Badik Titipan Ayah Estetika Teori John Fiske.docx

Kajian Estetika John Fiske Pada
Film Badik Titipan Ayah Karya Dedi Setiadi
Nursyafitri T.
ISI Surakarta Embrio Institut Seni Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI)
Nursyafitri15@ymail.com

PENDAHULUAN
Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks yang merupakan
dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik.
(Effendy,2000:207). Film adalah seni mengolah dan mengintensifikasi persepsi kita atas
realitas (Sugiharto,2013:320). Dalam film yang mengangkat budaya nyata di BugisMakassar, pentingnya fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang didalamnya terdapat
cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik agar sesuai dengan realitas.
(Fiske,1989) culture – the active process of generating and circulating meanings and
pleasures within a social system. Menurut pengertian itu, kebudayaan hanya bisa
dikembangkan dari dalam, ia tak mungkin dipaksakan dari luar atau dari atas. Manusia tak
mungkin berperilaku atau hidup sebagai massa – sebuah kesatuan yang dibayangkan sebagai
sekumpulan pribadi yang terasing, satu dimensi, dengan kesadaran palsu serta berhubungan
dengan sistem yang memperbudaknya dalam bentuk keterpaksaan seorang korban
manipulasi.
Film “Badik Titipan Ayah” disutradarai oleh Dedi Setiadi yang pernah meraih beberapa
penghargaan diantaranya, Piala Vidia untuk ‘Karina’ (1987) dan ‘Pemahat Borobudur’. Juga

meraih Piala Vidia untuk sinetron miniseri terbaik 1992, ‘Siti Nurbaya’ dan Piala Vidia
Utama untuk ‘Vonis Kepagian’ (FSI 1987. Karyanya yang lain ‘Keluarga Cemara’ dan ‘Apa
Kabar Bangsamu’ mendapat penghargaan Festival Film Bandung dan masih banyak lagi.
Film “Badik Titipan Ayah” diproduseri oleh Dedy Mizwar ditayangkan di acara Sinema
Wajah Indonesia 2010-2011 produksi SCTV pada tanggal 2 Oktober 2010 yang berdurasi
satu jam 22 menit. Dibintangi oleh Reza Rahardian, Ratu Tika Bravani, Aspar Paturusi dan
Widyawati dengan setting dan bahasa yang digunakan Bugis-Makassar.
Film “Badik Titipan Ayah” menceritakan, putri tunggal Karaeng Tiro dan Karaeng Caya
yaitu Andi Tenri, memutuskan silariang (kawin lari) bersama kekasihnya Andi Firman yang
telah menghamilinya atas permintaannya sendiri. Mengetahui bahwa keluarganya telah
nipakasiri’ (dipermalukan), Karaeng Tiro meminta putra tunggalnya Andi Aso ditemani
Daeng Limpo untuk menyelesaikan persoalan tersebut menggunakan badik pusaka I La

Sanrego yang merupakan warisan keluarga. Beberapa waktu berselang Karaeng Tiro wafat
karena serangan jantung. Mendengar kabar ayahnya meninggal, Andi Tenri dan sang suami
nekad membawa bayi mereka yang baru lahir datang ke Bira, untuk melihat jenazah tettanya
terakhir kalinya. Andi Aso dan Daeng Limpo menyambut kedatangan mereka dengan amarah
yang membara. Badik pun di hunus oleh Andi Aso, bersiap melakukan perhitungan dengan
Andi Firman. Tanpa rasa takut sedikitpun, Andi Tenri maju menhadapi Badik yang terhunus
di tangan sang kakak. Pada akhirnya Limpo menghunuskan serta menancapkan ujung badik

di perutnya, sebagai tindakan karena tidak mampu mengemban tugas untuk memulihkan
Siri’.
Ketertarikan dalam Film “Badik Titipan Ayah” mengisahkan tentang adat Bugis-Makassar
yang bila sudah nipakasiri’ (dipermalukan), Badik yang akan berbicara dan bila badik sudah
keluar dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya. Betapa
Siri’ (malu) sangat dijunjung tinggi di Bugis-Makassar untuk menegakkan kembali harga diri
dan martabat keluarga yang dinodai. Siri’ na pacce juga lebih identik dengan kejujuran.
Kejujuran adalah pintu kehormatan. menghianati kepercayaan adalah sebuah siri’ dan
kehilangan siri’ adalah aib yang sangat melalukan. Dalam hubungan sosial, orang yang
kehilangan siri’ adalah orang-orang yang terkucil.
Teori John Fiske memiliki struktur level realitas, level representasi, dan level ideologi
yang sangat cocok dengan film “Badik Titipan Ayah” karena dengan pemeran yang bukan
dari Bugis-Makassar asli sedangkan etnisitas dan kapitalisme yang dimiliki sangat kental
dalam film yang membuat level realitas, level representasi, dan level ideologi sangat
berkesinambungan untuk budaya Bugis-Makassar.

PEMBAHASAN
Estetika dalam pengertian konvensional tidak hanya mengacu pada keindahan, tetapi
estetika menjadi sebuah wacana dan fenomena (Sachari, 2002: 2). Dewasa ini estetika
menjadi wacana bahwa banyak budaya barat yang secara menggebu-nggebu masuk ke dalam

budaya timur. Tujuannya untuk terus mengokohkan budaya timur dan selalu melestarikannya
agar tidak bergeser ke budaya barat.
John Fiske mengemukakan teori tentang kode-kode televisi (the codes of television).
Menurut Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi saling
berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Menurut teori ini pula, sebuah realitas tidak
muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui
penginderaan sesuai referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa televisi, sehingga sebuah
kode

akan

dipersepsikan

secara

berbeda

oleh

orang


yang

berbeda juga.

Pada

perkembangannya, model dari John Fiske tidak hanya digunakan dalam menganalisis
acara televisi, tetapi dapat juga digunakan untuk menganalisis teks media yang lain, seperti
film, iklan, dan lain-lain.
Kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske bahwa peristiwa
yang ditayangkan dalam dunia televisi telah dienkode oleh kode-kode sosial yang terbagi
dalam tiga level yaitu Representasi, Realita, dan Ideologi
Film Badik Titipan Ayahini bercerita tentang budaya Bugis-Makassar khususnya budaya
Bira, dimana sebuah keluarga karaeng (bangsawan) yang sangat menjunjung tinggi nilai
budaya dengan mempertahankan harga dirinya. Pada suatu hari yang tak terduga dan
membuat keluarga Karaeng Tiro (Aspar Paturusi) sangat malu di mata masyarkat karena
anak perempuannya Andi Tenri (Tika Bravani) kawin lari dengan Firman (Guntara)anak dari
Karaeng Parapa (A. Asrudin Paturu) yang sekaligus musuh dari ayah Tenri.
Tenri terpaksa mengambil jalan pintas bersama Firman dengan kawin lari (silariang)

karena dia sudah tahu bahwa walaupun Firman melamarnya maka akan di tolak dari
keluarganya karena dendam lama, permasalahan semakin rumit ketika orang tua Tenri sudah
mengetahui bahwa ia telah kawin lari, maka dengan cara terpaksa Karaeng Tiro yang sudah
tidak kuat lagi dan sudah tua membuatnya untuk menghubungi anak sulungnya yaitu Andi
Aso (Reza Rahardian) untuk menyelesaikan masalah tersebut dan di bantu dengan Limpo
(Ilham Anwar).

Perasaan Aso bercampur aduk antara marah, pusing dan terharu. Disisi lain Dia harus
menyelesaikan Skripsi dan juga mencari adiknya yaitu Tenri. Sebagai anak yang patuh
dengan orang tua Aso lebih memilih amanah dari orang tua yaitu Badik (Keris) yang telah
titipkan dari Ayahnya. Maka ia pun mencari Firman untuk dibunuh karena dianggap telah
mencemarkan nama baik keluarga besarnya.
Berbagai cara yang dilakukan oleh Aso untuk mencari keberadaan Firman bersama Tenri,
mulai dari bantuan warga, keluarga terdekat sampai dengan teman-temannya tapi hasilnya
mustahil, tapi tak membuatnya berputus asa begitu saja. Begitupun dengan Karaeng Caya
(Widyawati) yang sangat sedih melihat anaknya seperti itu tapi tak menyurutkan niatnya
untuk menyuruh Aso mencari adiknya.
Di tengah hiruk-pikuk berita yang sudah tersebar di kalangan masyarakat Bira maka
membuat Karaeng Tiro semakin terpukul dan jatuh sakit. Karaeng Tiro tidak dapat menahan
emosinya ketika seorang warga bertanya tentang keberadaan Andi Tenri sehingga membuat ia

sangat marah dan jengkel, dan pada saat itu keadaanya semakin buruk dan langsung
meninggal.
Tenri sangat bahagia ketika proses persalinannya lancar, begitupun yang dirasakan oleh
Firman karena sudah berstatus menjadi seorang ayah, tapi ketika mendengar berita dari
Chandra (Edwin Kurniawan) detektif Tenri yang juga teman satu kampus dari Aso maka
Tenri pun semakin merasa bersalah dan ia pun mengambil keputusan untuk harus pulang ke
kampung halamannya (Bira) walaupun resiko besar itu harus di tanggungnya karena ia harus
mempertaruhkan nyawa dan suaminya karena sudah melanggar adat yaitu kawin lari.
Masyarakat Bira berkabung karena karaeng Tiro meninggal dunia dan pada hari itu pun
semua kelurga besar berkumpul. Pada saat Tenri bersama Firman dan anaknya sudah pulang
dari Makassar maka Aso dan Limpo yang melihatnya langsung marah dan ingin membunuh
mereka berdua dengan menikam Badik tapi amarah Aso mulai redam kerika ibunya
menasehati mereka untuk tidak saling dendam. Tapi karena Badik sudah terlanjur keluar dari
sarungnya maka Limpo pun menikam pahanya sebagai pertanda bahwa harus ada darah yang
tertumpah pada hari itu juga.

Analisis Film “Badik Titipan Ayah Perspektif Estetika John Fiske
Level Realitas
Kode sosial termasuk dalam level pertama ini yakni meliputi appearance
(penampilan), dress (kostum). Make up (riasan), environment (lingkungan), behavior

(perilaku), speech (cara berbicara), Gesture (gerakan) dan expression (ekspresi) (Vera,
2014: 133)
a.

Environment (lingkungan)
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan

wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia,
Madagaskardan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan
terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat
mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
Perahu Pinisi merupakan perahu tradisional masyarakat Bugis Makassar. Perahu
ini sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Indonesia. Perahu inilah yang
membuktikan Indonesia dahulu adalah negara maritim yang besar dengan budaya
pelaut dan pembuat kapal yang tangguh.
Seri 1 (11.28-11.50)

Keterangan
Masyarakat asli Bira adalah masyarakat
yang tinggal di pesisir pantai. Bekerja

sebagai pembuat perahu pinisi. Perahu
pinisi zaman dahulu mengandalkan angin
agar layar pada bagian depan dan
belakang mengembang untuk sampai
ketempat tujuan Dengan menggunakan
masyarakat

asli

didukung

dengan

memakai kaos oblong, kulit, tata rias,
bahasa

tubuh,

gaya


bicara

hingga

ekspresi dengan latar dipinggir pantai,
membuat gambar yang untuk pembuatan
perahu menjadi lebih natural.

b. Appearance (penampilan) dan Dress (Kostum)
Segala sandangan dan dan perlengakapan yang dikenakan di dalam pentas merupakan
tata pakaian atau kostum (Harymawan : 127. 1986)
Seri 3 (16.49-17.13)

Keterangan
Karaeng

Ca’ya

dan


Karaeng

Tiro

memakaian pakaian adat khas BugisMakassar baju bodo dan jas tutu dalam
menghadiri resepsi pernikahan keluarganya dengan latar belakang rumah adat
bugis
Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipat, yang terbuat dari
benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan
warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar
adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecil-kecil (corak cadii).
Busana adat pria Makassar terdiri atas baju, paroci (celana), lipa garusuk (kain
sarung), dan passapu (penutup kepala). Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas
berbentuk jas tutu (jas tutup) dan baju bella dada (belah dada). Model baju yang
tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta
diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju.
Busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Baju bodo
berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas
dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Unsur
perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga

dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di
leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan
kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat
wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana
pengantin wanita.

c.

Make up
Tata rias adalah seni menggunakan bahan-bahan untuk mewujudkan wajah peranan
agar lebih meyakinkan karakter masing-masing.

Aspar

Paturusi

(Karaeng

Tiro) Menggunakan bedak Widawati (Karaeng Ca’ya) Tika Bravani (Andi Tenri)
yang tipis dengan garis wajah Menggunakan lipstick pink Guntara

(Firman)

Meng-

yang lebih tampak dengan salem, bedak yang tipis, dan gunakan makeup yang lusuh
rambut beruban. Menambah eyeliner

tipis

kesan ayah sudah tua. Dan menambah

kesan

selalu

menggunakan

untuk agar lebih mendalami karaknatural, ter yang sedang melakukan

peci dan tetap cantik sebagai silariang, terlunta-lunta dan

bugis agar terlihat sebagai keluarga bangsawan

kesan tidak terurus.

keluarga bangsawan

Reza Rahardian (Andi Aso)

Cut

Adis

(Dewi)

meng-

dengan rambut yang acak- Ilham Anwar (Daeng Limpo) gunakan makeup yang lebih
acakan

mencerminkan menggunakan makeup yang menonjol,

sebagai

mahasiswa tingkat akhir dan tipis, agar terkesan natural mahasiswa
dengan
keluarga

adanya

masalah seperti masyarakat desa pada berkuliah

membuatnya umumnya.

semakin tidak karuan

yang
di

salah

dan
satu

universitas negeri di kota
Makassar.

d. Behavior (prilaku)
Prilaku dalam film ini diperlihatkan oleh Andi Tenri dan Andi Aso dimana
keduanya memilki latar belakang prilaku yang berbeda. Andi Tenri yang menentang
keinginan orang tuanya dengan cara silariang untuk mengikuti kenginannya menikah
dengan lelaki pilihannya Andi Firman, Sedangkan Andi Aso anak yang patuh,
menerima amanah yang diberikan Karaeng Tiro untuk mencari Andi Tenri dan Andi
Firman sampai ke Kota Makassar.
Seri 1 (01.10-03.39)

Keterangan
Scene saat Andi Tenri memutuskan
meninggalkan

rumah

(silariang)

dengan Andi Firman, karena Andi
Tenri sudah tahu bahwa walaupun
Firman melamarnya maka akan di
tolak

oleh

keluarganya

dendam lama yang

karena

di lakukan

Karaeng Parapa ayah Andi Firman
sampai

membuat

Karaeng

Tiro

menjadi buta.
Seri 2 (10.16-15.08)
Scene saat Andi Aso menerima tugas
dari tettanya Karaeng Tiro untuk
memperbaiki aib keluarga dengan
mencari Andi Tenri dan Andi Firman
dan

membunuh

salah

satunya

menggunakan badik I La Sanrego
yang dipegangnya.

e. Gestur

Gestur adalah kelanjutan secara fisiskal dari implus-implus (rangsangan),
perasaan, aksi-reaksi yang menimbulkan energi dari dalam yang selanjutnya mengalir
keluar, mencapai dunia luar dalam bentuk yang bermacam-macam; kata-kata.

Seri 1 (01.10-03.39)

Keterangan

Adegan kejar-kejaran saat Andi Aso
ditemani Daeng Limpo mencari Andi
Tenri dan Andi Firman, saat mengetahui
mereka kabur dari kontrakan mereka di
kabupaten Maros. Terlihat Andi Aso
balik kiri dan kanan sembari mencari
adiknya yang sedang silariang tersebut.

Disaat yang bersamaan, gesture takut di
keluarkan oleh Andi Tenri dan Andi
Firman saat sedang berada di atas petepete (angkutan umum). Dengan Andi
Tenri memegang kandungannya sambil
memegang paha Andi Firman, Dibalas
dengan Andi Firman yang memegang
erat tangan sang istri Andi Tenri.Setelah
mengetahui hal itu, Andi Firman dan
Andi Tenri bersembunyi di pete-pete
dengan cara merunduk dan duduk di
lantai pete-pete

f.

Ekspresi
Ekspresi artinya “mendorong keluar” secara alamiah. Pengungkapan atau proses

menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan atau
ide sacara khas) atau pandangan air muka yang memperlihatkan perasaan seseorang.

Seri 1 (01.10-03.39)

Keterangan
Expresi wajah Andi Tenri saat melihat
Andi Aso dan Daeng Limpo sedang
mengejar dan mencarinya.
Expresi takut yang di keluarkan dengan
mata yang membelalak, mulut yang
sedikit terbuka menambah kesan kalau
Andi Tenri sangat takut.
Expresi wajah Karaeng Ca’ya saat
mengetahui

anak

perempuannya

melakukan silariang. Dengan wajah
yang sangat sedih dan penuh sesal,
sambil

berbicara

sendiri

dan

mempertanyakan alasan Andi Tenri
sampai memiliki pikiran seperti itu.
 Level Representasi
Kode-kode yang termasuk dalam level kedua ini berkaitan dengan kode-kode
teknik, seperti kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik, dan suara yang

menstramisiskan kode-kode representasi konvensional, yang membentuk: naratif,
konflik, karakter, aksi, dialog, setting, dan casting. (Vera, 2014: 117)
a. Kamera
Seri 2 (00.40-01.53)

Keterangan
Penyerahan Badik I La Sanrego dari
Karaeng Tiro kepada Andi Aso,
menggunakan low angle. Low angle
digunakan dalam penyerahan benda
pusaka badik I La Sanrego sebagai
benda pusaka yang di agungkan, dan
posisinya bahkan di atas kepala
Karaeng Tiro.

Pada adegan ini, sutradara dan kameraman ingin memperlihatkan kepada
penonton bahwa badik adalah benda suci yang merupakan warisan pusaka tradisional
turun-temurun yang di agungkan oleh Karaeng Tiro. Dengan setting kamar yang
tertutup, menandakan pemberian badik sangat di khususkan dan dirahasiakan.
Low angle digunakan dalam penyerahan benda pusaka badik I La Sanrego sebagai
benda pusaka yang di agungkan, dan posisinya bahkan di atas kepala Karaeng Tiro
yang memakai songko’ pammiring (peci) khas bugis dan hanya bangsawan tinggi
berstatus atau berkedudukan sebagai raja dari kerajaan besar dan bagi anak raja yang
berasal dari keturunan Maddara Takku (berdarah biru), dapat menggunakan songkok
pamiring yang seluruhnya terbuat dari emas murni atau dalam istilah bugis Ulaweng
bubbu. Yang berarti badik I La Sanrego Lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan
Karaeng Tiro yang berasal dari keturunan berdarah biru.
Khusus dalam tradisi orang Bugis, badik dikenal dengan nama kawali. Seperti
halnya keris, badik menjadi senjata tradisional yang dapat juga berfungsi sebagai
benda pusaka. Diyakini bahwa kawali pusaka yang pernah dipakai untuk membunuh
akan terdapat noda kemarahan, dan bila dikeluarkan dari sarungnya, maka kawali
tersebut akan meminta korban lagi sebagai “makanan”nya. Seperti kutipan yang di
katakana oleh Daeng Limpo pada seri ke empat (06.16-06.23), “Badik, kalau sudah
tercabut, pantang masuk ke sarungnya sebelum melaksanakan tugasnya”. Itu artinya

badik tersebut sudah memakan banyak darah musuh, darah penjajah, darah penghianat
dari generasi-kegenerasi yang selalu membela kehormatan keluarga mereka.

Seri 1 (15.00-15.30)

Keterangan
Pengambilan knee shot/ medium shot ini
melakukan pemotongan tubuh objek sebatas
dari lutut sampai kepala, untuk pengambilan
diatas/bawah lutut agar terlihat kalau mereka
berjalan di daerah pesisir dengan view perahuperahu nelayan.

Untuk mengekploitasi Bira adalah daerah pesisir yang sebagian besar mata
pencaharian sebagai nelayan. Bila diperhatikan dengan seksama, focus kamera
mengarah ke perahu-perahu yang menjadi background dalam scene tersebut, bukan ke
Andi Aso dan Daeng Limpo yang sedang berjalan.
Seri 4 (09.23-09.40)

Keterangan
Pengambilan high angle agar pemeran
dipandang lebih rendah karena Karaeng
Ca’ya saat itu memang sedang memohon
restu dan juga menggantikan subjective shot
mata Andi Aso yang sedang berdiri melihat
Karaeng Ca’ya berlutut menghadap jasad
sang suami.
Pengambilan sedikit low angle, agar terlihat
Andi Aso lebih tinggi di banding Karaeng
Ca’ya

untuk mewakili titik pandang mata

pelaku

Subjektive Shot dilakukan dengan cara menempatkan kamera pada posisi pemain
atau

pelaku

yang

sedang

beraksi

dalam

sebab

adegan/peristiwa.

Kamera

menggambarkan seolah-olah mewakili titik pandang seorang pemain yang sedang
melakkan acting atau mewakili titik pandang mata pelaku

b. Pencahayaan
Tanpa cahaya sebuah benda tidak akan memiliki wujud. Tanpa cahya sebuah
film tidak akan terwujud. Dalam film ini kebanyakan menggunakan bantuan
lighting karena lokasinya lebih banyak di indoor dari pada outdoor.
Contohnya seperti pada salah satu adegan ini, ketika Andi Aso berada di
kamar asrama di salah satu kampus negeri di Makassar. Andi Aso terduduk sambil
memegang kepala mengetahui Andi Tenri adiknya telah silariang setelah menerima
telepon dari Tettanya Karaeng Tiro.

Seri 1 (10.413-15.40)

Keterangan
Adegan indoor di kamar ini memakai
cahaya dari kamar dan terlihat jelas
cahaya dari sorotan lampu belajar di
sebelah kiri kamera, yang berada di atas
meja. Situasi ini menambah kesan Andi
Aso berada di kamar asrama didukung
dengan interior yang digunakan

c. Penyuntingan
Dalam tahap ini shot-shot yang telah diambil dan dipilih, diolah dan dirangkai
hingga menjadi satu rangkaian, kesatuan yang utuh. Aspek editing bersama
pergerakan kamera merupakan satu-satunya unsure senematik yang murni dimiliki

oleh seni film. Penyuntingan film yang digunakan dalam film “Badik Titipan
Ayah” adalah penyuntingan non-linear
Non-Linear Editing merupakan metode penyuntingan video menggunakan
software komputer yang digunakan untuk memanipulasi urutan video yang telah
didigitalkan sebelum keseluruhan urutan (sequence) diekspor ke Kaset Video atau
sebagai file movie digital. Perubahan bisa dengan mudah dibuat dengan
menggunakan software sebelum output (produksi akhir). Adobe Premiere Pro CS6,
Avid Technology, Sony Vegas Pro dan Final Cut Pro X adalah contoh dari software
(perangkat lunak) editing non-linear. Salah satu cara untuk menyimpulkan
perbedaan antara Linear Editing dan Non-Linear Editing membandingkan atau
menganalogikan dengan ‘mengetik tulisan dalam selembar kertas menggunakan
mesin ketik dengan aplikasi pengolah kata (Microsoft Word) di komputer.

d. Musik dan Suara
Musik merupakan salah satu elemen yang paling berperan penting dalam
memperkuat mood, nuansa, serta suasana sebuah film. Dalam film “Badik Titipan
Ayah” tidak menggunakan lagu hanya menggunakan instrument sinrilik agak
menambah kesan daerah Bugis-Makassar.

Seri 1 (10.13-15.40)

Keterangan
Saat adegan ini berlangsung terdengar
instrument sinrili’ dengan menggunakan
alat musik khas Makassar yaitu kecapi.
Menambah kesan Andi Aso pulang dari
perantauannya di Makassar kembali ke
kampung halaman di Bira yang sudah
terbilang lama. Sambil mengenang masa
kecilnya bersama Andi Tenri di pinggir
pantai

Karya Sastra Makassar cukup memiliki arti dalam kehidupan penutur Bahasa
Makassar. Salah satu karya sastra di antara sekian banyak karya satra adalah
sinrilik. Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara
penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik
maupun tanpa alat musik.
Setiap orang dapat mempelajari sinrilik, sehingga seorang passinrilik bisa saja
datang dari berbagai bidang profesi seperti petani, nelayan, ataupun guru. Pada
jaman dulu, seorang passinrilik mendapatkan hak yang istimewa dalam kehidupan
sosialnya, baik berupa materi (seperti pemberian sebidang sawah dari penguasa
setempat), maupun yang berwujud immaterial, misalnya pengakuan dari
masyarakat sebagai seorang yang ahli di bidangnya.
Hingga saat ini, masih dipelihara dan diminati oleh masyarakat Makassar.
Meskipun karya sastra ini masih diminati oleh masyarakat, namun orang yang
dapat melagukannya atau membacakannya sudah sangat terbatas. Oleh karena itu,
karya satra jenis ini perlu mendapat pembinaan agar tetap lestari.

 Level Ideologi
Pada level ketiga ini mencangkup kode-kode representasi, seperti individualism
(individualism),

patriarchy

(patriarki),

race

(ras),

class

(kelas),

materialsm

(materilaisme), capitalisme (kapitalisme). (Vera, 2014: 118)
a.Nationalisme
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme di mana negara
memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat
keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya.
Mengetahui bahwa keluarganya telah nipakasiri’ (dipermalukan) oleh anak
perempuan satu-satunya. Karaeng Tiro sangat marah bahkan sampai membentak

istrinya dan menghancurkan figura Andi Tenri karena telah melakukan silariang
yang sangat mencoreng nama baik keluarga apalagi dalam adat Bugis-Makassar.
Seri 1 (07.18-07.28)

Keterangan

Karaeng

Tiro

menghancurkan

figura Andi Tenri dengan kelas
individualisme

munculnya

rasa

sakit hati karena anak dara (anak
gadis)

satu-satunya

telah

mencoreng nama baik keluarga.
Yang berarti Andi Tenri telah di
asingkan dari keluarga.

Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada
sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang
Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti: Rasa Malu
(harga diri), sedangkan Pacce dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti:
Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian).
Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan
kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan
empati).Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”.
Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan”. Struktur
Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’
Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’),
dan (4) Siri’ Mate Siri’. Tetapi dalam film “Badik Titipan Ayah” termasuk Siri’
Ripakasiri’ adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri
atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan
pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato
(428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger yang
artinya keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat (Ali, 2009). Begitu
sakralnya kata Siri’ Na Pacce, sehingga apabila seseorang De’ni gaga Siri’na

(kehilangan Siri’nya), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai
manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’
kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita
hidup).

b. Ras
Ras adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan
manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda melalui ciri fenotipe, asal
usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi.
Bayi yang di kandung Andi Tenri, adalah bayi dari Andi Firman yang merupakan
anak dari musuhnya sewaktu masih muda dulu. Dengan kata lain Karaeng Tiro
sebagai patriarki menyimpan dendam kepada Karaeng Parappa, ayah Andi Firman.
Dan sangat pantang bagi Karaeng Tiro menjalin hubungan keluarga dengan keluarga
Andi Firman

Seri 2 (15.40-16.50)

Keterangan
Pertengkaran Karaeng Tiro

dan

Karaeng Parapa yang dahulunya
bersahabat karena usaha yang yang
mereka jalankan rugi besar. Dan
Karaeng Parapa menuduh Karaeng
Tiro berbuat curang sampai akhirnya
mereka

mengalami

kecelakaan

mobil yang menewaskan Karaeng
Parapa dan Karaeng Tiro mengalami
kebutaan seumur hidup. Semenjak
saat itu Karaeng Tiro menyimpan
dendam dan tidak ingin menjalin
hubungan keluarga dengan Karaeng
Parapa.

c. Etnisitas
Etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul
bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai
budaya. (Barth:1969). Berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat,
agama, bahasa, dan sebagainya.
Seri 1 (02.00-02.15)

Keterangan

Figura Andi Aso dan Andi Tenri
yang memakai etnisitas baju adat
Bugis-Makassar. Memberi kesan
bahwa mereka adalah orang asli
Bugis-Makassar. Dan dengan gelar
“Andi” menandakan kalau mereka
adalah keturunan karaeng seorang
bangsawan

dari

tanah

Bugis-

Makassar.

Gelar Andi memiliki cerita sejarah yang cukup panjang. Semua terangkum
dalam kebudayaan masyarakat Bugis.Asal usul gelar andi yang disematkan di
depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang.
Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua
dulu tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis,
namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar
dapat dijadikan rujukan mutlak

Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil
genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini
dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua
keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau
dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau
dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan
putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan
putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja
sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes. Perkawinan tersebut sebagai
upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes.
Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial
pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan
yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah
bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan
VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang
pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak
memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau. Dalam versi
lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum
ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga
dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut.
Namun, di masa sekarang pemberian nama Andi tidak sama dengan dulu,
sekarang Nama Andi sudah banyak dipakai walaupun kedua orang tuanya bukan
Andi bahkan ada yang cuma punya kerabat bergelar Andi makanya merekapun
memberi nama mereka Andi, biasanya mereka ini adalah mereka yang belum
paham struktur dan silsilah serta pemberian nama gelar bangsawan Andi.

KESIMPULAN
Dengan melalui tiga level dari John Fiske, peneliti dapat menjawab tujuan penelitian yang
peneliti teliti. Yaitu menjelaskan adegan-adegan yang mengandung estetika dalam film
“Badik Titipan Ayah”, yaitu:

Level Realitas
Estetika di nilai dengan cara kesesuaian isi cerita dengan tema yang diusung. Dengan
tema budaya Bugis-Makassar, tepatnya di Bira, kabupaten Bulukumba. Level realitas ini
sendiri mencakup tentang penampilan, kostum, gaya bicara, lingkungan, tingkah laku dan
gerak tubuh yang muncul. Maka dari itu saya sengaja mengambil suasana saat Daeng
Limpo menjadi mandor disalah satu perahu pinisi yang telah dibuatnya dipinggir pantai.
1. Kostum
Secara kostum, pakaian yang digunakan saat membuat perahu pinisi. Sangat natural
dengan kaos oblong, topi yang selalu digunakan untuk melindungi diri dari silaunya
sinar matahari dipinggir pantai. Terkadang bagi tukang pembuat perahu pinisi,
memakai baju tidak begitu penting, tetapi mengikat baju kaosnya menutupi kepala
lebih penting untuk menghindari wajah tersengat sinar matahari.
2. Gaya Bicara
Bahasa yang digunakan adalah dialeg Makassar, yang digunakan sehari hari di Bira,
kabupaten Bulukumba. Dengan diselingi bahasa Makassar asli menambah pesan
bahwa Daeng Limpo adalah orang Bugis-Makassar asli.
3. Lingkungan
Dengan suasana dipinggir pantai, pasir putih, dan langit biru serta bayangan dari arah
timur, menandakan rutinitas di pagi hari. Menandakan bahwa membuat perahu pinisi
adalah rutinitas yang orang Bira lakukan setiap harinya.
4. Tingkah Laku dan Gerak Tubuh
Pemeran yang digunakan memanglah harus dari penduduk asli disana, agar tingkah
laku dan gerak tubuh yang di tonjolkan sama persis, terlihat lebih natural dan tidak
seperti dibuat-buat. Karena untuk membuat perahu membutuhkan keahlian khusus,
dan tidak bisa sembarangan orang.

Level Representasi

Dalam level ini, Film “Badik Titipan Ayah” biasanya menggunakan teknik
pengambilan gambar sederhana seperti Long Shot, Medium Shot, Two Shot, Group Shot,
low angle, high angle, eye angle dan berbagai macam shot. Karena film ini merupakan
film panjang. Dalam level ini peneliti memilih shot saat pemberian benda pusaka Badi I
La Sanrego yang menggunakan low angle untuk menambahkan kesan dramatis bahwa
badik di dalam film ini dijunjung tinggi untuk mengembalikan martabat keluarga.
Level Ideologi
Dalam level ini, peneliti menangkap adanya sesuatu hal yang ingin disampaikan
sutradara kepada para penontonnya. Peneliti menangkap adanya unsur realisme yang coba
di sampaikan melalui kemarahan Karaeng Tiro. Bahwa malunya keluarga akibat kelakuan
putrinya yang silariang, membuat Karaeng Tiro murka. Dengan menghancurkan figura
milik Andi Tenri yang memakai baju Bodo, menandakan bahwa putri semata wayangnya
telah diasingkan dari keluarga.
Ditengah situasi tersebut, Karaeng Caya yang dimainkan oleh Widyawati tampil
menyelesaikan persoalan pelik itu secara elegan. Terlepas dari segala kontraversi yang
terjadi, kearifan menyikapi masalah dengan tetap menegakkan kehormatan dan harga diri
melalui berdamai atas segala ketidaksempurnaan merupakan jalan penyelesaian terbaik
atas konflik yang terjadi secara humanis, dan dengan pendekatan cinta. Transformasi Siri’
pada kasus Silariang dalam BTA mencerminkan upaya menghadirkan harmoni
berdasarkan azas kehormatan, harga diri dan kasih sayang bagi sesama.
Akhirnya, secara keseluruhan, film televisi ini adalah metafora kehidupan berbudaya,
gaung yang bergema keras tentang pergulatan emosi-hasrat-hegemoni personal-yang
dipaparkan dengan indah dalam durasi dua jam, dan melibatkan panorama alam dan
lingkungan perkotaan yang konon jarang diekspos media. Namun, secara faktual, pesan
memaknai budaya siri-lah yang paling penting, bagaimana kita bersikap jika menjadi
salah satu karakter yang diperankan dalam film itu. Dan tak kalah penting lagi, sungguh
kita menjadi beradab bila mampu mengelompokkan budaya-budaya kita yang selama ini
menjadi sorotan pihak luar.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. 2009. Estetika; Sebuah Filsafat Pengantar Keindahan Dari Yunani Kuno
Sampai Zen Budhisme. Tangerang: Sanggar Luxor
Bugis,

Anak.

2015,

Baju

Bodo

Pakaian

Adat

Suku

Bugis

Yang

Mendunia,

http://www.bloggersbugis.com
Effendy, Onong Uchjana. 2000, Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 1989, Understanding Popular Culture. Penerbit Routledge
Friskawini,

2012,

Makna

Siri’

Na

Pacce’

dimasyarakat

Bugis-Makassar,

www.imbasadi.wordpress.com
Hermasah, 2014, Sinrilik www.rezahermansah.blogspot.co.id
Isnain, 2016 Senjata Tradisional Masyarakat Adat Bugis, www.melayuonline.com
Sachari, Agus. 2002, Sosiologi Desain. Bandung: Penerbit ITB
Sejarawan, Sang. 2014 Mata Pencaharian Suku Bugis, www.sangsejarawan.blogspot.co.id
Sugiharto, Bambang. 2013, Untuk Apa Seni?. Bandung: Pustaka Matahari.