Bahan Bakar Hidrokarbon Pengganti Minyak Bumi

Bahan Bakar Hidrokarbon Pengganti Minyak Bumi
MigasReview, Jakarta – Hampir 100 persen dan selama hampir 100 tahun, dunia mengandalkan
minyak bumi sebagai sumber daya energi. Tak heran, penggunaan sumber daya energi
hidrokarbon yang besar berimbas pada pengembangan teknologi mengikuti perkembangan
sumber daya tersebut. Oleh karena itu, semua teknologi, semua mesin konversi energi
dikembangkan untuk menggunakan atau dicocokkan dengan bahan bakar dari hidrokarbon,
termasuk bahan bakar minyak (BBM).
Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Tatang Hernas
Soerawidjaja, meski minyak bumi hingga abad 22 masih tetap akan ada, kemampuan untuk
mengekploitasi dari perut bumi jauh lebih rendah daripada mengonsumsinya. Hal inilah yang
menyebabkan penggunaan energi fosil harus mulai dikurangi atau berhemat memakai BBM.
Mengetahui sulitnya mendapatkan emas hitam, mulailah para ahli energi di dunia mencari
sumber daya energi terbarukan yang mirip atau mudah diubah menjadi hidrokarbon. Berikut
penjelasan Tatang saat ditemui MigasReview.com di kampus Institut Teknologi Bandung,
beberapa waktu lalu.
Kapan sebenarnya mulai terinisiasi pengembangan energi terbarukan?
Mulai awal 2000 memang sudah dipikirkan tentang energi terbarukan. Di dunia, terutama
bioenergi sangat diperlukan. Pertama kali inisiasinya oleh Brasil pada 1970-an. Berawal dari
pemikiran bahwa sebelum 1970, Brasil merupakan pengimpor minyak yang sangat besar. Pada
1974, presiden Brasil terpilih adalah Ernesto Beckmann Geisel, mantan presiden Petrobras yang
juga seorang jenderal. Geisel mengetahui berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk

mengimpor minyak. Suatu hari pada 1975, dia berkunjung ke sebuah laboratorium milik
pemerintahan Brasil, kalau di sini seperti BPPT, yang sedang melakukan penelitian campuran
etanol (Gasohol) ke mesin.
Geisel melihat penelitian tersebut itu sebagai jawaban dari permasalahan impor minyak di
negaranya, hingga mengatakan ke stafnya, “Batalkan semua agenda pertemuan saya hari ini.”
Dia mau berada di laboratorium itu meminta penjelasan dari penelitian tersebut, sehingga
rencana kunjungan setengah jam menjadi setengah hari. Dua minggu kemudian, keluarlah dekrit
program bensin beralkohol, hingga sekarang Brasil terkenal dengan penggunaan bahan bakar
bioetanol meskipun pada 1980-an Petrobras menemukan cadangan minyak lepas pantai yang saat
ini melampaui cadangan minyak Indonesia.
Artinya, butuh political will yang memiliki tujuan, mau diapakan energi ini.

Apakah ada energi terbarukan yang bisa menggantikan atau mirip minyak bumi?
Jawabannya ada. Anda tahu apa itu asam lemak? Asam karboksilat rantai panjang terdiri atas
unsur C, H dan COOH. Contoh asam palmitat (C15H31COOH). Kalau orang energi bilang, ini
hidrokarbon terkontaminasi. Ada 2 cara agar dapat menjadi hidrokarbon. Pertama, tarik CO2
sehingga menjadi C15H32. Kedua, tekan CO2 dengan hidrogen keluar menjadi air (H2O) sehingga
berubah menjadi C16H34. Apa ini? Inilah heksadekan, yang merupakan bahan bakar diesel dengan
angka oktan 100. Dari mana mendapatkan asam palmitat? Itu merupakan salah satu asam lemak
yang paling mudah diperoleh dari tumbuh-tumbuhan familia Palmaceae, seperti kelapa (Cocos

nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis).
Jadi kita punya energi terbarukan. Teknologi mengonversi asam lemak menjadi hidrokarbon ini
sudah berkembang. Namanya hydrodeoxygenation fatty oil, dan di dunia, pabriknya baru ada
lima, termasuk yang mau berjalan di Gresik, meski teknologinya agak berbeda dengan keempat
pabrik yang lain. Tiga di antaranya punya Neste Oil, perusahaan migas asal Finlandia, yang
terletak satu di Porvoo, Finlandia, satu di Singapura, dan satu lagi di Rotterdam. Kapasitas yang
cukup besar yang di Singapura. Bayangkan, kita mengekspor 1 juta ton minyak kelapa sawit
untuk diubah menjadi bahan bakar hidrokarbon. Dan yang di Rotterdam, perkiraan saya juga
mendapatkan minyak kelapa sawit dari Indonesia.
Sementara kalau mau perbandingan, Pertamina mengimpor minyak mentah 1 juta ton dari Arab
untuk memenuhi kilang petrokimia yang sedang dibangun. Ini sudah menunjukkan tanda-tanda
ketertinggalan.
Neste Oil dengan pabrik pengubah asam lemak menjadi hidrokarbon itu, menggunakan suplai
minyak kelapa sawit dari Indonesia, sedangkan kita masih memikirkan atau mengandalkan
minyak mentah dari negara lain. Padahal, energi terbarukan ada di depan mata. Sehingga, dari
penerapan teknologi saja kita sudah tertinggal karena masih memikirkan cara mendapatkan
sumber minyak, sementara yang lain sudah mulai menerapkan energi dari minyak nabati.
Artinya, teknologi hydrodeoxygenation fatty oil bisa menciptakan bahan bakar dari
tumbuh-tumbuhan?
Ini yang saya sebut generasi satu setengah. Berbasis kesadaran bahwa pada minyak-lemak nabati

sebenarnya memiliki 85-90 persen hidrokarbon yang relatif mudah dikonversi menjadi
biohidrokarbon alias renewable hydrocarbon dan dapat diolah dengan teknologi-teknologi yang
sudah mapan diterapkan di kilang-kilang minyak bumi. Kini berkembang kilang-kilang
hidrodeoksigenasi minyak-lemak nabati menjadi biohidrokarbon, seperti Neste Oil tadi. Hasil
produknya Bio Hydrofined Diesel (BHD), Bioavtur (Jet Biofuel), Biogasoline, Bioelpiji.
Beberapa negara di dunia kini juga mengembangkan semua pohon potensial penghasil minyak-

lemak nabati non-pangan. Keanekaragaman hayati Indonesia adalah gudang aneka pohon
potensial penghasil minyak-lemak nabati.
Mengapa bioenergi?
Sistem energi dunia harus (dan sedang diupayakan) beralih dari sebuah sistem energi berbasis
sumber daya fosil ke sistem energi berbasis sumber daya terbarukan. Sistem energi dunia yang
ada sekarang telah dibangun, selama hampir satu abad, dengan berdasar (atau merujuk) pada
aneka keunggulan sumber daya fosil. Sumber daya fosil adalah sumber daya bahan bakar.
Karena itu, semua teknologi dan mesin pengonversi sumber daya bahan bakar menjadi aneka
bahan bakar bermutu tinggi, listrik, kalor, dan sebagainya, kini sudah tersedia. Industri energi
sangat butuh sumber daya terbarukan yang langsung sesuai dengan teknologi dan mesin tersebut.
Bioenergi merupakan jembatan transisi vital peralihan sistem energi berbasis sumber daya fosil
ke sistem energi berbasis sumber daya terbarukan. Konsumsi bioenergi akan terus membesar.
Pada 2050, kontribusinya hampir sama besar dengan jumlah total energi-energi terbarukan lain.

Kenapa harus mulai melakukan transisi?
Ada beberapa tujuan:
1. Memperkuat keterjaminan pasokan energi (energy security) sambil mengurangi dan
akhirnya meredam kebutuhan akan bahan bakar fosil.
2. Mengembangkan industri sambil menyehatkan neraca pembayaran negara (country
balance of payment).
3. Meningkatkan kreasi nilai tambah hasil-hasil industri budidaya.
4. Membuka lapangan/kesempatan kerja terutama di wilayah-wilayah pedesaan.
5. Mengurangi toxicity produk-produk dan proses-proses demi peningkatan kesehatan.
6. Mengurangi pemanasan global (emisi gas-gas rumah kaca).
Anda mengatakan, negara yang potensi sumber dayanya jauh lebih besar dari rata-rata,
tidak boleh terbawa arus rata-rata. Maksudnya?
Misal, produksi timah kita terbilang cukup besar di dunia, tapi riset timah diserahkan semua ke
asosiasi negara-negara penghasil timah (International Tin Council/ITC) di London. Mereka
lakukan riset untuk memenuhi keinginan semua anggota, akibatnya keinginan rata-rata yang
disepakati, sehingga yang memiliki sumber besar tidak akan bisa kebutuhan risetnya tidak bisa
terpenuhi. Maka seharusnya yang memiliki sumber daya besar harus melakukan riset sendiri, tapi
tidak dilakukan. Hingga saat cadangan timah sendiri mulai menipis, mereka mulai kebingungan
mau dibuat apalagi. Padahal, dalam kandungan timah masih ada kadar mineral lain. Itulah yang


sering jadi pertanyaan, kita memiliki sumber daya alam besar, kenapa harus mengikuti kemauan
orang lain?
Oleh karena itu, untuk setiap masalah yang krusial kita harus ngomong yang benarnya
bagaimana, dan kebijakan pemerintah harus ada dasar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
bukan kebijakan dibuat kemudian iptek disuruh mengikutinya. Ini gila!
Saya pernah bertemu dengan seseorang dari National Academic of Science Amerika Serikat
(NAS). Dia bercerita mengapa dan bagaimana NAS bisa maju dan berkembang. Presiden AS
Abraham Lincoln menegaskan, kebijakan AS harus didasari iptek. Sehingga, perdebatan apapun
di AS, mulai dari politik di-backup oleh iptek dengan berbeda pandangan. Tapi kalau di
Indonesia, tidak ada perdebatan yang didasari oleh iptek. (anovianti muharti)