Model Dinamika Simpanan Karbon Akibat Perubahan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Barat

MODEL DINAMIKA SIMPANAN KARBON
AKIBAT PERUBAHAN KAWASAN HUTAN
DI PROVINSI SUMATERA BARAT

YUDHA UTAMA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model
Dinamika Simpanan Karbon Akibat Perubahan Kawasan Hutan di Provinsi
Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Yudha Utama
NIM E14080096

ABSTRAK
YUDHA UTAMA. Model Dinamika Simpanan Karbon Akibat Perubahan
Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh Dr. Ir. Budi
Kuncahyo, M.S.
Dewasa ini aktivitas perubahan dan penggunaan kawasan hutan di
dunia semakin meningkat yang menyumbang hampir 40% dari peningkatan
gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini disebabkan berkurangnya kemampuan
hutan untuk menyerap karbon. Atas dasar pemahaman dari isu dan fakta
inilah dirasa perlu adanya suatu penelitian pada suatu lingkup kawasan
tertentu agar dapat mengetahui simpanan karbon tersedia dan mengetahui
faktor apa saja yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan membuat
model dinamika dan mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan
kawasan hutan, mengukur dinamika simpanan karbon hutan di Provinsi

Sumatera Barat dan membuat alternatif skenario yang dapat berdampak
positif pada simpanan karbon yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui simpanan karbon yang ada semakin berkurang setiap tahunnya,
dimana terjadi penurunan sebesar 48.448.999,07 ton hingga tahun 2050 atau
dengan laju penurunan sebesar 949.980,38 ton setiap tahunnya. Berdasarkan
penelitian ini juga diketahui bahwa kegiatan transmigrasi dan pertambangan
hingga saat ini adalah tren yang berpengaruh besar pada laju penurunan luas
kawasan hutan dan penurunan simpanan karbon yang ada. Skenario untuk
memperpanjang daur HTI, penggunaan siklus 30 tahun pada HPH dan
pembatasan perubahan kawasan dapat memberikan efek positif pada
simpanan karbon yang ada.
Kata kunci: deforestasi, degradasi, hutan, karbon.
ABSTRACT
YUDHA UTAMA. Dynamic Model of Carbon Stock from the effect of
forest land changed in Sumatera Barat. Under Direction of Dr. Ir. Budi
Kuncahyo, M.S.
The rate activity of Forest landuse changed in the world was
increase. It caused by a reduced ability from forest to absorb the carbon.
Based from this fact was considered the need of a researched at a scope
certain areas to known the reserved carbon available and known any factor

influenced it. The point of this researched was to made a dynamics model
and known the factor that effected a change of forest areas, measured the
dynamics of carbon stock in the forest of West Sumatera Province and made
an alternative scenario that could be positve impact on the mistress of
carbon that was exist. Based on this research was known deposit of carbon
stock decreased every year. There was a decline of 48.448.999,07 ton or
decreased by 949.980,38 ton a year. From this researched was known forest
carbon in Sumatera Barat was decreased caused of transmigration and
mining activity. Scenario like extended HTI cycle, used 30 years cycle on
HPH and restrictioned changed the region could provided positive effect on
saved carbon that was exist.
Keywords : carbon, deforestation, degradation, forest.

MODEL DINAMIKA SIMPANAN KARBON
AKIBAT PERUBAHAN KAWASAN HUTAN
DI PROVINSI SUMATERA BARAT

YUDHA UTAMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul : Model Dinamika Simpanan Karbon Akibat Perubahan Kawasan
Hutan di Provinsi Sumatera Barat
Nama : Yudha Utama
NRP : E14080096
Disetujui oleh

Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Model Dinamika Simpanan Karbon
Akibat Perubahan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Barat. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini
ialah dinamika simpanan karbon kawasan hutan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S
selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Barat yang telah membantu pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Lutfi Abdullah, S.
Hut, M. Si atas masukan dan saran terhadap penelitian ini. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa
dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Yudha Utama
NRP E14080096

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

vi
vi
vi
1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Hutan

3

Metode Pendugaan Karbon

6


Metode Pendekatan Dinamika Sistem

7

METODE

9

Lokasi dan Waktu Penelitian

9

Data dan Alat

9

Metode Pengumpulan Data

9


Tahapan Analisis Data
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

10
10

Letak Geografis dan Kondisi Alam

10

Keadaaan dan Kondisi Kawasan Hutan

10

Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemodelan Dinamika Simpanan Karbon

13
13

Formulasi Model Konseptual

13

Spesifikasi Model Kuantitatif

14

Submodel Simpanan Karbon Deforestasi

14

Submodel Simpanan Karbon Degradasi Hutan

16


Submodel Simpanan Karbon

22

Evaluasi Model

23

Penggunaan Model

24

Skenario Daur HTI
Skenario Siklus Tebang
Skenario Penanaman

24
25
26

Skenario Provinsi Konservasi
Perubahan Luas Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Barat

27
29

Pendugaan Hasil Pemodelan Dinamika Simpanan Karbon Hutan

29

SIMPULAN DAN SARAN

30

Simpulan

30

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1. Stok Karbon Berdasarkan Jenis Penggunaan Lahan
2. Data Luas Kawasan Hutan
3. Data Perkembangan IUPHHK-HA Sumatera Barat
4. Data Perkembangan Izin HTI
5. Data Perubahan Lahan Hutan Sumatera Barat
6. Evaluasi Model Perubahan Luas Kawasan Hutan
7. Simpanan Karbon Tiap Daur HTI
8. Simpanan Karbon Siklus Tebang HPH
9. Simpanan Karbon Skenario Penanaman
10. Simpanan Karbon Provinsi Konservasi
11. Hasil Pemodelan Luas Kawasan Hutan Sumbar
12. Simpanan Karbon Hasil Pemodelan Kawasan Hutan

7
11
11
11
12
24
25
26
27
28
29
29

DAFTAR GAMBAR
1. Organogram Perubahan Kawasan Hutan Sumatera Barat
2. Model Perubahan Luas Kawasan Hutan Sumatera Barat
3. Grafik Model Simulasi Perubahan Luas Hutan Sumbar
4. Model Simulasi Simpanan Karbon Deforestasi Hutan Sumbar
5. Grafik Simulasi Simpanan Karbon Perubahan Kawasan Hutan
6. Grafik Perubahan Tegakan Hutan Alam
7. Model Pendugaan Simpanan Karbon Tanpa Logging
8. Model Pendugaan Cadangan Karbon Logging
9. Model Pendugaan Simpanan Karbon Total HPH
10. Grafik Model Simulasi Simpanan Karbon HPH
11. Model Jumlah Pohon Per Hektar.
12. Model Jumlah Pohon Setiap Daur HTI
13. Model Simulasi Simpanan Karbon HTI
14. Grafik Model Simulasi Simpanan Karbon HTI
15. Model Simpanan Karbon Total Hutan Sumatera Barat
16. Grafik Simpanan Karbon Total Hutan Sumatera Barat
17. Grafik Perbedaan Simpanan Karbon Tiap Daur HTI
18. Grafik Perbedaan Simpanan Karbon Siklus Tebang HPH
19. Grafik Simpanan Karbon Skenario Penanaman
20. Luas Hutan Skenario Provinsi Konservasi
21. Simpanan Karbon Skenario Provinsi Konservasi

13
14
15
15
16
18
18
19
19
20
20
21
21
22
22
23
25
26
27
28
28

DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Luas Kawasan Hutan Sumatera Barat
2. Tabel Nilai Cadangan Karbon Setiap Penggunaan Lahan
3. Komponen - Komponen Tegakan Hutan Alam
4. Simulasi Model Tegakan HPH

33
33
33
34

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini aktivitas penggunaan lahan kehutanan semakin
meningkat. Menurut IPCC (2007) 40% dari peningkatan Gas Rumah Kaca
(GRK) selama periode 1990 hingga 2004 disumbang dari sektor kehutanan
yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi. Luas kawasan hutan
Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahun, berdasarkan data
statistik kehutanan pada tahun 2007 luas kawasan hutan di Indonesia
sebesar 133.694.685,15 ha sedangkan pada tahun 2011 berdasarkan data
statistik kehutanan tahun 2011 luas kawasan hutan di Indonesia berkurang
hingga 131.279.115,98 ha. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia
selama tahun 2003 – 2006 mencapai 1.089.000 hektar per tahun (Kemenhut
2009). Sedangkan untuk kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat pada
tahun 1991 sebesar 2.881.910 ha (Dephut 2002), pada tahun 1999 sebesar
2.600.286 ha, sedangkan pada tahun 2012 sebesar 2.346.061 ha (Kemenhut
2012). Berdasarkan Data Strategis Kehutanan (2009) diketahui bahwa laju
deforestasi hutan di Sumatera dari tahun 2000 – 2006 sebesar 1.345.500 ha
atau sebesar 269.100 ha/tahun, sedangkan untuk Provinsi Sumatera Barat
tercatat laju deforestasi dari tahun 2003 – 2006 sebesar 1.373,40 ha/tahun.
Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas, sektor
kehutanan Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat deforestasi (perubahan fungsi hutan) dan
degradasi (penurunan nilai fungsi hutan) pada kawasan hutan di Indonesia.
Perubahan tingkat deforetasi dan degradasi hutan di Indonesia terjadi akibat
meningkatnya kebutuhan lahan pertanian, perkebunan, pertambangan,
pemukiman dan pembangunan infrastuktur negara. Deforestasi dan degradasi pada suatu kawasan hutan yang terjadi dapat berakibat pada
perubahan simpanan karbon yang ada pada kawasan hutan tersebut.
Gas CO2 merupakan salah satu GRK paling utama dengan
konsentrasi sekitar 35% dari total GRK yang ada. Sekitar 33% dari
peningkatan CO2 tersebut berasal dari kegiatan penggunaan lahan, alih guna
lahan dan hutan (Land Use, Land Change and Forestry, LULUCF).
Menurut Laporte et al. (2008) sekitar 350 milyar ton karbon berada pada
hutan tropis dan dapat diemisikan ke atmosfir melalui deforestasi dan
degradasi hutan. Lebih lanjut IFCA (2007) menjelaskan bahwa emisi dari
kegiatan deforestasi dan degradasi sebagian besar berasal dari negara
berkembang, khususnya yang memiliki hutan tropis terbesar seperti
Indonesia, Brazil dan Kongo.
Menurut Budiharto (2009) simpanan karbon di Indonesia pada
periode 1990-2000 baik yang ada di kawasan hutan ataupun non kawasan
hutan terus menurun setiap tahunnya, yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata
per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi 1.046,78 Mt pada
periode 2000-2003 atau 348,93 Mt /tahun, dan periode 2003-2006 menurun
lagi menjadi 531,68 Mt atau 177,56 Mt/tahun). Penurunan terbesar terjadi di
Pulau Kalimantan dan Sumatera dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35
Mt/tahun dan 77,57 Mt/tahun. Sahardjo (2009) menyebutkan bahwa jumlah

2
karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau
sekitar 53,1% terdapat di Indonesia yang terbagi pada 3 pulau besar yakni
Sumatera tersimpan 18,3 Gt (41,1%), Kalimantan 15,1 Gt (33,8%) dan
Papua Barat 10,3 Gt (23%). Menurut FAO (2010), simpanan karbon pada
biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000
sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010
sebesar 13.017 juta ton atau sebesar 138 juta ton/hektar.
Berkurangnya luas hutan yang ada akan sangat mempengaruhi
fungsi hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon yang ada dari
atmosfir. Peningkatan emisi GRK mengakibatkan pemanasan global dan
perubahan iklim atau yang dikenal dengan climate change. Berdasarkan
IPCC (2007) suhu permukaan bumi meningkat hampir dua kali lipat yaitu
sebesar 0,013oC pertahun dari tahun 1956 – 2006 dibanding peningkatan
100 tahun yang lalu (1906 -2006) hanya sebesar 0,0074oC per tahunnya.
Pemanasan global juga mengakibatkan naiknya ketinggian rata-rata permukaan air laut, dimana pada tahun 1961 -2003 peningkatan air permukaan
air laut sebesar 1,8 mm pertahun menjadi 3,1 mm pertahun.
Atas dasar pemahaman dari isu-isu dan fakta yang diangkat inilah
dirasa perlu adanya suatu penelitian pada suatu lingkup kawasan tertentu
agar dapat mengetahui simpanan karbon tersedia dan mengetahui faktor apa
saja yang mempengaruhi. Fokus dalam penelitian ini adalah seberapa jauh
dampak perubahan kawasan hutan terhadap simpanan karbon yang ada di
dalamnya. Penelitian ini juga nantinya diharapkan mampu memberi gambaran alternatif solusi terbaik dalam penggunaan lahan terkait ketersediaan
simpanan karbon suatu wilayah.
Perumusan Masalah
Tingginya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan semakin
besarnya kebutuhan akan lahan. Pembangunan di sektor non-kehutanan
menjadi salah satu faktor berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan.
Kebutuhan manusia akan tempat tinggal, kebutuhan pangan, sumberdaya
tambang hingga kebutuhan akan kayu senantiasa menjadi alasan utama
berdirinya industri-industri pemenuhan kebutuhan tersebut. Berkurangnya
luas dan tutupan kawasan hutan menimbulkan suatu konsekuensi negatif
yaitu meningkatnya angka emisi di sektor LULUCF (Land Use, Land Use
Change and Forestry).
Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar 66.180.70
hektar, tahun 2006 seluas 151.892,73 hektar dan tahun 2007 sebesar
73.673.99 hektar, sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas
77.216,73 hektar (Kemenhut 2008). Tercatat perkembangan lahan untuk
pembangunan di sektor non-kehutanan hingga akhir tahun 2008 mencapai
1.357.791 ha. Menurut Kemenhut (2009) sampai dengan akhir tahun 2009
luas kawasan pinjam pakai mencapai 11.889,96 ha, tukar menukar kawasan
104.750 ha, pelepasan kawasan untuk perkebunan 362.864,77 ha dan
pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi 4.995 ha. Tingginya luas
kawasan yang dikonversi untuk kebutuhan disektor non-kehutanan
mengakibatkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini

3
berpengaruh langsung terhadap hilangnya kemampuan lahan dalam
menyimpan karbon.
Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan
pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian
Kehutanan merencanakan pembangunan HKm seluas 45.500 hektar, hutan
desa 39.000 hektar, RHL 62.100 hektar sampai dengan tahun 2014. Untuk
memenuhi kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR
dan HTI sampai tahun 2020 seluas 508.000 hektar. Selain itu akan
dilakukan pemanfaatan LOA (Log Over Area) seluas 163 ribu hektar
(Kemenhut 2010).
Deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Sumatera Barat setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kegiatan IUPHHKHA, IUPHHK-HT, kegiatan pertambangan, pembangunan sektor perkebunan, alokasi untuk penggunaan lainnya (APL) dan kebakaran hutan.
Penelitian ini tidak akan mengikutsertakan kebakaran hutan sebagai faktor
yang berpengaruh, penelititan ini hanya mempertimbangkan simpanan
karbon dalam keterkaitannya terhadap perubahan kawasan hutan. Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah bagaimanakah tren yang
terjadi pada kawasan hutan di provinsi Sumatera Barat, faktor apa saja yang
berpengaruh besar pada perubahan kawasan hutan dan bagaimanakah
hubungan keterkaitan antara pola penggunaan dan perubahan kawasan hutan
dengan tingkat simpanan karbonnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat model dinamika perubahan
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat. Menentukan faktor-faktor yang
berperan besar dalam perubahan kawasan hutan di Sumatera Barat.
Penelitian juga bertujuan untuk mengukur dinamika simpanan karbon hutan
di Provinsi Sumatera Barat dan membuat beberapa skenario yang
berdampak positif bagi simpanan karbon di kawasan hutan Sumatera Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat antara lain untuk
menyediakan informasi mengenai pendugaan luas kawasan hutan dan
simpanan karbon di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi dasar pertimbangan penerapan pemanfaatan kawasan hutan
berbasis REDD+ dikemudian hari.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Hutan
Tata cara perubahan, peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional
dengan tetap berlandaskan optimalisasi distribusi fungsi, lestari dan
berkelanjutan. Kebijakan yang ada inilah yang dijadikan dasar acuan pada
penelitian ini, seperti peraturan mengenai izin pinjam pakai kawasan hutan,
izin pelepasan kawasan hutan, izin tukar menukar kawasan hutan dan izin
perubahan fungsi kawasan hutan. Beberapa kebijakan dan peraturan
pemerintah yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

4
1. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pinjam pakai kawasan adalah hak penggunaan sebagian kawasan
kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan diluar sektor nonkehutanan yang bersifat strategis dan terbatas tanpa mengubah status,
peruntukan dan fungsi kawasan. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2008 dimana pinjam pakai
kawasan hutan dapat berbentuk :
(a) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan yang bersifat non komersial pada provinsi yang luas
kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan provinsi, dengan tanpa
biaya kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.
(b) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30%
(tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP
Penggunaan Kawasan Hutan.
(c) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari
30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi
lahan bukan kawasan hutan. Ijin ini mengatur pinjam pakai kawasan hutan
produksi dan hutan lindung dengan batasan bahwa di hutan lindung tidak
dilakukan pola penambangan terbuka dan hanya dilakukan di hutan
produksi. Bila luas kawasan hutan lebih besar dari 30% maka kompensasi
lahan ditiadakan dan pemohon hanya membayar PNBP. Namun bila luas
hutan kurang dari 30% luas daratan maka pemohon harus menyediakan
lahan kompensasi yang berada pada 1 DAS atau Pulau dan juga harus
membayar PNBP.
2. Izin Pelepasan Kawasan Hutan
Kebijakan pelepasan kawasan mengacu pada PP Nomor 10 Tahun
2010 dimana pelepasan kawasan hutan dalam SK bersama ini adalah
pengubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara untuk keperluan Usaha Pertanian dan dalam peraturan ini terdapat
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Pelepasan kawasan hutan hanya bisa dilakukan di HPK;
b. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas
kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali
dengan cara tukar menukar kawasan hutan.
c. Hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), baik dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan.
d. Pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
e. Jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
3. Izin Tukar Menukar Kawasan
Tukar menukar kawasan adalah kegiatan pelepasan kawasan hutan
secara tetap untuk pembangunan diluar kehutanan yang diimbangi dengan

5
memasukan lahan pengganti. Kebijakan yang mengatur izin tukar menukar
kawasan dimulai dengan diterbitkannya Surat keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang tukar menukar kawasan hutan dan
selanjutnya hanya terjadi perbaikan-perbaikan selama 5 (lima) kali tanpa
menghapus atau mengganti peraturan terdahulu sehingga dalam membahas
kebijakan tukar menukar kawasan hutan ini hanya dibatasi pada perbaikanperbaikan oleh peraturan menteri kehutanan.
a. SK Nomor 292/KPTS-II/1995
Tukar menukar kawasan hutan adalah kegiatan pelepasan kawasan
hutan tetap menjadi kawasan nonhutan yang diimbangi dengan memasukan
lahan pengganti, dimana HPK tidaklah termasuk bagian dari hutan tetap dan
HPK juga tidak dapat digunakan sebagai lahan pengganti melainkan APL.
Kriteria APL yang dapat digunakan sebagai lahan pengganti haruslah berada
pada subDAS atau DAS atau dalam pulau yang sama pada provinsi tertentu
serta memiliki ciri fisik sebagai hutan lindung.
b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 66/Menhut-II/2006
Perubahan yang terjadi hanya berupa penambahan mengenai tukar
menukar kawasan di hutan mangrove, apabila tidak tersedia lahan pengganti
dengan ciri fisik yang serupa dapat diganti dengan lahan kering setelah
dibuktikan dengan pengujian dan penelitian serta dibangun ekosistem
buatan sebagai pengganti.
c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26/Menhut-II/2007
Keputusan ini merubah prinsip tukar menukar kawasan yang
sebelumnya, dengan memperbolehkan HPK diubah menjadi HP
dikarenakan kondisi APL yang ada telah dirubah menjadi pemukiman,
pertanian namun perkebunan, pertambangan dan sebagainya masih terdapat
dalam kawasan hutan sehingga HPK layak ditukar menjadi HP sebagai
kompensasi HP yang dilepas.
Dalam peraturan ini juga telah mengedepankan kriteria lahan yang
dapat digunakan untuk tukar menukar. Areal yang digunakan adalah areal
tidak berhutan, tanah kosong, padang alang-alang dan semak belukar yang
tidak dibebani izin. Untuk lahan pengganti dari HPK sebelumnya harus
dilakukan pelepasan terlebih dahulu menjadi APL. Serta untuk areal
pengganti harus dihapus kepemilikannya dari Badan Pertanahan Nasional.
Batasan lain yang harus diperhatikan adalah rasio. Bila tukar
menukar untuk kepentingan umum maka rasionya adalah 1:1, namun jika
untuk kepentingan strategis bagi kemajuan perekonomian nasional dan
kesejahteraan umum maka rasionya 1:2, jika untuk okupasi 1:1, jika untuk
pertanian dan dan pemekaran wilayah dimana luas hutan besar dari 50%
maka 1:1, namun bila luas hutan antara 30%-50% maka 1:2 dan jika luas
hutan kecil dari 30% maka 1:3.
Secara umum proses perijinan sama sehingga peran aktor sama.
Namun terjadi perubahan birokrasi karena pada era ini telah terbit UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sehingga untuk
pertimbangan teknis lokasi dapat diurus oleh instansi otonomi yang
menangani kehutanan.

6
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2007
Peraturan ini menegaskan pengertian umum yang berdampak pada
peningkatan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum seperti jalan umum,
saluran air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, fasilitas
pemakaman, fasilitas keselamatan umum, transmigrasi serta penempatan
korban bencana alam yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari
keuntungan.
e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/Menhut-II/2008
Peraturan ini merupakan perubahan atas Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa pemenuhan terhadap kewajiban tukar menukar kawasan hutan memerlukan
proses sementara terdapat kondisi-kondisi tertentu terhadap kawasan yang
dimohonkan sehingga diberikan dispensasi penggunaan kawasan tersebut
untuk masa paling lama dua (2) tahun.
f. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 16/Menhut-II/2009
Peraturan ini menambahkan kriteria pada kegiatan tukar menukar
kawasan yang belum terakomodir seperti fasilitas pendidikan.
4. Izin Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Perubahan fungsi kawasan adalah kegiatan merubah sebagian atau
seluruh fungsi hutan dalam satu kawasan dengan tujuan mengamankan
keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian
serta sebagai penyangga kehidupan seperti yang tertulis pada PP No 70
tahun 2001.
Kegiatan perubahan fungsi kawasan hutan ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan
dan Fungsi Kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan
sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan
menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan
nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi
distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta
keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
Perubahan fungsi kawasan hutan dapat berlangsung pada kawasan
hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi yang dapat dilakukan
secara parsial atau dalam suatu wilayah provinsi. Namun perubahan kawasan
hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada
provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%.
Metode Pendugaan Karbon
Metode pendugaan simpanan karbon kawasan hutan pada penelitian
ini mengacu pada metode perhitungan IPCC (2006) untuk sektor AFOLU
Dimana untuk mendapatkan nilai emisi/ serapan GRK menggunakan rumus:
Emisi/ Serapan GRK = DA X FE
Keterangan :
DA
= Data aktifitas (Ha)
FE
= Faktor emisi (tonC/Ha)

7
Faktor emisi yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya
seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Simpanan karbon berdasarkan jenis penggunaan lahan
No.

Jenis Penggunaan

Cadangan Karbon

Lahan

(Ton/Ha)

Sumber Pustaka

1.

Hutan Primer

348,02

Tresnawan dan Rosalina (2002)

2.

Hutan Bekas Tebangan

189,26

Tresnawan dan Rosalina (2002)

Metode pendugaan simpanan karbon pada hutan yang dibebani izin
konsesi HPH dengan cara mengalikan total bomassa yang ada dengan faktor
konversinya. Total biomassa mengacu pada penelitian Basuki et al. (2009)
yaitu ln Biomassa = -1.498+2.234(LnDBH)) sedangkan faktor konversinya
berdasarkan pada International Panel on Climate Change/ IPCC (2006)
sebesar 0,47 total biomassa.
Pendugaan simpanan karbon pada areal konsesi HTI mengacu pada
penelitian Purwitasari (2011) diketahui untuk tanaman jenis Acacia
mangium dengan daur 4-10 tahun, jarak tanam 2,5 x 3m, tingkat kematian
5% rumus pendugaan simpanan karbonnya adalah C= 0,060255D2,39.
Metode Pendekatan Dinamika Sistem
Menurut Purnomo (2004) analisis sitem lebih mendasarkan pada
kemampuan kita untuk memahami fenomena dari data yang tersedia.
Analisis sistem adalah sebuah pemahaman yang berbasis pada proses,
sehingga sangat penting untuk memahami proses-proses yang terjadi.
Membuat analogi-analogi terkadang merupakan cara yang penting untuk
memahami sesuatu. Pemahaman akan adanya isomorisme antar beragam
sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu menjadi mungkin, bahkan
pada suatu sistem yang kita buta sekali akan perilakunya.
Pemodelan adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu.
Model adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang
terdapat di dunia nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa
sebuah dunia nyata kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan
sifat-sifat utamanya dengan menggunakan perpaduan antara seni dan logika.
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan subsistem adalah suatu
unsur atau komponen dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian
sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi bahwa proses alami
terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses sistem terbentuk
dari hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak ada sistem
yang terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain
(Gayatri, 2010)
Menurut Grant et al. (1997), analisis sistem adalah studi yang
dibentuk satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem.
Analisis sistem adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk
simulasi yang dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukan masalah
yang berkaitan dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan
pada pendekatan holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan

8
model matematika untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik
yang penting dari sistem yang kompleks. Tahapan analisis sistem menurut
Grant et al. (1997), sebagai berikut :
a. Formulasi Konseptual.
Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan
model sistem yang dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan
pada kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu
dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati
keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukan dalam
simulasi dengan memperhatikan komponen-komponen terkait yang sesuai
dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini
terdiri dari tiga langkah sebagai berikut :
1. Penentuan isu, tujuan, dan batasan model.
2. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem.
3. Pengedintifikasian hubungan antar komponen.
Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem
dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan
fungsinya sebagai berikut ;
1. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem.
2. Driving variable, variable yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.
3. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik
sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami
perubahan pada setiap kondisi simulasi.
4. Auxiliary variable, variable yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi
sistem.
5. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode
tertentu yang terletak diantara dua state, source, dan sink.
6. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang
state dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
7. Source and sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya
proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.
b. Spesifikasi Model Kuantitatif
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model
kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini
dilakukan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing
nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan
komponen penyusun modelsistem tersebut kedalam persamaan matematik
sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi. Spesifikasi model
terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar yang
digunakan dalam simulasi.
2. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model.
3. Menduga parameter dari persamaan model.
4. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.
5. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model.

9
c. Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan
membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi
model yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi
tujuan-tujuan tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :
1. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model
2. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.
3. Membandingkan model dengan sistem nyata.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku
model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang
telah dibuat.
d. Penggunaan Model
Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi beberapa hasil skenario yang telah di evaluasi,
sehingga dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta
mengetahui tren yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk menguji
sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario yang ada.
Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal yang harus dilakukan, sebagai
berikut :
1. Memeriksa ulang stuktur model, termasuk nilai parameter yang
dipergunakan untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal
model.
2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi secara seksama.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada lingkup kawasan hutan di Provinsi
Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Desember 2012
hingga Februari 2013.
Data dan Alat
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan data Statistik Kehutanan 2012.
Data-data tersebut meliputi data penggunaan kawasan hutan pada masa
lampau dan rencana penggunaanya di masa depan. Alat yang digunakan
yaitu seperangkat komputer serta perangkat lunak (software) untuk
mengolah data, yaitu STELLA 9.0.2, Microsoft Office Excel 2007 dan
Minitab 16.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data hasil dan
rencana manajemen hutan di Provinsi Sumatera Barat selama kurun waktu
minimal 2009-2011. Adapun data perubahan peruntukan dan alih fungsi
kawasan hutan meliputi :

10
a. Data perubahan fungsi kawasan hutan
b. Data pelepasan kawasan hutan
c. Data pinjam pakai kawasan
d. Data tukar menukar kawasan
Data pemanfaatan kawasan hutan meliputi :
a. Data pembangunan HPH
b. Data pembangunan HTI
Tahapan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan analisis sistem. Model yang dibangun dari pendekatan sistem
ini akan menjelaskan pola penggunaan lahan serta hubungannya dengan
tingkat simpanan karbon dan emisi di Provinsi Sumatera Barat. Data yang
didapatkan diperkaya dengan review hasil-hasil penelitian di lokasi lain.
Tahapan pembuatan model dan analisis data pada penelitian ini mengacu
pada tahapan analisis sistem menurut Grant et al. (1997). Berikut tahapantahapan dalam pembangunan model:
1. Formulasi model konseptual
2. Spesifikasi Model Kuantitatif
3. Evaluasi model
4. Penggunaan model

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Kondisi Alam
Provinsi Sumatera Barat terletak pada 0,540LU - 3,300LS dan
98,360BT - 101,530BT. Provinsi ini berbatasan disebelah utara dengan
Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau, disebelah selatan berbatasan
dengan Provinsi Bengkulu, disebelah timur berbatasan dengan Provinsi Riau
dan Jambi, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Provinsi
Sumatera Barat memiliki luas daratan sebesar 4.289.800 ha atau sebesar
2,23% luas daratan Indonesia provinsi Sumatera Barat memiliki jumlah
sembilan kabupaten dan enam kotamadya dengan 120 Kecamatan dan 2.176
desa. Provinsi Sumatera Barat memiliki jumlah penduduk
sebesar
4.228.000 jiwa berdasarkan sensus tahun 2000 dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar 0,57% dsn presentase penduduk per propinsi sebesar
2,08% dan kepadatan penduduk : 99/km2 (Indonesia 106/km2)
Provinsi Sumatera Barat memiliki suhu maksimum sebesar 29,8 °C
yang dicapai pada bulan April dan suhu minimum 15,6 °C yang dicapai
pada bulan Mei. Sumatera Barat memiliki kelembaban rata-rata sebesar
88,4-93% dengan curah hujan maksimum sebesar 594,1 mm yang dicapai
pada bulan Oktober dan curah hujan minimum sebesar 92,4 mm pada bulan
Juni.
Keadaaan dan Kondisi Kawasan Hutan
Keadaan penutupan lahan Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan
hasil penafsiran citra landsat yang berkisar dari tahun 1994 s/d 1998 di
wilayah daratan Sumatera Barat diketahui bahwa luas daratan yang masih

11
berupa hutan (berhutan) adalah sebesar 47 % dan daratan yang bukan
berupa hutan (Non Hutan) sebesar 39 %. Penutupan lahan non hutan adalah
penutupan lahan selain daratan yang bervegetasi hutan yaitu berupa
semak/belukar, lahan tidak produktif, sawah, lahan pertanian, pemukiman,
alang-alang dan lain-lain. Luas hutan di Provinsi Sumatera Barat menurut
SK Menhut 422/KPTS-II/1999 memiliki luas sebesar 2.600.286 ha
sedangkan menurut SK Menhut 141/Menhut-II/2012 kawasan hutan
Sumatera Barat sekarang memiliki luas 2.346.061 ha dan jelas terlihat
kawasan hutan mengalami penurunan dalam segi luas mencapai 254.225 ha
dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan tingginya tingkat
pembangunan pada sektor non-kehutanan seperti pertanian, perkebunan,
perumahan, industri pertambangan dan lain-lainnya.
Data luas dan perubahan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat
sejak tahun 1999 ditampilkan pada Tabel 2,3,4 dan 5 sebagai berikut.
Tabel 2 Data luas kawasan hutan
Jenis Hutan
Luas Hutan (ha)
Hutan lindung
910.533
Hutan konservasi
846.175
Hutan Produksi
246.383
Hutan Produksi Terbatas
407.849
Hutan Produksi Konversi
189.346
Sumber : SK Menhut 422/KPTS-II/1999

Tabel 3 Data perkembangan IUPHHK-HA Sumatera Barat
Data perkembangan IUPHHK-HA Sumatera Barat
Tahun
Luas (ha)
total luas(ha)
2005
208.820,00
208.820,00
2006
0,00
208.820,00
2007
3.703,14
212.523,14
2008
2.619,00
215.142,14
2009
160.590,00
375.732,14
2010
0,00
375.732,14
2011
0,00
375.732,14
Sumber : Dinas Kehutanan Sumatera Barat (2011)

Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Tabel 4 Data perkembangan izin HTI
Data statistik perkembangan HTI Sumatera Barat
Luas (ha)
Total luas(ha)
46.743,00
46.743,00
46.743,00
93.486,00
0,00
93.486,00
1.816,60
95.302,60
35.292,00
128.778,00
0,00
128.778,00
0,00
128.778,00

Sumber : Dinas Kehutanan Sumatera Barat (2011)

12

Tahun
2004
2008
2009
2010
2011
Tahun
2004
Tahun
2001
2004
2004
Tahun
Tahun
2006
2006
2007
2011

Tabel 5 Data perubahan lahan hutan Sumatera Barat
Data Perubahan Lahan
Hutan Lindung
Tujuan Penggunaan
Luas
Jenis Penggunaan
Pinjam Pakai
Non-Tambang
1935,88
Kawasan
Pinjam Pakai
Tambang
184,00
Kawasan
Pinjam Pakai
Tambang
57,70
Kawasan
Pinjam Pakai
Tambang
682,45
Kawasan
Pinjam Pakai
Tambang
190,65
Kawasan
Hutan konsevasi
Tujuan Penggunaan
Luas
Jenis Penggunaan
Pinjam Pakai
Non-Tambang
198,78
Kawasan
Hutan Produksi
Tujuan Penggunaan
Luas
Jenis Penggunaan
Transmigrasi 1.750,00
Pelepasan Kawasan
Pinjam Pakai
Tambang
484,00
Kawasan
Pinjam Pakai
Non-Tambang
65,65
Kawasan
Hutan Produksi Terbatas
Tujuan Penggunaan
Luas
Jenis Penggunaan
Hutan Produksi Konversi
Tujuan Penggunaan
Luas
Jenis Penggunaan
Kebun Sawit 14.032,50
Pelepasan Kawasan
HPT 1.002,00 Alih fungsi Kawasan
Kebun Sawit 9.038,00
Pelepasan Kawasan
Transmigrasi 1.191,60
Pelepasan Kawasan

Sumber : Dinas Kehutanan Sumatera Barat (2011)

Data pada tabel diatas akan digunakan untuk mengetahui seberapa
jauh dampak perubahan, penggunaaan dan alih fungsi terhadap perubahan
luas kawasan dan perubahan jumlah simpanan karbon yang terjadi pada
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat sesuai dengan tujuan pada
penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak
pembangunan tersebut terhadap perubahan wilayah kawasan hutan dan
simpanan karbon yang ada di dalam hutan itu sendiri.
Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Sensus tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah Penduduk di provinsi
Sumatera Barat sebesar 4.228.000 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 0,57%, dan kepadatan penduduk sebesar 99 jiwa/km2 (Indonesia

13
106/km2) yang didominasi oleh masyarakat dengan kebudayaan
minangkabau. Pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitar hutan belum
optimal, hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan jasa lingkungan dan
pariwisata alam di masyarakat yang belum berkembang. Hal ini dikarenakan
minat dan pemahaman masyarakat terkait bidang kehutanan masih rendah
serta keberadaan kawasan hutan seperti batas-batasnya di lapangan belum
seluruhnya diakui oleh masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemodelan Dinamika Simpanan Karbon
Formulasi Model Konseptual
Pada tahapan ini dilakukan pengelompokan terhadap semua
perubahan yang terjadi pada wilayah hutan Sumatera Barat sejak tahun 1999
dan disusun menjadi sebuah organogram.
Berdasarkan data perubahan, peruntukan dan alih fungsi pada
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat sebelumnya dibuatlah sebuah
konsep model yang digunakan sebagai dasar acuan pengembangan pada
penelitian ini. Model konseptual yang dibangun dapat dilihat pada Gambar 1
sebagai berikut.

Gambar 1 Organogram perubahan kawasan hutan Sumatera Barat
Model yang dibangun berdasarkan data diatas diklasifikasikan dalam
tiga submodel yakni
1. submodel simpanan karbon deforestasi hutan
2. submodel simpanan karbon degradasi hutan
3. submodel perubahan simpanan karbon total
Kemudian model yang ada ini akan disimulasikan hingga tahun 2050
berdasarkan pada tren yang ada saat ini.

14
Spesifikasi Model Kuantitatif
Submodel Simpanan Karbon Deforestasi
Model deforestasi hutan bertujuan untuk mengetahui bagaimana skema
penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Barat. Perubahan peruntukan dan
alih fungsi kawasan hutan dapat dipengaruhi oleh adanya pinjam pakai
kawasan, tukar menukar kawasan, alih fungsi dan pelepasan kawasan hutan.
Submodel ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Sub-submodel Perubahan Luas Kawasan Hutan Sumatera Barat
2. Sub-submodel Perubahan Simpanan Karbon Terhadap Perubahan Hutan
Sumatera Barat
Sub-submodel Perubahan Luas Kawasan Hutan
Data aktivitas perubahan lahan tersebut kemudian disimulasikan ke
dalam sub-submodel Perubahan Luas Kawasan hutan Sumatera Barat
dengan asumsi bahwa tren yang ada masih akan tetap sama hingga tahun
mendatang dimana kegiatan pinjam pakai untuk kawasan tambang sebesar
272,2 ha/tahun dan perubahan kawasan untuk transmigrasi sebesar 1191,6
ha/tahun masih akan terus berlanjut. Sub-submodel perubahan luas kawasan
hutan ini disajikan pada Gambar 2.
landuse change Sumbar
HL

mutasiHLtambang
mutasiHPNonTambang

HP
MutasiHPTtambang
mutasi HPTrans
tambang

H Cons
HPK

trans
mutasiHPKTrans

perkebunan

mutasiHPKHPT
mutasiHPKKebun
HPT
mutasiHLNontambang

NonTambang

mutasi HK NonTambang
KH

NKH

Gambar 2 Model perubahan luas kawasan hutan Sumatera Barat
Pada sub-submodel perubahan luas kawasan hutan ini diketahui
bahwa :
1.
2.

source adalah luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya yang mengacu
pada SK Menhut 422/KPTS-II/1999 yang disajikan pada Tabel
sink berupa tujuan penggunaan seperti tambang, transmigrasi,
perkebunan dan non-tambang.

15
Material transfer pada submodel ini adalah semua data perubahan lahan
hutan Sumatera Barat dari tahun 1999 seperti yang ditampilkan pada
Tabel 5.
4. Hasil perubahan pada setiap source kemudian diakumulasikan pada
variable Kawasan Hutan (KH) untuk wilayah hutan dan variable Non
Kawasan Hutan (NKH) wilayah non-hutan.
Grafik simulasi perubahan luas kawasan hutan Sumatera Barat dapat dilihat
pada Gambar 3.
3.

1: KH
1:

2605000
1

1
1:

2555000
1

1

1:

2505000
1999.00

2011.75

2024.50
tahun

Page 1

2037.25
12:11

2050.00
27 Mar 2013

Graf ik perubahan Luas kawasan Hutan

Gambar 3 Grafik model simulasi perubahan luas hutan Sumbar
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat tren yang ada bahwa luas
kawasan hutan di Sumatera Barat cenderung mengalami penurunan setiap
tahunnya.
Sub-submodel Perubahan Simpanan Karbon Terhadap Perubahan
Hutan
Simpanan karbon pada luas kawasan hutan dapat dimodelkan dengan
menggunakan data yang didapatkan dari hasil pemodelan luas kawasan
hutan pada Gambar 2. Simpanan karbon perubahan luas hutan Sumatera
Barat ditampilkan pada Gambar 4.
CStok Landuse

H Cons
C HCons
HL

CHL

C stock

Ctotal tata Guna Lahan

HP
CHP

HPK

CHPT
CHPK
HPT

Gambar 4 Model simulasi simpanan karbon deforestasi hutan Sumbar

16
Pada Sub-sub model simpanan karbon diatas dapat diketahui bahwa :
1. Luas hutan berdasarkan fungsinya yang mengacu pada pemodelan
sebelumnya bertindak sebagai Driving variable pada sistem ini
2. Driving variable selanjutnya adalah nilai simpanan karbon yang berasal
dari penelitian sebelumnya, yaitu sebesar 348,02 ton/ha untuk hutan
primer dan 189,26 untuk hutan sekunder (Tresnawan dan Rosalina
2002).
3. Auxilary variable berupa hasil simpanan karbon tiap jenis penggunaan
hutan didapat dari persamaan yang mengacu pada IPCC (2006) dimana
hasil yang didapat berdasarlkan hasil perkalian antara luas tiap jenis
hutan dengan nilai simpanan karbon masing-masing hutan.
4. Variable cadangan karbon total pada submodel simpanan karbon
deforestasi didapat dari akumulasi simpanan karbon pada tiap jenis
penggunaan lahan hutan yang ada.
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat perubahan simpanan karbon
pada hutan di Sumatera Barat yang disajikan pada Lampiran 5 dan grafik
hasil simulasi simpanan karbonnya dapat dilihat pada Gambar 5.
1: Ctotal tata Guna Lahan
1:

775000000

1

1
1:

760000000
1
1

1:

745000000
1999.00

Page 1

2011.75

2024.50
tahun

2037.25
22:08

2050.00
31 Mar 2013

Graf ik Simulasi Simpanan Karbon Perubahan Tata Guna Lahan Hutan

Gambar 5 Grafik simulasi simpanan karbon perubahan kawasan hutan
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa simpanan karbon pada
pola submodel simpanan karbon deforestasi terus menurun, dimana hal yang
sama juga terjadi pada model perubahan luas kawasan sebelumnya.
Penurunan luas kawasan yang terjadi dapat dikatakan memiliki kolerasi
terhadap penurunan simpanan karbon yang ada pada hutan di provinsi
Sumatera Barat.
Submodel Simpanan Karbon Degradasi Hutan
Degradasi hutan adalah suatu penurunan kerapatan pohon dan
meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya
hasil-hasil hutan dan berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan.
Degradasi hutan yang menjadi fokus dalam penelitian ini berkaitan dengan
penurunan kerapatan pohon yang disebabkan oleh terbitnya Izin Usaha
Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan alam (IUPHHK-HA) dan Izin Usaha
Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Submodel

17
degradasi hutan dibagi menjadi dua, yang terdiri dari sub-submodel hutan
alam dan sub-submodel hutan tanaman.
Sub-submodel Hutan Alam
Dinamika pemodelan degradasi pada hutan alam Sumatera Barat
dibagi menjadi tiga model yaitu
1. Model Dinamika Tegakan pada Hutan Alam dengan Izin Konsesi
2. Model Simpanan Karbon Non-logging
3. Model Simpanan Karbon logging
4. Model Simpanan Karbon Total
1.Model Dinamika Tegakan pada Hutan Alam dengan Izin Konsesi
Hasil pemodelan ini disajikan pada Lampiran 5. Pada model tersebut
dapat diketahui bahwa :
1. state variable pada sistem ini adalah jumlah pohon pada setiap kelas
diameter (KD) yang mengacu pada penelitian Agustini (2006) yang
disajikan pada Lampiran 3.
2. Perubahan pohon dalam KD dipengaruhi oleh material transfer berupa
ingrowth, upgrowth dan mortality serta banyak pohon pada kelas
diameter itu sendiri. Ingrowth adalah banyaknya pohon yang mengalami
penambahan diameter dari masih dalam tingkat tiang ke tingkat pohon
pada diameter minimal dari suatu periode, sedangkan upgrowth adalah
pohon yang tumbuh dan keluar dari kelas diameter tertentu setelah satu
periode tertentu (Alder, 1995). Penelitian mengenai ingrowth dan
upgrowth pada hutan alam di Indonesia pernah dilakukaan oleh
Krisnawati (2001).
3. Persamaan ingrowth yang diadopsi dari penelitian ini yakni Y= 3,98 +
0,0269NHA – 0,33LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, NHA adalah
jumlah pohon per hektar dan LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).
4. Persamaan upgrowth yang digunakan dalam model ini adalah Y = 0,214
+ 0,00235LBDS + 0,00925D – 0,00012D2 yang kemudian dikalikan
jumlah pohon pada KD sebelumnya, dimana Y adalah jumlah pohon,
NHA adalah jumlah pohon per hektar dan LBDS adalah luas bidang
dasar (m2/ha).
5. Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang
umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Nilai mortality rate
mengacu pada penelitan elias (1995) yaitu untuk KD 10-19 cm sebesar
0,3074, pada KD 20-29 sebesar 0,0747, pada KD 30-39, pada KD 40-49
sebesar 0,0126, pada KD 50-59 sebesar 0,0118 dan pada KD 60up
sebesar 0,01005
Berdasarkan Grafik perkembangan jumlah tegakan pada hutan alam ini
dapat dilihat pada Gambar 6.

18
1: NHA
1:
2:
3:

2: Ingrowth
735
10
50

3: Penebangan
1

1

2
1:
2:
3:

685
5
25

1

1

1:
2:
3:

635
0
0

3
1999.00

2

3

2009.25

2

3

2019.50
tahun

Page 1

2

3

2029.75
18:59

2040.00
15 Mar 2013

Graf ik perubahan tegakan ada hutan alam

Gambar 6 Grafik perubahan tegakan hutan alam
Berdasarkan grafik pada Gambar 6, dengan asumsi intensitas pemanenan sama dengan satu dapat dilihat seiring berjalan waktu perkembangan tanaman muda semakin berkurang, bisa dilihat dengan
mengamati grafik ingrowth yang semakin menurun, persaingan dalam mendapatkan sinar matahari mengakibatkan tanaman muda sulit berkembang
dikarenakan sinar matahari yang datang tertutup oleh tajuk tanaman dewasa
disekitarnya. Berdasarkan Gambar 6 juga dapat dilihat bahwa perkembangan pada hutan alam akan terus meningkat hingga mencapai nilai
maksimum kemudian mengalami penurunan yang diakibatkan oleh
pemanenan. Perkembangan tegakan ini akan sangat mempengaruhi nilai
simpanan karbon didalam hutan tersebut.
2. Model Simpanan Karbon Non-logging
Berdasarkan model pada Lampiran 5 perhitungan simpanan karbon
pada hutan bekas tebangan hutan alam yang memiliki izin konsesi dibagi
menjadi dua, yaitu: perhitungan simpanan karbon non-logging pada Gambar
7.
Pendugaan C stok HPH non logging

KD2029

KD4049

KD3039

KD5059

KD60up

KD1019
D2029

D3039
D4049

BiomassaKD1019

D60up

BiomassaKD5059

BiomassaKD3039
BiomassaKD2029

D5059

BiomassaKD4049
BiomassaKD60up

D1019

BiomasaTotal
PerubahanLuasHPH
Conv ersiC
CstockHA

CstockHPH

Gambar 7 Model pendugaan simpanan Karbon Tanpa Logging

19
Berdasarkan pemodelan simpanan karbon non-logging pada hutan
alam dengan izin konsesi diatas diketahui bahwa :
1. Persamaan simpanan karbon pada HPH Hutan Alam non-logging didapat
dengan mengalikan total biomassa yang ada dengan faktor konversinya.
2. Auxiliary varialble biomassa per kelas diameter didapat dengan
menggunakan asumsi persamaan alometrik Basuki et al. (2009) yaitu ln
Biomassa = -1.498+2.234(LnDBH)).
3. Faktor konversi simpanan karbon pada vegetasi menggunakan asumsi
ratio rate 0,47 IPCC (2006).
4. perubahan luas menjadi drive variable, dimana perubahan luas akan
mempengaruhi simpanan karbon yang ada.
3. Model Simulasi Simpanan Karbon Logging
Model simulasi logging pada areal konsesi hutan alam di Sumatera Barat
dapat dilihat pada Gambar 8.
stok logging

PerubahanLuasHPH
BiomassaKD60up

ConversiC
luas tahunan

C logging

Gambar 8 Model pendugaan cadangan karbon logging
Model simpanan karbon logging dari hasil perkalian jumlah
biomassa dengan faktor konversi karbon sebesar 0,47 dan luas HPH, dengan
asumsi bahwa