Optimal management of floating net cage culture In Cirata Lake West Java Province

(1)

DI WADUK CIRATA PROVINSI JAWA BARAT

DISERTASI

URIP RAHMANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

PENGELOLAAN OPTIMAL

BUDIDAYA IKAN KARAMBA JARING APUNG (KJA)

DI WADUK CIRATA PROVINSI JAWA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

Urip Rahmani NIP. H 361060061


(3)

Cirata Lake West Java Province (YUSMAN SYAUKAT as Chairman, AKHMAD FAUZI and ACENG HIDAYAT as Members of the Advisory Committee)

Floating net cage culture activities in Cirata Lake have been increasing year by year. It is recorded that the number of floating net cage was only 74 cages in 1988, and it increased to 51,418 cages in 2008. West Java Provincial Regulation No. 41/2002 mentioned that only 12,000 cages are allowed to be established in Cirata Lake. Problems occured in lake is externality such as water quality degradation, algal bloom due to the eutrophication. At certain condition, up-welling leads into fish mass mortality. The objective of this study is (i) to compare the optimum input of floating cage net culture with and without externality costs, (ii) to evaluate the economical instruments due to the floating net cage culture management, (iii) to construct proper management of floating net cage culture based on lake sustainable aquaculture. Externality of floating net cage culture is mainly caused by accumulation of phosphorous compound at the lake bottom. Hence, removement of the sediment is required. Based on the model of cost fuction proposed for management of externality either with recovery cost or without recovery cost, it is found that the use of production input for management without recovery cost externality is much higher compared to that of management with recovery cost externality. On the other hand, fish production obtained by applying management with recovery externality is higher than that of without recovery externality. Besides, it is found that the carrying capacity of Cirata Lake is only one third of the present number of floating net cage. It is also found that the condition at beginning of aqauculture activities in Cirata Lake has been gradually changing from quasi open access quation to be an open access condition in 1994. Hence, a proper floating net cage culture management polecy is required. Stakeholders such as Badan Pengelola Waduk Cirata, Provincial/Regency Fisheries Services, Aquaculturist Club, Aquaculture Feed and Equipment Supplyers should be involved to contruct the management polecy. Keywords: floating net cage culture, optimum


(4)

vi

di Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, AKHMAD FAUZI dan ACENG HIDAYAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Kegiatan perikanan budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 1988 hanya 74 petak dan pada tahun 2008 KJA yang ada tercatat 51.418 petak. SK Gubernur Jawa Barat No.41/2002 menetapkan bahwa jumlah petak KJA di Waduk Cirata maksimal 12.000 petak. Permasasalahan yang timbul dari kondisi ini adalah timbulnya eksternalitas berupa penurunan kualitas perairan, meningkatnya algae-blooming disebabkan pola pemberian pakan yang intensif, up-welling yang menimbulkan kematian ikan secara massal pada waktu tertentu

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Membandingkan penggunaan input optimal budidaya ikan KJA dengan dan tanpa menginternalisasikan biaya eksternalitas. (2) Mengevaluasi instrumen ekonomi dalam pengelolaan budidaya ikan KJA yang meningkatkan kinerja teknis dan ekonomis waduk. (3) Merumuskan kebijakan dalam pengelolaan budidaya ikan KJA yang berorientasi pada pemeliharaan fungsi Waduk Cirata berkelanjutan.

Model pengelolaan budidaya ikan KJA yang menyertakan biaya recovery eksternalitas dalam biaya produksinya memberikan hasil yang lebih baik pada sisi jumlah input benih ikan mas, jumlah pakan dan jumlah hari orang kerja tenaga kerja dibandingkan dengan model pengelolaan budidaya ikan tanpa menyertakan biaya recovery eksternalitas.

Secara teknis, pengelolaan budidaya ikan KJA yang menyertakan biaya recovery eksternalitas di samping menurunkan jumlah input produksi, ternyata juga meningkatkan jumlah produksi. Sedangkan dilihat dari sisi ekonomis, terjadi penurunan biaya produksi dan meningkatnya jumlah penerimaan yang diperoleh petani. Selain itu tidak terdapat kerugian yang dialami petani dalam memproduksi ikan mas, sedangkan bila pengelolaannya tidak menyertakan biaya recovery beberapa petani masih mengalami kerugian dalam berproduksi.

Besarnya daya dukung perairan Waduk Cirata untuk produksi ikan mas yang dihitung berdasarkan data perairan selama tahun 2011, jumlah KJA yang dapat beroperasi untuk model pengelolaan budidaya ikan KJA yang menyertakan biaya recovery dalam produksinya lebih besar dibandingkan dengan model yang tidak menyertakan biaya recovery eksternalitas.

Instrumen Ekonomi yang dapat diterapkan untuk pengelolaan optimal Waduk Cirata adalah penerapan Kuota Produksi dan Pajak Lingkungan. Kuota Produksi ditetapkan berdasarkan daya dukung lingkungan dan akan bertambah sejalan dengan makin meningkatnya kualitas perairan Waduk Cirata. Kuota ini nantinya akan ditetapkan besarannya bagi petani, sehingga pada satu musim tanam, tidak semua petani ikan KJA menanam ikan. Pengawasan atas kuota ini dilangsungkan oleh Dinas Perikanan dan petani. Sedangkan pajak lingkungan ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang dibangun oleh petani dan kelompok tani serta Dinas Perikanan terkait dengan mengacu pada kebijakan pemerintah. Semua input produksi yang tidak bersesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan, (ramah


(5)

vi

pada bentuk open accespada saat ini adalah lemahnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan juga BPWC. Hal ini diperlihatkan oleh SK Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 27/1994 yang merupakan SK Petunjuk Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat No. 11/1986, dimana dalam SK ini tidak diatur secara rinci peran masing-masing pihak baik petani, dinas ataupun Badan Pengelola Waduk Cirata dalam upaya pengelolaan Perairan Waduk Cirata. SK-SK selanjutnya yang lebih mengarah pada bentuk property right, baik SK Gubernur Jawa Barat No.42/2002 ataupun No.45/2003 yang di dalamnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, tidak terimplementasikan secara baik disebabkan petani selama ini, sejak tahun 1988, merasa perairan Waduk Cirata sebagai milik bersama.

Aktor yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan Waduk Cirata didominasi oleh aktor dari sektor kedinasan, sektor petani/kelompok tani. Sedangkan aktor yang berkepentingan dengan perairan Waduk Cirata, namun tidak berperan dalam merumuskan kebijakan tertentu, adalah pengusaha yang berperan sebagai penyedia sarana produksi perikanan dan pembeli hasil produksi perikanan. Sedangkan aktor yang berperan sebagai penonton adalah aparat desa.

Persepsi yang terkait dengan alokasi KJA dan eksternalitas budidaya KJA, di antara lembaga tidak ada perbedaan mendasar, sehingga mewujudkan keinginan bersama agar budidaya ikan KJA tetap berlangsung seiring dengan meningkatnya kualitas perairan Waduk Cirata menjadi lebih baik.


(6)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan mempebanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(7)

DI WADUK CIRATA PROVINSI JAWA BARAT

URIP RAHMANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Lukitawati Anggraeni, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Ir. Sonny Koeshendrajana, MSc. PhD

Peneliti Utama bidang Sosial Ekonomi pada Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan

2. Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc

Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor


(9)

Nama Mahasiswa : Urip Rahmani Nomor Pokok : H. 361060061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc Ketua

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

vi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan mempebanyak sebagian atau seluruh karya


(11)

vi

DI WADUK CIRATA PROVINSI JAWA BARAT

URIP RAHMANI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

vi

Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Urip Rahmani Nomor Pokok : H 361060061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian


(13)

(14)

vi

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1967 dari ayah bernama Soeharso dan Ibu Manisah.

Pada tahun 1986 diterima di Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor dan memilih Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, lulus pada tahun 1992. Melanjutkan studi di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997 dan memilih Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) serta lulus tahun 2000. Diterima sebagai mahasiswa program S3 di Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006.

Penulis menjadi staf pengajar pada Koordinator Perguruan Tinggi swasta (Kopertis) Wilayah III dipekerjakan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta sejak tahun 1993 sampai saat ini.

Penulis menikah dengan Ismunandar pada tahun 1990 dan dikaruniai 5 orang putra yaitu Maulana Abdullah Mustiko Uriss, Dwi Ajeng Nirmala Uriss, Nurul Annisa Puspita Uriss, Kemal Maulana Ibrahim Uriss dan Alya Indriyani Kurnia Uriss.


(15)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat-Nya penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk penyelesaian studi doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari disertasi ini dapat diselesaikan dengan adanya bantuan dan peran berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,M.Sc dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahan dalam penulisan Disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Bapak Dr.Ir Nunung Kusnadi, MS selama ujian terbuka. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Bapak Dr.Ir Nunung Kusnadi, MS selama ujian terbuka. Terima kasih kepada kepada Bapak Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Ph.D, Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Bapak Dr.Ir. Nunung Wurintono dan Bapak Dr.Ir Nunung Kusnadi.

Penyampaian ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggiitingginya kepada Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur, Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, Dinas Perikanan Bandung Barat, Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), Badan Pelestarian Perikanan dan Perairan Umum (BPPPU), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Bapak Dr. Ir. Edward Danakusumah, Bapak Ade Durahman, SE, Ibu Ir. Neni Amaliyah, Diky, S.E, Bapak Ir. Irwan S, serta responden penelitian atas bantuan dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.


(16)

vi

Tinggi Swasta (Kopertis) wilayah III Jakarta atas ijin pendidikan yang telah diberikan untuk menempuh Program Doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, atas kekompakan, kerjasama dan selalu memberikan semangat.

Tak lupa saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan, dukungan, doa, kesabaran dan pengorbanan dari suamiku Ismunandar dan anak-anak saya Tiko, Ajeng, Annisa, Kemal dan alya selama studi S-3 ini. Juga kepada kedua orang tua saya Bapak H. Soeharso dan Ibu Hj Manisah dan ketiga kakak saya Mas Yoga, Mas Kukuh dan Mas Pumpun atas doa dan bantuannya.

Mudah-mudahan disertasi ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan disertasi ini. .

Bogor, Januari 2012 Penulis,


(17)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1967 dari ayah bernama Soeharso dan Ibu Manisah yang merupakan puteri keempat dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Drs. Ismunandar dan dikaruniai 5 orang anak yaitu M.A. Mustiko Uriss, Dwi Ajeng Nirmala Uriss, Nurul Annisa Puspita Uriss, Kemal Maulana Abdullah Mustiko Uriss dan Alya Indriyani Kurnia Uriss.

Pada tahun 1986 penulis menyelesaikan sekolah dari SMA Negeri 1 Jakarta dan diterima di IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Pada tahun 1992 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan Sosial ekonomi Perikanan IPB. Pada saat penulis menempuh pendidikan S-1, penulis juga mendapat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) untuk menjadi Tenaga Pengajar pada Perguruan Tinggi di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan studi Program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB dan memilih Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) dan lulus tahun 2000, dengan mendapat bantuan beasiswa dari kopertis Wilayah III Jakarta. Pada tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan mendapat beasiswa BPPS (2006-2009) dari Ditjen Dikti.

Sejak tahun 1993 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah III dipekerjakan (dpk) pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta.


(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………. xvi

DAFTAR GAMBAR ………... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xx

I. PENDAHULUAN ……….………. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ………..… 6 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ..……….…..……… 11

2.1. Sumberdaya Waduk……… ... 11

2.2. Property Right... 21

2.3. Kualitas Lingkungan Perairan ... 23

2.4. Waduk Cirata dan Budidaya Ikan KJA ……... 2.5. Eksternalitas ………...……….……… 2.6. Kelembagaan ………...………... 2.7. Instrumen Ekonomi ………...………. 2.7.1. Perlunya Instrumen Ekonomi ………….……… 2.7.2. Jenis-jenis Instumen Ekonomi …….………...… 2.8. Penelitian Terdahulu ………...………... 26 31 36 38 41 42 46 III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 51

3.1. Kerangka Pemikiran ………...……… 51

3.2. Kerangka Teori …….……….………. 57

3.2.1. Konsep Fungsi Produksi ... 57

3.2.3. Kelembagaan ………....……… 59

IV. METODE PENELITIAN ... 69

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………. 69

4.2. Jenis dan Sumber Data ……... 69


(19)

xx

4.4.2. Model Eksternalitas...……… 4.4.3. Analisis Kelembagaan .……….………

4.4.3.1. Analisis Isi ………... 4.4.3.2. AnalisisStakeholderPengolaan Waduk Cirata ... 4.4.3.3. Analisis Pengaruh dan Kepentingan ….…………. 4.4.3.4. Analisis PersepsiStakeholder….………...

72 77 77 79 83 86

V. KEADAAN UMUM WILAYAH ………..

5.1. Morfometri Waduk Cirata ………... 5.2. Perkembangan KJA di Waduk Cirata ………. 5.3. Produksi ……….. 5.4. Kondisi Kualitas Air Waduk Cirata ……… 5.4.1. Temperatur Air ………. 5.4.2. Oksigen Terlarut (DO) ………. 5.4.3. Karbondioksida ……… 5.4.4. Keasaman (pH) ……… 5.4.5. Hidrogen Sulfida ……….. 5.4.6. Kesadahan ……… 5.4.7. Unsur Hara dan BOD ………...

87 87 88 91 94 95 96 97 98 99 100 101 ANALISIS FUNGSI BIAYA PRODUKSI ..……….

6.1. Karakteristik Petani Ikan ………..……….. 6.2. Aspek Teknis Budidaya Ikan KJA ……….………. 6.2.1. Penentuan Lokasi ………...…….. 6.2.2. Pembuatan KJA ………...…... 6.2.3. Proses Budidaya ………...……… 6.3. Fungsi Biaya Produksi Budidaya Ikan KJA ………..……. 6.4. Fungsi Biaya Usahatani Ikan Mas …... 6.4.1. Hasil Analisis Regresi Fungsi Biaya Produksi Ikan Mas

Budidaya KJA Tanpa Eksternalitas..………... VI.

6.4.2. Fungsi Permintaan Input Produksi Ikan Mas Budidaya KJA Tanpa Eksternalitas ...

6.4.2.1. Input Optimal Benih Ikan Mas ……….…… 6.4.2.2. Input Optimal Pakan Ikan Mas ….………..……..

103 103 105 106 106 110 112 113 113 115 116 117


(20)

xxi

6.5. Fungsi Biaya Produksi Ikan Mas Budidaya KJA dengan

Eksternalitas ……… 6.5.1. Hasil Analisis Regresi Fungsi Biaya Produksi Ikan Mas

Budidaya KJA dengan Eksternalitas ….………... 6.5.2. Fungsi Permintaan Faktor Input ...………... 6.6. Elastisitas Permintaan dari Harga Input……….. 6.7. Daya Dukung Lingkungan……….. 6.8. Instrumen Ekonomi ………

119 119 123 129 130 132 KELEMBAGAAN……….

7.1. Analisis Isi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya KJA di Waduk Cirata ……….

137

138 VII.

7.1.1. Analisis Urusan dan Peletakan Kewenangan Dalam Peraturan Perundang-undangan..………... 7.1.1.1. Urusan-urusan yang Diatur dalam

Undang-Undang No. 7/2004 dan Peraturan Peremrintah No 42/2008 ... 7.1.2. Sumber Kebijakan Common Property Resources (CPR)

Budidaya KJA di Waduk Cirata ... 7.1.3. Kebijakan Hak Kepemilikan (Property Right) ... 7.1.4. Implementasi Kebijakan ... 7.2. Kelembagaan Pengelolaan Perairan Waduk Cirata ... 7.2.1. PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) ... 7.2.2. Badan Pengelola Waduk Cirata ... 7.2.3. Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Cirata ... 7.2.4. Batas Yuridiksi ... 7.2.5. Hak dan Kewajiban ... 7.2.6. Aturan Persepsi ... 7.3. Persepsi Lembaga Terkait terhadap Keberadaan Budidaya Ikan ... 7.4. Analisis Aktor/pelaku dan Tingkat Kepentingannya ...

142 142 147 152 157 160 163 163 166 167 167 168 170 171

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN …….….……… 175

DAFTAR PUSTAKA ……….……….………... 179 LAMPIRAN ... 185


(21)

xxvii

Nomor Halaman

1. Elastisitas dan Daerah-daerah Produksi ... 13

2. Konsep Dualitas di Dalam Fungsi Produksi ... 19

3. Alasan Rasional Perlunya Instumen Ekonomi ………...…...…..…. 50

4. Tipologi Instrumen Ekonomi ………..…...……. 53

5. Kerangka Pendekatan Studi ……….………..……..…. 60

6. Matrik Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Peraturan Tertentu... 78 7. Aktor Grid 85 8. Kaskade Sungai Citarum ………..………. 88

9. Grafik Perkembangan KJA Tahun 1988-2008 ……….. 90

10. Perkembangan Sedimentasi Waduk Cirata Tahun 1989 – 2007 ... 93

11. Peta Pengambilan Sampel Pengukuran Kualitas Air oleh BPWC …… 94

12. Temperatur Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ... 95

13. Kadar Oksigen Terlarut Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ………..………...……. 97 14. Kadar Karbondioksida Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ………..……… 98 15. Nilai pH Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ... 99

16. Kadar H2S Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ……... 100

17. Kesadahan Air Waduk Cirata Periode Triwulan II Tahun 2011 ... 101

18. Grafik Jumlah Petak KJA Responden ... 105

19. Grafik Penggunaan Benih dan Biaya ………...….... 116


(22)

xxviii

dan Dengan Eksternalitas ...

23. Penggunaan Pakan/Biaya dari Model Tanpa dan Dengan Eksternalitas 127 24. Penggunaan Tenaga Kerja dan Biaya ………...……… 128 25. Matriks Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Undang-Undang 147 26. Diagram Alir Pengendalian, Pembinaan/Pemutihan dan Mekanisme

Perijinan Usaha Perikanan………...…..


(23)

xxix

Nomor Halaman

1 Peta Waduk Cirata ……… ……… 160

2 Penggunaan Input dan Produksi per Tahun ………..……… 161 3 Biaya Input dan Produksi per Tahun ….……… 163 4 Analisis Regresi Biaya Produksi Tanpa Biaya Lingkungan... 164 5 Perhitungan Analisis Regresi Biaya Produksi Ikan Mas tanpa

Biaya Lingkungan ………..………..

165

6 Perhitungan Analisis Regresi Biaya Produksi Ikan Mas dengan Biaya Lingkungan ………..………

166

7 Perhitungan Daya Dukung Perairan Waduk Cirata dengan CAD_S TOOL ………..……….


(24)

1.1. Latar Belakang

Waduk Cirata, sebagaimana waduk lainnya yang ada di Indonesia, dibangun oleh pemerintah disebabkan dalam banyak hal akan memberikan banyak manfaat bagi kepentingan umum. Waduk Cirata yang terletak di 3 wilayah administrasi, yakni Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat (sebelum pemekaran tahun 2007 masih dalam wilayah Kabupaten Bandung), dibangun sejak tahun 1986 dan selesai pada tahun 1988. Manfaat terbesar dari Waduk ini, sebagaimana perencanaan pemerintah, adalah sebagai penyedia sumberdaya listrik untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali. Manfaat lainnya adalah untuk kepentingan peningkatan taraf ekonomi rakyat sekitar Waduk Cirata melalui pembudidayaan ikan Karamba Jaring Apung (KJA).

Berdasarkan kondisi geologis dan topografisnya keberadaan wilayah Waduk Cirata sebelum dibangun, memiliki potensi yang ideal bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Potensi ini menurut Suparmoko (1989) disebut sebagai sumberdaya alam (SDA), sedangkan menurut Fauzi (2006) disebut sebagai barang netral. Setelah menjadi waduk, dan mendapat sebutan sebagai Waduk Cirata, disebut sebagai barang sumberdaya yang menurut Suparmoko (1989), akan memiliki nilai ekonomi apabila dipadukan dengan faktor produksi lain.

Waduk pada umumnya dibangun oleh pemerintah, karena pemerintah memandang bahwa waduk akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Jarang atau mungkin tidak ada pihak swasta yang bersedia membangun waduk secara mandiri, karena terlalu besar biaya yang diperlukan untuk membangunnya.


(25)

Oleh sebab itu waduk, dapat disebut sebagai barang publik yang dalam banyak hal sangat dibutuhkan oleh masyarakat namun tidak seorang pun yang bersedia menghasilkannya. Kalaupun ada pihak swasta yang menyediakannya dan jumlahnya sudah tentu terbatas.

Waduk adalah sumberdaya alam buatan yang dalam pembangunannya memanfaatkan aliran sungai atau rawa dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat umum. Pemanfaatan waduk untuk sektor kelistrikan menjadikan waduk sebagai sumberdaya listrik bagi kawasan yang sangat luas. Sedangkan pemanfaatan waduk bagi tumbuhnya sektor perikanan di sekitar kawasan menempatkan waduk sebagai sumberdaya perikanan dan merupakan perairan umum, sehingga setiap orang bisa memanfaatkannya.

Pemanfaatan Waduk Cirata bagi budidaya KJA bagi masyarakat sekitarnya menempatkan sumberdaya perikanan ini sebagai Common Pool Resources (sumberdaya milik bersama), yang pada awal pelaksanaannya cenderung bersifat Quasi open access, atau open access yang bersifat terbatas. Namun, seiring dengan waktu, kecenderungan ini berubah menjadi open access yang berpotensi menjadi eksternalitas.

Nilai ekonomi pemanfaatan Waduk Cirata di sektor perikanan budidaya KJA mencapai Rp. 1 trilyun per tahun dimana nilai ekonomi per bulan untuk aktivitas budidaya ikan sebesar Rp.80.295.000.000 dan nilai ekonomi aktivitas pendukung Rp.10.276.050.000 (Hadadi, 2008). Sedangkan kontribusi dari KJA terhadap jumlah produksi ikan di 3 (tiga) kabupaten selama 10 tahun terakhir terus meningkat sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.


(26)

Tabel 1. Produksi Perikanan Waduk Cirata dari Kabupaten Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat Tahun 2000 – 2011

Kabupaten No. Tahun

Purwakarta Cianjur Bandung*) Bandung Barat

Jumlah ( Ton )

1 2000 5.223,18 - 4.488,00 - 9.711,18 2 2001 5.815,07 14.638,60 4.460,00 - 24.913,67 3 2002 6.795,00 14.639,00 5.700,00 - 27.134,00 4 2003 9.956,00 15.363,47 3.780,13 - 29.099,60 5 2004 13.090,24 14.900,00 5.585,20 - 33.575,44 6 2005 15.451,42 17.135,00 7.957,46 - 40.543,88 7 2006 39.679,00 18.009,89 14.970,00 - 72.658,89 8 2007 34.408,00 18.531,49 15.829,80 - 68.769,29 9 2008 28.196,48 30.500,80 - 16.636,73 75.334,01 10 2009 32.245,03 33.005,83 18.612,86 83.863,72 11 2010 43.859,00 39.120,62 - 4933.26* 15.876,49 Jumlah 234.718,42 215.844,70 62.770,59 35.249,59 481.480,17 Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2011.

Keterangan*) Kabupaten Bandung mengalami pemekaran wilayah pada tahun 2007 menjadi wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.

Produksi perikanan budidaya KJA di 3 (tiga) wilayah kabupaten ini berkembang dari tahun ke tahun dan sejalan dengan meningkatnya kegiatan perikanan budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata. Pada tahun 2008 KJA yang ada tercatat 51.418 petak. Jumlah ini telah melebihi daya dukungnya yang seharusnya 12.000 petak sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002. Perkembangan KJA di perairan ini sudah tidak terkendali. Berlebihnya KJA ini menimbulkan beragam dampak negatif antara lain proses


(27)

sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas air yang bersumber dari pakan KJA (Garno, 2000; Azwar dan Suhendra, 2004). Dalam satu hari, sekitar 150 ton pakan ikan masuk ke perairan Waduk Cirata, sekitar 7,5 ton di antaranya tidak termakan dan mengendap di dasar waduk. Selain itu terdapat pula sampah-sampah drum maupun gabus yang dibuang begitu saja di perairan. Kondisi ini mengakibatkan korosi alat-alat bendungan. Endapan ini juga memperbesar potensi kematian ikan secara massal ketika terjadi upwelling (adanya arus balik yang dipicu oleh perubahan suhu air) sehingga air di dasar danau yang telah tercemar oleh sisa nutrien (sisa makanan ikan) naik ke atas (Nastiti, et. al.,2001).

1.2. Permasalahan

Budidaya ikan dalam KJA di Waduk Cirata ini telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya pada KJA yang ada di Waduk Cirata termasuk kategori sistem budidaya KJA intensif. Hal ini terlihat dari pemberian pakan dengan frekuensi pemberian rata-rata tiga kali sehari bahkan lebih, dan penggunaan pakan komersial (pelet) yang mengandung protein tinggi (lebih dari 20%) serta mengandung nutrisi lainnya yang cukup lengkap, dan memungkinkan terakumulasinya limbah organik baik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan maupun dari kotoran ikannya itu sendiri. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas air.

Penurunan kualitas air ini bersumber dari limbah organik sisa pakan yang terdapat di Waduk Cirata. Akibatnya beban Waduk Cirata untuk menguraikan


(28)

(mendekomposisi) bahan-bahan organik tersebut menjadi lebih berat, dimana diperlukan oksigen untuk penguraian bahan organik ini. Apabila asupan oksigen sangat rendah atau bahkan tidak ada oksigen, maka penguraian tersebut selain akan mengganggu kehidupan yang ada di dalamnya dan juga akan berakibat pada terbentuknya gas-gas beracun di perairan. Gas-gas beracun ini akan menimbulkan akibat buruk pada kehidupan biota perairan Waduk Cirata. Selain itu, penguraian bahan-bahan organik akan menghasilkan unsur hara baik senyawa nitrogen (N) maupun posfor (P) yang sangat diperlukan oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Dengan demikian bahan organik terutama yang berasal dari sisa pakan ikan akan berperan menjadi pupuk yang dapat ’menyuburkan’ perairan Waduk Cirata.

Menurut Garno (2000) diantara kesemua penyumbang bahan organik di Waduk Cirata, penyumbang paling besar berasal dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Total sumbangan bahan organik dari KJA bahwa di Waduk Cirata mencapai 80%. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Nastiti et al. (2001) yang mengatakan bahwa penyumbang N dan P terbesar (mencapai 83,63 – 99,93%) di waduk berasal dari kegiatan budidaya ikan KJA.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa kegiatan budidaya KJA intensitasnya sudah berada dalam keadaan hipertropik, yang berakibat pada terjadinya pertumbuhan yang tidak terkendali (blooming) plankton jenis tertentu, yang dapat mengakibatkan kematian massal ikan, seperti yang sering terjadi pada budidaya ikan KJA di Waduk Cirata, terutama pada saat musim hujan. Suhu air hujan yang lebih rendah daripada suhu perairan menyebabkan terjadinya pergerakan massa air dari dasar perairan ke permukaan (up-welling). Up welling


(29)

biasanya terjadi pada awal musin hujan, antara bulan Desember hingga Februari. Pada saat air bagian bawah naik ke atas membawa massa air pada lapisan bawah perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan kadar polutan yang tinggi (seperti amonia yang berasal dari kotoran ikan). Hal ini yang menyebabkan ikan mati secara mendadak dan massal. Kematian massal ikan terjadi berulang setiap tahun dimulai sejak awal tahun 1990.

Kematian massal ikan selain karena kejadianup-welling,juga disebabakan adanya virus yang menyerang ikan. Wabah penyakit Koi Herpes Virus (KHV) biasanya terjadi saat memasuki musim kemarau. KHV ini menyerang insang dan badan ikan. Semua ini akibat dari kualitas lingkungan perairan yang menurun.

Dampak negatif maupun positif yang terjadi akibat aktivitas pengelolaan perikanan di waduk merupakan salah satu bukti adanya eksternalitas. Fauzi (2006) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (positf atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain.

Peningkatan jumlah KJA yang melebihi daya dukungnya terjadi karena lack of enforcement. Pada awalnya masyarakat yang lahannya terendam, mendapat kesempatan untuk melakukan budidaya ikan KJA di waduk tanpa disertai aturan-aturan tertentu yang mengikat sebagaimana Waduk Jatiluhur. Seiring berjalannya waktu, kegiatan budidaya ikan ini memberikan keuntungan, yang akhirnya menarik para investor dari luar wilayah melakukan usaha ini. Siapapun dapat masuk untuk melakukan usaha budidaya KJA tanpa prosedur tertentu. Hal ini mengakibatkan Waduk Cirata yang dimiliki oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), seperti menjadi milik umum (common property).


(30)

Kondisi ini mengakibatkan perairan waduk menjadi seolah-olahopen acces, yang beresiko memberikan eksternalitas terhadap badan perairan Waduk Cirata.

Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) ditunjuk oleh PT PJB sebagai yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kualitas perairan Waduk Cirata, telah berupaya untuk menjaga kualitas lingkungan perairan dengan mencoba menerapkan aturan yang berlaku untuk mengendalikan atau menurunkan jumlah petak KJA. Akan tetapi, karena sejak awal petani KJA tidak dikenakan aturan yang mengikat, peningkatan jumlah petak KJA tetap berlangsung dari tahun ke tahun, sekalipun SK Gubernur N0.41 Tahun 2002 menyatakan petak KJA maksimal berjumlah 12.000 unit karamba.

Kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang mengarah pada upaya pengendalian jumlah petak KJA selama ini tidak/belum terimplementasi secara utuh di lapangan. Pada sisi lain, kebijakan-kebijakan ini tidak menunjuk instansi tertentu sebagai penanggung jawab secara menyeluruh. Berdasarkan TUPOKSI BPWC, kewenangan BPWC hanya sebatas fasilitator bagi koordinasi pengelolaan lingkungan perairan Waduk Cirata yang melibatkan instansi pemerintah yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta. Oleh karena keberadaan Waduk Cirata berada pada lintas tiga kabupaten, maka kewenangan berada di Provinsi Jawa Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat hanya bertanggung jawab secara teknis budidaya.

Pada sisi ini tampak bahwa secara kelembagaan terdapat kesimpangsiuran fungsi dan peran masing-masing lembaga yang ada dalam pengelolaan lingkungan perairan Waduk Cirata. Hal ini terungkap oleh masyarakat petani ikan KJA pada


(31)

saat penelitian, sehingga masyarakat berpandangan bahwa siapapun dapat masuk sebagai investor budidaya KJA.

Penelitian yang terkait dengan keberadaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata telah banyak dilakukan, namun hingga saat ini belum menyentuh tentang pengelolaan optimal budidaya KJA yang melibatkan eksternalitas yang terjadi dilihat dari tinjauan ekonomi dan internalisasi eksternalitas dalam proses produksi budidaya ikan KJA. Penelitian yang ada masih parsial terhadap pencemaran yang terjadi, besaran produksi ikan, makin melimpahnya limbah perikanan sebagai eksternalitas dari budidaya ikan KJA. Penelitian ini mengurai keberadaan pengelolaan optimal dimana eksternalitas budidaya ikan KJA di Waduk Cirata dilibatkan dalam proses produksi serta menyikapinya untuk memberikan alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan dalam bentuk kajian kelembagaan dan instrumen ekonomi serta kebijakan pengelolaan waduk yang berorientasi pada terpeliharanya lingkungan perairan Waduk Cirata.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengelolaan optimal budidaya ikan karamba jaring apung di perairan Waduk Cirata. Sedangkan tujuan khusus adalah:

1. Membandingkan penggunaan input optimal budidaya ikan KJA dengan dan tanpa menginternalisasikan biaya eksternalitas

2. Mengevaluasi instrumen ekonomi dalam pengelolaan budidaya ikan KJA yang meningkatkan kinerja teknis dan ekonomis waduk

3. Merumuskan kebijakan dalam pengelolaan budidaya ikan KJA yang berorientasi pada pemeliharaan fungsi Waduk Cirata berkelanjutan.


(32)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan sebagai berikut:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, serta Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) untuk menghasilkan regulasi terkait dengan budidaya ikan KJA di Waduk Cirata yang berorientasi pada pemeliharaan lingkungan perairan Waduk Cirata secara keseluruhan.

2. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah tentang kemungkinan diterapkannya instrumen ekonomi bagi upaya pengelolaan Waduk Cirata.

1.5. Novelties

Penelitian yang terkait dengan Waduk Cirata telah banyak dilakukan, akan tetapi permasalahan yang dikaji brkisar pada produksi perikanan, menurunnya produksi perikanan, limbah budidaya ikan KJA, kualitas perairan, serta nilai ekonomi sumberdaya perikanan Waduk Cirata. Penelitian yang mengkaji keberadaan eksternalitas budidaya ikan KJA secara ekonomi dalam pengelolaannya belum pernah terbahas secara khusus. Penelitian ini mencoba mengeksplore pengelolaan optimal budidaya KJA dimana eksternalitas budidaya ikan KJA yang menjadi sumber terjadinya penurunan kualitas perairan Waduk Cirata menjadi salah satu perhatian utama. Eksternalitas yang telah terjadi ini membutuhkan biaya untuk pemulihannya dan akan dibebankan kepada petani ikan secara proporsional dilihat dari lama usaha budidaya ikan KJA yang telah dilakukan. Besaran biaya eksternalitas ini yang akan diinternalisasi dalam model fungsi biaya yang diajukan selama kurun waktu pemulihan dari eksternalitas


(33)

berjalan. Setelah pemulihan selesai, eksternalitas tetap ada namun dengan skala yang lebih kecil dan diperhitungkan dari besar produksi ikan yang dihasilkan petani. Nilai eksternalitas ini yang selanjutnya menjadi instrumen ekonomi yang harus ditanggung petani, sesuai dengan prinsip setiap poluter bertanggung jawab terhadap polutan yang terjadi.

Selainnoveltiesdi atas, peneliti juga akan menyampaikan apa yang menjadi penyebab dari menurunnya kualitas perairan Waduk Cirata secara kelembagaan dengan melihat produk kebijakan yang telah dihasilkan selama ini.


(34)

2.1. Sumberdaya Waduk

Istilah sumberdaya (resource), mulai populer di Indonesia sejak dekade 1980-an. Sebelum dekade 1980-an sumberdaya merujuk pada sumber kekayaan alam, dan setelah tahun 1980, sumberdaya berkonotasi pada alam, manusia dan buatan. Namun demikian, konotasi sumberdaya pada umumnya terkait dengan nilai ekonomi atau segala sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia atau input-input yang bersifat langka yang dapat menghasilkan utilitas baik melalui proses produksi maupun bukan dalam bentuk barang dan jasa (Bannock et al, 1992).

Dalam beberapa literatur juga dijumpai pengertian sumberdaya sebagai sebutan singkat untuk sumberdaya alam. Beberapa definisi mengenai sumberdaya dapat disajikan sebagai berikut:

1. Seluruh faktor produksi/input produksi untuk menghasilkan output (Pass dan Lowes, 1988).

2. Berbagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu proses produksi, atau lebih umum dalam suatu aktivitas ekonomi, seperti modal, tenaga manusia, energi, air, mineral, dan lain-lain (Katili, 1983).

3. Aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia (Grima dan Berkes, 1989)

Sumberdaya alam (SDA) merupakan salah satu sumberdaya dalam pengertian luas. Pengertian SDA secara akademik dengan latar belakang keilmuan akan berbeda. Menurut Suparmoko (1989) SDA adalah sesuatu yang masih


(35)

terdapat di dalam maupun di luar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi untuk meningkatkan tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian dan Fauzi (2006) menyebutnya sebagai barang netral. Suparmoko (1989) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan barang sumberdaya adalah SDA yang sudah diambil dari dalam atau dari atas bumi dan siap digunakan serta dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain sehingga dapat dihasilkan luaran baru yang berupa barang dan jasa bagi konsumen maupun produsen.

Secara umum SDA diklasifikasikan atas SDA yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources) dan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources). SDA yang tidak dapat diperbarui atau sumberdaya stok atau bersifat exhaustible seperti logam, minyak bumi, mineral, dan gas adalah sumberdaya dengan supply terbatas. Eksploitasi sumberdaya ini akan menurunkan cadangan dan ketersediaannya. Sumberdaya yang dapat diperbarui atau disebut juga sebagai “flow”, yakni sumberdaya yang supply-nya dapat mengalami regenerasi secara terus menerus baik secara biologi maupun bukan melalui proses biologi. SDA ini ada yang benar-benar supply-nya tidak terbatas (infinite) dan ada juga yang bersifat dapat diperbarui sepanjang laju pemanfaatannya tidak melampaui titik kritis pemanfaatan seperti SDA dapat diperbarui. Menurut Anwar (2005) setiap proses produksi dan konsumsi SDA selalu menghasilkan limbah (waste). Sebagian limbah produksi/konsumsi dapat menjadi sumberdaya yang dapat dipakai kembali sebagai input dan masuk ke proses produksi (industri) atau kembali ke lingkungan alam. Namun ada juga limbah masih memerlukan upaya


(36)

pendauran menjadi residual yang dapat didaur secara alamiah melalui proses biologi (ikan, hutan, dan lain-lain) dan bukan biologi (air dari mata air, situ).

Salah satu sumberdaya yang sampai saat ini masih dibutuhkan semua manusia adalah sumberdaya air. Karakteristik sumberdaya air amat dipengaruhi aspek topografi dan geologi, keragaman penggunaannya, keterkaitannya, waktu serta kualitas alaminya. Oleh karena faktor topografi dan geologi maka sumberdaya air dapat bersifat lintas wilayah administrasi. Dengan demikian, kuantitas dan kualitas air amat bergantung pada tingkat pengelolaan sumber daya air masing-masing daerah. Untuk mencapai terwujudnya kelestarian sumber daya air diharapkan adanya koordinasi terpadu antar sektor, antar daerah dan kesadaran dari msyarakat serta kemampuan tenaga pengelola pengairan yang berada di lapangan.

Waduk sebagai sumberdaya air adalah sumberdaya buatan. Waduk merupakan barang sumberdaya yang apabila dipadukan dengan faktor produksi lain akan menghasilkan luaran baru, seperti, air yang ada di waduk digunakan untuk menggerakkan turbin sehingga menghasilkan energi listrik (Suparmoko, 1989). Contoh lain, dengan adanya KJA, akan memberikan peluang pendapatan/ekonomi kepada masyarakat untuk sektor budidaya ikan.

Waduk pada umumnya dibangun oleh pemerintah, karena pemerintah memandang bahwa waduk akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Sedikit pihak swasta yang bersedia membangun waduk secara mandiri, karena terlalu besar biaya yang diperlukan untuk membangunnya. Oleh karena itu waduk, dapat disebut sebagai barang publik yang dalam banyak hal sangat dibutuhkan oleh masyarakat namun tidak seorangpun yang bersedia menghasilkannya.


(37)

Kalaupun ada pihak swasta yang menyediakannya dan jumlahnya sudah tentu terbatas.

Sebagai barang publik waduk adalah barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yaitu melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, waduk disediakan oleh pemerintah disebabkan sistem pasar gagal dalam menyediakan barang tersebut. Sistem pasar tidak dapat menyediakan waduk karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati oleh banyak orang.

Dalam hal tertentu sangatlah penting untuk membedakan barang atas sifat penguasaannya, seperti barang-barang pribadi atau private dengan barang yang dimiliki atau dikuasai secara bersama (kolektif). Samuelson (1954) mendefinisikan barang publik sebagai “collective consumption good” sebagai berikut:

...[goods] which all enjoy in common in the sense that each individual’s consumption of such a good leads to no subtractions from any other individual’s consumption of that good...

Analog dengan public goods, juga dikenal istilah public bads, yakni hal-hal yang menciptakan efek eksternalitas negatif, seperti polusi dan korupsi dimana terdapat sifat-sifat dari properti yang non-excludability dan nonrivalness. Dalam ekonomi, public goodadalah barang yang tidak bersaing, dalam arti penggunaan barang oleh individu tidak mengakibatkan berkurangnya ketersediaan barang bagi orang lain.

Suatu jenis barang dinamakan barang publik, bila mengandung dua karakteristik utama, yaitu:


(38)

1. Penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry). Satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa mengurangi kepuasan orang lain yang juga menikmatinya dalam waktu bersamaan.

2. Tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability). Bila barang publik sudah tersedia, maka setiap orang dapat memanfaatkannya tanpa ada pengecualian.

Sedangkan barang kolektif (collective goods) atau disebut juga barang sosial (social goods) diartikan sebagai barang publik (public goods) yang dapat disediakan dalam bentuk barang privat (private goods) ataupun juga sebagai barang yang disediakan pemerintah dengan berbagai macam alasan (social policy) dan dibiayai oleh dana publik seperti pajak.

Sedangkan barang privat (private good) dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi, serta memiliki ciri: (1) excludable, tidak dapat dikonsumsi oleh setiap orang karena apabila di konsumsi oleh seseorang dapat mengurangi potensi konsumsi atau berakibat tidak dapat dikonsumsi oleh pihak lain, dan (2) terbatas (karena ada persaingan). Barang privat merupakan kebalikan dari barang publik (public good) karena hampir selalu bersifat eksklusif untuk mencapai keuntungan.

Selain hal di atas, dikenal pula Common good yang merujuk pada berbagai konsep. Dalam bahasa populer digambarkan sebagai barang yang spesifik yang dibagikan dan bermanfaat bagi (hampir) semua anggota suatu komunitas tertentu. Dalam ilmu ekonomi dianggap sebagai competitive non-excludable good(barang kompetitif yang tidak dapat dibuat eksklusif). Dalam Ilmu politik dan etika, mempromosikan common good berarti untuk keuntungan anggota-anggota


(39)

masyarakat (society) atau dalam ideologi negara kita “digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, sehingga mengadakan/mengelola common good berarti menolong semua orang atau setidaknya mayoritas masyarakat, atau selaras dengan istilah kesejahteraan umum (general welfare). Sumberdaya yang dikelompokkan sebagai common pool resources (CPR) juga dikenal sebagai common goods. Kadangkala club goods dan common goods juga dimasukan dalam definisi luas daripublic goods Barang-barang publik dalam pengertian luas (CPR, club goods, dan pure public goods) mencakup hal-hal seperti: pertahanan, penegakan hukum, pemadam kebakaran, udara bersih dan jasa-jasa lingkungan, mercusuar, informasi,software, penemuan, dan karangan tulisan.

Secara empirik, selalu saja ada barang yang dapat dikategorikan dalam berbagai kategori di atas. Namun istilah common goods sering disalahartikan dengan subtipepublic goods yang dikenal sebagaicollective goods(social goods) dan didefinisikan sebagai barang yang dapat dijadikan sebagai barang privat maupun barang yang disediakan pemerintah.

Isu pengelolaan barang publik (public good problems) menjadi perdebatan dan polemik ilmiah yang cukup panjang dan serius karena hal ini merupakan argumen penting yang akan menentukan peranan pasar di dalam ekonomi. Secara lebih teknis, permasalahan barang publik berkaitan dengan isu yang lebih luas yaitu eksternalitas.

Secara populer, the common goods menjelaskan secara spesifik barang yang dibagi dan dimanfaatkan untuk banyak orang pada suatu komunitas. Dalam ilmu ekonomi, common good digunakan secara kompetitif. Sedangkan public goods tidak sama dengan CPR karena adanya perbedaan kunci berkaitan dengan


(40)

manfaat dan akses terhadap sumberdaya tersebut. CPR adalah sumberdaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komunitas atau kelompok dimana pengelolaannya mendekati pengelolaanprivate property. Sedangkanpublic goods bersifat non-excludability dan nonrivalry sehingga cenderung mengalami open acces dari manfaatnya seringkali dikuasai oleh kelompok-kelompok terkuat ataupun kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan. CPR adalah salah satu kategori dari Impure public goods (quasi public goods) seperti saluran air, pantai, padang gembala, sungai, air tanah, dan hutan tropis (Ostrom, et.al.,2002).

Common-pool resources diperkenalkan kembali secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom, et al (2002) yang menjelaskan bahwa karakteristik sumberdaya memiliki dua karakteristik utama:

1. Pertama, memiliki sifat substractibilityataurivalnessdalam pemanfaatannya, dalam arti setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. seperti batubara, minyak bumi, sumberdaya yang dapat diperbarui, ikan laut (ikan) serta udara, dimana semakin banyak orang dalam suatu ruangan akan menyebabkan kesesakan dan rasa tidak nyaman ketersediaan udara segar di ruangan tersebut.

2. Kedua, adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses sumberdaya pada pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries).

Pengaruh tersebut dapat bersifat signifikan atau tidak signifikan. Seperti udara segar pada dasarnya mempunyai sifatsubstractability, tapi dalam kehidupan di atas dunia pada ruang atmosfir, udara yang kita hirup seakan-akan udara yang


(41)

tidak terbatas. Di masa lalu, terutama di daerah-daerah yang berlimpah, air seakan tersedia secara tidak terbatas.

Masalah keterbatasan ini timbul karena adanya kecenderungan overuse (penggunaan yang berlebihan) sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan congestionyang terjadi akibat ketidakseimbangan antarasupplydandemand pada waktu-waktu tertentu. Kecenderungan overuse akan mengarah pada degradasi (kerusakan). Bila sumberdaya dipanen secara berlebihan, melebihi suatu titik kritis maka tidak dapat pulih, contoh tanah yang tererosi bila melebihi tolerable soil loss maka akan terjadi degradasi. Sumberdaya yang dipanen dengan laju melebihi kemampuan regenerasi alamiahnya di alam akan punah seperti hutan yang di tebang melebihi batas kemampuan suksesinya dan begitu juga ikan yang ditangkap nelayan.

Menyangkut ciri CPR yang kedua, yakni adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat, seperti halnya barang publik (public good) CPR memiliki permasalahan yang sama yaitu kehadiran free rider, yakni adanya pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kecenderungan free rider yang melampaui batas akan mengancam pada keberlanjutan sistem produksi.

Kecenderungan pemanfaatan berlebihan (overuse) dan adanya free rider merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPR, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah


(42)

atau menghindarinya. Saat ini, CPR tidak hanya menyangkut SDA melainkan juga menyangkut sumberdaya buatan dan sumberdaya baru yang diciptakan manusia.

Salah satu tantangan penting dalam penatalaksanaan common-pool resources terletak pada fakta bahwa persediaan dan aliran sumberdaya ini seringkali sulit untuk dipastikan. Oleh karena digunakan pada skala geografis yang berbeda, dan dalam situasi yang bertentangan/konflik seperti pengguna hutan lokal merugi, ketika hutannya digunakan untuk produksi kayu. sehingga penggunaan CPR sering mengakibatkan eksternalitas bagi pihak lain. Melindungi common-pool resources dari overuse menuntut adanya otoritas pengguna atau otoritas external yang mengatur penggunaannya. Menentukan aturan, membutuhkan usaha bersama dari seluruh pengguna. Hal tersebut menuntut banyak hal bagi semua pengguna yang akan memperoleh keuntungan dari aturan baru tersebut. Kelompok dengan tradisi saling percaya yang lebih erat dan komunitas yang lama memiliki institusi yang lebih baik. Ketika lembaga pengatur eksternal dan pengguna sumberdaya sama-sama menciptakan dan mendukung aturan, maka konflik dapat muncul diantara sistem aturan yang secara potensial membawa kehancuran pada sumberdaya. Privatisasi sering merupakan salah satu solusi untuk mencegah adanya overuse dari common pool resources, akan tetapi hal ini tidak dapat dilakukan sama di setiap daerah dengan karakteristik yang berbeda.

Tantangan dalam memprivatisasi common pool resources adalah menentukan sebuah rancangan institusi yang menjamin keberlanjutan dan efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik yang spesifik. Kita tidak dapat hanya menularkan sebuah rancangan institusional yang berhasil dalam


(43)

memanage sumberdaya di suatu tempat ke jenis sumberdaya lain di tempat yang berbeda untuk mendapatkan keberhasilan yang sama. Karakteristik khusus bagi common-pool resources tertentu dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana, semakin kecil skala sumberdaya, maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk mencegahnya dari overuse dan perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit dengan penggunaan interaktif dan eksternalitas negatif akan sulit untuk dikelola. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi dan aset, serta karakteristik kelompok (keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas, ukuran) mempengaruhi institusi.

Penggunaan common-pool resources dipengaruhi juga oleh institusi yang mengatur dari keberadaan teknologi. Karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi: berukuran kecil, stabil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan), sumberdaya tidak digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan dinamika sumberdaya yang dipahami dengan baik oleh pengguna.

Berdasarkan uraian di atas, dan berdasarkan kepemilikannya, Waduk Cirata, adalah barang publik yang dimiliki secara pribadi (private good) oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak perusahaan BUMN PT PLN, yang memproduksi listrik untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali. Namun selain kepentingan di atas, PT PJB memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk memanfaatkan perairan sebagai sumberdaya perikanan melalui budidaya


(44)

ikan KJA. Keberadaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata merupakan CPR (common pool resources) yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan eksternalitas disebabkan overuse untuk mengerjar target produksi dan berakibat pada penurunan kualitas perairan.

2.2. Property Right

Property dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang didalamnya terkandung makna hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu tersebut. Oleh karena property merupakan hak yang harus ditegakkan/dihormati oleh pihak lain, maka property merupakan institusi/lembaga/aturan main, yang dalam penegakannya memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut (Hidayat, 2007).

Bromley (1989) mendefinisikan property right sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba/keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respek terhadap aliran laba tersebut.

Karakteristikproperty righmenurut Titienberg (1988) terdiri atas:

1. Eksklusivitas: pemanfaatan, nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara eksklusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut.

2. Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik lain secara suka rela melalui jual beli, sewa, hibah, dan lain-lain 3. Enforability: hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormati dan dijamin dari


(45)

Disebutkan dalam Hanna dan Munasinghe (1995) kepemilikan terbagi atas empat seperti diuraikan dibawah ini dan Tabel 2.

1. Private property (kepemilikan privat) yaitu suatu kepemilikan oleh swasta dimana hak akses, pemanfaatan,pengelolaan dan lain-lain yang melekat dengan atau komoditas tersebut sepenuhnya menjadi hak swasta. Swasta disini bisa perorangan atau badan hukum.

2. State property (kepemilikan negara), dimana kepemilikan hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara.

3. Common property (kepemilikan bersama), dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas

4. Open access (kepemilikan terbuka), bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak lain yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut.

Tabel 2. Tipe Kepemilikan Beserta Hak-haknya

No. Tipe Pemilik Pemilik/Penegang Akses

Hak Kewajiban 1. Kepemilikan

Private

Individu Akses pemanfaatan, kontrol Mencegah pemanfaatan yang merugikan sosial 2. Kepemilikan Negara Negara

/ Warga Negara

Akses pemanfaatan, kontrol (menentukan aturan) Menjaga tujuan/manfaat sosial 3. Kepemilikan Bersama

Kolektif Akses pemanfaatan, kontrol

(pengecualian kepada non pemilik)

Merawat, mengatur tingkat

pemanfaatan 4. Akses Terbuka

(Tanpa Kepemilikan)

Tidak ada Pemanfaatan Tidak ada


(46)

2.3. Kualitas Lingkungan Perairan

Kehidupan komunitas perairan dipengaruhi oleh kualitas lingkungan perairan. Saat ini kondisi perairan Waduk Cirata telah mengalami penurunan kualitas perairan akibat berbagai aktivitas, seperti kegiatan perikanan. Penurunan kualitas perairan ini biasa dikenal sebagai pencemaran. Parameter kualitas air yang berpenagruh besar terhadap kehidupan biota air antara lain intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan, kedalaman perairan, kecerahan, suhu air, pH, kandungan oksigen terlarut, kandungan fosfat total, total nitrogen, COD, klorofil-a dan plankton.

Lingkungan perairan dibedakan atas faktor fisika perairan, faktor kimia perairan dan faktor biologi perairan. Faktor fisika perairan terdiri atas suhu, kekeruhan dan kecerahan. Faktor kimia terdiri atas oksigen terlarut, kebutuhan oksigen kimiawi, kebutuhan oksigen biokimiawi, sedimen dan pH. Adapun faktor biologi perairan meliputi klorofil-a, plankton. Pada uraian berikut menyajikan tentang uraian faktor fisika, faktor kimia dan faktor biologi perairan. .

Suhu dapat menentukan kandungan oksigen dalam perairan, dimana semakin tinggi suhu maka semakin rendah oksigen yang terlarut. Effendi (2003) menyatakan peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensidan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus),


(47)

maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1989).

Menurut Parson dan Takashi (1973) kecerahan perairan merupakan suatu kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu.

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen-DO) dalam perairan merupakan konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di zone eutrofik, serta difusi dari udara (APHA, 1989). Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand -COD)adalah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biological Oxygen Demand - BOD) adalah jumlah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (APHA, 1989).

Sedimen adalah partikel batuan, mineral atau bahan organik yang diendapkan dari air yang mengalir, dari udara, atau angin (Hehanusa dan Haryani, 2001). Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan perairan (Effendi, 2003). Bahan-bahan organik yang berbentuk partikel suspensi akan mengendap pada dasar sedimen, dimana merupakan sumber nitrogen sedimen (Goldman dan Horne, 1983). Adapun pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hydrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa

Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditentukan dalam berbagai bentuk diantaranya molekul N2 terlarut, asam amino, ammonia (

 4


(48)

dan nitrat (NO3). Nitrogen dapat berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan limbah industri. Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas atas ammonia (NH4), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan molekul nitrogen (N2)dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Total Fosfat (P) adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui mengenai eutrofikasi. Fosfor seing digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas algae yang ada dalam danau.

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air, dengan kriteria pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Mutu Air menurut PP No.82 Tahun 2001.

Kelas Parameter Satu

an I II III IV

Keterangan Fisika

Temperatur 0C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3

Deviasi dari keadaan alamiahnya

TSS mg/l 1000 1000 1000 2000 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu

tersuspensi ≤ 5000 mg/l

Kimia

pH mg/l 6 - 9 6 - 9 6 - 9 6 - 9 Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah

BOD mg/l 2 3 6 12

COD mg/l 10 25 50 100

DO mg/l 6 4 3 0 Angka batas minimum Nitrat (NO3)

sebagai N

mg/l 10 10 20 20 NH3-N mg/l 0,5 ( - ) ( - ) ( - )

Nitrit (NO2)

sebagai N

mg/l 0,06 0,06 0,06 ( - ) Bagi pengolahan air minum konvensional


(49)

Sesuai dengan bunyi dari pasal 8 ayat 1, yang berisikan tentang klasifikasi dan kriteria mutu air, dibagi menjadi empat klasifikasi, diantaranya:

a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2.4. Waduk Cirata dan Budidaya Ikan KJA

Garno (2000) menyebutkan bahwa KJA banyak menyumbangkan sisa pakan dan hasil metabolisme ikan yang cenderung meningkatkan unsur hara di dalam perairan sehingga mempercepateutrofikasi. Dari unsur hara P saja, KJA di Waduk Cirata diperkirakan memberikan konstribusi sebesar 2.474 ton per tahun. Kondisi perairan waduk yang eutrof antara lain ditandai oleh keadaan blooming algae perairan, anoksia dan perairan menjadi toksik.


(50)

Jumlah pakan yang diberikan per hari mencapai 3% bobot tubuh ikan. Jumlah pakan yang diberikan tersebut diperkirakan yang tidak dikonsumsi sebesar 20% - 25%. Sekitar 25% - 30% dari pakan yang dikonsumsi akan disekresikan ke lingkungan (Azwar dan Suhenda, 2004).

Nastiti, et al (2001) menyatakan kandungan unsur P pada pakan berkisar antara 0,26% – 1%, sedangkan kandungan N sebesar 4,86%. Jumlah pakan yang terbuang pada KJA sekitar 30% (Krismono, et al, 1996). Jumlah KJA di Waduk Cirata sebanyak 24.320 petak dengan bobot ikan peliharaan 102.742,5 ton dan banyaknya pakan yang digunakan sekitar 201.135 ton. Dengan demikian banyaknya pakan yang terbuang 60.340,5 ton. Kandungan N dan P yang dihasilkan oleh ikan adalah berasal dari feses, urine dan ikan yang mati

Hasil penelitian Insan (2009) diperoleh kegiatan perikanan KJA di perairan Waduk Cirata jumlah total P yang terbuang ke perairan sebanyak 701,39 kg/th memberikan peningkatan unsur hara berupa bahan organik yang dapat menambah beban terjadinya proses eutrofikasi sehingga perairan Waduk Cirata memiliki tingkat kesuburan mencapaieutrofik(Tabel 4).

Pada pemberian pakan sistem pompa, jumlah pakan yang terbuang jumlahnya cukup banyak, yakni pada KJA yang berukuran 7 x 7 x 3 m pakan yang akan terbuang 20% - 30% (Krismono, 1996). Hasil penelitian Ihsan (2009) menyebutkan para pembudidaya ikan menggunakan pakan per musim rata-rata 1400 kg per petak, jadi dalam satu tahun memerlukan pakan sebanyak 182.070 ton. Bila yang terbuang ke perairan sebanyak 20%, maka pakan komersial yang terbuang ke perairan sebanyak 36.414 ton. Dengan kandungan P yang ada dalam pakan komersial 1,2% maka akan menghasilkan total P yang terbuang per


(51)

produksi ikan per KJA sebesar 6,35 kg/ton ikan. Jumlah KJA sebanyak 43.350 unit akan menghasilkan produksi 110.542 ton per tahun. Dengan demikian banyaknya limbah total P yang terbuang ke perairan sebanyak 701,39 kg/th. Tabel 4. Parameter Kandungan P di Waduk Cirata Tahun 2008

No. Parameter Waduk Cirata

1. Total KJA aktif (unit) 43.350

2. Rata-rata padat tebar/KJA (kg) 40

3. Rata-rata pakan/KJA (kg) 1.400

4. Rata-rata produksi/KJA (kg) 850

5. FCR 1,8

6. Kandungan P di pakan (%) 1,2

Pakan tak termakan (%) 20

Jumlah pakan yang tak termakan (kg) 280

Jumlah pakan yang termakan(kg) 1.120

Jumlah pakan tercerna (kg) 963,31

Jumlah feses (kg) 156,69

Jumlah pakan jadi daging (kg) 143,53

7.

Jumlah Ekskresi 13,16

8. Kecernaan P pakan (%) 86,01

9. P dalam tubuh ikan (P teretensi) (%) 9,94

10. Buangan P di air (mg/l) 0,11

11 Limbah beban P (kg/ton ikan) 6,35

Sumber: Insan, 2009

Menurut Gilpin (2006) daya dukung (carrying capacity) adalah jumlah maksimum individu dari suatu spesies yang dapat didukung di suatu daerah. Dengan demikian daya dukung perairan bagi budidaya ikan adalah daya atau kekuatan dari perairan dengan jumlah dan lingkungan tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sejumlah populasi ikan tertentu yang dibudidayakan di kawasan tersebut.


(52)

Tabel 5. Data Budidaya KJA di Waduk Cirata Tahun 2007

No. Parameter Waduk Cirata

1. Jumlah KJA - Total

- KJA aktif (unit)

51.000 43.350

2. Jenis ikan Ciprinus sp, Oreochromis sp. Pangasius sp, Osteohilus sp

3. Sistem Jaring tunggal, lapis, dolos, kolor 4. Padat Tebar (kg/jaring)

- Kisaran - Rata-rata

20 – 100 40 5. Waktu pemeliharaan 3 – 7 6. Sikus usaha (kali/tahun) 3 7. Pakan (kg)

- Kisaran

- Rata-rata per jaring per musim tanam

700 – 3000 1400 8. Produksi ikan (kg)

- Kisaran

- Rata-rata per jaring per musim tanam - Total produksi per tahun (kg)

400 – 1600 850 110.542,500 9. Konversi pakan (FCR)

- Kisaran - Rata-rata

1,4 – 2,2 1,8 Sumber: Insan, 2009

Bahan buangan atau limbah dari budidaya KJA adalah berupa pakan yang tidak dikonsumsi, feses dan urine yang termasuk di dalamnya mikroorganisme, parasit dan organisme lainnya. Hasil ekskresi tersebar di kolom air oleh arus, sementara padatan (pakan yang tidak dikonsumsi dan feses) jatuh ke dasar waduk. Sebagian pakan yang di sedimen dikonsumsi oleh ikan, lainnya dipecah menjadi partikel kecil. Bahan-bahan tersebut dapat larut, kuantitas yang dilepas tergantung pada komposisi feses dan pakan, faktor fisik, suhu, kedalaman air dan turbulensi. Zat hara yang dilepaskan dari sedimen, diperkirakan 60% P total dan 80% N total dari buangan berakhir di kolom air (Hall, et al, 1992 dalam Beveridge, 1996).

Berdasar hasil penelitian Insan (2009), daya dukung di Waduk Cirata jumlah KJA yang beroperasi maksimal sebanyak 28.904 unit saja. Hasil


(53)

perhitungan ini diperoleh dari banyaknya jumlah karamba 43.350 unit, dengan konversi pakan 1,8 akan menghasilkan produksi ikan sebesar 110.542,5 ton per tahun. Besarnya daya dukung Waduk Cirata adalah 95.520,40 ton atau 28.904 unit. Berarti di Waduk Cirata telah terjadi kelebihan produksi sebesar 15.022,10 ton ikan/tahun atau 15.256 unit.

Sukadi (2010), menyatakan banyaknya pakan yang masuk ke Waduk Cirata mencapai 8.000 – 8.500 ton/bulan yang dipasok oleh minimal 6 pabrik pakan dengan jumlah sekitar 2.500 – 2.800 ton per bulan (Tabel 6). Banyaknya pakan yang terbuang ke lingkungan perairan bisa mencapai 20% - 30% (Krismono dan Wahyudi, 2001). Pada keramba ganda, banyaknya pakan yang terbuang ke perairan antara 1% - 2% (Kartamihardja, 2009).

Tabel 6. Besaran Input Pakan (Ton/Bulan) untuk Akuakultur di Waduk Cirata

No. Merk Jumlah

1. CP 2.000 – 2.200

2. Sinta 2.500 – 2.800

3. Cargil 2.000 – 2.200

4. Comfeed 1.000 – 1.500

5. Wonokoyo 800 – 1.000

6. Guy ofeed 100 – 300

7. Lain-lain1) 200

Sumber: GPMT, 2009dalamSukadi, 2010 Keterangan:1)Grobest, Minafeed, dll

Tabel 7. Jumlah Pakan Ikan KJA di Waduk Cirata Tahun 2009

No. Uraian Jumlah

1. Banyaknya pakan (ton) per bulan 8.000 – 8.500 2. Banyaknya pakan terbuang KJA 20%-30% (ton) per

bulan

1.600 – 2.400 3. Banyaknya pakan terbuang KJA ganda 1%-2% (ton)

per bulan

82,5 - 165 Kandungan Pakan

Kandungan Protein 26,00% - 29,83%

Kandungan N 4,04% - 4,77%

4.

Kandungan P 1,38% – 5,18%


(54)

Penelitian Prihadi (2005) di Waduk Cirata, hasil analisa indeks STORET yang memperlihatkan kualitas air yang buruk pada semua stasiun penelitian, semua kedalaman sepanjang tahun pada semua musim yang ada. Kualitas air pada musim kemarau paling buruk dibanding musim lainnya. Hal ini dikarenakan volume air pada musim kemarau menjadi sangat rendah, sehingga konsentrasi berbagai limbah dan bahan toksik menjadi meningkat.

Kualitas perairan Waduk Cirata terus menurun akibat eutrifikasi yang dipacu oleh penambahan pakan mencapai 8.000 ton per bulan. Hasil akumulasi sisa pakan dan kotoran ikan sejak tahun 1987, diperkirakan tertimbun sedimen yang mengandung nitrogen, phospor, dan sulphur di dasar Waduk Cirata lebih dari 300.000 ton yang akan terus bertambah dengan semakin meningkatnya kegiatan budidaya ikan. Volume sedimen di Waduk Cirata tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Sedimentasi di Waduk Cirata dari Tahun 1987 – 2001 Tahun Pengukuran

No Uraian

1987 1991 1993 1997 2000 2001

1. Volume Sedimen (juta m3)

0 10.106 11.267 25.515 15.331 5.870 2. Kumulatif Sedimen

(juta m3)

0 10.673 21.984 47.450 62.780 68.690 3. Total Kapasitas

(juta m3)

1.973,00 1.962,29 1.951,02 1.925,50 1.910,17 1.904,31 4. Kapasitas

Efektivitas Waduk (juta m3)

796,00 790,10 790,10 782,89 781,00 778,69

Sumber: BPWC (2003)

2.5. Eksternalitas

Fauzi (2006) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (positif atau negatif), atau net cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan


(55)

pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak.

Eksternalitas dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini: 1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain

Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain.

2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen

Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas konsumen. Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk

3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain

Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain.

4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen

Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen


(56)

tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.

Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep eksternalitas dalam dua pengertian yang berbeda:

1. Eksternalitas yang bisa habis (a depletable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu apabila jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.

2. Eksternalitas yang tidak habis (an udepletable externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.

Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar,


(57)

kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya adalah sebagai berikut ini:

1. Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.

Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya.

Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak


(58)

diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya.

2. Sumber Daya Bersama

Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.

Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. 3. Ketidaksempurnaan Pasar

Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan dalam suatu tukar menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome).

4. Kegagalan Pemerintah

Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi.


(59)

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.

Secara umum ada beberapa tindakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas yaitu dengan memberikan hak kepemilikan, internalisasi, dan pemberlakuan pajak. Internalisasi merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha.

Eksternalitas yang terjadi di Waduk Cirata, berupa pencemaran badan air perairan waduk, merupakan ekses dari pemanfaatan dari badan perairan sebagai barang publik sehingga dipandangcommon property, dan disisi lain kelembagaan BPWC (Badan Pengelola Waduk Cirata) sebagai representatif pemerintah tidak dapat berperan optimal.

2.6. Kelembagaan

BPWC sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan waduk hingga saat ini mengalami kesulitan untuk memutuskan jalan keluar terbaik mengatasi pencemaran yang terjadian di badan air perairan Waduk Cirata. Pada


(60)

satu sisi aturan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan sinyal bagi pembatasan jumlah KJA di perairan waduk, namun di sisi lain begitu banyak investor yang masuk untuk menanamkan uangnya di perikanan budidaya KJA. Tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak menyebabkan sulitnya BPWC membuat keputusan yang mengarah pada optimalisasi penggunaan perairan waduk bagi semua pihak.

Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai saat ini masih belum terdapat kejelasan makna dan definisi dari kelembagaan (Yustika, 2006).

Kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangement) dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985).

North (1990) mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Schmid (1972) menyatakan kelembagaan sebagai sejumlah aturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.


(61)

Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal (formal institution), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informal (formal institution), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subyektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan .

2.7. Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi pada dasarnya adalah instrumen yang dirancang untuk mempengaruhi proses produksi dan konsumsi melalui mekanisme harga atau dengan cara mengubah ketertarikan ekonomi terhadap tindakan-tindakan tertentu. Instrumen ekonomi berfungsi untuk mengukuhkan, memperbaiki dan memperjelas hak pemilikan, menjamin pengguna sumber daya membayar sesuai yang dikonsumsi dan dapat menjadi subsidi bagi alternatif teknologi yang ramah lingkungan serta dapat membangkitkan penerimaan keuangan daerah.

Secara umum Instrumen Ekonomi didefinisikan sebagai Instrumen berbasis pasar, karena menggunakan sinyal pasar seperti harga untuk memberikan insentif kepada pengambil keputusan untuk mengintegrasikan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan. James (1997) mengidentifikasikan instrumen


(1)

No.

Unit

Petak

Benih

(kg)

Pakan

(kg)

Jumlah TK

(HOK)

Produksi

(kg)

46

10

44

7.920

239.500

941,57

128.880

47

10

44

7.920

239.000

935,14

130.340

48

15

60

8.100

314.250

1.240,00

170.320

49

15

60

8.100

304.900

1.242,29

163.300

50

16

64

9.600

346.800

1.249,14

188.150

51

16

64

9.600

349.950

1.555,71

189.830

52

18

72

10.800

369.800

1.547,14

197.490

53

18

72

10.800

374.300

1.555,00

202.120

54

20

80

12.000

396.800

1.553,57

216.410

55

21

84

12.600

438.050

1.552,14

228.940

Total

392

1.566

231.930

8.393.330

39.036,86

4.545.880

Rata-rata

/petak/ tahun

148

5.360

24,92775

2902,8608

Rata-rata

/petak/ MT


(2)

Lampiran 3. Biaya Input dan Produksi per Tahun

No. Unit Petak

Biaya Benih (Rp.000) Biaya Pakan (Rp.000) BiayaTK (Rp.000) Total Biaya (Rp.000) Produksi (kg)

1 1 4 14.500 133.380 7.480 155.360 13.180

2 1 4 13.360 131.100 7.360 151.820 12.720

3 1 4 14.490 125.970 7.400 147.860 12.140

4 1 4 13.860 128.820 7.350 150.030 12.320

5 2 8 29.300 242.820 7.400 279.520 23.280

6 2 8 29.440 243.675 7.350 280.465 23.350

7 2 8 28.620 245.385 7.400 281.405 23.460

8 2 8 28.960 247.380 7.550 283.890 23.650

9 2 8 27.600 242.535 7.450 277.585 23.430

10 2 8 27.500 247.665 7.300 282.465 23.690

11 2 8 27.540 250.575 7.400 285.515 23.460

12 3 10 37.940 298.170 7.450 343.560 29.940

13 3 12 48.300 392.445 7.380 448.125 37.550

14 3 12 49.200 386.460 7.800 443.460 36.670

15 4 16 55.250 498.730 8.550 562.530 51.330

16 4 16 64.260 538.365 7.270 609.895 51.510

17 4 16 64.000 541.500 7.250 612.750 51.820

18 4 16 59.040 537.225 7.450 603.715 51.390

19 4 16 59.640 496.033 14.900 570.573 47.740

20 5 20 72.090 677.445 15.500 765.035 64.830

21 5 20 75.600 665.760 14.900 756.260 63.200

22 5 20 75.600 666.045 16.100 757.745 63.730

23 5 20 77.715 668.425 16.500 762.640 64.340

24 5 20 74.422 674.100 16.400 764.922 62.690

25 5 20 65.900 655.500 14.650 736.050 62.710

26 5 20 78.885 622.730 14.700 716.315 61.640

27 6 24 80.730 711.260 14.780 806.770 73.300

28 6 24 95.850 750.720 14.800 861.370 74.600

29 6 24 88.020 797.145 14.500 899.665 76.270

30 6 24 89.100 792.300 14.540 895.940 75.810

31 6 24 83.280 734.070 14.600 831.950 71.070

32 7 28 113.400 940.500 16.700 1.070.600 90.000 33 7 28 105.250 948.765 16.750 1.070.765 90.790 34 7 28 100.440 934.275 16.880 1.051.595 90.490 35 7 28 100.800 894.330 17.250 1.012.380 84.570

36 8 32 110.160 864.425 21.600 996.185 83.880

37 8 32 117.280 900.965 21.690 1.039.935 86.700 38 8 32 118.080 874.615 21.900 1.014.595 84.170 39 9 36 144.900 998.925 21.870 1.165.695 94.580 40 9 36 122.800 1.002.255 22.050 1.147.105 93.250 41 9 36 144.900 950.760 22.000 1.117.660 93.730 42 10 40 150.720 1.272.195 21.900 1.444.815 114.300 43 10 40 141.300 1.202.985 21.750 1.366.035 114.070 44 10 40 143.800 1.202.685 22.150 1.368.635 110.100 45 10 40 136.350 1.186.770 21.850 1.344.970 112.650 46 11 44 148.500 1.365.150 22.000 1.535.650 128.880


(3)

No. Unit Petak

Biaya Benih (Rp.000)

Biaya Pakan (Rp.000)

BiayaTK (Rp.000)

Total Biaya (Rp.000)

Produksi (kg) 47 11 44 157.100 1.386.090 22.150 1.565.340 130.340 48 15 60 215.360 1.780.245 28.950 2.024.555 170.320 49 15 60 220.320 1.737.930 29.150 1.987.400 163.300 50 16 64 226.160 1.976.760 29.050 2.231.970 188.150 51 16 64 238.260 1.983.020 36.100 2.257.380 189.830 52 18 72 266.875 2.144.940 36.300 2.448.115 197.490 53 18 72 254.830 2.084.550 36.200 2.375.580 202.120 54 20 80 286.800 2.261.760 37.250 2.585.810 216.410 55 21 84 301.100 2.541.900 38.500 2.881.500 228.940 Total 392 1.566 5.715.477 47.780.528 933.450 54.429.455 4.545.880 Rata-rata

/petak/thn

3.650 95.427.676 596 34.757 2902,8608 Rata-rata

/petak/MT


(4)

Lampiran 4. Analisis Regresi Biaya Produksi Tanpa Biaya Lingkungan

Regression Analysis: C versus

W1,W2,W3, W4

The regression equation is

C = 0,350 + 0,103 W1 + 0,879 W2,+ 0,0271 W3 + 0,000662 W4

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0,35012 0,08107 4,32 0,000

W1 0,102762 0,005571 18,44 0,000 1,1

W2 0,878518 0,004883 179,91 0,000 1,2

W3 0,027067 0,001604 16,87 0,000 3,9

W4 0,0006622 0,0007474 0,89 0,380 4,0

S = 0,00213395 R-Sq = 99,9% R-Sq(adj) = 99,9%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 4 0,194591 0,048648 10683,01 0,000 Residual Error 50 0,000228 0,000005

Total 54 0,194819

Source DF Seq SS

W1 1 0,010452

W2 1 0,179956

W3, 1 0,004179

W4 1 0,000004

Unusual Observations

Obs W1 C Fit SE Fit Residual St Resid

2 10,0 12,4615 12,4570 0,0009 0,0045 2,34R 3 10,1 12,4350 12,4304 0,0009 0,0046 2,36R 4 10,1 12,4496 12,4454 0,0009 0,0042 2,17R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 0,597802

Keterangan:

C : Biaya Total Produksi Ikan Mas Tanpa Biaya Lingkungan W1 : Biaya Benih Ikan Mas

W2 : Biaya Pakan Ikan Mas


(5)

Lampiran 5. Perhitungan Analisis Regresi Biaya Produksi Ikan Mas dengan

Biaya Lingkungan

Regression Analysis: C versus W1,W2,W3, W4,W5,

The regression equation is

C = 1,87 - 0,054 W1 + 0,887 W2 + 0,0874 W3 + 0,0509 W4 - 0,127 W5

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 1,8681 0,7475 2,50 0,016

W1 -0,0537 0,1045 -0,51 0,311 10,4

W2 0,8866 0,1208 7,34 0,000 8,6

W3 0,08743 0,03191 2,74 0,009 5,8

W4 0,05091 0,01035 4,92 0,000 1,2

W5 0,01268 0,1496 0,85 0,114 11,3

S = 0,0432208 R-Sq = 60,8% R-Sq(adj) = 67,9%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 5 32,7064 6,5413 3501,70 0,000 Residual Error 49 0,0915 0,0019

Total 54 32,7980

Source DF Seq SS

W1 1 32,4460

W2 1 0,1907

W3 1 0,0241

W4 1 0,0443

W5 1 0,0013

Unusual Observations

Obs W1 C Fit SE Fit Residual St Resid

52 11,1 13,6700 13,5542 0,0125 0,1158 2,80R 54 11,0 13,5300 13,4016 0,0131 0,1284 3,12R 55 11,0 13,5500 13,4171 0,0146 0,1329 3,27R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 0,831540

Keterangan:

C : Total Biaya Produksi Ikan Mas Budidaya KJA W1 : Biaya Benih Ikan Mas

W2 : Biaya Pakan Ikan Mas

W3 : Biaya Tenaga Kerja Berdasarkan Hari Orang Kerja

W4 : Biaya Recovery Externalitas (Biaya Lingkungan)


(6)