Pancasila sebagai dasar negara (1)

MAKALAH PANCASILA
“PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA”

NAMA

: NURUL HIKMAH SAFITRI

NIM

: 1411142004

PROGRAM STUDI MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

A. SEJARAH PANCASILA
Dalam rapat BPUPKI tanggal 1 juni 1945, Dalam maklumat itu sekaligus dimuat
dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk
selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi
kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang
pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang
dibicarakan mengenai calon dasar negara untuk Indonesia. Pada sidang pertama itu,
banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung
Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.
Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara yang terdiri atas lima hal,
yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Peri Kebangsaan
Peri Kemanusiaan
Peri Ketuhanan
Peri Kerakyatan

Peri Kesejahteraan Rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas
lima hal, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Ketuhanan Yang Maha Esa
Persatuan Indonesia
Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
ermusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945,
Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal,
yaitu:
1.
2.

3.
4.
5.

Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
Internasionalisme (Perikemanusiaan)
Mufakat atau Demokrasi
Kesejahteraan Sosial
Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno
mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong
Royong.
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para
anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya
dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang

terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Ir. Soekarno
Drs. Muh. Hatta
Mr. A.A. Maramis
K.H. Wachid Hasyim
Abdul Kahar Muzakkir
Abikusno Tjokrosujoso
H. Agus Salim
Mr. Ahmad Subardjo
Mr. Muh. Yamin


Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga
melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum
mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal
17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari
Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat
preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia
bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada
para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid
Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam,
demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan,
mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan
dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa” hingga akhirnya

menjadi Pancasila seperti saat ini.

B. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang
menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan
dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik
Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan
No.XX/MPRS/1966.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara
Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk
kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan.
Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah
suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa
Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak
sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin
selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin
seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh)

sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan
martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan
pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan
memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium
identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan
keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun
secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling
mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisahpisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah
tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan
yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila
dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila
kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat
dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama
lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan
sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”
sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain
haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka

mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa,
Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila
sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang
ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang
ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang berKemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang
adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang
mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan.

C. IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM BERBAGAI ORDE
a. Masa Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang
pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi
politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya
berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi
Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk
yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode Implementasi Pancasila
yang berbeda yaitu :
1. Periode 1945-1950
Konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensil,
namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan. setelah
penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. upaya-upaya untuk

mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui
pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara
dengan dasar islam.
2. Periode 1950-1959
Penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai
ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. walaupun dasar

negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah
mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Dalam bidang politik, demokrasi
berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling
demokratis.
3. Periode 1956-1965
Dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada
kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada
pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan
penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi
otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, dan
menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi
NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi
hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila

dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman
Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan
bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala
Indonesia,
demokrasi
terpimpin,
ekonomi
terpimpin
dan kepribadian
nasional.Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
b. Orde Baru
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari
Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau
Ekaprasetia Pancakarsa.
Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan
aplikasinya sangat mengecewakan. Beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai
kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi
akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan
oleh aparat pemerintah atau negara.
Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideologi yang hanya
menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi
persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
c. Pada masa reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki
kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan
dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite politik cenderung
hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak
mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik. Berbagai gerakan
muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya
korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan
dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerahdaerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-peristiwa

tersebut, nampak sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di ambang krisis
degradasi moral dan ancaman disintegrasi.

Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat
dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya
akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang
tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial. Masyarakat
kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi ini diperparah dengan naiknya
Harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan pokok
lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat dengan menyediakan
dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak terjadi penyimpangan
dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan pelaku politik seakan
tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan
bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan
menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan
yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya,
seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa
Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan
politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).