Perubahan Cadangan Karbon akibat Intensitas Pemanfaatan Kawasan Hutan di KPH Bali Barat.

PERUBAHAN CADANGAN KARBON
AKIBAT INTENSITAS PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN
DI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) BALI BARAT

WIYANTI 1)
1)

Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Hp. : 081558073730, E-mail : wiyanti1259@gmail.com
ABSTRACT

The study, entitled: Carbon Stock Changes Due to the intensity of the Use of Forest Areas
in Forest Management Unit (FMU) West Bali aims to determine the magnitude of the changes
in carbon stocks due to changes in forest utilization. Location of the study include: native
forests, coffee plantations, garden mix, and Kayuputih region. The method used in this study is
to estimate based on the weight of biomass both above the surface and underground.
Measurements were made on the biomass of trees and undergrowth, nekromasa (dead plant
parts), both woody and non-woody (litter), and reserve C in the soil. Based on the results of
the research showed that there are considerable differences of each area utilization. The
highest carbon stock found in the garden mix (275.62 ton / ha), then decrease, respectively,
are: forest mahogany (269.63 ton / ha), natural forests (231.45 tonnes/ha), Kayuputih old

(118.53 tonnes / ha), Kayuputih trimmed (86.57 tonnes / ha), coffee plantations (74.37 tonnes /
ha), and Kayuputih not trimmed (56.78 tonnes / ha). The recommendation can draw out in this
research are: ( 1 ) In the area of coffee planting planted horticultural forestry in the form of
rows of plants among the coffee plants and ( 2 ) in the area of Kayuputih planting is done with
the system surjan and each row Kayuputih consists of 2 rows with a distance planting more
tightly.
Key words : carbon stock, forest area, biomass
PENDAHULUAN
Secara konsepsional yuridis hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat (1). Hutan merupakan sumberdaya alam yang
sangat penting dalam mendukung proses kehidupan. Hutan sebagai pengatur tata air, pengatur
iklim mikro, berfungsi estetika, sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon. Menurut Zain
(1996) bahwa eksistensi hutan sebagai sub-ekosistem global menempati komposisi penting
sebagai paruparu dunia. Menurut Sumarwoto (2001), bahwa fungsi hutan antara lain adalah
fungsi hidro-orologis, penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan, dan
iklim serta penyimpan karbon dan penyimpan keanekaragaman hayati

1


Pada kenyataannya hutan terus mengalami degradasi akibat kerusakan yang tidak
terkendali oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Pada saat ini kondisi
sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik semakin rusak dan terdegradasi, sehingga
sumberdaya hutan yang semestinya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat telah
menjadi sumber ancaman bagi kehidupan berupa sumber konflik dan sumber bencana
(kebakaran, banjir, longsor, dsb). Kerusakan hutan akan mengakibatkan terganggunya
keseimbangan ekologi khususnya hutan sebagai penyimpan cadangan carbon menjadi tidak
optimal atau mengalami penurunan.
.Cadangan karbon disimpan dalam bentuk biomasanya, sehingga semakin menurun tingkat
kerapatannya, maka cadangan karbonnya juga semakin menurun. Alih fungsi atau alih guna
lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi karbon dioksida di atmosfer dan peningkatan
mineralisasi bahan organik tanah selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi
sebagai sumber karbon. Dengan menurunnya fungsi hutan sebagai cadangan karbon dapat
meningkatkan efek gas rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan temperature di
permukaan bumi.
Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan system
penggunaan lahan pertanian yang dikarenakan keanekaragaman pohon yang tinggi (Hairiah
dan Rahayu, 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa hutan yang masih alami dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan

tempat menyimpan cadangan karbon yang paling tinggi jika dibanding dengan hutan yang
telah beralih fungsi sebagai lahan pertanian atau perkebunan.. Suatu system penggunaan lahan
yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi,
biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies
dengan nilai kerapatan kayu rendah (Rahayu et al, 2007).
Di Provinsi Bali luas kawasan hutan adalah 130.766,06 ha atau 22,42 % dari luas daratan.
Luasan ini belum memenuhi standar minimal, yaitu 30%. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi
Bali (2005) bahwa dari luasan tersebut, seluas 66.763,41 ha (51,06%) berada di Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat. Hutan yang mendominasi kawasan KPH Bali Barat
adalah berupa hutan lindung seluas 59.223,71 Ha (88,71 %), sisanya merupakan kawasan
hutan produksi seluas 7.539,70 Ha (11,29 %).
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali, bahwa
kondisi hutan di wilayah KPH Bali Barat pada umumnya banyak yang mengalami kerusakan,
sehingga kurang berfungsi secara optimal. Kerusakan hutan tersebut disebabkan karena
kondisi alam wilayah yang kurang menguntungkan baik dari segi iklim maupun kondisi fisik
tanahnya yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Selain itu juga disebabkan
oleh adanya penderesan tanaman pokok, illegal logging dan yang paling menonjol adalah
adanya perambahan oleh masyarakat sekitar hutan dengan system tumpangsari antara tanaman
kehutanan dengan tanaman pertanian. Perambahan hutan terjadi hampir di seluruh RPH
(Resort Pengelolaan Hutan), seperti yang terjadi di RPH Pulukan yang dirambah dengan

menanam tanaman perkebunan, seperti pisang dan coklat dan yang paling parah terjadi pada
RPH Antosari.
Adanya tekanan masyarakat terhadap hutan khususnya di wilayah Bali Barat menyebabkan
kerusakan hutan menjadi meningkat, sehingga terjadi penurunan jumlah biomasa yang
menjadi sumber cadangan karbon. Dengan demikian penulis berkeinginan untuk meneliti
sampai seberapa jauh penurunan cadangan karbon di kawasan hutan Bali Barat akibat
perubahan pemanfaatan hutan. Mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam tubuh tanaman
2

hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang
diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat dan
dilakukan selama 8 bulan mulai dari penjajagan lokasi sampai penulisan laporan.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa : tali raffia, meteran, buku untuk
mencatat, spidol, kantong, dan oven.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sampling tanpa pemanenan

(non-destructive sampling) untuk pengukuran biomassa pohon hidup, pohon mati, dan kayu
mati dan metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling) untuk pengukuran
biomassa tumbuhan bawah dan serasah (Hairiah dan Rahayu, 2007). Penghitungan cadangan
karbon pada tanaman dilakukan dengan estimasi menggunakan rumus :
Kadar C = Berat kering biomasa atau nekromasa (ton/ha) x 0,46 % (Hairiah, et al., 2011).
Biomasa terdiri dari biomasa pohon dan tumbuhan bawah, nekromasa (bagian tanaman
mati) baik
yang berkayu maupun tidak berkayu (seresah), dan cadangan C yang ada di
dalam tanah, dan perhitungannya dengan menggunakan persamaan-persamaan alometrik.
Persamaan yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persamaan Alometrik yang digunakan untuk Estimasi Cadangan
Karbon Kawasan Hutan di KPH Bali Barat.
No.
Persamaan
1. (AGB)est = ᴫ exp(-1,499+2,148ln(D)+0,207(ln(D))23

Keterangan
Iklim
Humid/lembab


0,0281(ln(D)) )
2. (AGB)est = ᴫ exp(-1,239+1,980ln(D)+0,207(ln(D))2-

Iklim basah

3

0,0281(ln(D)) )
3.

2,06

(AGB)est = 0,281D

4. (AGB)est = 0,1208D1,98
5. (AGB)est = 0,0,030D2,13

Kopi dipangkas
Untuk kakao
Untuk tanaman

pisang

Sumber : Chave et al., 2005 dalam Hairiah, dkk. (2011)
Keterangan :

(AGB)est = biomasa pohon bagian atas tanah (kg/pohon), D = DBHdiameter
batang setinggi dada (cm), ᴫ = berat jenis tanaman (gram/cm3).

3

a.

Pengukuran biomasa tanaman

Pengukuran biomasa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu : (1) membuat plot
permanen (transek pengukuran), (2) mengukur volume dan biomasa pohon, dan (3) mengukur
biomasa tumbuhan bawah. Ukuran plot petak pengukuran berbeda-beda tergantung tingkat
kerapatan dan diameter tanaman, yaitu :
(1). Ukuran 40 m x 5 m untuk hutan alami, semak belukar, dan agroforestri dengan tingkat
kerapatan tinggi. pohon yang diukur dengan diameter 5 cm – 30 cm (lingkar pohon 15 –

95 cm)
(2). Ukuran 100m x 20 m, apabila dalam dalam plot tersebut terdapat pohon dengan diameter
> 30 cm (lingkar pohon 95 cm).
b. Pengukuran nekromasa
Nekromasa dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu nekromasa berkayu dan tidak berkayu.
Nekromasa berkayu merupakan pohon mati yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggultunggul tanaman, cabang dan ranting utuh dengan diameter ≥ 5 cm dan panjang ≥ 0,5 m.
Nekromasa tidak berkayu berupa seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan bahan
organic lainnya yang sudah terdekomposisi sebagian yang berukuran > 2 mm (seresah halus).
Pengukuran nekromasa berkayu dilakukan dengan mengukur diameter atau lingkar batang
dan panjang atau tinggi semua pohon baik yang roboh maupun yang masih berdiri. Bagi
tanaman yang masih berdiri diameter diukur pada 1,3 m di atas permukaan tanah, sedangkan
untuk pohon yang rebah, cabang, ranting dan tunggul dilakukan pada kedua unjungnya.
Pengukuran nekromasa tidak berkayu terdiri dari seresah kasar dan halus. Cara
pengambilan contoh seresah sama dengan pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah.
c. Pengukuran cadangan karbon dalam tanah
Kandungan karbon dalam tanah dihitung sampai kedalaman 30 cm dan dibagi dalam 3
kedalaman, yaitu : 0 – 10 cm, 10 – 20 cm dan 20 – 30 cm dengan metode walky & Black.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi perubahan cadangan karbon akibat
perubahan pemanfaatan kawasan. Secara lengkap hasil estimasi cadangan karbon pada

berbagai pemanfaatan kawasan hutan di KPH Bali Barat disajikan pada Gambar 5.1.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa cadangan karbon terbesar terdapat pada
pemanfaatan kawasan sebagai kebun campuran sebesar 275,62 ton/ha, kemudian disusul hutan
mahoni sebesar 269,63 ton/ha, hutan tanaman sebesar 231,45 ton/ha, kayuputih tua sebesar
118,53 ton/ha , kayuputih dipangkas sebesar 86,57 ton/ha, kopi sebesar 74,37 ton/ha dan yang
terendah adalah pada kayuputih tidak dipangkas sebesar 56,78 ton/ha. Tingginya cadangan
karbon pada kebun campuran disebabkan karena kondisi kebun campuran pada kawasan ini
terdiri dari berbagai jenis tanaman dengan kerapatan yang cukup tinggi dan dengan diameter
yang rata-rata lebih besar dibanding dengan yang lain. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007),
bahwa tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun
campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C =C sink)

4

Ton/ha

Gambar 5.1 Estimasi Cadangan Karbon Total pada berbagai Pemanfaatan
Kawasan Hutan di KPH Bali Barat
yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Lebih lanjut dikatakan oleh
Nurmasripatin, dkk. (2010), bahwa besarnya cadangan karbon ditentukan oleh kemampuan

kawasan hutan dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter yang besar serta
juga dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam, kondisi lokasi penanaman dan teknik
silvikultur atau intensitas pemeliharaannya.
Pada kawasan tumpangsari kayuputih dengan tanaman semusim, cadangan karbon
pada umumnya relative rendah dibanding yang lain karena system pertanaman yang
diterapkan menggunakan jarak tanam yang cukup lebar (3 m x 4 m), sehingga jumlah
tanaman per satuan luas relative sedikit. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan bidang olah yang lebih luas untuk melakukan system tumpangsari dengan
tanaman semusim. Cadangan karbon terbesar tedapat pada tanaman kayu putih yang sudah
tua. Tanaman ini sudah berumur di atas 20 tahun (penanaman sekitar tahun 1980 an),
diameter pohon sudah besar-besar, dan ini yang menyebabkan mempunyai cadangan
karbon yang lebih tinggi dibanding tanaman kayuputih yang lain yang masih reltif muda.
Tanaman tersebut masih bermur sekitar 8 tahun (penanaman sekitar tahun 2007), sehingga
berdiameter masih relative kecil yang menyebabkan mempunyai potensi biomasa yang
lebih sedikit. Berkurangnya potensi biomasa akan berakibat langsung terhadap
kemampuan tanaman untuk menyimpan karbon. Hal itu dapat disebabkan karena adanya
kebakaran hutan, ekstraksi kayu, pemanfaatan kawasan untuk bercocok tanam dan
aktivitas lainnya yang dilakukan dalam kawasan hutan. Hutan yang dirubah fungsinya
menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan akan
menyebabkan terjadinya kemerosotan cadangan karbon tersimpan (Bakri, 2009). Lebih

lanjut dikatakan oleh Murdiyanto, dkk. (2004), bahwa kegiatan penebangan hutan akan
menyebabkan menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon
5

stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon di bawah
permukaan (below-ground carbon stocks).
Komponen penyusun cadangan karbon total adalah terdiri dari biomasa pohon
(tajuk dan akar) seperti yang terlihat pada Gambar 5.2, nekromasa berkayu, nekromasa
tidak berkayu (seresah), dan cadangan karbon tanah. Selain itu ada komponen tumbuhan
bawah tetapi hanya terdapat pada kayuputih tidak dipangkas sebesar 1,02 ton/ha dan hutan
tanaman sebesar 9,09 ton/ha..
Komponen-komponen penyusun cadangan karbon pada kawasan hutan di KPH Bali Barat
dapat dijelaskan bahwa yang paling besar memberikan sumbangan terhadap cadangan karbon
total adalah biomasa pohon (tajuk + akar). Hal itu berarti bahwa diameter pohon sangat
menentukan seberapa besar cadangan karbon pada suatu system pertanaman. Menurut Rahayu,
dkk. (2007) bahwa keberadaan pohon yang berdiameter > 30 cm pada suatu system
penggunaan lahan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon.
Biomasa pohon terbesar terdapat pada system pertanaman kebun campuran sebesar 469.98
ton/ha, kemudian menurun berturut-turut yaitu : mahoni sebesar 460.55 ton//ha, hutan tanaman
sebesar 366.60 ton/ha, kayuputih lama sebesar 233.02 ton/ha , kayuputih dipangkas sebesar
164.89 ton/ha, kayuputih tidak dipangkas sebesar 96.69 ton/ha, dan yang paling kecil terdapat
pada kebun kopi sebesar 87.35 ton/ha. Nekromasa berkayu terbesar dijumpai pada kayuputih
tidak dipangkas sebesar 0,24 ton/ha kemudian diikuti oleh kayuputih lama (0,09 ton/ha),
mahoni (0,076 ton/ha), dan yang terkecil pada kayuputih dipangkas dan kebun campuran
(0,024 ton/ha). Kandungan seresah terbanyak pada kebun campuran (8,35 ton/ha), kemudian
menurun berturut-turut, yaitu : kayuputih lama (4,79 ton/ha), kayuputih tidak dipangkas (4,3
ton/ha), hutan tanaman (3,835 ton/ha), kayuputih pangkas (3,48 ton/ha), kopi (3,26 ton/ha),
dan yang terkecil terdapat pada tanaman mahoni (2,56 ton/ha). Kandungan carbon yang ada di
dalam tanah besarnya juga bervariasi dan antara hutan mahoni, hutan tanaman dan kebun
campuran hampir sama, yaitu sebesar 56,56 ton/ha, 56.87 ton/ha, dan 56,58 ton/ha, sedangkan
pada tanaman kopi sebesar 32,69 ton/ha, dan pada tanaman kayuputih juga mempunyai
kandungan karbon yang hampir sama (kayuputih tidak dipangkas 9,75 ton/ha, kayuputih
dipangkas 9,11 ton/ha, dan kayuputih lama sebesar 9,10 ton/ha).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Terjadi perbedaan yang cukup tinggi besarnya cadangan karbon akibat adanya perubahan
pemanfaatan kawasan hutan dengan tanaman perkebunan.
2. Cadangan karbon tertinggi terdapat pada kawasan kebun campuran sebesar (275.62 ton/ha,
kemudian menurun berturut-turut yaitu: hutan mahoni sebesar 269.63 ton/ha, hutan
tanaman sebesar 231.45 ton/ha, kayuputih tua sebesar 118.53 ton/ha, kayuputih dipangkas
sebesar 86.57 ton/ha, kebun kopi sebesar 74.37 ton/ha, dan kayuputih tidak dipangkas
sebesar 56.78 ton/ha.

6

Saran
Sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan, rekomendasi yang dapat diberikan adalah
: (1) Pada kawasan pertanaman kopi ditanami tanamanan kehutanan dalam bentuk baris-baris
tanaman di antara tanaman kopi dan (2) pada areal kayuputih penanaman dilakukan dengan
system surjan dan masing-masing baris kayuputih terdiri dari 2 baris dengan jarak tanam yang
lebih rapat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Udayana yang telah memberikan dukungan dana dalam kegiatan ini
dengan nomor kontrak : No. 311-100/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, Tanggal 30 Maret 2015.
DAFTAR PUSTAKA

Bakri. 2009. Analisis Vegetasi Dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Pohon Di
Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban
Julu Kabupaten Toba Samosir. Thesis. Dekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra
Utara. Medan.
Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2005. Rencana Unit Pengelolaan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) Provinsi Bali. Denpasar.
Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam
Penggunaan Lahan. Bogor : World Agroforestry Centre.
Hairiah, K., Andree Ekadinata, Rika Ratna Sari, dan Subekti Rahayu. 2011. Petunjuk Praktis
Pengukuran Cadangan Karbon : dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Edisi ke 2.
Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of
Brawijaya (UB), Malang, Indonesia xx p.
Noordwijk, M.V., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasya, B. Verbist dan Farida. 2004.
Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hhidrologi DAS. Dampak
Hidrologis Hutan, Agroforestry dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian
Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarnyadi
Padang/Singkarak SumateraBarat, Indonesia, 25-28 Pebruari 2004.
Nur Masripatin, Kirsfianti Ginoga, Gustan Pari, Wayan Susi Dharmawan, Chairil Anwar
Siregar, Ari Wibowo, Dyah Puspasari, Arief Setiyo Utomo, Niken Sakuntaladewi, Mega
Lugina, Indartik, Wening Wulandari, Saptadi Darmawan, Ika Heryansah, N.M.
Heriyanto, H. Haris Siringoringo, Ratih Damayanti, Dian Anggraeni, Haruni Krisnawati,
Retno Maryani, Dana Apriyanto, Bayu Subekti. 2010. Cadangan Karbon pada berbagai
Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Penerbit: Pusat Penelitian dan
7

Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kampus Balitbang Kehutanan Jl.
Gunung Batu No. 5 Bogor.
Rahayu, S, B. Lusiana, dan M. van Noordwijk. 2007. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas
Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur. Bogor: World Agroforestry Centre.
Sumarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2009. Tentang Kehutanan.
Zain, AS. 1996. Hukum lingkungan Konservasi Hutan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

8