Evaluation of Compartments Using in Floating Cage Culture On The Level of Stress and Growth of Spiny Lobsters Panulirus homarus.

EVALUASI PEMANFAATAN KOMPARTEMEN DI
KERAMBA JARING APUNG TERHADAP TINGKAT STRES
DAN PERTUMBUHAN LOBSTER PASIR Panulirus homarus

DUDI LESMANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pemanfaatan
Kompartemen di Keramba Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan
Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus homarus adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Dudi Lesmana
NIP C151110211

RINGKASAN
DUDI LESMANA. Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring
Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus
homarus. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan KUKUH NIRMALA.
Masih ditemukan kelemahan pada budidaya lobster pasir yaitu tingkat
kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang rendah, hal ini diduga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti tingkat stres yang ditimbulkan dari media budidaya
yang digunakan seperti pemeliharaan lobster pasir di jaring tanpa menggunakan
shelter, padahal shelter berguna sebagai tempat berlindung dari kanibalisme.
Sehingga diperlukan inovasi pengembangan wadah budidaya lobster yang dapat
meninimalisir tingkat stres dan meningkatkan pertumbuhan seperti membuat
kompartemen khusus yang di lengkapi dengan shelter.
Kompartemen pada penelitian ini dibuat dari fiber berbentuk kubus yang
digantungkan dalam keramba jaring apung dan lobster pasir yang digunakan pada
penlitian ini berukuran ± 50gr/ekor yang berasal dari tangkapan nelayan sekitar

perairan Pelabuhan Ratu. Adapun pakan yang diberikan berupa pakan ikan rucah
jenis ikan tembang dengan kadar protein 63.22% dan pemeliharaan lobster pasir
dilakukan selama 30 hari.
Parameter uji yang diamati selama penelitian terdiri atas tingkat stres
(kadar kortisol dan glukosa dalam hemolim), laju pertumbuhan relatif, laju
pertumbuhan spesifik, tingkat kelangsungan hidup, tingkah laku dan kualitas
perairan. Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari perlakuan kontrol (K) dimana
lobster pasir dipelihara di jaring tanpa menggunakan kompartemen dan shelter
dengan kepadatan 20 ekor/m2, perlakuan KM1 dimana lobster pasir dipelihara
menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 25 ekor/m2 dan
perlakuan KM2 dimana lobster pasir dipelihara menggunakan kompartemen dan
shelter dengan kepadatan 50 ekor/m2. Data kadar kortisol, glukosa, pertumbuhan
dan tingkat kelangsungan hidup, dianalisis menggunakan ANOVA dengan uji
lanjut menggunakan uji Tukey. Adapun software yang digunakan untuk analisis
data adalah MINITAB 16.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat stres lobster pasir tertinggi
adalah pada perlakuan kontrol, hal ini terlihat dari tingginya kadar kortisol
(1.59±0.28 nmol/l) dan kadar glukosa (17.13±1.27mg/dl), sedangkan terendah
adalah pada perlakuan KM1 dengan kadar kortisol (1.17±0.14 nmol/l) dan kadar
glukosa (8.34±0.5 mg/dl). Tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah pada

perlakuan KM2 (95±0.03%) dan terendah pada perlakuan kontrol (62.50±0.02%).
Pengamatan pertumbuhan meliputi laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan
spesifik, dimana laju pertumbuhan relatif (26.29±1.69%) dan laju pertumbuhan
spesifik (0.77±0.014) pada perlakuan KM1 adalah tertinggi, sedangkan laju
pertumbuhan relatif (13.51±4.47%). dan laju pertumbuhan spesifik (0.42±0.13)
terendah adalah pada perlakuan KM2.
Pemeliharaan lobster pasir menggunakan kompartemen dan shelter
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan lobster pasir yang
dipelihara tanpa menggunakan kompartemen dan shelter. Lobster pasir yang
dipelihara di jaring tanpa kompartemen dan shelter cenderung lebih stres sehingga
berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup.

Laju pertumbuhan relatif memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat
stres, hal ini terlihat dari menurunnya kadar kortisol dan glukosa ketika ada
peningkatan laju pertumbuhan relatif. Kadar kortisol dan glukosa pun memiliki
hubungan yang positif, dimana peningkatan kadar
kortisol diikuti oleh
peningkatan kadar glukosa, hal ini sesuai dengan pendapat Hemre and Krogdahl
(1996) dan Falahatkar and Barton (2007) bahwa kortisol dapat meningkatkan
kadar glukosa pada hemolim, gangguan pada sekresi kortisol dapat mengubah

respon nilai glukosa dan peningkatan glukosa dapat dikaitkan dengan perbedaan
mekanisme aksi dari kortisol.
Lobster pasir yang dipelihara menggunakan kompartemen menunjukkan
pola tingkah laku yang normal seperti berlindung pada shelter pada pagi sampai
dengan siang hari, bergerombol antar sesama, mengambil pakan walaupun pakan
diberikan pada pagi dan siang hari, sebagian lobster ada yang membawa pakan
tersebut ke dalam shelter, merambat ke atas kompartemen dan melakukan
aktivitas molting
Kata kunci: kompartemen, shelter, tingkat stres, pertumbuhan, lobster pasir

SUMMARY
DUDI LESMANA. Evaluation of Compartments Using in Floating Cage Culture
On The Level of Stress and Growth of Spiny Lobsters Panulirus homarus.
Supervised by EDDY SUPRYONO and KUKUH NIRMALA.
Still found weaknesses in survival rates and low productivity of spiny
lobster, it is thought to be influenced by environmental factors such as stress
levels arising from the cultivation of media used such as maintenance of the spiny
lobster captured without the use of shelters, but shelter is useful as a shelter of
cannibalism. So that the necessary development innovation of lobster container
that can minimalized of stress levels and increase productivity such as making

special compartment equipped with shelter.
Compartments in this study is made of fiber-shaped cube that hung in
floating net cages and lobster-sized used is ± 50gr/lobster derived from fishermen
around the waters of Pelabuhan Ratu with the feed is trash fish with protein levels
of 63.22%. Maintenance performed using a compartment in floating cages for 30
days.Test parameters were observed during the study consisted of the level of
stress (kortisol and glucose levels in the hemolim), survival rates, weight gain,
specific growth rate, behavior and quality of water. Experimental design applied
in this study is completely randomized design. Treatments of this study consisted
of (1) control treatment (K) that spiny lobsters were kept/cultivated in nets that did
not use compartment and shelter with density of 20 lobster/m2, (2) KM1 treatment
that spiny lobsters were cultivated used compartment with density of 25
lobsters/m2 and (3) KM2 treatment that spiny lobsters were cultivated used
compartment and shelter with density 50 lobster /m2. Data of cortisol glucose and
levels, survival and growth, were analyzed using ANOVA and with helped of
software MINITAB 16.
The results showed that the highest stress levels of spiny lobsters was
found in control treatment, it was shown by the high levels of cortisol (1.59±0.28
nmol/l) and glucose (17.13±1.27 mg/dl), while the lowest stress levels was found
in KM1 treatment with cortisol (1.17±0.14 nmol/l) and glucose level (8.34±0.5

mg/dl). The highest survival rate of spiny lobsters was found in KM2 treatment
(95±0.03%) and the lowest survival rate was found in the control treatment (62.50
±0.02%). The highest weight gain (26.29±1.69%) and highest specific growth rate
(0.77±0.014%) were found in KM1 treatment, while the lowest weight gain
(13.51±4.47%) and lowest specific growth rate (0.42±0.13%) was found in KM2
treatment. Spiny lobsters growths were cultivated using compartments and
shelters was better than without using compartments and shelters. Spiny lobsters
cultivated in floating nets without using compartments and shelters tend to be
more stressful and caused decreasing of the growth and survival rates.
Weight gain has a strong relationship with cortisol and glucose levels.
Decreased levels of stress (cortisol and glucose levels) due to increase in growth
Cortisol and glucose levels have a positive correlation, meaning that the increase
cortisol levels followed by increased of glucose levels, which is in line with the
opinion and Krogdahl Hemre (1996) and Falahatkar and Barton (2007) that
cortisol can increase the levels of glucose in the haemolymph, disturbances in
cortisol secretion may alter the response of glucose and increase glucose values

can be attributed to differences in the mechanism of action of cortisol.
Spiny lobsters cultivated using compartment showed normal behavior patterns
such refuge in shelters in the morning until noon, huddled among others, took the

feed even though the feed was given in the morning and during the day, mostly
lobster there that bring the feed into the shelter, creeping to the upper
compartment and moulting activities.
Keywords: compartments, shelter, stress levels, growth, spiny lobster

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EVALUASI PEMANFAATAN KOMPARTEMEN DI
KERAMBA JARING APUNG TERHADAP TINGKAT STRES
DAN PERTUMBUHAN LOBSTER PASIR Panulirus homarus

DUDI LESMANA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi: Dr Ir Tatag Budiardi, MSi

Judul Tesis

Nama

Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring
Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir
Panulirus homarus

Dudi lesmana

NRP

C151110211

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen
Budidaya Perairan

Dr Ir Sukenda, MSc

Tanggal Ujian: 12 Juli 2013


Tanggal Lu1us:

o2 AUG 2013

Judul Tesis

:

Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung
Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus
homarus

Nama
NRP

:
:

Dudi lesmana

C151110211

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
Ketua

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen
Budidaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sukenda, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

12 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba
Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus
homarus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono dan Dr
Ir Kukuh Nirmala, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada rekan-rekan yang banyak membantu selama penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan anak-anak
serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Dudi Lesmana

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Panulirus homarus
Kepadatan, Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Kualitas Air
Kadar Kortisol dan Glukosa Krustasea (Indikator Respon Terhadap
Stres)
Keramba Jaring Apung dan Kompartemen
3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Budidaya Panulirus homarus
Parameter Uji
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat stres lobster pasir
Kadar Kortisol
Kadar Glukosa
Pertumbuhan
Pertumbuhan Relatif
Laju Pertumbuhan Spesifik
Kelangsungan Hidup
Pola Hubungan Antara Pertumbuhan dan Tingkat Stres
Pola Tingkah Laku
Parameter Kualitas Air
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

1
1
2
2
2
2
2
2
4
6
8
9
9
9
10
10
10
10
12
12
12
12
13
14
14
14
15
15
16
18
20
20
20
21

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

21
22
31

xiv

DAFTAR TABEL
1 Metode Analisis Kualitas Air
2 Pola tingkah laku lobster pasir selama pemeliharaan

10
16

DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi Panulirus homarus
2 Rerata kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan
3 Rerata kadar glukosa lobster pasir pada setiap perlakuan
4 Laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan
5 Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir pada setiap kepadatan
6 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada setiap perlakuan
7 Pola hubungan antara pertumbuhan dengan tingkat stres
8 Data suhu harian
9 Data salinitas harian
10 Data pH harian
11 Data DO harian
12 Data rata-rata kualitas air

3
12
13
14
15
15
16
17
17
18
18
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Pengambilan hemolim di bagian pleopod lobster pasir
Prosedur analisis glukosa hemolim
Prosedur spektrofotometri pengukuran kadar glukosa
Kadar glukosa lobster pasir pada setiap perlakuan
Kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan
Pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan
Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir pada setiap perlakuan
Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada setiap perlakuan
Analisis ragam dan uji lanjut untuk kadar kortisol lobster pasir pada
setiap perlakuan
10 Analisis ragam dan uji lanjut untuk kadar glukosa lobster pasir pada
setiap perlakuan
11 Analisis ragam dan uji lanjut untuk laju pertumbuhan relatif lobster pasir
pada setiap perlakuan
12 Analisis ragam dan uji lanjut untuk laju pertumbuhan spesifik lobster
pasir pada setiap perlakuan
13 Analisis ragam dan uji lanjut untuk tingkat kelangsungan hidup lobster
pasir pada setiap perlakuan

25
25
25
26
26
27
27
27
27
29
29
29
30

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan komoditas ekspor dengan
nilai ekonomis tinggi dan banyak tertangkap di perairan Indonesia. Lobster pasir
sangat diminati oleh pasar setelah spesies lobster mutiara (Panulirus ornatus).
Permintaan pasar akan lobster pasir sangat signifikan dan terus meningkat, harga
yang dibayarkan ke eksportir cukup baik; P. homarus dihargai Rp 250,000-Rp
300,000/kg (Suastika et al. 2008).
Permintaan pasar yang meningkat ini berdampak terhadap peningkatan
eksploitasi lobster pasir di alam, yang apabila tidak dikendalikan dapat mengarah
pada overfishing dan penurunan jumlah lobster di perairan. Menurut Kementerian
Kelautan dan Perikanan (2011), tercatat terjadi penurunan udang tangkapan
(udang+lobster) sebesar 2.97% untuk periode tahun 2007-2011, produksi udang
tangkapan (udang+lobster) pada tahun 2007 adalah sebesar 258.98 ton, menurun
menjadi 228.87 ton pada tahun 2011. Untuk menghindari kegiatan overfishing ini
beberapa nelayan mulai membudidayakan lobster pasir di keramba jaring apung.
Kegiatan budidaya lobster di keramba jaring apung (KJA) mulai
berkembang baik di Indonesia dan negara lain, seperti Selandia Baru. Usaha
pembesaran lobster di Kabupaten Lombok menggunakan KJA masih terdapat
kelemahan, yaitu KJA tidak dilengkapi shelter dan tingkat kelangsungan hidup
yang dicapai masih rendah (40-50%) (Suastika et al. 2008). Begitupun dengan
usaha pembesaran lobster pasir di Kabupaten Sukabumi, lobster dipelihara
langsung di dalam jaring tanpa shelter dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar
40-60%.
Tingkat kelangsungan hidup dan produktivitas yang rendah, hal ini di duga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tingkat stres yang ditimbulkan dari
media budidaya yang digunakan seperti pemeliharaan lobster pasir di jaring tanpa
menggunakan shelter, padahal shelter berguna sebagai tempat berlindung dari
kanibalisme. Faktor lingkungan yang tidak mendukung seperti wadah yang tidak
sesuai, kepadatan yang tidak optimum, tidak menggunakan shelter untuk tempat
berlindung, diduga akan menyebabkan stres yang menginduksi pada tingginya
kadar kortisol dan glukosa, selanjutnya menganggu pertumbuhan lobster pasir.
Peningkatan kortisol memberikan efek terhadap pertumbuhan, kondisi fisiologis
dan respon stres (Barton et al. 1987). Hiperglisemia merupakan indikator
terjadinya stres awal, karena kadar glukosa sangat sensitif terhadap hormon stres.
Beberapa peneliti telah melakukan inovasi pengembangan keramba jaring apung
untuk budidaya lobster dalam rangka meningkatkan tingkat kelangsungan hidup.
Jeff and James (2001) telah membuat kompartemen menggantung berbentuk
tabung (0.4m x 0.3m) dan kubus (0.31m x 0.38m) sebagai wadah pembesaran
lobster di perairan Hauraki Gulf dan Waltemata Harbour, Selandia Baru dengan
tingkat kelangsungan hidup 22-49%. Rendahnya nilai kelangsungan hidup
menjadi alasan dilakukan penelitian ini dan menjadi masukan didalam melakukan
inovasi baru dengan membuat kompartemen baru berukuran 1m x 1m x 1m
dengan kepadatan yang berbeda yaitu kepadatan 25 ekor/m2 dan 50 ekor/m2.

2

Perumusan Masalah
Lobster pasir P. homarus sudah mulai dibudidayakan di beberapa wilayah
Indonesia seperti Kabupaten Lombok dan Sukabumi. Dalam perkembangannya,
seringkali tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan
besarnya pengaruh faktor eksternal (wadah budidaya) dan internal (tingkat stres).
Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang dapat menimimalisir tingkat stres dan
menghasilkan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang baik dengan
memanfaatkan kompartemen dan shelter pada saat pemeliharaan. Dengan
demikian dapat disimpulkan apakah pemanfaatan kompartemen ini berdampak
pada tingkat stres dan pertumbuhan P. homarus.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keragaan kortisol dan glukosa
(indikator stres) lobster pasir dalam merespon penggunaan kompartemen,
menganalisis laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup lobster pasir, dan
mengevaluasi tingkah laku lobster pasir selama pemelihaaraan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah bagi
masyarakat tentang tingkat stres dan pertumbuhan lobster pasir (P. homarus) yang
dipelihara menggunakan kompartemen dan shelter, sehingga dapat membantu
para pembudidaya dalam meningkatkan produktivitas lobster pasir saat panen.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah diduga ada pengaruh pemanfaatan
kompartemen dan kepadatan terhadap tingkat stres dan laju pertumbuhan dari
lobster pasir P. homarus.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Panulirus homarus
Lobster pasir Panulirus homarus merupakan salah satu Spiny lobster
dengan klasifikasi menurut Wikipedia (2012) adalah sebagai berikut:
Filum
: Arthoproda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malocostraca

3

Ordo
Famili
Genus
Species

: Decapoda
: Palinuridae
: Panulirus
: Panulirus homarus

Lobster pasir dapat diidentifikasi dengan melihat pola-pola pewarnaan
tubuh, ukuran dan bentuk kepala. Selain itu, pola-pola duri di kepala, dapat juga
dijadikan sebagai tanda spesifik dari setiap jenis lobster. Lobster pasir mudah
dibedakan dari jenis udang lain, karena kulitnya yang kaku dan keras dan
berwarna indah, sedangkan kulit udang biasa tipis, bening dan tembus cahaya.
Kulit Lobster pasir yang keras dan berwarna indah sebenarnya tidak mengandung
zat-zat warna hidup. Sifat-sifat pewarnaan yang indah sebenarnya disebabkan oleh
zat warna yang dipancarkan oleh butir-butir warna (chromatoblast) pada lapisan
kulit lunak yang ada dibawahnya (Subani 1978)
Bentuk fisik lobster pasir hampir sama dengan jenis udang karang lainya
yaitu secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bagian depan disebut
(cephalotorax) dan bagian belakang disebut abdomen. Seluruh tubuh lobster
dilindungi oleh kerangka luar (cangkang) yang keras dan terbagi atar ruas-ruas.
Bagian depan (kepala dan dada) terdiri atas tiga belas ruas dan bagian badan
terdiri atas enam ruas. Pada bagian kepala (rostrum) terdapat organ seperti rahang
(mandibula), insang, mata majemuk, antenulla, antenna dan lima pasang kaki
jalan (pereiopoda). Pada bagian badan terdapat lima pasang kaki renang
(pleopoda) dan sirip ekor (uropoda) (Gambar 1).
Lobster pasir memiliki dua buah antena, dimana antena kesatu lebih kokoh,
panjang dan ditutupi duri yang berfungsi sebagai perlindungan. Hal ini terlihat
saat lobster merasa terancam, yaitu dengan reaksi menyilangkan kedua antena
tersebut. Antena yang kedua berukuran lebih pendek, tidak berduri, bercabang dan
lebih halus. yang berfungsi sebagai indera perasa yang cukup peka terhadap
rangsangan suara, cahaya dan bau (Subani 1978)

Gambar 1 Lobster Pasir P.homarus (FAO 2012)

4

Kepadatan, Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Kualitas Air
Kepadatan, pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kualitas air adalah
parameter yang selalu berkaitan satu sama lain. Padat penebaran erat kaitannya
dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling 1971). Hepher dan Pruginin
(1981) menyatakan hasil panen per unit area merupakan fungsi dari laju
pertumbuhan dan padat penebaran. Ketika pertumbuhan yang terjadi tidak
dipengaruhi oleh padat tebar ikan, maka hasil akan meningkat secara linier sejalan
dengan peningkatan padat tebar. Pada titik ketika intake pakan hanya mencukupi
untuk pemeliharaan tubuh namun tidak cukup untuk pertumbuhan, maka
peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Selama
penurunan pertumbuhan tersebut tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan
padat tebar maka hasil akan tetap meningkat meski tidak terjadi secara linier.
Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi semakin besar maka penurunan hasil
akan terjadi hingga mencapai tingkat pertumbuhan nol. Hal ini berarti bahwa hasil
ikan yang ditebar mendekati nilai carrying capacity atau daya tampung
maksimum wadah budidaya.
Secara definisi, pertumbuhan merupakan perubahan ukuran, baik bobot
maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu dan kelangsungan hidup
suatu populasi merupakan nilai persentase jumlah organisme yang hidup dari
jumlah yang ditebar dalam suatu wadah selama masa pemeliharaan tertentu
(Effendie 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor utama: (1) faktor
internal yang berkaitan dengan organisme itu sendiri meliputi karakteristik genetik
dan kondisi fisiologis, serta (2) faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan
diantaranya komposisi kimia air, suhu, tingkat metabolisme, ketersediaan oksigen
dan pakan. Pertumbuhan akan terhenti saat mencapai carrying capacity jika
ketersediaan pakan hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh, namun tidak
mencukupi untuk pertumbuhan. Untuk menjaga tingkat potensial pertumbuhan
terhadap critical standing crop (CSC), jumlah pakan harus ditingkatkan atau
dengan penambahan food suplement. Cara lain untuk menjaga tingkat potensial
pertumbuhan adalah dengan mengurangi tingkat kepadatan (Hepher and Pruginin
1981).
Tingkat kelangsungan hidup lobster menentukan jumlah produksi yang
diperoleh. Kepadatan yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya kualitas air
terutama kandungan oksigen terlarut dan konsentrasi amoniak. Penurunan kualitas
air bisa menyebabkan stres pada lobster, bahkan apabila penurunan mutu air
telah melampaui batas toleransi maka akan berakibat pada kematian. Selain itu
penurunan mutu air juga dapat mempengaruhi nafsu makan. Saat nafsu makan
berkurang, asupan pakan ke dalam tubuh ikan pun berkurang sehingga energi
untuk pemeliharaan dan pertumbuhan tidak terpenuhi. Hal ini bila berlangsung
lama akan menyebabkan kematian (Effendi 2004).
Menurut Effendie (1997), pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan
ukuran panjang atau bobot tubuh dalam suatu waktu dan dapat dibedakan
menjadi dua jenis pertumbuhan yaitu pertumbuhan kontinu dan diskontinu.
Pertumbuhan kontinu adalah pertambahan panjang dan bobot tubuh dalam suatu
waktu secara berkesinambungan. Pertumbuhan diskontinu adalah pertambahan
panjang dan bobot tubuh yang terjadi secara berkala setelah molting, umumnya
terjadi pada krustasea. Pertumbuhan tersebut juga dipengaruhi oleh kualitas air,

5

nutrisi serta ruang gerak. Pertumbuhan, kelangsungan hidup, produksi dan
konversi pakan dapat diperbaiki dengan adanya penambahan substrat tambahan
atau habitat buatan dalam wadah. Adanya shelter memudahkan lobster untuk
mencari perlindungan saat molting, sehingga bisa memacu pertumbuhan karena
pertumbuhan lobster ini tidak akan terjadi tanpa didahului dengan ganti kulit atau
molting.
Lobster mengalami pergantian kulit selama hidupnya sehingga panjang
tubuhnya bertambah panjang. Aktivitas molting pada lobster berfungsi selain
untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan, juga untuk proses pematangan
gonad terutama pada induk, sehingga akan cepat menghasilkan telur. Molting juga
untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau patah. Kaki atau capit
yang patah akan tumbuh normal kembali dengan cepat setelah molting. Namun
demikian kaki yang patah tersebut tidak sebesar kaki yang belum patah.
Sebagai hewan dengan eksekleton (kerangka luar), lobster perlu mengganti
kerangkanya tersebut bila tumbuh membesar, hal ini dilakukan lobster karena
kerangka luarnya tidak ikut tumbuh. Untuk itu lobster perlu harus keluar dari
kerangka lamanya dan membentuk kerangka baru. Molting merupakan proses
yang rumit. Dalam perjalannya proses ini melalui proses-proses yang bersifat
hormonal.
Laju pertumbuhan lobster secara internal tergantung pada kelancaran
proses ganti kulit dan tingkat kerja osmotik (osmoregulasi) uang dialaminya
(Hartnoll 1982). Proses ganti kulit dan osmoregulasi dikontrol oleh kerja sistem
neuroendokrin
yaitu: (a) Molt Inhibiting Hormone (MIH) dan hormon
osmoregulasi yang dikeluarkan oleh sel-sel neurosekresi organ-X dan kelenjar
sinus pada tangkai mata serta organ periokardial; (b) krustekdison atau Molt
Accelerating Hormone (MAH) yang dikeluarkan oleh organ-Y yang terletak
dibagian posterior rahang atas.
Sedangkan menurut Quackenbush (1986), diketahui bahwa ada 2 faktor
yang mempengaruhi molting pada krustasea yaitu faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal diantaranya; adanya stressor, nutrisi, photoperiod dan temperatur
sedangkan faktor internal terkait dengan produksi hormon ekdisteroid dan Molt
Inhibiting Hormone (MIH). Pelepasan hormon ekdisteroid oleh organ-Y yang
bervariasi berdasarkan stadium yang dilaluinya dalam siklus ganti kulit dan juga
tergantung pada kadar hormon ekdisteroid yang terdapat dalam hemolim.
Pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolim dapat dipengaruhi melalui
beberapa lintasan. Penelitian terhadap organ-Y dengan cara in vitro
memperlihatkan bahwa ekstrak tangkai mata dapat memperlambat atau
menghentikan pelepasan hormon eksdisteroid (Mattson and Spaziani 1985).
Berdasarkan sistem pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolim tersebut diatas
dan hubungannya dengan MIH. Zas 1992, telah membuat sebuah model sistem
pengaturan neuroendokrin, yaitu interaksi antara organ-X, kelenjar sinus dan
organ-Y. Faktor lingkungan termasuk didalamnya stres akan mengaktifkan neuron
serotonergik tangkai mata yang merangsang komplek sel-sel neurosektori organ X
(XO) - kelanjar sinus (SG) untuk melepaskan MIH. MIH dalam hemolim
berikatan dengan permukaan reseptor sel organ-Y yang menyebabkan adenilat
siklase (AC) aktif dan mengubah ATP menjadi cAMP (siklik AMP). Produksi
hormon ekdison dan kolesterol akan ditekan oleh cAMP. Pengaruh yang
berlawanan ditimbukan oleh kalsium (Ca) yang berikatan dengan kamodulin akan

6

mengaktifkan enzim cAMP-fosfodiesterase membentuk 5 AMP, sehingga
produksi ekdison dapat ditingkatkan kembali. Kenaikan kadar kalsium pada awal
ganti kulit dan akan turun kembali pada saat ganti kulit , keadaan ini berhubungan
dengan perubahan ekdisteroid hemolim.
Keberhasilan usaha budidaya lobster pasir di keramba jaring apung tidak
dapat terlepas dari kondisi lingkungan sekitarnya, terutama kualitas air sebagai
media yang secara langsung mempengaruhi aktivitas budidaya lobster pasir.
Kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi pertumbuhan krustasea adalah 5 mg/l.
Meskipun demikian, kandungan oksigen telarut 4.21 hingga 5.43 mg/l masih
dapat memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik (Boyd 1982).
Tingkat pertumbuhan antar spesies lobster bervariasi, suhu air sangat
mempengaruhi pertumbuhan juvenil lobster. Secara umum lobster dalam air
hangat dapat tumbuh pada tingkat tercepat. Berbagai macam suhu telah ditolerir
oleh lobster. Suhu di atas ambien (tetapi sampai maksimum) biasanya
menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, lebih besar daripada yang terlihat di
alam liar. Menurut (Philips and Kiitaka 2000), pertumbuhan optimal dalam
juvenil terjadi pada sekitar 18-200C (untuk J. edwardsii dari Australia) sampai 29300C (P.argus dari Antigua). Pertumbuhan yang lebih cepat terutama berasal dari
frekuensi molting yang tinggi.
Lobster pasir merupakan biota air yang dapat mentolerir nilai salinitas,
karena lobster pasir merupakan spesies palinurid poikilosmotik yaitu masih bisa
mentolerir salinitas diperairan laut sampai 20% dibawah salinitas laut selama
beberapa hari. Salinitas air laut yang mempengaruhi rasa daging lobster berduri
(Philips and Kiitaka, 2000). Kebutuhan oksigen lobster juga akan meningkat saat
mengkonsumsi makanan dan kebutuhan oksigen pada malam hari jauh lebih
tinggi dibandingkan siang hari. Tingkat oksigen yang rendah (0.5 dan 3.0 mg/l)
dapat mematikan lobster. (Philips and Kiitaka 2000).

Kadar Kortisol dan Glukosa Krustasea
(Indikator Respon Terhadap Stres)
Stres adalah fenomena biologi yang non-spesifik dari suatu perubahan
lingkungan atau
faktor-faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi
homeostasis, dimana konstalasi proses perubahan secara stabil tersebut akan
mempengaruhi proses fisiologis yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan fisik bahkan kematian (Pickering 1981). Lebih lanjut, menurut Adams
(1990) mengemukakan bahwa stres didefinisikan sebagai pengaruh beberapa
perubahan lingkungan yang memperluas homeostasis atau proses penstabilan
diluar batas normalnya pada berbagai tingkat organisasi biologi.
Menurut Pickering (1981), penyebab stres atau stressor dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Perubahan lingkungan (environmental change), yang terdiri dari perubahan
suhu, kepadatan, salinitas, perubahan tekanan air, polusi, pH, penyakit,
perubahan arus air, muatan-muatan sedimen, konsentrasi DO dan
ketersediaan makanan
b. Penanganan (handling), seperti pemeliharaan tank, transportasi dan
pemindahan ikan dengan serok atau ember.

7

Penangkapan (capture) dengan pukat harimau, trammel net dan gill net.
Glukosa adalah karbohidrat yang memiliki peran yang besar dalam proses
bioenergetika hewan, dimana akan ditransformasikan menjadi energi kimia (ATP),
yang selanjutnya akan menjadi energi mekanik (Lucas 1996 in Martinez et al.
2009). Dalam kondisi suboptimum atau stres (internal atau eksternal) sel-sel akan
melepaskan hormon chromaffin katekolamin, adrenalin dan noradrenalin di dalam
sirkulasi hemolim. Hormon - hormon stres ini terkait mobilisasi kortisol dalam
meningkatkan produksi glukosa melalui jalur glukogenesis dan glikogenolisis
untuk mengatasi energi yang dihasilkan oleh stressor. Sebagian besar produksi
glukosa dimediasi oleh aksi kortisol yang merangsang glukoneogenesis hati dan
juga menghentikan serapan perifer gula (Wedemeyer et al. 1990 in Martinez et al
2009). Glukosa kemudian dilepaskan (dari hati dan otot) dari sirkulasi hemolim
dan masuk ke dalam sel melalui aksi insulin.
Beberapa faktor dapat secara tidak langsung mengubah respon kadar
glukosa dalam hemolim seperti status kelengkapan nutrisi dapat mempengaruhi
respon stres dan glukosa. Perlu mempertimbangkan faktor ekstrinsik seperti diet,
tahap kehidupan, waktu makan terakhir, musim, dll, karena faktor ini dapat
mempengaruhi komposisi glikogen di hati (Barton et al. 1988). Nilai nutrisi
merupakan faktor yang dapat memiliki efek dalam respon glukosa. Asupan diet
dengan lipid yang berbeda dan kadar protein mengakibatkan berbagai respon
glukosa hemolim (Cheng et al. 2006). Kadar dan tahap pengembangan Glukosa
juga bervariasi antara spesies (Hemre et al. 2002).
Woodward and Strange (1987) mengamati kortisol ikan trout pelangi
mengalami peningkatan 3 kali lebih besar dari ikan hatchery saat terkena
perlakuan wadah yang bersih dan kejutan listrik. Di sisi lain seperti yang
dinyatakan sebelumnya, stres hormon seperti katekolamin, kortisol dan lain-lain
dapat dipengaruhi oleh faktor internal atau kondisi eksternal (Anoxia, polusi, stres
nutrisi, stres fisik).
Kortisol dikenal untuk meningkatkan glukosa pada hemolim, gangguan
pada sekresi kortisol dapat merubah respon nilai glukosa. Beberapa penulis
berpendapat bahwa peningkatan glukosa dapat dikaitkan dengan perbedaan
mekanisme aksi dari kortisol. Penurunan glukosa terkait dengan menipisnya
cadangan energi, tetapi respon glukosa masih lebih bervariasi dibandingkan
dengan respon kortisol. Biasanya peningkatan glukosa dalam plasma tidak secepat
untuk kortisol. Banyak peneliti mendokumentasikan peningkatan glukosa dalam
menit atau hari setelah stres (Hemre & Krogdahl 1996, Falahatkar & Barton 2007)
karena kortisol memicu produksi glukosa.
Kortisol adalah glukokortikoid utama yang disekresikan oleh jaringan
interrenal (sel steroidogenik) dan terletak di ginjal. Hormon ini dilepaskan oleh
aktivasi dari sumbu hipotalamus-hipofisis-interrenal (HPI axis). Ketika suatu
organisme mengalami kondisi stres, hipotalamusrilis corticotropin-releasing
factor
(CRF)
terhadap
sirkulasi
hemolim
merangsang
sekresi
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior yang
akhirnya mengaktifkan pelepasan kortisol oleh jaringan interrenal (Mommsen et
al. 1999 in Martinez et al. 2009).
Sekresi kortisol lebih lambat dari katekolamin, namun efeknya lebih lama
(Gamperl et al. 1994a). Kortisol mengaktifkan proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan menyebabkan sel chromaffin meningkat sehingga terjadi

c.

8

pelepasan katekolamin yang akan lebih meningkatkan glikogenolisis dan
memodulasi kardiovaskular dan fungsi pernafasan. Beberapa faktor luar yang
dapat mempengaruhi berbagai fungsi biosintesis kortisol adala warna lingkungan
(Van der Salm et al. 2004) dan intensitas cahaya yang tinggi (Rotllant et al. 2003)
dilaporkan memiliki efek pada sekresi kortisol. Intensitas cahaya yang lebih tinggi
didokumentasikan pada ikan Pargus pargus yang menyesuaikan diri dalam warna
tank hitam dibandingkan dengan warna tank abu-abu dan putih saat ikan terkena
stres kepadatan.
Besarnya respon stres pada beberapa spesies bervariasi baik sebelum
maupun sesudah aklimatisasi (Stouthart et al. 1998). Menurut Koldkjær et al.
(2004) ada perbedaan jumlah plasma kortisol pada ikan Rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) ketika di bulan hangat dan bulan dingin. Stouthart et al.
(1998) menyatakan bahwa suhu pemeliharaan untuk telur dan larva ikan dapat
mempengaruhi induksi respon kortisol. Perbedaan intensitas respon mungkin
terjadi pada organisme domestikasi dibandingkan dengan yang berasal dari alam
tanpa domestikasi (Jentoft et al. 2005). Hati adalah organ utama untuk
pembuangan kortisol dengan sistem hepato-bilier sebagai jalur biokimia utama
(Wilson et al. 1998). Dengan demikian, uji kortisol adalah pilihan yang baik
dalam percobaan stres akut, tetapi diperlukan untuk mengukur kortisol pasca stres
dan sehingga probabilitas lebih tinggi dan terlihat signifikansinya.
Beberapa bahan kimia dapat mempengaruhi jalur metabolisme yang pada
akhirnya akan mempengaruhi saraf dan fungsi jaringan interrenal. Maka sekresi
kortisol dapat dipengaruhi oleh kontaminan lingkungan karena bahan kimia dapat
mengakibatkan sekresi ACTH bioaktif, yang pada gilirannya akan merilis kortisol
pada jaringan interrenal (Aluru et al. 2004).

Keramba Jaring Apung dan Kompartemen
Kegiatan budidaya lobster di keramba jaring apung mulai berkembang
baik di Indonesia maupun negara lain seperti Selandia Baru. Desain keramba
jaring apung untuk usaha budidaya lobster telah dibuat dan dimodifikasi sesuai
jenis lobster dan karakteristik lokasi agar mudah diaplikasikan, aman dan dapat
meningkatkan nilai ekonomi. Kondisi di Kabupaten Lombok, keramba jaring
apung dilengkapi dengan shelter rumput laut dalam rangka menghindari atau
mengurangi kanibalisme antar sesama lobster saat molting. Namun demikian,
tingkat kelangsungan hidup yang dicapai masih rendah (≥ 60%) (Suastika et al.
2008). Adapun usaha pembesaran lobster pasir dalam keramba jaring apung
(KJA) telah berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sukabumi khususnya
di sekitar pantai Pelabuhan Ratu sejak tahun 2007. Namun metode wadah masih
konvensional, keramba jaring apung yang dibuat berbentuk rakit tanpa
menggunakan shelter.
Tingkat kelangsungan hidup dan produktivitas yang rendah, hal ini di duga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tingkat stres yang ditimbulkan dari
media budidaya yang digunakan seperti pemeliharaan lobster pasir di jaring tanpa
menggunakan shelter, padahal shelter berguna sebagai tempat berlindung dari
kanibalisme. Jeff and James (2001) telah melakukan inovasi pengembangan
wadah budidaya lobster dalam rangka meningkatkan tingkat kelangsungan hidup

9

dengan membuat kompartemen menggantung berbentuk tabung (0.4m x 0.3m)
dan kubus (0.31m x 0.38m) sebagai wadah pembesaran lobster di perairan
Hauraki Gulf dan Waltemata Harbour, Selandia Baru dengan tingkat
kelangsungan hidup 22-49%.

3 METODE
Metode penelitian yang digunakan berupa percobaan lapangan, dengan
objek penelitian lobster pasir Panulirus homarus yang diberikan perlakuan
perbedaan wadah budidaya dan kepadatan. Perlakuan yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan yaitu: lobster pasir dipelihara tanpa
menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 20 ekor/m2 (K);
menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 25 ekor/m2 (KM1);
menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 50 ekor/m2 (KM2).
Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga diperoleh 6 unit percobaan.

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 hingga Januari
2013 di perairan Pelabuhan Ratu (Kawasan Wisata Cibangban), Desa Pasir Batu,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Analisis glukosa
dan kortisol dilakukan di Laboratorim Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorim Isotop Balai Penelitian Ternak
Kementerian Pertanian.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi juvenil lobster pasir
Panulirus homarus ukuran ± 50gr/ekor yang diperoleh dari nelayan di kawasan
wisata Cibangban dan pakan ikan tembang dan bahan untuk pengukuran kortisol
menggunakan kit yang diimport dari Negara Hungaria (Budapest).

Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan untuk
pengukuran kadar glukosa dan kortisol (evendop, alat suntik 1 ml, sampel bag,
plastik sampel, spektrofotometri, dan tabung sampel), pengamatan tingkat laku
(video underwater) dan kualitas air (YSI pro dan pH meter)

10

Prosedur Penelitian
Tahapan persiapan meliputi desain penelitian dan pembuatan desain wadah
khusus pembesaran lobster (kompartemen) dan penempatan shelter didalam
kompartemen. Adapun spesifikasi umum dari kompartemen dan shelter ini,
antara lain: bahan kompartemen terbuat dari fiber berbentuk kubus dengan ukuran
1x1x1 m, sedangkan shelter yang digunakan adalah pipa dengan diameter 15-20
cm dengan panjang pipa 50cm. Desain penelitian terdiri 6 kotak dengan kode K
(tanpa kompartemen dengan kepadatan 20 ekor/m2, KM1 (kompartemen dengan
kepadatan 25 ekor/m2), KM2 (kompartemen dengan kepadatan 50 ekor/m2).
Budidaya Panulirus homarus
Sebelum di beri perlakuan, lobster pasir diaklimatisasi terlebih dahulu
selama 2 hari. Setelah diaklimatisasi, lobster dipindahkan secara bersamaan dan
ke dalam wadah penelitian sesuai dengan tingkat kepadatan yang diterapkan.
Selama penelitian lobster diberi pakan ikan rucah dengan kadar protein 63.22%,
kadar lemak 9.09% dan BETN 12.95%. Untuk mengetahui pertumbuhan
dilakukan pengukuran bobot awal dan akhir penelitian. Pengukuran bobot
menggunakan timbangan.
Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi pengamatan dilakukan
pengukuran parameter kualitas air. Waktu sampling kualitas air dilakukan
bersamaan dengan sampling pengambilan sampel hemolim di titik kaki renang
(pleopod) paling belakang dekat abdomen (lampiran 1) yaitu pada hari ke 0, 7, 14,
dan 30. Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter kualitas air
tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode analisis kualitas air
No
Parameter
Jenis Sampel
1
Suhu
Air laut
2
Salinitas
Air laut
3
TDS
Air laut
4
DO
Air laut
5
pH
Air laut

Metode/alat
YSI Pro
YSI Pro
YSI Pro
YSI Pro
pH meter

Parameter Uji
a.

b.

Adapun parameter uji yang diamati selama penelitian adalah:
Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung berdasarkan rumus berikut
(Goddard 1996):
S=Nt.No-1 x 100%
S=tingkat kelangsungan hidup
Nt=jumlah lobster pada awal penelitian (ekor)
No=jumlah lobster pada akhir penelitian (ekor)
Pertumbuhan

11

Menurut Rao et al. (2010), parameter pertumbuhan meliputi pengukuran
parameter laju pertumbuhan relatif/weight gain (%) dan laju pertumbuhan
spesifik/specific growth rate (%) dengan rumus sebagai berikut:
- Laju pertumbuhan relatif/Weight Gain (%)
PR = (Wt-Wo)Wo-1 x 100%
PR = pertumbuhan relatif (%)
Wt = bobot ikan pada waktu t (gram)
Wo = bobot ikan pada waktu tebar (gram)
- Laju pertumbuhan spesifik/ SGR (%)
SGR = (ln Wt- ln Wo)t-1x 100%
Wt = bobot ikan pada waktu t (gram)
Wo = bobot ikan pada waktu tebar (gram)
t = waktu pemeliharaan
c.

Glukosa dan Kortisol

Tingkat stres lobster pasir selama pemeliharaan diukur dari kadar glukosa
dan kortisol. Pengukuran kadar glukosa dan kortisol ini dilakukan sebanyak 4
kali yaitu pada hari ke 0, 7, 14, dan ke-30. Pengambilan hemolim lobster diambil
pada pagi hari dengan cara mengambil hemolim di titik kaki renang (pleopod)
paling belakang dekat abdomen (Lampiran 1). Glukosa lobster diukur dengan
metode Wedemeyer & Yasutake (1977) dalam Hastuti et al. 2003.Sampel
hemolim yang ditampung dalam tabung evendop disentrifuse selama 10 menit
dengan kecepatan putaran 1000 rpm untuk memisahkan plasma hemolim.
Selanjutnya plasma hemolim sebanyak 0.5 ul ditambahkan ke dalam 3,5 ml
reagen warna ortho-toluidin dalam asam asetat glasial. Campuran tersebut
dimasukkan dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam suhu
ruang, konsentrasi glukosa hemolim diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 635 nm. Selanjutnya nilai absorbansinya dikonversi menjadi
kadar glukosa hemolim dalam mg/100 ml. Pengukuran kortisol dilakukan di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air IPB dengan menggunakan sistem RIA dengan
penggunaan KIT dari Negara Hungaria (Budapest).
Kadar glukosa hemolim lobster pasir dihitung berdasarkan persamaan
yang dikemukakan oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam Hastuti et al.
2003 sebagai berikut:
[GD]= AbsSp X [GSt]
AbsSt
Keterangan: [GD] = Konsentrasi glukosa hemolim (mg/dl)
AbsSp = Absorbansi sampel
AbsSt =Absorbansi standat
[GSt] = Konsentrasi glukosa standar (mg/dl)
d.

Tingkah Laku Lobster

Pengamatan tingkah laku lobster meliputi identifikasi pola makan, molting
dan proses kanibalisme. Pengamatan tingkah laku ini terekam melalui video
kamera bawah air. Kamera ini tahan terhadap air hingga kedalaman sekitar 20

12

meter, dilengkapi dengan sinyal 20 meter berisolasi dan kabel listrik, memiliki
kualitas CCD sensor gambar yang tinggi, dan kapasitas power yang besar,
dilengkapi kabel dengan panjang 20 meter dan SD Card untuk media
penyimpanan. Video yang disimpan dalam bentuk format Video Viewer.
Adapun spesifikasi video kamera ini adalah: Image Sensor: Color CCD
dengan Sensor Size: 1 / 4 Inch , color system: PAL , bidang sudut pandang: 92 deg
(f = 3.6mm, f/2.0), backlight dengan kompensasi: Auto Electronic Shutter: 1/50
~1/12, 000 detik, white balance: otomatis gamma koreksi:> 0.45, resolusi: 420 TV
lines (H), fitur max range untuk objects: 6-8 meter kondisi standar, 2-3 meter
dalam kegelapan, maksiimum kedalaman sampai dengan 20 meter, koneksi: BNC
atau RCA (termasuk coupler), video dan power cable: 20 meter panjang, jenis
kabel : tahan air, termasuk Wireless Transmitter, Transmision Range: 15m,
mengirimkan frekuensi: 2400~2483Mhz (frekuensi terkunci), jumlah saluran: 4,
sumber daya: baterai (1800mAH li-ion rechargeable ) dan dimensi: 95x150x40
Analisis Data
Data hasil penelitian tentang kadar glukosa, kortisol, laju pertumbuhan
relatif laju pertumbuhan spesifik dan tingkat kelangsungan hidup diolah dengan
ANOVA dan uji Tukey. Sofware yang digunakan untuk analisis data ini adalah
MINITAB 16.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tingkat Stres Lobster Pasir
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat stres lobster pasir,
maka perlu diketahui indikator stres akibat perlakuan. Dalam penelitian ini,
indikator stres yang diukur adalah kadar kortisol dan glukosa pada hemolim.
Kadar kortisol
Hasil pengukuran kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan
disajikan pada Gambar 2 dan Lampiran 4. Kadar kortisol tertinggi adalah pada
perlakuan K (kontrol tanpa kompartemen dan shelter) dengan kepadatan 20
ekor/m2 sebesar 1.59 nmol/l dan terendah pada kepadatan KM1 (kompartemen)
dengan kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 1.17 nmol/l. Hasil analisa sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar kortisol lobster
pasir pada tingkat kepercayaan (p>0.05) (Lampiran 9)
.

13

Kortisol (nmol/l)

2
1.59a
1.43a

1.5

1.17a

1
0.5
0
K

KM1

KM2

Perlakuan
Gambar 2 Rerata kadar kortisol lobster pasir Panulirus homarus

Kadar glukosa
Hasil pengukuran kadar glukosa dan lobster pasir pada setiap perlakuan
disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 5. Kadar glukosa tertinggi adalah pada
perlakuan K (kontrol tanpa kompartemen dan shelter) dengan kepadatan 20
ekor/m2 sebesar 17.31 mg/dl dan terendah pada kepadatan KM1 (kompartemen)
dengan kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 8.34 mg/dl. Hasil analisa sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap kadar glukosa lobster pasir
pada tingkat kepercayaan (p