Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak Sapi Sebagai Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas

(1)

PEMANFAATAN BIOGAS KOTORAN TERNAK SAPI

SEBAGAI PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS

TESIS

Oleh

RAMLI TARIGAN

077026019/FIS

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(2)

PEMANFAATAN BIOGAS KOTORAN TERNAK SAPI SEBAGAI PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS

TESIS

Oleh

RAMLI TARIGAN 077026019/FIS

S

EK O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 0 9


(3)

PEMANFAATAN BIOGAS KOTORAN TERNAK SAPI

SEBAGAI PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Sains

dalam Program Studi Magister Fisika pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAMLI TARIGAN

077026019/FIS

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(4)

Judul Tesis : PEMANFAATAN BIOGAS KOTORAN TERNAK SAPI SEBAGAI PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS

Nama Mahasiswa : Ramli Tarigan

Nomor Pokok : 077026019

Program Studi : Fisika

Menyetujui Komisi Pembimbing,

( Prof. Dr. Timbangen Sembiring, M.Sc. ) K e t u a

( Drs. Ferdinan Sinuhaji, MS ) Anggota

Ketua Program Studi,

( Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc. )

Direktur,

( Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc )


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Timbangen Sembiring, M.Sc.

Anggota : 1. Drs. Ferdinan Sinuhaji, M.S.

2. Dra. Justinon, M.Si.

3. Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc.

4. Drs. Nasir Saleh, M.Eng.Sc.

5. Dr. Ir. Reza Fadhilla, M.I.M.


(6)

ABSTRAK

Gas bio merupakan gas hasil aktivitas biologi melalui proses fermentasi anaerob dan merupakan energi terbarukan, sebagai bahan pembuat gas bio adalah kotoran hewan dan sampah organik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua macam variasi pengenceran terhadap medium larutan (air PDAM ) yaitu 1 : 2 dan 1 : 4% volume. Pengamatan meliputi besarnya produksi gas bio, komposisi gas bio, tekanan, tempratur dan tingkat keasaman (pH). Temperatur yang bekerja pada bio degester berkisar 30 – 350C, tingkat keasaman (pH) bahan 6,48 – 7,62. Produksi gas bio untuk pengenceran 1 : 2 berkisar 84 – 175 mL untuk komposisi 100% kotoran sapi, untuk pengenceran 1 : 4 dengan komposisi 100% kotoran sapi berkisar 122 – 305 mL (gas bio didominasi oleh gas metana).


(7)

ABSTRACT

Biogas is a gas produced from biological activities in anaerobic fermentation process and as a renewable energy. As raw material in making process of biogas is by using cow manure and organic garbage. This reseach divided into two groups based on the slurry variations to mixing medium (PDAM water), that are 1 : 2 and 1 : 4% volume. The results showed that the biggest biogas production, biogas compotition, temperature pressure, acid substrate level. The temperature in biodigester is between 30 – 350C, acid substrate level is 6.48 – 7.62. The production of biogas for slurry 1 : 2 group are between 84 – 175 ml. 100% cow manure for slurry 1 : 4 group by the composition of the cow manure are between 122 – 305 ml biogas (biogas is dominated by methane gas).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul: Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak Sapi Sebagai Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas”, dapat diselesaikan.

Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dana sehingga saya dapat melaksanakan Program Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Fisika, Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc. sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam membimbing saya sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini. 4. Sekretaris Program Studi Fisika Bapak Nasir Saleh beserta seluruh staf Pengajar

pada Program studi Magister Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Timbangen Sembiring, M.Sc. dan Drs.

Ferdinan Sinuhaji, M.S. yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan dan bimbingan hingga selesainya penelitian ini.


(9)

6. Pembimbing Lapangan Bapak Prof. (Riset) Drs. H. Perdamean Sebayang, M.Si. yang telah banyak membantu saya dilapangan hingga selesainya tesis ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana angkatan 2007 serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada saya selama perkuliahan hingga selesainya tesis ini.

8. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada isteri tercinta Dra. Roslinda Sinuraya dan kedua ananda tersayang Friska Elisabeth Tarigan, ST. dan Budi Fani Tarigan, ST. yang senantiasa memberikan dorongan semangat serta pengorbanan dan selalu mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak dan penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tugas akhir ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Drs. Ramli Tarigan Tempat dan Tanggal Lahir : Lauriman, 10 Juni 1958 Alamat Rumah : Jl. Pales VII.A No. 5 Medan Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 15 Medan

Alamat Kantor : Jl. Sekolah Pembangunan No. 7 Medan Sunggal Telepon/Faks : (061) 8456806

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri Tigabinanga Tamat : 1971

SMP : SMP Negeri Tigabinanga Tamat : 1974

SMA : SMA Negeri P. Brandan Tamat : 1977

Strata-1 : FPMIPA IKIP Negeri Medan Tamat : 1984

Strata-2 : Program Studi Magister Fisika Sekolah Pascasarjana Tamat : 2009 Universitas Sumatera Utara


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gas Bio ... 4

2.2. Proses Pembentukan Gas Bio ... 6

2.3. Bahan Penghasil Gas Bio ... 9

2.4. Faktor yang Berpengaruh Pada Proses Anaerobik ... 11

2.4.1. Temperatur ... 14

2.4.2. Ketersediaan Unsur Hara ... 16

2.4.3. Lama Proses ... 17

2.4.4. Derajat Keasaman (pH) ... 18

2.4.5. Penghambat Nitrogen dan Rasio Carbon/Nitrogen (C/N) 19 2.4.6. Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat ... 20


(12)

2.5. Pembuatan Gas Bio ... 22

2.6. Pemanfaatan Gas Bio ... 23

2.7. Tipe Digester Gas Bio ... 25

2.7.1. Tipe Batch ... 25

2.7.2. Tipe Aliran Kontinyu (Continuos Flow)... 27

2.8. Komponen Utama Reaktor Gas Bio ... 31

2.8.1. Saluran Masuk Slurry ... 31

2.8.2. Saluran Keluar Residu ... 32

2.8.3. Katup Pengaman Tekanan ... 32

2.8.4. Separator ... 34

2.8.5. Saluran Gas ... 35

2.9. Pengujian ... 36

2.9.1. Parameter Yang Diamati ... 36

2.9.1.1. Tekanan Penampung Gas ... 36

2.9.1.2. Kemampuan Digester ... 37

2.9.2. Pengujian Gas Bio ... 38

2.9.2.1. Volume Gas yang Dihasilkan ... 38

2.9.2.2. Persentase Gas Metana dan Nilai Kalor Bersih Gas Bio ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Pembuatan Digester Gas Bio ... 40

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Alat dan Bahan ... 41

3.3.1. Alat ... 41

3.3.2. Bahan ... 41

3.4. Metode Penelitian ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47


(13)

4.1.1. Temperatur Bahan ... 47

4.1.2. Keasaman (pH) ... 47

4.1.3. Tekanan Penampung Gas Bio ... 49

4.1.4. Produksi Gas Bio Kumulatif ... 49

4.1.5. Volume dan Komposisi Gas Bio ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Komposisi Gas Bio ... 4

2.2. Komposisi Gas Bio dari Bahan Kotoran Sapi ... 5 2.3. Produksi dan Kandungan Bahan Kering Kotoran Beberapa Jenis

Ternak ... 11 2.4. Batas yang Diijinkan untuk Ion Anorganik pada Digester ... 21

2.5. Perbandingan Nilai Kalor terhadap Gas Bio ... 24 3.1. Komposisi bahan baku (BB) (% Volumen) dan variasi pengenceran 43 4.1. Komposisi gas bio dari bahan baku dan pengenceran berbeda ... 55


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Tahapan Pembentukan Gas Bio ... 8

2.2. Perbandingan tingkat produksi gas pada 15 °C dan 35 °C ... 15

2.3. Biodigester Tipe Batch Model Parit ... 26

2.4. Biodigester Tipe Batch Model Tangki ... 26

2.5. Digester tipe aliran bersambung ... 28

2.6. Digester Tipe ContinousModel Fixed Dome ... 29

2.7. Biodigester Tipe Continous Model Floating Drum ... 30

2.8. Biodigester Tipe Continous Model Balloon ... 30

2.9. Manometer U ... 37

3.1. Diagram Alir Produksi Gas Bio ... 46

4.1. Rata-rata tingkat keasaman bahan pada tiap lubang sampel uji biodigister dalam rentang 16 hari ... 48

4.2. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 100% kotoran sapi... 50

4.3. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 80% kotoran sapi ... 51

4.4. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 60 % kotoran sapi ... 52


(16)

4.5. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 40 % kotoran sapi... 52 4.6. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan

pada komposisi 20 % kotoran sapi ... 53 4.7. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan

pada komposisi 0 % kotoran sapi ... 53 4.8. Komposisi CH4 (%) dari variasi pengenceran dan bahan baku ... 56


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

A 1. Perhitungan Nilai Rasio C/N ... 63

B 2. Data Pengamatan Volume Gas yang dihasilkan per Hari... 65

C 3. Berdasarkan Hasil Analisis Laboratorium Diproleh Bahwa Kotoran Sapi ... 66

D 4. Kesetaraan Energi Gas Bio Yang Dihasilkan Dalam Penelitian Hasil Yang Di Peroleh Dari Refrensi ... 67

E 5. Rancang Bangun Biodigester Sederhana... 68

F 6. Kebutuhan Kotoran Sapi Untuk Bahan Baku Biodigester ... 69


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Sumber energi dapat berasal dari matahari, bahan bakar minyak, gas alam, kayu bakar, dan lainnya. Energi tersebut biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti: memasak penerangan, dan kepentingan lain yang lebih besar, seperti: industri dan lainnya. Meningkatnya populasi penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat, maka kebutuhan akan energi juga semakin meningkat. Selain itu bahan bakar tradisional, yaitu kayu walaupun masih digunakan, penggunaannya sangat terbatas, sejalan dengan berkurangnya hutan sebagai sumber kayu.

Secara teoritis pertambahan penduduk yang cepat akan menyebabkan kebutuhan kayu bakar menjadi meningkat pula. Usaha-usaha untuk mencukupi kebutuhan kayu bakar ini dikhawatirkan mengakibatkan hutan-hutan dan gunung menjadi gundul, hilangnya tempat penahanan dan penyimpanan air di musim kemarau, terjadinya banjir di musim hujan, hilangnya kesuburan tanah, dan rusaknya tata lingkungan hidup.


(19)

Permasalahan energi dapat diatasi apabila tidak tergantung pada bahan bakar fosil dan menggunakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, mudah diperoleh, dan dapat diperbaharui (renewable). Salah satunya adalah gas bio yang merupakan energi yang layak dipertimbangkan baik secara teknis, sosial, maupun ekonomis, terutama untuk mengatasi masalah energi di daerah pedesaan. Kandungan bio gas didominasi oleh gas metana (CH4) yang

merupakan hasil sampingan dari proses degradasi bahan organik, seperti: kotoran ternak, manusia, sampah, dan sisa-sisa limbah lainnya. Pemanfaatan kotoran ternak selain dapat menghasilkan bio gas untuk bahan bakar juga membantu kelestarian lingkungan dan memperoleh manfaat-manfaat lain, seperti: pupuk yang baik bagi tanaman dan kehidupan di dalam air (aqua kultur), mencegah lalat, dan bau tidak sedap yang berarti ikut mencegah sumber penyakit.

Produksi gas metana dari biomassa bukan merupakan proses yang baru. Alexander Volta di abad 18 menemukan gas metana dalam gas yang dihasilkan rawa/paya. Ide dan percobaan bagaimana proses itu dapat digunakan telah berjalan selama 100 tahun ke belakang (Meynell, 1976). Secara prinsip pembuatan gas bio sangat sederhana, dengan memasukkan substrat (kotoran hewan atau kotoran manusia) ke dalam unit pencerna (digester), ditutup rapat, dan selama periode tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Selain pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi gas bio, bahan lain yang dapat dimanfaatkan adalah sisa-sisa limbah padat, seperti: sampah yang


(20)

dihasilkan dari rumah tangga, pasar, dan tempat-tempat lain. Pemanfaatan sampah sebagai energi gas bio juga dapat membantu mengurangi permasalahan pembuangan sampah yang selama ini menjadi masalah yang cukup sulit diatasi, terutama di kota-kota besar.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah energi terbarukan (renewable energy) dapat diidentifikasi dan diatasi dengan memanfaatkan kotoran sapi dan sampah untuk menghasilkan gas bio sebagai energi alternatif yang dapat diaplikasikan, baik secara teknis dan ekonomis.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah membuat rancang bangun sederhana dan uji coba pembuatan gas bio skala laboratorium dengan memanfaatkan atau mengubah kotoran ternak (sapi) dan sampah pasar (jenis organik) menjadi bahan yang bermanfaat yaitu bahan bakar gas (gas bio).

1.4. Manfaat Penelitian

Kegunaan jangka pendek penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi optimum pembuatan gas bio dari kotoran sapi, sampah organik, dan campurannya sehingga budaya pembuatan gas bio dapat memasyarakat.


(21)

Kegunaan jangka panjangnya adalah dalam rangka diversifikasi sumber energi, mengurangi pencemaran lingkungan akibat kotoran hewan, dan mencukupi pupuk organik sebagai hasil sampingan produksi gas bio.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gas Bio

Gas bio adalah gas yang dihasilkan oleh mahluk hidup (bio = hidup), yaitu: mikroorganisme berupa bakteri. Bakteri melakukan aktifitas penguraian bahan-bahan organik dalam kondisi anaerob (tanpa udara atau hanya sedikit oksigen) kemudian menghasilkan suatu gas. Contoh bahan bahan organik yang dimaksud adalah kotoran manusia, kotoran hewan, limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan lainnya. Proses penguraian bahan organik secara anaerob ini disebut sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion) dan peralatan yang memfasilitasi prosesnya disebut sebagai digester (Aguilar, 2001). Kandungan utama dari gas bio adalah gas metana (CH4)

dan karbon dioksida (CO2). Secara umum komposisi gas bio secara lengkap dapat

dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.6. Komposisi Gas Bio

Jenis Gas Persentase

Metana , CH4 50-75

Carbon dioksida, CO2 25-50

Nitrogen, N2 0-10

Hidrogen, H2 0-1


(23)

Oksigen, O2 0-2

Sumber Hermawan, dkk (2007)

Proporsi kandungan gas metana dalam gas bio ditentukan oleh jenis bahan organik yang dijadikan input (bahan baku) dan tingkat efisiensi dari proses (metode) pembentukan gas bio (Hendrianie, 2008). Kotoran sapi sebagai salah satu bahan organik yang umum digunakan dalam proses pembentukan gas bio memiliki komposisi gas bio yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Keberadaan gas oksigen dan nitrogen pada kandungan gas bio merupakan indikasi adanya kontaminasi udara di dalam digester, karena seharusnya proses dalam digester adalah anaerob.

Tabel 2.7. Komposisi Gas Bio dari Bahan Kotoran Sapi

Jenis Gas Persentase

Metana, CH4 65,7

Carbon dioksida, CO2 27

Nitrogen, N2 2,3

Hidrogen, H2 0,1

Hidrogen sulfida, H2S tak terukur

Oksigen, O2 1

Propana, C3H8 0,7

Sumber: Harahap, dkk. (1984)

Gas bio termasuk dalam kategori bahan bakar biologis(biofuel) yang berguna, karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu dalam kisaran 4800 – 6700 kkal/m3 (Harahap, dkk., 1984). Hal ini merupakan konsekuensi dari dominannya


(24)

kandungan metana dalam gas bio yang merupakan jenis gas dengan karakteristik mudah terbakar (flammable) dan dapat mengakibatkan ledakan. Gas metana murni (100%) memiliki nilai kalor 8900 kcal/m3 (Harahap, dkk., 1984).

2.2. Proses Pembentukan Gas Bio

Proses pembentukan gas bio menggunakan prinsip pencernaan anaerob dengan bantuan bakteri yang disebut sebagai bakteri penghasil gas bio. Oleh karena itu, keberlangsungan dari proses sangat ditentukan oleh kelangsungan hidup bakteri-bakteri tersebut dalam digester. Bakteri penghasil gas bio terdiri dari beberapa jenis bakteri, yaitu bakteri penghasil metana dan bakteri yang tidak menghasilkan metana atau bakteri asam. Keberadaan kedua jenis bakteri ini harus dalam keadaan seimbang untuk memastikan proses di dalam digester berjalan dengan efektif (Rahman, 2009). Proses mikroorganisme-mikroorganisme, khususnya bakteri terlibat dalam pembentukan gas metan. Intraksi antara beberapa group bakteri diimplikasikan dalam anaerobic digestion. Overall reaksi ditunjukkan pada persamaan dibawah ini (Polprasert, 1989)

Bahan Organik s CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S, empat kategori bakteri

yang terlibat dalam pembentukan material-material complex menjadi molekul sederhana seperti metan dan carbon dioksida yaitu :

Group I : Bakteri Hydrolytic

Bakteri anaerobic memecah molekul–molekul organic (mis: protein, celluloe, lignin, lipid) menjadi molekul–molekul monomer yang dapat larut (mis : asam amino, glucosa, fatty acid, dan glycerol).


(25)

Group II: Bakteri fermentative acidogenic

Bakteri acidogenic (mis: clostridium) merubah asam-asam organik (mis: propionat, laktat, butyrat, dll), alcohol dan keton-keton (mis: athanol, methanol, glycerol, aceton). Acetat adalah produk utama dari proses fermentasi carbohydrat. Group III : Bakteri Acetogenic

Bakteri Acetogenic seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei (McInernay et al., 1981) merubah fatty acid (mis: asam propionat, asam butirat) dan alcohol menjadi acetat , hydrogen dan cabon dioxide, dimana dibutuhkan methanogen. Ethanol, propionic acid dan asam butirat dapat terkonversi menjadi asam acatat oleh bakteri acetogenic melalui reaksi sbb:

CH3CH2OH + H2O s CH3COOH + 2H2

ethanol asam asetat

CH3CH2COOH + 2H2O s CH3COOH + CO2 + 3H2 asam propionat asm asetat

CH3CH2COOH + 2H2O s CH3COOH + 2H2 asam butirat asam acetat

Group IV: Bakteri Methanogen

Bakteri pembentuk metan biasa disebut juga dengan Methanogenic bacteria, Methanogenes, Methaforming bacteria atau Methane- producing bacteria.


(26)

a Hydrogenotropphic methanogens (menggunakan hydrogen, chemolithotropos) merubah hydrogen dan carbon menjadi metan :

CO2 + 4H2s CH4 + 2H2O

b Acetotrophic methanogens, biasa disebut juga acetoclastic merubah asetat menjadi metan dan CO2.

CH3COOH s CH4 + CO2

Perombakan bahan organik menjadi gas bio dikelompokkan dalam empat tahapan proses. Pertama, bakteri fermentatif menghidrolisis senyawa polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat terlarut. Kedua, monomer dan oligomer dirombak menjadi asam asetat, H2, CO2, asam lemak rantai pendek, dan alkohol; tahap ini

disebut tahap asidogenesis. Ketiga, disebut fase non metanogenik yang menghasilkan asam asetat, CO2, dan H2. Keempat, pengubahan senyawa-senyawa tersebut menjadi


(27)

pembentukan gas bio dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(28)

2.3. Bahan Penghasil Gas Bio

Semua bahan organik yang terdapat dalam tanaman, karbohidrat, selulosa adalah salah satu bahan yang disukai sebagai bahan untuk dicerna. Selulosa secara normal mudah dicerna oleh bakteri, tetapi selulosa dari beberapa tanaman sedikit sulit didegradasikan bila dikombinasikan dengan lignin. Lignin adalah molekul komplek yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman, dan bakteri hampir tidak mampu mencernanya. Jerami mengandung lignin dan dapat menjadi masalah karena akan mengapung dan membentuk lapisan keras (kerak) (Meynell, 1976).

Sebagian besar sampah organik alami dapat diproses menjadi gas bio kecuali lignin. Digester anaerobik dapat menggunakan bahan organik dalam jumlah yang besar sebagai bahan masukan, seperti kotoran manusia, tanaman, sisa proses makanan, dan sampah lainnya atau dapat mencampurkan dari satu atau lebih kombinasi sampah tersebut (Fischer dan Krieg, 2000). Kotoran hewan lebih sering dipilih sebagai bahan pembuat gas bio karena ketersediaannya yang sangat besar. Bahan ini memiliki keseimbangan nutrisi, mudah diencerkan, dan relatif dapat diproses secara biologi.

Kisaran pemrosesan secara biologi antara 28 – 70 % dari bahan organik tergantung dari pakannya. Sebagai contoh persentase silase dari tanaman jagung yang ditingkatkan sebagai pakan, mengurangi kemampuan biodegradasi, karena silase mengandung persentase lignoselulosa yang tinggi. Selain itu kotoran segar lebih mudah diproses dibandingkan dengan kotoran yang lama dan atau telah dikeringkan,


(29)

disebabkan karena hilangnya substrat volatil solid selama waktu pengeringan (Fischer dan Krieg, 2000).

Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuat gas bio, karena substrat tersebut telah mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Kadarwati, 2003). Keberadaan bakteri di dalam usus besar ruminansia tersebut membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan gas bio pada tanki pencerna (reaktor digester) dapat dilakukan lebih cepat. Walaupun demikian, bila kotoran tersebut akan langsung diproses di dalam tangki pencerna, perlu dilakukan pembersihan terlebih dahulu. Kotoran tersebut harus bersih dari jerami dan bahan asing lainnya untuk mencegah terbentuknya buih (The Pembina Institute, 2006).

Kotoran manusia walaupun memiliki nitrogen yang tinggi ( C/N = 6) dapat dicerna dengan mudah, tetapi sampah karbohidrat harus ditambahkan untuk menaikkan nilai rasio C/N dan untuk memberikan gas yang lebih banyak. Sisa-sisa pertanian seperti gandum dan jerami padi dapat digunakan walaupun memiliki C/N ratio yang tinggi, dengan cara dicampur dengan kotoran hewan dan manusia. Bahan ini biasanya dengan mudah diproses dan dapat lebih cepat diproses apabila ukurannya diperkecil secara fisik, dengan cara pemotongan dan dengan pengomposan terlebih dahulu. Walaupun demikian, masalah dapat muncul akibat dari bahan mengapung di dalam digester dan membentuk lapisan keras (kerak) di permukaan, sehingga mengganggu proses produksi gas (Kadarwati, 2003). Bahan yang dimasukkan ke dalam digester sebaiknya berbentuk slurry. Pada kondisi tersebut padatan anorganik


(30)

seperti pasir akan terpisah karena gravitasi (pengendapan), hal ini memungkinkan bahan tersebut dipisahkan sebelum dimasukkan ke dalam digester (Fry, 1974). Pada Tabel 2.3 dapat dilihat produksi kotoran dari beberapa jenis hewan ternak. Walaupun tidak sepenuhnya tepat, tabel ini dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bahan yang masuk ke dalam digester.

Tabel 2.8. Produksi dan Kandungan Bahan Kering Kotoran Beberapa Jenis Ternak

Jenis Ternak Bobot Ternak

per Ekor

Produksi Kotoran (kg/hari)

% Bahan Kering

Sapi Betina potong 520 29 12

Sapi Betina perah 640 50 14

Ayam petelur 2 0.1 26

Ayam pedaging 1 0.06 25

Babi Dewasa 90 7 9

Domba 40 2 26

Sumber:The Pembina Institute, 2006

2.4. Faktor yang Berpengaruh Pada Proses Anaerobik

Secara umum kondisi operasi yang perlu diperhatikan dalam proses pembentukan gas bio adalah (Kadarwati, 2003):


(31)

Perkembangbiakan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pencernaan anaerobik dapat berlangsung pada kisaran 5 – 55oC. Temperatur kerja yang optimum untuk penghasil gas bio adalah 35oC.

2. Derajat Keasaman (pH)

Pada awal pencernaan, pH bahan dalam tangki pencerna dapat turun menjadi 6 atau lebih rendah, merupakan akibat dari degradasi bahan organik oleh bakteri aerobik. Kemudian pH mulai naik disertai perkembangbiakan bakteri pembentuk metana dan hasil pencernaan optimum adalah pada pH: 6,8 - 8.

3. Pengadukan

Bahan baku yang sukar dicerna (misalnya, jerami yang mengandung senyawa lignin) dan sisa pencernaan akan membentuk lapisan kerak pada permukaan cairan. Lapisan ini dapat dipecah dengan alat pengaduk, sehingga hambatan terhadap laju gas bio yang dihasilkan dapat dikurangi.

4. Bahan Penghambat

Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga berpengaruh terhadap jumlah gas bio yang dihasilkan antara lain logam berat, seperti tembaga, cadmium, dan kromium. Selain itu desinfektan, deterjen, dan antibiotik. Untuk menghindari hal-hal tersebut perlu diperhatikan air yang digunakan sebagai pelarut atau pencampur tidak mengandung bahan-bahan tersebut.


(32)

Wellinger (1999) mengemukakan bahwa selain faktor-faktor terdahulu, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi produksi gas bio yaitu:


(33)

1. Bahan Baku Isian

Unsur karbon (C) untuk pembentukan gas metana dapat berasal dari sampah, limbah pertanian, dan kotoran hewan. Sedangkan unsur nitrogen (N) diperlukan oleh bakteri untuk pembentukan sel. Perbandingan unsur karbon dan nitrogen (C/N) paling baik untuk pembentukan gas bio adalah 30. Rasio C/N untuk sampah mendekati nilai 12, C/N kotoran kuda dan babi adalah 25 lebih besar daripada sapi dan kerbau hanya18 (Hadi dkk., 1982).

2. Pengenceran Bahan Baku Isian

Isian yang paling baik untuk penghasil gas bio mengandung 7 – 9 % bahan kering. Nilai rata-rata bahan kering dari beberapa kotoran hewan berkisar dari 11 – 25 %. Oleh karena itu untuk setiap jenis kotoran hewan, pengenceran isian berbeda-beda agar diperoleh isian dengan kandungan bahan kering yang optimum.

3. Jenis Bakteri

Bakteri yang berpengaruh pada pembuatan gas bio ada dua macam yaitu bakteri-bakteri pembentuk asam dan bakteri-bakteri-bakteri-bakteri pembentuk gas metana (Sahidu, 1983). Bakteri pembentuk asam antara lain: Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak. Selanjutnya asam-asam lemak didegradasi menjadi gas bio yang sebagian besar adalah gas metana oleh bakteri metana antara lain: Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus.


(34)

2.4.1. Temperatur

Gas metana dapat diproduksi pada tiga rentang temperatur sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhrophilic pada temperatur 0 – 7ºC, bakteri mesophilic pada temperatur 13 – 40ºC, sedangkan thermophilic pada temperatur 55 – 60ºC (Fry, 1974). Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30 – 35ºC, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi (range thermophilic) jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada rentang temperatur mesophilic, selain itu bakteri thermophilic mudah mati karena perubahan temperatur. Selain itu keluaran (sludge) memiliki kualitas yang rendah untuk pupuk, berbau, dan tidak ekonomis untuk mempertahankan pada temperatur yang tinggi, khususnya pada iklim dingin (Fry, 1974).

Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi buffer yang mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan. Pada temperatur yang rendah 15ºC laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35ºC. Pada temperatur 7 – 10ºC dan di bawah temperatur aktivitas, bakteri akan berhenti beraktivitas dan pada rentang ini bakteri fermentasi menjadi dorman sampai temperatur naik kembali hingga batas aktivasi. Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40ºC produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang sedikit (Fry, 1974).


(35)

35oC

15oC

Sumber: Fry, 1973. diadaptasi

Gambar 2.2. Perbandingan tingkat produksi gas pada 15°C dan 35°C

Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada 35°C dibanding pada 15°C dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada waktu proses yang sama. Pada Gambar 2.2 dapat dilihat bagaimana perbedaan jumlah gas yang diproduksi ketika digester dipertahankan pada temperatur 15°C dibanding dipertahankan 35°C. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 10 – 15ºC. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (Meynell, 1976).

Lebih lanjut, yang harus diperhatikan pada proses biometananisasi adalah perubahan temperatur, karena proses tersebut sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. Perubahan temperatur tidak boleh melebihi batas temperatur yang diijinkan. Untuk bakteri psychrophilic besarnya perubahan temperatur berkisar antara 2ºC/jam, bakteri mesophilic 1ºC/jam dan bakteri thermophilic 0,5ºC/jam. Walaupun


(36)

demikian perubahan temperatur antara siang dan malam tidak menjadi masalah besar untuk aktivitas metabolisme (The Pembina Institute, 2006).

Untuk menjaga temperatur tetap stabil adalah sangat penting apabila temperatur tersebut telah dicapai. Panas sangat penting untuk meningkatkan temperatur bahan yang masuk ke dalam biodigester dan untuk mengganti kehilangan panas dari permukaan biodigester. Kehilangan panas pada biodigester dapat diatasi dengan meminimalkan kehilangan panas dari bahan. Misalnya, kotoran sapi segar memiliki temperatur 35ºC, apabila selang waktu antara kotoran ternak dan biodigester dapat diminimalkan, kehilangan panas dari kotoran dapat dikurangi dan panas yang dibutuhkan untuk mencapai 35ºC lebih sedikit.

2.4.2. Ketersediaan Unsur Hara

Bakteri anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium, dan kobalt (Kadarwati, 2003). Level nutrisi minimal harus lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri, dan sisa-sisa tanaman terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester. Walaupun demikian kekurangan nutrisi bukan merupakan masalah unutk mayoritas bahan, karena biasanya bahan memberikan jumlah nutrisi yang mencukupi (Kadarwati, 2003). Nutrisi yang penting bagi pertumbuhan bakteri, dapat bersifat toksik apabila


(37)

konsentrasi di dalam bahan terlalu banyak. Pada kasus nitrogen berlebihan, sangat penting untuk mempertahankan pada level yang optimal untuk mencapai digester yang baik tanpa adanya efek toksik (Kadarwati, 2003).

2.4.3. Lama Proses

Lama proses atau jumlah hari bahan terproses di dalam biodigester. Pada digester tipe aliran kontinyu, bahan akan bergerak dari inlet menuju outlet selama waktu tertentu akibat terdorong bahan segar yang dimasukkan, setelah itu bahan akan keluar dengan sendirinya. Misalnya apabila lama proses atau pengisian bahan ditetapkan selama 30 hari, maka bahan akan berada di dalam biodigester atau menuju outlet selama 30 hari. Setiap bahan memiliki karakteristik lama proses tertentu, sebagai contoh untuk kotoran sapi diperlukan waktu 20 – 30 hari. Sebagian gas diproduksi pada 10 – 20 hari pertama (Fry, 1974), pada Gambar 2.1 ditunjukkan bahwa hari ke-10 adalah puncak dari jumlah relatif gas yang diproduksi, setelah hari ke-10 maka produksi gas mulai menurun. Oleh karena itu digester harus didesain untuk mencukupi hanya hari terbaik dari produksi dan setelah itu sludge/lumpur dapat dikeluarkan atau dipindahkan ke digester selanjutnya. Apabila terlalu banyak volume bahan yang dimasukkan (overload) maka akibatnya lama pengisian menjadi terlalu singkat. Bahan akan terdorong keluar sedangkan gas masih diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak.


(38)

2.4.4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua proses kehidupan bakteri. Kebanyakan dari proses kehidupan bakteri memiliki kisaran pH antara 5 – 9. Sedangkan nilai pH yang dibutuhkan untuk digester antara 7 – 8,5. Bila proses tidak

dimulai dengan membibitkan bakteri metana, maka kondisi buffer tidak akan

terbentuk dan yang terjadi yaitu selama tahap awal dari proses sekitar 2 minggu pH akan turun hingga 6 atau lebih rendah, sedangkan CO2 semakin bertambah. Hal ini

akan terjadi selama 3 bulan dengan penurunan keasaman yang lambat (6 bulan pada cuaca yang dingin) selama waktu itu ikatan asam volatile dan nitrogen akan terbentuk (Fry, 1974).

Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metana diproduksi dan pH perlahan meningkat hingga 7. Ketika campuran menjadi berkurang keasamannya maka fermentasi metana mengambil alih proses pencernaan. Sehingga nilai pH meningkat diatas netral hingga 7,5 – 8,5. Setelah itu campuran menjadi buffer yang mantap (well buffered), dimana bila dimasukkan asam/basa dalam jumlah yang banyak, campuran akan stabil dengan sendirinya pada pH 7,5 – 8,5 (Fry, 1974). Apabila campuran sudah mantap, maka memungkinkan untuk menambah sedikit bahan secara berkala dan dapat mempertahankan secara konstan produksi gas dan sludge (pada digester aliran kontinyu).

Bila bahan dimasukkan tidak teratur (digester tipe batch), enzim akan terakumulasi sehingga padatan organik menjadi jelek dan produksi metana terhenti


(39)

(Fry, 1974). Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otomatis berkisar antara 7 – 8,5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik (Fry, 1974).

Derajat keasaman dari bahan di dalam digester merupakan salah satu indikator bagaimana digester bekerja. Derajat keasaman dapat diukur dengan pH meter atau kertas pH (lakmus). Untuk bangunan digester yang kecil, pengukuran pH dapat diambil dari keluaran/effluent digester atau pengambilan sampel dapat diambil di permukaan digester apabila telah terpasang tempat khusus pengambilan sampel (Fry, 1974).

2.4.5. Penghambat Nitrogen dan Rasio Carbon/Nitrogen (C/N)

Nitrogen pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat proses fermentasi anaerob, konsentrasi N yang baik berkisar antara 200 – 1500 mg/L. Pada konsentrasi 1500 – 3000 mg/L proses akan terhambat pada pH 7,4 sedang konsentrasi di atas 3000 mg/L akan bersifat toksik pada pH manapun (Udiharto, 1982). Selain itu, mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel.

Bakteri penghasil metana menggunakan karbon 30 kali lebih cepat daripada nitrogen. Proses anaerobik akan optimal bila diberikan bahan makanan yang


(40)

mengandung karbon dan nitrogen secara bersamaan. Rasio C/N menunjukkan perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut. Pada bahan yang memiliki jumlah karbon 15 kali dari jumlah nitrogen akan memiliki rasio C/N 15 berbanding 1. Rasio C/N dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Apabila terlalu banyak karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (rasio C/N rendah; misalnya: 30/15), maka karbon habis lebih dulu dan proses fermentasi berhenti (Fry, 1974).

2.4.6. Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat

Walaupun tidak ada informasi yang pasti, mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur-angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan gas bio. Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna (The Pembina Institute, 2006). Hal yang paling penting dalam pencampuran bahan adalah:

a Menghilangkan unsur – unsur hasil metabolisme berupa gas yang dihasilkan

oleh bakteri metanogenik.

b Mencampurkan bahan segar dengan populasi bakteri agar proses fermentasi

merata.


(41)

d Menyeragamkan kerapatan sebaran populasi bakteri

e Mencegah ruang kosong pada campuran bahan

2.4.7. Faktor-Faktor Penghambat

Bakteri merupakan mikroorganisme yang penting pada pembentukan gas bio pada suatu sumber bahan. Oleh sebab itu jumlah dan perkembangan bakteri pada bahan merupakan syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan gas bio. Akan tetapi pada bahan sering dijumpai keberadaan suatu unsur yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Diantaranya adalah logam berat, antibiotik (bacitracin, flavomysin, lasalocid, monesin, spiramicyn) dan deterjen. Pada Tabel 2.4, disajikan daftar batas konsentrasi yang diijinkan untuk berbagai inhibitor.

Tabel 2.9. Batas yang Diijinkan untuk Ion Anorganik pada Digester

Ion Anorganik mg/L

Konsentrasi Optimum

Batas Penghambat (Sedang)

Batas Penghambat (Kuat)

Sodium 100 – 200 3500 – 5500 8000

Potasium 200 – 400 2500 - 4500 1200

Kalsium 100 - 200 2500 - 4500 8000

Magnesium 75 - 150 1000 - 15000 3000

Amonia 50 – 1000 15000 8000

Sulfida 0,1 – 10 100 200

Kromium tidak diketahui 2 3

Kobalt 20 tidak diketahui tidak diketahui


(42)

Amonia merupakan sumber makanan bagi bakteri, tetapi juga dapat menjadi penghambat apabila memiliki konsentrasi yang melebihi batas yang diijinkan. Untuk menanggulangi hal ini, bahan dapat diencerkan dengan air.

2.5. Pembuatan Gas Bio

Apapun tipe biodigester yang dipilih, pemberian bahan untuk pertama kali perlu dilakukan dengan hati-hati. Menurut (Meynell, 1976) untuk memulai pembuatan biodigester terdapat dua metoda yang dapat dilakukan, metoda tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengisian Dengan Air

Metoda ini dilakukan dengan memasukkan air sebanyak 80% dari total volume digester, kemudian memasukkan bahan yang akan diproses seperti biasa (bila perlu dapat dimasukkan bibit starter) pada volume yang dihasilkan. Dengan metoda ini bahan yang masuk langsung tercampur dengan air dan oksigen terlarut yang terkandung dengan segera digunakan dan pengenceran bahan mencukupi untuk mempertahankan keasaman bahan. Metoda ini memiliki kelebihan menggantikan oksigen di dalam digester dengan air sehingga resiko akan campuran yang mudah meledak dari metana dan udara yang terbentuk kecil sekali.

2. Pembibitan

Metoda ini secara luas lebih disukai, biasanya digunakan untuk digester tipe batch dan untuk bahan yang tidak mengandung bakteri metana. Pembibitan dilakukan dengan cara mencampur kotoran dengan sludge/lumpur yang telah


(43)

diproses secara anaerobik dengan perbandingan tertentu. Semakin banyak perbandingan lumpur yang mengandung bakteri anaerobik semakin cepat gas diproduksi. Prosedur yang digunakan untuk pembibitan adalah dengan menambahkan starter 50 % dan bahan yang akan diproses 50 %. Selanjutnya penambahan bahan tidak boleh lebih dari 50 % dari total padatan di dalam digester. Hal ini untuk menghindari bakteri metana kelebihan beban sebelum mereka dapat tumbuh (Fry, 1974). Ketika mengaktifkan digester untuk pertama kali, sumber bibit yang baik adalah dari sludge yang telah diproses. Digester yang telah berfungsi dengan baik tidak membutuhkan penambahan bibit, kecuali bila gagal perlu diulangi. Apabila bahan perlu diencerkan, bibit yang terbaik adalah dengan menambahkan supernatan (larutan yang terkumpul di bagian atas sludge setelah padatan mengendap. Supernatan ini mengandung bakteri anaerobik yang cukup untuk berperan sebagai bibit. Ketika memulai suatu digester, bagian pertama gas yang diproduksi harus selalu dibuang. Karena gas pertama itu mengandung udara yang berasal dari tangki, pipa dan tempat penyimpanan gas. Ketika gas dikeluarkan, akan mendorong udara keluar dan dapat menimbulkan ledakan. Tempat penyimpanan gas bila telah penuh dan telah beberapa kali dikosongkan, dapat dipastikan bahwa tidak ada udara lagi dan gas dapat dimanfaatkan.


(44)

Gas bio atau metana dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti halnya gas alam. Tujuan utama pembuatan gas bio adalah untuk mengisi kekurangan atau mensubtitusi sumber energi di daerah pedesaan sebagai bahan bakar keperluan rumah tangga, terutama untuk memasak dan lampu penerangan. Selain itu dapat digunakan untuk menjalankan generator untuk menghasilkan listrik dan menggerakkan motor bakar (turbin). Gas bio mengandung berbagai macam zat, baik yang terbakar maupun yang dapat dibakar. Zat yang tidak dapat dibakar merupakan kendala yang dapat mengurangi mutu pembakaran gas tersebut.

Seperti terlihat pada Tabel 2.5, walaupun kandungan kalor relatif rendah dibanding dengan gas alam, butana, dan propana, tetapi masih lebih tinggi dari gas batubara (coal gasification). Selain itu gas bio adalah ramah lingkungan, karena sumber bahannya memiliki rantai karbon yang lebih pendek bila dibandingkan dengan minyak tanah, sehingga gas CO yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Nilai kalori gas bio tergantung pada komposisi metana dan karbondioksida, dan kandungan air di dalam gas. Gas mengandung banyak kandungan air akibat dari temperatur pada saat proses, kandungan air pada bahan dapat menguap dan bercampur dengan metana.

Tabel 2.10. Perbandingan Nilai Kalor terhadap Gas Bio

Jenis Gas Nilai Kalor (Joules per cm3)

Gas Batu Bara 16,7 – 18,5

Gas Bio 20 – 26


(45)

Gas Alam 38,9 – 81,4

Gas Propana 81,4 – 96,2

Gas Butana 107,3 – 125,8

Sumber: Meynell, 1976

Pada gas bio dengan kisaran normal 60 - 70 % metana dan 30 - 40 % karbondioksida, dengan nilai kalori antara 20 – 26 J/cm3. Nilai kalori bersih dapat dihitung dari persentase metana sebagai berikut (Meynel, 1976):

Q = k × m (2.1.) dengan:

Q = Nilai kalor bersih (joule/cm3) k = Konstanta (0,33 joule/cm3) m = Persentase metana (%)

2.7. Tipe Digester Gas Bio

Terdapat dua tipe digester yang telah umum dikembangkan, yaitu tipe batch dan continous. Setiap tipe memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing. 2.7.1. Tipe Batch

Pada tipe batch, bahan organik ditempatkan di tanki tertutup dan diproses secara anaerobik selama 2 – 6 bulan tergantung pada jumlah bahan yang dimasukkan. Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan gelembung-gelembung gas dari sludge. Pada


(46)

gambar 2.3, diperlihatkan biodigester tipe batch model parit. Sedangkan pada gambar 2.4, diperlihatkan biodigester tipe batch model tanki.


(47)

Gambar 2.3. Biodigester Tipe Batch Model Parit

Tipe digester ini tidak membutuhkan banyak perhatian selama proses. Meskipun demikian hampir semua bahan organik tetap akan diproses. Efisiensi maksimal dari proses hanya dapat diharapkan bila digester diisi dengan hati-hati. Ruang yang terbuang dan udara yang terjebak di dalam sludge harus dihindarkan karena akan menghambat pembentukan gas metana. Rasio C/N harus dikontrol dengan baik pada awal proses, karena sulit untuk memperbaiki bila digester sudah mulai memproses. Tipe Batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan yang diproses sebelum unit yang besar dibangun. Miniatur tipe batch dirancang oleh Henry Doubleday Research Association (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Biodigester Tipe Batch Model Tangki Sesudah Sebelum Sampah Organik Parit Permukaan Tanah Plastik Polietilen Gas Bio Pipa Untuk Ekstraksi Gas Tepi polietilen ditimbun dengan tanah Gas Bio Plastik Polietilen Pelindung

Kedap Udara Pipa dan Kran

Pengumpul Gas Bio Sampah Organik

Tangki/Galon Plastik


(48)

Digester ini memiliki volume 10 liter dan cocok digunakan sebagai percobaan di laboratorium. Selain itu Gas bio Plant Ltd. telah memproduksi Dustbin digester dengan volume 34 liter, hampir sama dengan yang dibuat Fry yang terbuat dari drum bekas, hanya saja Dustbin memiliki konstruksi yang lebih rumit (Meynell, 1976).

Tipe batch memiliki keuntungan lain yaitu dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu-waktu tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25 %). Bila bahan berserat sulit untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru (Meynell, 1976).

2.7.2. Tipe Aliran Kontinyu (Continuos Flow)

Pada tipe aliran kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui jarak tertentu, keluar di ujung yang lain (Gambar 2.5). Tipe ini dapat mengatasi masalah pada proses pemasukan dan pengosongan pada tipe batch. Terdapat dua jenis dari tipe aliran kontinyu :

1. Vertikal, dikembangkan oleh Gobar Gas Institute, India

2. Horisontal, dikembangkan oleh Fry di Afrika Selatan dan California, selain itu dikembangkan oleh Biogas Plant Ltd. dengan digester yang terbuat dari karet (butyl rubber bag).


(49)

Sumber: Meynell, 1976. diadaptasi

Gambar 2.5. Digester tipe aliran bersambung

Selain itu terdapat beberapa jenis digester gas bio yang biasa digunakan. Digester ini dibuat dengan bahan dasar batu bata dan semen (The Pembina Institute, 2006), digester tersebut adalah Fixed dome dan Floating Drum. Jenis Fixed Dome ini (Gambar 2.6) terdiri dari bagian pencerna yang berbentuk kubah tertutup yang tidak dapat dipindah pindah, penahan gas kaku, dan baskom pemindah substrat (keseimbangan). Bagian silinder pencerna terbuat dari beton, walaupun demikian efektifitas penggunaan gasnya rendah, karena fluktuasi tekanan tidak konstan, selain itu bahan beton tidak kedap air, sehingga pada bagian penyimpanan gas harus dicat dengan bahan yang kedap udara seperti lateks atau cat sintetis. Unit pencerna jenis Fixed Dome sebaiknya dibenamkan di dalam tanah, hanya bagian penahan gas yang menonjol di permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan temperatur.

Keuntungan unit pencerna ini adalah umur pakai panjang (20 tahun), rancangan stabil, dapat menciptakan lapangan kerja lokal. Kesulitan yang dihadapi


(50)

tidak kedap air karena terbuat dari beton, tekanan gas tidak konstan, dan hanya dapat dibuat dengan baik apabila dikerjakan oleh tenaga ahli.

Katup Keluar Gas Bak Pencampur &

Saluran Input Saluran Keluar

Untuk Limbah Permukaan Tanah

Gas Bio

Dinding Digester (Beton)

Slurry

f i

Gambar 2.6. Digester Tipe ContinousModel Fixed Dome

Digester Floating Drum terdiri dari ruang pencerna berbentuk silinder atau kubah yang dapat bergerak, penahan gas mengapung atau drum (Gambar 2.7). Pergerakan penahan gas dipengaruhi oleh proses fermentasi dan pembentukan gas. Bagian drum sebagai tempat tersimpannya gas yang terbentuk mempunyai rangka pengarah agar pergerakan drum stabil. Keuntungan unit pencerna floating drum adalah mudah dioperasikan, produksi gasnya dapat dimonitor dan tekanan konstan. Kerugiannya adalah umur pakai pendek (< 5 tahun), karena drum terbuat dari logam


(51)

mudah berkarat dan bersifat inhibitor terhadap pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme.


(52)

Ramli Tarigan : Pema yak Dan Gas, 2009 USU Repository © 20

nfaatan Biogas Kotoran Ternak Sapi Sebagai Pengganti Bahan Bakar Min 08

Bak Pencampur & Saluran Input Katup Keluar Gas Saluran Keluar Untuk Limbah Slurry Tanah

Digester terbuat dari PVC berbentuk balon

Gas Bio (Metana)

Slurry

Generator gas bio dilindungi dari sinar matahari untuk mengurangi perubahan suhu

Katup Keluar Gas

Gas bio dikumpulkan di drum baja yang Bak Pencampur &

Saluran Input Saluran Keluar Untuk Limbah Permukaan Tanah Ruang Fermentasi (Beton) Slurry f i

Gambar 2.7. Biodigester Tipe Continous Model Floating Drum

Bila substratnya mengandung bahan berserat, pengeluaran gas akan terhambat, karena pembentukan buih yang banyak. Pada Gambar 2.8, diperlihatkan Biodigester Tipe Continous Model Balloon


(53)

2.8. Komponen Utama Reaktor Gas Bio

Komponen utama reaktor gas bio terdiri dari: saluran masuk slurry, saluran keluar residu, katup pengaman tekanan, separator, dan saluran gas.

2.8.1. Saluran Masuk Slurry

Campuran kotoran hewan (sapi atau kambing) dan air yang membentuk slurry dimasukkan melalui saluran masuk slurry. EPA USA 2002 menyarankan agar reaktor gas bio menggunakan slurry dengan kandungan padatan maksimal sekitar 12,5 %. Dalam tataran praktis, (Aguilar, 2001) menyarankan perbandingan 1 ember (ukuran standar) kotoran hewan dicampur dengan 5 ember air. Kotoran hewan dan air harus dimasukkan sudah dalam keadaan tercampur (slurry). Hal ini untuk memudahkan pengaliran slurry di dalam tangki utama serta menghindari terbentuknya sedimentasi yang akan menyulitkan pengaliran selanjutnya. Slurry bisa dimasukkan hingga 3/4 volume tangki utama (Forst, 2002). Volume sisa di bagian atas tangki utama diperlukan sebagai ruang pengumpulan gas serta menghindari penyumbatan saluran gas oleh slurry. Proses produksi metana ini berlangsung dalam lingkungan anaerob, maka slurry harus menutup saluran masuk ataupun saluran keluar tangki utama.

Pada umumnya, produksi gas metana yang optimum akan terjadi selama 20 – 30 hari (Forst, 2002). Hal ini berarti harus diperkirakan bahwa slurry akan berada selama 20 – 30 hari di dalam reaktor. Dengan mengetahui volume tangki utama dan


(54)

harga (t)yang dipilih, akan dapat ditentukan banyaknya penambahan slurry setiap harinya. Untuk reaktor yang baru beroperasi, disarankan untuk membiarkan reaktor tersebut selama beberapa hari, sebelum dilakukan pengisian slurry secara rutin setiap harinya. Jumlah slurry yang perlu dimasukkan setiap hari dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

m

slurry

=

1

/

4

× 10

3

×

t

h D2

π

(2.2)

Dengan mslurry adalah penambahan slurry per-hari (liter/hari), D adalah

diameter tangki utama (dalam meter ), h adalah tinggi/panjang tangki utama dan t = 20 – 30 hari. Sedangkan untuk setiap liter slurry, batasan EPA yang menyarankan kandungan padatan maksimal 12,5% dapat di jadikan patokan untuk menghitung massa kotoran sapi yang diperlukan.

2.8.2. Saluran Keluar Residu

Bila aliran di dalam tangki cukup lancar, maka kesetimbangan tekanan hidrostatik slurry akan menyebabkan sebagian residu keluar manakala slurry ditambahkan ke saluran masuk tangki utama.

2.8.3. Katup Pengaman Tekanan

Prinsip kerja katup ini adalah pipa T mampu menahan tekanan di dalam saluran gas setara dengan tekanan kolom air pada pipa T tersebut (Munson, et.al. 2002). Bila tekanan di dalam saluran gas lebih tinggi dari tekanan kolom air ,maka gas akan keluar melalui pipa T, sehingga tekanan di dalam sistem reaktor akan


(55)

kembali turun. Bila tinggi air yang masuk di dalam pipa T adalah h, maka tekanan yang bisa ditahan pipa T adalah :

P

= gh

(2.3)

dengan P adalah tekanan (Pa), adalah densitas air [1000 kg/m3 pada temperatur dan tekanan standar], g adalah percepatan gravitasi [9.81 m/s2].Tinggi air yang perlu masuk di dalam pipa T tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan tekanan yang sanggup ditahan konstruksi reaktor (termasuk kantung penyimpan gas). Ini terutama penting untuk bahan reaktor yang terbuat dari kantung polyethylene (polyethylene bag). Untuk reaktor yang terbuat dari kantung polyethylene, (Aguilar, 2001) menyarankan tinggi air di dalam pipa T sebesar 8 - 10 cm, sedangkan Ezekoye dan Okeke dkk menyarankan harga 4-5 cm. Semakin tinggi kolom air di dalam pipa T, maka makin besar tekanan di dalam reaktor yang bisa ditahan katup pengaman; ini akan memberikan tekanan gas metana keluar yang lebih tinggi.

Namun penggunaan tekanan tinggi ini perlu disesuaikan dengan kekuatan reaktor gas bio. Untuk reaktor yang menggunakan bahan kantung polyethylene, disarankan untuk menggunakan harga kolom air sekitar 5 – 10 cm. Perlu dicatat bahwa bila kedua saluran slurry masuk dan keluar selalu berada dalam kondisi terbuka, maka pergerakan kolom air di dalam pipa T juga akan mempengaruhi pergerakan slurry di dalam reaktor. Bila densitas slurry diperkirakan sebesar 2 kali densitas air, tekanan yang menyebabkan pergerakan 8 cm kolom air di dalam pipa T juga akan menyebabkan perbedaan ketinggian permukaan slurry di dalam reaktor dan


(56)

di dalam pipa saluran masuk/keluar sebesar 4 cm (muka slurry di saluran masuk/keluar lebih tinggi 4 cm daripada muka slurry di dalam reaktor).

Oleh karena itu disarankan untuk menggunakan pipa saluran slurry

masuk/keluar yang memungkinkan permukaan slurry di dalam saluran pipa

masuk/keluar bisa lebih tinggi dari permukaan slurry di dalam reaktor. Pengukuran densitas slurry dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan ember yang telah diketahui volumenya (V) (dalam liter). Bila massa slurry pada satu ember tersebut adalah ms [kg], maka densitas slurry dapat dihitung dengan cara:

slurry =

V ms 001 ,

0 ...(2.4)

Harga densitas slurry (Persamaan (3)) dapat digunakan untuk memperkirakan

perbedaan ketinggian muka slurry di dalam reaktor dan pipa saluran masuk/keluar dengan menggunakan Persamaan (2).

2.8.4. Separator

Separator di dalam reaktor gas bio (lihat Gambar 2.1, bagian 1) memiliki fungsi untuk mengarahkan aliran slurry di dalam reaktor sehingga dapat dipastikan bahwa setiap bagian slurry akan berada di dalam reaktor selama masa HRT. Untuk

membantu kelancaran aliran slurry di dalam reaktor, maka disarankan untuk

menggunakan slurry dengan kandungan padatan yang sesuai dengan rekomendasi EPA USA (maksimal sekitar 12,5%). Bila slurry terlalu banyak mengandung padatan, dikhawatirkan akan terjadi sedimentasi yang cukup tebal yang diprediksi bisa


(57)

mengganggu kelancaran aliran slurry selanjutnya. Pengadukan bisa dilakukan untuk menghindarkan terjadinya sedimentasi (endapan) di dalam reaktor. Pengadukan bisa dilakukan secara teratur setiap selang waktu tertentu. Selain berfungsi untuk menghindarkan terjadinya sedimentasi, pengadukan pada slurry dengan kandungan padatan sekitar 10% akan meningkatkan produksi gas di dalam reaktor cukup signifikan (Forst, 2001). Disarankan untuk membuat sistem pengaduk yang terintegrasi dengan bangunan reaktor. Sistem pengaduk bisa menggunakan tenaga listrik ataupun manual. Namun mengingat prinsip kesederhanaan reaktor skala kecil/menengah, disarankan untuk membuat sistem pengaduk manual.

2.8.5. Saluran Gas

Gas dari reaktor gas bio ini bersifat korosif (Aguilar, 2001), maka saluran gas disarankan dibuat dari bahan polymer (bisa berupa pipa PVC ataupun selang PVC dengan sambungan yang cukup kuat). Bahan transparan lebih disukai untuk saluran gas (terutama pada bagian horizontal) karena penguapan cairan di dalam reaktor serta hasil reaksi dari dalam reaktor akan berpotensi menyebabkan genangan air yang bisa menyebabkan penyumbatan saluran gas.

Untuk keperluan pembakaran gas pada kompor, maka pada bagian ujung saluran pipa bisa disambung dengan pipa baja anti karat (berbentuk serupa nosel). Bila tekanan gas di dalam kantung penyimpan gas (untuk konstruksi fixed dome) sudah cukup tinggi atau posisi floating drum sudah cukup terangkat, maka katup bukaan gas bisa dibuka, dan gas bisa dinyalakan untuk keperluan memasak. Reaktor


(58)

baru biasanya bisa menghasilkan cukup gas untuk memasak setelah 20 – 30 hari, sesuai dengan HRT yang umum digunakan (Aguilar, 2001; Ezekoye dan Okeke, 2006). Untuk memenuhi kebutuhan memasak sebuah keluarga dengan jumlah anggota 6 orang, diperlukan 6 ekor sapi dengan volume reaktor gas bio 8.4 m3.

2.9. Pengujian

Pengujian dilakukan pada bahan dan gas bio, yaitu dengan mengukur kemampuan digester yang dilihat dari temperatur yang bekerja, tingkat keasaman (pH), jumlah koloni bakteri pada sampel yang dihitung dengan metoda hitungan cawan, dan kemampuan dekomposisi bahan oleh biodigester dengan menghitung jumlah volatil solid yang berubah menjadi gas. Kemudian mengukur volume gas yang dihasilkan, kandungan gas bio, dan nilai kalor bersih.

2.9.1. Parameter yang Diamati

Ada beberapa parameter yang perlu diamati dalam pembuatan gas bio, antara lain: tekanan penampung dan kemampuan digester.

2.9.1.1. Tekanan Penampung Gas Bio

Tekanan gas pada penampung dapat diukur dengan menggunakan manometer U. Manometer digunakan untuk mengukur beda antara tingkat tekanan di suatu titik dan tekanan atmosfer (Munson, et. al., 2002). Seperti terlihat pada Gambar 2.9, salah


(59)

satu selang manometer dihubungkan dengan penyimpan gas sedangkan lubang satunya terbuka terhadap tekanan udara luar.

Gambar 2.9. Manometer U

Sehingga dapat diuraikan persamaan tekanan yang terjadi, sebagai berikut: P + gasbio gXi + gX = Pa + gH (3) (2.5)

dengan:

P = Tekanan dalam penyimpan (N/m2)

Pa = Tekanan udara luar (1 atm)

= massa jenis fluida (kg/m3)

gas bio = massa jenis gas bio (kg/m3)

g = gravitasi (9,81 m/s2)

X = tinggi fluida (m)

Xi = tinggi gas dalam manometer (m)

H = tinggi fluida (m )

2.9.1.2. Kemampuan Digester

Parameter yang diamati untuk menguji kemampuan biodigester adalah temperatur bahan isian, tekanan gas, keasaman (pH), dan volume dan komposisi gas bio yang terbentuk


(60)

Parameter-parameter ini diukur pada tiga lubang sampel uji pada biodigester. Tiap lubang sampel memiliki jarak sekitar 20 cm. Temperatur merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri dan jenis bakteri yang bekerja yang pada akhirnya berpengaruh pada produksi gas metana. Oleh sebab itu diperlukan pengukuran variabel ini, untuk mengetahui pada temperatur berapa digester ini bekerja. Pengukuran temperatur dilakukan pada tiga lubang sampel setiap hari dengan menggunakan termometer digital.

Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otomatis berkisar antara 7 – 8,5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar, maka substrat tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik. Pengukuran pH dilakukan pada tiga lubang sampel dengan menggunakan pH meter digital.

2.9.2. Pengujian Gas Bio

Pengujian gas bio yang perlu diamati antara lain: volume gas yang dihasilkan, persentase gas metana, dan nilai kalor bersih.

2.9.2.1. Volume Gas yang Dihasilkan

Produksi gas bio diukur pada penyimpan gas dengan menggunakan alat ukur meteran dan manometer U. Penyimpan gas memiliki pemberat pada puncaknya, sehingga memudahkan dalam menghitung tinggi yang dihasilkan oleh akumulasi gas pada plastik penyimpan. Volume penampung gas dapat dihitung menggunakan rumus volume silinder.


(61)

V =

× r

2

× t

...…..……...(2.6) dimana :

V = volume penampung gas berbentuk silinder ( m3 )

ヾ = 3,14

r = Jari – jari penampung gas ( m )

t = Tinggi penampung gas / panjang tabung ( m )

Volume gas yang diproduksi diukur setelah biodigester terisi penuh dan diukur tiap hari selama 16 hari. Volume gas dihitung dengan cara menghitung volume yang dapat dibentuk gas pada penyimpan sementara per hari dan diukur tekanannya. Pengukuran dilakukan setiap jam 12.00 siang. Selanjutnya dapat dihitung massa gas yang dihasilkan melalui persamaan berikut:

PV = mRT ………..………(2.7)

dengan:

P = Tekanan gas pada penyimpan sementara ( N/m2 ) V = Volume penyimpan sementara ( m3 )

m = Massa (kg )

T = Temperatur ( K )

R = Konstanta gas, 518 Nm/kg.K

2.9.2.2. Persentase Gas Metana dan Nilai Kalor Bersih Gas Bio

Persentase gas metana yang dihasilkan dapat diketahui dengan menggunakan GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometer). Untuk menentukan persentase gas metana dapat dihitung dengan nilai kalor bersih gas bio seperti dalam persamaan (2.1).


(62)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pembuatan Digester Gas Bio

Pembuatan digester gas bio bertujuan untuk menghasilkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, mudah, dan dapat diperbaharui (renewable). Kandungan gas bio didominasi oleh gas metana (CH4) yang merupakan

hasil sampingan dari proses degradasi bahan organik, misalnya: kotoran ternak dan sampah organik. Pemanfaatan kotoran ternak selain dapat menghasilkan gas bio untuk bahan bakar juga membantu kelestarian lingkungan dan memperoleh manfaat-manfaat lain, seperti: pupuk yang baik bagi tanaman dan kehidupan di dalam air (aqua kultur), mencegah lalat, dan bau tidak sedap yang berarti ikut mencegah sumber penyakit.

Rancang bangun biodigester yaitu dari galon air mineral sebagai biodigester dan penampung gas digunakan plastik polyethilene. Ember pencampur bahan

digunakan untuk mengkondisikan slurry bahan sebelum dimasukan ke dalam

biodigester. Biodigester dari bahan galon air mineral, terdiri dari: volume bahan slurry 14,25 liter sedangkan volume total 19 liter. Lama proses pengeraman dikondisikan selama 16 hari dan penampung gas dari plastik polyethylene yang digunakan yaitu dengan volume penampung gas sampai 1000 mL.


(63)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Januari 2009 – Mei 2009, perancangan, pembuatan alat, dan pengujian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Material, Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Puspiptek Serpong Tangerang - Banten

3.3. Alat dan Bahan

3.3.1.  Alat 

1. Cutter  2. Gunting  3. Kunci/Tang 

4. Sarung tangan karet  5. Bor listrik  

6. Hot glue   7. Sealtape  8. Kertas amplas 

  3.3.2. Bahan 

1. Galon air mineral volume: 19 liter

2. Plastik untuk penampung gas, volume 1 liter

3. Pipa tembaga (panjang: 40 cm, diameter dalam: 6,5 mm) 4. Sambungan T untuk pipa plastik (berulir, panjang: 6 mm)


(64)

5. Gabus (sebagai penyumbat galon, 1 buah) 6. Tutup botol plastik

7. Selang plastik (panjang: 1,5 m, diameter dalam 4 mm) 8. Barb fittings (1/4” x 1/4”, 2 buah)

9. Ball valve (1/4”)

10. Corong plastik (untuk memasukan bahan atau slurry) 11. Pengaduk kayu (panjang: 30 – 50 cm, tebal: 2 – 3 cm) 12. Kotoran sapi

13. Sampah organik

14. Air

3.4. Metode Penelitian

Bahan organik yang akan dijadikan sebagai bahan pembuatan bio gas adalah kotoran sapi dan sampah organik yang diambil dari pasar atau sampah rumah tangga, yaitu: sisa sayuran, potongan rumput, bongkol jagung, dan lainnya. Sampah organik ini kemudian dipotong kecil – kecil (± 5 cm) dengan pisau pencacah, lalu dihaluskan dengan blender untuk mempercepat proses reaksi metanogenik. Air yang digunakan untuk mengencerkan bahan organik adalah air PDAM. Skema komposisi bahan organik dan variasi pengencerannya disajikan pada Tabel 3.1.


(65)

Tabel 3.11. Komposisi bahan baku (BB) (% Volume) dan variasi pengenceran

Kelompok I Kelompok II

Variasi Pengenceran Variasi Pengenceran

(BB : Air = 1 : 2) (BB : Air = 1 : 4)

Kotoran Sapi Sampah Organik Kotoran Sapi

(% vol)

Sampah Organik

(% vol) (% vol) (% vol)

100 0 100 0

80 20 80 20

60 40 60 40

40 60 40 60

20 80 20 80

0 100 0 100

Pengenceran atau pembentukan slurry dilakukan dengan dua variasi

penambahan bahan baku terhadap air, yaitu 1 : 2 dan 1 : 4 % volume. Sedangkan volume total digester yang digunakan adalah 19 liter. Volume inilah yang digunakan untuk menentukan volume bahan baku dan air yang digunakan pada proses penelitian. Slurry dimasukkan hingga 3/4 volume biodigester. Volume sisa di bagian atas biodigester diperlukan sebagai ruang pengumpulan gas serta menghindari penyumbatan saluran gas oleh slurry. Kondisi input yang dikontrol selama proses penelitian, antara lain:

1. Pengadukan bahan organik dilakukan sampai diperoleh campuran yang


(66)

yang terjebak di dalam sludge karena akan menghambat pembentukan gas metana.

2. Biodigester dilindungi dari sinar matahari untuk mengurangi perubahan suhu. 3. Rasio C/N kotoran sapi = 25; dan sampah organik = 15.

4. Kondisi temperatur digester 33 – 35ºC, suhu dipertahankan stabil dengan

memasukkan biodigester dalam penangas air yang bersuhu 35oC. 5. Kondisi pH = 6 – 8.

 

Proses pembuatan gas bio dilakukan dengan sistem tumpak alami (batch), yaitu hanya sekali pengisian bahan baku 

pada awal percobaan. Bakteri pembentuk gas metana tidak perlu ditambahkan karena sudah terdapat di dalam kotoran sapi. 

Data yang diamati, meliputi: temperatur bahan isian, tekanan, pH, volume, dan komposisi gas bio yang terbentuk. Pengamatan 

dilakukan setiap hari selama 16 hari. Kemudian dievaluasi dari hasil penelitian ini. Diagram alir penelitian pembuatan gas bio, 

seperti diperlihatkan pada gambar 3.1.  

Volume gas bio yang terbentuk diukur dengan besarnya volume larutan NaCl yang dipindahkan, dan untuk 

komposisi gas bio dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas. Sedangkan tekanan gas bio diukur dengan pipa U. 

Penjelasan lebih rinci prosedur percobaan, antara lain: 

1. Membuat slurry kotoran hewan, sampah organik, dan campuran antara kotoran hewan-sampah organik, dengan komposisi yang telah ditentukan di dalam bak pencampur (ember). Tujuan dari pembentukan slurry ini adalah memudahkan pengaliran slurry di dalam tangki utama serta menghindari terbentuknya sedimentasi yang akan menyulitkan pengaliran selanjutnya. Selain itu, unutk mengetahui kondisi pengeceran yang optimum untuk pembentukan gas bio. 2. Mengalirkan slurry tersebut melalui saluran slurry (corong) ke dalam tangki


(67)

karena untuk mendapatkan ruang sisa yang diperlukan sebagai ruang pengumpulan gas dan menghindarkan terjadinya penyumbatan saluran gas oleh slurry. Perlu diperhatikan bahwa proses produksi metana berlangsung dalam lingkungan anaerob, jadi perlu diperhatikan setiap sambungan untuk menghindari udara masuk atau kebocoran.

3. Proses pembentukan gas bio dengan mendiamkan slurry di tangki utama untuk periode pengeraman tertentu. Proses pemeraman atau pendiaman slurry di dalam tangki ini adalah untuk memungkinkan terjadinya fermentasi zat organik yang menghasilkan gas metan (metanogenik). Untuk penampung gas yaitu terbuat dari plastik polyethylene, proses pembentukan gas ditandai dengan menggembung atau mengerasnya plastik penampung.

4. Pengamatan dan pengumpulan data penelitian yang dilakukan setiap hari selama masa pengeraman slurry di tangki utama. Adapun data penelitian yang diamati adalah volume, tekanan, dan komposisi gas bio yang terbentuk.

5. Analisis dilakukan untuk melihat pengaruh komposisi bahan organik dan variasi pengenceran slurry terhadap gas bio yang dihasilkan.

6. Kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan analisa sehingga dapat

ditarik kesimpulan mengenai komposisi bahan organik dan variasi pengenceran yang paling efektif dalam menghasilkan gas bio.

     


(68)

Pengeraman

di dalam tangki utama (galon air mineral)

Kesimpulan dan Saran Pencampuran Bahan Baku

kotoran sapi dan air; sampah organik dan air, kombinasi ks/so dan air

Analisis

Pengamatan & Pengum Data Harian selama masa pengeraman, y

Vol gas bio dan % CH

pulan

aitu

4 Pengaliran Slurry ke Tangki Utama

max. ¾ volume tangki

Pembentukan Slurry

campuran homogen antara: bahan baku (kotoran hewan/sampah organik) dan air


(69)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengujian

Pengujian yang dilakukan meliputi pengukuran: temperatur bahan, tingkat keasaman (pH), tekanan penampung gas bio, produksi gas bio kumulatif, volume dan Komposisi Gas Bio.

4.1.1. Temperatur Bahan

Temperatur yang bekerja pada bahan baku pembuatan gas bio berkisar 33 – 35oC, rentang nilai temperatur tersebut sesuai dengan temperatur yang dikondisikan pada tahap perancangan. Suhu dipertahankan mendekati stabil dengan

memasukkan biodigester di dalam penangas air yang bersuhu 35oC. Dengan

mengetahui variabel ini kita dapat melihat kemampuan digester dalam mencerna bahan. Pada temperatur ideal 35oC bahan (kotoran sapi atau sampah organik) dapat dicerna selama rentang 15 – 20 hari. Karena pada rentang temperatur mesophilic 30 – 35oC yaitu mendekati temperatur optimal maka dapat dipastikan kemampuan bakteri untuk mencerna bahan akan bekerja dengan lama proses yang optimal.

4.1.2. Keasaman (pH)

Tingkat keasaman yang diukur pada bahan masih berada dalam batas yang baik bagi bakteri untuk tumbuh. Tingkat keasaman bahan yang baru masuk rata-rata


(70)

menunjukkan nilai basa yaitu 7,62 kemudian semakin lama keasaman menurun hingga 6,48. Sedangkan berdasarkan referensi bahwa rentang nilai tingkat keasaman untuk perkembangbiakan bakteri pembentuk metana adalah pada pH 6,8 – 8. Oleh karena itu, rentang nilai tingkat keasaman selama penelitian menunjukkan nilai yang sesuai dengan pengkondisian pada tahap perancangan yaitu dalam toleransi kondisi perkembangbiakan bakteri metanogenik.

Gambar 4.1 Rata-rata tingkat keasaman bahan pada tiap lubang sampel uji biodigester dalam rentang 16 hari

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa bahan mengalami penurunan nilai keasaman mulai dari lubang sampel 1, 2, dan 3. Penyumbang terbesar dari keasaman ini adalah asam asetat yang dihasilkan oleh bakteri asetogenik. Pembentukan asam asetat ini sebenarnya penting untuk kelanjutan produksi gas metana pada proses selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahan masih berada dalam tahap asidifikasi, dimana


(71)

bakteri asetogenik mendominasi proses dekomposisi pada bahan. Walaupun demikian tidak berarti bahwa gas metana belum diproduksi. Metana tetap diproduksi oleh bakteri metanogenik tetapi belum optimal. Apabila metanogenik telah optimal maka

bakteri tersebut akan menggunakan asam asetat, CO2, dan hidrogen untuk

menghasilkan metana, kemudian nilai keasaman berangsur - angsur menurun sampai menuju basa.

4.1.3. Tekanan Penampung Gas Bio

Pengukuran tekanan gas pada penampung gas bio diukur dengan menggunakan alat manometer U (prinsip kerja 

pipa U, perhitungan tekanan dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.5). Manometer digunakan untuk mengukur beda 

antara tingkat tekanan di suatu titik dan tekanan atmosfer. Hasil yang diperoleh dari seluruh variasi komposisi pengujian 

memiliki rentang nilai yang hampir sama yaitu pada nilai 7 – 8 cm Hg. Tekanan relatif kecil karena bahan baku yang digunakan 

adalah sekitar 1 kg. sedangkan bila dikonversi kedalam satuan atmosfer, nilai tekanan gas tersebut adalah sebesar 1,14   1,16 

atm. 

4.1.4. Produksi Gas Bio Kumulatif

Pada Gambar 4.2 sampai Gambar 4.7, pada kelompok II (pengenceran 1 : 4) menunjukkan bahwa gas bio mulai terbentuk pada umur isian bahan 3 sampai 4 hari kemudian produksi terus meningkat sampai umur isian 13 sampai 14 hari dan mulai berkurang sampai akhirnya tidak terdapat penambahan gas bio. Sedangkan pada kelompok I (pengenceran 1 : 2) menunjukkan bahwa gas bio mulai terbentuk relatif lebih lambat yaitu pada umur isian bahan 4 sampai 5 hari kemudian produksi


(72)

terus meningkat sampai isian 13 sampai 14 hari dan mulai berkurang sampai akhirnya tidak terdapat penambahan gas bio.

Produksi biogas kumulatif yang memberikan hasil tertinggi selama 16 hari pengamatan adalah kelompok II 

(pengenceran 1 : 4) pada komposisi 100% vol kotoran sapi, yaitu sebesar 305 mL.  Sedangkan  untuk  produksi gas bio terendah 

adalah kelompok I (pengenceran 1 : 2) pada komposisi 100% vol sampah organik, yaitu sebesar 84 mL. Dari hasil perhitungan 

statistik menunjukkan bahwa pengenceran 1 : 2 sampai 1 : 4 memiliki pengaruh nyata terhadap pembentukan gas bio.  

Produksi gas bio terbesar pada kelompok I (pengenceran 1 : 2) terlihat pada komposisi  100 % vol kotoran sapi 

menghasilkan 170 mL selama 16 hari. Sedangkan produksi terkecil pada kelompok II (pengenceran 1 : 4) pada komposisi 100 % 

vol sampah organik menghasilkan 122 mL. Produksi gas bio terbesar lainnya pada kelompok I (pengenceran 1 : 2) dengan 

komposisi bahan baku campuran (kotoran sapi dan sampah organik) 80, 60, 40, dan 20 % vol kotoran sapi, berturut turut 

adalah 153 mL, 115 mL, 103 mL, dan 101 mL. Hal ini berarti bahwa produksi gas bio dengan menggunakan bahan sampah 

organik lebih kecil dibanding dengan penggunaan bahan kotoran sapi. Hasil perhitungan statistik untuk kelompok II 

(pengenceran 1 : 4) dengan komposisi bahan baku campuran 80, 60, 40, dan 20 % vol kotoran sapi sama dengan kelompok I 

(pengenceran 1 : 2) berturut turut yaitu 275 mL, 206 mL, 185 mL, dan 146 mL. 

100% KOTORAN SAPI, 0% SAMPAH ORGANIK

Gambar 4.2. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu


(73)

           

Gambar 4.3. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu

pengamatan pada komposisi 80% kotoran sapi  

 

60% KOTORAN SAPI, 40% SAMPAH ORGANIK

Gambar 4.4. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 60% kotoran sapi


(74)

Gambar 4.5. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 40% kotoran sapi


(75)

 

20% KOTORAN SAPI,80% SAMPAH ORGANIK

Gambar 4.6. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 20% kotoran sapi

0% KOTORAN SAPI, 100% SAMPAH ORGANIK

Gambar 4.7. Hubungan jumlah gas yang dihasilkan (ml) terhadap waktu pengamatan pada komposisi 0% kotoran sapi


(1)

 

Pengenceran 1 : 2

20 25 30 35 40 45 50 55

0 1 2 3 4 5 6 7

Kelompok Penelitian

Pengenceran 1 : 4

Kom

posi

s

i C

O2

(%)

Gambar 4.9. Komposisi CO2 (%) dari variasi pengenceran dan bahan baku

Pada kelompok II komposisi metana terbesar terdapat pada komposisi II-1 (100 % vol kotoran sapi) yaitu sebesar 72,32%, sedangkan komposisi metana terkecil adalah sebesar 58,18% terdapat pada komposisi II-5 dan II-6 (20% dan 0% vol kotoran sapi). Rata-rata komposisi gas bio untuk kelompok II adalah metana 64,34% dan karbondioksida sebesar 35,66%.

Secara umum komposisi gas bio yang dihasilkan kelompok II sama dengan kelompok I yaitu dengan bagian terbesarnya didominasi oleh metana dan karbondioksida. Selain itu terlihat juga bahwa terdapat komposisi gas metana pada


(2)

Secara umum kelompok I memproduksi gas bio lebih kecil dari kelompok II, sehingga akan lebih baik kalau dilakukan  pengenceran 1 : 4. Jadi komposisi gas bio adalah fungsi dari bahan isian dan proses reaksi yang berlangsung. Limbah selulosa  akan menghasilkan gas metana dan karbondioksida dalam jumlah yang kira kira sama banyaknya. Suatu limbah yang 

mengandung protein dan lemak akan menghasilkan gas dengan kandungan metana yang tinggi. Hasil penelitian juga  menunjukkan bahwa pengenceran bahan isian mempunyai pengaruh terhadap komposisi gas bio yang dihasilkan. 

Pada pengujian komposisi gas ini juga terdapat gas lain yaitu N2 dan O2, gas

ini bukan merupakan hasil dari proses pembentukan gas bio, keberadaan gas ini dapat diindikasikan bahwa terjadi kebocoran di dalam biodigester atau pada saat perjalanan pengambilan dan pengujian sampel. Nilai kalor bersih rata-rata gas bio didapat dari persentase metana berdasarkan persamaan 2.1, untuk kelompok I yaitu 17,67 joule/cm3 dan kelompok II yaitu 21,23 joule/cm3. Sedangkan berdasarkan referensi (Meynell, 1976) nilai kalor gas bio yaitu antara 20 – 26 joule/cm3. Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa rata-rata nilai kalor gas bio untuk kelompok II (pengenceran 1 : 4) masih berada pada rentang nilai referensi. Sedangkan untuk kelompok I meskipun memiliki nilai sedikit di bawah nilai referensi yaitu 17,67 joule/cm3, nilai kalor tersebut masih memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber bahan bakar, karena setidaknya memiliki nilai kalor yang masih dalam rentang nilai gasifikasi batu bara yaitu 16,7 – 18,5 joule/cm3 (Meynell, 1976).

   


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari data hasil penelitian dapat disimpulkan hal hal sebagai berikut:  1. Produksi gas bio didominasi oleh gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2).  

2. Produksi gas bio paling tinggi bila 100% kotoran sapi, karena kotoran sapi mengandung proten karbo hidrat, lemak, dan  sellulose. 

3. Produksi gas bio berkurang bila persentase sampah organik semakin tinggi karena sampah organik tidak banyak  mengandung protein karbo hidrat dan sellulose.  

4. Produksi  gas  bio  selama  16  hari dengan dua variasi pengenceran yaitu 1 : 2 dan 1 : 4 % vol. Produksi gas bio untuk 

kelompok pengenceran 1 : 2 adalah berkisar antara 84   170 mL, untuk kelompok pengenceran 1 : 4 antara 122 – 305 mL.  Sedangkan untuk campurannya, baik pada kelompok pengenceran 1 : 2 atau 1 : 4, berkisar antara 101–275 mL. 

5. Rata rata komposisi gas bio untuk semua variasi bahan baku :    

 untuk kelompok pengenceran 1 : 2 kandungan metana yaitu sebesar 53,56% dan karbondioksida sebesar 46,44%,  sedangkan untuk kelompok pengenceran 1 : 4 kandungan metana sebesar 64,34% dan karbondioksida sebesar 35,66%.   Sedangkan untuk campuran kedua bahan baku pada kelompok pengenceran 1 : 2 kandungan metana sebesar 51,14% dan  karbondioksida sebesar 48,86%. Untuk kelompok pengenceran 1 : 4 kandungan metana sebesar 63,89% dan 

karbondioksida sebesar 36,11%. 

6. Rasio C/N untuk kotoran sapi paling mendekati optimum yaitu 25, kemudian untuk variasi komposisi campuran kotoran  kuda dan sampah organik dengan rentang nilai sebesar 17   23 dan nilai sampah organik sebesar 15. 


(4)

1. Pemanfaatan kotoran sapi dan sampah organik sebagai sumber energi penghasil gas bio perlu digiatkan sebagai salah  satu sumber energi pengganti di masa yang akan datang dan sekaligus membantu membersihkan lingkungan. 

2. Penggunaan bahan kotoran sapi (kotoran hewan) sangat diperlukan untuk memproduksi biogas dari sampah organik. 

3. Penelitian ini memfokuskan pada produksi gas bio, sedangkan hasil akhir bahan/kotoran yang terproses belum  dimanfaatkan, oleh karena itu diperlukan suatu penelitian lanjutan dari segi kelayakan kandungan nutrisi untuk  diproduksi sebagai pupuk organic pertanian dan kelayakan secara ekonomi. 


(5)

DAFTAR PUSTAKA 

Aguilar, F.X., 2001, How to Install A Polyethylene Biogas Plant, Integrated Bio-system Network, International Organization of Biotechnology and Bioengineering, Earth University, Costa Rica, pp. 1 – 26.

Ezekoye, V.A. and Okeke, C.E., 2006, Design, Construction, and Performance Evaluation of Plastic Biodigester and the Storage of Biogas, The Pacific Journal of Science and Technology, Volume 7, Number 2, pp. 176 – 184. Fischer, K. and Krieg, A., 2000, Planning and Construction of Biogas Plants for Solid

Waste Digestion in Agriculture, Technical Report of Krieg & Fischer GmbH, Goettingen, Germany.

Forst, C., 2001, Floating Drum Biogas Digester, ECHO, 17391 Durance Rd. FL 33917, USA pp. 1 – 4.

Forst, C.,2002, Horizontal Biogas Digester, ECHO, 17391 Durance Rd. FL. 33917, USA, pp. 1 – 4.

Fry, L.J., 1974, Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great Britain (di dalam Kharistya Amaru, 2004).

Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982, Prarencana Pabrik Biogas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya (di dalam Sri  Kadarwati, 2003)  

Harahap, F. dan S. Ginting, 1984, Pusat Teknologi Pembangunan, ITB, Bandung. (di dalam Sri Kadarwati, 2003).

Hendriani, N. dan Efendi, F., 2008, Pengaruh SRB (Sulfat Reducing Bacteria) terhadap Reduksi Kandungan Sulfat pada Pembuatan Biogas, Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia 2008, Jurusan


(6)

Kharistya Amaru, 2004, Rancang Bangun dan Uji Kinerja Biodigester Plastik Polyethilene Skala Kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan Kab. Garut), Skripsi S-1, Program Studi Teknik Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung.

 

Meynell, P. J., 1976, Methane: Planning a Digester, Prism Press, Great Britain (di dalam Kharistya Amaru, 2004)

Munson, B.R., Young, D.F., and Okiishi, T.H., 2002, Fundamentals of Fluid Mechanics, 4th Edition, John Willey & Sons, Inc., New York, USA.

Raff, R.A.V., and J.B., Allison, 1956, High Polymer : Polyethylene, vol IX, Interscience Publisher Inc, New York. (di dalam Kharistya Amaru)

Rahman, B., 2009, Biogas-Sumber Energi Alternatif, http://www.energi.lipi.go.id Sahidu dan Sirajuddin, 1983, Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi, PT. Dewaruci

Press, Jakarta (di dalam sri kadarwati, 2003).

The Pembina Institute, 2006, Build Your Own Biogas Generator, A Renewable Energy Project Kit, Canada, pp. 1 – 5.

Udiharto, M., 1982, Penelitian Teknologi Gas Bio dan Penerapannya, Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi PPTMGB ”LEMIGAS” (di dalam Kharistya Amaru, 2004)

Van Vlack, L.H.,1994, Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam), Erlangga, Jakarta, alih bahasa Sriati Djaprie.

Wellinger, A., 1999, Process Design of Agricultural Digesters, Nova Energie GmbH, Elggerstrasse 36, 8356 Ettenhausen, Germany.