Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

KARAKTER AYAH
DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG
KARYA TERE-LIYE
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh
MABRUROH
1110013000009

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015

ABSTRAK
MABRUROH, NIM : 1110013000009. Skripsi “Karakter Ayah dalam

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.
Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan
pendekatan objektif terhadap karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan karakter tokoh Ayah di dalam novel Ayahku (Bukan)
Pembohong karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
SMA. Di dalam novel ini, Tere-Liye menghadirkan cerita kedekatan hubungan
antara Ayah dan anak laki-lakinya yang dibangun melalui cerita dongeng
Ayahnya, kedekatan hubungan mereka dan dongeng itu harus berhenti karena
suatu sebab. Untuk menemukan karakter tokoh Ayah di dalam novel, peneliti
menggunakan metode karakterisasi melalui tindakan para tokoh yaitu melalui
tingkah laku, melalui ekspresi wajah, dan melalui motivasi yang melandasi.
Karakter Ayah yang tergambar melalui tingkah laku adalah suka bercerita,
penyayang terhadap keluarga, melindungi, dan memilih hidup sederhana. Karakter
Ayah yang tergambar melalui ekspresi wajah adalah selalu menahan kesedihan,
ceria, optimis dan penuh kayakinan. Karakter Ayah yang tergambar melalui
motivasi yang melandasi adalah ambisius, berbohong untuk kebaikan anaknya,
tujuan cerita-ceritanya, sikap tegas dan penuh disiplin, menghargai setiap usaha,

rasa syukur, dan rasa cinta.
Kata kunci : Ayah, Karakter, Ayahku (Bukan) Pembohong, Tere-Liye.

i

ABSTRACT

MABRUROH, NIM : 1110013000009, Thesis “Father Character in
Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Created By Tere-Liye and Implications to
Study of Literature in Senior High School” Major Education Language and
Indonesia Lecture. Faculty Tarbiyah Science and Teacher. University Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Instructor Lecturer : Novi Diah Haryanti,
M.Hum.
This thesis uses descriptive method of analysis using objective approach to
literary works. This study aimed to describe the character of the father figure in
the novel Ayahku (Bukan) Pembohong created by Tere-Liye and implications to
study of literature in senior high school. In this novel Tere-Liye presents story
father and son relationship proximity fairy stories that built by father proximity
relationships and stories that they should stop because of. Father to find characters
in researchers using the characterization by the actions of the characters is through

behavior, through facial expressions, and through motivation underlying. Father
character depicted through the behavior is like storytelling, dear to the family,
protect, and the simple life. Father character portrayed through facial expressions
are always resist sadness, happy, optimistic and full of faiths. Father character
depicted through underlying motivation is ambitious, lie for the good of their
children, goal storytelling, assertiveness and discipline, appreciate every effort,
gratitude, and love.
Key words : Father, Character, Ayahku (Bukan) Pembohong, Tere-Liye

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, rasa syukur dan bahagia tidak terkira atas
izin Allah SWT hingga skripsi ini pada akhirnya dapat penulis selesaikan. Solawat
dan salam senantiasa penulis curahkan sepenuh hati untuk baginda Nabi
Muhammad SAW dan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya.
Skripsi dengan judul “Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan)
Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA” penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat
mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi

ini, tidak lepas dari kejenuhan dan hambatan yang hadir silih berganti. Tanpa
semangat dan kemauan yang keras untuk menyelesaikan dengan segera, tidak
mungkin skripsi dapat selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan sangat
bangga dan sangat berterima kasih penulis ingin sampaikan kepada:
1. Dr. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hindun, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang tidak
bosan-bosannya untuk membimbing penulis dan memberikan arahan,
saran, masukan yang sangat membantu selama proses pembuatan skripsi.
Terima kasih atas waktu serta kesabaran yang Ibu berikan selama proses
bimbingan skripsi ini.
5. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dengan sabar dan ikhlas telah membagi ilmunya
kepada penulis selama masa perkuliahan.

iii


6. H. Rokib dan Hj. Ulfaridah, kedua orang tua penulis yang telah
memberikan kepercayaan penuh sehingga melatih penulis untuk menjadi
pribadi yang lebih bertanggung jawab. Terima kasih atas dukungan dan
doa disegala aktivitas yang digeluti penulis.
7. Keluarga besar LST-POSTAR yang telah memberikan penulis kesempatan
mengenal kalian, memberikan banyak pengalaman dan pelajaran hidup
yang tidak penulis temukan di bangku kuliah, terima kasih atas
kepercayaannya, penulis bangga menjadi bagian dari keluarga LSTPOSTAR.
8. Sahabat-sahabat penulis Tuti Alawiyah, Sutirih, Kurnia Dewi Nurfadillah,
Aisyatul Fitriah, Yunia Ria Rahayu, Dwina Agustin, yang mungkin sudah
bosan mendengarkan segala keluh kesah penulis namun masih mau
mendengarkan dan memberikan semangat serta motivasi. Terima kasih
telah menjadi sahabat yang suatu hari nanti bisa penulis ceritakan dengan
bangga tentang kehadiran kalian di kehidupan penulis.
9. Yudi Ardiansyah yang tidak pernah lelah memberi dukungan, semangat,
dan hobi menyulut emosi penulis untuk segera dan segera merampungkan
skripsi. Terima kasih sudah hadir.
10. Bambang Pribadi yang sudah mencambuk penulis untuk tidak melulu
berada dalam zona aman, mengajak penulis untuk berani memberontak

dari kata tidak bisa dan tidak mungkin, dan meyakinkan penulis untuk
terus berpikir positif terhadap hal yang dikerjakan dengan kesungguhan.
11. Teman-teman kosan berisik bin ajaib Ade Fauziah, Aulia herdiana, Eka
Lutfiyani, Mawaddah, Tazka Adiati, Nurul Inayah, Fitri Khoiriyani.
12. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang konyol bin
nyebelin, khususnya kelas B angkatan 2010. Terima kasih telah menerima
penulis sebagai bagian dari kelas B yang pada awalnya terjadi karena salah
masuk kelas.
13. Teman-teman Karate BKC UIN Jakarta yang menyelamatkan penulis dari
kejenuhan aktivitas perkuliahan dan membawa penulis mengikuti
kejuaraan.

iii

Terima kasih untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, semoga segala dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis
dapat terwujud dan semoga Allah membalas kepada kalian semuanya.
Penulis berharap pada kritik dan saran yang dapat membangun penelitian
ini menjadi lebih baik lagi. Besar harapan juga semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.


Jakarta, 08 Januari 2015

Mabruroh

iii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRATC …………..…………………………….…………………………... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................3
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................4

D. Rumusan Masalah ......................................................................................4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................4
F. Manfaat Penelitian .....................................................................................5
G. Metodologi Penelitian ................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Karya Sastra ………....................................................................................8
B. Hakikat Prosa ……......................................................................................9
C. Unsur-unsur Prosa ………...........................................................................9
1. Tema ………………………………………………………………....10
2. Tokoh ………………………………………………………………..11
3. Alur ………………………………………………………………… 13
4. Latar………………………………………………………………….15
5. Sudut Pandang ……………………………………………………….17
6. Gaya Bahasa …………………………………………………………19
D. Pendekatan Objektif ………......................................................................20
E. Pengertian Karakter …...............................................................................20
F. Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh ….........................................21

1. Melalui Tingkah Laku ……………………………………………….21
2. Melalui Ekspresi Wajah …….……………………………………….21

3. Melalui Motivasi yang Melandasi …………………………………...21
G. Hakikat Pengajaran Sastra …………………………….…………………22
H. Penelitian Relevan ………….....................................................................22
BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sinopsis ……….........................................................................................25
B. Unsur Intrinsik Novel ...............................................................................26
1. Tema ....................................................................................................26
2. Tokoh ..................................................................................................27
3. Alur .....................................................................................................45
4. Latar ....................................................................................................52
5. Sudut Pandang .....................................................................................58
6. Gaya Bahasa ........................................................................................60
C. Analisis Karakter Ayah ………….............................................................61
1. Karakteristik Ayah Melalui Tingkah Laku ………………………….61
2. Karakteristik Ayah Melalui Ekspresi Wajah ………………………..70
3. Karakteristik Ayah Melalui Motivasi yang Melandasi ……………...73
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ….................................87
BAB IV PENUTUP
Simpulan..................................................................................................,.............90
Saran ......................................................................................................................91

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan bagian dari budaya yang berkembang seusia
perkembangan zaman, dari sastra lisan hingga lahir sastra tulis, dengan
menggunakan bahasa sebagai media komunikatifnya. Pengarang memaparkan,
mengekspresikan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan yang
memiliki nyawa, yaitu berupa luapan emosi, paparan perasaan dan pikiran,
pengalaman, ide, gagasan, semangat, penelitian, dan keyakinan-keyakinan
yang semakin dipertegas pengarang dalam karyanya.
Pada sastra tulis, tentu yang akan dilihat adalah keindahan dan kepaduan
dalam memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat,
sehingga tersampaikannya maksud dan tujuan si pengarang, karena
sesungguhnya, fenomena-fenomena yang dihadirkan pengarang dalam isi
cerita tidak lepas dari fenomena yang terjadi pada kehidupan di masyarakat.
Itu sebabnya pengarang sering mengangkat realitas sosial yang sedang terjadi

atau yang telah terjadi, dengan harapan para penikmat karya mampu
memahami setiap pesan yang ditawarkan pengarang.
Karya sastra sebagai karya seni atau disebut juga karya fiksi, yaitu berupa
cerita rekaan yang diolah pengarang dalam bentuk tulisan berdasarkan
pandangan dan penilaiannya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di
kehidupan manusia, ataupun peristiwa yang terjadi dan hanya berlangsung
dalam hayalan pengarang saja. Membaca novel serius, jika kita ingin
memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan
disertai kemauan untuk itu.1 Ketenangan dan kenyamanan serta daya simak
yang tinggi dalam membaca karya fiksi, dapat menangkap apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang, apakah karya yang dibuatnya
1

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadja Mada University Press,
2010), h.18

1

2

murni sebagai hiburan atau ada sesuatu yang sebenarnya ingin pengarang
berontak. Tidak semua maksud dipaparkan secara gamblang oleh pengarang
dalam cerita yang dibuatnya.
Karya yang disebut prosa antara lain, novel, novelet, dan cerita pendek
(cerpen). Novel sendiri salah satu genre sastra yang terus berkembang sampai
sekarang, salah satu penulis novel yang juga sangat produkstif mengeluarkan
karya-karyanya adalah Tere-Liye yang dalam bahasa India berarti untukmu.
Tere-Liye merupakan nama pena Darwis, penulis muda yang lahir di
pedalaman Sumatera pada 21 Mei 1979, ia merupakan anak ke enam dari
tujuh bersaudara. Tere-Liye menikah dengan Riski Amelia dan dikarunia
seorang putra bernama Abdullah Pasai. Berikut beberapa karyanya antara lain:
Mimpi-mimpi si Patah Hati (AddPrint, 2005), Hafalan Shalat delisa
(Republika, 2005), Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2005), Cintaku
Antara Jakarta dan Kuala Lumpur (AddPrint, 2006), The Gogongs Series 1:
James & Incridible Incodents (Gramedia Pustaka, 2006), Kisah Sang
Penandai (Serambi, 2007), Bidadari-bidadari Surga (Republika, 2008),
Sunset Bersama Rosie (Grafindo, 2008), Rembulan Tenggelam di Wajahmu
(Grafindo 2006 & Republika 2009), Burlian (Republika, 2009), Daun yang
Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka, 2010), Pukat
(Republika, 2010), Eliana (Republika, 2011), Kau Aku dan Sepucuk Angpau
Merah (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Negeri Para Bedebah (Gramedia
Pustaka Utama, 2012), Negeri Di Ujung Tanduk (Gramedia Pustaka Utama,
2013), Sepotong Hati yang Baru (Mahaka Publishing, 2013), Ayahku (Bukan)
Pembohong (Gramedia Pustaka Utama, cet. Kesepuluh 2014), Berjuta
Rasanya, Dikakatak atau Tidak Dikatakan, Itu tetap cinta (Gramedia Pustaka
Utama, 2014), BUMI (Gramedia Pustaka Utama, 2014), RINDU (Republika,
2014).
Dari semua karyanya hampir tidak ada informasi atau tidak ditemukannya
biografi Tere-Liye, yang umumnya ditulis oleh pengarang di belakang
karyanya. Tere-Liye dalam dunia sastra memang masih terbilang baru, namun

3

melihat caranya memaparkan cerita lembar demi lembarnya, seolah-olah
melihat gambaran peristiwa itu benar terjadi di depan mata sendiri, menurut
penulis khususnya sebagai pembaca. Pada tulisannya, Tere-Liye bukan saja
memaparkan cerita, juga menyelipkan begitu banyak pesan moral dan
pendidikan yang mengajak, namun tidak terkesan sedang menggurui pembaca.
Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis karakter Ayah pada novel
Ayahku (Bukan) Pembohong. Seorang ayah yang membesarkan anak semata
wayangnya Dam dengan cerita-cerita yang kemudian juga dia lakukan pada
cucu-cucunya yaitu Zas dan Qon. Cerita-cerita Ayahnya menjadi inspirasi
hidup Dam, namun setelah Dam tumbuh dewasa, pola pikir pun berubah,
begitu banyak hal yang tidak semuanya bisa terselesaikan hanya dengan
cerita-cerita Ayahnya, Dam pun memutuskan untuk tidak lagi mempercayai
cerita-cerita Ayahnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, pemilihan novel Ayahku (Bukan)
Pembohong sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama,
ingin mengangkat tulisan yang membahas tentang karakter sosok seorang ayah
dan mengenal sosoknya lebih dalam lagi. Kedua, keunikan alur ceritanya yang
flash back . Ketiga, novel Ayahku (Bukan) Pembohong ceritanya bagus dan
banyak memberikan pelajaran moral serta kearifan hidup, kesederhanaan, dan
kebahagiaan.
Dalam lembaga pendidikan, pelajaran moral dan sosial perlu diajarkan dan
diterapkannya kepada siswa-siswa sekolah, untuk itu dalam pembelajaran
sastra seorang pendidik dapat menggunakan novel Ayahku (Bukan)
Pembohong sebagai bahan bacaan siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis mengangkat skripsi berjudul “Karakter Ayah dalam Novel Ayahku
(Bukan)

Pembohong

Karya

Tere-Liye

dan

Implikasinya

terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah

4

yang ada yaitu:
1. Pemahaman

siswa

terhadap

nilai-nilai

moral,

pendidikan,

dan

kesederhanaan hidup yang mulai memudar saat ini.
2. Permasalahan saat ini orang tua sering menjadikan nasihat-nasihat sebagai
cara mendidik anak, padahal anak-anak zaman sekarang sering tidak
begitu menghiraukan nasihat yang mereka dengar.
3. Gambaran karakter Ayah melalui tingkah laku dalam novel Ayahku
(Bukan) Pembohong.
4. Gambaran karakter Ayah melalui ekspresi wajah,dalam novel Ayahku
(Bukan) Pembohong.
5. Gambaran karakter Ayah melalui motivasi yang melandasi dalam novel
Ayahku (Bukan) Pembohong.
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dibuat agar penelitian lebih terfokus pada sasaran
yang diharapkan dan ruang lingkup kajian penulisan skripsi tidak meluas,
maka penulis membatasi permasalahan pada: “Karakter Ayah dalam Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong?
2. Bagaimana implikasi tokoh Ayah terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong
karya Tere-Liye.

5

2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang sastra
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik
pada sebuah karya sastra, dalam hal ini difokuskan pada karakter
tokoh dalam sebuah novel.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
pembaca sebagai bahan bacaan terkait dengan kesamaan tema
penelitian seperti, analisis karakter ataupun hal-hal lain yang terkait
dengan isi penelitian.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi

siswa,

khususnya

pada

siswa

tingkat

SMP/MTs

dan

SMA/SMK/MA dapat memperdalam pemahaman tentang unsur
intrinsik karya sastra.
b) Untuk guru, khususnya guru bidang studi Bahasa Indonesia dan Sastra
diharapkan penelitian ini juga dapat bermanfaat terkait dengan unsurunsur intrinsik yang membangun karya sastra.
G. Metodologi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan
Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.2 Menurut Locido, Spaulding,
dan Voegtle penelitian kualitatif atau penelitian lapangan adalah suatu
metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan
antopologi dan diadaptasi ke dalam setting pendidikan. Peneliti kualitatif
2

h.3

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),

6

menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya bahwa
terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan.3
Anselm Strauss dan Juliet Corbin menyebutkan istilah penelitian
kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan
perilaku seseorang.4 Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya
Tere-Liye

menggunakan

metode

kualitatif

deskriptif

yaitu

hasil

analisisinya berbentuk deskriptif dan berisi kutipan-kutipan data penelitian
yang digunakan yaitu novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya
Tere-Liye terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada
kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta
buku-buku yang berhubungan dengan novel, seperti buku tentang teori
fiksi, kepribadian, karakteristik, dan penokohan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan pengamatan
langsung pada objek yang akan dianalisis, dengan pembacaan secara

3

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.2
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h.4
4

7

berulang dan penandaaan-penandaan bagian penting pada novel Ayahku
(Bukan) Pembohong karya Tere-Liye. Penandaan bagian-bagian penting
tersebut berfokus pada bukti kutipan untuk unsur-unsur intrinsik yang
membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong, serta bukti kutipan yang
menggambarkan karakter tokoh Ayah.
5. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
sebagai berikut:
a. Menganalisis novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye
dengan menggunakan pendekatan objektif dan penggunaan teori
Metode karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop.
Penelitian ini hanya dibatasi pada metode karakterisasi melalui
tindakan para tokoh, yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi
wajah, dan melalui motivasi yang melandasi.
b. Analisis terhadap karakter Ayah pada novel Ayahku (Bukan)
Pembohong dilakukan dengan pembacaan berulang kali untuk
memperoleh pemahaman lebih mendalam mengenai karakternya, juga
untuk melihat kembali catatan atau penandaan yang telah dibuat terkait
tokoh ayah dan bukti kutipan karakternya, berharap tidak ada yang
terlewatkan.
c. Mengimplikasikan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye
pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dilakukan
dengan cara menghubungkan materi unsur intrinsik karya sastra
dengan menggunakan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya TereLiye.

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Karya Sastra
Wellek dan Warren mendefinisikan sastra sebagai suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Daiches mengacu pada Aristoteles yang melihat
sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan
yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain,” yakni suatu cara yang
memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya
wawasan pembacanya.1 Demikian ciri-ciri sastra yaitu sebagai berikut:
bermediumkan bahasa, unsur fiksionisasi tinggi, bernilai artistik, dan
merupakan ciri suatu kolektif 2
Fungsi utama sastra menurut Horace adalah menghibur dan mendidik
(dulce et utila). Umumnya karya sastra selalu memenuhi salah satu dari
kedua fungsi tersebut atau kedua-duanya. Berdasarkan kategori kita
mengenal beberapa jenis sastra. Sastra sebagai media yaitu ada sastra lisan
dan sastra tulis. Sastra menurut fungsinya ada sastra populer dan sastra
serius. Sastra menurut pembacanya ada sastra anak-anak, sastra remaja,
dan sastra dewasa. Sastra menurut ketuhanan, ada sastra keagamaan dan
sastra sufi, sedangkan sastra menurut perbedaan wilayah ada sastra daerah,
sastra nasional, dan sastra dunia.3
Nurgiyantoro, karya sastra menciptakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan
belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai buah

1

Melani Budianata, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 7
Bani Sudardi, Pengantar Teori Sastra Lisan, (Surakarta: Badan Penerbit Sastra
Indonesia, 2002), h. 7
3
Widjojoko dan Endang Hidayati, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung:UPI
PRESS, 2006), h. 2-3
2

8

9

karya seni.4 Dengan demikian, sastra merupakan karya fiksi dari seni
bahasa yang di dalamnya mengemas pengetahuan dan wawasan, hiburan,
serta nilai-nilai kehidupan yang dihadirkan pengarang melalui konflik
jalannya sebuah cerita yang disampaikan oleh tokoh-tokoh imajinatif
karya pengarang.
B. Hakikat Prosa
Paniti Sudjinam mendefinisikan prosa merupakan suatu karya sastra
yang bersifat bebas, sehingga pengarang dapat leluasa mengemukakan ide,
pendapat, serta gagasannya. Prosa tidak terlalu terikat dengan irama, rima,
dan kemerduan bunyi.5
Ragam prosa ada dua, yaitu fiksi dan non fiksi. Ragam prosa-fiksi
terbagi menjadi prosa lama dan prosa baru. Prosa lama di antaranya yaitu
dongeng, mite, legenda, sage, fabel, dongeng kejadian alam, dongeng peri,
dongeng jenaka. Sedangkan prosa baru di antaranya adalah cerita pendek,
roman, dam novel. Ragam prosa yang kedua adalah non-fiksi, di antaranya
biografi dan otobiografi, kisah dan lukisan, sejarah, tambo, dan babat, esai
dan kritik sastra.6
Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini
adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap
bersinonim dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan
sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia
imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti
peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang
kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.7
C. Unsur-Unsur Novel
Unsur-unsur pembangun novel yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih
4

Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2: Jenis dan Bentuk Karya Sastra Indonesia,
(Surabaya: Amanah Pustaka, 2009), h. 6
5
Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 32
6
Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 33
7
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2010), h. 4

10

banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu (1) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. (2) unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra.8
Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun fiksi yang disebut oleh
Stanton:
1. Tema
Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya
sastra.9 Aminuddin memaparkan tema berperan sebagai pangkal tolok
pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema
merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan
prosa rekaan oleh pengarang.10Dalam pemikiran lain sesuatu yang
menjadi pokok persoalan dan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya
itulah yang disebut tema.11
Shipley dalam Dictionary of World Literature, membedakan tematema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan:
a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan)
molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
menyarankan dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik
dari pada kejiwaan. Contohnya seperti novel-novel teenlit.
b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas,
khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya
penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau skandalskandal seksual yang lain. Contoh novel yang bertemakan organik
Namaku Hiroko, Jalan Tak Ada Ujung, Pada sebuah Kapal.
8

Ibid., h. 23
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia. (Jakarta: Laskar Aksara), h. 5
10
Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 161
11
Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 88

9

11

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial mengandung
banyak permasalahan dan konflik yang menjadi objek pencarian
tema.

Masalah

ekonomi,

politik,

pendidikan,

kebudayaan,

perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan hubungan sosial lainnya
yang berisi kritik sosial dalam sebuah karya sastra. Contoh
novelnya Kemelut Hidup, Ronggeng Dukuh Paruk.
d. Tema tingkat egoik, kedudukannya sebagai makhluk individu yang
senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya,
manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,
misalnya reaksi terhadap masalah-masalah sosial yang sedang
dihadapinya. Antara lain, egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat
dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih
bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Contoh novel
yang bertema egoik antara lain, Atheis, Gairah Untuk Hidup dan
Untuk Mati, Jalan Tak Ada Ujung.
e. Tema tingkat divine, masalah yang menonjol dalam tema tingkat
ini adalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah
religiositas, atau yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan
hidup, visi, dan keyakinan. Contoh novel seperti pada Robohnya
Surau Kami, Kemarau, Datang dan Perginya.12
2. Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh
dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga
merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh
karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara
alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri
“hidup” atau memiliki derajat “seperti-hidup.” Sama halnya dengan
manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka
tokoh dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis,

12

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 80-82

12

sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis
kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri tokoh.13
Aminuddin dalam Wijoko mengatakan, tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh
disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada
tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh
bawahan), dan tokoh komplomenter (tambahan). Dilihat dari
perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh
dinamis dan tokoh stastis.14
Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam
cerita dikenal tiga macam cara, yaitu:
a. Secara analitik, pengarang menjelaskan secara terinci watak tokohtokohnya. Misalnya A adalah seorang yang kikir dan dengki.
Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya
karena masalah uang, ia mudah sekali marah.
b. Secara dramatik, di sini pengarang tidak secara langsung
menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi dengan cara:
1) Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh. Umpamanya
digambarkan keadaan sebuah kamar acak-acakan, buku
berserakan, pakaian kotor berhamburan, sepatu, sandal dan
lain-lain

bertebaran

di

mana-mana.

Dengan

gambaran

lingkungan tersebut pembaca sudah dapat menduga bagaimana
penghuninya.

13

Sihabudin, dkk, op. cit, h. 17-18

14

Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit, h.14

13

2) Pengarang menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan
tokoh yang lain. Dari dialog-dialognya itu dapat diketahui
bagaimana watak tiap tokoh tersebut. Tutur kata serta bahasa
yang

digunakannya

biasanya

menggambarkan

watak

penuturnya.
3) Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi
tokoh terhadap suatu kejadian. Apakah reaksinya spontan,
penuh emosi, tenang atau gugup. Semua itu sebenarnya
menampakkan watak yang dimilikinya.
c. Gabungan analitik dan dramatik. Di sini antara penjelasan dan
dramatik saling melengkapi. Hal yang harus diingat di sini adalah
bahwa antara penjelasan dengan perbuatan atau reaksi serta tutur
kata dan bahasanya jangan sampai bertolak belakang. Misalnya
orang yang dikatakan tenang tetapi dalam tutur katanya tiba-tiba
meledak-ledak penuh emosi, hal itu tentu tidak cocok.15
3. Alur
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu,
bulat, dan utuh.16 Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa
perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa,
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.17
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula.
Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada
tinjauan dari kriteria urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud
adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
karya fiksi yang bersangkutan atau lebih tepatnya, urutan penceritaan

15

Suroto, op. cit, h. 93-94
Ratih Mihardja, op.cit, h. 6
17
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 114

16

14

peristiwa-peristiwa yang ditampilkan. Urutan waktu, dalam hal ini,
berkaitan dengan logika cerita.18
Dari sinilah secara teoritis kita dapat membedakan plot ke dalam
dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Pertama disebut sebagai
plot lurus, maju, dapat dinamakan juga progresif. Sedangkan yang
kedua adalah sorot balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut
regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh
peristiwa-peristiwa kemudian atau secara runtut cerita dimulai dari
tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah
(konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Ditulis dalam
bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan terwujud
sebagai berikut.
A

B

C

D

E

Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan
kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah yang merupakan inti cerita,
dan E merupakan tahap penyelesaian cerita. Oleh karena kejadiaankejadian yang dikisahkan bersifat kronologis yang secara istilah berarti
sesuai dengan urutan waktu, plot yang demikian disebut juga sebagia
plot

maju,

progresif.

Plot

progresif

biasanya

menunjukkan

kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah
diikuti.
Plot sorot balik atau flas back, urutan kejadian dikisahkan dalam
karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan tahap awal
cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan
adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah
meruncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui
18

Ibid., h.153

15

situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan
pertentangan itu, yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah
peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya. Jika
digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot balik tersebut dapat
berupa sebagai berikut.
D1

A

B

C

D2

E

Teknik pembalikan cerita, atau penyorotbalikan peristiwaperistiwa, ke tahap sebelumnya dapat dilakukan melalui beberapa cara.
Mungkin pengarang “menyuruh” tokoh merenung kembali ke masa
lalunya, menuturkannya kepada tokoh lain baik secara lisan maupun
tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa lalu tokoh lain, atau
pengarang sendiri yang menceritakannya. Teknik flash-back sering
lebih menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung
ditegangkan, langsung “terjerat” suspense, dengan tidak terlebih
dahulu melewati tahap perkenalan seperti pada novel berplot progresif
yang adakalanya berkepanjangan dan agak bertele-tele.19
4. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang
sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu
(hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.20
Nurgiyantoro menyebutkan unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu:
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama

19

Ibid., h. 153-155
Robert Stanto, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 35

20

16

tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.21
Latar waktu selalu berkaitan dengan saat berlangsungnya suatu
cerita. Jadi kalau disederhanakan dapat dirumuskan kapankah suatu
cerita berlangsung? Dari bentuk pertanyaan itu suatu cerita dapat
terjadi pada:
a) pagi, siang, senja, dan malam hari
b) hari dan tanggal tertentu
c) bulan dan tahun tertentu tidak begitu jelas, misalnya pada suatu
saat, pada suatu hari, dan sebagainya.22
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Di samping itu latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.23
Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang
sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan
landasan tumpu, pijakan.24 Namun hal itu tidak berarti melemahkan
karya fiksi yang bersangkutan, mungkin sekali pengarang sengaja tidak
berniat menonjolkan unsur latar dalam karyanya, melainkan lebih
menekankan unsur yang lain, khususnya alur atau tokoh.25

21

Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 227-234
Wijaya Heru Santoso dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta:
Yuma Pustaka), h. 12
23
Burhan Nurgiyantoro, loc.cit., h. 233-234
24
Ibid., h. 220
25
Ibid., h. 221
22

17

5. Sudut Pandang
Pickering dan Hoeper mendefinisikan sudut pandang yaitu suatu
metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana
ceritera disampaikan.26 Nurgiyantoro menyebutkan sudut pandang
pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.27
Stanton menyebutkan sudut pandang terbagi menjadi empat tipe
utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi
dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada „orang
pertama-utama‟ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya
sendiri.
Aku putus asa. “Baiklah Fred,” kataku “mari kita atur rencana
ini.” Tanpa mendongak, ia membalik halaman berikut dari
bukunya. Aku masih dapat mendengar angin bertiup di luar.
Pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu
karakter bukan utama (sampingan).
Aku berpura-pura menulis, tetapi sebenarnya aku mengamati
Anderson yang sedang mondar-mandir. Mendadak, dengan
tampang tanpa ekspresi, ia berhenti di dekat dipan Fred. “Baiklah,
mari kita atur rencana ini. “Tanpa sedikit pun mendongak, Fred
membalik selembar lagi. Pasangan yang unik, menurutku. Aku
masih dapat mendengar angin bertiup di luar.
Pada „orang ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada semua
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dlihat, didengar, dan dipikirkan oleh
satu orang karakter saja.
Ia mondar-mandir, berusaha keras menemukan satu jalan keluar.
Mendadak ia berkata,”Baiklah Fred, mari kita atur rencana ini.”
Tanpa mendongak, Fred membalik selembar lagi. Anderson

26

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia), h. 87
27
Burhan Nurgiyantoro, loc.cit, h. 248

18

melipat kedua tangannya dan menunggu, sembari mendengar
angin yang tertiup di luar.
Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga
dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir
atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.
Anderson mondar-mandir, mencoba untuk mencari jalan keluar.
Akhirnya, tanpa punya banyak pilihan, dia berkata, “Baiklah Fred,
mari kita atur rencana ini.” Sama sekali tidak menjawab, Fred
membalik selembar lagi. Di luar, angin sedang berhembus
menerpa pondokan dengan kencang.28
Selain empat jenis sudut pandang menurut Stanton, Nurgiyantoro
menambahkan sudut pandang berikutnya, yaitu penggunaan sudut
pandang yang bersifat campuran. Sudut pandang yang bersifat
campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin menggunakan sudut
pandang pesona ketiga dengan teknik “dia” maha tahu dan “dia”
sebagai pengamat, pesona pertama denga teknik “aku” sebagai tokoh
utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa
campuran antara pesona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia”
sekaligus.29
Penggunaan kedua sudut pandang tersebut dalam sebuah novel
terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak
kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh utama protagonis, dan ini
memungkinkan

pengarang

membeberkan

berbagai

pengalaman

batinnya. Namun, jangkauan si “aku” (yang berarti:narator) terhadap
tokoh lain terbatas, tak bersifat maha tahu. Padahal pembaca
menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator
ingin menceritakannya kepada pembaca, terutama yang dalam
kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal ini dapat dilakukan,
28
29

Robert Stanton, op.cit, h.52-55
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 266

19

pengarang sengaja beralih ke sudut pandang lain yang memungkinkan
memberinya kebebasan, dan teknik itu berupa “dia” (mahatahu).
Dengan demikian, pembaca memperoleh cerita secara detail baik dari
tokoh “aku” maupun ”dia”. Hal itu juga berarti: pembaca menjadi lebih
tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut
daripada tokoh-tokoh itu sendiri. 30
6. Gaya Bahasa
Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas kepada sbuah
teks, menjadikan teks itu semacam individu bila dibandingkan dengan
teks-teks lainnya.31 Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur,
karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat
berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan
menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjangpendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan
metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar
tertentu) akan menghasilkan gaya.32
Gaya bahasa ini digunakan pengarang untuk membangun jalinan
cerita dengan pemilihan diksi, ungkapan, majas, dan sebagainya yang
menimbulkan kesan estetik dalam karya sastra. Gaya bahasa ini
mencerminkan cita rasa dan karakteristik personal, bersifat pribadi,
milik perorangan, sehingga setiap pengarang memiliki gaya bahasanya
sendiri yang khas. Dalam karya sastra seperti novel, cerpen atau pun
puisi, gaya bahasa mempunya fungsi : a) memberi warna, pada
karangan, b) alat melukiskan suasana cerita dan mengintensifkan
penceritaan. Dalam kesusastraan Indonesia dikenal bermacam-macam
gaya bahasa di antaranya : Metafora, Personifikasi, Hiperbola,
Simbolik, Asosiasi, Sarkasme, Sinisme, Asidenton, Plisendeto,
30

Ibid., h. 268
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra,
(Jakarta: Gramedia, 1989), h. 105
32
Robert Stanton, op. cit, h. 61
31

20

Klimak,

Antiklimak,

Repetisi,

Pleonasme, Simile, dan Repetisi.

Eufimisme,

Litotes,

Paradoks,

33

D. Pendekatan Objektif
Abrams dalam Pengantar Teori Sastra mengemukakan pendapatnya
tentang komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Di dalam
komunikasi tersebut ia mengemukakan situasi sastra secara menyeluruh
terdiri atas empat hal: karya sastra, sastrawan, semesta, dan pembaca.34
A. Teeuw mengatakan pendekatan yang menitikberatkan karya itu
sendiri; pendekatan itu disebut obyektif.35 Pendekatan objektif adalah
pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajian pada karya sastra.
Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya
sastra menjadi sesuatu yang inti.36
Pendektan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab
pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya
sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan
perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis
intrinsik.37
E. Pengertian Karakter
Echos dan Shadily dalam buku Albertine Minderop, karakter atau
dalam bahasa Inggris, character berarti watak, peran, huruf. Karakterisasi,
atau dalam bahasa Inggris charaterization, berarti pemeran, pelukisan
watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode
melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara
menentukan karakter (tokoh) -dalam hal ini tokoh imajinatif- dan
menentukan watak tokoh atau watak karakter sangat berbeda.38

33

Zulfahnur ZF, Sayuti Kurnia, Zuniar Z. Adji, Teori Sastra, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997), h. 38-41
34
Wahyudi Siswanto, op.cit, h.179-180
35
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya ), h.50
36
Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 183
37
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h.73
38
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, op.cit, h. 2

21

Kenney pakar teori sastra, memberikan gambaran mengapa seorang
tokoh melakukan sesuatu. Motivasi secara umum menyangkut dorongan
sifat manusia, yang mendasar seperti perasaan cinta, lapar, tamak, dan
sebagainya.

Demikian

pula

misalnya,

seorang tokoh

melakukan

pembunuhan, tentu terdapat alasan mengapa ia melakukan perbuatan
tersebut, apakah alasan itu memang harus dilakukannya, dalam hal ini
pengarang harus pandai melukiskan kondisi si tokoh secara menyeluruh.39
F. Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh
Watak tokoh dapat diamati melalui tingkah-laku. Tokoh dan tingkah
laku bagaikan dua sisi pada uang logam. Henry James mengatakan, bahwa
perbuatan dan tingkah laku secara logis merupakan pengembangan
psikologi dan kepribadian, memperlihatkan bagaimana watak tokoh
ditampilkan dalam perbuatannya.
1. Melalui Tingkah Laku
Untuk membangun watak dengan landasan tingkah laku, penting
bagi pembaca untuk mengamati secara rinci berbagai peristiwa dalam
alur karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak
para tokoh, kondisi emosi dan psikis, yang tanpa disadari
mengikutinya serta nilai-nilai yang ditampilkan.40
2. Ekspresi Wajah
Bahasa tubuh (gesture) atau ekspresi wajah biasanya tidak terlalu
signifikan bila dibandingkan dengan tingkah laku, namun tidak
selamanya demikian. Kadang kala tingkah laku samar-samar atau
spontan dan tidak disadari seringkali dapat memberikan gambaran
kepada pembaca tentang kondisi batin, gejolak jiwa atau perasaan si
tokoh.41
3. Motivasi yang Melandasi
Untuk memahami watak tokoh lepas dari tingkah laku baik yang
disadari atau tidak disadari, penting pula memahami motivasi tokoh
39

Ibid., h. 3
Ibid., h. 37-38
41
Ibid., h. 42
40

22

berprilaku demikian, apa yang menyebabkan ia melakukan suatu
tindakan. Apabila pembaca berhasil melakukan hal itu dengan pola
tertentu dari motivasi (motive = that wich causes somebody to act)
tersebut, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pembaca mampu
menemukan watak tokoh dimaksud dengan cara menelusuri sebabmusabab si tokoh melakukan sesuatu.42
G. Hakikat Pengajaran Sastra
Pendidikan

sastra

adalah

pendidikan

yang

mencoba

untuk

mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini
adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan
pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,
memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.43
Meskipun dari sudut pandang pendidikan secara umum ada beberapa
buah novel yang dianggap kurang berharga atau bahkan dikatakan sebagai
dapat „merusak moral‟ anak-anak, akan tetapi perlu diingat pada
kenyataannya novel banyak menampung ide-ide para sastrawan terkenal
selama dua abad terakhir ini. Novel-novel tersebut mengandung banyak
pengalaman yang bernilai pendidikan yang positif, apalagi jika dipilih
dengan pertimbangan

Dokumen yang terkait

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

12 92 67

Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

4 45 113

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER NOVEL AYAHKU BUKAN PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai Pendidikan Karakter pada Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Rerevansinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA

0 2 18

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA NOVEL AYAHKU BUKAN Nilai Pendidikan Karakter pada Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Rerevansinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA.

0 2 12

ASPEK MOTIVASI DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Aspek Motivasi Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 14

ASPEK MOTIVASI DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Aspek Motivasi Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 17

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 9

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 0 1

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

0 1 6

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE

0 2 90