Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma
Fungsional
Kamis, 21 Juni 2007

Saafroedin

Bahar

Dosen Mata Kuliah Etnisitas dan Integrasi Nasional, Program Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Pasca
Sarjana, UGM, Yogyakarta; Komisioner, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta
Pendahuluan
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan
yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran
dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak
kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat
disebutkan

sebagai

berikut.


Mari kita mulai dengan kemajuan–bahkan kemajuan besar��?yang telah dibawa oleh gerakan
Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan
Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru,
terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum
Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media
massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik
boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh
telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk,
walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan
umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama
didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu
tidak

ada

lagi

fraksi


TNI

dan

Polri

di

lembaga-lembaga

legislatif.

Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta
pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam
penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula
pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih
tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan–yang pernah demikian baik dan murah
dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas–terkesan amat merosot.
Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian

memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih
kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu
‘dosa’ yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di
tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan
daerah yang dihadapkan ke ‘meja hijau’ dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang
selain mencoba mengelak dengan dalih ‘sakit’, juga mampu tampil di depan publik dengan
wajah

bagaikan

tak

bersalah,

yang

kadang

kala


bahkan

dengan

penuh

senyum.

Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan
dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif
serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan
saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa

demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang
mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk
seleksi kepemimpinan��?ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai
kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terusmenerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan
hanya

menimbulkan


pembengkakan

lembaga,

penambahan

jumlah

pejabat

serta

dukungan

fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan
taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang
berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan
lain cara. Kekuatan TNI–terutama di laut dan di udara��?sedemikian lemahnya, sehingga
bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin

melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan
Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya
menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok
Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan
tanpa batas–nota bene juga tanpa pengawasan yang efektif��?bukan saja secara praktis telah
‘mencaplok’ demikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi
juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara
beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan
tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa
penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI
mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini
secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja
tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha
milik

negara

yang


sangat

menguntungkan,

seperti

Indosat

dan

PT

Semen

Gresik.

 Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran
Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi
antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta
kebijakan


pemerintahan

yang

seyogyanya

menindaklanjutinya.Â

Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam
dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan
rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis
tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar
Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar
semacam

‘mantra

sekuler’


dalam

ritual

kehidupan

berbangsa

dan

bernegara.

Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional–baik yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan
yang diambil sejak tahun 1998��?terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan
pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga
tanpa

moral.


Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara
yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar

Negara–seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945–merupakan alasan
pembentukan (raison d’etre) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ringkasnya,

tanpa

Pancasila

tidak

akan

ada

Republik


Indonesia.

Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila
sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu.
Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke
hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan
sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan
tentang apa sesungguhnya core value dari lima silaÂ

Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena

memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila
sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah ‘hilir’, yaitu ke dalam tatanan
kehidupan

berbangsa

dan

bernegara.

Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma
yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak
lagi menjadi sekedar ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar
dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah

Sesungguhnya

Pancasila

Itu?

Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang
disebut sebagai tanggal “lahirnya�? Pancasila–Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh
nasional yang menggali Pancasila��?tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik
sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau
sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para
anggota

Badan

Penyelidik

Usaha-usaha

Persiapan

Kemerdekaan

Indonesia

(BPUPKI),

beliau

menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan
renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang
akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische
grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis,
komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses
berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika
pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah
memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan
kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang
Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga
sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap
jenis audience yang

dihadapi

beliau.

Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan
pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin
pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti
penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya,
relevansi pidato “Lahirnya Pancasila�? yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca
dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan
sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya

yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir
Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita
pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya
secara

tekstual

dan

juga

bukan

hanya

secara

personal

belaka.

Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud
perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita
oleh

seluruh founding

fathers negara

kesatuan

Republik

Indonesia

ini?Â

Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa
sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur,
menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai ‘pembagi persekutuan yang
terbesar’ (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara
konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada
kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang
beliau

sebut

sebagai

“nasionalisme,

islamisme,

marxisme�?.

Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman
Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila–yang bisa diperas menjadi Trisila,
dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong
royong�?–dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam
satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua�? dan “semua
buat

satu�?.

Dengan

kata

lain,

walaupun

Ir.

Soekarno

sudah

menyebutkan

Pancasila

sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu
sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang
memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan
pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia
Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya,
sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih
diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih
komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut
sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro
dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan
Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai
sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain
oleh karena belum terdapatÂ

koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-

masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas
bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut
sebagai ideologi seperti

dimaksud

oleh

Edward

Shils,

karena

belum

dapat

dijernihkan

apa

sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi
kualifikasi

sebagai

suatu

‘ideologi

terbuka’.

Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang
disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima
kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal
22 Juni 1945��?yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknyaâ€�?–maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwaÂ

secara

historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus
nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses
pembentukan

negara.

Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua
tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional
masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati,
serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia
yang

besar.

Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang
sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk
kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak
dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses
perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu
harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
Visualisasinya adalah sebagai berikut.
Hubungan antara Pancasila dengan Dua Tujuan Nasional dan Empat Tugas Pemerintah
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Â
Â

Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para
Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi
kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam
pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta
dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai

kesepakatan

kolektif

bangsa

Indonesia

yang

dituangkan

ke

dalam

konstitusi

dan

ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami
secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas
Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi,
namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi
kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang
amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya
secara

berkelanjutan.

Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir.
Soekarno setelah beliau “melahirkan�? Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam
berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di
dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih
elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun
1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin
cenderung

kepadaÂ

Blok

Timur,

sehingga

beliau

pernah

menyifatkan

Pancasila

sebagai

“marxisme yang diterapkan di Indonesia�?, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya
pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian
terhadap ‘pembaruan’ terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965–1967.
Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi
miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun
merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang
abadi

kepada

Adalah

Ir.

Soekarno

sebagai negarawan yang

merupakan

tantangan

sejarah

bagi

gelombang

sekaligus
demi

menjadi

gelombang

Bapak

Bangsa.

negarawan

serta

cendekiawan Indonesia pasca peristiwa berdarah tersebut untuk merumuskan, meluruskan, dan
menjabarkan Pancasila dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang
organik, secara lebih historis, dinamis, konsisten dan koheren, sehingga dapat diwujudkan aspirasi
dan kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi raison d/’etreÂ
Republik

Indonesia

berdirinya negara kesatuan
ini.

Upaya ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto. Dalam kurun pemerintahannya
yang lumayan panjang, 1966/7–1998, secara bertahap Presiden Soeharto telah menyampaikan
wawasannya tentang Pancasila, baik secara menyeluruh maupun untuk masing-masing sila. Posisi

historis

dari

rangkaian

wawasan

Presiden

Soeharto

tentang

Pancasila

ini

adalah

selain

‘membenahi’ kesimpangsiuran ideologi yang terjadi selama kurun kepemerintahan Presiden
Soekarno

antara

tahun

1959-1965,

juga

untuk

memberilandasan

ideologi untuk

kebijakan

pembangunan nasional, yang terkandung dalam Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya. Dalam tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengukuhkan rangkaian pemikiran
Presiden Soeharto tentang Pancasila tersebut dalam sebuah ketetapan tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila, yang kemudian disosialisasikan oleh jajaran BP7, sampai kemudian
dibekukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998. Sebuah badan yang direncanakan
untuk mengganti BP7 Pusat dalam sosialisasi Pancasila tidak pernah diwujudkan sampai saat naskah
ini ditulis.
Sebuah

Reinterpretasi

serta

Rekonstruksi

terhadap

Pancasila

Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang–yang pada suatu sisi masih
tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan
untuk

menjabarkan

serta

mewujudkannya

secara

sistematis

serta

melembaga

ke

dalam

kenyataan–adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masingmasing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila.
Berikut ini adalah suatu tawaran penulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih
sempurna.
Tawaran penulis ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik
dan

atau

konsensus

nasional

di

antara

para

pendiri

negara��?yang

secara

simbolik

merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia��?dalam proses pembentukan sebuah
negara

nasional

di

Indonesia,

kemerdekaan, tujuan negara,Â

yang

memuat

norma-norma

dasarÂ

(Grundnorm)

tentang

pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara,

khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta
empat

tugas

pokok

pemerintah.

Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke
dalam

konstitusi,

ditindaklanjuti

dalam

undang-undang

serta

kebijakan

pemerintahan,

dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinanÂ

dan

presiden. Sesuai

dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh
kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desadesa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam
pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai
sekedar

obyek

dalam

kehidupan

berbangsa

dan

bernegara.

Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi
masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini,
termasuk tentang hak asasi manusia, penulis berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti
Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan
berbangsa

dan

bernegara,

sebagai

berikut.

Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori
yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya
dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat
Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila

pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun,
oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh
mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun
agama

dan

kepercayaan

yang

dianutnya,

tanpa

melakukan

diskriminasi

apapun

juga.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan,
dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan
sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja
bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai
konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami
secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi
manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar
sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum
nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak,
sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh
karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari
Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga
sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan
bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah
menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial
atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat
didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para
Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan
Republik

Indonesia

tidak

dapat

diubah

lagi.

Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia
telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika�? dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari
kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma�?, yang artinya:
“walau berbeda-beda namun tetap satu jua�?. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A
Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia,
menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan
etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat
(adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum
dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undangundang

Nomor

39

Tahun

1999

Tentang

Hak

Asasi

Manusia.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas
merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat
demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam
negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan
umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut
berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah
tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya.
Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk
turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya
tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi

sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa
Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum
dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari
Republik
Keadilan

Indonesia.
Sosial

bagi

Seluruh

Rakyat

Indonesia–apapun

makna

filsafati

yang

terkandung

dalam frasa ini��?jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur
keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh
Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum
internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini
tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the
Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the
Violations

of

Economic,

Social,

and

Cultural

Rights

(1997).

Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak,
baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis
dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa an bernegara.
Masalah

Keterkaitan

antara

Sila-sila

Pancasila

Penulis dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah
seorang nation-and

state-builder pada

bangsa

yang

bermasyarakat

sangat

majemuk

seperti

Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar–dan berat��?sekaligus, yaitu 1)
memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada
kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi
kemajemukan itu, dan 2) membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar
negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak
dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen
sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang
dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from
scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang
tidak

sempat

atau

belum

sempat

ditangani

beliau

dengan

baik.

Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan–yang nota bene sangat diperlukan dalam
menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara��?adalah menjawab
pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai
suatu

kesatuan

Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masala

yang

utuh.