika ditemukan pada satu strata kedalaman. Akan tetapi jika satu kawanan yang ditemukan melewati batas dua strata kedalaman, maka kawanan tersebut akan dikelompokkan menjadi dua kawanan dengan penentuan

kelompok kawanan ikan untuk masing-masing strata kedalaman tergantung dari bagian yang mendominasi.

3.6.4. Pengelompokan ukuran target

Hasil tampilan ∆MVBS, selain dikelompokkan sebagai kawanan ikan maupun plankton, juga dilakukan pendugaan ukuran target yang ditemukan berdasarkan 3 threshold yang berbeda. Thrshold yang digunakan berukuran besar (-70 dB), sedang (-75 dB) dan kecil (-80 dB). Target yang ditemukan pada threshold besar diduga sebagai target dengan ukuran yang besar, begitu juga sebaliknya untuk target yang terdeteksi pada threshold kecil diduga sebagai target dengan ukuran kecil.


(35)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Contoh nilai ∆ MVBS ditampilkan pada Gambar 4, dari hasil tampilan tersebut kemudian dihitung jumlah kawanan yang dikategorikan/dikelompokan sebagai ikan berdasarkan tinggi kawanannya. Kawanan ikan berwarna merah, plankton berwarna hijau sementara yang bukan keduanya berwarna putih. Angka yang tertulis di dalamnya adalah nilai ∆ MVBS untuk masing-masing target (ikan atau plankton).

Setiap kotak pada Gambar 4 adalah nilai ∆MVBS dengan ukuran sel sebesar 1 ping X 1,125 m, arah mendatar (horizontal) merupakan ping dan arah vertikal merupakan kedalaman. Kedalaman perairan yang diteliti berawal dari kedalaman 11,25 sampai dengan 157,50 m.

Berdasarkan sebaran nilai ∆MVBS, nilai ∆MVBS yang kecil (-1 dB < ∆ MVBS < 4 dB) tersebar di daerah dekat permukaan dan berkurang


(36)

dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3. Kawanan ikan yang dihitung pada penelitian ini adalah kawanan ikan dengan tinggi lebih dari 3,375 m, dan didapatkan tinggi kawanan ikan setinggi 3,375 - 7,875 m. Untuk memudahkan penghitungan, maka kawanan yang terdeteksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: 2,25 < h < 4,50 m; 4,50 ≤ h < 6,75 m dan 6,75 ≤ h < 9,00 m dengan h: tinggi kawanan.

Threshold yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 3 threshold yaitu: -80 dB; -75 dB dan -70 dB sebagai batas minimum. Batas maksimum dari threshold ini bernilai -30 dB. Selang nilai ini diperkirakan dapat menjaring objek (target) yang diperkirakan sebagai ikan dan plankton. Perlakuan dengan menggunakan 3 threshold ini dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah kawanan ikan dan plankton pada threshold kecil, sedang dan tinggi. Cara ini mengikuti Logerwell (2004) yang menggunakan 4 threshold : -69 dB; -75 dB; -79 dB dan -85 dB.

Tabel 3. Jumlah kawanan ikan berdasarkan tinggi kawanannya, pada tiap threshold -80 d B,-75 dB dan -70 dB.

Tinggi kawanan 2,25 < h < 4,50 m

Tinggi kawanan 4,50 ≤ h < 6,75 m

Tinggi kawanan 6,75 ≤ h < 9,00 m Selang kedalaman

(m)

-80 dB -75 dB -70 dB -80 dB -75 dB -70 dB -80 dB -75 dB -70

dB

11,25 - 22,50 107 106 77 5 5 1 0 0 0

22,50 - 33,75 43 32 6 5 3 0 1 0 0

33,75 - 45,00 17 11 3 1 1 0 0 0 0

45,00 - 56,25 7 4 2 0 0 0 1 1 1

56,25 - 67,50 2 0 0 0 0 0 0 0 0

67,50 - 78,75 3 2 2 0 0 0 0 0 0

78,75 - 90,00 1 1 0 0 0 0 0 0 0

90,00 - 101,25 0 0 0 0 0 0 0 0 0

101,25 - 112,50 4 1 1 0 0 0 0 0 0

112,50 - 123,75 4 1 1 1 0 0 0 0 0

123,75 - 135,00 3 2 2 0 0 0 0 0 0

135,00 - 146,25 4 2 1 1 1 1 0 0 0


(37)

Ikan dan plankton merupakan organisme yang berbeda. Ikan berukuran lebih besar dari plankton. Ikan pada umumnya mempunyai gelembung renang,

sementara plankton tidak mempunyai gelembung renang. Hal ini akan menunjukkan perbedaan yang besar pada acoustic backscattering strength antara frekuensi 38 kHz dan 120 kHz, dua frekuensi yang sering digunakan pada penelitian akustik perikanan.

Kedalaman observasi yang digunakan dalam penelitian ini berawal dari kedalaman 11,25 sampai dengan kedalaman 157,50 m. Menurut Nybakken (1992) kedalaman epipelagik berada sampai kedalaman 100 - 150 m. Dengan demikian bahwa ikan - ikan yang terdeteksi pada observasi di perairan

Parangtritis dapat diduga sebagai ikan pelagis.

Metode analisis ∆MVBS bergantung pada besarnya ukuran rata-rata target dan besarnya echo (Korneliussen, 2002). Ukuran ikan yang relatif sama antara objek penelitian Kang (2002) dengan ikan yang biasa ditemukan di Parangtritis serta frekuensi yang digunakan pada penelitian Kang (2002) dengan penelitian ini sama, maka metode Kang (2002) dapat diterapkan pada penelitian ini.

4.1.1. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -80 dB

Kawanan ikan yang kisaran tingginya 2,25 < h < 4,50 m banyak berkumpul di dekat permukaan dengan jumlah kawanan yang paling banyak sebesar 107 kawanan pada kedalaman 11,25 - 22,50 m, 43 kawanan pada kedalaman 22,50 - 33,75 m, 17 kawanan pada kedalaman 33,75 - 45,00 m. Jumlah

kawanan cukup merata pada kedalaman 45,00 - 90,00 m dengan jumlah

kawanan antara 1 - 7 kawanan. Kawanan ikan tidak ditemukan pada kedalaman 90,00 – 101,25 m. Kawanan ikan ditemukan kembali pada kedalaman lebih dari 100 m, yaitu pada kedalaman 101,25 - 157,5 m sebanyak 3 - 8 kawanan.


(38)

Kawanan ikan dengan kisaran tinggi 4,50 ≤ h < 6,75 m ditemukan lebih sedikit dari pada kawanan ikan dengan kisaran tinggi 2,25 < h < 4,50 m. Kedalaman 11,25 - 22,50 m dan 22,50 - 33,75 m terdapat masing-masing 5 kawanan. Kedalaman 33,75 - 45,00 m, 112,50 - 123,75 m, 135,00 - 146,25 m dan 146,25 - 157,5 m masing-masing ditemukan 1 kawanan ikan. Kawanan ikan dengan kisaran tinggi 6,75 ≤ h < 9,00 m hanya ditemukan pada kedalaman kurang dari 100 m masing-masing 1 kawanan pada kedalaman 22,50 - 33,75 m dan kedalaman 45,00 - 56,25 m.

4.1.2. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -75 dB

Jumlah kawanan ikan pada threshold ini tidak jauh berbeda dengan threshold -80 dB. Kedalaman 11,25 - 22,50 m ditemukan 106 kawanan untuk tinggi kawanan 2,25 < h < 4,50 m yang merupakan jumlah kawanan yang paling mencolok dari pada kedalaman yang lainnya pada threshold yang sama. Kedalaman 22,50 - 33,75 m terdapat 32 kawanan ikan, 11 kawanan ikan pada kedalaman 33,75 - 45,00 m. Kawanan ikan pada kedalaman 45,00 - 56,25 m berjumlah 4 kawanan, namun tepat satu kedalaman di bawahnya tidak ditemukan kawanan ikan. Dua kawanan ditemukan kembali pada kedalaman 67,50 - 78,75 m dan hanya 1 kawanan pada kedalaman 78,75 - 90,00 m. Jumlah kawanan pada threshold -75 dB ditemukan lebih sedikit dari pada threshold -80 dB. Hal ini dapat diperkirakan bahwa terjadi percampuran target antara yang besar dan kecil pada kedalaman kurang dari 100 m. Berbeda dengan threshold -80 dB, pada threshold ini tidak ditemukan kawanan pada kedalaman 56,25 - 67,50 m. Hal ini dapat diperkirakan bahwa kawanan ikan yang terdeteksi pada threshold -80 dB pada kedalaman ini merupakan kawanan ikan dengan ukuran kecil. Kawanan ikan pada kedalaman lebih dari 100 m kembali terdeteksi


(39)

pada kedalaman 101,25 - 157,50 m dengan jumlah kawanan lebih sedikit dari threshold -80 dB, yaitu antara 1 - 3 kawanan.

Jumlah kawanan ikan dengan kisaran tinggi 4,50 ≤ h < 6,75 m, juga tidak jauh berbeda dengan threshold -80 dB, pada kedalaman 11,25 - 22,50 m terdapat 5 kawanan, kedalaman 22,50 - 33,75 m terdapat 3 kawanan dan 1 kawanan pada kedalaman 33,75 - 45,00 m. Kawanan ikan pada threshold -80 dB pada kedalaman 45,00 -135,00 m dapat diduga sebagai target dengan ukuran kecil. Kawanan ikan terdeteksi kembali pada kedalaman 135,00 - 146,25 m dan 146,25 - 157,50 m dengan masing-masing 1 kawanan, namun berbeda dengan threshold -80 dB, pada kedalaman 112,50 - 123,75 m tidak ditemukan kawanan.

Ditemukan hanya 1 kawanan pada kedalaman 45,00 - 56,25 m untuk tinggi kawanan 6,75 ≤ h < 9,00 m. Kawanan ikan yang terdetksi ini diduga sebagai target dengan ukuran besar, karena ditemukan pada semua threshold dengan jumlah kawanan ikan tetap, yaitu 1 kawanan.

4.1.3. Penyebaran kawanan ikan pada threshold -70 dB

Jumlah kawanan pada threshold -70 dB berbeda cukup jauh dengan 2 threshold sebelumnya. Kawanan ikan yang tingginya berkisar 2,25 < h < 4,50 m pada kedalaman 11,25 - 22,50 m hanya berjumlah 77

kawanan, walaupun demikian jumlah tersebut tetap yang paling banyak dari pada jumlah kawanan ikan pada kedalaman yang berbeda pada threshold yang sama.

Pada kedalaman 22,50 - 33,75 m ditemukan jumlah kawanan ikan sebanyak 6 kawanan, hanya 3 kawanan pada kedalaman 33,75 - 45,00 m, begitu juga

pada kedalaman 45,00 - 56,25 m hanya berjumlah 2 kawanan. Hal ini dapat diperkirakan bahwa target pada kedalaman 11,25 - 56,25 m terjadi percampuran


(40)

target antara target ukuran besar dan kecil, namun target besar lebih banyak ditemukan dari pada target yang kecil.

Kedalaman 56,25 - 67,50 m tidak ditemukan kawanan ikan seperti pada threshold -75 dB, dan tepat satu kedalaman dibawahnya yaitu kedalaman 67,50 -78,75 m ditemukan kawanan lagi sebanyak 2 kawanan. Berbeda halnya dengan threshold kecil dan sedang, pada kedalaman 78,75 - 90,00 m tidak ditemukan kawanan ikan. Kawanan ikan terdeteksi kembali pada kedalaman lebih dari 100 m, yaitu pada kedalaman 101,25 - 135,00 m dengan jumlah kawanan antara 1 - 2 kawanan. Kedalaman yang paling bawah pada penelitian ini, tidak ditemukannya kawanan ikan, hal ini berbeda dengan threshold -80 dB dan -75 dB.

Sama halnya dengan kawanan yang tingginya 2,25 < h < 4,50 m, pada kawanan yang tingginya 4,50 ≤ h < 6,75 m hanya terdeteksi sedikit kawanan ikan. 1 kawanan ditemukan pada kedalaman 11,25 - 22,50 m dan kawanan ikan baru terdeteksi kembali pada kedalaman 135,00 - 157,50 m dengan jumlah kawanan masing-masing kedalaman hanya 1 kawanan. Kawanan dengan tinggi 6,75 ≤ h < 9,00 m yang terdeteksi sama dengan threshold -75 dB dan threshold -80 dB yaitu 1 kawanan pada kedalaman 45,00 - 56,25 m, sehingga dapat diperkirakan bahwa kawanan ikan yang terdeteksi tersebut merupakan target dengan ukuran besar.

4.1.4. Penyebaran plankton

Penyebaran plankton ditemukan hampir di seluruh lapisan perairan yang diobservasi, namun untuk setiap threshold berbeda menghasilkan kelimpahan yang berbeda. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa threshold yang kecil (-80 dB) mendeteksi kedalaman penyebaran rata-rata plankton yang paling


(41)

banyak dibandingkan dengan threshold yang sedang (-75 dB) dan threshold yang besar (-70 dB).

Tabel 4. Sebaran plankton pada threshold -80, -75 dan -70 dB Threshold (dB)

- 80 - 75 -70

Kedalaman Penyebaran Rata-Rata

(m)

11,25 – 135,00 11,25 – 56,25 11,25 – 33,75

Pada penelitian ini yang termasuk kategori plankton tidak dibatasi antara 10 dB < ∆MVBS < 15 dB, sehingga dimungkinkan terdeteksi berbagai jenis dan ukuran plankton. Makanan ikan pelagis (kecil) adalah plankton. Berdasarkan hasil penelitian ini, plankton banyak menyebar di dekat permukaan, baik pada threshold kecil, sedang maupun besar, hal ini mendukung keberadaan ikan pelagis di permukaan.

Kedalaman penyebaran rata-rata plankton pada threshold yang kecil (-80 dB) menyebar hampir di seluruh lapisan perairan yang diteliti, yaitu pada kedalaman 11,25 - 135,00 m. Sementara itu, dengan threshold yang sedang dan besar (-75 dB dan -70 dB), rata-rata kedalaman penyebaran plankton yang terdeteksi pada kedalaman 11,25 - 56,25 m dan 11,25 - 33,75 m. Penyebaran plankton pada threshold -75 dB dan threshold -70 dB jarang ditemukan pada lapisan dalam, jika ditemukan biasanya dalam jumlah yang sedikit dan menyebar. Oleh karena itu, maka dapat diduga bahwa plankton yang ditemukan pada threshold yang sedang terutama threshold besar sebagai megaplankton.

Duror (2004) menyebutkan bahwa kisaran nilai backscattering volume zooplankton (krill) pada kedalaman 5 - 200 m untuk frekuensi 120 kHz antara -92,75 dB sampai dengan -73,49 dB, sementara untuk frekuensi 38 kHz antara -86,75 dB sampai dengan -62,64 dB. Oleh karena itu, maka dapat diduga bahwa plankton dengan ukuran besar terletak di dekat permukaan. Hal ini dapat dilihat


(42)

dari hasil Tabel 4 dengan thres hold yang besar (-70 dB) masih ditemukan adanya plankton walaupun penyebarannya sempit. Plankton yang terdeteksi pada threshold yang besar (-70 dB) dapat diduga sebagai krill, karena nilai backscattering volume termasuk dalam kisaran seperti yang didapatkan oleh Duror (2004).

4.2. Perbandingan nilai ka dengan acoustic backscattering

Setiap benda atau target memiliki acoustical length tersendiri, atau setiap frekuensi suara memiliki sifat pemantulan tersendiri. Frekuensi dalam pendugaaan target memperhatikan nilai a (acoustical length) dan k = 2π λ . Frekuensi tinggi mempunyai panjang gelombang (λ ) yang rendah sehingga nilai ka tinggi dan menyebabkan target strength tinggi dan pancaran gelombang berada di zona geometri, begitu juga sebaliknya (Gambar 5).

Frekuensi tinggi mempunyai panjang gelombang (λ ) yang rendah. Panjang gelombang (λ ) yang rendah mudah dipantulkan oleh material berukuran kecil namun mempunyai resiko tinggi terhadap thermal noise. Hal ini menyebabkan banyak sekali objek/target yang masuk/terdeteksi. Frekuensi yang rendah mempunyai panjang gelombang (λ ) yang tinggi. Panjang gelombang (λ ) tinggi akan sulit dipantulkan oleh material kecil tapi jauh dari gangguan thermal noise sehingga objek dengan ukuran yang relatif lebih besar saja yang bisa terdeteksi. Oleh karena itu, untuk melihat semua jenis ukuran target diperlukan pendugaan dengan menggunakan banyak frekuensi karena satu objek/target yang sama jika dilihat dengan menggunakan frekuensi yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda.


(43)

Gambar 5. Hubungan antara frekuensi (nilai k a target) (sumbu X) dengan σbs ( acoustic backscattering) (sumbu Y).

Frekuensi yang diperbandingkan harus menggunakan frekuensi yang menghasilkan pantulan gelombang target berada di zona geometri dengan daerah rayleigh dan tidak memperbandingkan antara frekuensi yang pantulan gelombang kedua targetnya sama-sama berada di zona geometri atau zona rayleigh (multifrekuensi dalam batasan tertentu).

4.3. On-axis dan off-axis target.

Target selalu bergerak sehingga pada saat dikenakan pancaran bim dari transduser, target tidak selalu ditemukan pada on-axis namun bisa juga pada off-axis. Target yang terletak pada on-axis dengan target off -axis mempunyai

Frekuensi 38 kHz

Frekuensi 70 kHz

Frekuensi 120 kHz


(44)

nilai target strength (Ts) yang berbeda untuk satu target yang sama. Nilai target strength (Ts) pada off-axis bernilai lebih kecil daripada nilai target strength (Ts)

pada on-axis.

4.4. Sebaran Suhu dan Salinitas

Data oseanografi diperlukan untuk mendukung data akustik. Informasi yang diperoleh dari data oseanografi digunakan untuk memperkuat dugaan tentang objek yang diteliti (ikan pelagis). Grafik yang ditampilkan berupa sebaran menegak suhu dan salinitas, seperti pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6. Sebaran salinitas (a) dan suhu (b) secara ve rtikal di perairan Parangtritis pada saat survei akustik

4.4.1. Sebaran suhu secara vertikal

Ikan akan selalu mencari tempat yang sesuai dengan dirinya. Suhu sangat berpengaruh bagi kehidupan ikan dan plankton yang menjadi sumber


(45)

makanannya. Perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan. Perubahan sebesar 0,03 oC akan berpengaruh pada kehidupan ikan.

Jenis ikan yang berbeda mempunyai suhu optimum yang sesuai untuk dirinya. Dengan ini dapat diramalkan daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman dan ruaya ikan. Pengkonsentrasian makanan ikan pun erat hubungannya dengan suhu, disamping berbagai faktor lain yang juga mempengaruhinya.

Ikan yang berukuran besar akan mencari daerah sumber makanan yang bersuhu lebih rendah daripada ikan-ikan yang berukuran lebih kecil dari jenisnya, hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan fisiologisnya. Kondisi suhu pada seluruh stasiun penelitian di perairan Parangtritis secara vertikal terbagi 3

kedalaman suhu yang berbeda, yaitu: sekitar kedalaman 11,25 - 25,00 m; sekitar kedalaman 25,00 - 70,00 m dan sekitar kedalaman 70,00 - 150 m yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Secara vertikal, suhu semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman perairan. Kedalaman 11,25 - 25,00 m mempunyai selang kisaran suhu yang sangat dekat dibandingkan dengan kedalaman 25,00 - 70 m. Selang kisaran suhu yang dekat terjadi karena pada lapisan ini terjadi proses pengadukan sehingga suhunya tidak berbeda jauh. Kisaran suhu pada kedalaman 11,25 - 25,00 m berkisar antara 28,539 - 29,259 oC. Berdasarkan sebaran kedalaman dan ukuran ikan, kawanan ikan yang terdeteksi pada penelitian ini banyak ditemukan pada kedalaman 11,25 - 22,50 m. Hal itu diperkuat dengan kisaran suhu pada kedalaman ini yang tergolong hangat. Pada kedalaman 25,00 - 70,00 m mempunyai kisaran suhu antara 27,064 - 28,821 oC. Kawanan ikan yang ditemukan pada kedalaman ini cukup banyak. Hal ini dikarenakan ikan


(46)

pelagis menyukai daerah yang hangat. Kisaran suhu di lapisan tercampur kondusif bagi kehidupan ikan pelagis.

Kedalaman 70 - 150 m mempunyai sebaran suhu yang lebar dengan kisaran 15,669 - 27,888 oC. Daerah ini lebih dingin daripada daerah di atasnya.

Kawanan ikan yang ditemukan pada lapisan ini jauh lebih sedikit dari pada kawanan di lapisan atasnya. Pada lapisan kedalaman ini, faktor pembatas bagi kehidupan ikan pelagis lebih besar (faktor suhu yang dingin). Hal ini

menyebabkan kawanan ikan yang ditemukan jauh lebih sed ikit dibandingkan dengan kawanan ikan di bagian atasnya.

4.4.2. Sebaran salinitas secara vertikal

Salinitas dapat mempengaruhi tekanan osmotik tubuh organisme termasuk ikan, sehingga ikan dan organisme lain akan menyesuaikan diri dengan dengan kondisi lingkungan atau mencari daerah lain yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya.

Perubahan salinitas pada perairan lepas pantai relatif kecil jika dibandingkan pada daerah pantai. Kondisi salinitas seluruh stasiun di perairan Parangtritis dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan perhitungan, salinitas pada kedalaman 11,25 - 25,00 m berkisar antara 32,911 - 33,962 psu. Pada kedalaman 25,00 - 70,00 m mempunyai kisaran salinitas antara 33,185 - 34,506 psu dan kedalaman 70,00 - 150,00 m salinitasnya berkisar antara 34,222 - 34,686 psu.

4.5. Pembahasan

Secara umum, sebaran kawanan ikan paling banyak ditemukan di dekat lapisan permukaan terutama pada kedalaman 11,25 - 22,50 m. Berdasarkan Tabel 3, threshold yang paling banyak mendeteksi kawanan ikan adalah


(47)

threshold yang kecil (-80 dB) disusul oleh threshold sedang (-75 dB), dan yang paling sedikit adalah threshold yang besar (-70 dB).

Perbedaan banyaknya kawanan yang terdeteksi pada threshold yang

berbeda, berlaku juga bagi sebaran plankton yang ditemukan. Threshold -80 dB mendeteksi plankton paling banyak, disusul oleh threshold -75 dB dan -70 dB. Threshold -80 dB merupakan threshold dengan kisaran selang yang lebar, hal ini menyebabkan nilai yang tersaring pada threshold ini lebih banyak, artinya dengan kisaran threshold yang lebar, maka akan semakin banyak target/objek yang terdeteksi. Begitu juga sebaliknya, threshold dengan kisaran sempit akan menyebabkan semakin sedikit objek yang terdeteksi, seperti pada threshold -75 dB dan -70 dB.

Threshold -80 dB dan -75 dB mendeteksi jumlah kawanan ikan yang tidak berbeda jauh. Hal ini berbeda dengan threshold -70 dB yang mendeteksi jumlah kawanan yang cukup berbeda dengan kedua threshold lainnya, dimana hanya sedikit jumlah kawanan ikan yang terdeteksi.

Kawanan ikan yang terdeteksi pada threshold besar (-70 dB) pada Tabel 3 di atas dapat diduga sebagai ikan dengan ukuran besar namun masih tetap dalam kisaran ukuran ikan pelagis kecil. Begitu juga plankton yang ditemukan pada threshold ini diduga sebagai megaplankton. Berdasarkan threshold tersebut dapat dibedakan dengan nyata antara kawanan ikan dengan plankton. Hal ini dikarenakan, nilai Sv dari ikan dan plankton sangat berbeda jauh. Ikan mempunyai nilai Sv yang besar, sementara plankton mempunyai nilai Sv yang

kecil.

Penggunaan threshold yang besar (selang yang pendek) akan terlihat jelas perbedaan antara ikan dengan plankton. Hal ni didukung oleh hasil penelitian Logerwell (2004) yang melakukan penelitian untuk membedakan antara jenis


(48)

ikan Wall Eye Pollock (Theragra chalcogramma) dengan Capelin (Mallotus villosusus), menyatakan bahwa penggunaan threshold yang besar dapat digunakan untuk membedakan antara kedua jenis ikan.

Kawanan yang terdeteksi dengan threshold yang kecil (-80 dB) terjadi percampuran antara nilai Sv plankton dengan nilai Sv ikan, sehingga terjadi tumpang tindih antara kawanan ikan dengan plankton. Nilai Sv untuk ikan dan plankton tercampur, sehingga sangat sulit membedakan antara ikan dengan plankton. Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Logerwell (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan threshold yang kecil menyebabkan terjadinya tumpang tindih antara penyebaran juvenil ikan Theragra

chalcogramma dengan Mallotus villosusus, sehingga sulit untuk membedakannya.

Kawanan yang terdeteksi pada threshold -75 dB (sedang), terjadi

percampuran antara target yang besar dan kecil, dan termasuk percampuran kawanan ikan dengan plankton. Hal yang seperti ini terjadi pada threshold kecil (-80 dB), dan dapat dilihat dari jumlah kawanan yang tidak berbeda jauh dari kedua threshold ini. Pada kedalaman yang sama (11,25 - 22,50 m), threshold -80 dB menemukan 107 kawanan, sementara pada threshold -75 menemukan 106 kawanan. Pada kedalaman yang lain, juga ditemukan hasil yang tidak berbeda jauh untuk kedua thresahold ini. Hal ini disebabkan ada sebagian nilai

v

S plankton yang masuk terdeteksi sebagai nilai Sv yang dianggap sebagai ikan. Kawanan ikan paling banyak ditemukan pada kedalaman 11,25 - 25,00 m dan cukup banyak pada kedalaman 25,00 - 70,00 m, hal ini dikarenakan faktor pembatas bagi kehidupan ikan sangat sedikit. Selain faktor suhu yang hangat, ketersediaan oksigen yang melimpah yang berasal dari atmosfer dan dari hasil


(49)

fotosintesis fitoplankton. Ikan pelagis, terdapat banyak di lapisan permukaan bertujuan untuk mencari makanan yang terdapat banyak di lapisan permukaan.

Faktor pembatas pada lapisan kedalaman 70,00 - 150,00 m lebih besar (faktor suhu yang dingin). Hal ini menyebabkan kawanan ikan yang ditemukan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kawanan ikan di dekat lapisan

permukaan.

Plankton tersebar secara vertikal dan horizontal. Plankton yang terjaring pada threshold besar (-70 dB) sangat sedikit jumlahnya. Hal ini terjadi karena nilai Sv target yang besar saja yang dapat masuk pada threshold ini, sehingga

sedikit sekali plankton yang terdeteksi. Plankton yang ditemukan threshold sedang (-75 dB) jumlahnya lebih banyak, hal ini disebabkan pada threshold ini memungkinkan nilai Sv target kecil ikut terjaring. Kedalaman penyebaran

rata-rata plankton ditemukan paling banyak pada threshold kecil (-80 dB), hal ini terjadi karena nilai Sv target yang sangat kecil bisa terdeteksi.


(50)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Nilai ∆MVBS yang dikategorikan sebagai ikan, banyak ditemukan di

dekat permukaan. Nilai ∆MVBS yang dikategorikan sebagai plankton ditemukan menyebar dan terdeteksi tergantung dari threshold yang digunakan.

2) Jumlah kawanan ikan ditemukan pada ketiga threshold paling banyak pada kedalaman 11,25 – 22,50 m; sedangkan penyebaran megaplankton diduga terdapat pada kedalaman 11,25 - 33,75 meter.

3) Penyebaran plankton ditemukan threshold yang kecil (-80 dB) dan sedang (-75 dB) dimungkinkan terjaring pl ankton dengan berbagai jenis dengan ukuran yang kecil, sementara pada threshold yang besar (-70 dB) hanya plankton dengan ukuran yang lebih besar saja yang dapat

terdeteksi. Target yang ditemukan pada thrshold besar (-70 dB) diperkirakan sebagai target yang besar.

5.2. Saran

1) Melakukan ground check, dengan menangkap target/objek (ikan dan plankton) yang terdeteksi dan membandingkan dengan hasil analisis

∆ MVBS.

2) Perlu dilakukan analisis dengan threshold yang lebih banyak. 3) Untuk membedakan jenis dari kelompok ikan atau plankton, perlu

dilakukan penghitungan median ∆MVBS pada setiap threshold, sehingga dapat dilihat pola penyebaran jenisnya.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, N. 2005. Nilai dan Sebaran Kepadatan Akustik (Acostic Density) di Lepas Pantai Perairan Parangtritis pada Bulan Desember 2003. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Amin, E. M., Widodo, J. dan Baron, T. A. 1989. Potensi dan Penyebaran Sumber

Daya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jendral Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta

Arnaya, I. N. 1991. Akustik Kelautan II. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Basmi, J. 2000. Planktonologi: Terminologi dan Adaptasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Diniah. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Tuna – Cakalang Secara Terpadu. (Makalah). Program Pasc a Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Duror, M. B. 2004. Pendugaan Sebaran Zooplankton dengan Metode

Hidroakustik di Perairan Pesisir Barat Sumatra. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat,

Metoda, dan Taktik Penagkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK. IPB. Bogor. 149 hal.

http://www. dkp. go. id. SDI/ Hasil Tangkapan Ikan per Wilayah/ Tahunan. 14 Desember 2004/ 09:30

http://www. Seabird.com/ Sea-Bird Electronics Inc/ Precision Oceanography Instrumens. 25 Januari 2006/ 23:00

http://www. Tokyo-u-fish.ac.jp/ English/ facilities/ Research and Training Vessels/ ew11. html. 25 Januari 2006/ 23:00

Kang, M. 2002. Effective and Accurate Use of Difference in Mean Volume Backscattering Strength to Identify Fish and Plankton. ICES Journal of Marine Science, 59 : 794 – 804.

Korneliussen,R. J, E. Ona. 2002. Report of The Planning Group on The HAC Data Exchange Format. ICES. CM 2002/B:04. 21 pp

Laevastu, T dan Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Book s Ltd. 199p. Ltd. Farnham, Surrey. England.

Logerwell, E. A. 2004. Species Discrimanition of F ish Using Frequency-Dependent Acoustic Backscatter. ICES Journal of Marine Science, 61:1004–1013.


(52)

Nery, R. 2003. Pendugaan Sebaran Ikan Tunggal Dengan Metode Trace Tacking di Perairan Utara Belitung pada Bulan April 2002. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan oleh: Eidmen, M., D. G. Bengen, Koesbiono, M. Hutomo, Sukristijono. PT. Gramedia. Jakarta, 495 Hal.

Purbayanto. A, Darmawan, dan T. Hestirianoto. 2004. Trawl Survey for DeepSea Fish Resource in The Indian Ocean 9-24 December 2003. Bogor

Agricultural University. Bogor. 2004.

Utami, E. W. 2003. Studi tentang Lapisan, Arah dan Kecepatan Renang Ikan Pelagis dengan Menggunakan Sistem Akustik Berkas Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Perairan Selatan Jawa Tengah-Lombok (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of South East Asian Waters. Naga Report Vol 2. The University of California. Scripps Institution of Oceanography. La jaolla. California


(53)

(54)

Lampiran 1. Kapal Riset Umitaka


(55)

(56)

Lampiran 3. Gambar CTD (Conductivity, Temperature, Depth ) tipe SBE 911plus


(57)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 8 September 1982 Anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Otang dan Ibu Mumu Maemunah.

Tahun 1998-2001 penulis menempuh pendidikan lanjutan atas SMU Negeri 1 Tarogong Garut. Tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Fisheries Diving Club (FDC-IPB). Selain itu, penulis pun pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Widya Selam, Biologi Laut dan Ekologi Laut Tropis.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penentuan Perbedaan antara Ikan dengan Megaplankton melalui Analisis Beda Mean Volume Backscattering Strength (MVBS)”.


(1)

Nery, R. 2003. Pendugaan Sebaran Ikan Tunggal Dengan Metode Trace Tacking di Perairan Utara Belitung pada Bulan April 2002. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan oleh: Eidmen, M., D. G. Bengen, Koesbiono, M. Hutomo, Sukristijono. PT. Gramedia. Jakarta, 495 Hal.

Purbayanto. A, Darmawan, dan T. Hestirianoto. 2004. Trawl Survey for DeepSea Fish Resource in The Indian Ocean 9-24 December 2003. Bogor

Agricultural University. Bogor. 2004.

Utami, E. W. 2003. Studi tentang Lapisan, Arah dan Kecepatan Renang Ikan Pelagis dengan Menggunakan Sistem Akustik Berkas Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Perairan Selatan Jawa Tengah-Lombok (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of South East Asian Waters. Naga Report Vol 2. The University of California. Scripps Institution of Oceanography. La jaolla. California


(2)

(3)

Lampiran 1. Kapal Riset Umitaka


(4)

(5)

Lampiran 3. Gambar CTD (Conductivity, Temperature, Depth ) tipe SBE 911plus


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 8 September 1982 Anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Otang dan Ibu Mumu Maemunah.

Tahun 1998-2001 penulis menempuh pendidikan lanjutan atas SMU Negeri 1 Tarogong Garut. Tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Fisheries Diving Club (FDC-IPB). Selain itu, penulis pun pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Widya Selam, Biologi Laut dan Ekologi Laut Tropis.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penentuan Perbedaan antara Ikan dengan Megaplankton melalui Analisis Beda Mean Volume Backscattering Strength (MVBS)”.